• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan lanskap permukiman untuk mitigasi Bencana gempa bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan lanskap permukiman untuk mitigasi Bencana gempa bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN

KABUPATEN BANDUNG

CICI NURFATIMAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur kepulauan. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan zona seismic tertinggi di dunia.

Pada tanggal 2 September 2009 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,3 Skala Richter dengan episentrum yang berada di Samudera Indonesia di sebelah selatan Tasikmalaya. Gelombang gempa merambat hingga Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Salah satu kawasan yang terkena dampak paling parah akibat gelombang gempa ini adalah Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung. Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kecamatan Pangalengan mengalami kerusakan paling parah dari total 29 kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari 13 desa yang ada di Kecamatan Pangalengan, hampir semua bangunan di desa-desa tersebut mengalami kerusakan akibat gempa termasuk sarana infrastruktur penting seperti Puskesmas dan sekolah.

Korban jiwa dan kerugian yang terjadi secara spasial diakibatkan oleh kesalahan dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi. Oleh karena itu perlu adanya suatu perencaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspek-aspek geologi kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang terjadi.

Kegiatan perencanaan ini memiliki tujuan untuk menyusun lanskap tata ruang permukiman untuk mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung pada 2 September 2009.

Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian, yaitu : (1) Persiapan, yaitu pengumpulan berbagai data dan informasi awal yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian; (2) Inventarisasi, yaitu pengumpulan data di lapang untuk menghasilkan data aspek fisik, biofisik, dan sosial; (3) Analisis dengan menggunakan metode analisis METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976); (4) Sintesis; dan tahap (5) Perencanaan.

(3)

tahap ini adalah informasi kawasan dengan sumberdaya yang tidak perlu diproteksi dan dapat dilakukan pengembangan untuk kawasan permukiman.

Pada tahap identifikasi zona berbahaya dilakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi di kawasan perencanaan. Pada tahap ini diperoleh informasi bahwa Kecamatan Pangalengan terbagi ke dalam empat tipologi kerawanan gempa bumi yaitu Tipologi A, B, C, dan D. Kawasan dengan tipologi A menempati area paling luas (88% atau 20.018 ha) di Kecamatan Pangalengan sehingga kawasan ini menjadi area yang paling aman di wilayah rawan gempa untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada tahap analisis kesesuaian pengembangan digunakan klasifikasi kelas lereng untuk mendukung pengembangan yang sesuai diterapkan pada kawasan perencanaan dan dihasilkan informasi kawasan yang sesuai untuk permukiman seluas 41% dan tidak sesuai untuk permukiman seluas 59%.

Permukiman eksisiting yang terkena dampak paling parah saat terjadi gempa di Kecamatan Pangalengan adalah Desa Margamukti, Desa Margamekar, Desa Sukamanah, Desa Pangalengan, dan Desa Margamulya. Kelima desa tersebut termasuk ke dalam permukiman yang direncanakan dalam RDTR Kota Pangalengan. Kelima desa tersebut berada pada kawasan yang sesuai untuk dikembangkan berdasarkan hasil analisis. Sehingga pada tahap sintesis kelima desa tersebut menjadi fokus dalam perencanaan lanskap permukiman di Kecamatan Pangalengan. Untuk dapat menerapkan konsep mitigasi maka kawasan perencanaan dibagi ke dalam zonasi ruang atau rencana blok yang terdiri dari ruang konservasi, ruang pemanfaatan budidaya, dan ruang terbangun. Pengembangan untuk kawasan permukiman berada pada zona ruang terbangun.

Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi, sirkulasi, dan vegetasi.

(4)

CICI NURFATIMAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitiagsi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, 2011

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya tulis

(7)

Judul Penelitian : Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Nama Mahasiswa : Cici Nurfatimah

NRP : A44062476

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si NIP. 19620214 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

Penulis lahir pada tanggal 12 Juli 1988 dari pasangan Enok Karyati dan Usep Warlian. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan di SMP 1 Margahayu Bandung. Pada tahun 2003, Penulis melanjutkan studi menengah atas di SMA Al-Ma’soem, Sumedang. Pada tahun 2006 Penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2007 Penulis berhasil masuk Program Studi Mayor Arsitektur Lanskap dan memilih beberapa Supporting Course sebagai penunjang.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih Penulis ucapkan kepada :

1. Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si yang telah sabar membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama masa penelitian tugas akhir ini.

