• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koksidiosis Pada Sapi Potong Di Sekolah Peternakan Rakyat (Spr) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Koksidiosis Pada Sapi Potong Di Sekolah Peternakan Rakyat (Spr) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KOKSIDIOSIS PADA SAPI POTONG

DI SEKOLAH PETERNAKAN RAKYAT (SPR)

KECAMATAN KASIMAN KABUPATEN BOJONEGORO

TARYU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Koksidiosis Pada Sapi Potong di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

TARYU. Koksidiosis Pada Sapi Potong di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ELOK BUDI RETNANI.

Koksidiosis merupakan penyakit penting yang disebabkan oleh protozoa genus Eimeria dan menyebabkan kerugian ekonomi pada industri peternakan sapi potong dan perah di berbagai negara di dunia. Penelitian cross sectional dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai April 2015 pada sapi potong di SPR Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi koksidiosis berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, manajemen pengembalaan dan musim, mengidentifikasi spesies Eimeria serta menduga faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian koksidiosis pada sapi potong di SPR Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.

Jumlah total sampel tinja sebanyak 533 ekor yang dikumpulkan dua kali yaitu pada musim kemarau (263 sampel) dan musim hujan (270 sampel). Sampel tinja dianalisis menggunakan metode modifikasi McMaster untuk menghitung angka prevalensi dan derajat infeksi, sedangkan pengukuran morfometri ookista menggunakan videomikrometer. Metode pengumpulan data kesehatan hewan dan manajemen peternakan menggunakan kuesioner terstruktur dengan responden peternak yang dipilih secara acak sederhana. Derajat infeksi antar kategori umur, jenis kelamin, manajemen pengembalaan dan musim dianalisis dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis, sedangkan faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap infeksi Eimeria dianalisis dengan menggunakan uji khi-kuadrat dan model regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koksidiosis sapi ditemukan pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro dengan angka prevalensi sebesar 41.7%. Sapi umur kurang dari enam bulan, jantan, digembalakan dan musim hujan memiliki prevalensi paling tinggi berturut-turut sebesar 68.0%, 65.9%, 44.7% dan 53.3%. Eimeria yang menginfeksi terdiri atas 10 spesies yaitu E. subspherica, E. zuernii, E. ellipsoidalis, E. bovis, E. brasiliensis, E. pellita, E. wyomingensis, E. auburnensia, E. canadensis dan E. bukidnonensis. E. bovis menginfeksi dengan prevalensi tertinggi yaitu 77.5% dan derajat infeksi ringan sebesar 603.6 OTGT. Sedangkan E. subspherica menginfeksi dengan prevalensi terendah yaitu 4.5% dan derajat infeksi ringan sebesar 181.3 OTGT. Sebanyak 35.1% infeksi disebabkan oleh satu spesies Eimeria, sedangkan 64.9% terjadi infeksi campuran 2 sampai 6 spesies di setiap sampel.

Terdapat pengaruh yang signifikan (P<0.05) antara sapi umur lebih dari 2 tahun dengan sapi umur kurang dari 6 bulan, umur 6 sampai 12 bulan dan umur 1 sampai 2 tahun, antara jenis kelamin jantan dan betina serta antara musim hujan dan kemarau terhadap jumlah OTGT Eimeria yang menginfeksi. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap infeksi Eimeria terdiri atas umur sapi, jenis kelamin, sistem pengembalaan, sumber air minum dan sistem penyimpanan pakan.

(5)

SUMMARY

TARYU. Coccidiosis in Beef Cattle in ‘Sekolah Peternakan Rakyat’ in Kasiman Subdistrict, Bojonegoro District. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and ELOK BUDI RETNANI.

Bovine coccidiosis is an important disease caused by protozoan, genus of Eimeria resulting in considerable economic losses to the beef and dairy cattle industries in the world. A cross sectional study was conducted during period from August, 2014 to April, 2015 in Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) in Kasiman subdistrict, Bojonegoro district. The study was undertaken to determine the prevalence and infection rate of coccidiosis based on age, sex, pasture management and season categories, to identify the species of Eimeria and associated risk factors with coccidiosis in beef cattle in SPR in Kasiman subdistrict, Bojonegoro district.

A total of 533 individual feces samples (263 samples collected in dry and 270 samples in wet season) were randomly collected. The samples were analized by modification of McMaster method to calculate the prevalence and intencity of infection of coccidiosis. Videomicrometer were used to measure the morfometry of Eimeria oocyst. A questionnaire was completed to record information about animal health and husbandary. The intencity of infection between age, male and female animals, pasture management, dry and wet season were statistically analyzed using a Kruskal-Wallis test. The risk factors assumption were analyzed by chi-square test and multivariate logistic regression models.

The result showed that the highest prevalence of Eimeria was observed in animals aged less than 6 months (68.0%), male in sex (65.9%), pastured (44.7%) and wet season (53.3%). The research indicated that 222 (41.7%) of the examined animals were infected by 10 of Eimeria spp. The species recovered included E. subspherica (4.5%), E. zuernii (15.8%), E. ellipsoidalis (8.1%), E. bovis (77.5%), E. brasiliensis (15.8%), E. pellita (17.6%), E. wyomingensis (18.0%), E. auburnensis (27.9%), E. canadensis (14.4%) dan E.bukidnonensis (41.1%). The highest intencity of infection was found by E. bovis (603.6 OPG) and the lowest intencity of infection was found by E. subspherica (181.3 OPG). A total of 35.1% infection caused by single species of Eimeria, and 64.9% infection caused by mix infection with 2 until 6 species.

There was significantly different (P<0.05) in number of OPG between animals aged more than 2 years with aged less than 6 months, 6 until 12 months and 1 until 2 years between male and female cattle, and between dry and wet season. The present study showed that the prevalences of coccidiosis were affected by the related factors of age and sex host, pasture, source of drinking water and feed container management.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

KOKSIDIOSIS PADA SAPI POTONG

DI SEKOLAH PETERNAKAN RAKYAT (SPR)

KECAMATAN KASIMAN KABUPATEN BOJONEGORO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Koksidiosis Pada Sapi Potong di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro

Nama : Taryu NIM : B252130081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS Ketua

Dr Drh Elok Budi Retnani, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga studi dan tesis ini telah berhasil diselesaikan. Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat. Tema dari studi ini adalah mengenai penyakit parasitik dengan judul Koksidiosis Pada Sapi Potong di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini serta Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan Bapak Drh Fajar Satrija, MSc PhD selaku dosen penguji luar komisi.

Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta Balai Karantina Pertanian Kelas I Jambi dan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani seluruh rangkaian proses seleksi pendidikan magister (S2) di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) atas bantuan dalam penelitian, para peternak di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro, staf laboran di Laboratorium Protozoologi dan Laboratorium Helminthologi FKH IPB, teman-teman pascasarjana serta seluruh pihak yang telah membantu hingga selesainya tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Drh Puji Astuti dan anak-anakku pelita hati, Elang Rimba Muhammad Taras dan Artha Langit Muhammad Taras atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Eimeria spp. 3

Klasifikasi dan Morfologi 3

Siklus Hidup 3

Patogenesis dan Gejala Klinis 4

Epidemiologi Koksidiosis 4

Faktor Risiko Kejadian Koksidiosis 5

Dampak Ekonomi Koksidiosis 6

Pengobatan dan Pengendalian 6

3 METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Desain Penelitian 7

Penghitungan Derajat Infeksi 8

Identifikasi Spesies Eimeria 8

Data Sekunder 8

Analisis Data 8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Prevalensi Koksidiosis 9

Prevalensi Total 9

Prevalensi Berdasarkan Kategori Umur Sapi 9 Prevalensi Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin Sapi 10 Prevalensi Berdasarkan Manajemen Pengembalaan Sapi 10

Prevalensi Berdasarkan Perbedaan Musim 11

Derajat Infeksi 12

Derajat Infeksi Total 12

(12)

Identifikasi Spesies Eimeria spp. 15

Keragaman Spesies Eimeria spp. 15

Komposisi Spesies Eimeria spp. 19

Infeksi Tunggal dan Campuran Eimeria spp. 20 Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Infeksi Eimeria 21

5 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

RIWAYAT HIDUP 33

(13)

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi koksidiosis berdasarkan kategori umur pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 10 2 Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin pada sapi potong di

Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 10 3 Prevalensi koksidiosis berdasarkan manajemen pengembalaan pada sapi

potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 11 4 Prevalensi koksidiosis berdasarkan perbedaan musim pada sapi potong di

Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 11 5 Nilai OTGT koksidiosis berdasarkan kategori umur pada sapi potong di

Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 13 6 Nilai OTGT koksidiosis berdasarkan kategori jenis kelamin pada sapi

potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 13 7 Nilai OTGT koksidiosis berdasarkan manajemen pengembalaan pada

sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman,

Bojonegoro 14

8 Nilai OTGT koksidiosis berdasarkan perbedaan musim pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 15 9 Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan

karakteristik ookista hasil pengamatan 16

10 Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan

karakteristik ookista menurut referensi 17

11 Komposisi, prevalensi dan rataan jumlah OTGT tiap spesies Eimeria pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman,

Bojonegoro 19

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Skema siklus hidup Eimeria spp. 2

2 Hasil identifikasi ookista Eimeria pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner koksidiosis pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat

Kecamatan Kasiman, Bojonegoro 30

2 Data curah hujan, suhu udara dan kelembaban relatif Stasiun Geofisika

Nganjuk Tahun 2014 32

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sapi memiliki peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan terhadap produk pangan hewani, penyediaan lapangan pekerjaan, pemanfaatan limbah sebagai sumber biogas serta peningkatan status sosial masyarakat. Seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi dan pengetahuan masyarakat, permintaan konsumsi produk pangan asal hewan pun turut meningkat. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan populasi sapi potong sebanyak 12.3 juta ekor (BPS RI 2013), turun 16.9% dari hasil sensus tahun 2011 yaitu sebesar 14.8 juta ekor (Kementan-BPS 2011). Hal ini memacu pemerintah untuk meningkatkan industri ternak terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi pengembangan peternakan.

Kabupaten Bojonegoro termasuk kabupaten yang potensial dalam pengembangan ternak sapi. Tercatat populasi sapi potong pada tahun 2013 sebesar 160 037 ekor (BPS KAB 2014). Untuk meningkatkan populasi sapi, pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro menerapkan beberapa strategi di antaranya dengan membentuk Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). SPR dibentuk bekerjasama dengan perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor guna mewadahi para peternak yang ada di kecamatan-kecamatan yang potensial di bidang pembibitan sapi, yaitu kecamatan yang memiliki sekitar 1 000 ekor sapi betina dan minimal 100 ekor sapi jantan (Joko 2014).

Kecamatan Kasiman merupakan satu dari tiga kecamatan tempat didirikannya SPR di Kabupaten Bojonegoro dengan populasi sapi potong pada tahun 2013 sebanyak 6 105 ekor (BPS KAB 2014). Peternak mengelola sapi potong secara tradisional dengan ciri-ciri melibatkan keluarga sebagai pengelola, ternak dipelihara sebagai usaha sampingan dan sebagai tabungan, jumlah kepemilikan sapi sedikit (2 sampai 3 ekor) serta tidak memanfaatkan teknologi modern. Sistem perkandangan yang dipakai berupa intensif dan semi intensif dengan mengandalkan pakan utama berupa rumput hijauan yang ada di sekitar persawahan dan padang pengembalaan hutan jati. Secara umum ternak sapi dipelihara dalam kandang kayu atau di dalam rumah beralaskan tanah. Kotoran sapi dibuang secara langsung di area sekitar kandang atau ke bak penampungan sederhana yang setiap saat tumpahan kotoran dapat mengontaminasi sumber pakan dan air tanah sebagai sumber air minum. Sistem pengelolaan ini dapat memungkinkan terjadinya transmisi penyakit dari lingkungan terinfeksi ke ternak yang sehat.

(16)

2

Coccidia famili Eimeriidae (Soulsby 1986). Spesies Eimeria yang sering menyerang sapi adalah E. bovis, E. zuernii dan E. auburnensis (Lassen 2009). Infeksi Eimeria spp. mengakibatkan terjadinya penurunan produksi daging, gangguan dalam sistem pencernaan, penurunan daya tahan tubuh dan pada infeksi yang parah dapat menyebabkan kematian (Daugschies dan Najdrowski 2005).

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian terkait dengan prevalensi, derajat infeksi, identifikasi spesies dan pendugaan faktor risiko kejadian koksidiosis sapi belum pernah dilakukan di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah :

1. Menentukan prevalensi koksidiosis pada sapi potong berdasarkan tingkat umur, jenis kelamin sapi, manajemen pengembalaan dan musim yang berbeda 2. Menentukan derajat infeksi Eimeria pada sapi potong berdasarkan tingkat umur, jenis kelamin sapi, manajemen pengembalaan dan musim yang berbeda 3. Identifikasi spesies Eimeria

4. Analisis faktor risiko infeksi Eimeria pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Eimeria spp.

Klasifikasi dan Morfologi

Soulsby (1986) mengklasifikasikan Eimeria spp. ke dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidia, ordo Eucoccidiidae, subordo Eimeriinai, famili Eimeriidae dan genus Eimeria. Struktur internal dari ookista yang telah sporulasi merupakan ciri yang dapat digunakan untuk membedakan Eimeria dengan protozoa dari famili Eimiriidae yang lainnya. Ookista Eimeria yang telah sporulasi mengandung 4 sporokista yang masing-masing terdiri atas 2 sporozoit yang menyerupai bentuk pisang (Oluwadare 2004). Eimeria merupakan protozoa yang bersifat obligate intracellular dengan menyerang sel-sel epitel termasuk kelenjar-kelenjar yang berkaitan dengan saluran pencernaan (Makau 2014).

Infeksi Eimeria pada sapi disebabkan sekurang-kurangnya oleh 13 spesies Eimeria, yaitu E. alabamensis, E. auburnensis. E. bovis, E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E. ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E. subspherica, E. wyomingensis dan E. zuernii (Daugschies dan Najdrowski 2005). Infeksi spesies Eimeria yang paling umum menyerang sapi adalah E. bovis, E. zuernii, dan E. auburnensis (Lassen et al. 2009). Perbedaan spesies Eimeria ditentukan menurut ukuran, bentuk dan warna ookista, waktu dan tempat sporulasi, karakter fisiologisnya (Daugschies dan Najdrowski 2005) serta keberadaan mikrofil dan ketebalan dinding ookista (Rind et al. 2000).

Siklus Hidup

Eimeria hanya membutuhkan inang tunggal untuk melengkapi seluruh proses siklus hidupnya yang bersifat langsung (Soulsby 1986). Siklus hidup terjadi di dalam tubuh inang (endogenus) dan di lingkungan (eksogenus). Fase siklus terdiri atas skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Ookista inaktif keluar ke

Fase Eksogenus Sporogoni

Gametogoni Fase Endogenus

Merogoni 2 siklus

(18)

4

lingkungan melalui feses dari hewan tertular serta mengalami sporulasi pada kondisi optimal dalam waktu 2 sampai 7 hari. Selama proses sporulasi, sitoplasma sel akan rusak dan terjadi perkembangan sporozoit di dalam ookista (Soulsby 1986, Daugschies dan Najdrowski 2005, Makau 2014).

Ookista infektif yang termakan inang akan melepaskan sporozoit di dalam usus inang. Selanjutnya memasuki sel epitel usus serta mengalami fase perbanyakan/multiplikasi secara aseksual (skizogoni) membentuk merozoit. Merozoit-merozoit ini kemudian menginvasi lagi sel usus lainnya dan tahapan ini akan berulang 2 atau 3 kali. Setelah mengalami tahapan fase aseksual, merozoit-merozoit berkembang menjadi gametosit jantan (mikrogamet) dan betina (makrogamet). Mikrogamet dan makrogamet mengalami proses fertilisasi untuk menghasilkan zigot. Zigot ini akan terlapisi dinding kista membentuk ookista yang akan keluar melalui tinja ke lingkungan (Makau 2014).

Patogenesis dan Gejala Klinis

Sapi dapat terinfeksi Eimeria melalui ookista yang telah mengalami sporulasi termakan bersama air minum atau pakan. Tingkat keparahan tergantung dari jumlah ookista yang termakan serta faktor umur dan kondisi kekebalan tubuh hewan (Maas 2007). Masa inkubasi terjadi 17 sampai 30 hari setelah infeksi, sapi terinfeksi kadang menunjukkan gejala demam (Makau 2014). Secara umum infeksi mengakibatkan gejala subklinis (Maas 2007).

Eimeria dapat menginduksi terjadinya enteritis pada hewan ternak (Daugschies dan Najdrowski 2005) serta mengakibatkan terjadinya diare. Gejala klinis yang terjadi berupa anoreksia, kehilangan berat badan, pendarahan dan diare. Feses berupa cairan kental berdarah dan mungkin mengandung jaringan mukosa usus dapat ditemukan pada kasus koksidiosis berat (Oluwadare 2004). Kematian dapat terjadi akibat diare parah yang disebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit, pendarahan usus atau adanya infeksi sekunder dari mikroorganisme lain (Quigley 2001). Pedersen (2013) menyebutkan bahwa satu ookista Eimeria dapat menyebabkan kerusakan sebanyak 50 juta sel usus halus. Kerusakan disebabkan oleh akumulasi dari proses peradangan dan gangguan pada lapisan sel yang menyebabkan kebocoran sel dan pendarahan (haemorhagi). Akibatnya, sapi kehilangan banyak darah, air dan protein sehingga proses penyerapan nutrisi tidak efisien.

