• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kadar air media dan paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan pembungaan jahe (Zingiber officinale Roxb.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kadar air media dan paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan pembungaan jahe (Zingiber officinale Roxb.)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

i

(

Zingiber officinale

Roxb.)

Andini Safitri A24061642

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

RINGKASAN

ANDINI SAFITRI. Pengaruh Kadar Air Media dan Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe (Zingiber officinale Roxb.). (Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan MELATI).

Perbanyakan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc.) umumnya menggunakan potongan rimpang, walaupun pada praktiknya masih menghadapi beberapa kendala. Kendala utama penggunaan rimpang sebagai bahan perbanyakan yaitu rimpang yang mudah terinfeksi penyakit tular benih, rimpang yang voluminous mempersulit penanganan dan masa simpan rimpang yang pendek yaitu hanya sekitar 2-3 bulan. Oleh karena itu, penggunaan biji dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif yang potensial dikembangkan untuk mencari bahan perbanyakan lain yang memungkinkan untuk diterapkan di tingkat petani.

Secara alamiah jahe jarang berbunga dan tidak berbuah, sehingga upaya untuk menghasilkan biji jahe masih menghadapi kendala. Untuk itulah penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh kadar air media (KAM) dan paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan pembungaan jahe putih besar var. Cimanggu I. Penelitian telah dilaksanakan mulai bulan September 2009 hingga Mei 2010 bertempat di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Cimanggu, Bogor.

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan terpisah, yaitu induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda dan induksi pembungaan dengan pemberian paclobutrazol, yang disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok satu faktor. Masing-masing percobaan terdiri atas 6 taraf perlakuan, (1) kadar air media: 45-46 %, 42 – 43 %, 39 – 40 %, 36 – 37 %, 33 – 34 % dan kontrol, (2) paclobutrazol: 20, 40, 60, 80, 100 ppm dan kontrol. Pemberian paclobutrazol dilakukan setiap dua minggu sekali dengan volume siram 500 ml diulang sebanyak 5 kali.

(3)

iii paclobutrazol memberikan hasil yang berbeda. Paclobutrazol pada berbagai tingkat konsentrasi tidak menurunkan pertumbuhan vegetatif tanaman dan hasil panen rimpang. Pengamatan pembungaan menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dapat menghasilkan spika pada semua tingkat konsentrasi. Walaupun demikian, paclobutrazol 100 ppm mampu meningkatkan jumlah spika per rumpun dua kali dibanding dengan kontrol. Selain itu, paclobutrazol 100 ppm juga memberikan waktu inisiasi spika sekitar 4 minggu, lebih lama di antara konsentrasi lain yang rata-rata berbunga selama 1-3 minggu.

(4)

iv

PENGARUH KADAR AIR MEDIA DAN PACLOBUTRAZOL

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN JAHE

(

Zingiber officinale

Roxb.)

Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ANDINI SAFITRI

A24061642

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

v

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : PENGARUH KADAR AIR MEDIA DAN

PACLOBUTRAZOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN JAHE (Zingiber officinale Roxb.)

NAMA : ANDINI SAFITRI

NRP : A24061642

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc Dra. Melati, MSi NIP. 19580518 198903 2 002 NIP.19680516 199803 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 002

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Jakarta sebagai anak pertama dari lima bersaudara pada tanggal 20 Mei 1988 dari pasangan Bapak Syamsudin dan Ibu Anjaly Suchitra.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDI Al-Falah II Jakarta pada tahun 1994 hingga tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama ditempuh di SLTP Negeri 189 Jakarta pada tahun 2000 hingga 2003. Penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 32 Jakarta pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan S1 di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB). Penulis diterima di Fakultas Pertanian Departemen Agronomi dan Hortikultura pada tahun kedua. Selama menjalani masa studi di IPB, penulis mengikuti berbagai kegiatan organisasi intra dan ektra kampus. Beberapa di antaranya yaitu bendahara umum Badan Eksekutif Mahasiswa Faperta IPB, staf divisi kemuslimahan dan staf divisi syiar FKRD Faperta IPB, dan staf Departemen Kajian Publik KAMMI Komsat IPB.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi hasil penelitian ini yang berjudul “Pengaruh Kadar Air Media dan Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe (Zingiber officinale Roxb.)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc sebagai dosen pembimbing dan Dra. Melati, MSi sebagai dosen pembimbing lapang yang dengan sabar telah membimbing, mengarahkan, memberi masukan serta memberi bantuan moril dan materi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Suwarto, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi.

3. Papa, Mama, adik-adik serta keluarga besar H. Husin atas doa, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama masa studi.

4. Staf Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang telah memberikan ijin untuk penelitian.

5. Staf laboratorium Ekofisiologi dan laboratorium Pasca Produksi atas ijin penggunaan alat-alat selama melaksanakan penelitian.

6. Teman-teman Marhamah atas doa dan semangat. Semoga Allah senantiasa mengekalkan ukhuwah kita dalam rahmatNya.

7. Teman-teman AGH angkatan 43 atas kebersamaan dan semangat selama penulis menjalani masa studi di IPB, terutama teman satu bimbingan, Megaria dan Satrio Tunggul Pratomo.

8. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang memerlukan.

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

BAHAN DAN METODE ... 10

Tempat dan Waktu ... 10

Bahan dan Alat ... 10

Metode Percobaan ... 10

Pelaksanaan Percobaan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Keragaman mutu tiga jenis jahe (dalam %, pada lokasi 450 mdpl) ... 4

2. Luas panen, produksi dan produktivitas jahe tahun 2009 ... 6

3. Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter tunas pada berbagai perlakuan kadar air media ... 16

4. Pengaruh perlakuan kadar air media terhadap luas daun ... 18

5. Bobot kering tajuk, bobot kering akar dan rasio akar-tajuk pada perlakuan kadar air media ... 20

6. Pengaruh kadar air media terhadap waktu kemunculan spika dan jumlah spika per rumpun ... 21

8. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter tunas. ... 24

9. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap luas daun ... 25

10. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering akar ... 26

11. Pengaruh paclobutrazol terhadap jumlah spika per rumpun ... 27

12. Fase perkembangan dan pembungaan spika ... 29

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Tempat penelitian: (a) kondisi tanaman saat berumur 4 bulan, dan (b)

kondisi pertanaman yang dipasang paranet saat berumur 6 bulan ... 14 2. Kondisi tanaman yang terserang hama dan penyakit : (a) hama ulat, (b)

hama belalang dan (c) busuk rimpang ... 15 3. Kondisi tanaman jahe saat umur 6 bulan (a) KAM 36 – 37 % (b) dan

33-34 %. ... 17 4. Spika yang layu sebelum muncul bunga ... 21 5. Periode kemunculan spika pada perlakuan paclobutrazol... 28 6. Spika yang muncul langsung dari rimpang (a) dan spika yang muncul pada

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Rata-rata suhu dan kelembaban harian pada bulan Januari hingga Mei 2010 .. 37 2. Penentuan kadar air media ………...39 3. Pembuatan larutan paclobutrazol dalam ppm ………...40 4. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap tinggi

tanaman selama pengamatan ………..………..41 5. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap diameter

tunas selama pengamatan ... 41 6. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap jumlah

tunas selama pengamatan ... 42 7. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap luas

daun selama pengamatan ... 43 8. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap berat

kering tajuk dan berat kering akar selama pengamatan ... 44 9. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap berat

rimpang dan tebal rimpang selama pengamatan ... 45 10. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap tinggi tanaman

selama pengamatan ... 46 11. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap diameter tunas

selama pengamatan ... 47 12. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap jumlah tunas

selama pengamatan ... 48 13. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap luas daun selama

pengamatan ... 49 14. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap berat kering

tajuk dan berat kering akar selama pengamatan ... 50 15. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol berat rimpang dan tebal

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kecenderungan masyarakat untuk menggunakan bahan alam dalam pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan produk obat bahan alam (OBA). Hal ini juga didorong oleh berbagai penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa obat-obatan kimia menimbulkan efek samping yang tidak ringan bagi tubuh. Lain halnya dengan obat-obatan herbal yang dipercaya bekerja secara holistik tanpa efek samping.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (2003) melaporkan bahwa salah satu dari lebih 300 jenis tanaman yang dimanfaatkan secara rutin dalam industri obat tradisional (OT) adalah jahe. Jahe memiliki multifungsi, rimpang jahe banyak digunakan sebagai bumbu masak, minuman dan ramuan obat tradisional. Lebih dari 40 produk OT menggunakan jahe sebagai bahan baku, sehingga jahe dibutuhkan dalam jumlah besar untuk industri kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT). Hasil survey Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di beberapa IKOT dan IOT di tujuh propinsi utama pengembangan IOT (Bengkulu, Sumatera Utara, Jawa Timur, Aceh, Jawa Tengah, Lampung, Jawa Barat), volume jahe untuk industri mencapai 47 000 ton tiap tahun (Ermiati dan Bermawie, 2007). Angka tersebut belum termasuk kebutuhan industri OT di propinsi lain.

