FENOLOGI DAN STIMULASI PERKECAMBAHAN
BENIH PURWOCENG
(Pimpinella pruatjan Molk.)
DEVI RUSMIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang berjudul:
FENOLOGI DAN STIMULASI PERKECAMBAHAN BENIH PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.)
Merupakan karya saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
DEVI RUSMIN. Phenology and Stimulation of Pruatjan’s Seed Germination (Pimpinella pruatjan Molk.). Under supervision of FAIZA C. SUWARNO as the leader, IRENG DARWATI, and SATRIYAS ILYAS as the committee members
The an experiment was conducted at Gunung Putri Eksperimental Station and Plant Physiology Laboratory of Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute (IMACRI), from November 2008 to December 2009. The aim of experiment was to determine the optimum germination temperature and media for seed viability testing of Pimpinella pruatjan, to determine of Pimpinella pruatjan physiological seed maturity and to study its morphological structures. and to find out the best stimulation of seed germination for increasing seed viability and vigour of Pimpinella pruatjan. Three series of experiments were conducted to find, 1) The optimal temperature and media to germinate seed of P. pruatjan, 2) Phenologycal study of P. pruatjan’s seed, and 3) The Effect of stimulation treatments on the seed viability and vigour of P. pruatjan. Results of the experiment showed that: (1) The stencil paper (CD) was the best germination medium on seed viability and vigor of P. pruatjan testing, based on seed germination percentace, vigour index, and germination speed on temperature 18-20 °C. The stencil paper (CD) was the best germination medium on seed viability and vigour of P. pruatjan testing, based on seed germination percentace, vigour index, and germination speed on temperature 23-25 °C. Germination temperature 23-25 °C was the optimum temperature on seed viability and vigour testing of P.pruatjan, based on seed germination percentace, and germination speed, (2) The physiological seed maturity on the first and third umbell of
P. Pruatjan was achieved at 7 weeks after anthesis, and physiological seed maturity on the second umbell was achieved at 8 weeks after anthesis. Seed dry weight on the physiological seed maturity on the first, second and third umbells were 166,87; 158,20, and 141,35 mg/100 pericarp, respectively. Germination percentage and germination speed on the first, second and third umbells were 5,75 % and 0,22 %/etmal; 22,75 % and 0,94 %/etmal; 10,50 % and 0,38 %/etmal, respectively, and (3) seed incubation in 50 oC for 48 hours as stimulation treatments increased seed viability and vigour of P. pruatjan. Maximum growth potencial increased from 17,5 to 51,5 %, germination percentage increased from 8,5 to 51,5 %, dry weight of normal seedling increased from 3,359 to 23,977 mg, vigour index increased from 1,4 to 2,6 %, and germination speed increased from 0,28 to 1,74 %/etmal.
Keywords: phenology, Pruatjan, seed, stimulation, viability, vigour
DEVI RUSMIN. Fenologi dan Stimulasi Perkecambahan Benih Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dibimbing oleh FAIZA C. SUWARNO sebagai ketua, IRENG DARWATI, dan SATRIYAS ILYAS sebagai anggota komisi
Purwoceng merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan banyak dicari oleh industri-industri jamu. Tanaman purwoceng berkhasiat sebagai obat afrodisiak (meningkatkan gairah seksual pria), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (meningkatkan stamina tubuh). Berdasarkan uji praklinik, ekstrak akar purwoceng mempunyai aktivitas androgenik dan estrogenik. Permasalahan dalam pengembangan tanaman ini antara lain adalah rendahnya viabilitas benih (<25 %).
Berdasarkan permasalahan tersebut dilaksanakan suatu penelitian yang berjudul ”Fenologi dan Stimulasi Perkecambahan Benih Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)” yang bertujuan untuk: (1) Mengetahui suhu dan media perkecambahan yang tepat dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng, (2) Menentukan saat masak fisiologis benih purwoceng berdasarkan perubahan fisik dan fisiologis benih serta mempelajari struktur morfologi benih purwoceng, dan (3) Mengetahui metode stimulasi perkecambahan yang tepat untuk meningkatkan viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng.
Percobaan penentuan suhu dan media perkecambahan benih purwoceng terdiri atas dua percobaan terpisah dan masing-masing disusun dalam rancangan lingkungan acak lengkap (RAL) satu faktor, dengan tiga ulangan. Percobaan terdiri dari: (1) Perkecambahan benih pada ruangan dengan dengan suhu 18–20 °C dan (2) Perkecambahan benih pada ruangan dengan suhu 23–25 °C. Perlakuan yang diuji untuk masing-masing percobaan adalah media perkecambahan yang terdiri atas lima jenis yaitu: (1) media kertas stensil yang dikenal juga dengan kertas CD (M1), (2) media pasir (M2), (3) media tanah (M3), (4) campuran media tanah dan kompos (1:1) (M4) dan (5) campuran media tanah, pasir dan kompos (1:1:1) (M5), sehingga diperoleh 15 kombinasi perlakuan untuk masing-masing percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap viabilitas potensial meliputi: daya berkecambah, berat kering kecambah, dan dan vigor benih meliputi: indeks vigor, kecepatan berkecambah, dan laju pertumbuhan kecambah.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa: (1) Kertas stensil (CD) merupakan media yang terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng, berdasarkan tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh pada suhu 18-20 ° C, (2) Kertas stensil (CD) juga merupakan media yang terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng, berdasarkan tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh pada suhu 23-25 °C, (3) Suhu 23-25 °C merupakan suhu terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng pada media kertas CD berdasarkan tolok ukur daya berkecambah dan kecepatan tumbuh.
Pengambilan sampel benih dipisah berdasarkan tahap muncul kelompok bunga (payung) yaitu: payung yang muncul pertama (primer), kedua (sekunder) dan ketiga (tersier). Pemisahan pengambilan sempel berdasarkan kelompok bunga (payung) bertujuan untuk mendapatkan tingkat kemasakan dan ukuran benih yang seragam. Jumlah tanaman yang diamati adalah sebanyak 100 tanaman. Setiap bunga yang mekar ditandai dan diamati sesuai dengan umur yang sudah ditetapkan. Pengamatan sampel bunga dan pemanenan benih dilakukan secara acak pada tiap tanaman, dengan 4 ulangan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa: Masak fisiologis benih pada tiga kelompok bunga (payung) berbeda-beda. Masak fisiologis benih dari payung pertama dan ke tiga, berada sekitar umur 7 MSA, dan pada payung ke dua berada sekitar umur 8 MSA. Berat kering benih pada saat masak fisiologis pada payung pertama, ke dua dan ke tiga berturut-turut adalah 166,87, 158,20, dan 141,35 mg/100 buah. Daya berkecambah dan kecepatan tumbuh pada saat masak fisiologis pada payung pertama, ke dua dan ke tiga, masing-masing sebesar 5,75 % dan 0,22 %/etmal; 22,75 % dan 0,94 %/etmal, serta 10,50 % dan 0,38 %/etmal.
Percobaan Pengaruh Perlakuan Stimulasi Perkecambahan terhadap Viabilitas Benih Purwoceng. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, dengan tiga ulangan. Faktor yang diuji adalah perlakuan stimulasi perkecambahan yang terdiri atas dua belas taraf yaitu: (1) T1= kontrol, (2) T2= stratifikasi suhu 5-10 °C (2 minggu), (3) T3= stratifikasi suhu 10 °C (4 minggu), (4) T4= simpan kering suhu ruang (2 minggu), (5) T5 = simpan kering suhu ruang (4 minggu), (6) T6 = pencucian dengan air mengalir (24 jam), (7) T7= pencucian dengan air mengalir (48 jam), (8) T8 = imbibisi dengan GA3 100 ppm (24 jam), (9) T9= imbibisi dengan GA3 200 ppm (24 jam), (10) T10= imbibisi dengan GA3 400 ppm, (24 jam), (11) T11= imbibisi dengan KNO3 0,2 % (24 jam), (12) T12= pemanasan suhu 50 °C (24 jam), dan (13) T13 = pemanasan suhu 50 °C (24 jam). Pengamatan dilakukan terhadap viabilitas total dengan peubah potensi tumbuh maksimum, viabilitas potensial meliputi: daya berkecambah dan berat kering kecambah normal, dan vigor benih meliputi: indeks vigor, kecepatan tumbuh, dan laju pertumbuhan kecambah.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa: perlakuan stimulasi perkecambahan dengan pemanasan suhu 50°C selama 48 jam meningkatkan viabilitas total, viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng dengan nilai tertinggi. Potensi tumbuh maksimum meningkat dari 17,5 menjadi 51,5 %, daya berkecambah meningkat dari 8,5 menjadi 51,5 %, berat kering kecambah normal meningkat dari 3,359 menjadi 23,977 mg, indeks vigor meningkat dari 1,4 menjadi 2,6 %, dan kecepatan tumbuh benih meningkat dari 0,28 menjadi 1,74 %/etmal .
