Kumpulan Hasil Riset Operasional
Tuberkulosis Indonesia
Tahun 2010 - 2011
Kementerian Kesehatan Republi'k Indonesia
Direktorat Jenderal
PP
dan
Pl
Jakarta, 2012
Kelompok Kerja Riset Operasional Tuberkolusis (KKROT)
Tuberculosis Operational Research Group (TORG)
IS\USAID
THeTA
k N C V .
セ@
The r "b.n" lo Ol ' Co a li t ion Ie,. T.c h nl cal Au lo u n, ,, セ FIIOM'HEAr1lll1CAH ,tOflIThe Global Health Bereau, Office of Health, Infectious Disease and Nutrition (HIDN), US Agency for International Develoment secara financial mendukung dokumen ini melalui TB CAP di bawah syarat perjanjian no . GHS-A-OO-OS-00019-00.
Informasi ini menjadi mungkin berkat dukungan yang balk dari rakyat Amerika melalui United States Agency for International Development (USAID). lsi menjadi tanggungjawab TB CAP dan tidaklah mencerminkan visi USAID atau Pemerintah Amerika Serikal.
TBeTA
TI,. tセ 「@ . .<: .. lo l i, C o a li t i onSambutan
Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia masih
tergolong dalam empat negara dengan jumlah kasus tuberkulosis (TB) terbanyak.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengendalian TB masih menghadapi tantangan
berat, meski telah banyak pencapaian yang diraih dalam lima tahun terakhir.
Pencapa ian target Milenium Development Goal (MDG) terkait TB nampaknya akan
teraih. Disisi lain, tantangan baru permasalahan TB dengan koinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Multiple-drugs resistant TB disadari dapat
mengancam pencapaian program pengendalian TB nasional.
Riset operasional TB telah menjadi salah satu strategi untuk melakukan akselerasi
program TB. Dalam era evidence-based policy, sudah selayaknya bila program TB
memperhitungkan temuan -temuan yang dihasilkan dalam riset-riset operasional.
Oleh karena itu peningkatan kuantitas dan kualitas riset operasional TB menjadi hal
yang perlu mendapat perhatian.
Kerjasama antara program TB dan perguruan tinggi serta institusi riset lainnya
dirasakan semakin penting. Oleh karena itu, telah dibentuk Kelompok Kerja Riset
Operasional Tuberkulosis (KKROT)/ Tuberculosis Operational Research Group (TORG)
yang membidangi berbagai kegiatan riset operasional dalam beberapa tahun
terakhir. Kehad iran buku Kumpulan Hasil Riset Operasional Tuberkulosis Indonesia
Tahun 2010-2011 ini merupakan hasil kerja TORG .
Saya ucapkan terima kasih atas kerja keras KKROT dan semua pihak dan donor yang
mendukung terbitnya buku ini. Semoga kehadiran buku ini semakin memperkuat kebijakan program TB nasional.
Sambutan
syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku Kumpulan Hasil Riset
Operasional Tuberkulosis Indonesia Tahun 2010-2011 . Buku ini merupakan lanjutan dari
buku Kumpulan Hasil Riset Operasional TB Indonesia 2005-2009 yang terbit pada tahun
2011. Hal ini menunjukkan bahwa produksi riset operasional TB semakin banyak dan
diharapkan juga meningkat dalam kualitasnya .
Dalam berbagai dokumen program pengendalian TB, riset operasional semakin mendapat
tempat strategis . Kebijakan program TB mulai memperhitungkan berbagai temuan dari
riset operasional. Ke depan, diharapkan semakin banyak informasi yang dihasilkan dari
riset operasional yang dapat menjadi bukti -bukti dalam pembuatan kebijakan program
TB.
Saya ucapkan terima I<asih atas kerja keras Kelompok Kerja Riset Operasional
Tuberkulosis (KKROT)/ Tuberculosis Operational Research Group (TORG) dalam
mewujudkan buku ini . Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada peneliti-peneliti TB
dari berbagai universitas dan institusi yang telah berkontribusi.
Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi upaya akselerasi pencapaian
target-target program TB. Kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan untuk
meningkatkan mutu riset operasional TB di Indonesia .
