ABSTRACT
MUDITA NATANIA. Dog’s Distemper and Parvo Diseases through Clinical Approachment, Study at Animal Hospital of Bogor Agricultural University.
Under direction of ABDULGANI AMRI SIREGAR and RETNO WULANSARI.
Dog’s viral diseases, such as Distemper and Parvo have a high morbidity and mortality rate. There is no cure, the treatment is only based on the clinical signs which veterinarian could see. Vaccination is the only way to prevent these viral diseases. Based on Animal Hospital Bogor Agricultural University’s data, in Parvo case, pure breed dogs have a higher incidence rate than local and mix breed dogs. Then the age of infected dogs under 1 year with the highest incidence rate at age 3-6 months, whereas the male gender has a higher incidence rate than female. For the case of Distemper, mix breed dogs have a higher incidence rate compared with pure breed dogs. Age of Distemper infected dogs are varied between 2 months to 1 year and there is no gender specific has the higher-level events.
Study which is conducted at Animal Hospital Bogor Agricultural University to obtain secondary data of the Distemper and Parvo suspects, as comparison to another secondary data of Bogor’s climate. Changes of rainfall amount as one of weather elements can indirectly affect the incidence of disease Parvo and Distemper, but has no specific pattern. This is seen in both Parvo and Distemper cases, but the number of Parvo cases more than Distemper because CPV is more resistant due to the environment and easily mutate.
KEJADIAN
PENYAKIT
DISTEMPER
DAN
PARVO
PADA
ANJING
MELALUI
PENDEKATAN
KLINIS,
STUDI
DI
RUMAH
SAKIT
HEWAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
MUDITA
NATANIA
FAKULTAS
KEDOKTERAN
HEWAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
SKRIPSI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kejadian Penyakit
Distemper dan Parvo pada Anjing melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah
Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Mudita Natania
ABSTRACT
MUDITA NATANIA. Dog’s Distemper and Parvo Diseases through Clinical Approachment, Study at Animal Hospital of Bogor Agricultural University.
Under direction of ABDULGANI AMRI SIREGAR and RETNO WULANSARI.
Dog’s viral diseases, such as Distemper and Parvo have a high morbidity and mortality rate. There is no cure, the treatment is only based on the clinical signs which veterinarian could see. Vaccination is the only way to prevent these viral diseases. Based on Animal Hospital Bogor Agricultural University’s data, in Parvo case, pure breed dogs have a higher incidence rate than local and mix breed dogs. Then the age of infected dogs under 1 year with the highest incidence rate at age 3-6 months, whereas the male gender has a higher incidence rate than female. For the case of Distemper, mix breed dogs have a higher incidence rate compared with pure breed dogs. Age of Distemper infected dogs are varied between 2 months to 1 year and there is no gender specific has the higher-level events.
Study which is conducted at Animal Hospital Bogor Agricultural University to obtain secondary data of the Distemper and Parvo suspects, as comparison to another secondary data of Bogor’s climate. Changes of rainfall amount as one of weather elements can indirectly affect the incidence of disease Parvo and Distemper, but has no specific pattern. This is seen in both Parvo and Distemper cases, but the number of Parvo cases more than Distemper because CPV is more resistant due to the environment and easily mutate.
©
Hak
Cipta
milik
IPB,
tahun
2012
Hak
Cipta
dilindungi
Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KEJADIAN
PENYAKIT
DISTEMPER
DAN
PARVO
PADA
ANJING
MELALUI
PENDEKATAN
KLINIS,
STUDI
DI
RUMAH
SAKIT
HEWAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
MUDITA
NATANIA
Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS
KEDOKTERAN
HEWAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
LEMBAR
PENGESAHAN
Judul : Kejadian Penyakit Distemper dan Parvo pada Anjing Melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor
Nama : Mudita Natania NRP : B04080099 Program Studi : Kedokteran Hewan Disetujui, drh. H. Abdul Gani A. S., M.Si
Pembimbing I
Dr. drh. Retno Wulansari, MS Pembimbing II Diketahui,
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah
ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Kejadian Penyakit
Distemper dan Parvo pada Anjing melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah
Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor. Anjing tidak hanya dianggap sebagai
hewan peliharaan, namun sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu, kesehatan
anjing menjadi prioritas utama pemiliknya. Penyakit Distemper dan Parvo
memiliki tingkat mortalitas yang tinggi pada anjing sehingga perlu diketahui lebih
banyak akan kejadian penyakit viral tersebut beserta keterkaitannya dengan
keadaan cuaca. Skripsi ini juga ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk meraih
gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Orang tua penulis, drh. Porindra Henrata Arief dan drh. Wiana Teravani atas
cinta kasih, doa, dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini,
khususnya selama proses penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapakan kepada kakak tersayang, Irma Nirmala, SE. dan Khema Vimala,
SE., atas dukungan moril dan materilnya yang senantiasa diberikan.