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
FENOLOGI DAN STIMULASI PERKECAMBAHAN
BENIH PURWOCENG
(Pimpinella pruatjan Molk.)
DEVI RUSMIN
Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : A251070031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Faiza C. Suwarno, M.S. Ketua
Dr. Ir. Ireng Darwati Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Benih Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.
Penulis dilahirkan di Tanah Datar, Sumatera Barat pada tanggal 16 Mei 1967 dari pasangan Alm. R. Dt. Madjo Basa (ayah) dan Almh. Aminah (ibu). Penulis merupakan putri ke-5 dari enam bersaudara.
Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMAN I Bukittinggi, dan pada tahun yang sama penulis lulus masuk Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Program Studi Teknologi Benih melalui ujian seleksi Sipenmaru. Pada tahun 1994 penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Pada tahun 1996 sampai sekarang penulis diangkat menjadi tenaga peneliti di bidang Teknologi Benih dan saat ini telah menduduki jenjang Peneliti Muda di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin-Nya karya ilmiah dengan judul “Fenologi dan Stimulasi Perkecambahan Benih Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)”, yang telah dilaksanakan sejak bulan November 2008 sampai dengan Desember 2009 berhasil diselesaikan.
Karya ilmiah ini disusun sebagai sebagai salah satu syarat kelulusan di Sekolah Pascasarjana IPB, yang memuat antara lain, latar belakang dilakukannya penelitian, tinjauan pustaka, bahan dan metode serta hasil dan pembahasan yang didukung oleh literatur yang terkait.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Faiza C. Suwarno, MS., Dr. Ir. Ireng Darwati dan Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. selaku pembimbing dan Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terimakasih
yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan biaya studi, kepada Dr. Yudiwanti W, MS. sebagai penanggung jawab proyek penelitian KKP3T yang telah mendanai penelitian ini, kepada staf pengajar major ITB yang telah banyak menyumbangkan ilmunya dan staf kebun percobaan Gunung Putri yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta atas doa, dorongan dan kasih sayangnya.
Semoga dengan telah tersusunnya karya penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2010
Halaman Perkecambahan Benih dan Sifat Dormansi ... Berbagai Perlakuan Stimulasi Perkecambahan ... 5 5 6 8 10 PENENTUAN SUHU MEDIA PERKECAMBAHAN BENIH PURWOCENG... 12 STUDI FENOLOGI DAN PENENTUAN MASAK FISIOLOGIS BENIH PURWOCENG... 31 TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PURWOCENG... 50
SIMPULAN DAN SARAN... 64
Halaman 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam pada percobaan pengaruh media
perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C... 21
2 Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial: daya berkecambah (DB), dan berat kering kecambah normal (BKKN); vigor: indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan laju pertumbuhan kecambah (LPK) benih purwoceng pada suhu 18-20 °C...
22
3 Rekapitulasi hasil sidik ragam pada percobaan pengaruh media pada suhu perkecambahan 23-25 °C... 24
4 Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial: daya berkecambah (DB), dan berat kering kecambah normal (BKKN); vigor: indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan laju pertumbuhan kecambah (LPK) benih purwoceng pada suhu 23-25 °C... 25
5 Hasil uji nilai tengah (uji T) pengaruh perkecambahan benih purwoceng pada suhu 18-20 °C dan suhu 23-25 °C dengan menggunakan media kertas stensil (CD) terhadap viabilitas potensial dan vigor ... 27
6 Perkembangan bunga majemuk purwoceng... 35
7 Perkembangan buah purwoceng berdasarkan perubahan morfologi pada berbagai stadia... 39
8 Rekapitulasi hasil sidik ragam pada percobaan pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng... 54
9 Pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap viabilitas total: potensi tumbuh maksimum (PTM), dan viabilitas potensial: daya berkecambah (DB), dan berat kering kecambah normal (BKKN) benih purwoceng... 55
Halaman
1 Bagan Alir Penelitian... 4
2 Proses perkembangan kecambah benih purwoceng: (a) 0 hari, (b) 13-14 hari, (c) 15-16 hari, (d) 16-17 hari, (e) dan (f.) 18-19 hari... 18
3 Kriteria kecambah: (a) kecambah normal, dan (b) kecambah
abnormal... 19
4 Grafik perkecambahan kumulatif dan pertambahan setiap hari dari benih purwoceng untuk menentukan hitungan I dan hitungan ke-II ... 20
5 Perkembangan bunga purwoceng : (a) tandan bunga mulai muncul pada ujung pelepah daun (stadia 1), (b) tandan bunga berumur 3-4 hari setelah muncul tandan (HSMT), (c) kuncup bunga muncul 10-12 (HSMT), (d) kuncup bunga mulai membesar (14-15 HSMT), (e) bunga majemuk belum mekar (19-20 HSMT), (f) bunga majemuk mulai mekar (antesis) 25-30 HSMT... 36
6 Bentuk dan posisi bunga purwoceng: (a) Posisi payung pertama, ke dua dan ke tiga dalam satu tandan bunga, (b.) kelompok bunga purwoceng (payung), yang terdiri dari beberapa anak payung, (b) bunga mekar tidak merata dalam anak payung... 37
7 Buah dan benih purwoceng: (a) posisi benih dalam bunga majemuk (b) benih purwoceng segar dan (c) benih purwoceng kering... 38
8 Perkembangan buah Purwoceng: (a) buah umur 1 MSA, (b) buah umur 5 MSA, dan (c) buah umur 7 MSA...
40 9 Grafik perubahan kadar air (KA) (%) x 4, berat basah (BB) (mg) dan
berat kering benih (BK) (mg) selama perkembangan benih pada payung pertama... 41
10 Grafik perubahan kadar air (KA) (%) x 4, berat basah (BB) (mg) dan berat kering benih (BK) (mg) selama perkembangan benih pada payung ke dua... 42
11 Grafik perubahan kadar air (KA) (%) x 4, berat basah (BB) (mg) dan berat kering benih (BK) (mg) selama perkembangan benih pada payung ke tiga... 43
14 Indeks vigor benih purwoceng pada berbagai stadia umur benih (%).. 45
15 Kecepatan tumbuh benih purwoceng pada berbagai stadia umur benih (%/etmal)... 45
16 Laju pertumbuhan kecambah benih purwoceng pada berbagai stadia umur benih (mg/KN)... 46
17 Hasil pengujian daya berkecambah benih purwoceng pada berbagai stadia umur benih...
1 Contoh kertas stensil/CD yang digunakan... 70
2 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap daya berkecambah benih purwoceng... 70
3 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap daya berkecambah benih purwoceng... 70
4 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap indeks vigor benih purwoceng... 71
5 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap kecepatan tumbuh benih purwoceng... 71
6 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap laju pertumbuhan kecambah benih purwoceng... 71
7 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 23-25 °C terhadap daya kecambah benih purwoceng... 72
8 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 23-25 °C terhadap berat kering kecambah normal benih purwoceng... 72
9 Hasil sidik ragam pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 23-25 °C terhadap indeks vigor benih purwoceng...
72
benih purwoceng ...
12
Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap potensi tumbuh maksimum benih purwoceng ... 73
13 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap daya berkecambah benih purwoceng ...
74
14
Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap berat kering kecambah normal benih purwoceng... 74
15 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap indeks vigor benih purwoceng ... 74
16 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan stimulasi perkecambahan terhadap kecepatan tumbuh benih purwoceng ... 75
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan tanaman herba tahunan
dari famili Apiaceae, yang hidup secara endemik pada habitat dengan
ketinggian 1800–3000 m dari permukaan laut. Tanaman ini merupakan tanaman
obat asli Indonesia yang dulunya banyak dijumpai di daerah pegunungan seperti
Dataran Tinggi Dieng dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan
Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa
Timur (Heyne 1987).