2. Bapak dan Ibu atas limpahan doa dan kasih sayang yang tak terhingga. Adikku sayang yang jauh namun dekat di hati.

3. Jajaran Dosen Departemen Arsitektur Lanskap IPB atas limpahan ilmu yang sangat berharga.

4. Jajaran staf dan pegawai Departemen Arsitektur Lanskap.

5. Tengtong Family ARL 43 (Aan, Agnes, Galih, Biji, Titis, Endy, Chan2, Dedi, Desi, Sendy, Dian, Dicky, Joe, Budut, Pity, Agung, Hanni, Irfan, Jibril, Om Jun, Kukuh, Ipunk, Mahmud, Kaka, Refi, Mutteb, Nining, Nita, Ami, Ika, Ado, Perth, Titou, Presty, Pram, Ichaprita, Wanti, Putri, Ronald, Manceu, Ray, Rido, Ichadwica, Ochie, Alan, Intan, Sisi, Sugi, Iin, Tati, Komti, Phewz, Vina, Wemby, Wiwik, Yogi, Yudha, Yumi, Ziffy) untuk suka, duka, cerita, canda, tawa, ria, galau, doa, dan semangat yang membuat dunia saya beraneka warna. :’)

6. Kakak-kakak senior 39, 40, 41, 42, praktikan Prostud 44, praktikan Komgraf 45, 46 yang tidak sempat saya asisteni, dan 47 sebagai keluarga baru Dept. ARL.

7. Keluarga besar UKM Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman yang selalu semangat membarakan seni dan budaya tradisional Indonesia.

(10)

Tya, Zizi, Teh Evi, Nobon).

10.Terakhir kepada Anda yang sedang membaca skripsi saya ☺

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, 2011

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 1.2. Tujuan... 1.3. Kerangka Pikir Studi...

i

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 2.1. Perencanaan Lanskap... 3.1. Lokasi dan Waktu... 3.2. Metode... 3.2.1 Persiapan……….. 3.2.2. Inventarisasi……… 3.2.3. Analisis……… 3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi….… 3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi………. 3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan……… 3.2.4. Sintesis………. 4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi…... 4.1.1. Air...

BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN... 5.1. Konsep………... 5.1.1. Konsep Pembagian Ruang……… 5.1.2. Konsep Evakuasi……… 5.1.3. Konsep Sirkulasi………... 5.1.4. Konsep Vegetasi……….. 5.2. Perencanaan...

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli

yang Disempurnakan)... 5

Tabel 2. Jenis, Spesifikasi dan Bentuk Data... 16

Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah... 18

Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air... 19

Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng... 19

Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung... 19

Tabel 7. Klasifikasi Batuan……….. 21

Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng... 21

Tabel 9. Faktor Kegempaan... 21

Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar……….. 22

Tabel 11. Klasifikasi Nilai Kemampuan……….. 22

Tabel 12. Pembobotan……… 23

Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan.. 23

Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi... 24

Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi... 24

Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng... 25

Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi... 27

Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi Kawasan ... 29

Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi ... 29

Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan... 30

Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga... 31

(14)

rawan gempa bumi di Kecamatan Pangalengan... 56

Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi………. 70

Tabel 26. Konsep Vegetasi... 71

Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggaan……… 74

Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi………… 80

Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi…. 81 Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu………. 83

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Pikir Studi... 3

Gambar 2. Lokasi Studi... 15

Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan, dan pengembangan tapak... 17

Gambar 4. Komponen Analisis... 18

Gambar 5. Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi…… 20

Gambar 6. Peta Administrasi Kecamatan Pangalengan... 34

Gambar 7. Situ Cileunca... 35

Gambar 8. Wana Wisata Air Panas Cibolang... 36

Gambar 9. Kawasan Lindung Situ dan Mata Air... 37

Gambar 10. Tata Guna Lahan Eksisting……... 39

Gambar 11. Peta Kualitas Air Bawah Tanah... 40

Gambar 12. Peta Perlindungan Sumberdaya Air Kecamatan Pangalengan 41 Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan Pangalengan... 44