2. Drh. H. Abdulgani Amri Siregar, MS. dan Dr. drh. Retno Wulansari, MS.
selaku dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan, arahan, ilmu yang
diberikan kepada penulis serta selalu menyediakan waktu bagi penulis
selama proses penulisan skripsi ini.
3. Drh. Mokhamad Fahrudin, Ph.D selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik, masukan, dan ilmu untuk menyempurnakan penulisan
skripsi ini.
4. Pihak Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor dan Stasiun Klimatologi
Baranangsiang Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB atas
5. Sahabat selama di FKH IPB, M. Suryaputra, Dama Ayu Rani, Alvi Nur
Mayliana, Fatma Dewi P., Yayuk Sri P., dan Bachtiari Hary P., atas
persahabatan selama berjuang bersama meraih cita-cita di FKH.
6. Teman-teman Keluara Cemara, Shanty Nathalia M, SE., Kristian Edo
Zulfamy, Fahrul Irianto, Inessya Feronica, S.Pt., Susi Handayani, S.Kom.,
Hafiz Furqonul A, S.KH., Misran, S.TP., Virza M, S.TP., Ivan Taufik, Ivan
Daniel, Ryanda Rahmat, dan Anggi Maniur Hutasoit, S.Si. atas semangat
dan canda yang diberikan kepada penulis.
7. Teman bermain, Wisnu Febry P, Anang Fachri A, Hendra Gustra, Adi
Suseno, I. Adly, Irwan dan Dian atas canda tawa dan kebersamaan yang
diberikan kepada penulis.
8. Lunie Isamulia, ST., Kezia Miliani P, Bsc Acc Fin., Jane Santoso, B.SN dan
Julia atas kebersamaannya sejak sekolah dasar sampai sekarang.
9. Teman-teman Avenzoar 45 atas kebersamaannya selama berada di FKH 45.
10. Setiap pihak yang turut membantu penulis dalam proses penulisan skripsi
dan selama masa perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2012
RIWAYAT
HIDUP
Penulis bernama lengkap Mudita Natania, dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 15 Desember 1989. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari
pasangan drh. Porindra Henrata Arief dan drh. Wiana Teravani. Penulis memulai
pendidikan formal di SD Kristen IV BPK Penabur Jakarta pada tahun 1996,
kemudian dilanjutkan di SMP Kristen V BPK Penabur Jakarta pada tahun 2002.
Pendidikan SMA penulis diselesaikan di SMA Kristen III BPK Penabur
Jakarta dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian
Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut
Pertanian Bogor. Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa
Panahan IPB, Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa
Akuatik FKH IPB, dan Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB Departemen
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………...………... xii
DAFTAR GAMBAR ...xiii
DAFTAR LAMPIRAN...xiv
PENDAHULUAN ………... 1
Latar Belakang ………...………... 1
Tujuan ………...…………... 3
Manfaat ………... 3
TINJAUAN PUSTAKA ………... 4
Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor ...4
Virus ...4
Canine Distemper Virus (CDV) ... Etiologi ... Patogenesa ... Gejala Klinis dan Diagnosa ... Perubahan Patologis ... Terapi dan Pencegahan ... Canine Parvovirus (CPV) ... Etiologi ... Patogenesa ... Gejala Klinis dan Diagnosa ... Perubahan Patologis ... Terapi dan Pencegahan ... 5 5 7 7 9 11 11 11 12 13 15 16 Cuaca ...17
BAHAN DAN METODE ………... ……... 18
Waktu dan Tempat ...18
Metode ...18
HASIL DAN PEMBAHASAN ………... …... 19
Kasus Distemper ...20
Kasus Parvo ...22
SIMPULAN DAN SARAN ………... ……... 26
Simpulan ...26
Saran ...26
DAFTAR
TABEL
Halaman
1 Jumlah Kejadian Kasus Parvo dan Distemper serta Curah Hujan selama
Juli 2009 hingga Juni 2011 ...19
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1 Struktur Virion dari Morbilivirus …………......6
2 Canine Distemper Virus ………......6
3 Ulas Darah Badan Inklusi CDV ……...9
4 Pneumonia akibat Infeksi CDV ...10
5 Histopatologi Badan Inklusi CDV pada Organ ...10
6 Canine Parvovirus ...12
7 Patologi Anatomi CPV ………... 15
8 Histopatologi Organ akibat CPV ...16
9 Diagram Ras Anjing yang Terinfeksi CDV ...20
10 Diagram Umur Anjing yang Terinfeksi CDV ...21
11 Diagram Jenis Kelamin Anjing yang Terinfeksi CDV ...21
12 Grafik Kejadian Kasus Distemper dan Curah Hujan ...22
13 Diagram Ras Anjing yang Terinfeksi CPV ...23
14 Diagram Umur Anjing yang Terinfeksi CPV ...23
15 Diagram Jenis Kelamin Anjing yang Terinfeksi CPV ...24
16 Grafik Kejadian Kasus Parvo dan Curah Hujan …………... 24
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
1 Data Pasien Suspect Distemper dan Parvo RSH-IPB
... 31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gaya
hidup
masyarakat
yang
semakin
modern
dan
individualis
membuat
manusia
mencari
“teman”
yang
dapat
disayangi
dan
menemaninya,
maka
dari
itu
memelihara
hewan
dapat
dikatakan
sebagai
trend
terutama
masyarakat
perkotaan.