Ketua Komite Ah l'i Tuberkulosis,
614.542 Ind
k
Pengarah
H.M . Subuh (Direktur PPML)
Dyah Erti Mustikawati (Kepala Subdit TB)
Ketua Editor
Sardikin Giriputro
Ari Probandari
Anggota Editor
Bachti Alisjahbana
Yodi Mahendradhata
Bagoes Widjanarko
Chatarina Umbul Wahyuni
Sumanto Simon
Muhammad Noor Farid
Erlina Burhan
Elisna Syahruddin
Dina Bisara Lolong
Pandu Riono
Surjana
Retno Bud i ati
Atin Parihatin
Katalog Dalam Terbltan. Kementerlan Kesehatan RI
Indonesia. Kementerian Kesehatan Rio Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kumpulan hasll riset operasional tuberkulosis Indonesia Tahun 2010-2011,-- Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2012 ISBN 978-602-235-074-8.
Daftar lsi
Sambutan Direktu r Jenderal PP dan PL, .. ... ... .... .... ... ... .. ... .... .. ... .
Sambutan Ketua Komite Ahli Tuberkulosis, .. ... ... ... ... ... .... .. ... .. ... iii
Pengarah dan Editor, .. .. .. ... .. .. .. .. .... .. .. .. .. ... ... ... ... ... ... 1
Dafta r lsi, ... ... .. .... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... .... .. ... ... ... .. .. . 3
Kata Pengantar, .. ... .. .. ... .. .... ... .. .. ... .. ... .. ... ... ... . 5
Riset Operasional Tuberkulosis, ... .. .... ... ... .. .... ... ... ... 7
Projek Pendahuluan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta : Model Kolaborasi Pelayanan TB-HIV 9 Teri ntegrasi, ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . Mortalita s, Tuberkulosis Ulang, dan Fungsi Paru pada Pasien Pasca Pengobatan Dibandingkan Kontrol Sehat, ... ... ... ... ... ... .. ... ..
15
Integrasi Kerja Petugas Program Tuberkulosis dan Petugas Laboratorium dalam Meningkatkan Kualitas Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopik di Puskesmas, ..
21
Kualitas Diagnosis Mikroskopik Tuberkulosis di Puskesmas, Provinsi Jawa Tengah,
27
Besaran Kasus Tuberkulosis Paru, Penegakan Diagnosis, Eksplora si Komitmen Pimpinan, serta Perilaku Petugas di Unit Pelayanan Kesehatan Kota Balikpapan, ... ... ... .. .. ... ... ... ... .. .... ... ... ... .. ... ... . 33Peningkatan Penemuan Kasus dan Suspek Tuberkulosis melalui Pengembangan Jejaring Puskesmas Pembantu di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, ... 41
Efektifitas Pelatihan Petugas Laboratorium terhadap Peningkatan Kualitas Diagnostik Mikroskopis Tuberkulosis di Provinsi Nusa Tenggara Barat, ... . 47
Tata Kelola Kasus Tuberkulosis di Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, ... ... .... .... .... ... ... ... ... .. ... 53
Studi Implikasi Survei Tuberkulin : Penelusuran Anak dengan Uji Mantoux Positif t erhadap Kejadian Sa kit Tuberkulosis di Tiga Daerah di Sumatera Barat,.. 59
Pembentukan Model Jejaring Laboratorium Swasta dan Dokter Praktik Swasta dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Provinsi Sumatera Barat, ... . 69
Pengembangan Program Pengendalian Tuberkulosis, .. .. .. .. ... 75
Pengembangan Daerah Sentinel Surveilans Kematian TB di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, Gorontalo dan Papua Tahun 2007-2008, ... ... .. .. .. ... 77
Kata Pengantar
Untuk meningkatkan kegiatan riset di bidang penyakit tuberkulosis (TB), sejak
beberapa tahun yang lalu telah dibentuk Kelompok Kerja Hiset Operasional
Tuberkulosis (KKROT)/ Tuberculosis Operational Research Group (TORG), yang
tugasnya antara lain memfasilitasi kerjasama antara Program Penanggulangan TB
Nasional dan para peneliti dari berbagai institusi, dalam rangka peningkatan
kegiatan riset operasional TB di Indonesia . Selain itu TORG juga berperan dalam
mendorong penulisan publikasi hasil riset di tingkat nasional maupun internasional.
Banyak riset operasional TB yang telah dilakukan oleh berbagai kelompok peneliti
dari berbagai daerah, dan telah dipublikasikan. Buku kumpulan riset operasional TB
yang difasilitasi dan dimonitori oleh Tim Operasional Riset TB Nasional ini
merupakan buku kedua yang diterbitkan .
