• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

RIANA NUR QINTHARA

ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI

ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

RIANA NUR QINTHARA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat. Dibimbing oleh WIDYASTUTIK.

Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh wilayahnya. Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas. Diantara kabupaten dan kota di Jawa Barat, Kota Bogor merupakan kota dengan jumlah masyarakat pengonsumsi rokok terbanyak dalam prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis: 1) Karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang mengonsumsi rokok; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di Kecamatan Bogor Barat. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Metode analisisnya menggunakan analisis regresi poisson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Responden yang mengonsumsi rokok rata-rata memiliki karakteristik lulusan SMA/Sederajat, sudah menikah, bermata pencaharian sebagai pedagang, berusia antara 27-38 tahun, berpendapatan diatas Rp3 500 000. Harga rokok kretek sebagian besar dikonsumsi pada kisaran harga Rp900 – Rp1 075. Harga rokok substitusi yang dikonsumsi pada kisaran Rp761 – Rp1 020. Harga barang komplementer yang dibeli responden pada kisaran Rp2 600 – Rp5 000; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat yaitu harga rokok kretek, harga rokok substitusi, harga barang komplementer, umur, dan tingkat pendidikan,.

Kata kunci : Analisis regresi poisson, karakteristik perokok, konsumsi rokok

ABSTRACT

RIANA NUR QINTHARA. Factors that Influence Consumption of Clove Cigarettes : A Case Study in West Bogor Subdistrict. Supervised by WIDYASTUTIK.

Indonesia has 33 provinces which are scattered over its area. West Java is the second highest province in term of prevalence of smoking habit for age groups 10 and above. Among counties and cities in West Java, Bogor is a city with largest number of cigarette consumer in West Java in term of prevalence of smoking habit for age groups 10 and above. The purposes of this study are to analyze: 1) Characteristic of cigarette comsumers that are live in West Bogor Subdistrict; 2) Factors that influence consumption of cigarettes in West Bogor Subdistrict. This study uses primary and secondary data. Poisson regression analysis is applied in this study as method of analysis. The results of this study indicate that: 1) characteristics of respondents are senior high school graduate, married, trader, 27 to 38 years old. They have monthly income more than Rp3 500 000. The price of clove cigarette consumed is about Rp900 to Rp1 075. The price of subtitute cigarette is about Rp761 to Rp1 020. The price of complementary good purchased by respondents is about Rp2 600 to Rp5 000; 2) Factors that influence consumption of clove cigarette in Bogor are price of clove cigarette, price of subtitute cigarette, price of complementary good, age, and education level.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI

ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR

BARAT

RIANA NUR QINTHARA

ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini ialah Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, S.E, M.Si selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada (1) papah, mamah, kaka Metha, de Rakha, serta keluarga besar Ali Rachman, atas segala doa dan kasih sayangnya (2) teman-teman Ilmu Ekonomi 47, teman sebimbingan (Nadiah, Uke, Tika, Zulfi dan Anggo) (3) Teman INTEL (Elis, Azis, Khoe, Diyane, Mega, Pika, Nanda, dan Anti) (4) Dhanny Apriyatna, Aulia, Nabilah, Sissy, Ema, Irga, Nindy, Caca, Sheanie, Nudh, Adis, Rayteh, Ncin, Tika, Hani, Manda, Ruri, Buddy, Oldga, Rosma, Jimmy, Ikhsan, Aki, Bram, Dodo, Gialdy, Febrian, Gerry, dan seluruh teman-teman atas dukungan dan bantuan selama saya menjalankan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang ekonomi.

Bogor, Januari 2015

(9)

DAFTAR ISI

Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap terhadap Permintaan 10

Hubungan antara Umur terhadap Permintaan 10

(10)

RIWAYAT HIDUP 56

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu di Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013 1 2 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan

provinsi di Indonesia 2013 3

3 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok di

Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013 5

4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun

menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013 6

5 Jumlah dan penyebaran sampel pada setiap kelurahan 16 6 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan Kota Bogor tahun 2012 19 7 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok kretek per batang 20 8 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok substitusi per batang 20 9 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga barang komplementer 21 10 Jumlah konsumen rokok berdasarkan pendapatan 21 11 Jumlah konsumen rokok berdasarkan lama pendidikan 22

12 Hasil estimasi regresi nonlinear berganda 23

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pikir penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan rokok kretek di Kota Bogor 14

DAFTAR GRAFIK

1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011

(triliun) 2

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data responden 30

2 Kuesioner 49

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia, negara besar dengan jumlah penduduk kurang lebih 241 973 879 juta, merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina, USA, Rusia, dan Jepang. Jumlah penduduk Indonesia yang merokok sebanyak 75 juta dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 225 milyar batang per tahun menyebabkan dana masyarakat yang dikeluarkan untuk batang rokok tersebut mencapai Rp100 triliun (WHO 2008).

Lebih dari 600 ribu penduduk yang tidak merokok terkena asap rokok, diperkirakan angka kematian tahunan dapat meningkat mencapai 8 juta penduduk pada tahun 2030 (WHO 2008). Konsumsi rokok Indonesia diperkirakan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 jumlah rokok yang dikonsumsi oleh kelompok populasi perkotaan lebih tinggi dibandingkan kelompok populasi di pedesaan seperti disajikan pada Tabel 1. Prevalensi pria dewasa yang merokok di pedesaan kisaran 67% lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang hanya mencapai kisaran 58.3%. Selain itu, 73% dari perokok tersebut tidak berpendidikan formal (Departemen Kesehatan RI 2009).

Tabel 1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu di Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013

Tempat Tinggal Satuan Banyaknya Nilai (Rp)

Perkotaan

Rokok kretek filter Bungkus/Pack 0.676 7209

Rokok kretek tanpa filter Bungkus/Pack 0.266 2271

Rokok putih Bungkus/Pack 0.106 1229

Pedesaan

Rokok kretek filter Bungkus/Pack 0.652 5742

Rokok kretek tanpa filter Bungkus/Pack 0.388 2726

Rokok putih Bungkus/Pack 0.076 745

Perkotaan + Pedesaan

Rokok kretek filter Bungkus/Pack 0.664 6473

Rokok kretek tanpa filter Bungkus/Pack 0.327 2499

Rokok putih Bungkus/Pack 0.091 1021

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2013

(12)

Sumber: Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012

Grafik 1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011 (triliun) Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat penerimaan cukai rokok Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2011 mengalami peningkatan dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat menunjukkan juga bahwa selain peningkatan harga, jumlah rokok yang dikonsumsi juga semakin bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2000 penerimaan cukai rokok Dalam Negeri hanya sebesar Rp11.29 triliun. Seiring dengan peningkatan nilai rupiah dari cukai rokok sehingga pada tahun 2011 penerimaan cukai rokok Dalam Negeri mengalami peningkatan yang sangat drastis mencapai Rp65 triliun (Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012).

Pendapatan yang besar melalui cukai rokok menyebabkan perhatian pemerintah lebih fokus dan intensif terhadap industri rokok, agar industri rokok dapat terus bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun di sisi lain, rokok merupakan produk yang mengganggu kesehatan dan lingkungan hidup, sehingga biaya sebagai dampak konsumsi rokok juga cukup besar. Oleh karena itu, sangat dilematis bagi pemerintah dalam menyikapi industri rokok, karena pemerintah menyadari kerugian dari konsumsi rokok. Kerugian yang timbul dari konsumsi rokok adalah kerugian ekonomi dan sosial, seperti biaya kesehatan, biaya kematian, dan biaya kehilangan produktivitas kerja. Pendapatan negara dari cukai rokok, ternyata tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena merokok. Pada tahun 2012, pendapatan negara dari cukai hanya sebesar Rp55 triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp254.41 triliun (Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012).