Komoditas biofarmaka Indonesia yang ditujukan untuk ekspor meliputi 13 jenis yaitu jahe, lengkuas, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringgo, kapulaga, temukunci, mengkudu dan sambiloto. Berdasarkan catatan Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka (2007), jahe memiliki persentase produksi terbesar di antara ke-13 tanaman obat-obatan tersebut yaitu sebesar 37,59 %. Peningkatan permintaan jahe direspon produsen jahe dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui peningkatan luas lahan.

Salah satu permasalahan dalam pengembangan tanaman jahe (Zingiber

(13)

benih jahe unggul bermutu dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, sehingga menjadi penyebab rendahnya produktivitas dan mutu jahe (Sukarman et al., 2007). Rata-rata produktivitas jahe nasional sekitar 7.98 ton/ha atau setara dengan bobot rimpang 199.35 gram per rumpun pada populasi monokultur 40 000 tanaman/ha. Untuk kesinambungan produksi, selain diperlukan bahan tanaman produksi tinggi dengan mutu yang baik, juga terjamin ketersediaannya baik dalam jumlah, waktu dan tempat. Kebutuhan rata-rata benih jahe 2-3 ton/ha dan diperlukan paling sedikit 47 480 ton benih per tahun (Bermawie et al., 2003).

Jahe umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan rimpang, namun penggunaan rimpang menghadapi beberapa kendala. Beberapa kendala tersebut antara lain benih rimpang membawa penyakit tular benih dan rentan terhadap penyakit busuk rimpang sehingga dapat menurunkan produksi sampai 75 %, sifat rimpang yang voluminous (kebutuhan benih 2-3 ton/ha) membuat penanganannya tidak mudah dan sulit disimpan dalam waktu lama (2 – 3 bulan) (Sukarman et al., 2007) sehingga ketersediaannya tidak kontinyu.

Penggunaan biji jahe sebagai alternatif bahan perbanyakan perlu diupayakan, selain bertujuan untuk perbaikan varietas melalui persilangan. Untuk dapat menghasilkan biji, perlu dilakukan induksi pembungaan karena secara alami tanaman jahe jarang berbunga. Beberapa upaya induksi pembungaan pada tanaman dengan perbanyakan vegetatif yang umum dilakukan yaitu dengan dengan menurunkan status air media pada tanaman tropis (Sheriff dan Muchow, 1984), perlakuan perbedaan ketinggian lahan tanam, pemberian zat pengatur tumbuh, perlakuan fotoperiodisme dan termoperiodisme (Gardner et al., 1991).

Tujuan

(14)

Hipotesis

1. Kadar air media yang rendah dapat menginduksi pembentukan bunga.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jahe (Zingiber officinale Roxb.)

Menurut klasifikasi tanaman, jahe adalah tanaman herba tahunan yang termasuk famili Zingiberaceae. Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna kulit rimpang, terdapat 3 jenis jahe yang telah dilepas Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), yakni jahe merah (JM), jahe putih kecil (JPK), dan jahe putih besar (JPB). Ketiga jenis jahe tersebut memiliki morfologi dan karakteristik kimia yang berbeda (Hasanah et al., 2004). Sifat khas jahe disebabkan adanya minyak atsiri, oleoresin dan gingerol. Aroma harum jahe disebabkan oleh minyak atsiri, kandungan oleoresinnya menyebabkan rasa pedas dan senyawa yang menimbulkan rasa hangat adalah gingerol. Dari ketiga jenis jahe tersebut, jahe merah mengandung minyak atsiri, oleoresin dan gingerol rata-rata paling tinggi (Tabel 1)

Tabel 1. Keragaman mutu tiga jenis jahe (dalam %, pada lokasi 450 mdpl) Jenis Sumber: Bermawie et al. (2003)

(16)

Bunga jahe terbentuk langsung dari rimpang, tersusun dalam rangkaian bulir (spika) berbentuk silinder seperti jagung. Kepala putik berwarna putih, memiliki ujung bundar yang berlubang dan pada bagian tepi atasnya dikelilingi bulu-bulu agak kaku, kelopak bunga berbentuk tabung dan tipis. Di Bogor, bunga jahe mekar pada siang hari sekitar pukul 13.00 – 16.00 WIB. Bunga yang telah mekar tersebut keesokan harinya gugur. Kepala putik berada di atas kepala sari sehingga menyebabkan peluang terjadinya penyerbukan sendiri sangat kecil (Ajijah et al., 1997).

Menurut Januwati dan Rosita (1997), pemilihan varietas jahe yang akan dibudidayakan disesuaikan dengan tujuan penanaman. Penanaman jahe putih besar atau disebut juga jahe badak lebih sesuai jika ditujukan untuk memproduksi rimpang segar, sedangkan jahe putih kecil banyak digunakan dalam industri jamu baik dalam bentuk segar maupun kering. Untuk membuat rempah-rempah dan minyak atsiri diutamakan varietas jahe merah. Pemilihan ini bertujuan untuk memperoleh nilai ekonomi usaha jahe yang menguntungkan.

Roy dan Wamanan (1988) berpendapat bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun berkorelasi positif terhadap hasil rimpang jahe. Menurut Bermawie et al. (1997), berdasarkan pengamatan di berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun dan ukuran rimpang berkorelasi positif dengan hasil. Dengan demikian, untuk seleksi varietas jahe yang berdaya hasil tinggi dapat digunakan karakter-karakter tersebut sebagai kriteria seleksi.

(17)

Syarat Tumbuh dan Perbanyakan Tanaman

Secara umum, daerah beriklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson serta tanah bertekstur gembur dan subur adalah kondisi lingkungan yang sesuai untuk budidaya tanaman jahe. Daerah yang cocok untuk pertumbuhan jahe adalah dari 0 – 900 m dpl dengan curah hujan 2.500 – 4.000 mm/tahun. Intensitas cahaya matahari 70-100 % atau agak ternaungi sampai terbuka, tekstur tanah lempung sampai lempung liat, pH tanah 6,8-7,4. Di Indonesia, jahe dapat tumbuh dan ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, baik ditanam secara monokultur maupun tumpang sari. Propinsi yang termasuk sentra produksi jahe yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, Bengkulu, dan Kalimantan berdasarkan luas panen dan produksi (Rostiana et al., 2009). Tabel 2 menunjukkan produksi jahe nasional pada tahun 2009 dari 10 propinsi penghasil jahe.

Tabel 2. Luas panen, produksi dan produktivitas jahe tahun 2009

Provinsi Luas Panen (m2)

Produksi (kg)

Produktivitas (kg/m2)

Jawa Barat 8.912.669 26.756.090 2,99

Jawa Tengah 17.494.866 26.601.257 1,50

Jawa Timur 19.666.927 21.363.805 1,08

Sumatera Utara 2.875.095 8.555.608 2,44

Lampung 4.746.349 7.348.126 1,47

Nusa Tenggara Timur 1.392.747 3.080.558 1,78

Sumatera Barat 1.054.388 2.737.252 2,55

Kalimantan Selatan 1.677.501 2.724.386 1,61

Bengkulu 2.198.474 2.270.683 1,00

Banten 1.617.740 1.665.266 1,00

Indonesia 68.654.046 122.181.084 2,24 Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)

(18)

Jahe umumnya ditanam dengan menempatkan potongan rimpang pada lubang tanaman atau alur yang telah disiapkan. Penanaman jahe dapat dilakukan dengan sistem parit, bedengan atau guludan. Jarak tanam jahe biasanya 40-60 cm antar baris dan 30-40 cm dalam baris. Selama di pertanaman, pemeliharaan tanaman dan lingkungan fisik perlu diperhatikan, yaitu penyulaman, penyiraman, pemupukan dan pendangiran (Rostiana et al., 2009).