Survey
pada
tahun
2008
di
Amerika
memperoleh
hasil
bahwa
45
juta
keluarga
yang
memelihara
anjing,
sehingga
anjing
menepati
posisi
kedua
hewan
peliharaan
di
dunia.
Menurut
data
kepemilikan
anjing
pada
tahun
2006,
menunjukkan
bahwa
171
juta
anjing
dipelihara
di
seluruh
dunia.
Anjing
sebagai
“teman”,
penjaga,
pekerja,
dan
dapat
membantu
walaupun
dapat
menjadi
sumber
alergi
(Hayes
2010)
.
Menurut
Anderson
et
al.
(1992)
dan
Serpell
(1991),
pemilik
hewan
peliharaan
memiliki
tingkat
resiko
yang
lebih
rendah
mengalami
penyakit
jantung
koroner
serta
gangguan
fisik
yang
bersifat
minor
(batuk,
pusing,
dan
demam)
dibandingkan
yang
tidak
memiliki
hewan
(Wells
2011).
Selain
keuntungan
fisik
yang
dapat
diperoleh
pemilik
hewan,
keberadaan
hewan
peliharaan
juga
dapat
membuat
pemilik
terhindar
dari
stress.
Hewan
peliharaan
yang
sudah
termasuk
kedalam
anggota
keluarga
tersebut
kesehatannya
menjadi
perhatian
utama
keluarga.
Maka
dari
itu,
profesi
dokter
hewan
sangat
dibutuhkan.
Klinik
dokter
hewan
dan
Rumah
Sakit
Hewan
(RSH)
menjadi
tujuan
dari
pemilik
untuk
menangani
dan
memperoleh
pengetahuan
akan
penyakit
yang
diderita
peliharaan
tersebut.
Salah
satu
RSH
yang
terdapat
di
Bogor
adalah
Rumah
Sakit
Hewan
Institut
Pertanian
Bogor
yang
merupakan
salah
satu
Unit
Penunjang
Akademik.
RSH-IPB
ini
didirikan
pada
tanggal
9
Mei
2000.
Secara
struktural
berada
langsung
dibawah
Rektor
IPB.
Fungsi
dari
RSH-IPB
adalah
menunjang
pendidikan
kedokteran
hewan,
serta
memberikan
pelayanan
kesehatan
kepada
hewan
selaku
pasien,
masyarakat
pemilik
hewan,
dan
lingkungan.
RSH-IPB
terdiri
dari
RSH
Penentuan
diagnosa
dilakukan
melalui
sinyalemen,
anamnesa,
gejala
klinis,
pemeriksaan
fisik,
dan
ditambah
dengan
uji
laboratorium
bila
diperlukan.
Pemeriksaan
penyakit
viral
dapat
didiagnosa
melalui
gejala
penyakit
yang
khas,
namun
terkadang
diperlukan
uji
laboratorium
baik
darah
maupun
rapid
test
kit
yang
spesifik
menguji
penyakit
tertentu.
Banyak
pemilik
yang
sudah
mengerti
perlunya
dilakukan
vaksinasi
dalam
pemeliharaan
hewannya,
namun
sebagian
kecil
masih
tidak
menghiraukan
pentingnya
vaksinasi
tersebut.
Pentingnya
vaksinasi
salah
satunya
adalah
mencegah
infeksi
virus
karena
belum
ditemukan
obat
yang
benar-
benar
menyembuhkan.
Derajat
keparahan
penyakit
viral
dan
jaringan
yang
terinfeksi
virus
sangat
bervariasi
tergantung
jenis
virus
yang
menginfeksi
dan
imunitas
tubuh
inang.
Contoh
penyakit
viral
dengan
tingkat
morbiditas
dan
mortalitas
tinggi
pada
anjing
adalah
distemper
dan
parvo.
Distemper
disebabkan
oleh
Canine
Distemper
Virus
(CDV)
yang
menyerang
saluran
respirasi,
pencernaan,
dan
urogenital.
Canine
Distemper
Virus
bereplikasi
pada
saluran
tersebut
60-90
hari
pasca
infeksi.
Replikasi
virus
dapat
terjadi
pada
organ
limfoid
dan
sistem
saraf
pusat
(Nelson
&
Couto
1998).
Kejadian
penyakit
ini
jarang
ditemukan
di
Bogor,
namun
dapat
terjadi
pada
bulan
tertentu.
