IBU HAMIL DAN MENYUSUI
{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}
RASPIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IBU HAMIL DAN MENYUSUI
{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}
RASPIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Formulasi Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)} adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
gariepinus), Folic Acid, Vitamin A and Iron (Fe) to Improve the Women's Health During Pregnancy and Breast Feeding {Preliminary Study Used In-vivo Test to Mice (Mus mucuslus)}. Supervised by RUDDY SUWANDI and BAMBANG RIYANTO.
Fish meal is a source of good and complete nutrition. In form of fish meal, it still could be used as a source of protein, either for food or feed utilization. Catfish is a species of freshwater fish consumed in Indonesia, it has a good taste and high nutritional content. Most of all consumed catfish in Indonesia are produced from aquaculture farm. To increase the utilization (beside being processed into several main products and its diversification), catfish could also be processed into fish meal, which used as substitutional material for wheat flour in this study. Biscuit were formulated with additional material of catfish meal (from body and head parts), folic acid, ferro sulphate and retinol A. The study was carried out through an in-vivo laboratory research using 75 mice (Mus mucuslus).
The study indicated that fish meal from the head part as much as 24.19 percentwhile from the body 63.15 percent. The appearance is slightly brownish for head's fish meal and whiter for body's fish meal. Proximate chemical tests on samples of biscuit formula shows that the levels of fat and protein have met the
fismeal’s national standards, while the moisture content, ash and carbohydrates
are still below the standards (SNI 01-2973-1992). Growth in weight of mice witch fed biscuit samples were better than mice with control feed (F5). The F1-F4 formula larger 22.17 percent compared with formula F5. The total serum test was carried out and showed that the biscuits formula fortified with folic acid, vitamin A and iron (Fe) significantly affected on the increase of mice's micronutrient status.
Hasil uji proksimat yang menggambarkan tepung telah memenuhi standar
SNI diantaranya adalah: a) aktivitas air (aw); b) kadar air kategori kualitas satu; c) kadar abu tepung kepala kualitas tiga sedangkan kadar abu tepung badan
masuk kualitas satu; d) kadar lemak realtif tinggi dan masuk kualitas tiga; d)
kadar protein relatif rendah masuk kualitas tiga. Kadar karbohidrat relatif rendah
dan tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh LIPI untuk tepung ikan
sebagai produk pangan.
Kualitas formula sampel jika ditinjau dari Standar Nasional Indonesia SNI
01-2973-1992 tentang standar nasional untuk produk biskuit. Kadar lemak dan
protein telah memenuhi standar, sedangkan kadar air, abu dan karbohidrat
masih dibawah standar yang ditetapkan.
Produk yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A dan zat besi (Fe) yang
diberikan terhadap hewan percobaan menunjukkan tidak berpengaruh terhadap
berat badan anak mencit dari induk yang mengkonsumsi pakan. Penggunaan
pakan berbahan dasar tepung ikan menunjukkan hasil yang lebih optimal
terhadap berat badan lahir dan pertumbuhan berat badan anak selama
perlakuan jika dibandingkan dengan pakan kontrol (F5). Fortifikasi asam folat,
vitamin A dan zat besi (Fe) pada pakan berpengaruh nyata pada peningkatan
dan perbaikan status gizi mikro dalam darah mencit.
(Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan BAMBANG RIYANTO.
Pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk
mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan
yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu
tinggi. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak diminati
masyarakat sebagai ikan komsumsi, ikan jenis ini relatif mudah untuk
dikembangbiakkan, pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi
terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup
tinggi, sehingga ikan lele terdistribusi secara merata di Indonesia. Peningkatan
nilai mutu dan nilai ekonomis ikan lele dapat dilakukan dengan pengolahan ikan
segar menjadi produk antara seperti tepung ikan, abon ikan, ikan asin dan
beberapa jenis produk olahan lainnya.
Dalam penelItian ini memanfaatkan tepung ikan lele sebagai bahan baku
pengolahan pakan dengan menggunakan komposisi biskuit sebagai makanan
bergizi yang difortifikasi dengan asam folat, zat besi dan vitamin A. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis kontribusi zat gizi pada pakan dengan
pemanfaatan tepung ikan lele sebagai alternatif sumber protein dan difortifikasi
dengan asam folat, vitamin A serta zat besi (Fe) terhadap kebuntingan mencit.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : (1)
Mencit yang bunting dan diberi pakan yang difortifikasi dengan asam folat,
vitamin A, dan zat besi (Fe) mempunyai perubahan terhadap status gizinya
dibandingkan dengan mencit yang tidak difortifikasi. (2) Konsumsi zat gizi dan
fortifikan akan mempengaruhi kesehatan perubahan nutrisi selama kebuntingan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan lele dumbo segar varietas
sangkuriang didominasi oleh kandungan kadar air sebesar 67,74 persen pada
kepala dan 69,36 persen pada badan, dengan kadar abu kepala 11,58 dan
kadar abu pada badan ikan segar sebesar 1,82. Rendemen kepala segar
sebesar 24,19 persen dan rendemen badan 63,15 persen. Pada tahapan proses
pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele ditemukan perbedaan
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KESEHATAN IBU HAMIL DAN MENYUSUI
{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}
RASPIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}
Nama : Raspiana
NIM : C351080121
Disetujui Komisi pembimbing
Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Ketua
Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dr.Tati Nurhayati,S.Pi, M.Si
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala, atas segala karunianya sehingga penulisan dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Formulasi Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}. Harapan dan doa, semoga penelitian ini dapat bermanfaat kepada masyarakat, terutama kepada para wanita yang sedang dalam masa kehamilan juga anak yang kelak akan dilahirkan.
Penelitian ini dilatarbelakangi keprihatinan penulis terhadap kondisi kehamilan dan juga kelahiran anak yang mengalami kekurangan gizi mikro yang berperan penting dalam kesehatan ibu hamil juga perkembangan dan kesehatan anak yang kelak akan dilahirkan. Selain itu, penyusunan tesis ini juga merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang telah mengantarkan penulis hingga sampai pada titik ini. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phil dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi. M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih juga diasampikan kepada Dr.Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku perwakilan dari Program Studi Teknologi Hasil Perairan.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada suami tercinta Zulyan Firdaus Afif, SP yang telah banyak memberikan semangat dan kasih sayangnya, dan putri tercinta Syadza Bunga F. Afif yang telah memberi warna dalam kehidupan ini, serta rekan-rekan mahasiswa yang telah bersama melalui masa pembelajaran di Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak/ibu yang telah membantu penulis selama menjalankan penelitian di laboratorium, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian studi.