Koksidiosis merupakan penyakit yang bersifat self-limiting infections atau sembuh secara spontan tanpa pengobatan khusus apabila tahapan multiplikasi Eimeria terlewati. Namun demikian, sapi yang sembuh biasanya bersifat carrier dan menjadi sumber penularan dengan mengeluarkan ookista ke lingkungan (Soulsby 1986). Infeksi berbagai jenis Eimeria tidak menyebabkan terjadinya cross immunity sehingga spesies Eimeria yang lain dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada sapi yang sama (Makau 2014).

Epidemiologi Koksidiosis Pada Sapi

(19)

5 di Arab Saudi sebesar 34.1% (Kasim dan Al-Shawa 1984), di Jepang sebesar 19.3% (Hasbullah et al. 1990) di Turki sebesar 68%, 20.04% (Arslan dan Tuzer 1998, Cicek et al. 2007), di Tabriz, Azerbaijan sebesar 18% (Davoudi et al. 2011), di China 41.4% (Lin et al. 2012), di Nigeria sebesar 67.7% dan 69.1% dilaporkan terjadi di Afrika yaitu di Afrika Selatan sebesar 29 %, 50 % dan 52 % (Matjila dan Penzhorn 2002), di Ethiopia sebesar 68 %, 22.7 % dan 31.9 % (Abebe et al. 2008, Dawid et al. 2012, Alemayehu et al. 2013), di Zimbabwe sebesar 19.8% (Pfukenyi et al. 2007), di Nigeria sebesar 55.1% (Oluwadare 2012), serta di Kenya sebesar 32.8% (Makau 2014). Di benua Amerika, koksidiosis dilaporkan terjadi di Brasil dengan prevalensi sebesar 22.6% (Bruhn et al. 2011).

Di Indonesia, penelitian mengenai koksidiosis telah dilakukan di beberapa perguruan tinggi dan balai penelitian veteriner. Fitriastuti et al. (2011) melakukan pengujian koksidiosis terhadap sampel feses sapi potong yang diambil dari propinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Maluku dengan hasil yang diperoleh berupa 10% negatif, 2% infeksi berat dan 88% infeksi ringan. Hasil survei yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa prevalensi koksidiosis pada sapi potong peternakan rakyat di 6 kabupaten di Jawa Barat sangat bervariasi dengan tingkat prevalensi tertinggi di kabupaten Sumedang (59.2%) dan terendah di kabupaten Tasikmalaya (4.1%), sedangkan kejadian prevalensi koksidiosis di kabupaten Cianjur, Ciamis, Sukabumi dan Subang berkisar antara 19.1% sampai 23.7% (IPB 2012). Survei yang dilakukan oleh Balai Veteriner Subang tahun 2013 menunjukkan tingkat kejadian koksidiosis di Jawa Barat sebesar 47.8% (B-Vet 2013). Koksidiosis dilaporkan terjadi pada sapi perah di Koperasi Peternak Sapi Bandung Selatan (KPBS) dengan prevalensi sebesar 44.8% (Sufi 2015). Namun demikian, penelitian yang telah dilakukan belum meneliti pengaruh perbedaan musim terhadap tingkat infeksi dan prevalensi Eimeria.

Faktor Risiko Kejadian Koksidiosis

(20)

6

Beberapa faktor risiko asal inang yang mempengaruhi kejadian koksidiosis adalah ras, umur dan jenis kelamin. Eimeria umumnya dapat menginfeksi semua ras sapi (Makau 2014), namun penelitian yang dilakukan oleh Oluwadare (2004) menunjukkan bahwa sapi ras Muturu terinfeksi Eimeria dengan angka prevalensi

lebih tinggi dibandingkan sapi ras ‘Ndama. Sapi muda umur kurang dari satu

tahun lebih rentan terinfeksi Eimeria dibandingkan sapi dewasa lebih dari satu tahun (Abebe et al. 2008, Davoudi et al. 2011). Di beberapa industri peternakan sapi perah, sapi jantan relatif lebih mudah terinfeksi Eimeria karena kurangnya perawatan pada sapi jantan dibandingkan sapi betina (Dawid et al. 2012; Heidari dan Gharekhani 2014). Faktor lain yang mempengaruhi koksidiosis adalah kondisi stress yang diakibatkan kehamilan dan laktasi (Pfukenyi et al. 2007)

Dampak Ekonomi Koksidiosis

Koksidiosis dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi terutama di industri peternakan sapi potong dan sapi perah dengan angka kerugian mencapai 400 juta dolar amerika per tahun di seluruh dunia (Abebe et al. 2008). Di Amerika Serikat penyakit ini menimbulkan kerugian mencapai 200 juta dolar amerika per tahun (Oluwadare 2004). Biaya ini sudah termasuk kerugian akibat kematian sapi, pengendalian dan pengobatan termasuk jasa konsultasi dengan petugas kesehatan. Namun demikian, estimasi biaya belum termasuk kerugian akibat pertumbuhan lambat dan efisiensi pakan (Jolley dan Bardsley 2006). Sapi yang mengalami pertumbuhan lambat merupakan sapi yang dapat merugikan secara ekonomi akibat inefisiensi pakan dan perawatan (Daugschies dan Najdrowski 2005).

Pengobatan dan Pengendalian Koksidiosis

Sapi yang terinfeksi Eimeria spp. dapat sembuh secara spontan apabila tahapan multiplikasi parasit dapat terlewati. Pengobatan hanya akan efektif sebelum awal proses multiplikasi, yaitu awal skizon. Beberapa koksidiostat yang sering digunakan untuk mengobati koksidiosis di antaranya sulfadimidine 140 mg/kg bb, Nitrofurazone 15 mg/kg bb, Amprolium 10 mg/kg bb, monensis 2 mg/kg bb (Maas 2007, Makau 2014). Koksidiostat tersebut juga dapat digunakan sebagai profilaksis untuk mengurangi kejadian koksidiosis (Makau 2014).

Perbaikan manajemen dan tata kelola peternakan merupakan metode yang efektif untuk mengendalikan koksidiosis pada peternakan sapi. Tata kelola peternakan tersebut di antaranya perbaikan sanitasi dan higienitas, pemisahan kandang induk dan anak, sistem perkandangan yang cukup pencahayaan dan oksigen, pengaturan kepadatan kandang, pemberian pakan dan minum bebas ookista, rotasi padang pengembalaan serta pengolahan limbah ternak (Oluwadare 2004, Daugschies dan Najdrowski 2005, Lassen 2009, Makau 2014)

(21)

7

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Mega Jaya Dusun Ngantru, Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro

yang terletak antara 7º54’ LS dan 111º 665’ BT dengan ketinggian 107 sampai

245 m dpl. Rangkaian penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2014 sampai April 2015. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Protozoologi dan Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Desain Penelitian

Penelitian observasional ini menggunakan metode cross sectional pada populasi sapi potong sebanyak 650 ekor. Jumlah peternak di lokasi penelitian sekitar 216 orang dengan rata-rata kepemilikan ternak sebanyak 2 sampai 3 ekor. Pengambilan sampel tinja dilakukan secara acak sederhana dengan asumsi derajat kepercayaan sebesar 95%, dugaan nilai prevalensi 50% serta tingkat kesalahan 5% sehingga diperoleh jumlah ukuran contoh (n) sebesar 242 sampel menurut rumus Thursfield (2007), yaitu:

Keterangan:

n = besar ukuran sampel

n* = jumlah sampel pada populasi besar dengan rumus n* = N = Jumlah populasi kecil dan terhingga

p = proporsi kejadian/prevalensi e = galat yang diinginkan

Jumlah peternak yang diambil sampel ternaknya sebanyak 121 orang yang dipilih secara acak sederhana. Setiap peternak yang terpilih diambil minimal 2 ekor sapi sebagai sampel. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada musim kemarau (puncak musim kemarau pada bulan September-Oktober 2014) sebanyak 263 sampel dan musim hujan (puncak musim hujan pada bulan Maret 2015) sebanyak 270 sampel, sehingga total yang diperoleh sebanyak 533 sampel.