Penerimaan cukai rokok yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang mengonsumsi rokok di perkotaan maupun pedesaan terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan umur 10-15 tahun di Indonesia sudah banyak yang menghisap rokok tersebut. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap di Indonesia adalah sekitar 12.3 batang perharinya. Jumlah yang dihisap bervariasi dari yang terendah yaitu 10 batang perhari di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung yaitu sebanyak 18.3 batang per harinya. Perilaku merokok pada penduduk umur 15 tahun keatas cenderung meningkat dari 34.2% tahun 2007 menjadi 36.3% tahun 2013. Sebagian besar 64.9% laki-laki dan 2.1% perempuan masih menghisap rokok di tahun 2013. Perokok umur 10-14 tahun di Indonesia mencapai 1.4%, 9.9% perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32.3% pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah (Dinas Kesehatan 2013).

Tabel 2 menjelaskan provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah perokok terbanyak pada saat ini dan jumlah penduduk yang tidak merokok pada umur 10 tahun keatas di setiap provinsi. Pada tabel tersebut terdapat 5 provinsi dengan jumlah perokok terbanyak saat ini yang memiliki kebiasaan

11.29 17.39

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(13)

merokok setiap hari terbanyak diatas umur 10 tahun yaitu Provinsi Kepulauan Riau mencapai 27.2%, Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu sebesar 27.1%, dan Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat sebesar 26.8%.

Tabel 2 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi di Indonesia 2013

Provinsi

perokok saat ini tidak merokok

total

(14)

Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Tabel 2 menunjukkan Jawa Barat termasuk kedalam jumlah perokok terbanyak ke-2 setelah Kepulauan Riau menurut kebiasaan merokok setiap hari diatas umur 10 tahun. Selain itu, Jawa Barat termasuk kedalam 5 besar terbanyak yang memiliki kebiasaan merokok kadang-kadang diatas umur 10 tahun yang mencapai 5.6%.

Perumusan Masalah

Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh Indonesia dan Provinsi Jawa Barat termasuk kedalam 2 besar pada provinsi dengan jumlah perokok terbanyak diatas umur 10 tahun. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penduduk Jawa Barat diatas umur 10 tahun mayoritas sudah mengenal dan mengonsumsi rokok bahkan perokok dibawah umur 10 tahun yang belum memiliki pendapatan sudah mulai mengonsumsi rokok seperti seorang balita berumur 2.5 tahun asal Jember, Jawa Timur menghabiskan rokok 2 bungkus per hari. Selain itu, terdapat balita serupa yang berdomisili di Sukabumi dan di Garut, Jawa Barat (Kuwado 2012). Sejak tahun 2010 Jawa Barat menduduki peringkat 3 dalam prevalensi jumlah perokok terbanyak anak berdasarkan usia mulai merokok 5 tahun se-Provinsi Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Riset Kesehatan dasar 2010). Tabel 3 akan menjelaskan detail Kabupaten dan Kota yang berada di provinsi Jawa Barat memiliki kebiasaan merokok tertinggi pada penduduk umur 10 tahun keatas.

Berdasarkan Tabel 3, peringkat 5 besar proporsi penduduk umur diatas 10 tahun menurut kebiasaan merokok di Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun 2013 yaitu Kota Bogor, Cianjur, Ciamis, Sumedang, dan Kota Sukabumi. Jumlah perokok setiap hari tertinggi se-Jawa Barat yaitu Kota Bogor. Kebiasaan perokok saat ini yang merokok setiap hari di Kota Bogor mencapai 32%. Selain itu, pada kebiasaan merokok kadang-kadang mencapai 5.6%. Namun Kota Bogor pun memiliki mantan perokok dan bukan perokok sebanyak 6.9% dan 55.5%. Perokok setiap hari di Cianjur hanya mencapai 31.5%, Ciamis mencapai 30.9%, Sumedang dan Kota Sukabumi mencapai 30.7%.

(15)

Tabel 3 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok di Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013

Kabupaten/Kota

Perokok saat ini Tidak Merokok

Total

(16)

penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek : studi kasus di Kecamatan Bogor Barat.

Tabel 4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013

Kabupaten/kota Perokok (kretek, putih,

(17)

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang mengonsumsi rokok?

2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan maka tujuan penelitian dari skripsi ini adalah :

1. Menganalisis karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang mengonsumsi rokok.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat dijadikan referensi dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan pengendalian rokok dan menetapkan kebijakan yang bersifat solutif.

2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah guna dijadikan referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan pendidikan konsumen, serta menambah penelitian yang berkaitan dengan konsumen.

3. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai rokok tentang karakteristik masyarakat Kota Bogor yang mengonsumsi rokok, faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok, dan bahaya kesehatan jika mengkonsumsi rokok.

4. Bagi peneliti, diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan dan pemahaman mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kota Bogor dan bagi pengembangan serta aplikasi ilmu yang telah diperoleh bangku kuliah.

Ruang Lingkup Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini akan dijelaskan teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi, teori tentang metode analisis dan tinjauan penelitian terdahulu yang terkait. Teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi yaitu teori harga terhadap permintaan, harga rokok substitusi, harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan. Selain teori tentang permintaan, teori tentang metode analisis yang digunakan yaitu regresi poisson akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Teori Permintaan

Menurut Sukirno (2008) permintaan erat hubungannya dengan konsumsi. Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya. Jika asumsi harga adalah tetap, kemudian menganalisis faktor lainnya seperti cita rasa, pendapatan, atau harga barang lain yang mengalami perubahan pula. Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu (Putong 2003). Menurut Lipsey (1995) suatu pergeseran kurva permintaan atau perubahan permintaan menunjukkan adanya perubahan jumlah yang diminta pada setiap tingkat harga Jika rata-rata pendapatan, harga barang substitusi, harga barang komplementer, jumlah penduduk, dan selera berubah, maka kurva permintaan pun akan bergeser.

Hubungan antara Faktor Harga terhadap Permintaan

Hukum permintaan menjelaskan kaitan antara permintaan suatu barang dengan harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan makin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut (Sukirno 2008). Menurut Lipsey (1995) semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Begitu pun sebaliknya. Rokok merupakan barang normal, karena semakin tinggi harga barang tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil artinya elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand) kecil, karena barang tersebut bersifat adiktif.

(19)

barang substitusi seperti rokok putih yang dapat menggantikan fungsi rokok kretek (Tjahjaprijadi dan Indarto 2003).

Hubungan Harga Barang Substitusi (pengganti) terhadap Permintaan

Harga barang substitusi dapat mempengaruhi permintaan barang yang dapat digantikannya. Jika harga barang substitusi bertambah murah maka barang yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan (Sukirno 2008). Ketika harga pada suatu komoditi mengalami peningkatan, beberapa rumah tangga akan membeli komoditi tersebut lebih sedikit bahkan beralih ke komoditi lain untuk memuaskan keinginan yang sama (Lipsey 1995) Dengan demikian apabila harga rokok substitusi turun maka permintaan terhadap rokok akan berkurang. Begitu pun sebaliknya. Terdapat 3 macam kelompok subtitusi menurut derajat penggantiannya :

Substitusi Sempurna

Dua barang dikatakan memiliki substitusi sempurna apabila penggunaan barang tersebut dapat digantikan satu sama lainnya tanpa mengurangi kepuasan konsumen dalam menggunakannya. Contohnya, gula pasir. Konsumen tidak mempermasalahkan mengenai asal gula pasir tersebut, gula lokal atau gula impor, gula yang diproduksi di Jawa atau luar Jawa. Konsumen tidak dapat merasakan perbedaan dalam hal kepuasan dari mengonsumsi gula pasir tersebut.

Substitusi Dekat

Apabila kedua barang dapat saling menggantikan, tetapi memberikan perbedaan kepuasan bagi konsumen, maka barang tersebut dikategorikan sebagai substitusi dekat. Contohnya, konsumsi terhadap daging sapi dan daging ayam. Konsumen memperoleh manfaat terpenuhinya kebutuhan protein hewani, tetapi konsumen tidak merasakan kepuasan yang sama antara mengonsumsi daging sapi dengan mengonsumsi daging ayam.