Dalam lembaran ini pula penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan dan kehilafan baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.
Bogor, Agustus 2011
Penulis dilahirkan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 02 Mei 1986 dari pasangan H.Syahrul Sengkon dan Hj.Masneng Masrun. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.
Tahun 1991 penulis memulai pendidikan formal di SDN Langkai 16 Palangkaraya. Enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1997 penulis melanjutkan jenjang pendidikan menengah di SMPN 6 Palangkaraya. Pada tahun 2000, melanjutkan ke SMUN 2 Palangkaraya dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu, pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi pada Program Studi Strata Satu Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan di Universitas Palangkaraya.
Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Pascasarjana pada Program Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008. Tahun 2010 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotawaringin Timur, Sampit, Kalimantan Tengah.
Daftar Gambar ... vii
2.8.2 Proses pembuatan biskuit ... 20
2.9 Daya cerna protein ... 22
3. METODE ... 24
3.1 Waktu dan tempat ... 24
3.2 Alat dan bahan ... 24
3.3 Metode penelitian ... 25
3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 26
3.3.2 Penelitian utama ... 28
3.3.3 Metode analisis ... 32
3.3.3.1 Analisis pada tepung dan formula biskuit ... 32
1) Aktivitas air (aw) (Wiyati 2004) ... 32
2) Evaluasi nilai mutu protein secara biologis (daya cerna protein) ... 35
3.3.3.3 Analisis status metabolisme total serum induk mencit ... 36
1) Status metabolisme asam folat serum ... 37
2) Status metabolisme retinol serum ... 37
4.1 Proses pembuatan tepung ikan ... 39
4.1.1 Pemilihan bahan baku ... 39
4.1.2 Pembuatan tepung ikan... 39
4.1.3 Analisis sifat fisik tepung ikan ... 43
4.1.3.1 Aktivitas air (aw) ... 43
4.1.3.2 Rendemen ... 44
4.1.4 Analisis sifat kimia tepung ikan ... 45
4.1.4.1 Kadar air ... 45
4.1.4.2 Kadar abu ... 46
4.1.4.3 Kadar lemak ... 47
4.1.4.4 Kadar protein ... 48
4.1.4.5 Kadar karbohidrat ... 49
4.2 Proses pembuatan formula biskuit ... 49
4.2.1 Tahap pengolahan formula biskuit ... 50
4.2.2 Rendemen formula biskuit ... 51
4.2.3 Analisis sifat kimia formula biskuit ... 52
4.2.3.1 Analisis proksimat... 52
4.2.3.2 Kandungan energi formula biskuit ... 57
4.3 Pengujian terhadap mencit ... 57
4.3.1 Perubahan induk mencit ... 57
4.3.2 Perubahan anak mencit... 60
4.3.2.1 Berat badan anak mencit saat lahir ... 61
4.3.2.2 Pertumbuhan berat badan anak mencit ... 62
4.3.3 Analisis daya cerna protein biskuit ... 64
4.3.4 Analisis status metabolisme total serum induk mencit ... 65
4.3.4.1 Status metabolisme asam folat serum ... 66
4.3.4.2 Status metabolisme retinol serum ... 67
4.3.4.3 Status metabolisme feritin serum ... 68
5. SIMPULAN DAN SARAN ... 71
5.1 Simpulan ... 71
2. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan lele pada tahapan
penelitian pendahuluan ... 27
3. Diagram alir proses formulasi biskit dan proses in-vivo pada mencit dalam penelitian utama ... 30
4. Ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 39
5. Kepala dan badan ikan lele dumbo segar ... 40
6. Kepala dan badan ikan setelah dikukus ... 41
7. Tepung kepala dan tepung badan ikan lele ... 42
8. Diagram uji aktivitas air (aw) ... 44
9. Diagram analisis kadar air ... 46
10. Diagram analisis kadar abu ... 47
11. Diagram analisis kadar lemak ... 47
12. Diagram analisis kadar protein ... 48
13. Diagram analisis kadar karbohidrat ... 49
14. Diagram alir proses pengolahan pakan formula F1 dan F2 ... 50
15. Produk jadi pakan formulasi F1 dan F2 ... 51
16. Diagram analisis kadar air pada pakan ... 53
17. Diagram analisis kadar abu pada pakan ... 54
18. Diagram analisis kadar lemak pada pakan ... 54
19. Diagram analisis kadar protein pada pakan ... 56
20. Diagram analisis kadar karbohidrat pada pakan ... 56
21. Pertumbuhan berat badan induk mencit selama perlakuan ... 59
22. Perubahan berat badan harian induk mencit ... 59
23. Jumlah kematian anak mencit selama pengamatan... 61
24. Rata-rata berat badan anak mencit ... 61
25. Perkembangan berat badan anak mencit ... 63
2. Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 9
3. Komposisi gizi ikan lele ... 9
4. Susunan asam amino esensial ikan lele ... 10
5. Data biologis mencit (Mus musculus) ... 11
6. Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan ... 13
7. Pangan potensial untuk fortifikasi ... 17
8. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 ... 17
9. Mutu cerna protein dalam bahan pangan ... 23
10. Komposisi bahan baku pakan ... 28
11. Angka Kecukupan Gizi (AKG yang dianjurkan untuk ibu hamil) ... 29
12. Jumlah fortifikan yang ditambahkan pada 100 gram produk ... 29
13. Formulasi yang digunakan dalam pengolahan formula biskuit ... 31
14. Kandungan kimia formula biskuit F5 ... 31
15. Pengelompokan standar folat serum ... 37
16. Pengelompokan standar retinol serum ... 38
17. Pengelompokan standar feritin serum ... 38
18. Persentase bagian tubuh ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 40
19. Hasil analisis proksimat ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 40
20. Rendemen tepung ... 45
21. Hasil uji proksimat pada tepung ... 45
22. Standar mutu tepung ikan sebagai bahan pangan ... 45
23. Hasil uji proksimat pada pakan ... 52
24. Perubahan berat badan induk ... 58
25. Selisih pertumbuhan berat badan induk ... 58
26. Rata-rata berat badan anak mencit awal kelahiran(gr) ... 61
27. Perubahan berat badan anak mencit (gr) ... 62
28. Analisis Protein Efficiency Ratio (PER) ... 65
29. Hasil analisis dan perubahan kadar asam folat serum (ng/ml) ... 66
30. Hasil analisis dan perubahan kadar retinol serum (µg/dl) ... 67
b. Gambar alat oven ... 79
c. Gambar alat timbangan analitik ... 79
d. Gambar alat grinder ... 80
