PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM “AMUK” ANALISIS SEMIOTIKA
SKRIPSI
OLEH
CHANDRA DHARMA SITOPU
070701032
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM “AMUK”
ANALISIS SEMIOTIKA
OLEH
CHANDRA DHARMA SITOPU NIM 070701032
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. Drs. Gustaf Sitepu, M. Hum. NIP 195909071987021002 NIP 19560431986011001
Departemen Sastra Indonesia Ketua
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di perguruan tinggi. Sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis maupun diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan sebagai sumber referensi pada skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Oktober 2013
ABSTRAK
PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM “AMUK”
ANALISIS SEMIOTIKA
CHANDRA DHARMA SITOPU
Fakultas Ilmu Budaya USU
Penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah pencari Tuhan, sedangkan proses pencarian Tuhan tidak akan berujung pada pertemuan secara jasmani atau fisik. Tuhan menjadi begitu sangat penting karena Dialah Sang Khalik langit dan bumi yang hanya pada-Nya sajalah ada keselamatan. Manusia mempunyai kepentingan itu kepada Tuhan. Latar belakang dan perjalanan hidup setiap manusia itu berbeda sehingga perspektifnya tentang Tuhan pun berbeda pula. Sutardji sebagai “Presiden Penyair Indonesia” yang dikenal emosional, berani, dan bebas dalam menggunaan kata-kata mengekspresikan pencarian Tuhan dalam puisinya yang berjudul “Amuk”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perspektif Sutardji tentang Tuhan dalam puisinya yang berjudul “Amuk” dari kumpulan sajak “O Amuk Kapak” melalui pendekatan semiotika. Puisi ini dijadikan bahan kajian karena terdapat hal yang begitu ironis yaitu ketika sebuah pross pencarian Tuhan diberi judul “Amuk”. Amuk dengan konotasi di dalamnya yang mengandung makna amarah dijadikan bekal untuk mencari Tuhan yang sebenarnya spiritual dan berada dalam suasana kasih dan damai. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan puisi-puisi Sutardji dari tinjauan semiotika sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai puisi Sutardji, khususnya yang berjudul “Amuk”. Pendekatan secara semiotic Riffaterre pun dilakukan untuk dapat menemukan perspektif Sutardji tersebut.
PRAKATA
Anugerah dari Allah Bapa, kasih dari Yesus Kristus, dan penyertaan Roh Kuduslah yang membuat penulis sanggup menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dalam memperoleh gelar sarjana ilmu budaya.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ide atau gagasan, motivasi, maupun materi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Dr. Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III.
2. Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia.
3. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departeman Sastra Indonesia dan Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran yang membangun kepada penulis dalam penelitian ini.
5. Drs. Hariadi Susilo, M. Hum. Penasehat Akademik yang telah memberikan motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan.
6. Staf pengajar di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran dan pengetahuan selama menjalankan perkuliahan.
7. Alm. Pdt. Dharma S. Sitopu, S.Th., Bapak sekaligus seniorku dalam semua hal dan J. Hutabarat satu-satunya perempuan yang ku panggil dengan sebutan “Mamak”. Semua ini untukmu. Aku berharap ini salah satu yang
akan membuatmu bangga.
8. Frans D. Sitopu, kedua saudara perempuanku, Evi Yoanna Sitopu dan Frischilia Sitopu, yang banyak membantu baik secara moral, maupun materi. Ini salah satu dari banyaknya pekerjaan baik yang kalian lakukan untukku. Terima kasih banyak untuk semua keluarga besar yang sudah membantu, khususnya Tua dan Bang Rio.
9. Semua yang sudah membantu, abang, kakak, adik, sahabat dan orang-orang spesial. Sengaja tidak kutuliskan nama kalian satu per satu. Tidak cukup tempat untuk menuliskan nama kalian di sini. Aku sudah jauh menuliskan nama “mu” dan nama “kalian” di tempat yang khusus dan terbaik sebelum
skripsi ini tersusun.
membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita bersama.
Medan, Oktober 2013 Penulis,
DAFTAR ISI 1.1Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang ……… 1
1.1.2 Masalah ………... 12
1.2 Batasan Masalah …...………...12
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian ……… 12
1.3.2 Manfaat Penelitian ……….. 13
BAB IV PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM AMUK :ANALISIS SEMIOTIKA
4.1 Ketidaklangsungan Ekspresi ………. 25
4.1.1 Penggantian Arti ………. 25
4.1.2 Penyimpangan Arti ………. 46
4.1.2.1. Ambiguitas ……… 46
4.1.2.2. Kontradiksi ……… 48
4.1.2.3. Nonsense ………50
4.1.3 Penciptaan Arti ………..…52
4.1.3.1. Enjambemen ………...53
4.1.3.2. Tipografi ……….56
4.2Matriks dan Model ………...58
4.3 Prinsip Intertekstual ……….. 59
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ………... 65
5.2 Saran ………. 66
ABSTRAK
PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM “AMUK”
ANALISIS SEMIOTIKA
CHANDRA DHARMA SITOPU
Fakultas Ilmu Budaya USU
Penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah pencari Tuhan, sedangkan proses pencarian Tuhan tidak akan berujung pada pertemuan secara jasmani atau fisik. Tuhan menjadi begitu sangat penting karena Dialah Sang Khalik langit dan bumi yang hanya pada-Nya sajalah ada keselamatan. Manusia mempunyai kepentingan itu kepada Tuhan. Latar belakang dan perjalanan hidup setiap manusia itu berbeda sehingga perspektifnya tentang Tuhan pun berbeda pula. Sutardji sebagai “Presiden Penyair Indonesia” yang dikenal emosional, berani, dan bebas dalam menggunaan kata-kata mengekspresikan pencarian Tuhan dalam puisinya yang berjudul “Amuk”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perspektif Sutardji tentang Tuhan dalam puisinya yang berjudul “Amuk” dari kumpulan sajak “O Amuk Kapak” melalui pendekatan semiotika. Puisi ini dijadikan bahan kajian karena terdapat hal yang begitu ironis yaitu ketika sebuah pross pencarian Tuhan diberi judul “Amuk”. Amuk dengan konotasi di dalamnya yang mengandung makna amarah dijadikan bekal untuk mencari Tuhan yang sebenarnya spiritual dan berada dalam suasana kasih dan damai. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan puisi-puisi Sutardji dari tinjauan semiotika sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai puisi Sutardji, khususnya yang berjudul “Amuk”. Pendekatan secara semiotic Riffaterre pun dilakukan untuk dapat menemukan perspektif Sutardji tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang dan Masalah
1. 1. 1 Latar Belakang
Karya sastra adalah artefak atau benda mati yang baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca, sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Istilah pemberian makna ini disebut naturalisasi, yakni usaha untuk mengembalikan yang menyimpang kepada yang jelas, yang terang, yang dapat dipahami (Teeuw, 1988).
Teeuw (1988) juga menyatakan bahwa ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak keruan.
Definisi puisi menurut para ahli berbeda-beda. Setelah membanding-bandingkan batasan para ahli tersebut, Waluyo (1991) dalam bukunya yang berjudul Teori dan Apresiasi Puisi mencoba memberikan definisi puisi sebagai bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Dalam sejarahnya, puisi-puisi Indonesia dikategorikan dalam beberapa periode sastra Indonesia. Sutardji termasuk pada Angkatan ’70 walaupun
sebenarnya dia sudah mulai menulis pada dekade ’60-an.