Substitusi Jauh

Apabila dua barang dapat saling menggantikan hanya dalam kondisi terpaksa saja, maka kedua barang tersebut dikategorikan sebagai substitusi jauh. Konsumen tidak akan menggantikan konsumsi barang tersebut dengan barang lain dalam kondisi normal.

Contohnya, konsumsi nasi dengan sagu. Walaupun sagu dapat menggantikan fungsi nasi, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan mengonsumsi sagu apabila masih terdapat nasi.

(20)

tangga membeli lebih banyak komoditi komplementer pada setiap tingkat harga (Lipsey 1995). Jika permintaan terhadap kopi bertambah, maka permintaan terhadap konsumsi rokok cenderung bertambah juga. Begitu pun sebaliknya.

Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap Permintaan

Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang dimilikinya. Pada barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan menaikkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior, peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan konsumsinya.

Distribusi pendapatan mempengaruhi corak permintaan terhadap berbagai jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan tersebut diubah corak distribusinya. Seperti pemerintah menaikkah pajak terhadap orang kaya dan kemudian menggunakan hasil pajak ini untuk menaikkan pendapatan pekerja yang bergaji rendah maka corak permintaan terhadap berbagai barang akan mengalami perubahan. Barang yang digunakan orang kaya akan berkurang permintaannya, namun orang berpendapatan rendah yang mengalami peningkatan pendapatan akan bertambah permintaannya (Sukirno 2008).

Sebagian besar komoditi rokok merupakan barang normal di mana kenaikan pendapatan akan meningkatkan demand untuk komoditi tersebut. Pada masyarakat miskin, kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi rokok sebesar 6% sementara untuk orang kaya hanya 2.1% (Ahsan 2006).

Hubungan Umur terhadap Permintaan

Semakin bertambahnya umur hingga mencapai umur tertentu dimana perokok aktif mulai mengeluh sakit akibat paparan asap rokok dan mulai menyadari akan arti penting kesehatan, maka mereka cenderung akan berusaha untuk mengurangi konsumsi rokok (Woyanti 2011). Oleh karena itu, umur berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok.

Hubungan Faktor Pendidikan terhadap Permintaan

(21)

Regresi Poisson

Cameron dan Trivedi (1998) menyatakan bahwa model regresi Poisson digunakan sebagai pendekatan untuk analisis data cacah dan tergantung pada asumsi munculnya data cacah tersebut. Ada dua keadaan formulasi yang sering terjadi pada asumsi munculnya data cacah. Formulasi pertama, yaitu data cacah berasal dari pengamatan langsung dari sebuah proses titik. Formulasi kedua, yaitu data cacah berasal dari diskretisasi atau ordinalisasi pada data laten kontinu. Formulasi lainnya, yaitu data cacah berasal dari kejadian yang jarang terjadi atau pendekatan sebaran binomial terhadap Poisson. Regresi Poisson termasuk dalam regresi nonlinier yang variabel. Model regresi Poisson berasal dari distribusi Poisson dengan parameter intensitas µ yang bergantung pada variabel prediktor.

Karakteristik dari sebaran Poisson yaitu nilai rataan dan ragam pada peubah Y bernilai sama. Namun, kondisi yang sering terjadi adalah nilai ragam lebih besar dari rataan atau overdispersi. Hardin dan Hilbe (2007) menyatakan bahwa overdispersi terjadi karena adanya sumber keragaman yang tidak teramati pada data atau adanya pengaruh peubah lain yang mengakibatkan peluang suatu kejadian bergantung pada kejadian sebelumnya. Selain itu, overdispersi dapat juga terjadi karena adanya pencilan pada data dan kesalahan spesifikasi fungsi penghubung. Penyebab lain dari overdispersi yang sering terjadi dalam regresi Poisson adalah peluang nilai nol yang berlebih pada peubah respon.

Penelitian Terdahulu

Penelitian Fikriyah dan Febrijanto (2012) bertujuan untuk memperoleh informasi tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Mahasiswa Laki-laki Di Asrama Putra STIKES RS Baptis Kediri. Desain yang digunakan adalah deskriptif analitik, dimana rancangan penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa yang urgen terjadi dimasa kini disajikan apa adanya. Sampel diambil dari mahasiswa STIKES RS Baptis Kediri yang tinggal di asrama putra yang memenuhi kriteria sebanyak 33 orang. Hasil penelitian Fikriyah dan Febrijanto menunjukkan faktor psikologi berpengaruh terhadap perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki yang tinggal di asrama putra Stikes RS Baptis Kediri yaitu sebesar 11 responden (33.3%). Namun, faktor biologi dan faktor lingkungan tidak signifikan memengaruhi perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki di asrama putra. Faktor biologi memiliki taraf nyata sebesar p=0.453 sehingga (α 0.05) dan faktor lingkungan memiliki taraf nyata sebesar p=0.760 sehingga (α 0.05).

(22)

regresi OLS atau Ordinary Least Square. Hasil dari penelitian Anggraeni (2013) menunjukan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan rokok kretek di Kota Pare-pare yaitu pendapatan, harga rokok substitusi, lama merokok, dan lingkup sosial. Sedangkan variabel harga tidak signifikan. Rokok kretek merupakan rokok yang cenderung lebih diminati di Pare-pare dibandingkan dengan rokok putih. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh adanya cita rasa yang khas dan kuatnya selera orang Parepare terhadap rokok kretek.

Penelitian Woyanti (2011) yang berjudul Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai dan Fatwa Haram Merokok terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota Semarang bertujuan untuk menganalisis: (1) pengaruh faktor harga, pendidikan, umur, penghasilan, regulasi cukai rokok dan fatwa haram merokok terhadap perilaku konsumen rokok di Kota Semarang. (2) faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku konsumen rokok setelah adanya regulasi pemerintah tentang tarif cukai rokok dan perubahan fatwa haram merokok di Kota Semarang. Wilayah penelitian yang diambil adalah Kecamatan Semarang Selatan yang mewakili daerah tengah kota, dan Kecamatan Mijen yang mewakili daerah pinggiran kota. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Populasi penelitian ini adalah konsumen rokok laki-laki di Kota Semarang dengan usia minimal 15 tahun. Penelitian Woyanti (2011) menunjukan bahwa koefisien fatwa tidak signifikan memengaruhi perilaku konsumen rokok maka ini menjadi indikasi bahwa hingga saat ini sebagian besar perokok aktif di Kota Semarang tidak terpengaruh atas munculnya wacana fatwa haram merokok. Variabel pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok. Besaran pengaruh variabel pendapatan terhadap konsumsi rokok adalah 0.000237 artinya setiap kenaikan pendapatan riil Rp100 000 per bulan, ceteris paribus, akan menambah konsumsi rokok sebesar 23 batang per bulannya. Variabel harga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin sedikit jumlah rokok yang dikonsumsi atau yang diminta. Variabel umur berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok. Semakin bertambahnya umur hingga mencapai umur tertentu perokok akif cenderung akan berusaha unfuk mengurangi konsumsi rokok. Variabel pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok.