2. Gambar kandang metabolik ... 80
3. Gambar mencit (Mus mucuslus) dewasa ... 80
4. Gambar anak mencit pada awal kelahiran ... 80
5. Prosedur penetapan asam folat serum dengan metoda spektrofotometer elissa ... 81
6. Prosedur penetapan retinol dengan metoda HPLC Waters 501... 82
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanggulangan masalah gizi dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia yang paling baik adalah pada masa menjelang dan saat
prenatal, karena: (1) penelitian telah membuktikan bahwa perkembangan otak
dimulai pada masa utero dan meningkat pesat pada trimester kedua dan ketiga
kehamilan (Dhopeswarkar 1983); (2) bayi yang lahir dari ibu yang menderita
defisiensi zat gizi mempunyai risiko yang lebih besar mengalami BBLR (berat
badan lahir rendah). Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai
risiko yang lebih besar meninggal pada usia 1 tahun, dan kalaupun mampu
bertahan mempunyai risiko yang lebih besar menderita penyakit degeneratif
pada usia yang relatif muda dibandingkan bayi lahir dengan berat normal (Barker
et al. 1993), oleh karena itu penanggulangan masalah gizi hanya pada anak
balita dan usia sekolah dianggap terlambat dan kurang efisien.
Pemenuhan kebutuhan gizi manusia dapat diperoleh melalui sumber hewani
maupun nabati. Pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan
untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai
keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan
bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki
kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang
mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi.
Wanita hamil dan menyusui membutuhkan asupan gizi tambahan dan
energi yang cukup (kalori) untuk kebutuhan kesehatan tubuh dan pertumbuhan
bayi. Pemenuhan kebutuhan gizi yang baik selama masa kehamilan dan
menyusui dapat mendukung metabolisme tubuh ibu dalam memelihara berat
badan, kadar gula darah, dan tekanan darah sehingga dapat menghindarkan
pengaruh negatif terhadap ibu dan bayi. Pemenuhan kebutuhan gizi selama
kehamilan dapat diperoleh dengan mengkonsumsi pangan hewani seperti ikan,
salah satunya adalah ikan lele, karena ikan lele memiliki kandungan gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti sumber energy, protein, lemak, kalsium
Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup
tinggi, dalam tubuh ikan tersusun oleh asam amino yang berpola mendekati
kebutuhan asam amino tubuh manusia, selain itu daging ikan mengandung
sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Khomsan 2004).
Ikan lele adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak diminati
serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya
yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh
pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan yang populer di masyarakat adalah lele.
Lele memiliki berbagai kelebihan sehingga termasuk ikan yang paling mudah
diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya pertumbuhannya cepat,
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak
dan kandungan gizinya cukup tinggi (Azhar et al. 2006).
Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan
ikan. Usaha pengolahan tepung tulang ikan memerlukan banyak bahan baku
ikan segar karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung
ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih
sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1982).
Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dapat menjadi suatu
bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama
dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan
menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya, selain itu tepung
ikan juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan biskuit.
Muchtadi (1989) mendefinisikan fortifikasi pangan adalah penambahan satu
atau lebih zat gizi ke dalam bahan pangan. Tujuan utama adalah untuk
meningkatkan konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dan meningkatkan
status gizi populasi. Peran pokok dari fortifikasi pangan adalah mencegah
defisiensi. Dengan demikian dapat menghindari terjadinya gangguan yang
membawa kepada penderita
Usaha untuk memperbaiki gizi buruk pada wanita hamil adalah melalui
asupan nutrisi makanan yang kuat sebelum mereka tahu dirinya hamil, karena
nutrisi yang cukup setelah kehamilan terjadi tidak dapat mengkompensasikan
ketidakcukupan asupan nutrisi selama kehamilan. Meski dalam jumlah sekecil
apapun kekurangan nutrisinya. Salah satu cara yang paling efektif untuk
makanan siap saji yang mempunyai kandungan nutrisi yang cukup selama
kehamilan, mudah dalam penyajiannya dan mempunyai masa simpan yang
cukup lama serta berdimensi tidak terlalu besar.
Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan
(BSN 1992). Biskuit dipilih sebagai salah satu jenis makanan yang
diformulasikan sebagai makanan berkalsium tinggi dengan penambahan satu
atau lebih zat gizi untuk meningkatkan status gizi wanita hamil. Pemilihan produk
biskuit didasarkan juga karena biskuit mudah dibuat dalam skala rumah tangga
maupun industri dan dengan pertimbangan penerimaan bagi masyarakat dan
dalam segala tingkatan ekonomi.
1.2 Perumusan masalah
Masalah gizi mikro, terutama kurang energi protein, telah mendominasi
perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Kurang Energi Protein (KEP)
adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak
cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan.
Sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan
(Soekirman 2000).
Semakin tinggi pengetahuan seseorang, khususnya dalam bidang gizi dan
kesehatan maka semakin mengerti pentingnya kesehatan, dan akibatnya
semakin baik kesehatan serta status gizi wanita hamil. Permasalahan lainnya,
pada wilayah pedesaan masih banyak wanita hamil yang kurang memiliki
pengetahuan mengenai kesehatan pada masa kehamilann tersebut.
Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat
pada peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan
konsentrasi protein pengikat nutrisi dalam sirkulasi darah, begitu juga dengan
penurunan nutrisi mikro seperti asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe). Pada
kebanyakan negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh
kekurangan nutrisi dalam kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi
mikro (seperti kasus-kasus gangguan penutupan jaringan saraf tulang belakang
dan kondisi dimana otak janin tidak dapat terbentuk normal) yang dapat dikurangi
hingga 50% dan 85% jika wanita hamil mendapat asupan cukup asam folat
sebelum dan saat proses kehamilan (Soekirman 2000).
Pemenuhan nutrisi mikro asam folat bisa ditemukan pada sayuran hijau
buah-buahan (jeruk, stroberi, alpukat, semangka, nenas), hati sapi dan telur.
Sumber zat besi dapat diperoleh dari sumber nabati dan hewani. Sumber nabati
seperti bayam, brokoli, tahu (kedelai), sereal, kentang, labu-labuan dan
buah-buahan kering (kismis,prune, apricot), sedangkan sumber hewani dapat
diperoleh dengan mengkonsumsi daging merah, daging unggas, hati
(ayam/sapi), telur, ikan (tuna, sarden, salmon), dan kerang-kerangan. vitamin A
adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh
manusia. untuk memperolehnya harus di ambil dari sumber diluar tubuh terutama
dari sumber alam baik nabati maupun hewani. Sumber nabati dapat diperoleh
melalui sereal (jagung kuning), umbi-umbian (ubi kuning, ubi jalar merah, ubi
rambat merah), biji-bijian (kacang ercis dan kacang merah), sayuran (wortel,
gandaria, kacang panjang, kankung, kol cina, labu kuning bakung, bayam, bunkil
daun talas, genjer, daun jambu, daun jambu mete, daun kacang panjang),
buah-buahan (apel, kesemek, mangga, pepaya, pisang, sowa serta sukun). Sumber
hewani dapat diperoleh dengan mengkonsumsi daging ayam, bebek, ginjal
domba, hati sapi, hati ayam, dan berbagai jenis ikan (baronang, cakalang, gabus,
lele, rajungan, dan tongkol), dan telur.
Wanita memerlukan asupan gizi tambahan untuk menjaga kesehatan
selama masa kehamilan dan kesehatan bayi yang akan dilahirkan,
mengkonsumsi pangan hewani seperti ikan dapat membantu memenuhi
kebutuhan zat gizi tersebut. Ikan merupakan sumber energi, lemak protein dan
zat besi yang baik bagi wanita hamil. Kandungan gizi ikan lele disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan zat gizi pada ikan lele.
Jenis Zat Gizi Bagian ikan yang dapat
dimakan Ikan segar utuh
Selain sumber alami, pemenuhan kebutuhan zat gizi mikro selama masa
prenatal biasanya diperoleh dengan mengkonsumsi susu, obat-obatan dan
suplemen kehamilan. Diantara beberapa kehamilan, terdapat ibu yang
mengalami kendala dalam mengkonsumi obat-obatan dan suplemen secara rutin
diantaranya disebabkan oleh alergi, kebiasaan/habit dan menurunnya selera
makan yang dipengaruhi oleh emosi yang tidak stabil.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada penelitian ini akan membuat
formula biskuit dengan memfortifikasikan kebutuhan zat gizi mikro. Pada
penelitian akan dilakukan dengan mengaplikasikan produk dalam bentuk pakan,
kemudian dilakukan pengujian secara biologis (in vivo) dengan menggunakan
mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan. Adapun diagram alir
kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran dan batasan penelitian
1.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas dikemukakan
hipotesis sebagai berikut : 1) Mencit yang bunting dan diberi pakan yang
difortifikasi dengan asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe) mempunyai
perubahan terhadap status gizinya dibandingkan dengan mencit yang tidak
difortifikasi. 2) Tepung ikan lele merupakan sumber pangan hewani yang baik
dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil dan bayi yang dilahirkan. 3)
Konsumsi formula biskuit yang difortifikasi akan mempengaruhi kesehatan
selama kebuntingan.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kontribusi zat gizi pada
formula sampel dengan pemanfaatan tepung ikan lele sebagai alternatif sumber
protein dan difortifikasi dengan asam folat, vitamin A serta zat besi (Fe) terhadap
kebuntingan mencit.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang
pemanfaatan ikan lele dalam bentuk tepung kepala dan tepung badan yang
diolah menjadi produk biskuit yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A, dan
zat besi (Fe) terutama bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi mikro bagi wanita
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan lele (Clarias gariepinus)
Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting
dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah
dibudidayakan dan harganya terjangkau. ikan lele yang banyak dibudidayakan
dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele sangkuriang (Clarias sp). Pada tahun
2005, lele menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas
unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang
dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).
Lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sejenis lele budidaya yang berasal
dari Afrika. Dibandingkan dengan lele lokal (lele kampung Clarias batrachus, dan
Clarias macrocephalus) lele dumbo berukuran lebih besar dan patilnya tidak
tajam sehingga disukai konsumen. Kelemahannya adalah dagingnya lunak dan
mudah hancur bila digoreng. Nama "dumbo" diberikan karena ukurannya yang
lebih besar daripada rata-rata lele lokal Asia Tenggara. Secara alami ikan lele
dumbo banyak ditemukan di berbagai tempat di Afrika dan Timur Tengah. Ikan
jenis ini menyukai air tawar yang tenang serta kubangan buatan manusia,
bahkan mampu bertahan hidup dalam saluran air buangan. Ikan ini sekarang
dibudidayakan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sebagai sumber pangan.
Persilangannya dengan lele lokal Asia Tenggara telah dilakukan untuk
memperbaiki kualitas daging dan telah dibudidayakan dengan nama sama.
(Anonim 2011b)
Lele termasuk ke dalam Kerajaan Animalia, Fillum Chordata, Kelas
Actinopterygii, Ordo Siluriformes, famili Clariidae, Genus Clarias dan spesies
C.gariepinus. Ikan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies
berbeda, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan
Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar,
sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo
adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah
dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004
(Mahyuddin 2007).