Tanaman purwoceng berkhasiat sebagai obat afrodisiak (meningkatkan
gairah seksual pria), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik
(meningkatkan stamina tubuh). Berdasarkan uji praklinik, ekstrak akar purwoceng
mempunyai aktivitas androgenik dan estrogenik (Caropeboka 1980; Kosin 1992;
Taufiqqurrachman 1999; dan Juniarto 2004).
Purwoceng merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan
banyak dicari oleh industri-industri jamu. Selain penyediaan bahan baku jamu
(segar maupun kering), bibitnya juga banyak dicari oleh berbagai instansi pemerintah,
kelompok tani dan industri jamu. Permintaan rutin dari suatu industri jamu terhadap
bahan baku jamu (segar maupun kering) mencapai 200–800kg/bulan, padahal
kemampuan petani hanya dapat memasok sekitar 40–50kg/bulan. Belum
terpenuhinya permintaan akan komoditas ini disebabkan karena langkanya sumber
bibit dan keterbatasan lahan yang sesuai. Langkanya budidaya di tingkat petani
disebabkan antara lain oleh sulitnya membudidayakan purwoceng di luar habitatnya
karena tanaman ini membutuhkan persyaratan agroklimat tertentu (Yuhono 2004).
Salah satu usaha untuk mengembangkan tanaman purwoceng adalah dengan
cara membudidayakan tanaman purwoceng pada daerah-daerah yang mempunyai
faktor lingkungan yang hampir sama dengan habitat aslinya. Namun demikian
pengembangan tanaman tersebut sampai saat ini belum terlaksana dengan baik karena
belum tersedianya teknologi budidaya yang optimal, termasuk penyediaan bahan
Tanaman purwoceng umumnya diperbanyak dengan cara generatif (benih).
Pada kondisi optimal tanaman mulai berbuah pada umur 5-6 bulan setelah tanam,
dan dalam satu rumpun dapat menghasilkan benih dalam jumlah ribuan dengan
daya berkecambah yang sangat rendah (<20 %) dan waktu rata-rata berkecambah
antara 1–2 bulan (Sukarman et al. 2006), sedangkan untuk pengembangan tanaman
secara komersial, dengan skala yang luas tentu membutuhkan benih yang bermutu
tinggi dan mempunyai pertumbuhan yang seragam di lapang.
Menurut Sukarman et al. (2006), rendahnya daya berkecambah benih
purwoceng ini diduga karena adanya fenomena dormansi pada benih purwoceng,
akan tetapi faktor-faktor penyebab dormansi dari benih purwoceng belum diketahui.
Benih dari tanaman famili Apiaceae pada umumnya mempunyai daya
berkecambah yang rendah, dan penyebab rendahnya daya berkecambah dari famili
Apiaceae tersebut berbeda-beda setiap tanaman. Pada tanaman Pimpinella anisum
rendahnya daya berkecambah benih disebabkan oleh adanya inhibitor pada benih
Coriandum sativum L. (Zulkarnain 1994). Pada benih Apium graveolens L., benih
mempunyai embrio yang sangat kecil yang berada di ujung mikropilar benih, dan
dikelilingi oleh endosperma yang relatif besar (Leubner 2005). Selanjutnya
Galmes et al. (2006) mengemukakankan bahwa Pimpinella bicknelli yang
merupakan tanaman herbal annual bersifat endemik mempunyai daya berkecambah
yang rendah <50 % dengan lama dormansi berkisar antara 40–50 hari.
Sampai saat ini informasi tentang perbenihan purwoceng seperti metode
pengujian benih (penentuan suhu dan media perkecambahan), penentuan masak
fisiologis, dan perlakuan stimulasi perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas dan
vigor benih purwoceng belum diketahui.
Suhu merupakan salah satu syarat perkecambahan yang sangat penting di
samping faktor air, cahaya dan oksigen. Pengaruh suhu terhadap perkecambahan di
antaranya adalah: menentukan kapasitas dan kecepatan berkecambah, mematahkan
dormansi primer dan sekunder dan mendorong terjadinya dormansi sekunder.
Media perkecambahan merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi perkecambahan. Pemilihan jenis media perkecambahan yang tepat
sangat penting dalam pengembangan prosedur pengujian viabilitas benih, agar
Tingkat kemasakan benih saat panen sangat mempengaruhi keragaman
viabilitas benih. Pemanenan benih sebelum masak atau lewat masak berperan
menurunkan kualitas benih seperti kerusakan secara fisik maupun fisiologis. Benih
yang dipanen pada umur yang berbeda akan menghasilkan viabilitas benih yang
berbeda. Benih yang belum masak telah mampu berkecambah tetapi vigornya
rendah dan bibit yang dihasilkan lebih pendek dan lebih lemah dari benih yang
dipanen pada saat masak fisologi. Benih yang terlambat dipanen akan mengalami
penurunan berat kering dan vigor karena pengaruh deraan cuaca di lapang.
Metode stimulasi perkecambahan dapat dilakukan berdasarkan pada faktor
penyebab rendahnya viabilitas benih. Stimulasi perkecambahan dapat dilakukan
dengan penggunaan hormon diantaranyai GA3, dan bahan kimia KNO3. Selain
penggunaan hormon dapat juga digunakan perlakuan stratifikasi benih dengan suhu
tinggi, suhu rendah dan penyimpanan dalam kondisi kering (Copeland dan
McDonald 1995; Khan 1977).
Tujuan Percobaan
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan: (1) Mengetahui suhu dan media
perkecambahan yang tepat dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih
purwoceng, (2) Menentukan saat masak fisiologis benih purwoceng berdasarkan
perubahan fisik dan fisiologis benih serta mempelajari struktur morfologi benih
purwoceng dan (3) Mengetahui metode stimulasi perkecambahan yang tepat untuk
Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Percobaan III Pengaruh Perlakuan Stimulasi Perkecambahan
.terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Purwoceng Percobaan II
Studi Fenologi dan Penentuan Masak Benih
Purwoceng Percobaan I
Penentuan Suhu dan Media Perkecambahan Benih Purwoceng
.
Pengamatan - kadar air benih - berat kering benih - morfologi
- viabilitas dan vigor
Masak fisiologis benih
Metode stimulasi perkecambahan yang tepat Pengamatan
viabilitas potensial dan vigor
Suhu dan media perkecambahan yang terbaik untuk
pengujian benih
Pengamatan viabilitas potensial dan
vigor
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Purwoceng
Tanaman purwoceng termasuk famili Apiaceae, marga Pimpinella dan jenis
Pimpinella pruatjan Molk., sinonim Pimpinella alpina Kds. Purwoceng merupakan
tanaman terna perenial dengan habitus tanaman berbentuk roset. Tajuk tanaman
menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk
berkisar 36–45 cm setiap tanaman. Tangkai daun tumbuh rapat menutupi batang
tanaman, sehingga batang tanaman tidak terlihat. Jumlah tangkai daun berkisar
antara 22–27 buah/tanaman dengan jumlah tangkai daun berkisar 18–26 cm. Warna
pangkal tangkai daun merah kecokelatan dan merah kehijauan tergantung jenisnya
(Rahardjo 2005).
Apiaceae adalah famili yang tersebar dengan luas di dunia, yang terdiri dari
455 genera dengan lebih dari 3500 spesies (Baranski et al. 2005; Davila et al.
2002). Famili Apiaceae mempunyai karakter bunga dengan tingkat ketidak
seragaman yang tinggi dengan bunga berbentuk kecil dan berkumpul dalam
satu payung (kelompok bunga) (Davila et al. 2002).
Purwoceng mempunyai daun majemuk yang menyirip ganjil, dengan anak
daun tumbuh di sepanjang tangkai daun dengan kedudukan saling berhadapan. Pada
ujung tangkai daun tumbuh daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan
pinggiran bergerigi, warna permukaan daun hijau dan permukaan bawah daun hijau
keputihan (Rahardjo 2005).