Pembaca karya sastra dapat dikategorikan sesuai dengan motivasi dan tingkat keseriusan membacanya. Berdasarkan hal tersebut, pembaca karya sastra dibagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca aktif. Dikatakan pembaca biasa apabila kepuasan pembaca tersebut terbatas sampai akhir cerita tanpa mengkaji lebih jauh apa maksud tersurat maupun tersirat dalam karya tersebut. Berbeda dengan pembaca aktif. Pembaca aktif awalnya membaca karya sastra itu sebagai hiburan, tetapi setelah dipahaminya lebih jauh makna tersurat maupun tersiratnya, ternyata karya sastra itu dapat juga dijadikan sebagai pendidikan maupun pedoman bagi hidupnya.
waktu luang. Orang yang membaca karya sastra sebagai hiburan tentu saja akan memilih cerita yang pemaparan atau jalan ceritanya cukup menarik. Sedangkan yang terakhir, lebih serius, yaitu menginginkan pengalaman baru dalam batinnya.
Pembaca serius berusaha untuk lebih memahami apa yang disampaikan pengarang melalui karyanya. Berbagai pendekatan akan dipakai untuk memahami makna yang ada pada karya tersebut. Dengan membaca karya sastra, pembaca tersebut juga dapat melaksanakan kegiatan membaca bahasa yakni kegiatan pembaca yang bertujuan memperkaya kosa kata, mengembangkan kemampuan menyusun kalimat, dan memahami gaya bahasa yang keseluruhannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa bagi si pembaca. Jika dibandingkan dengan pembaca lainnya, pembaca inilah yang jumlahnya paling sedikit di kalangan masyarakat. Namun, pembaca yang seperti inilah yang membuat karya sastra itu menjadi bermakna dan tidak hanya sebatas benda mati seperti yang dikatakan Teeuw.
Teeuw (dalam Pradopo, 2007 : 106) mengatakan, “Karya sastra adalah
artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog.” Jika sebuah karya sastra tidak
diberi makna oleh masyarakat pembacanya, karya itu akan mati atau tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, setiap karya sastra harus dimaknai.
untuk dipahami maksud dan maknanya. Karya yang seperti ini akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca, hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Masyarakat pembaca yang meninggalkan karya sastra seperti ini adalah masyarakat pembaca yang membaca karya sastra sebagai hiburan dan pengisi waktu luang. Hanya pembaca aktif, serius, atau pembaca yang mencari pengalaman barulah yang membaca karya sastra seperti ini.
Jika hanya kalangan tertentu saja yang dapat memahami sebuah karya sastra, karya tersebut sudah menyimpang dari makna esensinya, tidak universal lagi. Agar tidak menjadi demikian, harus dilakukan naturalisasi, yaitu usaha untuk mengembalikan yang menyimpang kepada yang jelas, yang terang, yang dapat dipahami ataupun juga istilah rekuperasi atau perebutan makna (Teeuw, 1983). Dengan begitu, puisi menjadi dapat dipahami oleh masyarakat pembaca.
Agar dapat memahami makna karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakiki karya sastra. Diperlukan analisis secara mendalam untuk dapat memaknai karya sasstra tersebut. Salah satu penyair yang karyanya (puisi) perlu dianalisis karena maknanya yang tidak mudah untuk dipahami adalah Sutardji Calzoum Bachri yang selanjutnya akan disebut SCB.
menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi SCB di antaranya “O” (1973), “Amuk” (1979), dan “O Amuk Kapak” (1981).
Karya-karya SCB membawa pembacanya kepada pengalaman baru yang cukup membingungkan. Pembaca akan menemukan berbagai bentuk diksi yang tak lazim, tipografi yang unik, dan gaya mantra yang begitu kental. Oleh karena itulah, ia disebut-sebut sebagai “sang Pembaharu Puisi Modern Indonesia”. Ia menghadirkan berbagai makna tersurat dan “memaksa” pembaca mencari maknanya. Benarlah bahwa bahasa puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bedanya adalah pesan dalam bahasa percakapan sehari umumnya disampaikan secara langsung, sedangkan pesan dalam puisi justru menunda atau tersirat. Penundaan itulah yang mengundang kenikmatan bagi pembaca.
Dalam KBBI (2007:864), “Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda
pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); sudut pandang; pandangan.” Jika dikaitkan dalam konteks penelitian ini, perspektif itu berarti sudut pandang seseorang dalam mendeskripsikan sesuatu melalui kata-kata yang merupakan hasil dari pengamatannya selama ini, baik secara fisik maupun nonfisik.
Tuhan adalah sesuatu yang tidak berwujud tapi ada dan dibicarakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa paling tahu akan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan manusia itu” (Audifax, 2007:6). Banyak
Pertanyaan yang sering muncul ketika mempertanyakan tentang Tuhan adalah, “Di manakah letak surga itu?” Konon, surga ada di atas sana sehingga sering
dijumpai dalam film-film ketika roh manusia meninggalkan jasadnya akan terbang menuju ke atas. Selain itu, orang yang berdoa, memohon, dan meminta kepada Tuhan akan menengadahkan kepalanya. Namun, tidak semua seperti itu. Ada yang mengatakan surga itu di telapak kaki ibu, di hati orang yang percaya kepada-Nya, bahkan ada pula yang mengatakan Tuhan itu ada di mana-mana. Berarti, surga pun ada di mana-mana karena esensinya surga itu adalah tempat tinggal Tuhan. Lantas, mengapa dikatakan surga ada di atas langit, di telapak kaki ibu, atau di hati orang yang percaya kepada-Nya?
Manusia harus berbakti kepada Tuhan. Namun, bakti itu bukanlah untuk membela kepentingan-Nya. Jadi, manusia tidak perlu berusaha untuk mengangkat-Nya supaya mulia karena Dia sudah bersifat Mulia, bahkan Yang Mahamulia.
Tuhan itu tidak mempunyai kepentingan pribadi, justru Dia Pemelihara, Pengasih, dan Penyayang. Namun, manusia tidak boleh menyembah kepada yang lain. Demi keselamatannya, manusia harus beribadah hanya kepada Tuhan, karena Dia Esa. Penyembahan kepada yang lain akan mendatangkan pertentangan dan kegoncangan, sementara manusia menginginkan keselamatan (Abdoerraoef, 1962).
Nietzche (dalam Audifax, 2007) menyatakan bahwa manusia terjebak dalam nihilisme, kosong, dan tidak bermakna. Pada titik ini, “tuhan” itu sudah mati
atau tanpa tuhan, manusia tetap berada dalam ketidakmampuannya untuk hidup. Bukan tuhan yang menjadi kunci hidup, melainkan keputusan manusialah yang menjadi kuncinya. Maka, jelaslah tidak benar jika orang mengatakan, “Manusia
yang berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.” Jika sudah ditentukan, untuk apa
berusaha? Ungkapan itu menjadi alasan manusia untuk lari dari tanggung jawab atas semua yang dilakukannya. Kegagalan justru dilemparkan kepada Tuhan. Sekarang, ungkapan yang benar adalah “Manusia yang menentukan, tuhan yang
mengusahakan”.
Dari pernyataan Nietzhe tersebut, ada dua pemahaman tentang Tuhan:
1. Tuhan Yang Hakiki
Tuhan Yang Hakiki dituliskan dengan /T/ huruf kapital, yaitu “Tuhan”.
Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah Tuhan disembah dalam hubungan spiritual sehari-hari. Tuhan yang sering disebut sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan lain-lain.
2. Tuhan yang tidak hakiki
Tuhan yang tidak hakiki dituliskan dengan /t/ huruf kecil, yaitu “tuhan”.