(23)

faktor selera menyebabkan perokok SKM tidak mudah melakukan substitusi kepada jenis rokok yang lain Selain masalah selera terhadap satu jenis rokok serta faktor addiction terhadap rokok dapat menyebabkan konsumsi rokok SKM tidak dipengaruhi oleh pendapatan dari konsumennya. Untuk konsumsi rokok SKT, harga SKT memiliki hubungan negatif yang signifikan. Selera sangat menentukan dalam mengonsumsi suatu jenis rokok atau melakukan substitusi kepada jenis rokok yang lain. Harga SPM memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi rokok SKT. Kenaikan harga SPM sebesar 1% akan meningkatkan konsumsi rokok SKT sebesar 0.093%, sehingga antara rokok SKT dan rokok SPM memiliki hubungan yang saling menggantikan. Konsumsi rokok SKT tidak dipengaruhi oleh pendapatan. Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya rokok SKT yang dikonsumsi, dan faktor addiction terhadap rokok SKT juga tidak dipengaruhi oleh pendapatan perokoknya. Konsumsi rokok SPM memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan harga SPM. Kenaikan harga SPM akan diikuti oleh turunnya konsumsi rokok SPM. Kenaikan harga SKM akan mengurangi konsumsi rokok SPM. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga SKT akan menyebabkan konsumsi rokok SPM meningkat, dimana kenaikan harga SKT sebesar 1% akan menaikan konsumsi rokok SPM sebesar 0.385%. Kenaikan pendapatan akan menyebabkan naiknya konsumsi rokok SPM, dimana kenaikan pendapatan sebesar 1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar 0.059 batang.

Penelitian mengenai konsumsi rokok dengan menggunakan metode regresi poisson sepengetahuan peneliti sepengetahuan peneliti belum banyak ditemukan. Penelitian Yulianingsih, Sukarsa dan Suciptawati (2012) menggunakan regresi poisson untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali. Dari keempat faktor yang merupakan variabel bebas pada penelitian ini yaitu proporsi SMA/SMK negeri, proporsi ruang kelas SMA/SMK rusak, proporsi guru SMA/SMK sertifikasi, dan jumlah peserta UN SMA/SMK semuanya secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali tahun 2011. Dari keempat variabel tersebut yang paling berpengaruh adalah proporsi guru SMA/SMK sertifikasi dengan penurunan jumlah siswa yang tidak lulus sebesar 64,40% sejalan dengan peningkatan proporsi guru sertifikasi sebesar 1%. Model regresi Poisson yang diperoleh adalah sebagai berikut: β = exp (12.5737 – 0.166612 X + 0.11908 X - 1.03146 X - 0.00049 X ) dengan X yaitu proporsi SMA/SMK negeri, X yaitu proporsi ruang kelas SMA/SMK yang rusak, X yaitu proporsi guru SMA/SMK tersertifikasi, dan X yaitu jumlah peserta UN SMA/SMK.

(24)

Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat.

Kerangka Pemikiran Konseptual

Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dan Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi ke-3 dalam prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas. Di antara kabupaten dan kota di Jawa Barat, masyarakat Kota Bogor merupakan konsumen rokok terbanyak se-Provinsi Jawa Barat dalam prevelensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas dan Kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah penduduk terbanyak se-Kota Bogor. Oleh karena itu relavan dilakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat.

Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu faktor yang diindikasikan memengaruhi konsumsi rokok adalah harga rokok kretek, harga rokok substitusi, harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan. Selanjutnya secara detail disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Alur pikir penelitian

Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.

Masyarakat Kota Bogor merupakan penghisap batang rokok terbanyak di provinsi Jawa Barat dalam prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.

Faktor Ekonomi : 1. Pendapatan 2. Harga rokok

3. Harga rokok Substitusi 4. Harga Barang

Komplementer

Faktor Non Ekonomi : 1. Umur

2. Lama Pendidikan

Implikasi kebijakan

(25)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kota Bogor, Kecamatan Bogor Barat. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor termasuk kedalam jumlah populasi perokok tertinggi pada prevalensi merokok usia 10 tahun ke atas se-Provinsi Jawa Barat. Di antara kecamatan di Kota Bogor, kecamatan Bogor Barat merupakan jumlah penduduk terbanyak dan tertinggi pada usia 10 tahun keatas yang rentan mengonsumsi rokok. Oleh karena itu, penelitian dilakukan di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Adapun waktu yang dilaksanakan dalam penelitian menggunakan kuesioner ini yaitu pada tanggal 12 Mei-15 Juli 2014.

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan responden yang dipilih secara acak dengan memberikan kuesioner kepada responden. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup dan terbuka yang diberikan kepada 400 responden. Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan, sehingga responden hanya memilih salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai. Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan bagi responden untuk menjawab. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kesehatan, dan Bea dan Cukai.

Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, populasinya adalah penduduk usia 10 tahun keatas di Kota Bogor sebesar 822 664 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah penduduk usia 10 tahun keatas yang sudah berpendapatan dan bertempat tinggal di Kecamatan Bogor Barat, yang tersebar di lima Kelurahan yaitu Kelurahan Pasir Jaya dengan jumlah penduduk sebesar 17 406 orang, Gunung Batu dengan jumlah penduduk sebesar 15 344 orang, Cilendek Timur sebesar 14 559, Sindang Barang sebesar 14 371 dan Kelurahan Cilendek Barat dengan jumlah penduduk sebesar 14 349. Metode pemilihan contoh yang digunakan adalah convenience sampling yang dilakukan dengan cara memilih contoh yang ditemui lalu diperoleh responden yang bersedia untuk diwawancarai secara tatap muka.

Penentuan jumlah sampel yang diambil menggunakan rumus slovin sebagai berikut:

(26)

Tabel 5 Jumlah dan Penyebaran Sampel pada Setiap Kelurahan

Kelurahan Jumlah Presentase x Total Sampel

Penduduk

Pasir Jaya 17406/76029 = 0.229 22.9% x 400 = 91.6 (92) Gunung Batu 15344/76029 = 0.20 20% x 400 = 80 (80) Sindang Barang 14371/76029 = 0.189 18.9% x 400 = 75.6 (76) Cilendek Timur 14559/76029 = 0.191 19.1% x 400 = 76.4 (76) Cilendek Barat 14349/76029 = 0.189 18.9% x 400 = 75.6 (76)

Total 76029 400

Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis tabulasi silang dan regresi poisson. Analisis tabulasi silang digunakan untuk menyajikan karakteristik responden dan regresi poisson digunakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat.

Spesifikasi Model Penelitian

Spesifikasi model yang dipilih oleh peneliti yaitu spesifikasi model terbaik yang diolah menggunakan software SPSS 20. Model sebelumnya telah mencoba memasukkan variabel lama merokok, efek iklan, fatwa haram, dan cukai rokok. Namun model akhir dari persamaan permintaan rokok di Kecamatan Bogor Barat sebagai berikut:

Y = a + + + + + + + ɛt

Keterangan:

Y = Jumlah konsumsi rokok (batang) a = intersep

= Umur (tahun)

= Lama pendidikan (tahun) = Pendapatan (rupiah)

= Harga rokok kretek (rupiah) = Harga rokok substitusi (rupiah) = Harga barang komplementer (rupiah) εt = Error term

Kriteria Ekonomi

(27)

Kriteria Statistik

Pengujian hipotesis menggunakan program SPSS 20 baik uji disperse maupun uji wald yaitu dengan melihat tingkat signifikansi yaitu probabilitas kesalahan menolah hipotesis yang ternyata benar. Jika dikatakan taraf nyata 5% berarti resiko kesalahan mengambil keputusan adalah 5%. Program SPSS 20 selalu menggunakan taraf nyata 5% pada selang kepercayaan 95%.

Untuk dapat memperoleh hasil regresi terbaik maka harus memenuhi kriteria statistic sebagai berikut:

Regresi Poisson

Model regresi Poisson merupakan model regresi nonlinier yang berasal dari sebaran Poisson. Misalkan nilai yi dengan i=1,2,.., n, melambangkan jumlah kejadian yang terjadi dalam satu periode dengan nilai parameter dari sebaran Poisson λ. Penelitian ini menganggap bahwa setiap amatan memiliki parameter dari sebaran Poisson yang sama di regresi Poisson. Peubah y merupakan peubah acak yang menyebar Poisson dengan fungsi massa peluang sebagai berikut:

dengan asumsi pada regresi Poisson yaitu:

Metode untuk menduga koefisien parameter regresi Poisson yaitu metode kemungkinan maksimum. Fungsi log kemungkinan yang dinotasikan dengan pada persamaan 2.1 digunakan untuk mempermudah perhitungan dalam menduga koefisien parameter regresi Poisson. Memaksimumkan fungsi log kemungkinan akan memberikan hasil yang sama dengan memaksimumkan fungsi kemungkinannya.