Tanaman purwoceng mempunyai akar tunggang, dengan akar bagian pangkal
semakin lama akan bertambah ukurannya dan membentuk umbi seperti gingseng
kemudian akar-akar rambut keluar di ujung-ujung akar tunggang (Rahardjo 2005).
Tanaman purwoceng mulai berbunga pada umur 5–6 bulan setelah tanam, tangkai
bunga keluar pada bagian ujung tanaman, dengan bunga majemuk membentuk
payung.
Purwoceng merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu tumbuh pada ketinggian
1800–3300 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman tumbuh subur pada ketinggian
60–70% serta curah hujan di atas 4000 mm/tahun. Untuk pertumbuhan selain
memerlukan tanah yang gembur dan subur, juga diperlukan tanah yang kaya bahan
organik dengan pH tanah 5,7–6,0. Tanaman tidak tumbuh dengan baik pada tanah
yang bertekstur liat. Untuk tanah yang kurang subur perlu dilakukan pemupukan
terutama pupuk organik. Dari hasil penelitian terakhir membuktikan bahwa
purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian hingga 1500 m dpl dengan suhu
udara 15,5–25,8 ºC dan kelembaban 60–90% (Rahardjo 2005).
Perkembangan dan Pemasakan Benih
Secara umum perkembangan benih dimulai dari terbentuknya zigot sampai
benih masak yang terdiri atas tiga fase yaitu: fase histodiferensiasi, fase akumulasi
asimilat dan fase pemasakan (Goldsworthy 1984; Bewley and Black 1994).
Pada fase pertama ini terjadi pembelahan sel yang giat, baik pembelahan sel
zigot untuk membentuk embrio maupun pembelahan sel endorperma primer
untuk membentuk endosperma. Akibat dari pembentukan sel-sel baru ini ovule
mengalami pertambahan berat kering. Walaupun terjadi penambahan berat kering
dalam fase ini, tetapi jumlahnya masih sedikit yaitu ±10% dari berat kering akhir
dan penambahan berat kering terjadi secara lambat. Fase pertama ini berakhir setelah
pembelahan sel terhenti dan diferensiasi pembentukan embrio juga sudah sempurna
(matang morfologis). Kadar air benih pada fase ini berkisar 80–85%.
Fase ke dua merupakan periode penumpukan cadangan makanan (asimilat)
atau periode pengisian benih yang efektif. Pada fase ini terjadi pembesaran sel dan
hasil-hasil fotosintesis ditranslokasikan ke dalam benih yang sedang berkembang,
sehingga terjadi penambahan berat kering dalam jumlah yang besar dan dalam
waktu yang cepat (penambahan berat kering ± 80%). Berat basah relatif stabil, laju
penurunan kadar air berkurang pada saat benih mendekati berat kering maksimum
(Goldsworthy 1984; Bewley dan Black 1994). Pada akhir fase ke dua ini
benih mencapai berat kering maksimum, dan pada saat tersebut benih sudah
mencapai matang fisiologis (physiologycal maturity) (Goldsworthy 1984).
Fase ke tiga merupakan fase pemasakan benih, pada fase ini benih sudah
pada tanaman induknya. Proses yang utama pada fase ini adalah penurunan kadar
air benih yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Goldsworthy 1984).
Perubahan yang terjadi selama perkembangan benih adalah perkembangan
secara morfologi, perubahan berat dan perubahan secara kimiawi (Copeland dan
McDonald 1995). Selama perkembangan benih terutama pada saat akumulasi
cadangan makanan juga terjadi perubahan terhadap kandungan kimia penting
lainnya yaitu hormon atau zat pengatur tumbuh seperti auksin, giberelin,
sitokinin dan ABA. Kandungan auksin mencapai puncak pada benih yang sedang
berkembang kemudian berkurang dengan jumlah yang relatif sedikit pada saat
benih masak. Giberelin pada stadia awal perkembangan benih terdapat dalam
bentuk aktif dan berubah menjadi bentuk tidak aktif pada benih masak.
Kandungan sitokinin meningkat selama perkembangan benih, terutama pada saat
jaringan benih sedang tumbuh dan kemudian jumlahnya menurun seiring dengan
kemasakan benih. Seperti pada hormon lainnya, kandungan ABA mencapai puncak
selama perkembangan benih dan kemudian menurun dengan cepat pada saat
pengeringan benih (Bewley dan Black 1994). Hormon endogen tersebut berperan
dalam perkembangan benih dan kemungkinan terlibat dalam beberapa proses seperti
pertumbuhan dan perkembangan benih, akumulasi cadangan makanan, pertumbuhan
dan perkembangan jaringan, dan cadangan makanan untuk perkecambahan dan
pertumbuhan bibit.
Indikasi kemasakan buah secara fisiologi dikenali dari perubahan morfologi,
fisik dan biokimia buah. Kemasakan buah secara fisiologis seringkali digambarkan
dengan ciri buah seperti warna, ukuran dan kadar air buah (Castellani dan Aquiar
2001). Penentuan kemasakan benih dapat dilakukan dengan cara memperhatikan
warna buah, bau, kekerasan kulit buah atau benih, rontoknya buah atau benih dan
pecahnya buah. Tolok ukur yang objektif untuk menentukan tingkat kemasakan yaitu
berdasarkan berat kering dan vigor (Sadjad 1980). Menurut Suhartanto (2002)
bahwa kandungan klorofil pada benih juga dapat digunakan sebagai penciri masak
fisiologis pada benih tomat. Kandungan klorofil benih berkorelasi negatif dengan
Perkecambahan Benih dan Sifat Dormansi
Perkecambahan, secara morfologi didefinisikan sebagai transformasi dari
bentuk embrio menjadi kecambah, secara fisiologi perkecambahan merupakan
permulaan dari proses metabolisme dan pertumbuhan yang diawali dengan kondisi
yang mendorong dimulainya transkripsi genom, secara biokimia perkecambahan
merupakan serangkaian proses lintasan oksidatif dan sintetik (Khan 1977).
Perkecambahan secara umum merupakan serangkaian kejadian yang dimulai dari
proses imbibisi, aktivasi enzim, inisiasi pertumbuhan embrio, retak/pecahnya kulit
benih dan terakhir munculnya kecambah (Copeland dan McDonald 1995).
Menurut Bewley dan Black (1994), terdapat tiga fase pola penyerapan air
selama perkecambahan benih. Fase pertama disebut fase imbibisi, pada fase ini
air diserap oleh benih, baik benih dorman, benih non dorman, benih viabel dan
benih non viabel. Proses ini berlangsung karena adanya perbedaan potensial air
antara benih dengan air yang sangat besar.
Fase ke dua atau lag phase adalah periode mulai aktifnya metabolisme
sebagai persiapan untuk perkecambahan pada benih non dorman yang viabel. Fase
ke tiga atau fase pertumbuhan hanya terjadi pada benih non dorman yang viabel,
ditandai dengan munculnya radikula dan diikuti dengan proses pembelahan sel yang
ekstensif, peningkatan laju penyerapan air dan perombakan cadangan makanan.
Benih dorman secara umum digambarkan sebagai suatu kondisi dimana benih
tidak mampu berkecambah sekalipun pada lingkungan yang mendukung untuk
perkecambahan. Secara alamiah dormansi benih merupakan suatu mekanisme benih
untuk mempertahankan viabilitasnya pada kondisi yang kurang menguntungkan.
Menurut Mayer dan Mayber (1982), dormansi benih adalah suatu keadaan dimana
benih tidak mampu berkecambah walaupun kondisi untuk perkecambahan (air, suhu,
komposisi gas, dan cahaya) berada dalam keadaan optimum.
Ellis, Hong dan Robert (1985) menyatakan bahwa dormansi benih
dapat dikategorikan menjadi tujuh kelompok yaitu: (1) ecological dormancy,
(2) hardseednes, (3) enforced dormancy, (4) induced dormancy, (5) water sensitivity,
(6) embryo dormancy dan (7) innate dormancy. Dormansi yang diakibatkan oleh
kelembaban yang kurang memenuhi syarat disebut ecological dormancy, sedangkan
mengimbibisi air. Enforced dormancy yaitu dormansi yang disebabkan oleh faktor
lingkungan dimana benih dapat berkecambah jika faktor penghambat tersebut
dihilangkan, induced dormancy yaitu dormansi karena salah satu faktor lingkungan
dan apabila dikembalikan pada keadaan semula benih tetap dorman, dan innate
dormancy yaitu dormansi yang terjadi sejak benih masih ada di tanaman induk.