Penyakit
lainnya
adalah
parvo,
ada
dua
tipe
dari
Parvovirus
yang
menginfeksi
anjing,
yaitu
Canine
Parvovirus-1
(CPV-1)
dan
Canine
Parvovirus-2
(CPV-2).
Canine
Parvovirus-1
dikenal
sebagai
“minute
virus
of
canine”,
yang
bersifat
nonpatogen
namun
terkadang
dapat
menyebabkan
penyakit
pada
anak
anjing.
Canine
Parvovirus-2
adalah
virus
yang
menyebabkan
parvoviral
enteritis
umum
yang
muncul
5-12
hari
pasca
infeksi
via
anal-oral
(Nelson
&
Couto
1998).
Dibandingkan
dengan
penyakit
Distemper,
penyakit
ini
lebih
sering
terjadi
di
sepanjang
tahun
namun
juga
pada
beberapa
bulan
tertentu.
Menurut
Forman
et
al.
(2008),
kesehatan
hewan
dapat
dipengaruhi
oleh
keadaan
iklim
melalui
empat
cara,
yaitu
penyakit
yang
berhubungan
dengan
panas
dan
stress,
keadaan
cuaca
yang
ekstrem,
adaptasi
sistem
produksi
hewan
terhadap
lingkungan
yang
baru,
dan
munculnya
atau
muncul
kembalinya
penyakit
infeksius.
lama
(Sudrajat
2009).
Menurut
Lakitan
dalam
Sudrajat
2009,
hujan
merupakan
unsur
fisik
lingkungan
yang
paling
beragam
sesuai
waktu
dan
tempat
sehingga
klasifikasi
iklim
untuk
wilayah
Indonesia
dikembangkan
dengan
menggunakan
curah
hujan
sebagai
kriteria
utama.
1.2 Tujuan
Studi
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
kejadian
penyakit
yang
disebabkan
oleh
virus
Distemper
dan
Parvo
pada
anjing
selama
tahun
2009
hingga
2011
yang
dikaitkan
dengan
cuaca
pada
saat
terjadinya.
1.3 Manfaat penelitian
Melalui
hasil
studi
ini
diharapkan
dapat
diperoleh
informasi
mengenai
korelasi
keadaan
cuaca
dengan
kejadian
penyakit
viral.
Informasi
ini
akan
berguna
sebagai
landasan
untuk
studi
serupa
dengan
penyakit
viral
lainnya
maupun
unsur
lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rumah
Sakit
Hewan
Institut
Pertanian
Bogor
Rumah
Sakit
Hewan
Institut
Pertanian
Bogor
(FKH-IPB)
didirikan
pada
tanggal
9
Mei
2000
berdasarkan
SK
Rektor
IPB
No.
052/K13.12.1/KP/2000
yang
dikelola
oleh
Tim
Manajemen
Rumah
Sakit
Hewan
Pendidikan
FKH-IPB.
Secara
operasional
diresmikan
oleh
Presiden
RI
Abdurahman
Wahid
pada
tanggal
11
Oktober
2000.
Tugas
dari
RSH-IPB
adalah
menunjang
pendidikan
kedokteran
hewan,
serta
memberikan
pelayanan
kesehatan
kepada
hewan
selaku
pasien,
masyarakat
pemilik
hewan,
dan
lingkungan
(
RSH-IPB
2000
).
Visi
dari
RSH-IPB
adalah
menjadi
Rumah
Sakit
Hewan
rujukan
spesialis
terpilih
di
Indonesia.
Misi
RSH-IPB
adalah
menunjang
pendidikan
kedokteran
hewan
dan
menyiapkan
pendidikan
dokter
hewan
spesialis
bersamaan
dengan
pemberian
pelayanan
kesehatan
kepada
hewan
selaku
pasien
dan
masyarakat
pemilik
hewan.
2.2
Virus
Virus
bukan
sel
dan
bukan
mikroorganisme
karena
tidak
memiliki
organel
fungsional
dan
bergantung
sepenuhnya
pada
inang
untuk
memproduksi
energi
dan
sintesis
makromolekulnya.
Virus
hanya
memiliki
satu
tipe
asam
nukleat
fungsional
antara
DNA
atau
RNA,
tidak
pernah
keduanya,
dan
dibedakan
dari
mikroorganisme
lain
karena
memiliki
dua
fase
yang
sangat
berbeda
selama
siklus
hidupnya.
Fase
hidup
virus
di
luar
sel
inang
merupakan
fase
untuk
ditransmisikan
dan
virus
tidak
melakukan
metabolisme.
Di
dalam
sel
inang,
merupakan
fase
untuk
bermetabolisme
aktif
dan
membentuk
bagian-bagian
virus
tersebut
(Murphy
et
al.
1999).