Gambar 14. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Pangalengan... 45

Gambar 15. Peta Kawasan Rawan Longsor di Kecamatan Pangalengan.... 46

Gambar 16. Peta Elevasi Kecamatan Pangalengan... 48

Gambar 17. Peta Kawasan Lindung Kecamatan Pangalengan... 49

Gambar 18. Peta Kawasan Perlindungan Terhadap Tanah... 50

Gambar 19. Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan…………... 51

Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan Gunung Api... 52

Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya... 54

Gambar 22. Peta Zonasi Jalur Sesar di Kecamatan Pangalengan……... 55

Gambar 23. Peta Zonasi Tipologi Kerawanan Gempa Kecamatan Pangalengan………... 58

Gambar 24. Peta Keamanan Gempa Kecamatan Pangalengan………….... 59

(16)

Gambar 27. Peta Kesesuaian Pengembangan Permukiman Kecamatan

Pangalengan………... 64

Gambar 28. Peta Lokasi Kawasan Yang Fokus Untuk Direncanakan…... 66

Gambar 29. Peta Rencana Blok………. ……... 67

Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang……….. 68

Gambar 31. Diagram Konsep Evakuasi…….. ... 69

Gambar 32. Diagram Konseep Sirkulasi... 70

Gambar 33. Diagram Konsep Vegetasi……….. 71

Gambar 34. Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Kecamatan Pangalengan……… 72

Gambar 35. Pembagian Blok Kawasan Perencanaan………. 73

Gambar 36. Matriks Hubungan Antar Ruang………. 76

Gambar 37. Konsep Ruang………. 76

Gambar 38. Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang…….. 78

Gambar 39. Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan Pondasi Tiang……… 79

Gambar 40. Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan 79 Gambar 41. Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa Pangalengan……… 80 Gambar 42. Detail Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan……… 82

Gambar 43. Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi Evakuasi………. 83

Gambar 44. Rencana Jalur Sirkulasi……….. 84

Gambar 45. Rencana Alur Sirkulasi……… 85

Gambar 46. Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan…………. 87

Gambar 47. Rencana Vegetasi………. 88

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa

patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah

utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur

kepulauan. Dengan adanya lempeng-lempeng tersebut maka Indonesia menjadi

area dengan zona sesismik tertinggi di dunia. Hal tersebut juga menjadi faktor

yang menyebabkan terdapat banyak gunung berapi aktif dan berpotensi aktif di

Indonesia.

Pada tanggal 2 September 2009 pukul 14:55 WIB, gempa bumi

berkekuatan 7,3 SR terjadi di pantai selatan Jawa Barat. Setidaknya 80 orang

tewas dan masih banyak lagi yang terluka. Dampak dari gempa ini tersebar hingga

hampir seluruh Jawa Barat dengan intensitas maksimum MMI pada level VII di

Tasikmalaya, VI di Cianjur dan Sukabumi, V di Bandung, dan VI di Jakarta.

Berdasarkan laporan dari NEIC-USGS episentrum gempa terletak pada 7,8o LS

dan 107,25o BT dengan kedalaman 46 km. Salah satu kawasan yang terkena

dampak dari gempa bumi ini adalah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Bandung. Dari 13 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Pengalengan Kabupaten

Bandung, hampir seluruh rumah di wilayah tersebut mengalami kerusakan akibat

guncangan gempa (www.antaranews.com, 11 Januari 2010).

Korban jiwa dan kerugian yang terjadi dapat diakibatkan oleh kesalahan

dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata

ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat

fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi.

Studi mengenai perencanaan suatu kawasan untuk kegiatan mitigasi

bencana gempa bumi perlu dilakukan agar dapat tercipta tata ruang permukiman

di wilayah Indonesia yang tahan gempa. Oleh karena itu perlu adanya suatu

perencanaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspek-aspek geologi

kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta

(18)

1.2. Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah menyusun rencana lanskap permukiman

untuk mitigasi bencana gempa bumi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Bandung.

1.3. Kerangka Pikir Studi

Gempa bumi adalah bencana yang tidak dapat diperkirakan waktu

kemunculannya. Ketika sebuah gempa bumi muncul, dampak yang ditimbulkan

dapat bervariasi tergantung pada kekuatan getaran yang terjadi. Dampak yang

ditimbulkan gempa dapat terlihat dari kondisi pasca gempa seperti kerusakan

struktur dan infrastruktur serta jumlah korban jiwa. Untuk dapat mencegah atau

mengurangi resiko dari dampak sebuah bencana gempa bumi maka perlu adanya

tindakan mitigasi yang tepat pasca bencana khususnya di kawasan permukiman.