Ikan lele dumbo varietas sangkuriang memiliki bentuk tubuh memanjang,
hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan
mandibula dalam, masing-masing terdapat sepasang kumis, hanya kumis bagian
mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele
berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan
bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan
sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada
sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil, patil lele ini
tidak beracun (Suyanto dan Rachmatun 2007).
Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang
busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nokturnal
karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap.
Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau
tempat-tempat yang terlindungi (Suyanto dan Rachmatun 2007).
Menurut Astawan (2008) lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di
Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat
pernafasan tambahan yang disebut arborescent, sehinga mampu hidup dalam
air yang oksigennya rendah.
Ikan lele dumbo memiliki perbedaan sifat jika dibandingkan dengan ikan lele
lokal yang berasal dari Indonesia. Perbedaan terletak pada ukuran ikan lele
dumbo lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat, warna kulit lebih gelap dan
relatif lebih hitam, gerakan ikan lele dumbo lebih agresif, serta ikan ini tidak
memiliki racun pada patilnya (Suyanto 1990 diacu dalam Utama 2008).
Terdapat sekitar 55–60 spesies anggota marga Clarias, dari jumlah itu di
Asia Tenggara kini diketahui sekitar 20 spesies lele, kebanyakan di antaranya
baru dikenali dan dideskripsi dalam 10 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri
terdapat enam jenis ikan lele yang yang dikembangkan (Anonim 2011a) yaitu :
1) Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera
Barat), ikan maut (Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan).
2) Clarias teysmani, dikenal dengan sebutan lele kembang (Jawa Barat),
kalang putih (Sumatera Barat).
3) Clarias melanoderma, dikenal dengan sebutan lele wais (Jawa Tengah), ikan
duri (Sumatera Selatan), dan ikan wiru (Jawa Barat).
4) Clarias nieuhofi, yang juga dikenal dengan ikan hindi (Jawa), limbat
5) Clarias loiacanthus, juga dikenal dengan istilah ikan keli (Sumatera Barat),
ikan penang (Kalimantan Timur).
6) Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai ikan lele dumbo (lele domba), king
catfish yang berasal dari Afrika.
Ikan lele dumbo memiliki rendemen daging sekitar 35% dari keseluruhan
tubuhnya, ikan jenis ini memiliki bagian kepala dan tulang yang cukup besar yaitu
kepala sekitar 27,49% dan tulang sebesar 14,61%, secara utuh, rendemen dari
ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Bagian ikan Kandungan (%)
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi
sebagai penambahan jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai
pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi daging ikan lele disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi gizi daging ikan lele
Senyawa Jumlah (%)
Karbohidrat (by- different) 0,26 0,14
persen. Hal ini dipengaruhi oleh proses pemisahan bagian daging badan yang
dilakukan dengan proses fillet dan pemisahan bagian kulit. Ikan lele segar
memiliki asam amino lengkap yang dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh.
Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Susunan asam amino esensial ikan lele
Asam amino Kandungan protein (%)
2.2 Hewan percobaan mencit (Mus mucuslus)
Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan
untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari berbagai macam bidang
ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Pemanfaatan hewan
percobaan menurut pengertian secara umum ialah untuk penelitian yang
mendasarkan pengamatan aktivitas biologi tergantung pada bidang ilmu yang
dibina dan lingkungan apa suatu laboratorium bernaung sehingga pemanfaatan
hewan percobaan ini akan mengarah ke suatu tujuan khusus. Kesamaan filogeni
antara manusia dengan primata mendorong para ilmuwan memilih hewan
primata sebagai model dalam percobaan laboratorium. Akan tetapi karena dari
segi pengadaannya sulit dan pemeliharaannya juga memerlukan biaya yang
besar maka mencit (Mus mucuslus) dapat dipilih sebagai alternatif (Malole dan
Pramono 1989).
Hewan percobaan digunakan untuk menguji keamanan atau efek samping
dari suatu bahan kimia atau alami yang sering dibubuhkan pada bahan. Tujuan
akhir dari pengujian adalah untuk keselamatan manusia maka hewan percobaan
yang digunakan adalah hewan-hewan yang mempunyai sifat-sifat respon biologi
dan adaptasi mendekati manusia. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyusun
Tabel 5 Data biologis mencit (Mus musculus)
Hasil Pengamatan Parameter
Lama hidup 1-2 tahun, bisa mencapai 3 tahun
Lama produksi ekonomis 9 bulan
Lama bunting 19-21 hari
Kawin sesudah beranak 1-24 jam
Umur sapih 21 hari
Umur dewasa kelamin 35 hari
Umur dikawinkan 8 minggu (jantan dan betina)
Siklus kelamin poliestrus (birahi) 4-5 hari
Lama estrus 12-24 jam
Saat perkawinan Waktu estrus
Berat lahir 0,5-1 g
Berat dewasa 20-40 g jantan dan 18-35 betina
jumlah anak perkelahiran Rata-rata 6 ekor bisa sampai 15 ekor
Kecepatan pertumbuhan 1 gram/hari
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Mencit pada umumnya adalah binatang yang aktif pada malam hari
(nocturnal). Mencit bila diperlakukan dengan halus akan mudah dikendalikan,
sebaliknya bila diperlakukan dengan kasar mereka akan menggigit. Mencit dapat
mencapai umur 1-3 tahun tetapi terdapat perbedaan besar usia maksimum
dalam berbagai galur tikus putih terutama karena perbedaan dalam kepekaan
terhadap penyakit (Malole dan Pramono 1989).
Mencit yang digunakan di laboratium umumnya ditempatkan dalam kotak
yang terbuat dari plastik dan diberi alas kandang secukupnya, kotak tersebut
diberi tutup berupa kawat. Alas kandang yang baik, dapat berupa sekam padi
atau serbuk gergaji, bila digunakan serbuk gergaji harus bebas debu, bila
digunakan sekam padi harus diperhatikan kebersihannya agar tidak
terkontaminasi urin dan feses (Smith dan Mangkoewijojo 1988).
Mencit yang dipelihara sebagai hewan percobaan biasanya diberikan
makanan berupa pelet dalam jumlah tanpa batas. Minuman harus selalu tersedia
pada kandang tikus putih, tempat minum biasanya menggunakan botol yang
terbuat dari kaca, dari botol tersebut tikus putih dapat minum melalui pipa gelas.