Kegiatan riset operasional ini dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang, mulai
dari sosialisasi ke daerah-daerah untuk mengidentifikasi masalah penanggulangan
TB dan menyusun tim riset yang akan didukung dan didanai oleh TBCARE . Untuk
mendapatkan hasil riset yang optimal, Tim Peneliti yang dibentuk terdiri dari unsur
pelaksana Program P2TB (Dinas Kesehatan) dan para peneliti atau akademisi di
perguruan tinggi setempat. Selanjutnya dilakukan lokakarya metodologi riset dan
pengembangan proposal, dimana peserta mendapatkan pelatihan secara intensif
selama 2 minggu. Setelah masa pelaksanaan riset, di.lakukan lokakarya hasil riset,
hingga ke tahap penyusunan laporan dan penulisan hasil riset. Diharapkan dari
kegiatan ini akan muncul hasil riset dan publikasinya, yang akan bermanfaat bagi
pengambil keputusan dan pengelola program dalam rangka memperbaiki kualitas,
efektifitas, efisiensi dan kinerja program. Selain itu diharapkan pula muncul
peneliti-peneliti dan kelompok penel-iti yang akan semakin meramaikan kegiatan riset di
Buku ini berisi 10 ringkasan (extended abstract) hasil riset oleh Tim Peneliti di
berbagai daerah yakni Sumatra Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB,
Maluku, Kaltim, Jambi. Oi samping 10 buah ringkasan hasil riset, buku ini juga
memuat 2 buah artikel mengenai pengembangan program yang layak untuk
diketahui.
Hasil riset yang terdapat di dalam buku ini diharapkan menjadi informasi yang
bermanfaat bagi banyak pihak yang terkait dengan penanggulangan masalah TB di
masyarakat. Namun diakui penerbitan buku kumpulan riset ini dan hasil riset di
dalamnya perlu dikritisi dan diberi masukan. Untuk itu saran, kritikan dan masukan
dapat disampaikan melalui Tim TORG.
Kepada semua pihak yang memungkinkan diterbitkannya buku ini khususnya USAIO,
KNCV dan Subdit TB Oirektorat Jenderal PP dan PL kami ucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya.
Jakarta, Maret 2012
Projek Pendahuluan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta: Model Kolaborasi
Pelayanan TB-HIV Terintegrasi
Muhammad Syahril Mansyur1, Agus Suharto Basuki\ Tri Susilawati1, Muhammad
Firdaufan\ Munawaroh Makiyatul1, Endang lukitosari2, Yanda Siagian2, Afri
Nurhalina3
lBalai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, 2Subdit TB Ditjen P2 dan Pl
Latar Belakang
Permasalahan tuberkulosis (TB) diperberat dengan meningkatnya kasus Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada penderita TB dan sebaliknya. TB merupakan
infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV!Aquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) sekaligus sebagai penyebab kematian terbesar . WHO
memperkirakan hampir sepertiga dari 40 juta orang dengan HIV!AIDS (ODHA) juga
menderita infeksi TBY Perkiraan total kematian TB pada ODHA adalah 11_50% .2.3
WHO dan UNAIDS (2007) merekomendasikan Voluntary Client Initiated HIV
Counseling and Testing (VCT) dan Provider Initiated HIV Testing and Counseling
(PITC) di fasilitas kesehatan untuk menurunkan beban HIV pada penderita TB . 2
•4
Model PITC digunakan pada pelayanan kesehatan yang melaksanakan strategi
Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) untuk menjaring kasus HIV pada
kasus TB Paru. PITe diharapkan dapat menambah akses layanan HIV!AIDS pasien TB,
meningkatkan angka kesembuhan TB, mengurangi angka kematian selama
pemberian obat anti TB dan mengurangi angka put us berobat. Namun PITC belum
digunakan dan belum diketahui efektifitasnya di Indonesia. Tujuan pene1litian ini
adalah mengukur cakupan tes HIV dengan PITC sebagai model kolaborasi TB -HN
yang diintegrasikan dengan pelayanan DOTS dan memperkirakan prevalensi HIV
pada penderita TB Paru.
Metode
Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien TB paru dewasa di klinik rawat jalan
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta pada bulan Maret hingga
Desember 2008. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah TB paru berat atau TB
reaktivasi atau kasus TB dengan faktor risiko HIV. TB paru berat meliputi TB kambuh,
TB kronis, MDR TB dan TB gagal pengobatan . Faktor risiko HIV meliputi pengguna
Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (Napza) suntik, pekerja seks
komersial, lelaki suka lelaki, transfusi darah, waria dan sebagainya.