(2.1)

Model pada persamaan 2.2 merupakan model regresi Poisson dengan fungsi penghubung untuk sebaran Poisson adalah log. ̂ adalah penduga respon dari model regresi Poisson dengan ukuran n x 1, adalah koefisien penduga parameter regresi Poisson dengan ukuran vektor (j + 1) x 1, dan X adalah peubah penjelas dengan ukuran matriks n x (j + 1), dengan j adalah banyaknya parameter yang diduga.

( ̂)

(28)

Uji Dispersi

Apabila regresi Poisson digunakan untuk kondisi overdispersi, maka terjadi keragaman data yang terdapat pada peubah respon (Y). Keragaman data ditunjukan dengan adanya rasio dispersi (τ), yaitu:

Dispersi adalah ukuran penyebaran suatu kelompok data terhadap nilai tengah data. Nilai dispersi kecil menunjukkan ragam yang homogen pada data, sedangkan nilai dispersi besar menunjukkan keheterogenan pada data. Overdispersi diidentifikasi dengan rasio τ bernilai lebih dari satu dan bersifat konstan (Hardin dan Hilbe 2007).

Uji Wald

Uji parameter secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel respons apabila di dalam model terdapat variabel lain. Hipotesis untuk uji parsial adalah:

H : βj = 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j tidaksignifikan) H : βj 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j signifikan)

H₀ ditolak apabila P-value < taraf nyata 5% sehingga hasil uji Wald menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan.

GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

Letak Geografis dan Administratif

Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 11 850 hektar. Secara administratif Kota Bogor melingkupi enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal

Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibu kota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Selain itu, karena lokasi Kota Bogor dekat ibukota Jakarta menyebabkan masyarakat Kota Bogor terpengaruh untuk mengonsumsi rokok.

(29)

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten diatas disimpulkan luas wilayah/area terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu terdapat pada Kecamatan Bogor Barat. Namun pada kepadatan tertinggi terdapat pada Kecamatan Bogor Tengah.

Tabel 6 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan Kota Bogor tahun 2012

Kecamatan Luas Wilayah/Area

Sumber: Badan Pusat Statistik 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden berdasarkan Variabel

(30)

responden yang mengonsumsi rokok kretek dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya harga rokok kretek, harga rokok subtitusi, harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan. Pada Tabel 7 akan dijelaskan lebih detail tentang jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan harga rokok kretek. berikut ini merupakan jumlah responden berdasarkan harga rokok kretek yang memengaruhi banyaknya konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat.

Tabel 7 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok kretek per batang

Sumber: Data primer 2014 harga rokok kretek yang paling banyak diminati yaitu pada tingkat harga Rp9 00 – Rp1 075 dan harga rokok kretek yang hanya sedikit diminati kisaran Rp1 251 - Rp1 425. Tabel 8 akan dijelaskan lebih detail tentang jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan harga rokok substitusi.

Tabel 8 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok substitusi per batang

Sumber: Data primer 2014

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebanyak 202 orang tidak mengganti rokok kretek dengan rokok substitusi dan sebanyak 198 orang mengganti rokok kretek dengan rokok substitusi. Kemudian yang memilih rokok substitusi ditingkat harga Rp5 00 – Rp760 sebanyak 41 orang. Selanjutnya terdapat 148 orang yang memilih rokok substitusi ditingkat harga Rp761 – Rp1 020, 7 orang yang memilih dengan kisaran harga Rp1 021 – Rp1 280, dan 2 orang yang memilih rokok substitusi dengan kisaran harga diatas Rp1 280. Hal ini menunjukkan bahwa harga

Umur Harga rokok kretek (Rp) Total

(31)

rokok substitusi yang paling diminati perokok pada kisaran harga Rp761 – Rp1 020 dan harga rokok substitusi yang sedikit diminati oleh perokok pada kisaran harga diatas Rp1 280. Tabel 9 akan dijelaskan lebih detail tentang jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan harga barang komplementer. Tabel 9 Jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan harga barang

komplementer barang komplementer dan sebanyak 385 orang menggunakan barang komplementer. Barang komplementer yang dikonsumsi perokok tersebut yaitu minuman seperti kopi, teh, susu, dan minuman bersoda. Kemudian yang menggunakan barang komplementer sebagai pelengkap saat sedang merokok ditingkat harga Rp1 000 – Rp2 500 sebanyak 98 orang. Selanjutnya terdapat 198 orang yang membeli barang komplementer ditingkat harga Rp2 600 – Rp5 000, 41 orang yang membeli dengan kisaran harga Rp5 100 – Rp7 500, dan 48 orang yang membeli barang komplementer dengan kisaran harga Rp7 600 – Rp10 000. Hal ini menunjukkan bahwa barang komplementer yang paling diminati perokok pada kisaran harga Rp2 600 – Rp5 000 dan harga barang komplementer yang sedikit diminati oleh perokok pada kisaran harga Rp5 100 – Rp7 500. Tabel berikutnya akan dijelaskan lebih detail tentang jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan pendapatan.

Tabel 10 Jumlah konsumen rokok berdasarkan pendapatan

Umur

(32)

Kecamatan Bogor Barat. Terdapat 141 orang yang mempunyai pendapatan kisaran Rp1 000 000 – Rp1 500 000, 57 orang mempunyai pendapatan kisaran Rp1 600 000 – Rp2 500 000, 45 orang mempunyai pendapatan kisaran Rp2 600 000 – Rp3 500 000, dan 157 orang memiliki pendapatan dengan kisaran diatas Rp3 500 000. Pada tabel selanjutnya akan dijelaskan lebih detail tentang jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan lama pendidikan.

Tabel 11 Jumlah responden yang mengonsumsi rokok berdasarkan lama pendidikan

Umur Lama Pendidikan Total

SD SMP SMA D3 S1 S2

15 – 26 4 24 49 9 8 0 94

27 – 38 8 8 83 41 16 3 159

39 – 49 1 2 10 31 52 24 120

50 -61 4 0 3 7 6 7 27

Total 17 34 145 88 82 34 400

Sumber: Data primer 2014

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 17 orang pengonsumsi rokok dengan pendidikan terakhir yaitu tamat SD, 34 orang tamat SMP, 145 orang tamat SMA/ Sederajat, 88 orang tamat Diploma (D3), 82 orang tamat Strata 1 (S1), dan sebanyak 34 orang yang memiliki pendidikan terakhir Pasca Sarjana (S2). Rata-rata pendidikan terakhir perokok tersebut yaitu tamat SMA/ Sederajat. Semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah rokok yang dikonsumsi semakin berkurang.

Hasil

Setelah melakukan regresi di SPSS 20, Tabel 12 menjelaskan hasil estimasi yang didapatkan melalui persamaan yaitu:

(33)

Tabel 12 Hasil estimasi regresi nonlinear berganda

Variabel Koefisien Signifikan

(Intercept) 112.393 0.000

Harga rokok (X1) -0.336 0.000

Harga rokok substitusi (X2) 1.152 0.000

Harga barang komplementer (X3) -0.966 0.013

Pendapatan (X4) -0.999 0.840

Umur (X5) -0.974 0.000

Lama pendidikan (X6) -0.951 0.002

Sumber: Data primer 2014

Uji dispersi

Uji dispersi digunakan untuk mengetahui apakah data tersebut terdapat keragaman yang tidak teramati pada data, adanya pengaruh peubah lain yang mengakibatkan peluang suatu kejadian bergantung pada kejadian sebelumnya atau terjadi karena adanya pencilan pada data dan kesalahan spesifikasi fungsi penghubung. Nilai dispersi kecil menunjukkan ragam yang homogen pada data, sedangkan nilai dispersi besar menunjukkan keheterogenan pada data. Pada Lampiran 3, variabel respons (Y) berdistribusi Poisson dan juga pada data tidak terjadi overdispersi, sehingga analisis Regresi Poisson dapat digunakan pada penelitian ini.