Kadar Air Media dan Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe antara lain: iklim yang meliputi cahaya, suhu udara, lingkungan atmosfir (CO2, O2 dan kelembaban) dan lingkungan perakaran (fisik, kimia, dan air) (Januwati dan Rosita, 1997).

Menurut Sudiarto (1978) tanaman jahe tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 2.500 – 4.000 mm/tahun dan menurut Suratman et al. (1987) tanaman jahe menghendaki 7 – 9 bulan basah. Hasil penelitian Haddad et al. (1989) menunjukkan semakin tinggi curah hujan, bobot rimpang jahe yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa peranan air dalam perkembangan umbi/rimpang cukup besar, sehingga apabila terjadi kekurangan akan sangat terhambat perkembangannya.

Air yang tersedia dalam tanah adalah selisih antara air yang terdapat pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. Di atas kapasitas lapang, air akan meresap ke bawah atau menggenang sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di bawah titik layu permanen tanaman tidak mampu lagi menyerap air karena daya adhesi air dengan butir tanah terlalu kuat dibandingkan dengan daya serap tanaman. Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran dan kebutuhan air yang berlebihan oleh tajuk dalam kondisi laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman (Lakitan, 1996).

(19)

stomata akan membuka (Salisbury dan Ross, 1992). Pada tanaman kedelai, cekaman kekeringan dapat menekan pertumbuhan tajuk lebih besar dibandingkan pertumbuhan akar, sedangkan pada tanaman jagung, cekaman kekeringan menyebabkan akar tumbuh lebih panjang daripada tanaman kontrol (Asypini, 2008). Bobot kering merupakan parameter pertumbuhan yang dapat digunakan untuk mengamati dampak cekaman terhadap tanaman.

Nurhayati dalam Mardiati (2007) menyatakan kondisi defisit air yang parah dapat merespon perkembangan sistem pembungaan, meningkatkan sistem perakaran, dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun dan pengguguran daun. Namun, penelitian yang dilakukan Mardiati (2007) menunjukkan bahwa tanaman kedelai yang berada pada 100 % kapasitas lapang mengalami proses pembungaan yang lebih cepat dibanding dengan 40 % kapasitas lapang. Hasil ini menjelaskan bahwa peranan air sangat mempengaruhi dalam proses pembungaan.

Respon Paclobutrazol pada Tanaman

Menurut Wattimena (1988) paclobutrazol termasuk zat pengatur tumbuh dari golongan retardan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tanaman pada meristem sub apikal. Zat ini dapat menghalangi pemanjangan sel, sehingga perpanjangan buku terhambat.

Mekanisme kerja paclobutrazol yaitu menghambat produksi giberelin dengan cara menghambat oksidasi kaurene menjadi asam kaurenat, yang selanjutnya dapat menyebabkan pengurangan kecepatan dalam pembelahan sel, pengurangan pertumbuhan vegetatif dan secara tidak langsung akan mengalihkan asimilat ke pertumbuhan reproduktif untuk pembentukan bunga dan perkembangan buah (Weaver, 1972). Pengaruh retardan pada tanaman sangat bervariasi. Hal ini disebabkan (1) kemampuan yang berbeda dari daun, batang dan akar pada spesies yang berbeda untuk mengabsorpsi dan translokasi senyawa kimia; (2) adanya mekanisme penonaktifan dalam beberapa spesies; (3) perbedaan pola interaksi retardan dalam tanaman (Menhennet, 1979).

(20)

diberi paclobutrazol lewat daun dan tanah menghasilkan penekanan pertumbuhan vegetatif tanaman dan meningkatkan pembungaan. Hagiladi dan Watad (1992) menyatakan bahwa aplikasi paclobutrazol dengan cara penyiraman pada media mempunyai efisiensi yang lebih baik daripada aplikasi paclobutrazol yang disemprot pada daun dengan dosis dan volume yang sama.

Konsentrasi paclobutrazol yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya pembungaan (Weaver, 1972). Menurut Margianasari (1993), pemberian paclobutrazol efektif menekan pertumbuhan tinggi tanaman pelargonium yang disemprotkan dengan konsentrasi 80 ppm. Selain itu, penelitian Santi et al. (1998) menyatakan konsentrasi paclobutrazol 300 ppm dapat mendorong munculnya bunga sedap malam 20 hari lebih cepat dan penelitian Andayani (2004) menyatakan bahwa pemberian paclobutrazol 500 ppm dan 1000 ppm melalui penyemprotan pada daun, tidak berpengaruh secara nyata terhadap diameter bunga melati. Penelitian Santiasrini (2009) pada tanaman gloksinia, menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan konsentrasi 400 ppm menyebabkan tanaman lebih pendek dibanding paclobutrazol 100 ppm dan 200 ppm.

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilakukan di rumah kaca UPBS Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Cimanggu, Bogor mulai bulan September 2009 sampai Mei 2010. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 200 m dpl. Suhu pada pagi hari berkisar antara 22 – 23 0C, siang hari 31 – 34 0C dan sore hari 24 – 25 0C, dengan kelembaban nisbi (RH) rata-rata pada pagi hari berkisar 83 – 85 %, siang hari 49 – 52 %, dan sore hari 76 % (Lampiran 1).

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan yaitu rimpang jahe putih besar varietas Cimanggu I yang telah disemai hingga berumur 1 bulan dan telah muncul mata tunas, bahan lainnya meliputi paclobutrazol, pupuk kandang, pupuk majemuk, insektisida dan Dithane 45. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan budidaya pertanian, polibag diameter 30 cm, gelas ukur, meteran, timbangan, jangka sorong, mikroskop cahaya, oven, termohydrometer, dan leaf area meter.

Metode Percobaan

Induksi pembungaan akan dilakukan melalui dua percobaan terpisah, yaitu dengan perlakuan kadar air media dan pemberian paclobutrazol.

1. Pengaruh kadar air media terhadap pertumbuhan dan pembungaan Percobaan pertama akan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu kadar air media yang terdiri atas 6 taraf yaitu kontrol (C0), 45-46 % (C1), 42 – 43 % (C2), 39 – 40 % (C3), 36 – 37 % (C4) dan 33 – 34 % (C5). Percobaan dilakukan dengan 4 ulangan dan 5 sampel untuk tiap-tiap ulangan, sehingga terdapat 24 satuan percobaan.

(22)

Keterangan,

Yij = nilai pengamatan pada ulangan ke-j perlakuan kadar air media taraf ke-i

 = nilai rataan umum

τi = pengaruh perlakuan kadar air media taraf ke-i (i=0, 1 , 2, 3, 4, 5)

βj = pengaruh ulangan ke-j (j=1, 2, 3, 4) ij = galat percobaan

Data dianalisis menggunakan analisis ragam menggunakan program SAS (Statistical Analysis System). Bila hasil sidik ragam berpengaruh nyata pengujian akan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 %.

2. Pengaruh paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan pembungaan

Percobaan kedua menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan faktor pemberian paclobutrazol yang terdiri atas 6 taraf yaitu 0 ppm (P0), 20 ppm (P1), 40 ppm (P2), 60 ppm (P3), 80 ppm (P4) dan 100 ppm (P5). Percobaan ini dilakukan dengan 4 ulangan dengan 5 sampel untuk tiap-tiap ulangan, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Model rancangan linear dan analisis data yang digunakan sama dengan percobaan pertama.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan benih dan persemaian. Rimpang yang digunakan sebagai bahan perbanyakan adalah yang saat dipanen minimal berumur 9 bulan. Rimpang dipotong dengan bobot sekitar 50-60 gram dan mempunyai 2-3 mata tunas, kemudian direndam dalam larutan antibiotik Dithama. Rimpang jahe yang lapisan antibiotiknya telah mengering, disemai terlebih dahulu selama sebulan hingga muncul tunas setinggi 20 cm. Persemaian dilakukan pada media kokopit dengan wadah semai bak semen permanen yang terdapat dalam rumah kaca. Rimpang jahe ditanam pada persemaian dengan mata tunas mengarah ke atas. Setelah itu, diaplikasikan Dithane 45 dengan dosis 2 g/polibag yang dilarutkan ke dalam 1 liter air sebagai fungisida sistemik.