Dalam merencanakan sebuah kawasan permukiman yang tahan serta

tanggap gempa perlu adanya penilaian terhadap beberapa aspek seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 1. Aspek-aspek tersebut menurut Fabos dan Caswell

(1976) diawali dengan menganalisis potensi sumberdaya alam kawasan yang perlu

dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pengembangan terutama pengembangan

fisik. Selanjutnya secara sekuensis dilakukan analisis terhadap kawasan berbahaya

(hazard zone) berupa kerawanan terhadap gempa bumi dengan kriteria penilaian

yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Pada tahap

akhir dilakukan analisis kesesuaian pengembangan untuk kawasan permukiman.

Permukiman yang baik untuk mitigasi bencana sebaiknya terletak pada

zona yang sesuai dan terhindar dari hazard serta tidak mengganggu sumberdaya

alam yang dilindungi. Selanjutnya untuk kegiatan mitigasi maka perlu adanya

(19)

3   

(20)

2.1. Perencanaan Lanskap

Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya (Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut.

Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang.

2.2. Gempa Bumi

Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003).

(21)

5   

lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com, diunduh 11 Januari 2010)

Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan gempa (Montgomery, 2003).

Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang Disempurnakan)

I. Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja.

II Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang.

III. Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat.

IV. Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding berbunyi karena pecah-pecah.

V. Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.

VI. Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.

(22)

Lanjutan Tabel 1.

VIII. Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen roboh. Air keruh.

IX. Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi. Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah.

X. Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi gelombang pasang dan tsunami.

XI. Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah. Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

(Sumber : Santoso, 2002)

Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana gempa bumi, yaitu :

1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi

Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum, pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah tersebut.

2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah

Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius adalah runtuhnya bangunan-bangunan yang disebabkan oleh getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh.

3. Longsoran Tanah

(23)

7   

gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi.

4. Kebakaran

Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran.

5. Perubahan pengaliran

Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan (subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan dan reservoir baru serta rusaknya bendungan.

6. Perubahan air bawah tanah 7. Tsunami

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut: a. Tipe A

Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.

b. Tipe B

(24)

satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.

2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana.

c. Tipe C

1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.

2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.

d. Tipe D

1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak.

2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.

e. Tipe E

1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.

f. Tipe F

(25)

9   

sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.

2.3. Mitigasi Bencana

Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko (www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010).

Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi, sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada

publik mengenai resiko yang mungkin terjadi (www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010).

Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.

Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1. Penyusunan peraturan perundang-undangan

(26)

4. Pembuatan brosur/leaflet/poster

5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6. Pengkajian / analisis risiko bencana

7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan 8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana

9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum

10. Pengarus-utamaan Penanggulangan Bencana dalam perencanaan pembangunan

Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan

memasuki daerah rawan bencana dsb.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.

3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman.

5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana.

7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat non-struktural (berupa bangunan dan prasarana).

2.4. Tata Ruang

(27)

11   

permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan

1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan

2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang

3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang

Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup:

1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi,

2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi, serta

(28)

Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dilakukan melalui:

1. pendekatan kajian geologi;

2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi;

3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi; dan

4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan berdasarkan tingkat kerentanan.

Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi adalah:

1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung.

2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya.

Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut : a. Tipe A

Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian, perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran, perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat kerentanan rendah.

b. Tipe B

(29)

13   

c. Tipe C

Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi. d. Tipe D

Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi.

e. Tipe E

Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Kawasan ini mutlak harus dilindungi.

f. Tipe F

Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung.

2.5. Permukiman

(30)

Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah :

1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur.

2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk

kesehatan lingkungan.

3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat.

Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur berdasarkan jarak antar rumah-rumah sepanjang jalan sehingga dapat dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008).

Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu

1. Kondisi tanah dan bawah tanah. 2. Air tanah dan drainase.

3. Keterbebasan dari banjir permukaan.

4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan. 5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi.

6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka. 7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan.

8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan.

(31)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu

Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang

terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2

September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan

Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar

2.

Kecamatan Pangalengan

Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala)

(Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id) Jawa Barat 

Kabupaten Bandung 

(32)

3.2 Metode

Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap

persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan.

3.2.1 Persiapan

Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan

administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan

persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian.

3.2.2 Inventarisasi

Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan

data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.)

Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Interpretasi Data Spasial Atribut

Data Umum

Peta tata ruang √ BAPPEDA Tata Ruang

Letak geografis dan administratif tapak

√ Bakosurtanal Batas lokasi studi

(Kecamatan Pangalengan) Topografi dan

kemiringan

√ Bakosurtanal Kelas lereng dan

lokasi

Iklim mikro √ BMG Data iklim

Geologi √ √ Dit. Geologi dan Tata

Lingkungan

Peta tanah

Penutupan lahan √ Bakosurtanal Peta penutupan lahan

Biota (vegetasi) √ Bakosurtanal Peta vegetasi

Data Sosial

Aktifitas ekonomi √ BPS

Tingkat

Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan

pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk

setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan

dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw

(33)

17 

 

3.2.3 Analisis

Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi

pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk

pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode

METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan

Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian

dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai

intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya

pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II

Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk

Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan

tahapan-tahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih

rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4.

(34)

Gambar 4. Komponen Analisis

3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi

a. Analisis Air

Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan

kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah

disajikan dalam table 3.

Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah

Kelas Keterangan

A Terletak pada :

1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan

penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air.

2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk

kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air.

B Terletak pada area :

1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan

bekas pertanian)

2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak

dipupuk, dan sedikit perkerasan.

3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu

C Terletak pada area :

1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank

2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala

(35)

19 

 

Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus

dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006

(Tabel 4).

Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air

Kawasan Lindung Area Terlindung

Waduk dan situ ≥ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat

Mata air Radius ≥ 200 m di sekitar mata air

(Sumber : BAPPEDA, 2006)

b. Analisis Tanah

Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di

Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari

van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng

Kelas lereng Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah 0 – 20

(0-2%)

Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti

2-40 (2-7%)

Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet and rill erosion). Rawan erosi.

4-80 (7-15%)

Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah.

8-160 (15-30%)

Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi.

16-450

(35-100%)

Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi.

(Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006))

Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan

Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung

Kategori Kawasan Kriteria

Hutan lindung - Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan

intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau

- Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau

- Kawasan hutan dengan ketinggian ≥ 2000 mdpl; dan /atau

- Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi

dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau

- Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau

(36)

Lanjutan Tabel 6.

Berfungsi lindung di luar hutan lindung

- Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan

faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score antara 125 - 175;dan/atau

- Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau

- Kelerengan di atas 15%; dan/atau

- Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan

laut.

Resapan air - Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun;

- Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm;

- Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1

meter/hari;

- Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah

setempat;

- Kelerengan kurang dari 15%;

- Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka

air tanah dalam.

(Sumber : BAPPEDA, 2006)

3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi

Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan

standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007

Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi

geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk

mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan

gempa bumi.

(37)

21 

 

a) Sifat fisik batuan

Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat

menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan

tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa

bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada

Tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi Batuan

Kelompok Batuan Sifat Fisik andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi

sedimen dan konglomerat

Kompak

Tidak Kompak batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping

pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih lempung, lumpur, lempung organik dan gambut. (Sumber : MENPU, 2007)

b) Kemiringan lereng

Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan

bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988)

pada Tabel 8.

Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng (%) Klasifikasi Lereng Kestabilan 0-2 Datar

70-100 Sangat curam (Sumber : MENPU, 2007)

c) Kegempaan

Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat

intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun

skala Richter (Tabel 9).

Tabel 9. Faktor Kegempaan

(38)

d) Struktur Geologi

Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah

mengalami “deraan” tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang

di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai

wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa

kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam

suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan

terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan

kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar.

Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar

Jarak Sesar Kestabilan

<100 m Tidak stabil

100 m – 1000 m Kurang stabil

>1000 m Stabil

(Sumber : MENPU, 2007)

e) Nilai Kemampuan

Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka

1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana

geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam

geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk

penentuan skoring kestabilan wilayah.

Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan

Nilai kemampuan Klasifikasi

1 Tinggi

Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1

hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi

atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk

mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang

(39)

23 

 

Tabel 12. Pembobotan

Pembobotan Klasifikasi

1 Kepentingan sangat rendah

2 Kepentingan rendah

3 Kepentingan sedang

4 Kepentingan tinggi

5 Kepentingan sangat tinggi

(Sumber : MENPU, 2007)

Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai

keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau

kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau

kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan

kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau

kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang

cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi

diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan

gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur.

g) Skoring

Skoring merupakan perkalian antara “pembobotan” dengan “nilai

kemampuan”, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas

yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam

kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan

demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa

bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe

kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan.