Hal ini terjadi karena sifat manusia yang pragmatis dan cenderung ingin selalu berada di dalam “pembenaran”. Akhirnya, pembicaraan tentang Tuhan
terlepas dari ke-Mahaan-Nya, yaitu Mahakuasa, Maha Mengetahui, dan Maha dalam segala hal. Sementara itu, manusia yang terbatas ingin mendefinisikan Tuhan yang tidak terdefinisi dan tidak terukur tersebut. Tuhan tidak logis, sementara manusia berpikir logis. Oleh karena itu, manusia tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan tentang Tuhan. Karena dalam ke-Tuhanan, dasarnya adalah iman, yakni dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang kita lihat (Ibrani 11:1). Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga banyak yang meragukan keberadaan-Nya. Padahal, justru di situlah iman itu bekerja. Karena jika segala sesuatu itu sudah jelas, pasti, atau dapat dibuktikan secara ilmiah, manusia tidak akan berpengharapan dan iman itu menjadi mati.
Semiotik secara harfiah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang di kehidupan manusia. Tokoh penting dalam semiotika sebagai ilmu tentang tanda adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Tokoh tersebut meletakkan dasar pemikiran yang menjadi landasan pengembangan semiotika.
Audifax (2007 : 18) menjelaskan pengaruh Saussure dan Pierce dalam perkembangan semiotika sebagai berikut:
adalah suatu cabang dari filsafat. Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme dan poststrukturalisme melalui tokoh-tokoh seperti Claude Levi-Strauss, Louis Althusser, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Umberto Eco hingga Zlavoj Zizek.
Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya bertugas memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan meaning unsur-unsurnya menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian harus meningkatkannya ke tataran pembacaan hermeneutik yang di dalamnya kode karya sastra tersebut dibongkar (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu, tanda-tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya (Riffaterre, 1978).
Sutardji dikenal sebagai penyair yang emosional. Hal tersebut dapat dilihat dari puisinya yang berjudul “Amuk”. “Amuk” merupakan sebuah puisi dalam
kumpulan puisinya yang berjudul Amuk. Puisi “Amuk” terdiri dari 24 halaman. Puisi ini begitu panjang karena di dalamnya terdapat puisi “Kucing” dan penggalan
“Pot” serta “Batu”. Puisi ini layak dijadikan bahan penelitian karena Sutardji
bercerita banyak hal di dalamnya, terlebih tentang Tuhan. Manusia adalah pencari Tuhan. Dalam puisi tersebut Sutardji berani menyampaikan pikirannya dalam konteks manusia sebagai pencari Tuhan. Selain itu, “Amuk” dengan semiotika
ekspresinya, merupakan suatu ungkapan kemarahan. Ironisnya adalah ketika sebuah cerita tentang pencarian Tuhan diberi judul “Amuk”. Muncul sebuah
pandangan, apakah Tuhan itu dicari dengan ekspresi amuk?
“Ngiau!” merupakan tiruan bunyi kucing yang merupakan ekspresi dari
kemarahan. Berbeda dengan “meong”. “Meong” merupakan tiruan bunyi kucing ketika menginginkan sesuatu. Dalam bunyi tersebut, kucing mengekspresikan kemanjaan atau merupakan salah satu usaha untuk membuat orang menjadi iba sehingga dia akan mendapatkan makanan atau setidaknya sedikit elusan. Dalam konteks kajian ini, “ngiau” dimaknai sebagai ekspresi kemarahan kucing. Sama
kata-kata seru. Misalnya, “wau!” yang menegaskan keterkejutan seperti yang ditemukan dalam puisinya yang berjudul “Tapi”, “Tik”, “Mesin Kawin”, dan lain
-lain.
“Ngiau!” banyak ditemukan dalam puisi-puisi Sutardji. Kata tersebut juga dapat ditemukam pada awal puisinya yang berjudul “Kucing”, bahkan ada juga
yang menjadi judul puisinya. Unsur-unsur kemarahan lainnya juga masih banyak ditemukan pada puisi-puisinya, misalnya “ludahlah!” pada puisi yang berjudul “Sudah Waktu”, “tempeleng!” pada puisi yang berjudul “Pil” dan “Tak”, bahkan
kata-kata yang tak lazim, seperti “babi!” pada puisi yang berjudul “Sajak Babi III”, dan lain-lain.
Selanjutnya, Sutardji kerap menggunakan kata Tuhan atau tuhan sehingga menimbulkan kesan bahwa dia adalah hamba Tuhan. Konsepsi kata tuhan yang dimaksud oleh Sutardji dibedakan secara bentuk penanda. Kata “Tuhan” (menggunakan huruf kapital pada awal kata) dan “tuhan” (menggunakan huruf kecil pada awal kata). Tuhan yang dikonsepsikan pada suatu kepercayaan, menggunakan kata ‘Tuhan’, sedangkan kata ‘tuhan’ digunakan pada konsepsi
penciptaan yang dilakukan untuk sesuatu yang bukan Tuhan. Hal lain yang menguatkan pernyataan tersebut adalah klitik yang sering dituliskan dengan huruf kapital, misalnya “pura-Mu” pada puisi yang berjudul “Ah”, “menjangkau-Mu”, “jejak-Nya”, “pada-Mu”, “memanggil-Mu” yang terdapat pada puisi “Amuk”, dan
Penulis merasa tertarik untuk menganalisis puisi-puisi Sutardji karena di satu sisi Sutardji dikenal sebagai seorang penyair yang emosional, sedangkan di sisi lain beliau terkesan hamba Tuhan atau dekat dengan Tuhan. Penulis ingin menganalisis bagaimana pemahaman Sutardji tentang Tuhan melalui karyanya. Namun, penulis ingin menganalisisisnya hanya dari sebuah puisinya, yakni “Amuk”. Oleh karena itulah, penulis memilih Perspektif Sutardji tentang Tuhan
dalam “Amuk”:Analisis Semiotika sebagai judul tulisan ini.
Penulis berharap tulisan ini dapat membantu masyarakat dalam menemukan makna puisi “Amuk” karya Sutardji. Dengan demikian, puisi tersebut dapat menjadi cermin bagi masyarakat. Jika sudah menjadi cermin, berarti masyarakat pun bisa mengambil makna dan pelajaran dari puisi tersebut. Semoga ada manfaatnya dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik kepada masyarakat.
1. 1. 2 Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perspektif Sutardji tentang Tuhan melalui puisi “Amuk” ditinjau dari semiotika?
Agar sebuah penelitian terarah dan tidak terlalu luas, dibutuhkan pembatasan masalah. Dengan pembatasan masalah, tujuan penelitian pun akan tercapai. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu, penelitian ini hanya akan membahas satu puisi Sutardji, yakni yang berjudul “Amuk” dari tiga kumpulan sajaknya yang berjudul “O Amuk Kapak”.
1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. 3. 1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Merumuskan perspektif Sutardji tentang Tuhan melalui puisi “Amuk” ditinjau dari semiotika.
1. 3. 2 Manfaat Penelitian
1. 3. 2. 1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah:
1. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan puisi-puisi Sutardji, khususnya “Amuk” dari tinjauan semiotika.
1. 3. 2. 2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran kepada masyarakat pembaca sastra dalam memaknai karya sastra, khususnya puisi Sutardji yang berjudul “Amuk” dan agar pesan yang ingin disampaikan Sutardji
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).