(23)

2:1:1. Campuran tanah dimasukkan ke dalam polibag diameter 30 cm sebanyak 30 kg/polibag. Masing-masing polibag diberi pupuk majemuk dengan dosis 250 kg/ha (8 g/tanaman).

Penanaman dan penyulaman. Setelah sebulan di persemaian, tanaman jahe dipindah ke polibag. Penyulaman dilakukan dengan menggunakan bahan tanam yang berumur sama jika dalam waktu sebulan setelah dipindahkan ke polibag, tanaman tidak menunjukkan pertumbuhan optimal.

Pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi: penyiangan, pembumbunan, pendangiran dan penanggulangan hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman, khususnya penyiraman dan pemupukan pada empat bulan pertama dilakukan sesuai prosedur operasional budidaya baku untuk menunjang pertumbuhan vegetatif yang optimal. Pembumbunan dan pendangiran dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh media tumbuh akar dan rimpang menjadi lebih baik.

Percobaan 1: Kadar air media dan penyiraman. Pengukuran awal kadar air media dilakukan di laboratorium tanah untuk mengetahui kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Dari hasil pengukuran, diperoleh kadar air kapasitas lapang (KL) 47.98 % dan titik layu permanen (TLP) 32.32 %. Interval kadar air antara kapasitas lapang dan titik layu permanen sebesar 15.66 % (kadar air tersedia). Selisih ini digunakan untuk menentukan selang taraf kadar air media (Lampiran 2).

(24)

Percobaan 2: Aplikasi Paclobutrazol. Paclobutrazol diaplikasikan setelah tanaman berumur 4 bulan dan dibuat berdasarkan konsentrasi yang diperlukan (Lampiran 3). Konsentrasi yang diberikan adalah 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm dengan volume siram 500 ml per polibag dan diaplikasikan dengan cara disiram di sekitar rimpang. Aplikasi paclobutrazol diulang sebanyak 5 kali aplikasi dengan selang dua minggu.

Pengamatan. Pengamatan peubah vegetatif dilakukan pada masing-masing tunas sampel per rumpun dan dilaksanakan setiap dua minggu sekali yang meliputi:

1. Jumlah tunas, diamati pada 0 minggu setelah aplikasi (MSA) sampai 14 MSA, yaitu banyaknya tunas vegeatif yang tumbuh pada ruas rimpang jahe.

2. Tinggi tanaman, diukur pada 0 MSA sampai 14 MSA, yaitu tinggi tunas mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi.

3. Diameter batang, diukur pada 0 MSA sampai 14 MSA dengan menggunakan jangka sorong, titik ukur 2 cm dari permukaan tanah.

4. Luas daun, diukur pada 2 dan 8 MSA. Daun yang diukur yaitu daun ke-2 atau ke-3 pada tunas sampel. Luas daun dihitung dengan menggunakan alat Leaf

Area Meter.

Pada saat pertumbuhan generatif dan panen (tanaman berumur 9 bulan), peubah yang diamati meliputi:

1. Waktu kemunculan spika dan jumlah spika per rumpun.

2. Bobot kering tajuk, dilakukan dengan mengoven semua tunas dan daun pada suhu 500 C selama 3 hari dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

3. Bobot rimpang total, yaitu total bobot rimpang baik yang terserang hama dan penyakit maupun yang sehat. Rimpang ditimbang setelah dibersihkan terlebih dahulu.

4. Tebal rimpang, diukur pada batang rimpang utama dengan menggunakan jangka sorong.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Perlakuan kadar air media (KAM) dan aplikasi paclobutrazol dimulai pada saat tanaman berumur 4 bulan (Gambar 1a) hingga tanaman berumur 6 bulan. Penelitian yang dilakukan di rumah kaca diduga membawa dampak terhadap pertumbuhan tanaman, salah satunya distribusi cahaya yang berbeda antara bagian timur dengan bagian barat. Ruang rumah kaca bagian barat memperoleh cahaya matahari yang lebih kuat pada sore hari, sehingga suhu tetap tinggi dan membuat beberapa tanaman menguning. Menurut Januwati dan Rosita (1997) tanaman jahe merupakan kelompok tanaman yang menghendaki banyak sinar matahari, namun jika suhu di atas 350 C akan menghanguskan daun, kemudian mengering. Pada saat tanaman berumur 6 bulan, dipasang paranet 50 % di dalam rumah kaca (Gambar 1b) karena suhu rumah kaca yang cukup tinggi dan dikhawatirkan dapat menghanguskan tanaman. Pemasangan paranet ini selain untuk menurunkan suhu rumah kaca terutama pada siang hari juga dapat menurunkan laju evapotranspirasi yang berlebihan pada tanaman.

Gambar 1. Tempat penelitian: (a) kondisi tanaman saat berumur 4 bulan, dan (b) kondisi pertanaman yang dipasang paranet saat berumur 6 bulan

Tanaman jahe pada penelitian ini tidak luput dari serangan hama dan penyakit, terutama hama ulat dan belalang yang menyerang spika dan rimpang (Gambar 2a) dan menyebabkan kerusakan pada daun (Gambar 2b). Pengendalian hama dan penyakit yang telah dilakukan yaitu dengan penyiraman Dithane 2 g/polibag yang dilarutkan ke dalam 1 liter air serta pemberian Furadan. Panen

(26)

dilakukan saat tanaman berumur 9 bulan saat tunas tanaman sudah mulai menguning dan meluruh. Beberapa rimpang sudah terkena busuk rimpang sehingga merusak rimpang dan menyebabkan penurunan berat basah rimpang (Gambar 2c).

Gambar 2. Kondisi tanaman yang terserang hama dan penyakit : (a) hama ulat, (b) hama belalang dan (c) busuk rimpang

Percobaan 1: Pengaruh Kadar Air Media terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan

Jahe merupakan tanaman yang peka terhadap kekurangan air. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah tunas, diameter tunas, luas daun, bobot kering tunas dan bobot kering akar serta pembungaan menunjukkan bahwa kadar air media rendah (33–37 %) memberikan hasil yang cenderung lebih rendah dibandingkan tanaman kontrol (kadar air media tinggi).

1. Tinggi Tanaman, Diameter Tunas dan Jumlah Tunas

Hasil analisis ragam (Lampiran 4, 5 dan 6) menunjukkan pengaruh nyata perlakuan KAM 33 -37 % yang menekan pertumbuhan tinggi tanaman, diameter tunas dan jumlah tunas lebih cepat daripada KAM 42 – 49 % (Tabel 3). Pada awal pengamatan (2 – 4 MSA), tanaman belum merespon perlakuan kadar air media, termasuk tanaman dengan kadar air media rendah. Hal ini diduga bahwa air dalam media dan kandungan air dalam rimpang masih cukup untuk menopang pertumbuhan tanaman hingga sekitar 1 bulan (4-6 MSA), sehingga beberapa

(27)

tanaman masih dapat mengalami pertambahan tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter batang.

Tabel 3. Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter tunas pada berbagai perlakuan kadar air media

Perlakuan KAM (%)

Waktu Pengamatan (Minggu Setelah Aplikasi/ MSA)

0 2 4 6 8 10 12 14

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan kadar air media terhadap tinggi tanaman pada pengamatan 0–6 MSA tidak berbeda nyata. Kadar air media rendah (33-37%) mulai menekan pertumbuhan tinggi tanaman pada 8 MSA, sebagaimana ditunjukkan bagian tajuk yang mulai menguning dan perlahan meluruh. Menguningnya bagian ujung daun, selain disebabkan suplai air yang ketersediaannya terbatas dari akar ke tajuk, kemungkinan juga karena intensitas cahaya matahari yang sangat kuat pada siang hari (suhu rumah kaca mencapai 31-340 C, suhu kritis yang dapat membuat tanaman jahe mengering). Pada Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa kadar air media kritis yang dapat menekan tinggi tanaman yaitu KAM 39 – 40 %.

(28)

cekaman kekeringan, bahkan saat perlakuan dihentikan setelah 8 MSA. Data ini menunjukkan bahwa tanaman jahe merupakan tanaman yang dapat bertahan dalam kadar air media rendah. Penurunan kadar air media sekitar 9-15% (KAM 33-34%) dari kondisi optimum baru akan menurunkan tinggi tanaman setelah terjadi selama 8 minggu.