No Informasi Geologi Kelas Informasi Nilai

Kemampuan Bobot Skor

1

Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan

Batuan)

1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, konglomerat

1

3 1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau,

arkose, greywacke, batugamping 2

1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal,

tufa halus, serpih 3

1d. Lempung, lumpur, lempung

(40)

Lanjutan Tabel 13.

2 Kemiringan lereng

2a. Datar - Landai (0-7 %) 1

4 Struktur Geologi

4a. Jauh dari zona sesar 1

5 4b. Dekat dengan zona sesar

(100-1000 m dari zona sesar) 2

4c. Pada zona sesar (<100 m dari

zona sesar) 3

(Sumber : MENPU, 2007)

Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi

Skor Tipologi

Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15

menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh

matriks pembobotan.

Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi

Tipologi Pengertian

Tipe A

Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila

intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek

merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.

Tipe B

1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.

(41)

25 

 

Lanjutan Tabel 15.

Tipe C

1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.

2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.

Tipe D

1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak.

2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.

Tipe E

1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.

2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.

Tipe F

1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan

di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.

2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.

(Sumber : MENPU, 2007)

3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan

Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai

untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung

pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16).

Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng

Kelas Lereng Karakter dan Kesesuaian Lahan

0 – 5% Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal

permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk.

5 – 15% Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang

atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman, perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik.

15 – 30% Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena

(42)

Lanjutan Tabel 16.

30 – 50% Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal

dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok untuk hutan dan padang rumput.

>50% Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar

dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk areal real estate karena topografi yang terlalu terjal.

(Sumber : Noor (2006))

3.2.4 Sintesis

Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk

pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa

bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola

tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara

dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan

dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu :

a. Kondisi tanah dan bawah tanah;

b. Air tanah dan drainase;

c. Keterbebasan dari banjir permukaan;

d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan;

e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi;

f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka;

g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan;

h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan;

i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.

Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi

mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai

Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan

Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan

(43)

27 

 

Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi

Tipologi

Kawasan Aturan Zonasi

A

Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai

infrastruktur penunjangnya.

Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:

a. Konstruksibangunanbetonbertulangmaupuntidakbertulang

b. Kepadatanbangunan tinggi(>60unit/Ha),sedang(30-60unit/Ha),dan

rendah (<30unit/Ha)

c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar

Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan:

a. Konstruksi bangunan tahan gempa

b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga rendah (KDB<50;KLB <100)

Diizinkan untuk kegiatan industri ,pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu:

a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil

Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan

kering, perikanan, perkebunan dengansyaratpemilihanjenisvegetasiyang

sesuaisertamendukungkonsepkelestarian lingkungan.

Diizinkanuntukpariwisata dengan jeniswisatasosiokultural danwisata

agrokultural

Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan

batu danpasir

B

Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai

infrastrukturpenunjangnya.

Diizinkanuntukkegiatanpermukimandenganpersyaratan:

a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang

dan rendah; pola permukimanmenyebar

b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi,

sedang, dan rendah; pola permukimanmengelompokdanmenyebar

c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang,

dan rendah; pola permukimanmengelompokdanmenyebar

Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan

persyaratan:

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200)

hinggarendah(KDB<50;KLB <100)

Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan

pengendalian yang ketat yaitu:

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Skalaindustribesar,sedang,maupunkecil

Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian

lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis

vegetasiyangsesuaisertamendukungkonsepkelestarian lingkungan.

Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata

agrokultural.

Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan

(44)

Lanjutan Tabel 17.

C

Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai

infrastrukturpenunjangnya.

Diizinkanuntukkegiatanpermukimandengan persyaratan:

a. Konstruksibangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan

rendah;pola permukiman mengelompokdanmenyebar.

b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan

rendah; pola permukiman mengelompokdanmenyebar.

Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan

persyaratan:

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200)

hingga rendah (KDB<50;KLB< 100)

Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan

pengendalianyangketat,yaitu:

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Skalaindustrisedangdankecil

Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian

lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis

vegetasi yang sesuai sertamendukung konsep kelestarian lingkungan.

Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata

agrokultural.

D

Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai

infrastrukturpenunjangnya

Diizinkanuntukkegiatanpermukimandenganpersyaratan:

a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah;

pola

mengelompok danmenyebar

b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola

permukiman danmenyebar

Diizinkanuntukkegiatanperdagangandanperkantorandenganpersyaratan:

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Kepadatanbangunansedang(KDB50-70;KLB100-200)

Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan

pengendalianyang ketat, yaitu :

a. Konstruksibangunantahangempa

b. Skalaindustrikecil

Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian

lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang

sesuai sertamendukung konsep pelestarian lingkungan.

Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata

agrokultural

E Ditentukan sebagai kawasan lindung

F Ditentukan sebagai kawasan lindung

(Sumber : MENPU, 2007)

3.2.5 Perencanaan

Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan

sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana

tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan.

(45)

29 

 

Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang

memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat

bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi

berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai

Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan

Letusan Gempa (Tabel 18).

Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi

Kawasan.

(Sumber : MENPU, 2007)

Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat 

        × = Tidak dapat dibangun 

Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi.

(46)

Lanjutan Tabel 19. Jaringan

Telekomunikasi √ √ √ √ √ √ × × × × × × Jaringan Listrik √ √ √ √ √ √ × × × × × × Jaringan Energi √ √ √ √ √ √ × × × × × ×

(Sumber : MENPU, 2007)

Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat 

        × = Tidak dapat dibangun 

Rencana tata ruang yang disusun berupa :

1. Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana

Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan).

Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan

tipologi kerawanan gempa bumi.  

Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan

No Jenis Sarana

satuan sarana Standar

(47)

31 

(Sumber : SNI 03-1733-2004)

Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga

No Jenis Minimum

30.000 p Dikelompokkan dengan sekolah

450.000 p Dikelompokkan dengan sekolah (Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983)

2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal)

Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan

lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi

masing-masing jalan tersebut, yaitu :

a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan

rata-rata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien;

b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan

(48)

c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan

rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi.

3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada Pedoman

Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota.

Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan

pula beberapa konsep perencanaan, yaitu :

1. Rencana Jalur Evakuasi

Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan

mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke

area-area yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat

dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk

jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk.

2. Rencana Titik Evakuasi

Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan

serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau

oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam

kondisi darurat.

Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu

permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22.

Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng

Peruntukkan Lahan

Kelas Kemiringan Lereng (%)

(49)

   

 

BAB IV

DATA DAN ANALISIS

Pangalengan adalah sebuah kecamatan yang terletak di bagian selatan kawasan Kabupaten Bandung. Kecamatan Pangalengan terletak pada koordinat 07o07’00” LS sampai 07o18’00” LS dan 107o30’00” BT sampai 107o38’00” BT. Kecamatan ini memiki jarak sejauh 51 KM dari Kota Bandung dan 23 KM dari Ibukota Kabupaten Bandung yaitu Soreang. Kawasan administratif Kecamatan Pangalengan dibatasi oleh Kecamatan Cimaung di sebelah utara, Kecamatan Talegong di sebelah selatan, Kecamatan Pasir Jambu di sebelah barat, dan Kecamatan Kertasari di sebelah timur.

Kecamatan Pangalengan terdiri dari 13 desa atau kelurahan yaitu Banjarsari (2.208,970 ha), Lamajang (4.016,10 ha), Margaluyu (860,200 ha), Margamekar (817,993 ha), Margamukti (2.613,05 ha), Margamulya (1.294,14 ha), Pangelangan (589,946 ha), Pulosari (5.118,15 ha), Sukaluyu (1.748,200 ha), Sukamanah (668,040 ha), Tribaktimulya (449,909 ha), Wanasuka (4.555,97 ha), dan Warnasari (2.354,12 ha). Dengan demikian total luas Kecamatan Pangalengan adalah 27.294,77 ha. (Gambar 7)

Kecamatan Pangalengan berada di dataran tinggi dengan suhu rata-rata harian berkisar antara 13-25oC dan curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun (Sumber: Data Profil Kecamatan Pangalengan Tahun 2007)

(50)
(51)

35   

4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi 4.1.1. Air

Kecamatan Pangalengan merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai Citarum. Beberapa sumber mata air yang ada di Kecamatan Pangalengan diantaranya adalah Datarmala, Sasakbatu, Cisalandah, Cibaruntak, Cinyiruan, Citere, Sungapan, Cikinceuh. Di Kecamatan Pangalengan juga terdapat beberapa danau yaitu Situ Cileunca, Situ Cipanunjang, Situ Gede, Situ Cicoledas, Talaga Kinceuh, Situ Cisanti. Situ Cileunca adalah danau yang dibuat dengan membendung aliran sungai kali Cileunca selama kurun waktu tujuh tahun yaitu dari tahun 1919 sampai 1926. Warga setempat menyebut bendungan dengan nama Dam Pulo. Pada zaman kolonial Belanda bendungan dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik bagi warga kota Bandung dan sekitarnya. Saat ini Situ Cileunca lebih difungsikan untuk kegiatan rekreasi alam.