2.1.1 Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair Indonesia yang terkemuka. Ia juga dikenal sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau, 24 Juni 1941, ia terkenal sejak awal 1970-an ketika mengumumkan Kredo Puisinya (1973), “Kata harus dibebaskan dari beban pengertian.” Artinya,
2.1.2 Tuhan
Tuhan adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya ; sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan (KBBI, 2007:1216). Menurut Audifax (2007:6), “Tuhan adalah sesuatu yang tidak berwujud tapi ada dan dibicarakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa paling tahu akan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan manusia itu.” Banyak yang mencoba menggambarkan-Nya dan
banyak pula yang mempertanyakan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, manusia terjebak dalam pendefenisian Tuhan. Padahal Tuhan bukan untuk didefenisikan, tetapi justru untuk dilayani. Manusia pada hakikatnya mengikut Tuhan tanpa didasari suatu penjelasan yang begitu lengkap, melainkan berdasarkan iman dan pengharapan.
Nietzche (dalam Audifax, 2007) menyatakan bahwa manusia terjebak dalam nihilisme, kosong, dan tidak bermakna. Pada titik ini, “tuhan” itu sudah mati
karena sejatinya manusia sudah hidup tanpa Tuhan. Tidak ada Tuhan ketika manusia berjalan dalam rutinitas. Di situ, doa pun sudah tidak perlu lagi. Dengan atau tanpa tuhan, manusia tetap berada dalam ketidakmampuannya untuk hidup. Bukan tuhan yang menjadi kunci hidup, melainkan keputusan manusialah yang menjadi kuncinya. Maka, jelaslah tidak benar jika orang mengatakan, “Manusia
yang berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.” Jika sudah ditentukan, untuk apa
Sekarang, ungkapan yang benar adalah “Manusia yang menentukan, tuhan yang
mengusahakan”.
Dari pernyataan Nietzhe tersebut, ada dua pemahaman tentang Tuhan:
1. Tuhan Yang Hakiki
Tuhan Yang Hakiki dituliskan dengan /T/ huruf kapital, yaitu “Tuhan”.
Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah Tuhan disembah dalam hubungan spiritual sehari-hari. Tuhan yang sering disebut sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan lain-lain.
2. Tuhan yang tidak hakiki
Tuhan yang tidak hakiki dituliskan dengan /t/ huruf kecil, yaitu “tuhan”.
Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah tuhan yang tercipta atas kepentingan-kepentingan manusia. Tuhan yang sering diseret-seret dalam berbagai peristiwa nirhumanitas (Audifax, 2007). Dijadikan alasan untuk pengeboman, peperangan antarbangsa, perang agama, bahkan perang saudara. Tuhan yang demikian juga dijadikan sebagai alat untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan, pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dan dosa-dosa lainnya yang sudah jelas merupakan hal yang dilarang oleh-Nya.
Hal ini terjadi karena sifat manusia yang pragmatis dan cenderung ingin selalu berada di dalam “pembenaran”. Akhirnya, pembicaraan tentang Tuhan
memuaskan tentang Tuhan. Karena dalam ke-Tuhanan, dasarnya adalah iman, yakni dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang kita lihat (Ibrani 11:1). Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga banyak yang meragukan keberadaan-Nya. Padahal, justru di situlah iman itu bekerja. Karena jika segala sesuatu itu sudah jelas, pasti, atau dapat dibuktikan secara ilmiah, manusia tidak akan berpengharapan dan iman itu menjadi mati.
2.1.3 Puisi
Menurut Slametmuljana (dalam Waluyo, 1991 : 23), puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata itu menghasilkan rima, ritme, dan musikalitas. Clive Sansom ( dalam Waluyo 1991: 23) memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional. Batasan ini berkaitan dengan struktur batin puisi. “Bentuk fisik dan bentuk batin puisi lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau tema dan
Sutardji (1992:3), “Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas.” Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan
kata pada awal mulanya. Pada awal mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera.
Dalam puisi ditemukan tanda-tanda yang memiliki makna dan maksud tertentu. Tanda-tanda tersebut dapat ditemukan melalui kata-kata yang terdapat di dalamnya. Dari tanda-tanda tersebut dapat dipahami pemaknaan yang ingin disampaikan. Tugas pembaca adalah memberi makna pada puisi. Pemberian makna tersebut dilakukan dengan menemukan makna dari tanda-tanda yang tersirat pada setiap kata. Semiotika dapat membantu pembaca dalam menemukan makna tanda-tanda tersebut.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Semiotika
Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa yang khas. Bahasa itu memuat tanda-tanda yang akan membentuk sistem ketandaan (Endraswara : 2008).
“Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya bertugas memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan meaning unsur-unsurnya menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian harus meningkatkannya ke tataran pembacaan hermeneutik yang di dalamnya kode karya sastra tersebut dibongkar (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu, tanda-tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya (Riffaterre : 1978).
Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang akan digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Riffaterre. Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna. Penulis menganggap bahwa konsep inilah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini.
Memaknai sebuah puisi secara semiotika, Riffaterre (dalam Uniawati, 2007:11) mengemukakan empat langkah sebagai hal pokok.
Kedua, pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus memiliki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti (meaning). Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungramatical (ketidakgramatikalan teks). Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang akan menunjukkan hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen. Ketiga, penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks dapat dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang dimaksud tidak pernah muncul dalam teks puisi yang bersangkutan, tetapi yang muncul adalah aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Model ini dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu.
Keempat, prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram.
yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian semiotika terhadap sebuah puisi bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Sudah ada peneliti terdahulu tentang masalah ini. Puisi “Amuk” karya Sutardji pun sudah banyak dibicarakan orang, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun tulisan bebas. Tulisan yang membahas Tuhan dalam puisi Sutardji pun sudah pernah ada. Tulisan itu berjudul Eksistensi Manusia atas Keberadaan Tuhan dalam Puisi Amuk karya Sutardji yang ditulis oleh Fredy W. P. (http://fredywp.blogspot.com/2009/10/eksistensi-manusia-ataas-keberadaan.html). Namun, tulisan itu tidak menggunakan teori dalam pembahasannya. Artinya, tulisan ini merupakan tulisan bebas yang tidak dilengkapi dengan teori sebagai kerangka berpikir.
Skripsi tentang Tuhan dalam puisi karya Sutardji pun sudah ada. Skripsi tersebut berjudul Pencarian Hakikat Ketuhanan dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri yang disusun oleh Heru Prasetyo, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Namun, objek penelitian tersebut adalah kumpulan puisi O Amuk Kapak. Bahkan puisi “Amuk” tidak ikut dianalisis dalam penelitian
tersebut adalah pendekatan teoretis fenomenologi dan metodologis yaitu kualitatif.
Penelitian dengan menggunakan teori semiotika pun banyak dilakukan orang, termasuk teori semiotika Riffaterre. Penelitian dengan semiotika Riffaterre sudah pernah dilakukan oleh Uniawati dalam tesisnya yang berjudul Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotika Riffaterre. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena objek kajiannya berbeda. Penelitian tersebut dapat dijadikan acuan untuk melengkapi data dalam penelitian ini. Sejauh peneliti ketahui, penelitian puisi “Amuk” karya Sutardji dengan teori semiotika Riffaterre belum
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dan kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan di ruang kepustakaan. Pada penelitian ini diperoleh data dan informasi dari objek penelitian melalui buku-buku.
3.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah metode deskriptif, yakni metode membaca heuristik dan hermeneutik. Menurut Pradopo (2007:84), Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Analisis dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Peneliti membaca data yang telah dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan.
c. Penelitian dilanjutkan dengan menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antardata, sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh tentang makna karya sastra.