Tujuan
virus
hidup
bukan
untuk
menyebabkan
penyakit
pada
manusia,
hewan,
tumbuhan
ataupun
organisme
lain,
namun
virus
terseleksi
oleh
alam
untuk
meningkatkan
virulensi
yang
merupakan
proses
dimana
ekologi
dan
evolusi
biologis
memainkan
peranan
penting
sehingga
kemunculan
virus
dan
penyakitnya
tidak
memperjelas
banyak
rincian
infeksi
virus
mengenai
biologi
sel
dan
molekulnya,
imunologi,
morfogenesis
virus,
dan
topik
lainnya.
Penyebab
dan
proses
munculnya
penyakit
viral
perlu
dipelajari
secara
genetis
dan
ekologis
dimana
beberapa
faktor
berhubungan
dengan
ekologi
dan
evolusi
biologis
dari
agen
patogen,
inang,
dan
hubungan
antara
patogen
dengan
inang
yang
tidak
dapat
dihindarkan
(Lunet
2012).
Keadaan
lingkungan
dapat
mempengaruhi
infektivitas
virus
karena
mempengaruhi
protein
permukaan
yang
akan
terdenaturasi
dalam
waktu
beberapa
menit
pada
suhu
55
hingga
60
oC.
Denaturasi
ini
mengakibatkan
virion
tidak
mampu
melakukan
penempelan
pada
sel,
penetrasi,
dan/atau
uncoating
(Murphy
et
al.
1999).
Banyak
penyakit
yang
disebabkan
oleh
virus
pada
anjing,
diantaranya
adalah
Parvo
dan
Distemper.
Salah
satu
cara
untuk
mendiagnosa
penyakit
viral,
diantaranya
dengan
melakukan
pemeriksaan
terbentuk
atau
tidaknya
badan
inklusi
virus
tersebut.
Badan
inklusi
merupakan
akumulasi
dari
komponen
struktur
viral
(
Sharma
&
Adlakha
2009
).
Menurut
Murphy
et
al.
(1999),
badan
inklusi
virus
yang
terbentuk
pada
sel
yang
terinfeksi
terdapat
secara
intrasitoplasma
seperti
penyakit
Rabies
dan
Pox,
serta
intranuklear
seperti
penyakit
Herpes
dan
Parvo.
Beberapa
virus
seperti
Canine
Distemper
Virus
dan
Porcine
cytomegalovirus
,
membentuk
baik
badan
inklusi
intranuklear
maupun
intrasitoplasmik
pada
sel
yang
sama.
Pencegahan
yang
dilakukan
hanya
pemberian
vaksin
secara
berkelanjutan,
namun
hal
ini
tidak
menutup
kemungkinan
terjadinya
infeksi.
2.3
Canine
Distemper
Virus
(CDV)
2.3.1
Etiologi
Pada
tahun
1809,
Edward
Jenner
adalah
orang
pertama
yang
menjelaskan
penyebab
dan
gejala
klinis
dari
CDV
namun
etiologi
virus
didemonstrasikan
oleh
Carré
(
MacLachlan
&
Edward
2011
).
Henri
Carr
é
dianggap
sebagai
penemu
Canine
Distemper
Virus
pada
tahun
1905
(Murphy
2008).
Pada
tahun
1988,
virus
yang
berbeda
namun
mirip
dengan
CDV,
yaitu
Phocine
Distemper
Virus
(PDV),
diisolasi
menunjukkan
gejala
klinis
yang
serupa
dengan
distemper
pada
anjing
(Mahy
&
Marc
2010).
Taksonomi
CDV
berdasarkan
International
Committee
on
Taxonomy
of
Viruses
(ICTV)
pada
tahun
2009
adalah
Ordo
:
Mononegavirales
Famili
:
Paramyxoviridae
Subfamili
:
Paramyxovirinae
Genus
:
Morbilivirus
Spesies
:
Canine
distemper
virus
Diameter
dari
virionnya
adalah
150-350
nm
dan
memiliki
nukleokapsid
yang
dikelilingi
oleh
amplop
dari
lipid.
Virion
sangat
sensitif
terhadap
dehidrasi,
panas,
deterjen,
pelarut
lemak,
formaldehida,
dan
agen
oksidasi
(Mahy
&
Marc
2010).
Gambar
1
Struktur
virion
dari
Morbilivirus
(Mahy
&
Marc
2010)
.
Strain
CDV
tertentu
sangat
virulen
dan
neurotropik,
seperti
“
Snyder
Hill
”
strain
yang
menyebabkan
polioencephalomyelitis
dan
strain
A75/17
dan
R252
yang
menyebabkan
demyelinasi
sistem
saraf
pusat
(
Côté
2011
).
Virus
ini
menyerang
hewan
yang
termasuk
famili
Canidae
(anjing,
dingo,
serigala,
rubah),
Mustelidae
(musang,
cerpelai,
sigung,
berang-berang),
Procyonidae
(rakun,
panda),
beberapa
Viveridae
(binturong),
sejumlah
besar
Felidae
(singa,
macan,
cheetah),
dan
Tayassu
tajacu
(
MacLachlan
&
Edward
2011
).