Pengaruh kadar air media terhadap diameter tanaman tidak berbeda nyata pada 0 – 2 MSA dan pada 4 MSA diameter tanaman pada KAM 36-37% mulai menurun (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa KAM 36-37% merupakan kadar air yang cukup rendah untuk tanaman jahe, sehingga menyebabkan perlambatan dan berhentinya pembelahan dan pembesaran sel. Tabel 3 juga menunjukkan pengaruh perlakuan kadar air media terhadap jumlah tunas yang tidak berbeda nyata pada 0 – 2 MSA, dan mulai mengalami penurunan jumlah tunas dengan KAM 42 - 43 % pada 4 MSA. Walaupun secara statistik tanaman KAM 42-43 % menghasilkan jumlah tunas terendah, penurunan jumlah tunas yang drastis terjadi pada tanaman KAM 33-34 %. Hingga akhir pengamatan, tanaman dengan kadar air media rendah (33-34 %) menghasilkan jumlah tunas terendah dengan kondisi batang yang mudah rebah (batang tidak tegar) (Gambar 3). Setelah perlakuan dihentikan (10 – 14 MSA) diameter tunas kembali tidak berbeda nyata yang menunjukkan bahwa diameter tunas jahe dapat merespon dengan cepat perubahan kadar air media.

Gambar 3. Kondisi tanaman jahe saat umur 6 bulan (a) KAM 36 – 37 % (b) dan 33-34 %.

(29)

Terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman, diameter tunas serta kemunculan tunas jahe pada kadar air media rendah disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran dan rimpang. Kondisi laju evapotranspirasi yang melebihi laju absorbsi dan suhu lingkungan yang cukup tinggi membuat tanaman jahe mengalami penurunan laju pertumbuhan pada fase vegetatif. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Sheriff dan Muchow (1984), jika tanaman mengalami cekaman kekeringan yang parah dan berlangsung dalam waktu lama akan menurunkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta hasil panen tanaman.

Perlakuan kadar air media selama delapan minggu menurunkan laju pertumbuhan tanaman. Pengembalian kadar air media ke kondisi kapasitas lapang setelah 8 MSA tidak memulihkan pertumbuhan tanaman yang terhambat pertumbuhannya, sehingga tinggi tanaman dan jumlah tunas tetap bervariasi, walaupun diameter tunas menjadi tidak berbeda nyata pada akhir pengamatan. Di samping itu, tanaman sudah memasuki akhir fase pertumbuhan vegetatif.

2. Luas Daun

Hasil analisis ragam (Lampiran 7) perlakuan kadar air media terhadap luas daun tidak berpengaruh nyata pada 2 MSA. Hal ini diduga karena air dalam rimpang masih mencukupi untuk menunjang pertumbuhan tanaman dan pembentukan daun. Pada Tabel 4 perlakuan kadar air media menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada 8 MSP, yaitu tanaman dengan KAM 33-34% yang memiliki nilai rataan luas daun terendah dan berbeda nyata dengan tanaman kontrol.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan kadar air media terhadap luas daun

Perlakuan KAM (%) Pengamatan

2 MSA 8 MSA

(30)

Luas daun merupakan parameter perkembangan tajuk yang sangat peka terhadap kekurangan air, yang mengakibatkan penurunan dalam pembentukan dan perluasan daun. Tanaman jahe termasuk yang menunjukkan respon penurunan luas daun akibat cekaman kekeringan sebagai mekanisme pertahananan tanaman terhadap kekeringan untuk mengurangi tingkat transpirasi. Penurunan luas daun pada 8 MSA selain karena cekaman kekeringan yang dialami tanaman saat pertumbuhan vegetatif, juga karena pada umur 4 – 5 bulan tanaman mulai memasuki pertumbuhan generatif, sehingga laju pertumbuhan vegetatif melambat dan mulai mengarah pada pengisian rimpang. Tanaman yang tumbuh pada kondisi kadar air rendah (33-34 %) menyebabkan penurunan luas daun sekitar 22.78 % dibandingkan tanaman yang tumbuh pada kapasitas lapang (48-49 %).

Watts dalam Sheriff dan Muchow (1984) menyatakan bahwa penurunan luas daun pada sebagian besar tanaman tropis yang ditanam di rumah kaca lebih peka dibanding dengan di lapang. Penelitian Hapsoh (2003) menunjukkan bahwa respon morfologi dan fisiologi pada tanaman kedelai di berbagai tingkat kadar air media menyebabkan perbedaan luas daun yang berbeda. Tanaman pada kondisi kadar air media rendah hingga mencapai cekaman kekeringan berat menyebabkan luas daun berkurang.

3. Bobot kering tajuk dan bobot kering akar

(31)

Tabel 5. Bobot kering tajuk, bobot kering akar dan rasio akar-tajuk pada

tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa tanaman KAM 33-34 % menghasilkan bobot kering tajuk terendah dibandingkan dengan tanaman kontrol (48-49 %) dan KAM 45-46 %. Secara umum kadar air media rendah menekan perkembangan tajuk lebih besar dibandingkan perkembangan akar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman jahe mempertahankan diri terhadap kekeringan dengan cara mempertahankan perkembangan akar dan menurunkan perkembangan tajuk.

Kadar air media rendah membuat tanaman kekurangan air, sehingga dapat menurunkan perkembangan vegetatif tanaman, antara lain dengan cara mengurangi pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah tunas dan luas daun. Akibatnya terjadi penurunan laju fotosintesis daun, sehingga menurunkan berat kering tajuk dan berat kering akar. Hal ini disebabkan karena cekaman air akan menurunkan aktivitas fotosintesis melalui 3 mekanisme, yaitu: (1) luas permukaan fotosintesis, (2) menutupnya stomata, dan (3) berkurangnya aktivitas protoplasma yang telah mengalami dehidrasi (Sheriff dan Muchow, 1984).

4. Pembungaan

(32)

(34,50 hari). Data hasil penelitian ini memberi indikasi bahwa pertumbuhan vegetatif yang tinggi diperlukan untuk terjadinya inisiasi spika.

Tabel 6. Pengaruh kadar air media terhadap waktu kemunculan spika dan jumlah spika per rumpun

Perlakuan KAM (%) Waktu muncul spika (MSA)

Jumlah spika per rumpun

48-49 9.62 0.35

45-46 8.3 0.6

42-43 0 0

39-40 0 0

36-37 33-34

0 0

0 0

Mekanisme toleransi tanaman terhadap kondisi kadar air media rendah berbeda-beda tergantung kemampuan genetik. Nurhayati dalam Mardiati (2007) menyatakan kondisi defisit air dapat menginduksi perkembangan sistem pembungaan beberapa tanaman, meningkatkan sistem perakaran, dan menurunkan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun dan pengguguran daun.

Pengaruh kadar air media rendah berlanjut hingga tanaman mulai memasuki masa generatif, terlihat pada hasil pengamatan bahwa kadar air media rendah tidak cukup mampu untuk menginisiasi bunga. Pengamatan pada spika yang telah muncul menunjukkan spika tersebut tidak menghasilkan bunga, karena spika sudah layu sebelum muncul bunga (Gambar 4).

Gambar 4. Spika yang layu sebelum muncul bunga

(33)

tanaman yang tinggi agar asimilat yang diakumulasi pada rimpang mencukupi untuk inisiasi pembungaan. Sebaliknya, tanaman yang tumbuh dalam kadar air media rendah mengalami penurunan pertumbuhan yang pada akhirnya memperlambat akumulasi karbohidrat dalam rimpang, sehingga inisiasi lambat terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Menurut Sheriff dan Muchow (1984), pada beberapa kasus, ketersediaan air yang rendah diperlukan untuk menginduksi pembungaan, seperti tanaman kopi yang memerlukan periode kekurangan air untuk berbunga.

5. Berat rimpang dan tebal rimpang

Kadar air media berpengaruh terhadap berat rimpang dan tebal rimpang (Lampiran 9). Tanaman pada kondisi kadar air media rendah menghasilkan rimpang yang lebih sedikit dengan ukuran yang lebih tipis. Kadar air rimpang yang tinggi menunjukkan bahwa tanaman pada kadar air media rendah segera mengabsorbsi air lebih banyak ketika disiram, sehingga rimpang mengandung kadar air yang tinggi (Tabel 7). Penurunan berat rimpang disebabkan karena penurunan pertumbuhan vegetatif yang akhirnya berakibat pada penurunan hasil fotosintesis (Khaerana et al., 2008).