BAB IV
PERSPEKTIF SUTARDJI TENTANG TUHAN DALAM “AMUK”
ANALISIS SEMIOTIKA
4.1 Ketidaklangsungan Ekspresi
4.1.1 Penggantian Arti
Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimia dalam karya sastra. Metafora dan metonimia dalam arti luasnya adalah bahasa kiasan. Pada umumnya, penggantian arti tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimia saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimia itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya.
dimiliki oleh pembanding dan apa yang dibandingkan) harus kita cari sendiri (Luxemburg, 1984:187).
ngiau! kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu kan singa bukan hyena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau
“Kucing” merupakan salah satu hewan peliharaan. “Ngiau” adalah tiruan
bunyi kucing yang sedang marah. Namun, pada puisi di atas, “kucing” tidak mengacu kepada hal tersebut. “Kucing” adalah sifat batiniah yang dimiliki manusia
di dalam dirinya yang terus-menerus mencari, tetapi tidak tahu apa yang ia cari. Penggantian makna tersebut dengan kata “kucing” didasari bahwa sebenarnya
“Rimba” adalah hutan lebat yang begitu luas dengan pohon-pohon yang besar. “Afrika” merupakan sebuah benua dengan luas hutan yang paling besar di seluruh dunia. “Rimba Afrika” berarti hutan yang sangat luas dengan segala keliaran hewan yang tinggal di dalamnya. Dalam puisi tersebut, “rimba afrika” berarti seluruh segi kehidupan manusia yang menjadi tempat eksplorasi “kucing”. Hubungan arti antara “kucing” dengan “rimba afrika” dalam puisi di atas adalah
sifat di dalam diri seorang manusia yang terus mencari sesuatu yang tidak tahu apa yang ia cari. Sifat yang pada dasarnya rohaniah tersebut berubah menjadi begitu liar dan menguasai seluruh jiwa dan raga manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena “kucing” yang tak sanggup lagi menahan laparnya. Dalam arti sesungguhnya, kerinduan manusia kepada Tuhan tersebut sudah sangat mendalam.
Jesus dalam agama Kristen disebut dengan Yesus. Bagi orang Kristen, Yesus adalah Juru Selamat. Dalam Yohanes 6:35, Yesus berkata, “Akulah Roti Hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” Dalam kalimat tersebut terdapat kata”roti” yang merupakan sebuah pembanding. Yesus menawarkan “roti
Kehidupan” bagi orang - orang yang lapar dan haus akan kebenaran hidup. Sama halnya seperti “kucing’ kelaparan tersebut. Namun, “aku” meminta agar “kucing”
tersebut jangan diberi roti.
membuktikan bahwa “kucing” pada puisi tersebut bukanlah kucing yang
sebenarnya melainkan sebuah pembanding.
Dari beberapa pembanding di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya arti dari bait puisi pertama tersebut adalah hati manusia yang merindukan Tuhan. Ketika manusia merindukan Tuhan, ia pasti mendengarkan atau membaca Firman Tuhan. Ia akan mendengarkan dari pengemuka agama atau bisa pula ia membaca kitab suci. Namun, ketika disajikan Firman-Firman Tuhan, hati yang rindu kepada Tuhan itu tidak berubah menjadi teduh atau tidak terobati. Ternyata sajian Firman-Firman itu tidak sesuai dengan sesuatu yang dirindukan itu. Artinya, tuhan yang dirindukan itu bukanlah Tuhan Yang Hakiki. Seandainya Tuhan yang dirindukan itu adalah Hakiki, pasti kerinduan yang sangat mendalam itu terobati. Tuhan Yang Hakiki diceritakan dan di dalam kitab suci. Semua orang yang percaya kepada Tuhan, apa pun agamanya, apabila membaca kitab suci atau mendengar Firman Tuhan yang disampaikan oleh pengemuka agama akan teduh hatinya karena secara spiritual boleh dikatakan dia bertemu dengan Tuhan. Dengan demikian, kerinduan itu pun terobati. Namun, dalam hal ini berbeda. Kerinduan yang sangat mendalam itu tidak terobati melalui pembacaan kitab suci ataupun pendengaran Firman Tuhan melalui pengemuka agama. Berarti ada sesuatu yang dianggap “tuhan” yang
dirindukan, tetapi bukan Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari “kucing” yang
“lapar” tidak mau diberi “roti” dan “daging”. Artinya, seseorang yang mencari
Tuhan “disajikan” Firman Tuhan, tetapi tidak mau mendengar dan
ngiau! dia meraung dia mengerang hei berapa tuhan yang kalian punya beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah aku pasang perangkap di afrika aku pasang perang kap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat un tuk kau sekerat untuk aku ngiau huss puss diamlah
Kata “tuhan” juga merupakan suatu pembanding, bukanlah sesuatu Yang
Esa, Yang Dipuja, ataupun Yang di-Tuhankan. Sesuai EYD, Tuhan Yang Esa, Yang Dipuja, ataupun Yang di-Tuhankan huruf pertamanya harus dituliskan dengan huruf kapital. Karena tidak dituliskan dengan huruf kapital, kata “tuhan”
dapat diartikan sebagai pendapat, pikiran, atau pandangan orang lain yang sesuai dengan pemahaman yang dianut selama ini. Pendapat atau pandangan itu mengacu kepada sesuatu yang sangat besar, sangat berkuasa, dan mengacu kepada kebenaran hidup. Dengan kata lain, sesuatu yang dianggap “tuhan”, tetapi bukan Tuhan.
Dalam hal ini, manusia yang menciptakan “tuhan”-nya melaui penafsiran,
pandangan, dan pemikiran yang sesuai dengan logika manusia. Sesuatu yang dianggap “tuhan” ini sangat diminati manusia karena mudah dimengerti, masuk
Bahkan, “tuhan” ini sesekali dapat dipakai sebagai alat untuk membenarkan diri setelah melakukan kesalahan-kesalahan. Sifat manusia yang resah dan terus berusaha mencari keselamatan dapat berujung kepada sesuatu yang dianggap “tuhan”. Hal tersebut terjadi karena “tuhan” ini praktis dan dapat dijadikan tameng.
Manusia yang melakukan kesalahan dan merugikan orang lain dapat berlindung dari hukuman dan amarah manusia dengan mengatasnamakan “tuhan”. Manusia
juga bisa mendapatkan apa yang dia mau dengan mengatasnamakan “tuhan” ini. Karena hal-hal tersebutlah manusia lebih mencintai “tuhan’ ini daripada Tuhan Yang Hakiki. Tuhan Yang Hakiki tidak dapat dijadikan tameng, diatasnamakan dalam keinginan-keinganan duniawai, dan tidak dapat tawar-menawar atas segala kebenaran-Nya. Dia juga tidak logika, butuh iman untuk dapat mengerti keberadaan-Nya. Manusia cenderung sulit mengikuti-Nya karena godaan-godaan nafsu duniawi yang begitu besar di dalam dirinya. Ketika sudah mengikuti nafsu duniawinya, manusia merasa bersalah dan mencari sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah tersebut. Dalam hal ini, “tuhan” itu dibutuhkan untuk membenarkan
kesalahan-kesalahan tersebut. Manusia akan mengatasnamakan “tuhan” untuk berlindung dari kesalahannya. Manusia tidak akan pernah dapat menemukan Tuhan Yang Hakiki seperti itu. Oleh karena itu, dia “meraung” dan “mengerang”. Dia ingin dipuaskan. Dia ingin jumpa “tuhan” yang bisa dibuat seperti itu.
siapa bikin mpu siapa bikin guru kalau tak aku
yang membuat banyak bijak dan belum menjangkauMu?