2.3.2
Patogenesa
Penyakit
ini
mudah
menyebar
selama
masa
infeksi
terutama
melalui
rute
aerosol,
namun
tidak
zoonosis
(
Côté
2011
).
Saluran
respirasi
adalah
saluran
utama
tempat
masuknya
virus
dan
juga
menginfeksi
via
saluran
pencernaan
melalui
kontaminasi
pakan
dan
air.
Eksudat
dari
hidung
mengandung
virus
dapat
menyebar
di
udara
melalui
bersin,
lalu
virus
tersebut
masuk
ke
dalam
saluran
hidung
anjing
lain
yang
dapat
diinfeksi
untuk
bereplikasi
serta
menyebar
di
dalam
tubuh
(Legendre
2005).
Anjing
yang
umumnya
terinfeksi
adalah
anjing
yang
tidak
divaksinasi,
tidak
memperoleh
kolostrum
dari
induk
yang
sudah
memiliki
imunitas,
pemberian
vaksinasi
yang
tidak
tepat,
imunosuppresi,
dan
sejarah
interaksi
dengan
hewan
yang
terinfeksi
(
Nelson
&
Couto
1998
).
Anjing
dengan
umur
3
sampai
6
bulan
yang
paling
umum
terinfeksi,
anjing
mengalami
demam
seminggu
pasca
infeksi
virus
namun
biasanya
tidak
teramati.
Dua
minggu
pasca
infeksi,
virus
menyebabkan
kerusakan
ringan
pada
sel-sel
saluran
pernapasan,
mata,
paru-paru,
dan
saluran
pencernaan
(Legendre
2005).
Virus
bereplikasi
pada
makrofag
epitel
saluran
pernapasan
atas
lalu
terbawa
melalui
jaringan
limfatik
lokal
menuju
limfonodus
pada
tonsil,
retrofaringeal,
dan
bronchial
(
Côté
2011)
.
Cell-associated
viremia
berakibat
infeksi
pada
seluruh
jaringan
limfatik
yang
disertai
dengan
infeksi
pada
saluran
respirasi,
pencernaan,
epitel
urogenitalia,
sistem
saraf
pusat,
dan
saraf
mata.
Penyakit
menyebar
seiring
dengan
replikasi
virus
tergantung
pada
tingkat
imunitas
tubuh
yang
spesifik
selama
periode
infeksi
(
Kahn
2005
).
2.3.3
Gejala
Klinis
dan
Diagnosa
Gejala
umum
yang
teramati
oleh
pemilik
antara
lain
depresi,
kelemahan,
eksudat
dari
mata
dan
hidung,
batuk,
muntah,
atau
diare,
namun
pada
infeksi
yang
sudah
parah
dapat
teramati
gangguan
saraf
seperti
kejang
atau
ataksia
(
Côté
2011
).
Gejala
tersebut
merupakan
infeksi
kombinasi
antara
virus
dan
bakteri.
Virus
distemper
yang
bersifat
subklinis
dan
dalam
jangka
waktu
yang
lama
juga
dapat
menginfeksi
kulit,
sehingga
telapak
kaki
anjing
menjadi
keras
dan
menebal,
dan
disebut
sebagai
penyakit
“hard
pad”
.
Selain
itu,
virus
juga
menyerang
sistem
kekebalan
tubuh
sehingga
merusak
kemampuan
tubuh
untuk
melawan
infeksi
(Legendre
2005).
Temuan
pemeriksaan
fisik
dapat
berupa
suara
napas
yang
keras
saat
dilakukan
auskultasi,
kaheksia,
dehidrasi,
dan
peradangan
pada
mata
(anterior
uveitis,
optik
neuritis,
degenerasi
retina,
atau
keratokonjungtivitis)
jika
infeksi
CDV
bersifat
sistemik
(
Côté
2011
).
Setengah
dari
total
anjing
yang
terinfeksi
CDV
mengalami
kerusakan
saraf
karena
CDV
tertarik
dan
bereplikasi
cepat
pada
jaringan
saraf
(Legendre
2005).
Kerusakan
pada
saraf
mengakibatkan
kejang
yang
disebut
sebagai
“chewing-gum”
seizures
karena
membuka
dan
menutup
mulut
dengan
keras
secara
berulang-ulang.
Gejala
lain
yang
menunjukkan
infeksi
CDV
adalah
mioklonus
kepala,
leher,
atau
tungkai
(
Côté
2011
).
Mioklonus
adalah
kontraksi
ritmik
yang
sangat
kuat
pada
otot
rangka
(Widodo
et
al.
2011).