Sampel berupa tinja segar yang diambil secara per rektal dan diberi identitas berdasarkan tanggal pengambilan dan kode sampel. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam cool box selama perjalanan dan disimpan di dalam pendingin pada suhu 4 sampai 6 °C. Sampel tinja diperiksa secara kuantitatif untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi serta kualitatif untuk mengidentifikasi spesies Eimeria. Peternak yang terpilih dilakukan wawancara dengan menggunakan metode kuesioner terstruktur. Data yang diambil dari peternak meliputi manajemen peternakan dan status kesehatan ternak.

1.962 p (1-p)

(22)

8

Penghitungan Derajat Infeksi

Penghitungan ookista di dalam tinja dilakukan melalui metode kuantitatif menggunakan kamar hitung McMaster (Zajac dan Conboy 2012). Pemeriksaan ookista Eimeria dilakukan dengan cara menimbang sebanyak 2 gram tinja dari masing-masing sampel individu sapi. Tinja kemudian ditambahkan dengan larutan pengapung gula-garam jenuh (berat jenis 1.28) hingga mencapai volume 60 ml. Setelah dihomogenkan dan disaring dari debris besar, kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Jumlah Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Keterangan :

n = Jumlah ookista terhitung Vt = Volume tinja

Vl = Volume larutan pengapung

Vkh = Volume kamar hitung (McMaster)

Kategori derajat infeksi mengacu pada Lassen dan Jarvis (2009), yaitu derajat infeksi ringan (OTGT kurang dari 1 000), sedang (OTGT 1 000 sampai 5 000) dan berat (OTGT lebih dari 5 000).

Identifikasi Spesies Eimeria

Identifikasi Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar dan bentuk serta keberadaan mikrofil ookista menggunakan videomikrometer pembesaran 400 kali. Bentuk ookista dapat digolongkan menjadi tiga yaitu bentuk bulat dengan nilai indeks (panjang dibagi lebar) sama dengan satu, bentuk ovoid dengan nilai indeks lebih dari satu sampai 1.5 dan bentuk elips dengan nilai indeks lebih dari 1.5. Acuan yang dipakai adalah Soulsby (1986) dan Daugschies dan Najdrowski (2005).

Data Sekunder

Data meteorologis diperoleh dari pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang terdekat di lokasi penelitian yaitu Stasiun Geofisika Nganjuk meliputi pantauan curah hujan, temperatur dan kelembaban relatif.

Analisis Data

(23)

9

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Koksidiosis Prevalensi Total

Kejadian infeksi Eimeria spp. yang ditemukan pada sapi potong di wilayah Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro cukup tinggi, yaitu sebanyak 41.7% (222/533 ekor). Angka prevalensi yang cukup tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh manajemen peternakan dan pola pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian koksidiosis di antaranya tingkat kebersihan kandang, sumber air, sumber pakan, kepadatan ternak, dan kontaminasi tempat pengembalaan oleh ookista (Oluwadare et al. 2004, Rehman et al. 2011, Mitchells 2011, Makau 2014).

Angka prevalensi hasil penelitian lebih tinggi dari survei yang dilakukan oleh IPB (2012) di Jawa Barat sebesar 16.9%. Namun demikian, prevalensi yang ditemukan mendekati hasil survei oleh Balai Veteriner Subang di Jawa Barat yaitu sebesar 47.8% (B-Vet 2013) dan lebih rendah dari survei Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) di 9 Propinsi di Indonesia yaitu sebesar 90% (Fitriastuti et al. 2011). Penelitian yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan adanya prevalensi koksidiosis yang bervariasi seperti di Meksiko sebesar 87.8% (Rodriguez-Vivas et al. 1996), 20% di Turki (Arslan dan Tuzer 1998), 22.6% di Brasil (Almeida et al. 2011), 35% di China (Yu et al. 2011), 31.9% dan 68% di Ethiopia (Alemayehu et al. 2013, Abebe et al. 2008) serta 9.4% di Iran (Heidari dan Gharekhani 2014). Perbedaan prevalensi yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan (agroekologi) dari masing-masing wilayah, kondisi iklim, jenis ras sapi serta perbedaan manajemen dan pola pemeliharaan yang diterapkan di setiap peternakan.

Prevalensi Berdasarkan Kategori Umur Sapi

(24)

10

tahun lebih rentan terinfeksi Eimeria karena tingkat imunitasnya yang masih rendah atau tertular dari sapi yang lebih dewasa.

Tabel 1 Prevalensi koksidiosis berdasarkan kategori umur pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro Umur Jumlah

Prevalensi Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin Sapi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian infeksi Eimeria spp. dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin (P<0.05) (Tabel 2). Sapi jantan memiliki prevalensi lebih tinggi sebesar 65.9%, sedangkan sapi betina terinfeksi Eimeria dengan prevalensi 34.4%. Prevalensi sapi jantan yang lebih tinggi dibanding sapi betina sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria oleh Oluwadare (2004) dan di Iran oleh Heidari dan Gharekhani (2014). Prevalensi yang lebih rendah pada sapi betina kemungkinan dipengaruhi oleh pola perawatan dan pemeliharaan yang berbeda yang dilakukan peternak. Sapi betina lebih diperhatikan dalam hal pemeliharaan, kebersihan dan asupan pakan karena digunakan sebagai sapi indukan yang diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang lebih baik dan banyak. Namun demikian, beberapa penelitian lain menyatakan bahwa sapi betina lebih rentan terinfeksi koksidiosis disebabkan oleh tingkat stres yang lebih tinggi terutama pada saat masa kebuntingan dan melahirkan (Rehman et al. 2011; Heidari et al. 2014).

Tabel 2 Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

Jenis

(25)

11 terjadi pada sapi yang digembalakan diduga terkait erat dengan mekanisme penularan Eimeria spp. secara langsung. Sapi dapat terinfeksi Eimeria spp. karena memakan ookista infektif dari lingkungan terutama melalui air atau pakan yang terkontaminasi tinja (Pedersen 2013). Area pengembalaan di lokasi penelitian merupakan area pengembalaan yang dipakai secara bersama-sama. Patut diduga, tinja dari sapi yang terinfeksi Eimeria mengontaminasi sumber pakan dan sumber air yang ada serta menyebabkan terjadinya infeksi pada sapi-sapi yang lain.

Tingkat kontaminasi padang pengembalaan akan semakin parah apabila induk dan anak disatukan pada waktu dan tempat pengembalaan yang sama. Kepadatan pengembalaan mempengaruhi infeksi, sapi-sapi yang digembalakan dapat mengalami stress akibat over capacity area pengembalaan atau kurangnya hijauan pakan ternak. Sapi yang pertama kali digembalakan (new first-grazers)

mudah terinfeksi di padang pengembalaan yang terkontaminasi ookista (Lassen 2009). Rumput yang berasal dari tempat pengembalaan yang terkontaminasi bisa mengandung ookista infektif dalam jumlah besar meskipun telah disimpan selama delapan bulan (Daugschies dan Najdrowski 2005).

Tabel 3 Prevalensi koksidiosis berdasarkan manajemen pengembalaan pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro Manajemen

Tabel 4 Prevalensi koksidiosis berdasarkan perbedaan musim pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

(26)

12

hujan yang tertinggi yaitu sebesar 676 mm, sedangkan pada bulan September sampai Oktober merupakan puncaknya musim kemarau yang ditandai tidak adanya hujan sedikitpun (curah hujan nol mm). Perbedaan curah hujan ini mempengaruhi penyebaran feses yang mengandung ookista melalui air hujan. Dengan demikian, ookista yang terbawa air hujan menempel pada rumput yang ada di area pengembalaan atau ke sumber air minum dan terminum oleh sapi potong lain yang sehat sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan prevalensi.

Derajat Infeksi Derajat Infeksi Total

Derajat infeksi koksidiosis menunjukkan berat ringannya infeksi berdasarkan penghitungan jumlah ookista tiap gram tinja (OTGT) yang diproduksi oleh Eimeria. Kategori derajat infeksi mengacu pada Lassen dan Jarvis (2009), yaitu derajat infeksi ringan (kurang dari 1 000 OTGT), sedang (1 000 sampai 5 000 OTGT) dan berat (lebih dari 5 000 OTGT). Penghitungan jumlah OTGT Eimeria yang telah dilakukan menunjukkan rataan geometrik OTGT total sebanyak 523.8 OTGT, sehingga derajat infeksi yang terjadi berupa derajat infeksi ringan serta tidak menunjukkan gejala klinis. Selama proses multiplikasi secara aseksual maupun seksual, sistem pertahanan tubuh inang terus berupaya menekan perkembangan Eimeria, termasuk proses pembentukan ookista. Hal ini menjadi dugaan penyebab rendahnya rataan jumlah OTGT yang ditemukan pada sapi potong di lokasi penelitian. Jumlah ookista yang dikeluarkan dari sapi yang terinfeksi dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya mekanisme kekebalan atau resistensi dalam tubuh inang, kepadatan hewan, tingkat stress yang terjadi serta perubahan pola makan (Hasbullah et al. 1990).