Socrates, Plato, Arhimedes, Zeno, Sartre, Laotze, mpu, guru adalah deretan nama dan gelar yang merupakan pembanding dari orang-orang yang bijak dan cerdas dalam berpikir. Nama-nama tersebut merupakan filsuf atau pemikir-pemikir terkenal pada zamannya. Kumpulan kata tersebut mengartikan bahwa orang-orang yang bijak dan cerdas dalam berpikir pun belum dapat menjangkau Tuhan. Apalagi “tuhan” dalam versi yang mereka ciptakan masing-masing. Artinya, tidak ada satu
orang pun di dunia ini yang dapat menyamai Tuhan karena Tuhan itu Maha dalam segala hal.
Bait di atas merupakan metafora lanjutan dari bait sebelumnya. Karena tidak ada manusia yang menyamai dan sebijaksana Tuhan, terjadilah kebencian, perseteruan, bahkan peperangan di antara sesama manusia. “Kabil” dan “Habil”
adalah anak dari Adam dan Hawa yang menjadi pembanding saudara kakak beradik. Dalam Alkitab, Kabil disebut sebagai Kain, sedangkan Habil disebut sebagai Habel. Kisah Kain dan Habel tertulis dalam kitab Kejadian 4 : 1 – 16. Kain membunuh adiknya, Habel, karena rasa iri hati. Persembahan Kain yang berupa hasil ladangnya tidak berkenan di hadapan Tuhan, sedangkan persembahan Habel yang berupa lemak-lemak dari anak sulung kambing dombanya berkenan di hadapan Tuhan. Karena hal itu, hati Kain menjadi panas. Secara tiba-tiba, dia memukul Habel di sebuah padang lalu membunuhnya. Kisah tersebut menjadi pembanding yang mengartikan bahwa rasa iri hati, kebencian, perseteruan, dan peperangan pun akan terjadi pada manusia yang masih sedarah, seibu, dan seayah.
huh
berapa banyak tawananku!
sinekad siyakin sikeraskepala simaunya saja ngiau
aku letakkan seribu kakiku pada perut mereka kurobek tubuh kukelantang badan
kuku
kuiris tubuh kuperas badan kubelah benak kubuka rabu mereka
siapa tahu ada tuhan sembunyi di sana kukirim mereka ke tiang gantungan hei martir sinekad sikeraskepala tawanan berapa tuhan yang kalian punya
pelokek!
kalian menyimpan tuhan untuk sendiri sampai kalian bangkai
dan aku hanya melihat jejakNya pergi di ujung nafas kalian
entah ke mana
harimau mati tak meninggalkan kenyang manusia mati tuhan hidup entah di mana
Bait di atas merupakan proses pencarian “tuhan” yang dianalogikan dengan
konteks peperangan. Tawanan dijadikan sumber informasi untuk mencari tahu segala sesuatu tentang musuh. Dalam berbagai cerita peperangan , bahkan dalam film sekalipun, tawanan itu akan disiksa agar mau menjawab segala pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Demikian pula dalam konteks ini. “Tawanan” pada bait
pada perut mereka dan kukirim mereka ke tiang gantungan menjadi pembanding bahwa ternyata proses pencarian “tuhan” bisa menyakiti orang lain, bahkan
membunuh orang lain. Hal ini didasari karena sebenarnya yang dicari manusia itu bukanlah Tuhan. Oleh karena itu, pencarian tersebut salah arah bahkan hingga terjadilah pembunuhan. Tuhan tidak dapat ditemukan dari peristiwa pembunuhan. Tuhan tidak hadir dalam kejahatan.
Kalian menyimpan tuhan untuk diri sendiri sampai kalian bangkai adalah kiasan bahwa “tuhan” yang dimiliki “martir”, “sinekad”, “sikeraskepala, dan
“tawanan” berbeda-beda. Hal ini merupakan lanjutan bahwa menurut “aku” “tuhan” itu adalah subjektif sehingga tidak esa seperti Tuhan Yang Hakiki. Hal
yang demikian menjadikan “tuhan-tuhan” itu hanya ada dalam pikiran mereka sendiri sampai mereka mati. Tokoh “aku” melihat kuasa Tuhan (bukan wujud Tuhan) dalam kematian mereka, sedangkan tempat “persembunyian” “tuhan” yang
dicari-cari itu entah di mana.
apa yang ngalir? darah. apa yang me kar? mawar. apa yang julur? harap. apa yang rasa? sesal. dengan seribu sesal kucari Kau dengan segala asal kucari Kau dengan seribu akal kucari Kau de ngan seribu dajal kucari Kau
da lidah menggapai tanah pada bahu sa kai pada pita computer pada tank retak pada meriam luka pada luka beribu ba talyon pada luka lekuk bungkalan geli mang goyang pada koyak beribu perawan pada patah bujang
Bait puisi di atas juga masih merupakan lanjutan gambaran pencarian “tuhan” dari bait sebelumnya. Kebencian, perseteruan, saling menyakiti, dan
peperangan pun telah terjadi. Jika sudah demikian, bait di ataslah yang akan terjadi. Darah mengalir, harapan sirna, dan tinggallah penyesalan. Jika diamati, terjadi kesalahan fatal oleh “ Aku” dalam bait di atas. Kesalahan itu adalah proses
pencarian Tuhan dengan perbekalan yang salah. Dengan seribu sesal kucari Kau/ dengan segala asal kucari Kau/ dengan seribu akal kucari Kau/ dengan seribu
Karena manusia mencari Tuhan dengan bekal dan cara yang salah, muncullah kesimpulan “aku”, yaitu “tuhan” dapat direnungkan setelah melakukan
berbagai kejahatan dan “tuhan” itu hadir di dalam penyesalan. Untuk menemukan “tuhan”, kita harus melakukan berbagai kejahatan dan kesalahan terlebih dahulu
supaya kelak manusia menyesal. Setelah menyesal, muncullah “tuhan”.
Kemunculan “tuhan” tersebut ditemukan mulai baris kelima, yaitu melalui jejak
-jejaknya.
aku telah nemukan jejak aku telah mencapai jalan tapi belum sampai tuhan
berapa banyak abad lewat berapa banyak arloji pergi berapa banyak isyarat dapat berapa banyak jejak menapak agar sampai padaMu?
Tokoh “aku” merasa telah menemukan jejak dan jalan menuju “tuhan”.
“Aku” membuat kesimpulan sendiri tentang “tuhan” itu. Sementara waktu terus
yang menjadi tanda telah terjadi. Berabad-abad lamanya “aku” mencari. Namun, “aku” belum juga menemukan Tuhan.
jejak tak menuju ke mana jejak tak sampai ke sana jejak yang dari diri bertanya sendiri ngiau?
Ternyata, kesimpulan dan “jejak” yang “aku” temukan tidak menuju kepada
Tuhan. Justru “aku” menjadi ragu kembali bertanya pada dirinya sendiri apakah
benar yang disimpulkannya selama ini. Jejak tak sampai ke sana// jejak yang dari diri// bertanya sendiri// menunjukkan keraguan tersebut. Karena jejak tidak menuju Tuhan, sementara proses pencarian sudah begitu lama, “aku” menjadi kesal
dan berintrospeksi diri. Hal tersebut dapat dilihat dari ngiau? Kekesalannya mengarah pada diri sendiri karena kesimpulan itu pun datangnya dari dirinya sendiri. Jika dikaitkan dengan interpretasi awal bahwa “ngiau” adalah tirun bunyi
kucing yang sedang marah, berarti kucing itu sedang marah pada tokoh “aku”.