Uji Wald

Uji Wald dilakukan untuk melihat apakah secara individu atau masing-masing variabel berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi rokok. H₀ ditolak apabila P-value < taraf nyata 5% sehingga hasil uji Wald menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan, berarti secara individu atau masing-masing variabel berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi rokok yang dihisap oleh perokok. Pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa variabel harga rokok kretek, harga rokok substitusi, harga barang komplementer, umur, dan lama pendidikan berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi rokok di Kecamatan Bogor Barat sedangkan variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat karena P-value > taraf nyata

5%.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek di Kecamatan Bogor Barat

Harga Rokok Kretek

(34)

konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Oleh karena itu, ketika harga rokok mengalami kenaikan sebesar Rp1 maka jumlah konsumsi rokok akan mengalami penurunan sebesar 0.336 batang perharinya, cateris paribus.

Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian Woyanti (2011) yaitu harga rokok kretek berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok. Hal ini dikarenakan harga rokok yang semakin mahal sehingga sulit dijangkau oleh konsumen yang menyebabkan jumlah rokok yang dikonsumsi semakin sedikit. Harga Rokok Substitusi

Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat dalam Tabel 8 menunjukan bahwa harga rokok substitusi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas harga rokok substitusi yaitu sebesar 0.000 yang lebih kecil dari tarif nyata 5%, sehingga harga rokok substitusi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat. Oleh karena itu, ketika harga rokok substitusi mengalami kenaikan sebesar Rp1 maka jumlah konsumsi rokok yang mana akan mengalami peningkatan sebesar 1.152 batang perharinya, cateris paribus.

Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) yaitu harga rokok substitusi berhubungan positif dan signifikan terhadap konsumsi rokok. Hal ini dikarenakan harga rokok SPM yang semakin mahal sehingga sulit dijangkau konsumen sehingga antara rokok SKT dan SPM memiliki hubungan yang saling menggantikan yang menyebabkan jumlah konsumsi rokok SKT bertambah.

Harga Barang Komplementer

Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat dalam Tabel 8 menunjukkan bahwa harga barang komplementer memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas harga barang komplementer yaitu sebesar 0.966 yang lebih kecil dari tarif nyata 5%, sehingga harga barang komplementer memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Oleh karena itu, ketika harga barang komplementer mengalami kenaikan sebesar Rp1 maka jumlah konsumsi rokok akan mengalami penurunan sebesar 0.966 batang perharinya, cateris paribus.

Hasil estimasi ini sejalan dengan teori barang komplementer yaitu ketika terjadi penurunan harga suatu komoditi komplementer menyebabkan rumah tangga membeli lebih banyak komoditi komplementer pada setiap tingkat harga (Lipsey 1995). Konsumsi yang lebih banyak pada komoditi komplementer rokok mengimplikasikan konsumsi yang lebih banyak juga pada konsumsi rokok.

Pendapatan

(35)

dengan penelitian Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) bahwa pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya rokok SKT yang dikonsumsi dan faktor ketagihan rokok SKT juga tidak dipengaruhi oleh pendapatan perokoknya.

Umur

Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat dalam Tabel 8 dapat ditunjukkan bahwa umur memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas umur yaitu sebesar 0.000 yang lebih kecil dari tarif nyata 5%, sehingga umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Oleh karena itu, ketika umur mengalami kenaikan 1 tahun maka jumlah konsumsi rokok akan mengalami penurunan sebesar 0.974 batang perharinya, cateris paribus.

Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian Woyanti (2011) yaitu umur berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya umur hingga mencapai umur tertentu dimana perokok aktif mulai mengeluh sakit akibat paparan asap rokok dan mulai menyadari akan arti penting kesehatan, maka mereka cenderung akan berusaha untuk mengurangi konsumsi rokok.

Lama Pendidikan

Berdasarkan hasil estimasi yang terdapat dalam Tabel 8 menunjukan bahwa lama pendidikan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari probabilitas lama pendidikan yaitu sebesar 0.002 yang lebih kecil dari tarif nyata 5%, sehingga umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Oleh karena itu, ketika tingkat pendidikan mengalami peningkatan Rp1 maka jumlah konsumsi rokok akan mengalami penurunan sebesar 0.951 batang perharinya, cateris paribus.

Hasil estimasi ini sejalan dengan penelitian Woyanti (2011) yaitu lama pendidikan berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat pendidikan dan luasnya wawasan serta lengkapnya informasi yang diterima mampu menghantarkan seseorang untuk berpikir sehat dan rasional dalam memutuskan untuk mengonsumsi rokok atau tidak. Pengetahuan umum yang dipahami dan wacana sosial ekonomi yang melingkupi dirinya akan membawa yang bersangkutan untuk mampu bertindak bijaksana dalam menyikapi pengaruh rokok dari dalam dan luar dirinya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(36)

sudah menikah, sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang, dan berusia antara 27-38 tahun, berpendapatan diatas Rp3 500 000, dengan harga rokok kretek sebagian besar dikonsumsi pada kisaran harga Rp900-Rp1 075 dan harga rokok substitusi yang dikonsumsi pada kisaran Rp761–Rp1 020, serta harga barang komplementer yang dibeli responden sebagian besar pada kisaran Rp2 600–5 000.

Faktor yang memengaruhi jumlah konsumsi rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat adalah harga rokok substitusi yang memiliki pengaruh positif dan signifikan serta harga rokok kretek, harga barang komplementer, umur, dan lama pendidikan yang memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok kretek di Kota Bogor. Kemudian variabel yang tidak signifikan dan sejalan dengan penelitian terdahulu yaitu variabel pendapatan.

Saran

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Ahsan A. 2006. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Perilaku Merokok Individu: Analisis Data Susenas 2004 [Tesis]. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia.

Anggraeni D. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek di Pare-pare [Skripsi]. Makassar (ID) : Universitas Hasanudin.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Maret 2013. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Bogor dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Bogor Utara dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Bogor Barat dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Bogor Selatan dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Bogor Tengah dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Bogor Timur dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Tanah Sareal dalam Angka 2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik.

Cameron CA dan Trivedi PK. 1998. Regression Analysis of Count Data. Cambridge (UK): Cambridge University Pr.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. [Internet]. [Diunduh pada 2014 Februari 15]. Tersedia pada : www.depkes.go.id [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2013. Data Prevalensi Kebiasaan Merokok Umur ≥ 10

Tahun. Bogor (ID) : Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Fikriyah S dan Febrijanto Y. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok pada Mahasiswa Laki-laki di Asrama Putra [Skripsi] . Kediri

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Riset Kesehatan Dasar. [Internet]. [Diunduh pada ; 2014 Desember 27]. Tersedia pada : http://www.litbang.depkes.go.id.

(38)

Southeast Asia Tobacco Control Alliance. 2010. Tobacco Economics in Indonesia. [Internet]. [Diunduh pada 2014 Februari 6]. Tersedia pada : http://www.seatca.org.

Southeast Asia Tobacco Control Alliance. 2012. The ASEAN Tobacco Control Report 2012. [Internet]. [Diunduh pada 2014 Februari 20]. Tersedia pada : http://seatca.org.

Sukirno S. 2008. Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta (ID) : PT Raja Grafindo Persada.

Tjahjaprijadi C dan Indarto WD. 2003. Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan Sigaret Putih Mesin. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No.4.