Rataan OTGT yang relatif rendah yang ditemukan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Lucas (2006) di Virginia, Amerika Serikat (134 sampai 377 OTGT), Lassen dan Jarvis (2009) di Lithuania (604 OTGT) dan Yu et al. Eimeria dipengaruhi oleh pola pemeliharaan ternak dan manajemen peternakan di masing-masing daerah.

Derajat Infeksi Berdasarkan Kategori umur Sapi

(27)

13 melindungi sapi dari infeksi Eimeria. Namun demikian, faktor stress yang diakibatkan oleh perubahan cuaca, perubahan pola manajemen, kepadatan kandang, kurang asupan nutrisi atau adanya infeksi penyakit lain dapat melemahkan sistem kekebalan dan menyebabkan terjadinya infeksi Eimeria pada sapi dewasa (Daugschies dan Najdrowski 2005).

Tabel 5 Nilai OTGT berdasarkan kategori umur pada sapi potong di Sekolah

huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya beda nyata (P<0.05)

Derajat Infeksi Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin Sapi

Jenis kelamin sapi berpengaruh terhadap derajat infeksi. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (P<0.05) antara jenis kelamin jantan dan betina terhadap jumlah OTGT yang diekskresikan sapi potong di lokasi penelitian. Pada studi ini terlihat bahwa sapi jantan memiliki rataan jumlah OTGT yang lebih tinggi sebesar 1163.4 OTGT dibandingkan dengan rataan jumlah OTGT sapi betina yaitu sebesar 331.9 OTGT (Tabel 6). Rataan jumlah OTGT pada sapi jantan yang lebih tinggi dibanding sapi betina diduga berkaitan dengan sistem kekebalan. Hormon androgen yang diproduksi oleh sapi jantan bersifat menekan sistem kekebalan (Urquhart 1996) serta mempengaruhi innate dan adaptive immunity (Trigunaite et al. 2015). Adanya pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat infeksi sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Makau (2014) pada sapi potong dan sapi perah di Kenya. Namun demikian, Oluwadare (2004) menyatakan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi dan tingkat infeksi Eimeria. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh pola pemeliharaan dan faktor manajemen yang dilakukan di masing-masing peternakan.

Tabel 6 Nilai OTGT berdasarkan kategori jenis kelamin pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

(28)

14

Derajat Infeksi Berdasarkan Manajemen Pengembalaan

Di lokasi penelitian, manajemen pengembalaan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap derajat infeksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (P=0.141) antara sapi yang digembalakan dengan sapi yang tidak digembalakan terhadap jumlah OTGT yang diekskresikan pada sapi potong di lokasi penelitian (Tabel 7). Hal ini memberikan penafsiran bahwa baik digembalakan maupun tidak digembalakan, sapi potong di lokasi penelitian kemungkinan dapat mengekskresikan ookista dengan jumlah yang sama (equal). Meskipun demikian, Rind et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat kemunculan ookista paling tinggi ditemukan pada saat sapi digembalakan (pastured) hingga mencapai 100%. Oluwadare et al. (2010) menyebutkan bahwa padang pengembalaan merupakan sumber utama kontaminan dan penularan ookista Eimeria pada sapi yang lain.

Tabel 7 Nilai OTGT berdasarkan manajemen pengembalaan pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

Manajemen Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

Musim

(29)

15 BMKG tahun 2014, tingkat kelembaban relatif yang terjadi di lokasi penelitian pada musim hujan sebesar 89% dengan rataan suhu udara sebesar 23.4 ºC, sedangkan tingkat kelembaban relatif pada musim kemarau sebesar 74% dengan rataan suhu udara sebesar 25.7 ºC.

Identifikasi Spesies Eimeria spp. Keragaman Spesies Eimeria spp.

Eimeria spp. yang ditemukan pada sampel tinja sapi potong di lokasi penelitian sebanyak 10 spesies, yaitu E. bovis, E. zuernii, E. auburnensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. wyomingensis, E. ellipsoidalis, E. brasiliensis, E. pellita dan E. subspherica (Tabel 9). E. bovis dan E. zuernii merupakan spesies Eimeria yang memiliki patogenitas tinggi, E. ellipsoidalis, E. auburnensis dan E. subspherica termasuk spesies yang memiliki patogenitas rendah sedangkan E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. pellita dan E. wyomingensis bersifat non patogen (Lassen dan Jarvis 2009). Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan bentuk spesies Eimeria dalam sampel tinja sapi potong yang ditemukan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Meskipun terdapat infeksi Eimeria yang bersifat patogenik, di lokasi penelitian tidak ditemukan adanya gejala klinis yang muncul baik pada sapi umur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan, 1 sampai 2 tahun maupun umur lebih dari 2 tahun. Menurut Waruiru et al. (2000) bahwa keberadaan Eimeria spp. yang bersifat patogenik tidak selalu berhubungan dengan timbulnya gejala klinis pada sapi. Hal yang sama seperti penelitian oleh Heidari dan Gharekhani (2014) menemukan adanya infeksi E. bovis pada sapi potong di Iran namun tidak menimbulkan gejala klinis baik pada pedet maupun sapi dewasa.

(30)

16

Tabel 9 Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan karakteristik ookista hasil pengamatan Panjang (µm) Rataan Panjang

(µm) Lebar (µm)

Rataan lebar (µm)

Rataan

Indeks Bentuk Karakteristik lainnya Spesies

10.4 - 12.7 11.8 10.4 - 12.6 11.8 1.0 Bulat Tidak ada mikrofil E. subspherica

15.1 - 22.6 19.5 14.1 - 18.1 16.8 1.2 Ovoid Tidak ada mikrofil E. zuernii

23.2 - 25.9 25.1 13.2 - 16.8 15.8 1.6 Elips Tidak ada mikrofil E. ellipsoidalis

24.5 - 33.1 28.3 18.5 - 23.8 21.1 1.3 Ovoid Ada mikrofil E. bovis

28.5 - 36.9 31.6 23.6 - 26.9 25.3 1.3 Ovoid Ada mikrofil E. canadensis

33.2 - 45.8 38.8 21.6 - 24.9 22.3 1.7 Elips Ada mikrofil E. auburnensis

34.9 - 44.9 41.6 23.9 - 26.9 25.8 1.6 Elips Ada mikrofil E. brasiliensis

36.5 - 40.9 38.1 26.6 - 29.9 28.8 1.3 Ovoid Ada mikrofil E. pellita

37.7 - 42.5 40.2 26.2 - 31.5 30.0 1.3 Ovoid Ada mikrofil E. wyomingensis

(31)

17

Tabel 10 Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan karakteristik ookista menurut referensi

Spesies

Menurut Soulsby (1986) Menurut Daugschies dan Najdrowski (2005)

Panjang (µm)

Lebar

(µm) Indeks Bentuk

Karakteristik lainnya

Panjang (µm)

Lebar

(µm) Indeks Bentuk

Karakteristik lainnya

E. subspherica 9 - 13 8 - 12 1.08 - 1.12 Subspherical Tidak ada

mikrofil 9 - 14 8 - 13 1.08 - 1.12

Bulat atau subsperikal

Tidak ada mikrofil

E. zuernii 15 - 22 13 - 18 1.15 - 1.22 Subspherical Tidak ada

mikrofil 15 - 22 13 - 18 1.15 - 1.22 Subovoid

Tidak ada mikrofil

E. ellipsoidalis 20 - 26 13 - 17 1.54 - 1.53 Ellips Tidak ada

mikrofil 20 - 26 13 - 17 1.54 - 1.53 elipsoid

Tidak ada mikrofil

E. bovis 23 - 34 17 - 23 1.35 - 1.48 Ovoidal Ada mikrofil 23 - 34 17 - 23 1.35 - 1.48 Ovoid Ada mikrofil

E. canadensis 28 - 37 20 - 27 1.37 - 1.40 Ovoid/ elips Ada mikrofil 28 - 37 20 - 27 1.37 - 1.40 Ovoid/ Ada mikrofil

elipsoid

E. auburnensis 32 - 46 20 - 25 1.60 - 1.84 Elips Ada mikrofil 32 - 46 20 - 25 1.60 - 1.84 Elipsoid Ada mikrofil

E. brasiliensis 34.2 - 42.7 24.2 - 29.9 1.64 - 1.65 Elips Ada mikrofil 34 - 43 24 - 30 1.65 - 1.67 Elipsoid Ada mikrofild

E. pellita 36.1 - 40.9 26.5 - 30.2 1.35 - 1.36 Bentuk telur Ada mikrofil 36 - 41 26 - 30 1.37 - 1.38 Ovoid Ada mikrofil

E. wyomingensis 37 - 44.9 26.4 - 30.8 1.40 - 1.46 Ovoidal Ada mikrofil 37 - 45 26 - 31 1.42 - 1.45 Ovoid atau

bentuk pir Ada mikrofil

(32)