Kekesalan itu sudah berubah menjadi kemarahan.
dalam tiap kata diriku
hai kau dengar kucing memanggilMu? …
Bait di atas menggambarkan keinginan kuat di dalam diri “aku” untuk
mencari Tuhan. Karena tidak menemukan Tuhan, keinginan yang kuat itu dianalogikan kembali melalui “kucing” yang meraung, meronta, dan menderam.
Kata-kata tersebut menyiratkan emosi yang berupa kekesalan, bahkan kemarahan, Namun, ada rasa sakit yang terpendam. Oleh karena itu pilihan katanya pun jatuh kepada “meraung”, “meronta”, dan “menderam”. “Aku” kembali mencari Tuhan
dengan kekesalan, “nafsu”, dan rasa sakit. Namun, sayangnya Tuhan tidak akan
ditemukan dengan bekal-bekal yang demikian.
…
aku lepaskan segala bahasa agar kucingku bisa memanggilMu aku biarkan penyair dengan kata-kata
tapi banyak yang meletakkan bertonton gula purapura bergerobak kerak filsafat
hingga kata tercekik karenanya bagaimana penyair bisa sampai tuhan kalau kata tak sampai?
kambing umpan mati tercekik sedang rimau tak makan bangkai
Pada baris pertama pada bait puisi di atas terdapat kata “lepaskan” yang
mengartikan selama ini ada ikatan yang membelenggu “kucing” sehingga “kucing”
tidak dapat memanggil Tuhan. “Aku” melepaskan ikatan tersebut supaya “kucing”
bebas. “Aku” juga membiarkan “penyair” bebas dengan “kata-katanya”. Penyair
adalah pembanding dari orang-orang yang bijaksana, berilmu, cendekiawan, termasuk pengemuka agama, sedangkan kata-kata adalah pembanding dari pengetahuan, pendapat, pikiran, pandangan, pemahaman, dan lain-lain yang datang dari diri mereka masing-masing. Namun, ternyata “penyair” itu banyak yang berpura-pura dan bersifat manis sehingga “kata-kata” yang disampaikan itu tidak menjadi jalan yang benar menuju kepada Tuhan. “Kata-kata” itu terlahir dari
kemunafikan yang jauh dari ke-Illahian Tuhan. Kambing umpan mati tercekik/ sedang rimau tak makan bangkai/ lewat tertawa
terkehkehkehkehkehkehkehkehkehkeh mengartikan kesia-siaan belaka. “Kambing yang seharusnya menjadi buruan “rimau” mati tercekik sebelum dimangsa.
Lucunya, “rimau” tak makan bangkai. Hal tersebut adalah analogi bahwa Tuhan
husspuss diamlah
kasihani mereka
mereka sekedar penyair husspuss
maafkan aku
aku bukan penyair sekedar aku depan
depan yang memburu membebaskan kata memanggilMu …
“Aku” menjelaskan keberadaannya pada bait puisi di atas melalui kalimat
Aku depan/ depan yang memburu/ membebaskan kata/ memanggilMu. “aku”
menganggap bahwa selama ini orang-orang yang mencari Tuhan terjebak dalam pemikiran dan pemahaman seseorang atau sekelompok orang. “Aku” ingin menjadi
susu haru segala perempuan aku telah ngisap kalian
perigi langit sumur seribu perahu aku telah meregukmu
malam seribu bulan aku telah menidurimu tiang segala lelaki
aku telah sampai puncakmu aku telah berjuta waktu mencari menungguMu
Bait puisi di atas menggambarkan betapa banyaknya hal yang telah “aku” lakukan untuk mencari Tuhan. Dalam melakukan banyak hal itu, “aku” juga telah
melewati waktu yang sangat panjang. Waktu yang sangat panjang itu dituliskan dalam bait berikut:
lebih tua dari niniveh lebih tua dari sphinx lebih tua dari maya lebih tua dari jawa lebih tua dari babilon
aku telah hidup sebelum musa ratusan abad ngalir dalam nadi mengerang meraung menderu
maka akulah hidup
dan Kau telah menapakkan berjuta jejakMu dalam hidupku
“Aku” menggambarkan waktu yang sangat panjang dalam pencarian Tuhan.
Bahkan katanya sebelum Musa yang lahir sekitar 1500 tahun SM, dia sudah ada. Penantian dan pencariannya ratusan abad, hingga akhir zaman “aku” masih terus mencari. Pada perjalanan yang sangat panjang itu, Tuhan menapakkan jejak-Nya dalam hidup si “aku”. Bahkan, kesalahan-kesalahan dalam mencari Tuhan itu bisa
menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan dalam hidupnya jika dia bisa mengambil hikmah dari segala peristiwa.
jejak tak menggapai tuju jejak tak mewariskan sampai luka tak meninggalkan badan resah tak menjangkau pegang siapa Kau?
Bait puisi di atas mengiaskan perjalanan pencarian Tuhan yang ratusan abad itu tidak berujung. Sampai sekarang “aku” belum juga menemukan Tuhan.
Perasaan resah dan “nafsu” mencari Tuhan itu belum terobati, “aku” masih terus
batu risau batu pukau batu Kau-ku batu jarum batu ngilu batu bisu kaukah itu
teka teki yang tak menepati
janji?
“Batu” pada bait puisi di atas adalah metafora dari penantian yang sangat
panjang yang sudah mengeras seperti batu. Seiring berjalannya waktu, pencarian yang sangat panjang, perasaan risau, dan pukau turut membatu pula. “Jarum” juga
merupakan metafora, yakni pembanding dari penantian dan pencarian yang menusuk, menyakiti, dan menembus relung hati yang paling dalam sehingga terasa ngilu. Ngilu yang turut membeku dalam kebisuan yang tidak terjawab. Bahkan Tuhan dan “aku” pun membatu dalam eksistensi masing-masing. Tuhan membatu
dalam posisi-Nya yang terus dicari, sedangkan “aku” membatu dalam posisinya yang terus mencari Tuhan. Karena kesalnya, “aku” menyebut Tuhan dengan
sebutan “Teka-teki yang tak menepati janji”. Dikatakan “Teka-teki” karena Tuhan
mengumpulkan jejak-jejak itu dan mengikutinya. Namun, jejak tersebut pun ternyata tidak membawanya kepada Tuhan.
dengan seribu tuak kukuak lautan dengan seribu matari kucoba jadi dengan sejuta meriam kucoba menang dengan sejuta mawar kucoba penawar dengan apa mencariMu?
kucing resah kucing barah kucing marwah kucing amuk kucing rasuk kucing palak kucing runcing kucing sembilu kucing batinku ngiau!
tubuh tak habis ditelan laut tak habis dimatari luka tak habis dikoyak duka tak habis digelak langit tak habis dijejak burung tak habis di kepak erang tak sampai sudah malam tak sampai gapai itulah aku
“Aku telah melakukan banyak cara dan banyak hal dalam mencari Tuhan.
Banyak hal yang “aku” lakukan itu dimetaforakan dengan kata seribu tuak kukuak,
seribu matari kucoba jadi, sejuta meriam kucoba menang, dan sejuta mawar kucoba penawar. Seribu dan sejuta merupakan kata yang melambangkan jumlah yang banyak. Selama melakukan hal yang sangat banyak itu, “kucing” resah, barah,
marwah, amuk, rasuk, palak, runcing, sembilu, dan batinku. Deretan kata tersebut menjadi pembanding kegalauan dan ketidakkonsistenan yang dialami “aku”. Sayangnya, deretan kata tersebut bukanlah bekal yang benar untuk mencari Tuhan. Tuhan tidak dapat dicari dengan kata-kata tersebut dan segala makna yang tersirat di dalamnya.