Pasien yang memenuhi kriteria rekomendasikan oleh dokter!perawat (provider)
untuk dilakukan konseling dan tes HIV di klinik PITe. Di klinik PITC pasien dilakukan
Konseling, Informasi dan Edukasi (KIE) TB dan HIV oleh konselor HIV. Selanjutnya,
pasien didorong dan dianjurkan untuk menjalani konseling dan tes HIV dengan
prinsip 3C (Informed Consent, Counseling and Confidentiality). Konseling bersitat
rahasia antara klien dan konselor. Proses konseling meliputi evaluasi risiko personal
penularan HIV, fasilitas, pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika
pengambilan darah dengan tiga metode analisa serologik HIV yang berbeda yaitu
rapid test SD, Oncoprobe dan Intec. Analisis data menggunakan program Open Epi
dengan uji statistik Chi Square.
Hasil
Jumlah pasien TB di rawat jalan BBKPM Surakarta bulan Maret hingga Desember
2008 sebanyak 1090 orang, yang terdiri dari 885 kasus TB dewasa dan 205 kasus TB
anak Dari 885 kasus TB, sebanyak 110 kasus memenuhi kriteria inklusi sampel
penelitian (gam bar 1).
885 pasien
TBdewasa di rawatjalan
110 pasien TB
yang memenuhi kmeria inklusi
o Menolak Konseling HIV/AIDS
11 (19%)
menolak tes HIV
96 (87,27%)
HIV negatif
[image:18.476.66.396.225.429.2]Terapi TB dan KIE
Gambar 1. Alur konseling dan tes HIV pada projek pendahuluan PITe.
Sampel terdiri dari 29 kasus TB kronis (26,4%), empat kasus TB kambuh (3,6%), lima
kasus TB gaga I terapi (4,6%), 19 kasus Multi Drug Resistant (MDR) TB (17,3%) dan 53
kasus TB kasus baru (48%) (tabel 1). Faktor risiko HIV/AIDS yang sering ditemui
adalah berganti-ganti pasangan seksual (83%). Sampel laki-Iaki lebih banyak
dibanding perempuan (72,7% laki-Iaki dan 27,3% perempuan). Sebagian besar
responden (77,3%) berusia 25-49 tahun. Seluruh pasien yang memenuhi kriteria
inklusi ini belum diketah Ui stat us HIV-nya. Sem uanya bersedia untuk diberi
konseling pra-tes HIV. Sebanyak 89 orang (81%) bersedia untuk melakukan testing
HIV sebanyak 89 orang, dengan hasil delapan orang HIV posit if (7,3%) dan enam
Tabel 1. Persentase pasien yang menerima konseling dan tes HIV dan HIV positif
berdasarkan kategori pasien, jenis kelamin dan usia di BBKPM Surakarta, tahun 2008
Kriteria Jumlah Menerima Menerlma Tes HIV
kanseling tes HIV pasitif
pra-tes HIV
n (%) :n (%) n (%)
Semua pasien
Kategari pasien
TB berat
TB kambuh
Kranis
MDR-TB
Gagal terapi abat anti TB
TB paru kasus baru dengan riwayat
faktar risika
• Lelaki suka lelaki
• Berganti-ganti pasangan seksual
• Pengguna Napza suntik
• Pasangan dengan HIV pasitif
Jenis kelamin Laki-Iaki Perempuan Usia 15-24 25-49 >50 110 57 4 29 19 5 53 1 44 1 7 80 30 11 85 14 110 (100)
57 (100)
4 (100)
29 (100)
19 (100)
5 (100)
53 (100)
1(100)
44 (100)
1 (100)
7 (100)
80 (100)
30 (100)
11 (100)
85 (100)
14 (100)
89 (81) 8 (9)
38 (66,7)
o
1 (25)
o
26 (89,7)
o
10 (52,6)
o
2 (40)
o
50 (94,3) 8 (16)
1 (100) 1 (100)
42 (95,4) 5 (11,9)
1 (100) 1 (100)
6 (85,7) 1 (16,7)
69 (86,3) 6 (8.7)
20 (66,7) 2 (10 )
9 (81,8) 1 (11,1 )
72 (84,7) 6 (8,3)
8 (57,1) 1 (12,5)
Pasien yang bersedia tes HIV pada kelompak TB dengan faktor risiko lebih besar
(94,3 %) dibandingkan kelompok T8 berat (66,7%) dengan nilai p=O,OO (Tabel 1).