18

j

10 µm

b

10 µm

a

10 µm

d

10 µm

c

10 µm

g

10 µm

f

10 µm

e

10 µm

10 µm

h

10 µm

i ,

Gambar 2 Hasil identifikasi ookista Eimeria pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

(a) Eimeria subspherica (e) E. canadensis (h) E. pellita

(33)

19 Komposisi Spesies Eimeria spp.

Berdasarkan penghitungan komposisi spesies, prevalensi paling tinggi ditunjukkan oleh E. bovis yaitu sebesar 77.5% dengan rataan OTGT sebanyak 603.6 OTGT (Tabel 11). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa E. bovis merupakan spesies Eimeria yang memiliki prevalensi tertinggi pada ternak sapi seperti yang dilakukan oleh Majaro dan Dipeolu (1981), Hasbullah et al. (1990), Munyua dan Ngotho (1990), Rodriguez-vivas et al. (1996), Rind et al. (2007), Abebe et al. (2008), Oluwadare (2004), Rehman et al. (2011), Heidari dan Gharekhani (2014), Makau (2014) serta Sufi (2015). E. bukidnonensis merupakan spesies yang teridentifikasi pada sampel penelitian dengan prevalensi terbesar kedua, yaitu 40.1% dengan rataan OTGT sebanyak 340.3 OTGT. Menurut Lassen dan Jarvis (2009) E. bukidnonensis termasuk Eimeria yang non patogenik, hal ini sesuai dengan beberapa penelitian lain yang tidak menemukan gejala klinis akibat infeksi dari spesies ini (Abebe et al. 2008, Oluwadare 2004, Rehman et al. 2011, Heidari dan Gharekhani 2014).

Tabel 11 Komposisi, prevalensi dan rataan jumlah OTGT tiap spesies Eimeria pada sapi potong positif koksidiosis di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

Spesies Eimeria

(Jumlah sapi positif = 222) Derajat Infeksi Jumlah

(34)

20

Spesies Eimeria dengan patogenitas rendah seperti E. ellipsoidalis teridentifikasi dengan prevalensi 8.1% dan rataan OTGT sebanyak 188.1 OTGT. Menurut Oluwadare (2004) infeksi E. ellipsoidalis dapat menimbulkan gejala klinis diare pada sapi umur tiga bulan yang terinfeksi 50 000 sampai satu juta ookista. Spesies Eimeria yang bersifat non patogenik selain E. bukidnonensis yang teridentifikasi dalam sampel penelitian adalah E. wyomingensis, E. pellita, E. brasiliensis dan E. canadensis dengan prevalensi berturut-turut sebesar 18.2%, 17.6%, 15.8% dan 14.4%. Adapun Eimeria yang menginfeksi paling rendah adalah E. subspherica dengan prevalensi 4.5% dan rataan OTGT sebanyak 181.3 OTGT. (Tabel 11).

Infeksi Tunggal dan Campuran Eimeria spp.

Hasil studi menunjukkan bahwa dari 222 sampel yang positif Eimeria, sebanyak 35.14% infeksi disebabkan oleh satu spesies Eimeria, sedangkan sebanyak 64.86% terjadi infeksi campuran 2 sampai 6 spesies Eimeria di setiap sampel (Tabel 12). Himmelstjerna et. al. 2005 menyebutkan bahwa infeksi alami lebih dari satu spesies lebih umum ditemukan dibanding infeksi tunggal. Tingkat patogenitas spesies Eimeria dapat meningkat apabila terjadi infeksi campuran dengan spesies Eimeria patogenik lainnya (Daughschies dan Najdrowski 2005).

Keberadaan infeksi multispesies (multiple infection) Eimeria dilaporkan oleh Arslan dan Tuzer (1998) yang menemukan bahwa telah terjadi infeksi 2 sampai 6 spesies Eimeria pada sapi potong di Turki. Pilarczyk et al. (2011) juga menemukan adanya infeksi 2 sampai 3 spesies Eimeria pada sapi impor asal Republik Ceko di Polandia. Infeksi Eimeria sebanyak 2 sampai 7 spesies ditemukan pada sapi perah di Ethiopia (Abebe et. al. 2008), infeksi 2 sampai 6 spesies Eimeria pada sapi perah di Bahia, Brasil (Almeida et. al. 2011), infeksi 2 sampai 8 spesies Eimeria pada sapi perah di China (Dong et. al. 2102) serta infeksi 2 sampai 5 spesies pada sapi perah di KPBS Pangalengan (Sufi 2015). Bahkan Oluwadare (2004) menemukan infeksi campuran hingga 12 spesies Eimeria pada sapi potong di Nigeria. Pada beberapa penelitian ini menyebutkan bahwa spesies Eimeria dapat ditemukan dalam bentuk infeksi campuran pada hewan ternak meskipun tidak menunjukkan gejala klinis.

Tabel 12 Frekuensi infeksi tunggal dan infeksi campuran spesies Eimeria pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman, Bojonegoro

Jumlah spesies Eimeria Jumlah ternak (n = 222)

(35)

21 Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Infeksi Eimeria

Analisis khi-kuadrat digunakan untuk menentukan kandidat yang kan diuji lebih lanjut dengan analisis regresi logistik berganda. Adapun data yang diolah merupakan data kuesioner yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak. Kandidat variabel yang terpilih untuk uji regresi logistik berganda adalah yang memenuhi nilai P<0.25, yaitu umur sapi, jenis kelamin, sistem pengembalaan, frekuensi pembersihan kandang, sumber air, pemisahan kandang dan kondisi diare. Sedangkan variabel yang tidak memenuhi syarat P<0.25 adalah pengobatan (P=0.415), alas kandang (P=0.498) dan tempat pembuangan kotoran (P=0.631) (Tabel 13). Meskipun hasil analisis dengan menggunakan khi-kuadrat menunjukkan bahwa variabel frekuensi pembersihan kandang, pemisahan kandang dan kondisi diare berpengaruh terhadap infeksi Eimeria, pada analisis yang lebih mendalam dengan menggunakan regresi logistik berganda variabel ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap infeksi.

Lokasi yang terpencil menyebabkan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi kesehatan ternak menjadi terhambat. Upaya dalam mengobati ternak yang sakit, para peternak akan memanggil dokter hewan atau petugas kesehatan yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro untuk konsultasi kesehatan ternaknya, termasuk pemberian obat-obatan dan inseminasi buatan. Pengobatan yang diberikan biasanya hanya berupa pemberian vitamin, obat tradisional, anthelminik atau antibiotika apabila sapi menderita demam, diare, tidak mau makan dan gejala sakit lainnya.

Tatalaksana kesehatan hewan dan manajemen pemeliharaan ternak berperan penting dalam pencegahan penyebaran infeksi Eimeria. Secara umum alas kandang yang dipakai berupa tanah yang terletak di belakang rumah, di area kebun sekitar rumah atau bahkan masuk di ruang utama di dalam rumah. Jika lokasi kandang terletak di dalam rumah, peternak membersihkan kandang setiap hari terutama pada saat sapi buang kotoran. Namun bila kandang terletak di luar rumah, periode pembersihan kandang tidak dilakukan setiap hari. Bahkan beberapa peternak tidak melakukan pembersihan terhadap kandang yang letaknya di area kebun sekitar rumah. Kotoran sapi berupa tinja dan urin dibuang di daerah sekitar kandang dan dibiarkan mengering. Tinja yang sudah kering biasanya dibakar dan dimanfaatkan asapnya sebagai alternatif untuk mengusir nyamuk atau lalat. Beberapa peternak membuat bak penampungan untuk membuang kotoran sapi. Namun dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan, kondisi penampungan yang ada sangatlah tidak layak. Bak penampungan hanya berupa galian tanah yang telah terisi penuh kotoran sapi sehingga meluap dan mengotori area sekitarnya. Air tumpahan terkadang mengalir ke kebun-kebun atau merembes ke dalam tanah.

(36)

22

Tabel 13 Analisis khi-kuadrat terhadap faktor risiko koksidiosis

Faktor Risiko Variabel

Keterangan : (*) kandidat variabel risiko koksidiosis pada P<0.25

(37)

23 hubungan yang signifikan antara gejala klinis berupa diare dengan kejadian koksidiosis (P=0.142). Sapi pada berbagai kelompok umur tidak menunjukkan gejala klinis meskipun terdapat ookista Eimeria pada tinjanya (Waruiru et al. 2000, Rind et al. 2007, Heidari dan Gharekhani 2014).