Water sensitivity yaitu benih tidak dapat berkecambah karena peka terhadap
kelembaban tinggi dan tidak menunjukkan kerusakan pada kotiledon apabila
diuji dengan tetrazolium sedangkan embryo dormancy yaitu dormansi yang
disebabkan oleh embrio benih tidak dapat tumbuh atau berkembang karena adanya
inhibitor dari kotiledon yang menghambat perkecambahan benih.
Dormansi mungkin dikendalikan oleh keseimbangan antara hormon perangsang
pertumbuhan dan hormon penginduksi dormansi yang ada di dalam organ
yang sama. Di dalam hipotesis Khan (1977) dikemukakan bahwa terdapat
keseimbangan promotor dan inhibitor dalam merangsang perkecambahan, yaitu:
(1) hormon giberelin harus ada dalam semua kondisi tetapi aktivitasnya dapat
dihambat oleh inhibitor, (2) hormon sitokinin dapat menutupi peran inhibitor, dan
(3) jika tidak ada inhibitor sitokinin tetap berperan.
Bewley dan Black (1994) mengemukakan bahwa di samping dormansi
mempunyai dasar genetik, faktor lingkungan dapat menjadi pembatas terhadap
derajat dormansinya. Derajat dormansi juga dipengaruhi oleh status hormonal yang
disintesis selama proses perkembangan dan pemasakannya. Inhibitor dalam benih
yang dibentuk pada fase pemasakan menyebabkan benih yang lebih masak
mempunyai derajat dormansi yang lebih tinggi.
Penelitian-penelitian tentang dormansi benih khususnya dari golongan serealea
telah banyak dilakukan seperti pada tanaman padi, dan barley. Dormansi pada benih
barley, dan benih sereal daerah iklim temperate lainnya, dinyatakan sebagai
ketidakmampuan dari benih yang baru dipanen untuk berkecambah pada suhu
>20 ºC, tetapi bisa berkecambah pada suhu yang relatif rendah (10-20 °C) (Lenoir
et al. 1986; Corbineau dan Come 1996).
Dormansi pada benih barley juga terlihat di bawah kontrol ABA
tidak secara langsung terlibat dalam mengontrol dormansi, tetapi berperanan penting
dalam menstimulir perkecambahan, dengan menurunkan level ABA (Bewley 1997).
Dormansi morfologi dan fisiologi pada benih Chaerophyllum temulum (famili
Apiaceae) dapat dipatahkan dengan perlakuan stratifikasi pada suhu 5 ºC, dimana
benih bisa berkecambah pada rentang suhu yang luas. Peningkatan konsentrasi GA3
dapat meningkatkan daya berkecambah, akan tetapi pemberian GA3 tidak dapat
menggantikan perlakuan stratifikasi dingin pada benih yang dikecambahkan pada
suhu 23 ºC (Vandelook et al. 2007). Menurut Schutte and Knee (2005), benih
Eryngium yuccifolium M. (Apiaceae) mempunyai dormansi yang disebabkan oleh
embrio yang rudimenter yang tersimpan dalam endosperma, testa dan pericarp,
dan perkecambahan hanya terjadi pada suhu 25 ºC.
Berbagai Perlakuan Stimulasi Perkecambahan
Pada prinsipnya terdapat dua metode stimulasi perkecambahan berdasarkan
sifat dormansinya, yaitu dormansi eksogenus dan dormansi endogenus. Pada
dormansi eksogenus umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara
fisik, seperti skarifikasi mekanik dan skarifikasi kimiawi. Skarifikasi mekanik
meliputi pengampelasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan pada bagian
tertentu dari benih. Perendaman benih atau perlakuan skarifikasi kimiawi biasa
dilakukan dengan menggunakan air panas dan dan bahan-bahan kimia seperti asam
kuat (H2SO4 dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusakkan atau
melunakkan kulit benih. Penggunaan hormon seperti GA3, etilen dan sitokinin serta
bahan kimia KNO3 merupakan perlakuan pematahan dormansi pada kasus
dormansi endogenus. Selain penggunaan hormon dapat juga digunakan perlakuan
stratifikasi benih dengan suhu tinggi, suhu rendah maupun perlakuan suhu berganti.
Perlakuan stratifikasi secara tidak langsung berperan dalam memperbaiki
keseimbangan hormon dan mempengaruhi metabolisme benih. Potasium nitrat
(KNO3) merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam merangsang
perkecambahan benih. Menurut Mayer dan Mayber (1982), larutan KNO3 dapat
merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi. Rangsangan ini
Giberelin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh pada tanaman
(fitohormon) yang mempunyai peranan dalam mempercepat proses perkecambahan
benih. Weiss dan Ori (2007) menyebutkan bahwa salah satu efek fisiologis dari
giberelin adalah mendorong aktivitas enzim-enzim hirolitik pada proses
perkecambahan benih. Selama proses perkecambahan benih, embrio yang sedang
berkembang melepaskan giberelin ke lapisan aleuron. Giberelin tersebut
menyebabkan terjadinya transkripsi beberapa gen penanda enzim-enzim hidrolitik
diantaranya α-amilase. Kemudian enzim tersebut masuk ke endosperma dan
PENENTUAN SUHU DAN MEDIA PERKECAMBAHAN
BENIH PURWOCENG
ABSTRAK
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Gunug Putri dan Laboratorium Fisiologi Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2009. Percobaan bertujuan: mengetahui suhu dan media perkecambahan yang tepat dalam pengujian daya berkecambah benih purwoceng. Percobaan disusun dalam dua percobaan dengan suhu perkecambahan yang berbeda, secara terpisah: (1) Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng pada suhu 18-20 °C, dan (2) Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng pada suhu 23-25 °C. Rancangan yang digunakan untuk masing-masing percobaan adalah rancangan acak lengkap satu faktor (RAL), dengan tiga ulangan. Faktor yang diuji untuk masing-masing percobaan adalah media perkecambahan yang terdiri dari lima jenis media. Hasil percobaan menunjukkan bahwa: (1) Kertas stensil (CD) merupakan media yang terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng, berdasarkan tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh pada suhu 18-20 ° C, (2) Kertas stensil (CD), juga merupakan media yang terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng, berdasarkan tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh pada suhu 23-25 °C, (3) Suhu 23-25 °C merupakan suhu terbaik dalam pengujian viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng pada media kertas stensil (CD) berdasarkan tolok ukur daya berkecambah dan kecepatan tumbuh, dengan nilai masing-masing 44,0 % dan 1,94 %/etmal.
ABSTRACT
The experiment was conducted at Gunung Putri Experimental Station and Plant Physiology Laboratory of Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute (IMACRI), from March to May 2009. The aim of the experiment was to study the optimum germination temperature and media for seed viability testing of
Pimpinella pruatjan. Two experiments were carriout based on germination temperature, separately. The first experiment was effect of germination medium on seed viability and vigour of Pimpinella pruatjan’s seed at germination temperature 18-20 °C, and the second was effect of germination media on seed viability and vigour of Pimpinella pruatjan’seed at germination temperature 23-25 °C. Each experiments was arranged in a Completely Randomized Design with five germination media and three replications. Results of the experiment showed that: (1) The stencil paper (CD) was the best germination medium on seed viability and vigor of P.pruatjan testing, based on seed germination percentace, vigour index, and germination speed on temperature 18-20 °C, (2) The stencil paper (CD) was the best germination medium on seed viability and vigor of P.pruatjan testing, based on seed germination percentace, vigour index, and germination speed on temperature 23-25 °C, (3) Germination temperature 23-25 °C was the optimum temperature on testing of seed viability and vigor of P.pruatjan, based on seed germination percentace (44,0 %) , and germination speed (1.94 %/etmal).
PENDAHULUAN
Suhu merupakan salah satu syarat perkecambahan yang sangat penting di
samping faktor air, cahaya dan oksigen. Pengaruh suhu terhadap perkecambahan di
antaranya adalah: menentukan kapasitas dan kecepatan berkecambah, mematahkan
dormansi primer dan sekunder dan mendorong terjadinya dormansi sekunder.