Laki-Iaki Ilebill banyak menerima tawaran tes HIV (86,2%) dibanding perempuan
(66,7%), dengan nilai p=0,02. Sampel pada kelompok usia produktif 25-49 tahun
lebih banyak menerima tawaran tes HIV (84,7 %) dibandingkan kelompok usia 15-24
[image:19.476.47.409.85.516.2]Proporsi pasien HIV positif dari sampel yang menerima tes HIV adalah 9% .Hasil HJV
posit if dijumpai pada 6 (8,7%) laki-Iaki dan 2 (10%) perempuan. Hasil HIV positif lebih
banyak ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun dibanding kelompok usia 15-24
tahun dan lebih dari 50 tahun (8,3; 12,5; 11,1%). Kesemua Ilasil HIV positif
didapatkan pada kelompok pasien TB kasus baru . Faktor risiko infeksi HIV tertinggi
adalah berganti-ganti pasangan seksual 5(61%). Proporsi pasien HIV diantara pasien
TB pada penelitian ini adalah 7,3% . Dengan asumsi tidak ada kasus HIV pada anak
dan pasien TB yang tidak memenuhi kriteria inklusi, maka prevalensi HIV positif
diantara semua pasien TB adalah 0,9%.
Diskusi
Projek pendahuluan ini tidak mengukur efektif'itas PITC dibandingkan VCT. Namun,
tingkat penerimaan pasien TB untuk diperiksa status HIV-nya lebih besar (81%)
dibandingkan klinik VCT di unit pelayanan kesehatan serupa, seperti di BKPM
Semarang, Provinsi Jawa Tengah yakni 65%5. Pasien TB dengan risiko HIV mungkin
lebih mudah menerima tes dibandingkan dengan pasien TB tanpa risiko. PITC juga
diperkirakan lebih efisien dibanding VCT karena lebih selektif menyasar ke kelompok
dengan faktor risiko HIV .
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa PITC menjanjikan untuk diterapkan sebagai salah
satu bentuk kolaborasi program TB dan HIV. Jika model PITC diterapkan, maka akan
berimplikasi pada lebih banyak pasien TB yang diketahui status HIV-nya yang
memerlukan akses pada layanan terapi anti ret.roviral. Hal ini menjadi tantangan bagi
pemangku program TB dan AIDS di tingkat nasional untuk mengembangkan prosedur
koordinasi layanan ART pada layanan kesehatan yang menjalankan strategi DOTS.
Ucapan terima kasih
Kami berterima kasih kepada semua staf di BBKPM Surakarta yang mendukung
penuh projek pendahuluan ini. Kami juga berterima kasih kepada dr. Astuti MPH
(Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI), dr Carmelia Basri MPH ,
Prof.Dr.dr.Tjandra Yoga Sp .P(K) DTM&H (Subdit AIDS dan Subdit TB Dirjen
Japan Foundation for AIDS Prevention (JFAP), RIT Japan dan Japan Anti Tuberculosis
Association (JATA).
Daftar Pustaka
1. World Health Organization . Guidelines for Implementing Collaborative TB and
HIV Program Activities. Geneva, Switzerland : World Health Organ ization,
2003.
http://www.who.int/tb/publications/2003/en/inde x. 1.html . Diakses pada 9
Januar i 2012.
2. Wori'd Health Organization, & UNAIDS. Guidance on Provider Initiated HIV
Testing and Counseling in Health Facilities. Geneva, Switzerland : World
Health Organization, 2007 .
3. Global Health Council. Preventing Tuberculosis in HIV-Infected Persons. A
systematic review of randomized controlled trials . Issue No .1, 2004.
2nd
4. World Health Organization. TB/ HIV A Clinical Manual. Edition . World
Health Organ ization, 2004 .