Tabel 7. Berat dan tebal rimpang pada perlakuan kadar air media

Perlakuan KAM (%) Pengamatam

Berat rimpang (g) Tebal rimpang (mm)

48-49 425.00a 26.31a

tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

(34)

hasil rimpang ini selain karena keterbatasan suplai air dari media, juga karena tanaman mulai memasuki akhir fase pertumbuhan vegetatif.

Ketersediaan air dalam media mempengaruhi perkembangan luas daun yang juga mengurangi permukaan fotosintesis yang menentukan produksi rimpang. Rimpang yang dihasilkan pada kadar air media kurang dari 36 % cenderung lebih tipis dan kecil, yang membuat kualitas rimpang yang lebih rendah. Hasil pengamatan ini sejalan dengan pernyataan Khaerana et al. (2008) yang menunjukkan bahwa penurunan luas daun menyebabkan penurunan berat rimpang temulawak yang dihasilkan.

Percobaan 2: Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe

1. Tinggi Tanaman, Jumlah Tunas dan Diameter

Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap tinggi tanaman pada tanaman jahe tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua perlakuan, bahkan masih mengalami penambahan tinggi tanaman hingga 10 MSA (Lampiran 10, 11 dan 12). Pada 12 MSA pertumbuhan tinggi tanaman mulai mengalami penurunan terutama pada paclobutrazol 80 ppm (Tabel 8). Menurunnya tinggi tanaman diduga berhubungan dengan terhambatnya produksi giberelin akibat pemberian paclobutrazol (Wattimena, 1988) di samping karena pertumbuhan vegetatif yang sudah selesai.

Konsentrasi tertinggi pada penelitian ini (100 ppm) belum efektif menghambat tinggi tanaman hingga akhir pengamatan. Menurut Menhennet (1979) konsentrasi paclobutrazol yang tidak mempengaruhi tanaman disebabkan (1) kemampuan yang berbeda dari daun, batang dan akar untuk absorpsi dan translokasi senyawa kimia; (2) adanya mekanisme penonaktifan pada beberapa spesies dan (3) perbedaan pola aksi retardan dalam tanaman.

(35)

MSA) tanaman mengalami penurunan jumlah tunas, namun penurunan ini diduga karena tanaman memang sudah memasuki akhir fase vegetatif (+ 4-5 bulan).

Tabel 8. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter tunas.

(36)

2. Luas Daun

Hasil analisis ragam perlakuan paclobutrazol terhadap luas pada 2 dan 8 MSA tidak memberikan pengaruh nyata pada semua taraf perlakuan (Lampiran 13). Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, namun penurunan luas daun dari 2 MSA hingga 8 MSA terjadi secara proporsional. Penurunan luas daun pada 8 MSA diduga lebih disebabkan karena tanaman sudah memasuki akhir fase pertumbuhan vegetatif (Tabel 9).

Tabel 9. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap luas daun

Konsentrasi tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

Hasil penelitian Santiasrini (2009) menunjukkan bahwa aplikasi paclobutrazol 400 ppm dapat menurunkan ukuran panjang dan lebar daun. Akan tetapi Khrisnamoorthy dalam Santiasrini (2009) menyatakan bahwa efek fisiologis retardan yaitu menghambat sel-sel meristem sub apikal, sedangkan pertumbuhan daun terletak pada meristem apikal sehingga jumlah daun dan luas daun tidak terpengaruh oleh pemberian paclobutrazol.

3. Bobot kering tajuk dan bobot kering akar

(37)

paclobutrazol juga memberikan nilai rasio tajuk/akar yang tidak berbeda nyata, diduga karena tanaman jahe pada perlakukan paclobutrazol tetap berada pada kondisi lapang sehinga pertumbuhan tajuk dan akar tetap seimbang.

Tabel 10. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering akar

tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

Menurut Wattimena (1988), paclobutrazol termasuk zat pengatur tumbuh dari golongan retardan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tanaman pada meristem sub apikal yang dapat menghalangi pemanjangan sel, sehingga perpanjangan buku terhambat. Penelitian Santiasrini (2009) menunjukkan semakin tinggi konsentrasi paclobutrazol menyebabkan tanaman semakin pendek, sehingga dapat berakibat pada semakin rendahnya berat kering tanaman. Namun, pada penelitian ini peningkatan konsentrasi paclobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetaif tanaman sebagaimana ditunjukkan pada peubah tinggi tanaman, diameter tunas, jumlah tunas, berat kering tajuk dan rasio akar/tajuk. Diduga konsentrasi yang digunakan (sampai dengan 100 ppm) tidak cukup memadai untuk menghambat pertumbuhan tanaman jahe.

4. Pembungaan

(38)

Tabel 11. Pengaruh paclobutrazol terhadap jumlah spika per rumpun Konsentrasi paclobutazol (ppm) Jumlah spika per rumpun

0 1.53a

20 1.73a

40 1.46a

60 2.06a

80 1.80a

100 3.40a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pemberian retardan pada berbagai tanaman tidak selalu dapat menginduksi pembungaan dengan lebih cepat. Pengaruh pemberian retardan terhadap pembungaan juga masih belum konsisten. Hasil penelitian Sirait dalam Santiasrini (2009) menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol 75 ppm pada tanaman gardenia tidak berpengaruh terhadap saat terbentuknya kuncup bunga, sementara Santiasrini (2009) menyatakan bahwa tanaman kontrol gloksinia memiliki jumlah bunga yang paling banyak dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan paclobutrazol (100 – 400 ppm), diduga karena konsentrasi paclobutrazol yang diberikan terlalu tinggi sehingga menghambat pembungaan.

(39)

Gambar 5. Periode kemunculan spika pada perlakuan paclobutrazol

Tidak semua spika yang muncul tersebut tumbuh langsung dari rimpang (Gambar 6a), karena ada beberapa spika yang baru muncul pada tunas vegetatif (Gambar 6b). Hal ini diduga bahwa tanaman mulai merespon pemberian paclobutrazol setelah tunas vegetatif muncul, sehingga terjadi perubahan metabolisme pada meristem apikal dan mengalihkannya menjadi tunas generatif. Perkembangan bunga jahe dari mulai muncul tunas generatif (spika) hingga bunga mekar melalui beberapa tahap (Tabel 12). Spika terdiri dari helaian braktea, setiap helaian braktea (kantong bunga) terdapat satu bunga, mekarnya bunga jahe tergantung pada kondisi lingkungan selama pembungaan (Gambar 7).

Gambar 6. Spika yang muncul langsung dari rimpang (a) dan spika yang muncul pada tunas vegetatif (b)

(40)

Tabel 12. Fase perkembangan dan pembungaan spika

Tahap Perkembangan Hari setelah

muncul spika Keterangan 30. Bunga yang akan mekar ditandai dengan munculnya

Bunga akan muncul satu per satu dari setiap braktea, bunga yang mekar sempurna berwarna merah tua (Gambar 8d).

5. Bunga terakhir mekar

hingga spika luruh 30 – 35

Bunga yang telah mekar, akan layu pada keesokan harinya. Beberapa spika sudah luruh, walaupun belum semua braktea menghasilkan bunga (Gambar 8e).

(41)

Keluarnya bunga pada spika berdasarkan pada susunan braktea, dimulai dari bunga pada braktea yang paling bawah. Rata-rata bunga mekar dalam sehari berkisar 1-3 bunga/spika. Jika bunga pada semua braktea dapat mekar, waktu pembungaan hingga spika luruh akan semakin panjang. Waktu bunga mekar bervariasi, mulai pukul 13.00 hingga 16.00 dan akan layu pada keesokan harinya (Bermawie et al.,2003). Bunga jahe dapat mekar sempurna dan lebih cepat jika udara cerah dan berangin.

Gambar 8. Tahapan pembungaan pada tanaman jahe

Hasil pengamatan pada parameter pertumbuhan vegetatif yang memberikan hasil tidak berbeda nyata membuktikan bahwa agar tanaman jahe dapat menghasilkan bunga, pertumbuhan vegetatif tanaman dan kondisi lingkungan selama pembungaan dijaga tetap tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan asimilat dari hasil fotosintesis selama pertumbuhan vegetatif, akan digunakan untuk pengisian rimpang dan pembungaan.

b

e

a c

(42)

5. Berat rimpang dan tebal rimpang

Hasil analisis ragam (Lampiran 15) perlakuan paclobutrazol terhadap berat rimpang menunjukkan pengaruh nyata pada konsentrasi 80 ppm, namun konsentrasi 100 ppm menghasilkan berat rimpang yang lebih rendah dari kontrol dan konsentrasi 80 ppm. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap tebal rimpang tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas (Tabel 13).