Botol dan selang harus dibersihkan minimal satu atau dua kali dalam seminggu
(Smith dan Mangkoewijojo 1988).
2.3 Tepung ikan
Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan
dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak
dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan
ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara
pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan
kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan pengeringan
mekanis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
daging ikan. Kadar air pada daging ikan merupakan faktor penentu daya simpan
ikan, pengurangan kadar air pada ikan akan membantu menghambat proses
pembusukan. Dengan proses pengeringan secara terus menerus, maka proses
pembusukannya akan berhenti sehingga tepung akan lebih tahan terhadap
bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pengeringan ikan menjadi tepung ikan
selain menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan
suhu tinggi (Moeljanto 1982).
Tepung ikan merupakan sumber kalsium (Ca) dan phosphor (P) dengan
kandungan vitamin B dan mineral yang tinggi. Disamping memiliki kandungan
serat yang rendah, pada tepung ikan lele juga terdapat kandungan trace element
seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto
1982).
Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah pencincangan,
pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang
baru saja diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah disimpan,
terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan.
Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya.
Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan
komposisi kimia pada ikan segar, yaitu air, protein, lemak, mineral, dan vitamin
serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Setelah mengalami pengolahan,
komposisi kimia tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya
pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia
tertentu terutama dalam pemanasan (thermolprocessing) (Sunarya 1990).
Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku
yang digunakan dan cara pengolahannya. Sebagai pedoman, tepung ikan yang
Tabel 6 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan
kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air
tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis
jamur (mold) dapat tumbuh pada tepung ikan dengan kadar air seperti ini.
Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar
12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan
mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Kadar mineral tepung
akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan
tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat.
Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah
yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah
berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak
mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan
protein sebesar 60–65%.
2.4 Protein
Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung
unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul
protein juga mengandung fosfor, belerang, serta ada pula jenis protein yang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga.
Kualitas protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang
dikandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologi tinggi atau
bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino
esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan (Almatsier,
2001). Oleh karena itu, semakin lengkap kandungan asam amino esensial yang
biologinya, maka semakin tinggi kualitas protein yang terdapat dalam bahan
makanan tersebut.
Protein merupakan zat gizi makro yang dibutuhkan tubuh untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Protein penting bagi kehidupan
manusia, mulai dari masa anak-anak, remaja yang sedang tumbuh, pada masa
hamil dan menyusui pada wanita dewasa, orang yang sakit dan dalam taraf
penyembuhan serta orang dewasa dan lansia. Protein juga berfungsi sebagai
pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh, serta memberikan tenaga jika
keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Suharjo dan
Kusharto 1992). Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang
paling erat hubungannya dengan proses kehidupan. Semua hayat hidup sel
berhubungan dengan zat gizi protein. Nama protein berasal dari kata Yunani
yaitu protebos yang artinya pertama atau terpenting (Almatsier 2001).
Di dalam sel protein terdapat sebagai protein struktural maupun sebagai
protein metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel
dan tidak dapat diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein
metabolik ikut serta dalam reaksi-reaksi biokimiawi dan mengalami perubahan
bahkan mungkin distruksi ataupun sintesis protein baru. Protein metabolik dapat
diekstraksi tanpa merusak integritas struktur sel itu sendiri (Almatsier 2001).
Di dalam tubuh protein juga mengalami siklus, yang artinya protein
dipecah menjadi komponen-komponen yang lebih kecil yaitu asam amino dan
atau peptida. Terjadi pula sintesa protein baru untuk mengganti yang lama.
Praktis tidak ada sebuah molekul protein yang disintesa untuk dipakai seumur
hidup. Semuanya akan dipecah dan diganti dengan yang baru dengan laju yang
berbeda-beda tergantung jenis dan keperluannya dalam tubuh (Winarno 1997).
Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya.
Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah
besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan
menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang
peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial
pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino
esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam
amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan
mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Ikan
mempunyai nilai biologis yang tinggi.
2.5 Fortifikasi asam folat
Asam folat merupakan salah satu dari kelompok vitamin B, merupakan zat
yang larut dalam air dan cepat rusak bila terpapar panas. Folat berasal dari
Bahasa Latin folium (artinya daun) yang umumnya mengandung banyak zat folat.
Asam folat dapat ditemukan secara alami pada sayuran hijau seperti bayam,
brokoli, pok coy, asparagus. Kini asam folat dibuat secara sintetis sebagai
suplemen atau ditambahkan sebagai fortifikasi makanan tambahan seperti sereal
dan susu. Penelitian awal yang dilakukan Lucy Wills pada tahun 1931
menyatakan bahwa asam folat sebagai nutrisi penting untuk mencegah anemia
selama kehamilan (Untoro 2002).
Asam folat memiliki dua efek fisiologis utama yaitu sebagai kofaktor enzim
sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang berperan
dalam replikasi sel. Disamping itu asam folat juga dibutuhkan untuk mengubah
homosistein menjadi metionin yang berperan pada sintesa protein. Asam folat
penting dalam pembentukan sel-sel baru dan pemeliharaan sel, khususnya
dalam kehamilan, karena pada masa itu terjadi pertumbuhan sel-sel baru
dengan sangat pesat. Asam folat sangat penting terutama pada masa-masa
awal kehamilan yaitu dalam replikasi sel, karena pada masa itu sistem saraf bayi
sedang terbentuk (Untoro 2002).
