• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja ( Quality of Work Life )

Sejarahnya dimulai di Arden house pada tahun 1972 di AS. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan dua gerakan, yang pertama adalah gerakan politik di Eropa barat yang disebut “demokrasi industrial”. Gerakan ini bertujuan agar negara- negara di Eropa Barat mensahkan aturan partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan korporat. Gerakan kedua, dilandasi oleh teori sosial tentang “humanizing the workplace”. Semakin tinggi qwl, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan produktifitas kerja karyawan (Idris et al 2006).

Para manajer dan pimpinan organisasi menghadapi tantangan besar saat ini. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja dewasa ini lebih terdidik daripada masa sebelumnya. Namun pengamat ekonomi meyakini bahwa mutu pekerjaan akan menurun senantiasa, sementara posisi-posisi yang lebih baru memberikan kepada karyawan lebih sedikit tantangan dan kepuasan ego, yang terdapat dalam pekerjaan- pekerjaan yang dihapuskan secara bertahap. Ada asumsi bahwa tingkat pekerjaan yang lebih tinggi secara khusus disertai oleh tingkat harapan yang meningkat. Bila pimpinan tidak mampu memenuhi harapan-harapan karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan kerja dan melemahnya etika kerja (Kossen, 1993).

Pimpinan organisasi berusaha menemukan cara mengatasi kebosanan karyawan yang disebabkan oleh ketidakpuasan kerja tersebut, terutama menyangkut masalah kemerosotan mutu kehidupan kerja. Produktivitas organisasi dipengaruhi oleh mutu perlengkapan, alat-alat, dan faktor-faktor teknis dan material lain. Organisasi yang mengenal peranan sumber daya manusia dan perbaikan produktivitas dan menghargai kekuatan tenaga kerja yang mempunyai komitmen, terutama diarahkan pada sumber daya dan manajemen, terhadap pengembangan lingkungan dimana pekerja dapat memberikan kontribusi pada perbaikan kinerja pada kapasitas maksumum. Usaha seperti ini dinamakan sebagai quality of work life atau strategi

pelibatan pekerja (Wibowo, 2009). Mutu kehidupan kerja (quality of work life) juga mempengaruhi produktivitas (Kossen, 1993).

Hal ini dapat dilihat dari efektif atau tidaknya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Menurut Stan kossen suatu faktor yang meningkatkan QWL seorang karyawan belum tentu berpengaruh atau memiliki sedikit pengaruhnya pada QWL pekerja lain.

Wibowo (2009), mengungkapkan bahwa lingkungan dengan quality of work life tinggi ditandai oleh karakteristik berikut:

a. Pekerja berpeluang mempengaruhi keputusan. b. Pekerja berpartisipasi dalam pemecahan masalah.

c. Pekerja mendapatkan informasi lengkap tentang pengembangan dalam organisasi d. Pekerja mendapatkan umpan balik bersifat konstruktif

e. Pekerja senang menjadi bagian dari tim dan meningkatkan kolaborasi f. Pekerja merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan menantang g. Pekerja merasakan adanya keamanan kesempatan kerja

Sedangkan Kossen (1993) mengemukakan delapan kategori utama yang bersama-sama merupakan QWL, yaitu:

1. Kompensasi yang memadai dan wajar. Karyawan dapat mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri berkaitan dengan hal ini, seperti adakah upah atau gaji sebanding dengan jumlah yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama? Artinya imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan yang diterima oleh orang lain yang melakukan pekerjaan yang sejenis.

2. Kondisi-kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Dapat dilihat lingkungan kerja yang relatif bebas dari risiko berlebihan yang dapat mengakibatkan cedera atau penyakit pada karyawan. Segi penting dari kondisi ini misalnya jam kerja yang memperhitungkan daya tahan manusia yang terbatas dalam melakukan pekerjaan.

3. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia. Bagaimanakah hubungan pekerjaan tersebut dengan harga diri karyawan, serta apakah mereka merasa terlibat dan tertantang dalam pekerjaan itu?

4. Kesempatan untuk tumbuh di masa depan. Adakah kesempatan untuk karyawan maju atau hanya pekerjaan itu yang memberikan jaminan kesejahteraan dan penghasilan? Artinya karyawan menyadari bahwa perubahan pasti terjadi di masa depan, maka ada jaminan bahwa pekerjaan dan penghasilan mereka tidak akan hilang.

5. Perasaan termasuk dalam suatu kelompok atau integrasi sosial perusahaan. Apakah karyawan merasa sebagai bagian dari suatu tim atau sebaliknya merasa terkucil dari kelompok? Adakah lingkungan kerja relatif bebas dari prasangka destruktif? Melalui penerapan QWL di dalam perusahaan tidak ada diskriminatif. Suasana keterbukaan ditumbuhkan dan dipelihara dan adanya iklim saling mendukung diantara karyawan.