Tabel 13. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap berat dan tebal rimpang Konsentrasi paclobutrazol

(ppm)

Pengamatam

Berat rimpang (g) Tebal rimpang (mm)

0 520.00ba 24.90a

20 359.59b 26.05a

40 450.21ba 25.39a

60 508.75ba 25.22a

80 100

565.00a 387.59b

23.92a 24.62a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf 5 %

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kadar air media rendah 33–37 % menurunkan pertumbuhan vegetatif tanaman, dan tidak dapat menginduksi pembungaan. Pada kondisi kadar air media 45 – 49% tanaman jahe dapat tumbuh baik dan menghasilkan spika.

Pemberian paclobutrazol tidak menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman. Paclobutrazol 100 ppm yang disiramkan pada media sebanyak 500 ml dan diulang 5 kali menghasilkan jumlah spika per rumpun dua kali lebih banyak dibanding kontrol dan mampu memperpanjang periode inisiasi spika.

Saran

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, W. 2004. Pengaruh Paclobutrazol dan Pupuk Organik Terhadap Pembungaan Melati (Jasminum sambac var. Menur Mekar Sari). Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hal

Asypini, Y. 2008. Peroksidasi Lipid, Aktivitas Glutation Reduktase dan Kandungan Prolin Pada Tanaman Kedelai dan Jagung yang Mendapat Cekaman Kekeringan dan Herbisida Paraquat. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 41 hal Ajijah, N., B. Martono, N. Bermawie dan E. A. Haddad. 1997. Botani dan

karakteristik. Monograf Jahe. No. 3. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2003. Obat bahan alam indonesia tahun 2003. http://www.pom.go.id/ [20 Februari 2010]

Badan Pusat Statistik. 2010. Luas panen, produksi dan produktivitas jahe tahun 2009. http://www.bps.go.id/ [22 November 2010]

Bermawie, N., B. Martono, N. Ajijah, S. F. Syahid, dan E. A. Hadad. 2003. Status pemuliaan tanaman jahe. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV (2): 39-56.

Bermawie, N., E. H. Hadad, B. Martono, N. Ajijah dan Taryono. 1997. Plasma nutfah dan pemuliaan. Monograf Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2007. Pengembangan Agribisnis Sayuran dan Biofarmaka. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta

Ermiati dan N. Bermawie. 2007. Analisis financial varietas unggul jahe putih kecil di Jawa Barat. Bul. Littro. Vol. XVIII(1):86-106

Gardner, F. P., R. B. Pearce dan G. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press

Haddad, E. A., E.R. Pribadi, Taryono dan O. Rostiana. 1989. Pertumbuhan dan hasil jahe pada ketinggian tempat yang berbeda.. Jurnal Perhimpi V (1): 10-20.

Hagiladi, A. and A. A. Watad. 1992. Cordyline terminalis plants respond to foliarsprays and medium drenches of paclobutrazol. Hort. Sci. 27(2):128-130.

(45)

Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol: Tanggap Morfofisiologi dan Hasil. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 113 hal.

Hasanah, M., Sukarman dan D. Rusmin. 2004. Teknologi produksi benih jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan Teknologi TRO. Vol. XVI(1). Hal 9-16.

Januwati, M. dan S. M. D. Rosita. 1997. Perbanyakan benih. Monograf Jahe No. 3. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hal 40-50.

Khaerana, M. Ghulamahdi dan E. D. Purwakususmah. 2008. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen terhadap pertumbuhan dan kandungan xanthorrizol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Agron. 36(3):241-247.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Rajawali Press. Jakarta. 203 hal.

Mardiati, T. 2007. Respon Morfofisiologis Beberapa Varietas Kacang Tanah

(Arachis hypogaea L.) terhadap Cekaman Kekeringan. Skripsi. Departemen

Budidaya Pertanian., Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. 113 hal.

Margianasari, A. F. 1993. Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh Ethepon, Paclobutrazol, Cyclocel terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Induk dan Stek Tanaman Pelargonium. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal.

Martin, P. J. and A. J. Dabek. 1987. Effect of paclobutrazol on the vegetative growth and flowering of young clove trees. Trop. Agric. 65(1):25-28.

Menhennet, R. 1979. Use of glass house crops, p.27-38. In D. R Clifford and J. R. Lenton (Eds). Recent Development in The Use of Plant Growth Retardants. Brit Plant Growth Regulator Group. London.

Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green and S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Vol. II. Longman Inc., New York. 813 p.

Rosita, S. M. D., I. Darwati dan S. Yuliani. 1993. Pengaruh paclobutrazol terhadap produksi dan kualitas rimpang kunyit. Balai Penelitian Tanaman rempah dan Obat. Bul. Littro. Vol. VIII(2):108-110.

Rostiana, O., N. Bermawie dan M. Rahardjo. 2009. Standar Prosedur Operasional Budidaya Jahe. Budidaya Jahe, Kencur, Kunyit dan Temu Lawak. Circular no 16:1-12.

(46)

growth and yield of ginger (Zingiber officinale Rosc.). Assam Sci. Society 30 (2) : 33 – 40.

Salisbury, F. B. dan C. W, Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (Terjemahan dari: Plant Physiology. 4th edition. Penerjemah: Lukman, D. R dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung.

Santi, A., S. Kusumo dan E. Sitorus. 1998. Induksi pembungaan dengan zat pengatur tumbuh pada sedap malam. J. Hort. 8(1):925-956.

Santiasrini, R. 2009. Pengaruh Paclobutrazol Terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Gloksinia (Sinningia speciosa Pink.). Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 34 hal.

Sheriff, D. W. dan R. C. Muchow (1984). Hal ihwal air yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, hal. 51-110. Dalam P. R. Goldsworthy dan N. M. Fisher (Eds). Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press.

Sudiarto. 1978. Budidaya tanaman jahe di Indonesia dan penelitian beberapa aspek budidaya. LPTI Bogor. 17 hal.

Sukarman, D. Rusmin dan Melati. 2007. Viabilitas benih jahe (Zingiber officinale Rosc.) pada cara budidaya dan lama penyimpanan yang berbeda. Bul. Littro. Vol. XVIII(1). Hal 1-12.

Suratman, E. Djauhari., E.M. Rachmat dan Sudiarto. 1987. Pedoman bercocok tanam jahe (Zingiber officinale Rosc). Sirkulair No. 39. Balittro. Bogor. 33 hal.

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 145 hal.

(47)
(48)

Lampiran 1. Rata-rata suhu dan kelembaban harian pada bulan Januari hingga Mei 2010

Bulan Pagi (07.00) Siang (12.00) Sore (16.00)

Dalam Luar Dalam Luar Dalam Luar

Suhu

Januari 23.51 24.75 31.89 31.93 24.00 24.32

Februari 23.05 23.00 35.48 35.14 23.62 23.48

Maret 21.38 22.10 32.10 33.57 23.43 23.71

April 22.75 22.50 28.00 34.00 26.78 28.56

Mei 19.76 23.06 28.81 37.00 24.88 25.65

Kelembaban

Januari 85.75 84.46 57.54 64.37 84.14 87.11

Februari 87.10 87.48 44.95 48.81 83.95 87.43

Maret 84.52 86.76 47.40 48.50 79.82 83.43

April 80.00 76.75 60.00 48.00 60.44 55.44

(49)

Lampiran 2. Penentuan kadar air media

Sampel tanah diberi air hingga berlebih dan dibiarkan selama 48 jam hingga air berada kondisi optimum. Sampel tanah ditimbang untuk mendapatkan berat basah (BB) kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering (BK). Dari BB dan BK dapat dihitung kadar air media dengan menggunakan rumus:

KA = BB – BK x 100 % Keterangan:

BB KA = Kadar air

BB = Berat basah BK = Berat kering

Diperoleh kapasitas lapang (KL) 47.98 % dan titik layu permanen (TLP) 32.32 %. Interval kadar air antara kapasitas lapang dan titik layu permanen sebesar 15.66 % (kadar air tersedia). Selisih ini digunakan untuk menentukan selang taraf kadar air media.