Hasil analisis multivariat regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap infeksi Eimeria adalah umur sapi, jenis kelamin, sistem pengembalaan, sumber air minum dan sistem penyimpanan atau penempatan pakan (Tabel 14). Seluruh kelompok umur sapi menunjukkan pengaruh yang signifikan (P<0.05) terhadap infeksi Eimeria. Sapi kelompok umur kurang dari 6 bulan memiliki nilai Odds Ratio (OR) 7.47, sapi kelompok umur 6 sampai 12 bulan memiliki nilaiOR 3.45 dan sapi umur 1 sampai 2 tahun memiliki nilai 3.35 lebih besar dibandingkan dengan sapi kelompok sapi umur lebih dari 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sapi umur kurang dari 6 bulan berpengaruh lebih besar untuk terinfeksi Eimeria dibanding sapi umur di atasnya. Abebe et al. (2008) mengatakan bahwa umur merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya koksidiosis pada sapi.

Jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap infeksi Eimeria (P<0.05). Nilai OR sapi jantan 1.79 kali lebih tinggi dibanding sapi betina. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian Oluwadare (2004) dan Heidari dan Gharekani (2014) yang menemukan tidak adanya pengaruh signifikan antara jenis kelamin dengan infeksi Eimeria. Perbedaan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor tata kelola peternakan yang dilakukan. Manajemen pengembalaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya infeksi Eimeria (P<0.05). Nilai OR sapi yang digembalakan 3.03 lebih tinggi dibanding sapi yang tidak digembalakan. Oluwadare et al. (2010) mengatakan bahwa padang pengembalaan merupakan lokasi utama terjadinya infeksi Eimeria. Hal ini terjadi karena pada padang pengembalaan, sapi digembalakan secara bersama-sama yang memungkinkan terjadinya ekskresi ookista melalui tinja dari sapi yang terinfeksi.

(38)

24

ookista Eimeria yang masuk melalui aliran air hujan. Sementara itu, kontaminasi juga diduga terjadi pada bak-bak penampungan air yang berasal dari pegunungan. Hasil analisis multivariat regresi logistik berganda menunjukkan bahwa sistem penempatan atau penyimpanan pakan berpengaruh terhadap terjadinya infeksi Eimeria. Pakan yang ditempatkan di atas lantai kandang memiliki risiko 3.03 kali lebih tinggi terhadap terjadinya infeksi Eimeria dibanding pakan yang ditempatkan pada alat khusus (wadah pakan). Di lokasi penelitian, tempat khusus yang digunakan peternak untuk menempatkan pakanterbuat dari bambu atau kayu jati yang membentuk suatu kotak panjang. Pakan yang ditempatkan pada tempat ini memiliki kemungkinan kecil terhadap infeksi Eimeria yang berasal dari kotoran sapi. Sedangkan pakan yang diletakkan di atas lantai lebih mudah terkontaminasi tinja dan urin sapi.

Tabel 14 Analisis regresi logistik berganda faktor risiko koksidiosis

Faktor Risiko Variabel OR (SK 95%) P

Umur Ternak < 6 bulan 7.47 3.38 - 16.53 0.000* 6 sampai 12 bulan 3.45 1.86 - 6.37 0.000* 1 sampai 2 tahun 3.35 1.83 - 6.13 0.000*

> 2 tahun 1.00

Jenis Kelamin Jantan 1.79 1.05 - 3.07 0.034*

Betina 1.00

Sistem pengembalaan Ya 3.03 1.70 - 5.38 0.000*

Tidak 1.00

Sumber air minum Air Sumur 6.59 4.02 - 10.82 0.049* Air gunung 2.99 1.00 - 8.95 0.000*

Air sendang 1.00

Penyimpanan pakan Di atas lantai kandang 3.03 1.44 - 6.39 0.004*

Wadah pakan 1.00

Konstanta 0.13 0.000

(39)

25

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi koksidiosis yang ditemukan pada sapi potong di Sekolah Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro sebesar 41.7%. Infeksi Eimeria yang terjadi termasuk derajat infeksi ringan yang disebabkan oleh 10 spesies yaitu E. subspherica, E. zuernii, E. ellipsoidalis, E. bovis, E. brasiliensis, E. pellita, E. wyomingensis, E. auburnensis, E. canadensis dan E. bukidnonensis. Infeksi tertinggi disebabkan oleh E. bovis (77.5%) sedangkan infeksi terendah disebabkan oleh E. subspherica (4.5%). Sebanyak 64.9% terjadi infeksi campuran 2 sampai 6 spesies Eimeria di setiap sampel.

Derajat infeksi dipengaruhi oleh variabel umur dan jenis kelamin ternak serta perbedaan musim. Sedangkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap infeksi Eimeria terdiri atas umur dan jenis kelamin ternak, manajemen pengembalaan, sumber air minum serta sistem penyimpanan pakan.

Saran

(40)

26 Bahia, Northeast Brazil. Rev. Bras. Parasitol Vet, Jaboticabal. 20(1):78-81. Arslan M, Tuzer E. 1998. Prevalence of Bovine Eimeridosis in Thracia, Turkey.

Turk J Vet and Anim Scienc 22: 161–164.

[B-Vet] Balai Veteriner Subang. 2013. Laporan Tahunan Penyidikan dan Pengujian Penyakit Parasiter Tahun 2013. Subang (ID): Balai Veteriner Subang.

Bailey K. 1994. Coccidiosis in Farmed Ruminant. Surveillance 21(2).

Bangoura B, Mundt HC, Scmaschke R, Westphal B, Daugschies A. 2011. Prevalence of Eimeria bovis and Eimeria zuernii in German Cattle Herds and Factor Influencing Oocyst Excretion. Parasitol Res. 109 : 129-38. [BPS RI] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2103. Populasi Ternak yang

Dipelihara oleh Rumah Tangga Usaha Peternakan Sesuai Jenis Ternak yang Diusahakan Menurut Wilayah dan Jenis Ternak [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 16]. Tersedia pada: http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/ site/tabel?tid=51&wid=0.

[BPS KAB] Badan Pusat Statistika Kabupaten Bojonegoro. 2014. Bojonegoro Dalam Angka 2014 [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 16]. Tersedia pada: Coccidia in Beef Cattle in Western Turkey. Parasitol Res. 101:1239–1243. Daugschies A, Najdrowski M. 2005. Eimeriosis in Cattle: Current Understanding.

J Vet Med. B 52:417-427.

Davoudi YF, Garedaghi Y, Nourmohammadzadeh F, Eftekhari Z, Safarmashaei S. 2011. Study on Prevalence Rate of Coccidiosis in Diarrheic Calves in East-Azerbaijan Province. Adv Env Biol. 5(7):1563-1565.

Dawid F, Amede Y, Bekele M. 2012. Calf Coccidiosis in Selected Dairy Farms of Dire Dawa, Eastern Ethiopia. Global Vet. 9(4):460-464. doi: 10.5829/idosi.gv.2012.9.4.64232.

(41)

27 Ernst JV, CIordia H, Stuedemann JA. 1984. Coccidia in Cows and Calves on

Pasture in North Georgia (USA). Vet Parasitol. 15 (3-4): 213-21.

Faber JE, Kollmann D, Heise A, Bauer C, Failing K, Bürger JB, Zahner H. 2002. Eimeria Infections in Cows in the Periparturient Phase and Their Calves: Oocyst Excretion and Levels of Specific Serum and Colostrum Antibodies. Vet. Parasitol. 104: 1–17.

Fitriastuti ER, Atikah N, Isriyanti, NMR. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis Pada Sapi Betina di 9 Propinsi di Indonesia Tahun 2011. Bogor (ID): Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Tersedia pada: https:// artikeledp. files. wordpress.com/2013/01/studi-penyakit-koksidiosis_erna-rahmawati.pdf.

Hasbullah, Akiba Y, Takano H, Ogimoto K. 1990. Seasonal distribution of bovine coccidia in beef herd in the University farm. Jpn J Vet Sci. 52:1175-1179. Hayat CS, Rukn-un-Din, Akhtar M. 1994. Prevalence of Coccidiosis in Cattle and

Buffalos with Emphasis on Age, Breed, Sex, Season and Management. Pakst Vet J, 14 (4): 212-217.

Heidari H, Gharekhani J. 2014. Detection of Eimeria Species in Iranian Native Cattle. Int J Adv Res. 2 (7):731-734.

Heidari H, Sadeghi-Dehkordi Z, Moayedi R, Gharekhani J. 2014. Occurrence and Diversity of Eimeria species in Cattle in Hamedan Province, Iran. Vet Med. 59 (6): 271–275.