Kerusakan
pada
sumsum
tulang
dapat
mengakibatkan
kelemahan
dan
paralisis,
namun
kerusakan
pada
saraf
juga
dapat
menyebabkan
gerakan
tidak
terkoordinasi
dari
kaki
(Legendre
2005).
Pada
anjing
yang
pulih
dari
infeksi
CDV
dimungkinkan
mengalami
anosmia
persisten
atau
kehilangan
daya
penciuman
(
Côté
2011
).
Salah
satu
kasus
yang
dipaparkan
oleh
Richards
et
al.
(2011)
ditemukan
pada
9
tahun
anjing
jenis
Jack
Russell
Terrier
betina
sudah
steril
dan
divaksinasi
di
kerusakan
saraf
termasuk
kebutaan
selama
1
minggu.
Tidak
ada
gejala
batuk,
eksudat
pada
mata
atau
hidung,
maupun
suara
abnormal
paru-paru
seperti
yang
umumnya
dilaporkan
oleh
dokter
hewan.
Pemeriksaan
postmortem
menghasilkan
diagnosa
bahwa
anjing
tersebut
terjangkit
Canine
Distemper
(CD).
Neuritis
pada
mata
yang
didiagnosa
sebelumnya
bukanlah
temuan
yang
menunjukan
infeksi
CDV
karena
hanya
terdapat
gejala
gangguan
saraf.
Anamnesa
pemilik,
sejarah
penyakit,
gejala
klinis
yang
teramati,
dan
pemeriksaan
fisik
diperlukan
untuk
menetapkan
diagnosa
tetapi
alat
bantu
diagnosa
juga
dapat
digunakan.
Alat
bantu
tersebut
antara
lain
radiografi
thoraks,
uji
serum
antibodi,
uji
protein
cairan
serebrospinal,
atau
PCR
(
Polymerase
Chain
Reaction
)
untuk
CDV
pada
darah,
serum,
atau
cairan
serebrospinal
(
Côté
2011
).
Menurut
Rosenfeld
dan
Sharon
(2010)
CDV
sangat
jarang
dapat
diidentifikasi
melalui
pemeriksaan
darah
dan
hanya
bisa
ditemukan
pada
anjing
dengan
infeksi
sangat
akut.
Pada
infeksi
akut
tersebut,
badan
inklusi
sangat
jelas
tampak
menggunakan
pewarnaan
Diff-Quik
ataupun
Romanowsky
(Gambar
3)
dan
terlihat
sebagai
inklusi
homogen
berwarna
merah
keunguan
yang
pekat.
Pada
pewarnaan
Wright-Giemsa,
badan
inklusi
sulit
terlihat
jelas
karena
berwarna
ungu
muda
yang
menyerupai
pewarnaan
sitoplasma
neutrofil
dan
eritrosit.
Gambar
3
Ulas
darah
badan
inklusi
CDV
(a)
dari
sumsum
tulang
di
intrasitoplasma
sel
darah
putih
bersifat
eosinofilik
(b)
pada
neutrofil
dan
limfosit
dengan
pewarnaan
Romanowsky
(VDIC;
Kapil
et
al.
2008
).
2.3.4
Perubahan
Patologis
Kerusakan
jaringan
terjadi
karena
infeksi
sekunder
oleh
bakteri.
Kelainan
patologis
baik
secara
anatomi
maupun
histologi
pada
anjing
yang
mati
akibat
terinfeksi
CDV
dapat
ditemukan
terutama
pada
organ
pernapasan
(Gambar
4).
Gambar
4
Pneumonia
akibat
infeksi
CDV
(King
2010).
b
a
Gambar
5
Histopatologi
badan
inklusi
CDV
pada
organ
(a)
sitoplasma
epitel
vesica
urinaria
(b)
nukleus
sel
glial
otak
(c)
intrasitoplasmik
dan
intranuklear
sel
Sertoli
(d)
intrasitoplasmik
epitel
saluran
empedu
(King
2010).
Canine
Distemper
Virus
akan
membentuk
badan
inklusi
intrasitoplasmik
dan
intranuklear
pada
sel
(Murphy
et
al.
1999).
Badan
inklusi
tersebut
terutama
ditemukan
dalam
sitoplasma
sel
epitel
pada
saluran
respirasi
dan
urinaria
(Aiello
1998),
namun
juga
dapat
ditemukan
pada
sel
otak,
sel
Sertoli,
dan
epitel
saluran
empedu
(Gambar
5).
2.3.5
Terapi
dan
Pencegahan
Infeksi
sekunder
oleh
bakteri
dapat
ditangani
dengan
pemberian
antibiotik
berspektrum
luas,
sedangkan
untuk
gejala
diare
dan
muntah
dapat
diberikan
antidiare,
antiemetik,
infus
cairan
elektrolit
untuk
mengatasi
dehidrasi
(
Côté
2011
).
Anjing
akan
terlihat
normal
selama
2
sampai
3
minggu
dengan
pemberian
antibiotik
hingga
munculnya
penyakit
pada
otak
dan
sumsum
tulang
belakang
jika
mengalami
kerusakan
saraf.