[WHO] World Health Organization.. 2008. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. [Internet]. [Diunduh pada : 2014 Juli 18]. Tersedia pada : http://who.int.

Woyanti N. 2011. Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai dan Fatwa Haram Merokok terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota Semarang [Skripsi]. Semarang (ID) : Universitas Dipenogoro.

(39)
(40)
(41)

22 16 1 4 1,000 800 3,000 15,000,000 30 3

23 10 2 6 1,200 1000 4,000 1,500,000 37 3

24 8 2 2 1,000 0 5,000 4,500,000 45 5

25 12 2 5 1,200 1000 3,000 1,000,000 28 1

26 12 1 5 1,000 0 3,000 1,050,000 20 2

27 13 1 5 1,000 0 3,500 1,000,000 22 1

28 12 2 5 1,000 0 3,000 1,050,000 38 2

29 14 1 5 1,000 0 2,500 1,010,000 16 2

30 12 1 5 1,300 1000 3,000 1,000,000 15 2

31 12 2 5 1,000 0 3,000 1,300,000 42 3

32 14 1 5 1,000 0 2,500 1,050,000 23 2

33 12 2 3 1,000 950 4,000 1,300,000 26 3

34 16 2 6 1,000 875 5,000 1,000,000 24 3

35 24 2 6 1,000 0 2,000 1,300,000 24 2

36 6 2 3 1,250 0 0 5,000,000 30 4

37 3 2 4 1,500 0 9,000 12,000,000 44 5

38 10 2 3 1,000 800 3,000 3,000,000 32 4

39 16 1 5 1,100 1000 2,500 1,050,000 22 2

40 12 2 3 1,300 1000 2,000 6,500,000 26 5

41 32 1 5 1,100 1000 2,000 2,000,000 25 3

42 16 1 2 1,000 850 4,000 2,700,000 25 5

43 12 1 2 1,000 750 3,000 2,700,000 25 5

(42)
(43)

66 10 2 5 1,000 1000 2,000 1,600,000 40 3

67 12 2 4 1,000 0 3,000 13,000,000 25 4

68 12 1 1 1,000 0 2,000 2,200,000 25 4

69 7 2 6 1,250 0 7,000 3,200,000 45 3

70 10 2 3 1,000 0 4,000 2,500,000 28 4

71 12 2 1 1,000 833 4,000 5,000,000 30 4

72 16 1 5 1,000 850 2,000 1,000,000 23 2

73 8 2 3 1,100 0 5,000 4,500,000 48 4

74 12 2 1 1,000 0 3,000 4,800,000 27 5

75 24 1 5 900 850 2,000 900,000 22 2

76 5 2 3 1,500 0 8,000 3,000,000 50 4

77 14 2 1 1,000 0 3,000 3,000,000 30 4

78 18 2 1 1,000 833 2,000 2,000,000 28 4

79 10 2 2 1,000 800 4,000 7,000,000 35 6

80 32 1 5 1,000 95 1,500 1,000,000 24 3

81 12 2 1 1,000 833 3,500 5,000,000 37 5

82 12 2 2 1,000 833 3,000 5,000,000 42 5

83 4 2 1 1,500 0 9,000 6,000,000 48 6

84 10 2 4 1,000 800 4,500 2,500,000 30 4

85 9 2 2 1,000 0 5,000 7,000,000 42 6

86 23 1 5 1,000 1000 1,500 1,000,000 24 3

87 16 2 1 1,000 0 2,000 3,000,000 29 3

(44)
(45)

110 12 2 1 1,000 0 0 10,000,000 41 3

111 4 2 2 1,500 0 8,000 5,000,000 47 5

112 5 2 2 1,500 600 2,000 6,000,000 55 6

113 23 1 5 950 900 1,500 1,000,000 24 2

114 12 2 5 1,000 800 3,000 900,000 31 3

115 6 2 2 1,000 0 5,000 5,000,000 45 5

116 10 2 1 1,000 0 4,000 3,000,000 38 4

117 9 2 2 1,000 0 3,000 4,500,000 44 5

118 8 2 1 1,000 0 2,000 2,000,000 56 1

119 12 2 5 1,000 1083 2,000 1,500,000 34 3

120 12 2 5 1,000 833 2,000 1,200,000 32 3

121 1 2 1 1,600 0 2,000 4,000,000 49 4

122 12 2 3 1,000 833 2,000 2,000,000 32 3

123 10 2 1 1,000 850 4,000 2,800,000 36 4

124 13 1 3 1,000 0 2,500 3,500,000 27 4

125 18 2 5 1,000 980 2,000 1,000,000 22 3

126 12 2 5 1,000 0 3,000 1,020,000 35 3

127 12 2 5 1,000 0 3,000 1,000,000 37 1

128 12 2 3 1,000 0 3,000 1,500,000 32 3

129 10 2 5 1,000 0 4,000 2,000,000 29 4

130 16 2 2 1,000 900 5,000 4,500,000 28 5

131 7 2 2 1,200 0 6,000 6,000,000 44 6

(46)
(47)

154 24 1 6 1,000 0 2,000 1,000,000 24 2

155 12 2 5 1,000 0 2,000 1,000,000 29 1

156 12 2 5 1,000 0 3,500 1,000,000 29 1

157 24 2 6 1,000 958 2,000 1,000,000 25 3

158 32 1 6 900 800 1,500 1,000,000 24 3

159 12 2 5 1,000 800 3,000 900,000 29 1

160 11 1 3 1,000 0 3,500 3,000,000 31 3

161 9 2 1 1,000 0 5,000 5,000,000 42 5

162 12 2 5 1,000 0 3,000 1,000,000 35 1

163 12 2 5 1,000 833 3,000 1,000,000 29 3

164 10 2 3 1,000 1300 4,000 3,500,000 41 4

165 13 1 3 1,000 846 3,500 3,500,000 27 4

166 9 2 1 1,100 833 3,500 3,500,000 52 4

167 24 2 6 1,000 833 2,000 1,000,000 24 3

168 16 2 5 1,000 875 8,000 1,010,000 27 3

169 12 2 2 1,000 833 3,000 4,500,000 31 5

170 12 2 2 1,000 0 2,000 5,000,000 39 5

171 6 2 6 1,500 0 6,000 5,500,000 42 2

172 8 2 2 1,000 0 6,000 5,000,000 42 5

173 6 2 1 1,500 0 6,000 6,000,000 45 6

174 14 1 3 1,000 857 8,000 1,000,000 27 3

175 18 1 6 1,000 778 2,000 1,000,000 28 3

(48)
(49)

198 9 2 1 1,000 778 4,000 2,000,000 44 4

199 7 2 1 1,250 0 5,000 2,500,000 42 4

200 6 2 2 1,250 0 6,000 5,000,000 48 5

201 4 2 2 1,500 700 9,000 5,000,000 50 5

202 6 2 2 1,500 0 6,000 5,000,000 48 5

203 14 2 3 1,000 857 3,000 3,500,000 25 4

204 20 1 6 1,000 900 1,500 1,000,000 25 3

205 22 1 5 1,000 91 2,000 1,000,000 24 3

206 32 1 5 1,000 563 1,500 2,500,000 19 3

207 10 2 1 1,000 0 0 2,500,000 47 3

208 12 2 5 1,000 0 4,000 1,200,000 29 3

209 12 2 5 1,000 0 3,000 1,050,000 29 3

210 12 2 5 1,000 0 3,000 1,200,000 28 3

211 6 2 2 1,250 0 5,000 5,000,000 49 5

212 12 2 1 1,000 0 0 3,000,000 25 4

213 9 2 1 1,000 833 4,000 3,000,000 43 4

214 10 2 4 1,000 800 4,000 3,000,000 38 4

215 12 2 5 1,000 800 3,000 1,000,000 30 3

216 8 2 1 1,100 700 6,000 4,500,000 39 5

217 6 2 2 1,500 0 7,000 5,000,000 40 5

218 6 2 4 1,500 0 6,000 5,000,000 60 1

219 3 2 2 1,500 0 9,000 8,000,000 48 6

(50)
(51)