Suhu mempunyai peranan penting dalam proses perkecambahan karena suhu
mempengaruhi berbagai reaksi kimia yang terjadi selama proses perkecambahan
benih. Dalam hal ini suhu berfungsi dalam mengaktifkan kerja enzim yang berperan
dalam proses perkecambahan. Copeland dan McDonald (1994) menyebutkan bahwa
proses imbibisi, hidrolisis cadangan makanan, respirasi dan proses-proses lainnya
mempunyai suhu kardinal yang berbeda-beda, sehingga respon terhadap suhu bisa
berubah selama periode perkecambahan. Suhu minimum adalah suhu paling rendah
benih masih bisa berkecambah, di bawah suhu tersebut benih tersebut sudah tidak
bisa berkecambah. Suhu optimum adalah suhu perkecambahan terjadi paling cepat
dan memberikan persentase perkecambahan tertinggi. Suhu maksimum adalah suhu
tertinggi benih masih berkecambah, di atas suhu maksimum benih tidak bisa
berkecambah lagi. Nilai suhu kardinal ini berbeda-beda tergantung kepada spesies,
varietas, daerah penanaman, umur setelah panen dan kondisi dari benih tersebut.
Media perkecambahan merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi perkecambahan. Persyaratan media perkecambahan yang baik harus
mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerab air dan
bebas dari organisme penyebab penyakit. Pemilihan jenis media perkecambahan
yang tepat sangat penting dalam pengembangan prosedur pengujian viabilitas benih,
agar metode pengujian dapat distandarisasi.
Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan percobaan yang bertujuan untuk
mengetahui suhu dan media perkecambahan yang tepat dalam pengujian daya
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Gunung Putri (1545m dpl) dan
Laboratorium Fisiologi Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Bogor, dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2009.
Metodologi Penelitian Rancangan Percobaan
Percobaan disusun dalam dua percobaan terpisah, dan rancangan yang
digunakan untuk masing-masing percobaan adalah rancangan percobaan satu faktor
dalam rancangan acak lengkap (RAL), dengan tiga ulangan. Percobaan terdiri
atas: (1) Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor
benih purwoceng pada suhu 18–20 °C, dan (2) Pengaruh media perkecambahan
terhadap viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng pada suhu 23–25 °C.
Perlakuan yang diuji untuk masing-masing percobaan adalah media
perkecambahan yang terdiri atas lima jenis yaitu: (1) media kertas stensil yang
dikenal juga dengan kertas CD (M1), (2) media pasir (M2), (3) media tanah
(M3), (4) campuran media tanah dan kompos (1:1) (M4) dan (5) campuran
media tanah, pasir, dan kompos (1:1:1) (M5), sehingga diperoleh 15 kombinasi
perlakuan untuk masing-masing percobaan.
Model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Y
i j= µ +
τ
i +Є
ijKeterangan:
Y i j = Nilai pengamatan pada perlakuan media perkecambahan taraf
ke - i, dan ulangan ke -j
µ = Nilai rataan umum
τ i = Pengaruh media perkecambahan ke - i
Pelaksanaan Pengujian Viabilitas benih
Benih diambil dari hasil panen dengan kriteria masak warna hijau
kecokelatan. Benih yang baru dipanen, dikering anginkan selama 1 minggu sampai
mencapai KA <15%. Benih tersebut dikecambahkan pada media kertas stensil,
pasir, tanah, campuran tanah dan kompos (1:1), dan campuran pasir, tanah serta
kompos (1:1:1), yang sudah disterilkan terlebih dahulu. Kertas stensil yang
digunakan, mempunyai permukaan licin dan tipis atau dikenal juga dengan nama
kertas CD (contoh kertas di Lampiran 1). Jumlah benih yang digunakan untuk setiap
satuan percobaan adalah sebanyak 50 butir benih, sehingga total benih yang
digunakan untuk ke dua percobaan adalah sebanyak 1500 butir benih.
Perkecambahan benih dilakukan di dalam boks plastik ukuran 10x5 cm, setelah itu
benih dikecambahkan pada suhu 18-20 °C, dan 23-25 °C.
Pengamatan
Peubah yang diamati di dalam penelitian ini meliputi parameter viabilitas
potensial dan vigor benih yang terdiri atas:
Parameter Viabilitas Potensial 1 Daya berkecambah (%)
Daya berkecambah (DB) benih dihitung berdasarkan persentase kecambah
normal (KN) pada hitungan I dan hitungan ke-II. Hitungan I ditentukan pada
waktu mempelajari struktur kecambah dengan mengamati benih yang berkecambah
setiap hari sampai akhir perkecambahan melalui grafik pertambahan setiap hari.
Nilai perkecambahan harian tertinggi selama pengamatan ditentukan sebagai
hitungan I. Hitungan ke-II ditentukan dengan mengamati benih yang berkecambah
setiap hari sampai akhir perkecambahan melalui grafik kumulatif. Nilai pada saat
tidak terjadi lagi pertambahan daya berkecambah ditentukan sebagai hari hitungan
2 Berat kering kecambah normal (mg)
Pengukuran dilakukan pada akhir pengamatan pada kecambah yang normal
dengan cara membuang kotiledon, kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas
dan setelah itu dioven pada suhu 60ºC selama 3x24 jam. Berat kering kecambah
kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator selama ± 30 menit.
Parameter Vigor 1. Indeks vigor (%)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung persentase kecambah normal
yang muncul pada hitungan pertama.
2. Kecepatan tumbuh (%/etmal)
Pengamatan terhadap persentase kecambah normal per etmal dilakukan setiap
hari hingga pengamatan terakhir (final count) (Sadjad 1993). Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
tnCT N t
K
0
Keterangan: t : waktu pengamatan
N : % kecambah normal setiap waktu pengamatan
tn : waktu akhir pengamatan
3. Laju pertumbuhan kecambah (mg/kecambah normal)
Pengukuran dilakukan dengan dengan cara menimbang berat kering
kecambah normal, kemudian dibagi dengan jumlah kecambah normal.
Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam
dengan taraf kepercayaan 95%. Uji nilai tengah dilakukan dengan uji DMRT
(Duncan Multiple Range Test) jika hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata.
Penentuan suhu perkecambahan yang terbaik pada media yang terbaik dilaksanakan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Kecambah dan Kriteria Kecambah Normal
Penelitian untuk menentukan metoda pengujian yang tepat dan saat yang tepat
dalam penilaian kecambah telah banyak dilakukan dan telah ditetapkan sebagai
pedoman dalam pengujian mutu benih oleh ISTA maupun BPMBTPH-Direktorat
Perbenihan. Kriteria penilaian juga telah ditetapkan oleh lembaga tersebut sebagai
panduan umum dalam pengujian viabilitas benih.
Sampai saat ini benih purwoceng belum banyak dilakukan penelitian terutama
tentang perbenihannya sehingga informasi tentang benih purwoceng masih sangat
terbatas. Metode pengujian dan kriteria kecambah normal dan abnormal, penentuan
hitung pertama (first count) dan hitung terakhir (final count) benih purwoceng belum
ditetapkan. Oleh karena itu kriteria penilaian terhadap kecambah dan penentuan
hitungan pertama dan ke dua ditetapkan terlebih dahulu dalam penelitian ini.
Benih purwoceng tergolong pada kelompok benih dengan tipe perkecambahan
epigeal, dimana kotiledon terangkat ke atas permukaan media perkecambahan. Awal
perkecambahan kulit benih pecah dan radikel muncul dari bahagian ujung benih
yang meruncing (ujung atas), kemudian hipokotil memanjang dan kotiledon
terangkat ke atas sejalan dengan pemanjangan batang. Beberapa hari setelah
radikel muncul (3-5 hari), kulit benih membuka dan diikuti oleh munculnya
kotiledon dan aktif melakukan fotosintesa (Gambar 2).
a b c d e f
Bagian kecambah terdiri atas akar, hipokotil dan kotiledon. Dari
pengamatan terhadap stuktur kecambah, dan dibandingkan dengan stuktur kecambah
pada benih adas (famili Apiaceae), maka kriteria kecambah normal dan abnormal
dapat ditentukan sebagai berikut:
Akar : Berkembang dengan baik, panjang 2–3 kali panjang hipokotil.