(50)

Lampiran 3. Pembuatan larutan paclobutrazol dalam ppm Paclobutrazol yang digunakan memiliki konsentrasi 25 %. Paclobutrazol 25 % artinya adalah 25 gram / 100 ml larutan

jadikan ke mg = 25 000/100 ml

Konversi ke ppm (dikalikan 10) = 250 000 mg/ 1000 ml

(artinya larutan mengandung 250 000 ppm dengan volume 1 liter)

Untuk mengencerkan, pakai rumus pengenceran: V1 . M1 = V2 . M2

V1 . 250000 ppm = 1 liter . 100 ppm (jika ingin membuat larutan 100 ppm) V1 = 100 ppm x 1 liter = 1 liter/ 2500

250 000

Ambil sebanyak 1 / 2 500 dari larutan stok tersebut: 1 / 2 500 x 1 000 ml/1 liter = 0,4 ml

Larutkan 0,4 ml tersebut ke dalam 1 liter air.

(51)
(52)
(53)
(54)

Lampiran 7. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap luas daun selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT F

Hitung

Pr>F

2 MSA KAM 5 102.724 20.545 0.930 0.488

Ulangan 3 483.403 161.134 7.300 0.003

Galat 15 330.924 22.062

Total 23 917.051

8 MSA KAM 5 77.423 15.485 2.280 0.099

Ulangan 3 97.530 32.510 4.790 0.016

Galat 15 101.721 6.781

(55)

Lampiran 8. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap berat kering tajuk dan berat kering akar selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT F

Hitung

Pr>F

Berat kering tajuk

KAM 5 2138.093 427.619 6.990 0.002

Ulangan 3 633.183 211.061 3.450 0.044

Galat 15 917.424 61.162

Total 23 3688.700

Berat kering akar

KAM 5 3.718 0.744 1.940 0.146

Ulangan 3 14.828 4.943 12.920 0.000

Galat 15 5.737 0.382

(56)

Lampiran 9. Sidik ragam pengaruh perlakuan kadar air media (KAM) terhadap berat rimpang dan tebal rimpang selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT F

Hitung

Pr>F

Berat rimpang

KAM 5 240632.375 48126.475 20.110 0.000

Ulangan 3 17372.555 5790.852 2.420 0.107

Galat 15 35904.773 2393.652

Total 23 293909.703

Tebal rimpang

KAM 5 41.947 8.389 2.460 0.081

Ulangan 3 8.109 2.703 0.790 0.516

Galat 15 51.091 3.406

(57)
(58)
(59)
(60)

Lampiran 13. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap luas daun selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT F

Hitung

Pr>F

2 MSA Paclobutrazol 5 112.04173 22.40835 1.14 0.3837

Ulangan 3 21.7584 7.2528 0.37 0.7772

Galat 15 295.6886 19.71257

Total 23 429.48873

8 MSA Paclobutrazol 5 17.199583 3.439917 0.48 0.7877

Ulangan 3 37.625433 12.54181 1.74 0.2017

Galat 15 108.11252 7.207501

(61)

Lampiran 14. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap berat kering tajuk dan berat kering akar selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT F

Hitung

Pr>F

Berat kering tajuk

Paclobutrazol 5 1209.824 241.965 2.050 0.129

Ulangan 3 1017.284 339.095 2.870 0.071

Galat 15 1770.415 118.028

Total 23 3997.523

Berat kering akar

Paclobutrazol 5 2.285 0.457 0.810 0.563

Ulangan 3 7.447 2.482 4.380 0.021

Galat 15 8.508 0.567

(62)

Lampiran 15. Sidik ragam pengaruh perlakuan paclobutrazol berat rimpang dan tebal rimpang selama pengamatan

Pengamatan SK DB JK KT

F

Hitung Pr>F Berat

rimpang

Paclobutrazol 5 129260.642 25852.129 2.300 0.097

Ulangan 3 28299.519 9433.173 0.840 0.493

Galat 15 168403.537 11226.902

Total 23 325963.698

Tebal rimpang

Paclobutrazol 5 10.500 2.100 0.500 0.774

Ulangan 3 5.428 1.809 0.430 0.736

Galat 15 63.452 4.230

(63)

i

(

Zingiber officinale

Roxb.)

Andini Safitri A24061642

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(64)

ii

RINGKASAN

ANDINI SAFITRI. Pengaruh Kadar Air Media dan Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe (Zingiber officinale Roxb.). (Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan MELATI).

Perbanyakan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc.) umumnya menggunakan potongan rimpang, walaupun pada praktiknya masih menghadapi beberapa kendala. Kendala utama penggunaan rimpang sebagai bahan perbanyakan yaitu rimpang yang mudah terinfeksi penyakit tular benih, rimpang yang voluminous mempersulit penanganan dan masa simpan rimpang yang pendek yaitu hanya sekitar 2-3 bulan. Oleh karena itu, penggunaan biji dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif yang potensial dikembangkan untuk mencari bahan perbanyakan lain yang memungkinkan untuk diterapkan di tingkat petani.

Secara alamiah jahe jarang berbunga dan tidak berbuah, sehingga upaya untuk menghasilkan biji jahe masih menghadapi kendala. Untuk itulah penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh kadar air media (KAM) dan paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan pembungaan jahe putih besar var. Cimanggu I. Penelitian telah dilaksanakan mulai bulan September 2009 hingga Mei 2010 bertempat di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Cimanggu, Bogor.

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan terpisah, yaitu induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda dan induksi pembungaan dengan pemberian paclobutrazol, yang disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok satu faktor. Masing-masing percobaan terdiri atas 6 taraf perlakuan, (1) kadar air media: 45-46 %, 42 – 43 %, 39 – 40 %, 36 – 37 %, 33 – 34 % dan kontrol, (2) paclobutrazol: 20, 40, 60, 80, 100 ppm dan kontrol. Pemberian paclobutrazol dilakukan setiap dua minggu sekali dengan volume siram 500 ml diulang sebanyak 5 kali.

(65)

iii paclobutrazol memberikan hasil yang berbeda. Paclobutrazol pada berbagai tingkat konsentrasi tidak menurunkan pertumbuhan vegetatif tanaman dan hasil panen rimpang. Pengamatan pembungaan menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dapat menghasilkan spika pada semua tingkat konsentrasi. Walaupun demikian, paclobutrazol 100 ppm mampu meningkatkan jumlah spika per rumpun dua kali dibanding dengan kontrol. Selain itu, paclobutrazol 100 ppm juga memberikan waktu inisiasi spika sekitar 4 minggu, lebih lama di antara konsentrasi lain yang rata-rata berbunga selama 1-3 minggu.

Gambar

Tabel 5. Bobot kering tajuk, bobot kering akar dan rasio akar-tajuk pada perlakuan kadar air media
Tabel 6. Pengaruh kadar air media terhadap waktu kemunculan spika dan jumlah spika per rumpun
Tabel 8. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap tinggi tanaman, jumlah tunas dan diameter tunas
Tabel 9. Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap luas daun
+7

Referensi

Dokumen terkait

hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentukUndang-Undang untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi.Hal ini dilatarbelakangi kondisi sosial dan

Pengukuran laju respirasi pada proses pemeraman buah pisang ambon putih ini dilakukan dalam 3 perlakuan, yaitu pemeraman tanpa daun (sampel A), pemeraman dengam

Pemantauan adalah usaha atau tindakan mengamati, mengawasi, dan memeriksa secara terstruktur perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan

Jika dikaitkan dengan system agribisnis, kelembagaan adalah termasuk subsistem jasa penunjang, dimana lembaga tersebut harus mampu berperan dalam.. 12 menunjang

Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah restauran yang bertemakan sambal, kebiasaan mengkonsumsi sambal, motivasi, dan persepsi klaim mengenai produk cabai dan

Untuk validasi instrumen materi diperoleh hasil rata-rata skor penilaian adalah 4, sehingga instrumen respon siswa dapat dinyatakan sangat valid dan bisa dipakai untuk

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara konsentrasi COHb pada responden yang bekerja kurang dari 3 tahun dan responden yang bekerja lebih

Teaching language through texts and teaching writing and reading as an entire text as suggested in the 2006 curriculum for senior high school students and the use of