242 8 2 6 1,000 0 6,000 3,000,000 61 3

243 5 2 2 1,500 0 8,000 5,800,000 48 6

244 9 2 1 1,300 833 4,000 3,600,000 51 4

245 16 1 6 1,000 875 8,000 4,000,000 23 5

246 10 2 4 1,000 850 0 15,000,000 32 4

247 12 2 5 1,000 833 3,000 1,000,000 32 3

248 8 2 1 1,000 0 4,000 2,800,000 40 4

249 7 1 1 1,200 0 5,000 7,000,000 29 5

250 6 2 1 1,300 0 5,000 4,000,000 48 4

251 8 2 1 1,000 750 5,000 3,800,000 42 4

252 10 2 1 1,000 0 4,000 8,000,000 40 5

253 25 1 6 1,000 800 9,000 2,000,000 20 3

254 12 2 1 1,000 0 0 2,000,000 28 3

255 2 2 2 1,500 0 10,000 6,000,000 53 6

256 12 2 5 1,000 833 8,000 1,000,000 29 3

257 12 2 5 1,000 833 4,000 1,000,000 26 2

258 6 2 2 1,500 0 8,000 4,500,000 43 5

259 24 2 6 900 875 2,000 2,000,000 23 3

260 3 1 2 1,500 667 10,000 9,000,000 49 6

261 6 2 2 1,300 700 6,000 5,000,000 43 5

262 30 1 5 900 800 1,000 1,000,000 23 3

263 8 2 1 1,000 0 4,000 5,000,000 42 4

(52)
(53)

286 10 2 6 1,000 0 3,000 4,000,000 38 5

287 12 1 5 1,000 0 3,000 1,000,000 29 3

288 32 1 5 900 938 8,000 1,000,000 23 3

289 20 2 6 1,000 0 2,000 5,000,000 30 3

290 12 1 5 1,000 0 4,000 1,000,000 24 3

291 12 2 1 1,000 0 2,000 3,500,000 51 3

292 19 1 3 1,000 895 7,000 1,050,000 21 3

293 12 1 5 1,000 900 4,000 1,050,000 22 3

294 8 2 4 1,000 700 4,000 5,000,000 44 4

295 12 2 5 1,000 833 2,500 1,000,000 31 3

296 12 2 1 1,000 800 0 2,000,000 35 3

297 2 2 4 1,500 0 9,000 5,000,000 50 4

298 5 2 4 1,500 0 6,000 5,000,000 45 4

299 10 2 4 1,000 700 4,000 1,500,000 29 3

300 11 2 1 1,000 0 3,000 1,000,000 28 4

301 6 1 1 1,500 0 2,000 2,200,000 29 3

302 12 2 5 1,000 833 4,000 1,000,000 28 3

303 24 2 6 1,000 950 2,500 1,000,000 24 2

304 6 2 2 1,500 833 6,000 6,000,000 44 6

305 10 2 4 1,000 0 4,000 5,000,000 33 4

306 16 2 6 1,000 938 2,000 1,000,000 23 3

307 24 1 6 1,000 0 8,000 5,000,000 22 3

(54)
(55)

330 6 2 1 1,000 0 6,000 3,000,000 44 4

331 6 2 3 1,500 700 4,000 3,000,000 44 4

332 12 2 1 1,000 0 2,000 2,000,000 33 3

333 12 2 5 1,000 800 3,000 1,000,000 29 3

334 14 2 5 1,000 900 2,000 1,100,000 27 3

335 34 1 5 900 990 2,000 1,000,000 23 3

336 8 2 1 1,250 0 6,000 4,000,000 45 5

337 12 2 5 1,000 800 2,500 1,500,000 23 1

338 10 2 4 1,000 750 4,000 4,000,000 31 3

339 10 2 4 1,000 750 4,000 4,000,000 30 4

340 8 2 1 1,000 0 4,000 5,000,000 45 5

341 6 2 1 1,000 0 0 3,200,000 36 3

342 10 1 2 1,000 0 4,000 4,500,000 30 5

343 12 1 5 1,000 0 3,000 1,000,000 27 3

344 12 2 5 1,000 800 3,000 1,000,000 29 3

345 12 2 5 1,000 0 0 1,500,000 44 1

346 16 2 5 1,000 990 2,500 1,000,000 26 3

347 6 2 2 1,300 0 5,000 5,500,000 46 5

348 12 2 5 1,000 0 2,000 1,000,000 29 3

349 12 2 5 1,000 850 4,000 1,000,000 28 3

350 10 2 4 1,000 0 4,000 3,900,000 35 4

351 12 2 1 1,000 0 0 2,400,000 42 3

(56)
(57)

374 10 2 4 1,000 0 4,000 3,000,000 37 4

375 9 2 2 1,000 0 4,000 4,300,000 42 5

376 6 2 5 1,300 0 8,000 2,800,000 31 2

377 12 2 5 1,000 950 3,000 1,000,000 32 3

378 12 2 5 1,000 900 2,500 1,000,000 31 3

379 32 1 5 1,200 1000 2,000 1,000,000 22 3

380 12 2 5 1,000 0 3,000 1,000,000 29 3

381 6 2 2 1,000 0 2,500 4,900,000 47 5

382 12 2 5 1,000 1000 3,000 1,000,000 29 2

383 12 1 5 1,000 800 2,000 1,000,000 21 3

384 10 1 1 1,000 860 4,000 2,000,000 26 4

385 23 1 5 1,000 870 2,000 1,000,000 23 3

386 7 2 2 1,250 0 4,000 5,000,000 41 5

387 12 2 2 1,000 0 4,000 4,000,000 25 5

388 8 2 2 1,000 813 2,500 4,900,000 40 5

389 6 2 3 1,000 0 4,000 5,500,000 44 4

390 4 2 6 1,500 500 9,000 5,000,000 40 2

391 12 2 5 1,000 833 4,000 1,000,000 34 3

392 24 1 3 1,000 1000 1,000 2,000,000 22 4

393 20 1 1 1,000 0 2,000 3,500,000 23 5

394 3 2 1 1,500 0 8,000 5,800,000 46 6

395 2 2 2 1,500 0 10,000 4,000,000 48 5

Gambar

Tabel 1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu di
Grafik 1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011 (triliun)
Tabel 2 Proporsi penduduk umur   10 tahun menurut kebiasaan merokok dan provinsi di Indonesia 2013
Tabel 3 Proporsi penduduk umur   10 tahun menurut kebiasaan merokok di Kabupaten/Kota Jawa Barat  tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Annealing adalah salah satu jenis perlakuan panas, yang memiliki tujuan mengurangi internal stress, menghaluskan butiran, mengurangi kekerasan (pelunakan logam)

Dokumen ini dan informasi yang dimilikinya adalah milik Prodi Magister Teknik Informatika-UAJY dan bersifat rahasia. Dilarang untuk mereproduksi dokumen.. ini tanpa diketahui

– Entity class is a collection of entities described by the entity format in that class.. – Entity instance is the representation of a

 Analisis sistem adalah penelitian atas sistem yang telah ada dengan tujuan untuk merancang sistem baru atau diperbarui..  Langkah – langkah dalam tahap analisis yaitu

Susan Stainback(1988:227) menyatakan dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan partisipas

Masih agak sulit diterapkan iya, karena yang saya dengar selama ini masih ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, apa lagi kususnya kita orang Loli

Dalam rangka memudahkan pengelolahan data seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, penggunaan komputer sebagai alat bantu sangat dibutuhkan dalam

The used media in the implementation of learning trajectory of ordering decimal numbers in this study was picture of number line, LCD projector, body scales, cards of