Hipokotil : Tumbuh lurus, segar dan kokoh berwarna hijau muda
Kotiledon : Tidak patah atau rusak, warna hijau tidak mengkerut dan terdiri
dari 2 helai (Gambar 3a)
Sedangkan untuk kriteria kecambah yang abnormal ditetapkan sebagai berikut:
Akar : Akar tidak berkembang dengan baik: tumbuh memendek, dan
bengkok.
Hipokotil : Pertumbuhan tidak sempurna: batang kecil, lemah, memendek serta
tumbuh bengkok.
Kotiledon : Tidak berkembang sempurna: kecil dan mengkerut (Gambar 3b)
(a) (b) Kotiledon
Hipokotil
Akar
Gambar 3 Kriteria kecambah: (a) kecambah normal, dan (b) kecambah abnormal
Penentuan Hitungan I dan II Daya Berkecambah Benih Purwoceng
Benih purwoceng berkecambah 18–20 hari setelah dikecambahkan, dari
grafik perkecambahan harian yang diamati maka hitungan I ditentukan pada hari
ke-23, sedangkan berdasarkan grafik pertambahan kumulatif, maka hitungan ke-II
Dari grafik terlihat bahwa benih purwoceng cenderung mempunyai
perkecambahan yang tidak serempak Perkecambahan membutuhkan rentang waktu
yang cukup lama (sampai 42 hari) dengan persentase daya berkecambah yang relatif
rendah (<70 %).
Gambar 4 Grafik perkecambahan kumulatif dan pertambahan setiap hari dari benih purwoceng untuk menentukan hitungan I dan hitungan ke-II
Pada umumnya apabila kebutuhan akan lingkungan perkecambahan (air,
suhu, cahaya dan oksigen) terpenuhi, maka benih yang bermutu tinggi akan
menghasilkan kecambah normal atau bibit yang normal (normal seedling).
Kecambah normal adalah kecambah yang berpotensi tumbuh menjadi tanaman
sempurna apabila ditanam di lingkungan yang optimal, sedangkan kecambah
abnormal adalah kecambah yang tidak berpotensi tumbuh menjadi tanaman yang
sempurna walaupun ditanam di lingkungan yang optimal.
Pada benih purwoceng kecambah abnormal umumnya terjadi jika benih telah
terinfeksi oleh penyakit terutama yang disebabkan oleh serangan cendawan dan
bakteri. Gejala serangan dapat dilihat dengan munculnya koloni jamur dan kecambah
busuk dan berlendir. Benih yang telah terinfeksi jamur dan bakteri menyebabkan
kecambah yang dihasilkan tidak berkembang dengan baik, kecambah lemah dan
bengkok bahkan benih tidak tumbuh sama sekali (mati).
Dari hasil penentuan hitungan pertama dan ke-dua dapat ditentukan bahwa
benih purwoceng yang berkecambah sebelum hari ke-23 adalah benih yang
mempunyai viabilitas dan vigor yang tinggi. Benih yang mempunyai viabilitas dan
kecambah yang normal sampai hari ke-42. Benih-benih yang masih berkecambah
melewati hari ke-42 sudah tidak dihitung lagi sebagai kecambah yang normal. Pada
umumnya benih purwoceng yang masih berkecambah dalam rentang waktu yang
relatif lama (50-60 hari setelah dikecambahkan) akan menghasilkan kecambah
dengan ukuran yang lebih kecil dan tidak normal.
Penentuan Suhu dan Media Perkecambahan Benih Purwoceng
1. Pengaruh Media Perkecambahan terhadap Viabilitas Potensial dan Vigor Benih Purwoceng pada Suhu 18-20 °C
Rekapitulasi hasil sidik ragam dari pengaruh media perkecambahan pada dua
percobaan suhu perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor benih dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam pada percobaan pengaruh media perkecambahan pada suhu perkecambahan 18-20 °C
Tolok Ukur Media perkecambahan
Viabilitas Potensial: Daya Berkecambah
Berat Kering Kecambah Normal Vigor:
Indeks Vigor
Kecepatan Tumbuh
Laju Pertumbuhan Kecambah
** **
** ** **
Keterangan: ** = Berbeda sangat nyata
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media perkecambahan
memberikan pengaruh sangat nyata terhadap semua tolok ukur yang diamati (daya
berkecambah, berat kering kecambah normal, indeks vigor, kecepatan tumbuh, dan
laju pertumbuhan kecambah).
Media perkecambahan kertas stensil (M1) memberikan nilai daya berkecambah
tertinggi dibandingkan dengan media lainnya dengan nilai 34,0. Nilai daya
berkecambah terendah diperoleh pada media tanah campur kompos (M4), dengan
nilai 8,7 (Tabel 2).
Berat kering kecambah normal tertingi diperoleh pada media tanah (M3) dan
dan 20,632 mg dan diikuti oleh media kertas stensil (18,100 mg). Berat kering
kecambah normal terendah diperoleh pada media tanah campur kompos (M4) dengan
nilai 10,600 mg.
Tabel 2 Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial: daya berkecambah (DB), dan berat kering kecambah normal (BKKN); vigor: indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan laju pertumbuhan
kecambah (LPK) benih purwoceng pada suhu 18-20 °C
Media
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
M1 = media kertas stensil (CD) M4 = media tanah+kompos (1:1)
M2 = media pasir M5 = media pasir+tanah+kompos (1:1:1) M3 = media tanah
Media perkecambahan berpengaruh sangat nyata terhadap vigor benih
purwoceng dengan peubah indeks vigor, kecepatan tumbuh, dan laju pertumbuhan
kecambah. Media kertas stensil (M1) memberikan nilai indeks vigor tertinggi,
dengan nilai 16,0 %, dan nilai indeks vigor terendah diperoleh pada media tanah
campur kompos (M4) dan media pasir campur tanah dan kompos (M5) dengan nilai
masing-masing 6,0 dan 6,7 % (Tabel 2).
Media perkecambahan kertas stensil (M1) memberikan nilai kecepatan tumbuh
tertinggi dibandingkan dengan media lainnya, dengan nilai 1.42 %/etmal. Nilai
kecepatan tumbuh terendah diperoleh pada media tanah campur kompos (M4),
dengan nilai 0.38 %/etmal.
Laju pertumbuhan kecambah tertingi diperoleh pada media tanah campur
kompos (M4) dan media pasir campur tanah dan kompos (M5) dengan nilai
masing-masing 2,465 dan 2,478 mg/KN. Laju pertumbuhan kecambah terendah
Dari percobaan pengaruh media pada suhu perkecambahan 18-20 °C terhadap
viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng yang telah dilakukan, terbukti bahwa
media kertas stensil (CD) merupakan media perkecambahan terbaik dalam pengujian
daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih purwoceng
dibanding media lain yang diuji. Hal ini diduga karena media kertas stensil (CD)
mampu mengikat air dengan baik dan mempunyai aerase yang baik sehingga
ketersediaan air dan O2 selama perkecambahan terjamin. Menurut Suwarno dan
Hapsari (2008), kertas CD yang dikenal juga dengan kertas stensil merupakan
substrat perkecambahan yang dapat menyerap air lebih banyak setelah kertas merang
yaitu sebanyak 28,14 g/unit media. Kertas CD memberikan daya berkecambah yang
tinggi pada benih padi, jagung, dan kacang buncis baik pada lot benih viabilitas
tinggi maupun viabilitas rendah. Sebelumnya Santana (2005) mengemukakan bahwa
substrat kertas CD dapat dijadikan sebagai alternatif untuk pengujian benih
berukuran besar berdasarkan tingkat kesamaannya dengan kertas merang.
Campuran media tanah dan kompos (1:1) memberikan nilai yang paling
rendah terhadap daya berkecambah, berat kering kecambah normal, indeks vigor,
dan kecepatan tumbuh.. Rendahnya nilai tersebut diduga karena campuran media
tanah dan kompos sangat peka terhadap perkembangan cendawan, akibatnya benih
yang dikecambahkan banyak yang terkena infeksi baik oleh cendawan terbawa benih
maupun oleh infeksi sekunder sehingga kecambah menjadi abnormal dan banyak
yang mati. Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh Rofik dan Murniati (2008)
bahwa benih aren yang dikecambahkan pada media tanah campur kompos banyak
yang busuk dan mati karena serangan cendawan. Menurut Sutopo (2000),
salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan adalah media
perkecambahan, dengan persyaratan media tersebut harus mempunyai sifat fisik yang
baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerab air dan bebas dari organisme
penyebab penyakit.