6. Hak-hak karyawan. Jenis hak-hak apa yang dimiliki karyawan? Apakah ada standar mengenai privasi terhadap perbedaan pendapat? Artinya dengan QWL perusahaan menjamin tidak ada campur tangan dalam urusan pribadi seseorang. Karyawan bebas untuk mengemukakan pendapat dan bicara.

7. Kerja dan ruang kerja keseluruhan. Bagaimanakan pekerjaan mempengaruhi peranan hidup pribadi, seperti hubungannya dengan keluarga?

8. Relevansi sosial kehidupan kerja. Apakah karyawan merasa bahwa organisasi bertanggung jawab sosial? Adakah organisasi menghasilkan suatu produk atau jasa yang menyumbangkan kebanggaan kepada karyawan?

Seluruh peningkatan produktivitas tersebut mengarah pada pengembangan kualitas kehidupan kerja yang lebih baik. Salah satu caranya adalah memanusiawikan sumber daya manusia dalam hal ini karyawan, melalui pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) dan sistem kerja sosio teknik yang diperkaya (enriched sosiotechnical work system) (Davis et al 1993).

Cascio (2003), menjelaskan mengenai cara pandang tentang kualitas kehidupan kerja.

“There are two ways of looking what quality of work life means. One way equates QWL with a set of objective organizational conditions and practices (e.g. promotion from whitin policies, democratic supervision, employee involvement, safe working conditions). The order way equates QWL with employes preceptions that they are safe, relatively well satisfied, and able to grow and develop as human beings. This way relates QWL to the degree to which the full range human need is met”.

Pada teori, QWL terlihat sederhana-hanya melibatkan karyawan tentang bagaimana melaksanakan pekerjaan, desain tempat kerja, dan apa yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk lebih efisien. QWL ini banyak dipraktekkan di industri makanan, elektronik, baja, dan industri berbasis kebutuhan konsumen (Cascio, 2003). Menurut Cascio (2003), terdapat Sembilan indikator dalam penerapan Quality of Work Life yaitu: partisipasi karyawan, pengembangan karir, penyelesaian konflik, komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja,keamanan kerja, kompensasi yang layak, dan kebanggaan. Gambar 2 menunjukkan kesembilan indikator Quality of Work life.

Kerjasama karyawan dalam tim Partisipasi karyawan dalam rapat Peningkatan kualitas tim

Perlindungan jabatan Pelatihan/pendidikan Penilaian kegiatan Promosi dari dalam

Keterbukaan

Proses penyampaian keluhan secara formal

Pertukaran pendapat/proses banding

Pertemuan tatap muka Pertemuan kelompok Publikasi

Pusat kesehatan Pusat kesehatan gigi Program pusat senam Kebugaran Program rekreasi Program konseling Komite keselamatan

Tim penolong gawat darurat Program keselamatan kerja Tidak ada pemberhentian

karyawan tetap Program pensiun

Gaji dan keuntungan yang kompetitif Identitas perusahaan Partisipasi kemasyarakatan Kepedulian Lingkungan Partisipasi Karyawan Pengembangan Karir Penyelesaian Konflik Komunikasi Kesehatan Kerja Keselamatan Kerja Keamanan Kerja Kompensasi yang Layak Kebanggaan QWL

Gambar 2. Quality of Work Life

Indikator-indikator yang diteliti dalam penelitian ini meliputi kompensasi yang layak, partisipasi karyawan, pengembangan karir, keamanan kerja, dan kesehatan kerja

Penelitian Husnawati (2006) memuat pemaparan terkait pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. Hasil tesis ini memberikan bukti bahwa aplikasi program kualitas kehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan pengembangan, partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Aplikasi program kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh pada kepuasan kerja yang selanjutnya

mempengaruhi kinerja karyawan. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perusahaan, maka semakin baik pula kinerja ditunjukkan oleh karyawan. Responden penelitian ini adalah karyawan PERUM Pegadaian Kanwil Semarang.

Adanya pengaruh yang searah antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja artinya bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi tersebut secara keseluruhan.

Penelitian tentang kualitas kehidupan kerja juga dilakukan dari sudut pandang karyawanTextile dan Engineering di District Coimbatore Tamil Nadu (Anjani,2010). Konstruk QWL yang dibahas meliputi kepuasan kerja, kompensasi, hubungan kerja, kondisi kerja, pengembangan kompetensi dan stress kerja. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa faktor yang utama dari kualitas kehidupan kerja adalah pekerjaan itu sendiri. Suatu pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan status serta kebanggaan kepada karyawan memerlukan pelibatan karyawan sendiri di dalam pekerjaan.

Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja atau quality of work life telah banyak dilakukan dan merupakan penelitian dengan pendekatan empiris, baik pada perusahaan maupun institusi pendidikan. Pada umumnya perusahaan yang diteliti adalah pada sektor jasa, seperti penelitian yang dilakukan oleh Cheung et al (2009) serta Yan Ma et al (2010). Obyek penelitian ini adalah karyawan hotel. Pada penelitian pertama, QWL bertindak sebagai mediator antara Emotional Labor dan Work Family Interference. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa gangguan dari keluarga (work family interference) berkorelasi penting dengan tindakan karyawan di perusahaan, serta adanya hubungan dari tindakan atau perilaku karyawan dengan kualitas kehidupan kerja mereka.

Sedangkan penelitian Yan Ma et al (2010) menyoroti QWL dan pengaruhnya terhadap outcome karyawan yang direfleksikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya perbedaan pendapat diantara pimpinan (manager) tentang pentingnya QWL bagi perusahaan khususnya bidang jasa perhotelan. Sebagian pimpinan mengadaptasi QWL dari Barat dan melakukan pengukuran QWL kepada karyawan, namun pimpinan yang lain menganggap pelaksanaan QWL tidak berkaitan dengan outcome karyawan dan hanya menghabiskan dana perusahaan. Originalitas penelitian ini terletak pada kasus yang nyata di dalam jasa hotel khususnya di China. Perbedaan kedua penelitian ini hanya pada posisi QWL, pada penelitian pertama QWL memediasi Emotional Labor dan Work Family Interference, sedangkan pada penelitian kedua QWL menjadi variabel dependen. Namun implikasi dari praktek QWL di perusahaan sangat penting untuk diukur mengingat praktek QWL bertujuan untuk pengembangan lingkungan kerja yang baik bagi karyawan dan juga produksi (Davis, et al 1994).

Penelitian mengenai QWL biasanya hanya mengukur kepuasan kerja, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Idris et al (2006) mencoba mengaitkan antara QWL dimensi-dimensi karir pada sektor industri manufaktur di Malaysia. Penelitian dengan metode survei ini bukan replika dari penelitian lain, maka kuesioner dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur dan melakukan penyesuaian dengan konteks lokal. Temuan penting dari penelitian ini yaitu bahwa keluarga secara signifikan berhubungan dengan level/tingkat QWL karyawan di perusahaan. Selain itu kunci penting peningkatan karir karyawan ada di dalam dimensi QWL salah satunya adalah keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga.

Bila implementasi QWL dibandingkan antara bisnis jasa hotel dan perbankan dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma terkait peranan sumber daya manusia. nilai-nilai keunggulan SDM yang awalnya tangible assets berubah menjadi pengelolaan strategi berbasis-pengetahuan yang menampilkan intangible assets organisasi terutama human capital yang terbangun dari kompetensi dan komitmen.

Seperti penelitian Riady (2009) yang menyoroti pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap komitmen karyawan pada Bank BUMN di Jakarta. Permasalahan

utama yang ditemukan oleh peneliti yaitu penerapan QWL yang belum baik pada Bank BUMN dibandingkan dengan Bank Swasta bila dikaitkan dengan komitmen karyawan. Dari studi ini diperoleh Gambaran bahwa secara umum QWL dan komitmen karyawan tergolong sedang/biasa. Namun penelitian ini juga ada kesamaan dengan penelitian Yan Ma et al (2010), yaitu bahwa peluang karir dapat tercipta dengan berorientasi pada QWL. Artinya pekerjaan merupakan penghubung antara organisasi dan SDM nya, maka agar keduanya dapat memperoleh keuntungan bersama, pekerjaan harus memberikan QWL yang baik melalui perancangan pekerjaan.

Kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa penelitian di atas yaitu bahwa kepuasan atas kualitas kehidupan kerja (QWL) akan memberikan banyak keuntungan bagi karyawan dan perusahaan. Bagi karyawan sendiri, kepuasan atas kehidupan kerjanya tentu dapat ditunjukkan melalui komitmen untuk bekerja sebaik-baiknya. Perusahaan harus mengakomodasi berbagai kebutuhan dan hak karyawan bila ingin meningkatkan kinerja mereka. Variabel-variabel QWL yang digunakan di dalam beberapa penelitian di atas pada umumnya mengadopsi dari Cassio.

2.1.7 Definisi dan Sejarah Perilaku Ekstra Peran (Organizational Citizenship