Pemberian
antikonvulsan
dapat
dilakukan
untuk
mengurangi
kejang.
Perawatan,
pemberian
pakan
yang
berkualitas
baik
dan
disukai,
serta
lingkungan
yang
bebas
stress
akan
membantu
meningkatkan
selera
makan
dan
menjadi
sehat.
Penanganan
yang
dapat
dilakukan
sangat
terbatas,
sehingga
vaksinasi
merupakan
cara
yang
dapat
dilakukan
untuk
mencegah.
Vaksin
untuk
mencegah
Distemper
mulai
diberikan
saat
anak
anjing
disapih.
Jika
induknya
sudah
divaksinasi
atau
sembuh
dari
Distemper,
maka
antibodi
terhadap
Distemper
akan
diberikan
kepada
anaknya
di
2.4
Canine
Parvovirus
(CPV)
2.4.1
Etiologi
Pada
tahun
1928,
Verge
dan
Christoforoni
menemukan
Feline
Panleukopenia
Virus
yang
merupakan
Parvovirus
pertama,
sedangkan
Canine
Parvovirus
baru
ditemukan
pada
tahun
1978
oleh
Carmichael,
Appel,
dan
Parish
yang
merupakan
Canine
Parvovirus-2
(Murphy
2008)
.
Merupakan
virus
DNA
yang
tidak
beramplop
sehingga
tahan
di
lingkungan
(Gambar
6)
(Steiner
2008).
Taksonomi
CPV
berdasarkan
International
Committee
on
Taxonomy
of
Viruses
(ICTV)
pada
tahun
2009
adalah
Famili
:
Parvoviridae
Subfamili
:
Parvovirinae
Genus
: Parvovirus
Spesies
: Canine Parvovirus
Gambar
6
Canine
Parvovirus
(Brooks
2001).
Virus
ini
dapat
bertahan
di
lingkungan
selama
6
bulan
karena
sulit
untuk
membunuh
virus
dari
tanah
yang
sudah
terkontaminasi
tanpa
membunuh
semua
vegetasi
yang
ada
(Legendre
2005).
Virus
akan
lebih
tahan
lama
di
lingkungan
pada
musim
dingin
dan
sudah
resisten
terhadap
desinfektan
(Côté
2011).
Ada
dua
tipe
dari
Parvovirus
yang
menginfeksi
anjing,
yaitu
Canine
Parvovirus-1
(CPV-1)
dan
Canine
Parvovirus-2
(CPV-2).
Canine
Parvovirus-1
dikenal
sebagai
“minute
virus
of
canine”,
yang
bersifat
nonpatogen
namun
terkadang
dapat
menyebabkan
penyakit
gastroenteritis
hemoragi
yang
parah
pada
anjing
karena
hanya
bereplikasi
pada
anjing.
Selama
beberapa
tahun,
CPV-2
menunjukkan
laju
mutasi
yang
tinggi
sehingga
muncul
varian
CPV-2a
dan
CPV-2b
serta
dapat
memperluas
range
inangnya
ke
kucing
(Battilani
et
al.
2007).
Anjing
ras
Doberman
Pinschers,
Rottweilers,
Labrador
Retrievers,
American
Ctaffordshire
Terriers,
German
Shepherd,
dan
Alaskan
Malamute
lebih
rentan
terinfeksi
CPV
dan
menunjukkan
gejala
yang
lebih
parah
daripada
ras
lainnya
(Legendre
2005;
Steiner
2008).
Sedangkan
ras
Toy
Poodle
dan
Cocker
Spaniels
lebih
tahan
terhadap
infeksi
CPV
(Côté
2011).
Faktor
resiko
terinfeksi
Parvo
menurut
Tilley
&
Smith
(1997)
adalah
anjing
di
bawah
umur
3
bulan,
copatogen
(parasit,
virus,
dan
bakteri),
CPV-2
yang
diikuti
Canine
coronavirus,
dan
kepadatan
serta
sanitasi
yang
buruk
sehingga
menurunkan
keberhasilan
vaksinasi.
2.4.2
Patogenesa
Canine
Parvovirus
adalah
virus
yang
mudah
menyebar
yang
menyebabkan
gastroenteritis
dan
miokarditis
pada
anjing.
Karakteristik
infeksinya
bersifat
akut
sehingga
gejala
akan
muncul
dalam
waktu
yang
singkat
setelah
virus
masuk
(Zeng
et
al.
2008).
Virus
ini
umum
ditemukan
di
lingkungan
sehingga
sebagian
besar
anjing
dewasa
sudah
memperoleh
kekebalan
melalui
vaksinasi
atau
infeksi
sebelumnya.
Infeksi
pada
anjing
melalui
jaringan
limfoid
oronasal
dan
menebar
melalui
siste