Asam folat adalah turunan vitamin B kompleks (B-9) yang berguna untuk
mengurangi risiko cacat bawaan pada bayi (neural tube defects-NTD), spina
bifida dan anenchepaly. Ibu hamil atau perempuan yang tengah merencanakan
kehamilan, dianjurkan mengonsumsi makanan mengandung folat. Sebab, neural
tube defects terjadi pada masa kehamilan belum disadari, yaitu antara minggu
kedua hingga keempat masa pertumbuhan janin (Anonim 2004)
Sumber folat dapat diperoleh secara sintetik pada suplemen makanan atau
makanan terfortifikasi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan
vitamin dan mineral lain. Dalam bentuk tunggal, khasiat kegunaan yang disetujui
antara lain membantu memelihara kesehatan tubuh; suplementasi asam folat
untuk wanita hamil berperan dalam pertumbuhan janin dan memelihara
kesehatan tubuh. Sedangkan dalam bentuk campuran dengan vitamin, atau
mineral lain khasiat kegunaannya antara lain membantu memenuhi kebutuhan
2.6 Fortifikasi zat besi (Fe)
Menurut Husain et al, (1989) konsumsi zat gizi yang sangat rendah
merupakan faktor utama yang menyebabkan keadaan kurang gizi. Hal tersebut
dapat disebabkan karena konsumsi pangan yang rendah atau pangan yang
dikonsumsi kurang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Salah satu
cara peningkatan konsumsi zat-zat gizi adalah dengan peningkatan kosumsi zat
gizi yang dapat dicapai dengan peningkatan mutu gizi pangan itu sendiri, seperti
dengan cara fortifikasi pangan dengan zat gizi tertentu. Fortifikasi makanan
bermanfaat sekali terutama dalam pemberian tambahan zat gizi mikro seperti
vitamin dan mineral. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan
tidak mengubah rasa, warna, bau dan penampakan bahan pangan pembawa.
Senyawa besi yang larut adalah yang paling mudah diserap, namun zat besi ini
juga sangat mudah bereaksi sehingga sering menimbulkan efek yang tidak
dikehendaki (Husaini et al. 1989).
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih jenis zat besi sebagai
fortifikan yaitu keamanannya, harganya terjangkau, stabil (sifat kimianya tidak
berubah-ubah), nilai biologinya tinggi (bioavailability), reaksi terhadap senyawa
lain dan efikasinya dalam meningkatkan kadar hemoglobin (Husaini et al. 1989).
2.7 Fortifikasi vitamin A
Fortifikasi vitamin A adalah penambahan zat gizi mikro vitamin A ke dalam
bahan pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan mutu konsumsi
vitamin A yang ditambahkan dalam rangka memperbaiki status gizi mikro dari
masyarakat yang mengkonsumsinya. Secara umum fortifikasi vitamin A bertujuan
untuk : (1) menjaga agar vitamin A tetap berada dalam jumlah yang signifikan
dalam pangan; (2) mencegah defisiensi vitamin A dalam populasi yang besar
atau kelompok berisiko defisiensi vitamin A (orang tua, ibu hamil, vegetarian, dan
anak-anak); (3) meningkatkan kualitas gizi produk makanan; dan (4) sebagai
sarana teknologi pangan sehingga dapat dihasilkan pangan yang bisa disubtitusi
dengan pangan lain (Lotfi et al. 1996).
Bentuk vitamin A komersial yang paling penting adalah vitamin A asetat dan
vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retinol atau karoten dapat dibuat
secara komersial untuk ditambahkan dalam pangan. Ada beberapa pangan
sebagai pembawa vitamin A seperti minyak dan lemak, gula, garam, teh, sereal,
dan MSG (Lotfi et al. 1996). Beberapa pangan yang sudah difortifikasi disajikan
Tabel 7 Pangan potensial untuk fortifikasi
Pangan Potensial Fortifikan
Garam Yodium, besi
Susu, margarin Vitamin B1, B2, niacin, besi
Gula, MSG, teh Vitamin A dan D
Makanan bayi dan cookies Zat Besi
Campuran sayuran dan asam amino, protein Vitamin dan mineral
Sereal siap saji Vitamin dan mineral
Minuman diet Vitamin dan mineral
Larutan enteral dan parenteral Vitamin dan mineral
Sumber : Mejia (2002)
2.8 Biskuit
Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan
(BSN 1992). Biskuit terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu biskuit keras, crackers,
cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari
adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya
bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Crackers adalah
jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau
pemeraman. Bentuk crackers pipih, rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan
relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan
tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi
lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992
Karakteristik Syarat Mutu
Energi (Kal/100 g) Minimum 400
Jenis tepung Terigu
Bau dan rasa Normal, tidak tengik
Warna Normal
2.8.1 Bahan Baku
Bahan-bahan utama dalam pembuatan biskuit adalah gula, lemak, tepung,
dan air. Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan
yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan yang berfungsi sebagai pelembut
tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai
pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah terigu, susu, air dan
putih telur. Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula,
margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).
1) Tepung terigu
Tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain
dan pendistribusi bahan lain tersebut agar merata serta berperan sebagai
pembentuk cita rasa dalam adonan kue (Matz dan Matz 1978). Tepung
yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu.
Tepung yang cocok untuk biskuit dan kue-kue kering adalah jenis tepung
soft protein (8-9%), karena sifat gluten yang dimilikinya kurang baik sehingga
cocok untuk biskuit, cake dan kue kering yang tidak menghendaki
terbentuknya gluten (Labib 1997).
Terigu mengandung protein sebesar 7-22%. Minimal terigu tersusun dari
lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease
yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang
larut dalam alkohol 70-90% dan glutenin yang larut dalam asam atau basa
tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema 1996). Adanya
air dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat
ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin
dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible
maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang
pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno
1997). Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang
maka dipilih tepung terigu berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar
gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih
banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang
2) Gula
Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis,
pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna pada biskuit
melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan
harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket
dan menempel terus pada cetakan, biskuit menjdi keras, dan rasanya akan
terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit
adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau
gula pasir (Matz dan Matz 1978).
3) Telur
Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dan lesitin
yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak
terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz 1978). Menurut
Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin
dan chepalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.
4) Mentega
Mentega merupakan lemak hewani yang biasa digunakan untuk memberi
efek shortening dengan memperbaiki struktur fungsi seperti volume
pengembangan, tekstur dan kelembutan serta flavour (Matz dan Matz 1978).
Mentega dan margarin merupakan emulsi air dalam minyak (W/O). margarin
atau lemak nabati dapat memberikan volume biskuit yang rendah dan
membentuk butiran yang kasar.
5) Susu
Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna,
pembentukan flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih
banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai
daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan
energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz
1978).