Pada peubah laju pertumbuhan kecambah, campuran media tanah, pasir dan
kompos (1:1:1) dan campuran media tanah kompos (1:1) memberikan nilai laju
pertumbuhan kecambah tertinggi. Campuran media tanah dan kompos, walaupun
tidak baik untuk perkecambahan benih purwoceng, baik untuk laju pertumbuhan
unsur hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan tanaman. Setelah kecambah
mempunyai daun dan akar yang tumbuh sempurna maka tanaman akan
berfotosintesis dengan giat dan dapat memanfaatkan unsur hara pada media dengan
baik. Menurut Murniati dan Suminar (2006), campuran media tanah dan kompos
baik untuk meningkatkan daya berkecambah benih mengkudu maupun pertumbuhan
kecambah yang dilihat dari peubah panjang epikotil dan jumlah daun.
2. Pengaruh Media Perkecambahan terhadap Viabilitas Potensial dan Vigor Benih Purwoceng pada Suhu 23-25 °C
Rekapitulasi sidik ragam dari pengaruh media perkecambahan pada dua
percobaan suhu perkecambahan terhadap viabilitas potensial dan vigor benih dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rekapitulasi uji sidik ragam pada percobaan pengaruh media pada suhu perkecambahan 23-25 °C
Tolok Ukur Media perkecambahan
Viabilitas Potensial:
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media perkecambahan
memberikan pengaruh sangat nyata terhadap semua tolok ukur yang diamati (daya
berkecambah, berat kering kecambah normal, indeks vigor, kecepatan tumbuh, dan
laju pertumbuhan kecambah).
Media perkecambahan kertas stensil (M1) memberikan nilai daya berkecambah
tertinggi dibandingkan dengan media lainnya, dengan nilai 44,0 %. Nilai daya
berkecambah terendah diperoleh pada media tanah campur kompos (M4),
dengan nilai 14,7 % (Tabel 4).
Berbagai jenis media perkecambahan berpengaruh sangat nyata terhadap berat
kering kecambah normal benih. Berat kering kecambah normal tertinggi diperoleh
terendah diperoleh pada campuran media tanah dan kompos (M4) dengan nilai
8,470 mg.
Tabel 4 Pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas potensial: daya berkecambah (DB), dan berat kering kecambah normal (BKKN); vigor: indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan laju pertumbuhan
kecambah (LPK) benih purwoceng pada suhu 23-25 °C
Media
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
M1 = media kertas stensil (CD) M4 = media tanah+kompos (1:1)
M2 = media pasir M5 = media pasir+tanah+kompos (1:1:1) M3 = media tanah
Berbagai jenis media perkecambahan berpengaruh sangat nyata terhadap indeks
vigor benih purwoceng. Media kertas stensil (M1) memberikan nilai indeks vigor
tertinggi, dengan nilai 23,3 %. Nilai indeks vigor terendah diperoleh pada
campuran media tanah dan kompos (M4) dengan nilai 2,7 % .
Media perkecambahan kertas stensil (M1) memberikan nilai kecepatan tumbuh
tertinggi dibandingkan dengan media lainnya., dengan nilai 1,94 %/etmal. Nilai
kecepatan tumbuh terendah diperoleh pada campuran media tanah dan kompos
(M4), dengan nilai 0,50 %/etmal.
Laju pertumbuhan kecambah tertinggi diperoleh pada media pasir (M2)
dengan nilai 1,307 mg/KN dan diikuti oleh campuran media tanah dan kompos (M4).
Laju pertumbuhan kecambah terendah diperoleh pada media kertas stensil (M1)
dengan nilai 0,779 mg/KN.
Dari percobaan pengaruh media pada suhu perkecambahan 23-25 °C terhadap
viabilitas potensial dan vigor benih purwoceng yang dilakukan, terbukti bahwa
media kertas stensil (CD) juga merupakan media perkecambahan terbaik dalam
purwoceng dibanding media lainnya yang diuji. Hal ini diduga karena media kertas
stensil(CD) mampu mengikat air dengan baik dan mempunyai aerase yang baik
sehingga ketersediaan air dan O2 selama perkecambahan terjamin. Menurut
Suwarno dan Hapsari (2008), kertas CD yang dikenal juga dengan kertas stensil
merupakan substrat perkecambahan yang dapat menyerap air lebih banyak setelah
kertas merang yaitu sebanyak 28,14 g/unit media. Kertas CD memberikan daya
berkecambah yang tinggi pada benih padi, jagung, dan kacang buncis baik pada lot
benih viabilitas tinggi maupun viabilitas rendah. Sebelumnya Santana (2005)
mengemukan bahwa substrat kertas CD dapat dijadikan sebagai alternatif untuk
pengujian benih berukuran besar berdasarkan tingkat kesamaannya dengan kertas
merang.
Media pasir memberikan nilai tertinggi terhadap peubah berat kering kecambah
normal. Hal ini diduga karena media pasir selain memberikan persentase kecambah
yang cukup tinggi setelah media kertas stensil (CD), juga menghasilkan kecambah
yang lebih besar dan subur dibanding media kertas stensil (CD). Media pasir selain
lebih steril juga mengandung hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kecambah.
Campuran media tanah dan kompos (1:1) memberikan nilai yang paling
rendah terhadap daya berkecambah, berat kering kecambah normal, indeks vigor,
kecepatan tumbuh dan potensi tumbuh maksimum, pada kedua percobaan suhu
perkecambahan yang dilakukan. Rendahnya nilai tersebut diduga disebabkan oleh
campuran media tanah dan kompos sangat peka terhadap perkembangan cendawan,
akibatnya benih yang dikecambahkan banyak yang terkena infeksi baik oleh
cendawan terbawa benih maupun oleh infeksi sekunder sehingga kecambah menjadi
abnormal dan banyak yang mati. Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh Rofik
dan Murniati (2008) bahwa benih aren yang dikecambahkan pada media tanah
campur kompos banyak yang busuk dan mati karena serangan cendawan. Menurut
Sutopo (2000), salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan
adalah media perkecambahan, dengan persyaratan media tersebut harus mempunyai
sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerab air dan bebas dari
organisme penyebab penyakit.
Pada peubah laju pertumbuhan kecambah, campuran media tanah, pasir dan
pertumbuhan kecambah tertinggi. Campuran media tanah dan kompos, walaupun
tidak baik untuk perkecambahan benih purwoceng, baik untuk laju pertumbuhan
kecambah. Hal ini diduga karena campuran media tanah dan kompos, mengandung
unsur hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan tanaman. Setelah kecambah
mempunyai daun dan akar yang tumbuh sempurna maka tanaman akan
berfotosintesis dengan giat dan dapat memanfaatkan unsur hara pada media dengan
baik. Menurut Murniati dan Suminar (2006), campuran media tanah dan kompos
baik untuk meningkatkan daya berkecambah benih mengkudu maupun pertumbuhan
kecambah yang dilihat dari peubah panjang epikotil dan jumlah daun.
3. Penentuan Suhu Terbaik untuk Pengujian Benih Purwoceng pada Media Kertas Stensil
Penentuan suhu terbaik untuk pengujian benih purwoceng pada media kertas
stensil dari kedua suhu percobaan yang dilakukan, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji nilai tengah (uji T) pengaruh perkecambahan benih purwoceng pada suhu 18-20 °C dan suhu 23-25 °C dengan menggunakan media kertas stensil (CD) terhadap viabilitas potensial dan vigor
Tolok Ukur Suhu 18-20 °C Suhu 23-25°C Nilai P
Dari Tabel 5 terlihat bahwa nilai P pada peubah daya berkecambah dan
kecepatan tumbuh menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 0,05 %. Hal ini
membuktikan bahwa suhu perkecambahan 23-25 °C memberikan nilai tertinggi
terhadap viabilitas potensial dan vigor dengan tolok ukur daya berkecambah, dan