Gambar 7. Situ Cileunca

Sumber : Survey Juni 2010

(52)

Gambar 8. Wana Wisata Mata Air Panas Cibolang

Sumber : Dok. Pribadi

Dalam Herawan (1989) dijelaskan bahwa produktifitas akifer untuk kecamatan Pangalengan memiliki selang dari sedang-tinggi. Kedalaman air tanah tertekan lebih dari 65 meter, MAT bebas berkisar antara 3-7 meter. Debit air sumur bisa mencapai lebih dari 5 liter/detik. Harnadi dan Iskandar (1996) menggolongkan Kecamatan Pangalengan dan sekitar Bandung Selatan kedalam Zona Konservasi Air Tanah V dan VI (Zona V dan Zona VI). Kedua zona tersebut merupakan daerah resapan air utama dan daerah perlindungan kualitas air tanah untuk kawasan di bawahnya. Penelitian hidrogeologi sangat diperlukan ketika akan mengadakan kegiatan pembangunan di kawasan sekitar area Zona V dan Zona VI agar neraca air tidak terganggu.

Untuk penyediaan kebutuhan air bersih di Kecamatan Pangalengan, PDAM Kabupaten Bandung Cabang Pangalengan menjadi pengelola sistem penyediaan air bersih perpipaan dengan debit 27 liter/detik. Sebanyak 20% warga Pangalengan terlayani dengan sistem perpipaan air bersih ini, sementara 36% penduduk lainnya menggunakan sistem perpipaan yang dikelola secara swadaya leh desa masing-masing dengan memanfaatkan sumber mata air (BAPPEDA, 2004).

(53)
(54)

Untuk melindungi kualitas air permukaan maka di kawasan sempadan tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan fisik. Kawasan sempadan harus dijaga kealamiannya dengan tidak menebang pepohonan atau menanam ulang pepohonan yang dapat berfungsi sebagai penyerap air.

Tata guna lahan di Kecamatan Pangalengan didominasi oleh perkebunan milik negara. Selain itu terdapat tanah perkebunan rakyat dan milik swasta. Tata guna lahan eksisting di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan kriteria Fabos dan Caswell (1976), kualitas air bawah tanah yang dapat diperkirakan di Kecamatan Pangalengan adalah masuk ke dalam Kelas A dan C seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Kelas A menunjukkan bahwa cadangan air terletak pada kawasan yang masih alami dan belum pernah dilakukan penyemprotan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. Air tanah Kelas A perlu dilindungi dari kegiatan yang dapat menganggu kualitas seperti penyemprotan dan pembangunan infrastruktur. Hal ini berfungsi untuk menjaga kualitas air tanah di kawasan ini sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna di kawasan di bawahnya.

Sedangkan Kelas C menunjukkan bahwa air bawah tanah berada pada kawasan yang digunakan untuk jalan, tempat parkir maupun septic tank. Selain itu kualitas Kelas C menunjukkan di kawasan itu diperlukan pemupukan secara berkala dan penyemprotan hama.

(55)
(56)

Gambar

Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan
Gambar 1. Kerangka Pikir Studi 
Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala)
Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Cara ini dapat dilakukan dengan cepat dan sederhana. • Uji didih ini dapat digunakan utk mendeteksi apakah susu sdh disimpan terlalu lama tanpa pendinginan dan sudah

Dukungan Sosial Keluarga pada Perempuan Korban KDRT (Studi Kualitatif di Wilayah Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Kabupaten Jember); Atyanty Rizky Nurendra; 092110101114; 2013;

Berdasarkan angka statistik di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker dengan angka kejadian tertinggi kedua setelah kanker servik serta memiliki kecenderungan

Hasil Uji Statistik Deskriptif, dapat diketahui besarnya nilai profitabilitas, risiko kredit, risiko likuiditas, efisiensi manajemen, permodalan, inflasi, dan produk domestik

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi perkembangan pemerolehan unsur-unsur fonologi (vokal dan konsonan) pada anak usia dua tahun

Berdasarkan berbagai definisi tentang kinerja di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil prestasi yang telah dicapai oleh seorang guru baik