6) Bahan Pengembang
Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leaving agent) adalah
untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan
gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam
kue). Menurut Wheat Associates (1981) diacu dalam Rieuwpassa (2005)
fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2
lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan
mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan
remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan
sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartat, fosfat dan
sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking
powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan
sebesar 0,47% dan dengan rentang antara 0,04% sampai dengan 1,77%.
Sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam resep biskuit,
dan rata-rata digunakan antara 0,18% sampai dengan 1,92%.
7) Garam
Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang
digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formulasi biskuit
menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal
kecil (halus) untuk mempermudah pelarutannya (Matz dan Matz 1978).
Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama
jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang relatif rendah
akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat
protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula
yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak.
8) Air
Dalam pengolahan produk, air digunakan sebagai media dan katalis reaksi
yang terjadi dalam adonan, air juga berfungsi untuk membentuk adonan dan
mempengaruhi tekstur produk.
2.8.2 Proses pembuatan biskuit
Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim
(creaming methode) dan all in methode. Pada metode krim bahan-bahan tidak
dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan
pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan
essence, dimasukkan susu, diikuti penambahan garam yang sebelumnya telah
dilarutkan dalam air. Pada metode all in, semua bahan dicampur secara
langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup
Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari gula,
lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food processor
berkecepatan tinggi sampai mengembang, setelah mengembang ditambahkan
secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk
adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus
diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan
pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun
sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan kurang elastis dan
mudah patah (Sunaryo 1985).
Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar
agar tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat
penting dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit
yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang
ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air
yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan
lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya. Lama pengadukan
yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau
lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu
yang baik selama pengadukan antara 25-40 0C (Manley 1998).
Alat yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi.
Alat pengaduk (mixer) sangat berperan terhadap sifat reologi dari adonan dan
biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara lain: vertical
spindle mixers, high speed mixers, weigh mixers, cotinuous mixers, small batch
mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis
biskuit yang akan dibuat (Manley 1998).
Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai
keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven.
Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang
agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo1985).
Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah
pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan
tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1% (Whiteley 1971).
Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang diantara 25 menit
sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Makin sedikit
kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih
tinggi (177-204 0C). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada suhu 220 0C
dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan 1983). Biskuit yang dihasilkan segera
didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya
gula dan lemak (Sunaryo 1985).
Setelah proses pemanggangan selesai, proses selanjutnya adalah
pendinginan yang bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat.
Pendinginan juga dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena
sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair
sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan
gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley 1998).
2.9 Daya cerna protein
Penentuan nilai gizi suatu bahan pangan tidak hanya dilihat dari kandungan
nutrisi di dalamnya saja, tetapi juga dapat dilihat sejauh mana nutrisi tersebut
dapat digunakan oleh tubuh. Sifat fisik dan sifat kimia suatu produk dapat
mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh. Secara fisik, semakin keras
suatu bahan akan menyebabkan menurunnya daya cerna protein oleh tubuh,
karena semakin kuat ikatan kompleks yang menyusun bahan tersebut. Secara
kimia daya cerna protein biasanya dipengaruhi oleh adanya senyawa anti gizi
seperti inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989).
Analisis daya cerna protein bisa dilakukan melaui dua cara, yaitu kimia (in
vitro) dan biologis (in vivo). Salah satu metode biologis yang dapat digunakan
adalah indikator Protein Efficiency Ratio (PER). PER adalah perbandingan
anatara kenaikan berat badan dengan jumlah protein yang dimakan, penentuan
ini biasanya dilakukan pada tikus yang masih tumbuh. Prinsip dari penentuan
PER adalah menganggap bahwa semua protein yang dimakan digunakan untuk
pertumbuhan. Beberapa jenis mutu cerna protein dalam bahan pangan disajikan
Tabel 9 Mutu cerna protein dalam bahan pangan
Sumber protein Mutu cerna (%)
Telur 97
Daging, Ikan 94
Kacaang Tanah 94
Jagung, Sereal 70
Millet 79
Wheat Whole 86
Wheat Flour, White 96
Rice Cereal 75
Meize 85
Susu, keju 95
Rice (Polished) 88
Tepung Kedelai 86
Beans 78
Isolat Protein Kedelai 95
Oatmeal 86
Gluten Gandum 99
Wheat Cereal 77
Peas 88
3. METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September
2010. Pembuatan tepung ikan dan pengolahan formula biskuit bertempat di
Laboratorium Pengolahan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia dan fisik tepung ikan dilakukan
bertempat di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, LPPM IPB. Pemeliharaan mencit menggunakan kandang metabolik
dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo dan
formula biskuit diantaranya adalah ember dan baskom plastik sebagai
penampung, timbangan untuk menakar kebutuhan bahan, panci presto (presto
pan) bertenaga listrik dengan kapasitas 20 liter yang dipakai untuk pemasakan
awal daging ikan segar agar menjadi lebih lumat, kain kasa dan hidrolik pres
dengan kapasitas maksimum 6 kg yang digerakan dengan tenaga listrik yang
digunakan untuk mengurangi kandungan air pada ikan lele sebelum dikeringkan,
grinder listrik merk Nasional dengan diameter filter sebesar 3 mm yang
digunakan untuk menghaluskan ikan sebelum dikeringkan, grinder juga
digunakan untuk mencetak formula biskuit menjadi produk akhir dalam bentuk
pelet, gambar produk pelet dan formula biskuit tepung dapat dilihat pada
Lampiran 7. Blender listrik 3 speed merk Philips dengan kapasitas 2 liter yang
digunakan untuk menghaluskan serpihan ikan kering agar menjadi tepung ikan.
Oven dan loyang aluminium sebagai wadah pengeringan untuk pengeringan
akhir, oven yang digunakan dalam penelitian adalah oven dengan merk
Mammert dengan spesifikasi suhu antara 30-1050C, dengan kapasitas
pengeringan maksimal 3 lapisan, untuk setiap lapisan mampu menampung
loyang ukuran 25x25 cm, gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pada hewan percobaan, peralatan yang digunakan adalah kandang
metabolik yang telah memenuhi syarat kesehatan dan keamanan dengan ukuran
kandang 20x20x20 cm yang terbuat dari stainless stell dan dilengkapi dengan