Himmelstjerna GVS, Epe C, Wirtherle N, Heyden VVD, Welz C, Radeloff I, Beening J, Carr D, Hellmann K, Schnieder T, Krieger K. 2005. Clinical and Epidemiological Characteristic of Eimeria Infections in First-Grazing Cattle. J Vetpar. 136 (2006):215-221.doi:10.1016/j.vetpar.2005.11.022. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Kajian Penyakit Parasiter dan Kematian

Pedet [laporan survei]. Bogor (ID): Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Joko J. 2014. Tiga Sekolah Peternakan Rakyat Berkembang Pesat. [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 16]. Tersedia pada: http:// blokbojonegoro.com/

read/article/20140829/tiga-sekolah-peternakan-rakyat-berkembang-pesat.html.

Jolley WR, Bradsley KD. 2006. Ruminant Coccidiosis. Vet. Clin. Food Anim. 22: 613-621.

Kasim AA, Al-Shawa YR. 1987. Prevalence of Eimeria in Faeces of Cattle in Saudi Arabia. Vet Parasitol. 17: 95-99

[Kementan-BPS] Kementerian Pertanian-Badan Pusat Statistika. 2011. Rilis Hasil Awal PSPK 2011 [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 16]. Tersedia pada: http://ditjennak.deptan.go.id/download.php?file=bahan%20rilis%20PSPK20 11.pdf.

Kennedy MJ, Kralka RA. 1987. A Survey of Eimeria spp. in Cattle in Central Alberta. Can Vet. J. (28) 3.

Koutny H, Joachim A, Tichny A, Baumgartner W. 2012. Bovine Eimeria species in Austria. Parasitol Res. 110 (5): 1893-901. Doi: 10.1007/s00436-011-2715-7

(42)

28 SK, Zhao GH. 2012. Prevalence of the Intestinal Parasite Infection in Cattle in Shaanxi Province, Northwestern China. Afr J Microbiol Res. 6(33): 6252-6256

Lucas AS, Swecker WS, Scaglia G, Lindsay DS, Zajak AM. 2006. Variation in Eimeria Oocyst Count and Species Composition in Weanling Beef Heifers. J. Parasitol. 92(5): 1115–1117

Maas J. 2007. Coccidiosis in Cattle. Califrn Cattlms Magz. UCD Vet Views: 1(1) Majaro OM, Dipeolu OO. 1981. The Seasonal Incidence of Coccidia Infections in

Trade Cattle, Sheep, and Goats in Nigeria. Vet Quartr. 3 (2): 85-90. Doi: 10.1080/01652176.1981.9693802

Makau DN. 2014. A Study of Factors Associated With the Prevalence of Coccidia Infection in Cattle and its Spatial Epidemiology in Busia, Bungoma and Siaya Counties, Kenya [tesis]. Kenya (KY): University of Nairobi.

Matjila PT, Penzhorn BL. 2002. Occurrence and Diversity of Bovine Coccidian at Three Localities in South Africa. Vet Parasitol. 104 : 93–102

Mitchell ES, Smith RP, Ellis-Iversen J. 2011. Husbandry Risk Factors Associated With Subclinical Coccidiosis in Young Cattle. Vet J. 193(1) : 119-23. doi: 10.1016/j.tvjl.2011.09.017.

Munyua WK, Ngotho JW. 1990. Prevalence of Eimeria Species in Cattle in Kenya. Vet Parasitol 35:163-168.

Mundt CH, Daugschies A, Uebe F, Rinke M. 2003. Efficacy of toltrazuril against artificial infections with Eimeria bovis in calves. Parasitol Res.2003(90): S165-S166.doi:10.1007/s00436-003-0929-z.

Oluwadare AT. 2004. Studies on Bovine Coccidia [Apicomplexia: Eimeriidae] in Parts of Plateau State, Nigeria [tesis]. Jos (NG): University of Jos.

Oluwadare AT, Ajayi JA, Ajayi OO, Ogwurike BA, Olaniyan O, Ogon NI. 2010. Studies on Some Aspects of the Bionomics of Bovine Coccidiosis in Plateau State, Nigeria. Niggr Ann Nat Sciens.10 (1): 9-27.

Pandit BA. 2009. Prevalence of Coccidiosis in Cattle in Kashmir Valley. VetScan. 4(1):16-20.

Pedersen S. 2013. Coccidiosis in Cattle and Sheep Control and Management Methods. Sptlight Pars Diss. 1:18-19

Pfukenyi DM, Mukaratirwa S, Willingham AL, Monrad J. 2007. Epidemiological Studies of Parasitic Gastrointestinal Nematodes, Cestodes and Coccidia Infections in Cattle in The Highveld and Lowveld Communal Grazing Areas of Zimbabwe. Onderstprt J Vet Res. 74:129–142.

Pilarczyk B, Pilarczyk R, Binerowska B, Hendzel D, Tomza-Marciniak A, Kavetska K, Królaczyk K. 2011. Prevalence Of Eimeria Protozoa In Cows Imported To Poland From The Czech Republic, France, and Germany. A Preliminary Study. Bull Vet Inst Pulawy. 55: 203-206

(43)

29 Quigley J, Sinks G. 1997. A Review of Coccidiosis in Calves. Calf Notes.com.

17:1-6. Tersedia pada: www.calfnotes.com/pdffiles/CN017.pdf.

Rehman TU, Khan MN, Sajid MS, Abbas RZ, Arshad M, Iqbal Z, Iqbal A. 2011. Epidemiology of Eimeria and Associated Risk Factor in Cattle of District Toba Tek Singh, Pakistan. Parasitol Res. 108 (2011):1171-1177. doi: 10.1007/s00436-010-2159-5.

Rind R, Probert AJ, Rind MI. 2000. Studies on Morphological Characteristics of Eimeria Species Oocysts. Pakistan Vet. J. 20 (3): 113-117.

Rind R, Probert AJ, Kamboh AA. 2007. The Incidence of Eimeria Species in Naturally Infected Calves. Int J Agri Biol. 9 (5): 741-745.

Rodriguez-Vivas RI, Domínguez-Alpizar JL, Torres-Acosta JF. 1996. Epidemiological Factors Associated to Bovine Coccidiosis in Calves (Bos indicus) in a Sub-humid Tropical Climate. Rev Biomed. 7:211-218.

Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindall.

Sufi IM. 2015. Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Thrusfield M. 2007. Veterinary Epidemiology. Ed ke-3. Oxford (GB): Blackwell

Publishing.

Trigunaite A, Dimo J, Jorgensen TN. 2015. Suppressive effects of androgens on the immune system. Cellular Immunology 294: 87-94

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford (GB): Blackwell Science Ltd.

Waruiru RM, Kyvsgaard NC, Thamsborg SM, Nansen P, Bogh HO, Munyua WK, Gathuma JM. 2000. The Prevalence and Intensity of Helminth and Coccidial Infections in Dairy Cattle in Central Kenya. Vet. Res. Communic. 24: 39-53

Yu SK, Gao M, Huang N, Jia YQ, Lin Q. 2011. Provalence of Coccidial Infection in Cattle in Shaanxi Province, Northwestern China. J Anim Vet Adv. 10 (20): 2716-2719.

Gambar

Tabel 2 Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin pada sapi potong di
Tabel 9    Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan karakteristik ookista hasil pengamatan
Tabel 10  Spesies Eimeria spp. berdasarkan ukuran panjang, lebar, bentuk dan karakteristik ookista menurut referensi
Gambar 2 Hasil identifikasi ookista Eimeria pada sapi potong di Sekolah
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik berbasis problem solving materi wilayah NKRIpada mata pelajaran PPKn untuk

Nilai Kadar Air Media Hidroton Hasil pengujian kadar air media hidroton dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa perlakuan yang menghasilkan kadar air

Kapan lagi, Anda bisa mendapatkan fasilitas gratisan di facebook marketing beserta penunjang ilmunya. Berupa teknik facebook graph yang nantinya akan membantu Anda dalam membuka

Hal ini dapat diartikan bahwa tidak semua karakteristik maupun potensi yang ada di objek wisata Umbul Ngrancah merupakan faktor pendorong dalam usaha pengembangan

Bapak Suep selaku pemilik warung soto ayam ini tidak mengalami kerugian jika harga sotonya dijual dengan harga Rp 5000, karena menurutnya dengan harga tersebut sudah dapat

Pihak yang terlibat dalam program ini adalah mahasiswa KKN-PPM Universitas Udayana, perangkat desa serta masyarakat Desa Rendang, Karangasem, Bali... Nama

‘They’re looking for us, then,’ Father Kreiner said, peering at the immobile Type 102, poking her as if to see what a walking TARDIS felt like, ‘the Doctor’s friends.’..

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh multi media pembelajaran interkatif terhadap hasil belajar kognitif peserta didik pada subkonsep dampak kerusakan