Tubuh tak habis ditelan/ laut tak habis ditelan/ matari luka tak habis
dikoyak/ duka tak habis digelak/ langit tak habis dijejak/ burung tak habis di kepak/
terang tak sampai sudah/ malam tak sampai gapai merupakan pembanding dari keabadian. Artinya, pencarian Tuhan itu adalah kekal, itulah eksistensi si “aku”. Itulah yang menjadi pergumulan “aku” sebagai perwakilan manusia yang di dalam
puisi dimetaforakan dengan kata “luka”. Manusia sepanjang hidupnya memang
tersebut. Itulah yang menjadi arti dari pencarian Tuhan. Bukan mencarinya dalam bentuk wujud.
musang
apa ayamku rimau
apa rusaku elang
apa ikankau murai
apa cacingkau kalian
apa tuhankau? …
Pada bait di atas terdapat metafora hubungan antara “kalian” dengan
“tuhankau”. Hubungan tersebut dapat ditarik melalui proses penalaran secara
analogi. Penarikan kesimpulan dimulai dari hubungan antara musang dengan ayam, rimau (harimau) dengan rusa, elang dengan ikan, dan murai dengan cacing. Musang merupakan predator dari ayam, harimau predator dari rusa, dan begitu seterusnya. Berarti, “kalian” adalah predator dari “tuhankau”. Namun, untuk konteks puisi di
maka kubikin takhingga manusia tanpa mauku aku bikin orang amazon orang babilon aku kembangkang orang modern aku sambungkan ma nusia nanti aku lanjutkan manusiaakan a ku teruskan perpanjangan orang aku jadikan mereka perangkap menangkapMu
kuharap isiNya kudapat remahNya kulahap hariNya kurasa resahNya kusangat inginNya kujumpa ogahNya kumau Dianya kutemu jejakNya
“Aku” membebaskan semuanya untuk mencari Tuhan. “Aku” berharap
menemukan Tuhan. Kebebasan itu dianalogikan dengan kubikin takhingga manusia tanpa mauku, aku bikin orang amazon orang babilon aku kembangkan orang modern, dan aku sambungkan manusia nanti aku lanjutkan manusia akan aku teruskan perpanjangan orang. Menurut “aku”, manusia itu selama ini
terbelenggu dalam “mauku”, orang Amazon dan Babilonia terbelenggu dalam
ketidakmodernan, dan manusia dulu dan yang akan datang terputus karena berbeda zaman. “Aku” akan menyambungkannya sehingga tidak ada keterbatasan lagi.
Tidak ada lagi pembatas atas segala sesuatu. Semua bebas. “Aku” akan membuat
aku temukan jejakMu pada bahu amazon pada badan Mesopotamia pada tubuh babilon pada orang kini pada akan orang
aku telah nangkap manusia dengan tangan dengan meriam dengan ide dengan pikiran namun cuma jejakMu saja yang aku dapatkan pada mereka
aku bosan nanti aku bosan tunggu aku bosan hari aku bosan waktu aku bosan janji
akulah penakluk yang bosan tawanan maka kini kulepaskan kalian
Usaha “aku” dalam membuat “perangkap” Tuhan tidak menghasilkan apa -apa. Hanya jejak saja yang “aku” temukan. “Aku” menjadi merasa bosan mencari
Tuhan. Karena kebosanannya, “aku” tidak lagi mau terbelenggu dalam
eksistensinya sebagai pencari Tuhan. Wujud dari kebosanan tersebut adalah pembebasan yang dituliskan dalam bait berikut:
mawar lepas rasa tikam lepas luka gunung lepas puncak kini aku bebas
batu tak lagi beban mawar tak peduli wangi laut tak acuh luas bebas
ngiau
was was was was was was was was was was …
“Aku” membebaskan segala sesuatu yang selama ini terbelenggu dalam
konvensi-konvensi manusia. Bahkan, pada bait di atas, “aku” membebaskan segala sesuatu dari kodratnya. Mawar yang pasti menciptakan rasa kagum pada orang yang melihatnya kini tak lagi harus mengeluarkan bau yang harum.. Tikam yang pasti menimbulkan luka, kini tak lagi harus demikian. Gunung yang pasti memiliki puncak, kini tak lagi harus memiliki ukuran yang sangat tinggi. Batu yang pasti pasti memiliki bobot atau beban, kini tak lagi harus memiliki berat. Demikian pula laut yang pasti memiliki ukuran yang sangat luas, kini tak harus terbentang memisahkan pulau-pulau. Semua bebas. “Aku” pun kini bebas. Kebebasan itu dituliskan secara lugas pada bait di atas.
huss
puss
diamlah
makanlah se Ada
mmmmMu!
Tuhan itu Hakiki. Kehakikian Tuhan dituliskan dalam bait di atas dengan kata “Ada mmmmMu”. Begitulah Tuhan. Pada bait-bait sebelum bait di atas, “aku”
menuliskan proses pencarian Tuhan yang sangat panjang namun tidak juga menemukan Tuhan. “Aku merasa bosan dan ingin bebas dari belenggu pencarian itu. “Aku” menganalogikannya dengan “kucing” yang lapar, meraung dan
menunggu menerkam. “Kucing” itu sudah bebas. “Aku” menyuruhnya untuk
makan supaya dia tidak lapar lagi, tetapi “kucing itu harus makan “se-Ada
harus percaya seutuhnya kepada Tuhan sekalipun manusia itu belum pernah bertatap muka dengan Tuhan. Kepercayaan dalam tingkat ini disebut sebagai iman. Manusia itu pun harus suci sebagaimana Tuhan yang akan memberikannya keselamatan itu adalah suci. Manusialah yang harus mengikuti kehendak Tuhan, bukan Tuhan yang mengikuti kehendak manusia.
4.1.2 Penyimpangan Arti
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995: 148) penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
4.1.2.1 Ambiguitas
Salah satu sifat karya sastra khususnya puisi adalah polyinterpretable yang artinya menimbulkan banyak penafsiran atau makna ganda. Ambiguitas biasa digunakan oleh penyair untuk memberikan kebebasan pada pembaca untuk mengartikan sendiri makna puisinya sehingga setiap kali dibaca oleh pembaca yang berlainan maka akan menimbulkan makna-makna baru.
dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang se waktu untuk tenang di bumi.
Interpretasi makna yang pertama adalah tuhan menciptakan hasrat dan watak yang ada dalam diri manusia secara otoriter tanpa disesuaikan dengan keinginan manusia itu sendiri. Lalu, manusia itu mencari Tuhan unuk mencari kebenaran dan keadilan. Karena penciptaan itu tidak berasal dari Yang Hakiki, manusia itu justru menginginkan “tuhan” itu sebagai pemuas nafsu dan keinginan
-keinginan manusia yang duniawi sebagai pembenaran atas hal-hal yang telah dilakukannya. Interpretasi kedua adalah hal-hal duniawi menciptakan watak buruk dalam diri manusia. Manusia menyadari hal itu sehingga dia mau meninggalkan hal-hal duniawi dan ingin kembali kepada hal-hal yang hakiki. Oleh karena itu, keinginan-keinginan duniawi itu ingin dibunuh dengan tanpa memberinya makan. Artinya, manusia harus bisa menahan diri agar keinginan duniawi di dalam diri manusia itu bisa hilang dan tidak kembali lagi.
musang
apa ayamku rimau
apa rusaku elang