S. Rahadi W, Suwignyo N, Priliono T. Decentralized Network
In Scaling Up TB-HIV In Central Java, Indonesia. Diseminasi penelitian . Mei
Mortalitas, Tuberkulosis Ulang, dan Fungsi Paru pada Pasien Pasca
Pengobatan Dibandingkan Kontrol Sehat
Lika Apriani\ Anne C Teirlinck2, Bachti Alisjahbana1 ,3, Ida Parwati4, Putri T
Radhiyanti1, Yana Achmad3, Hedy Sampoerno5, Marieke J van der Wert6,l, Reinout
van Crevel2
lUnit Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung,
2Department of Internal Medicine, Radboud University Medical Center Nijmegen The
Netherlands, 30epartemen IImu Penyakit Oalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung, 40epartemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung, 5Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Bandung,6KNCV Tuberculosis Foundation The Hague The Netherlands , 7Center for
Infection and Immunity Amsterdam (c/NIMA), University of Amsterdam The
Latar Belakang
Pengobatan Tuberkulosis (TB) cukup efektif bagi mayoritas pasien . Namun bagi
sebagian kelompok pasien, TB masih mengganggu kesehatan walaupun pengobatan
sudah sukses dilakukan . Tiga hal yang menjadi perhatian pad a pasi en pasca
pengobatan TB adalah kematian pasien setelah pengobatan TB lebih banyak
dibandingkan populasi umum \ risiko TB ulang yang lebih tinggi2 dan gangguan fungsi
paru 3. Banyak faktor yang terkait dengan kematian dan TB ulang termasuk infeksi
HIV, us ia lanjut, diabetes, genotipe M . Tuberculosis, kebiasaan merokok, dan
ketidakpatuhan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi mortalitas,
insidens TB ulang dan fungsi paru pada pasien TB paru pasca pengobatan
dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode
Sejumlah 200 mantan pasien TB dan 200 kontrol sehat yang pernah diikutsertakan
dalam penelitian kasus kontrol antara tahun 2000-200S, diikutsertakan kembali ke
dalam penelitian ini. Semua subjek kemudian diundang dengan menggunakan surat
untuk datang ke klinik. Subjek yang tidak datang ke klinik dihubungi lewat telepon
dan dikunjungi maksimal dua kali oleh pekerja sosial. Untuk subjek yang pindah
rumah, data diperoleh dari keterangan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat
setempat. Untuk subjek yang meninggal, peneliti melakukan verbal autopsy dari
sumber orang terdekat pada saat kematian. Penyebab kematian diklasifikasikan oleh
dokter, apakah kematian ada hubungannya dengan penyakit TB atau karena sebab
yang lain.
Penelitian dilakukan mulai April sampai dengan Agustus 2007 . Pada semua subjek
dilakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan, keluhan dan gejala dicatat,
dilakukan penilaian mengenai status TB, pemeriksaan gula darah puasa dan foto
thoraks dada untuk semua subjek kecuali wan ita hamil. Untuk subjek tersangka TB,
dilakukan pemeriksaan sputum dan kultur Ogawa. Pemeriksaan fungsi paru
dilakukan dengan menggunakan spirometri (SpirobankG dari MIR, Italia).
Semua data dimasukkan dalam pangkalan data oleh dua orang secara independen
dengan menggunakan Microsoft Access. Analisa statistik menggunakan SPSS 16.0.
Var·iabel binomial diuji dengan menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan
hasil Odds Ratio (OR). Perbandingan antara subjek sehat mantan pasien TB dengan
kontwl sehat, diuji sesudah dikoreksi variabel merokok, usia, jenis kelamin , diabetes
regresi linier dan regresi logistik. Varia bel indeks masa tubuh (IMTl, merokok, usia,
jenis kelamin dan hasil pengobatan awal dimasukkan dalam model multivariat.
Hasil
Dari 200 mantan pasien TB dan 200 kontrol sehat yang diundang, hanya 146 orang
mantan pasien TB (73%) dan 178 orang kontrol sehat (89%) yang bisa dilacak
kembali dan diikutsertakan dalam penelitian ini. Median waktu follow up dari
keikutsertaan penelitian yang pertama dengan penelitian ini adalah 2,5 tahun untuk
[image:24.476.64.412.241.491.2]mantan pasien TB dan 2,2 tahun untuk kontrol sehat (tabeI1).
Tabel!. Karakteristik subjek yang berhasil dilacak
Karakteristik Mantan Pasien T8 Kontrol
Jumlah subyek (%) 146 (73%) 178 (89%)
Median follow up - tahun 2,5 2,2
Total follow up - orang tahun 359 387
Meninggal 2,1(0,4 - 6,0)
°
Median IMT (lOR) 21 (19 - 24) 22 (19 - 26)
Melaporkan TB selama periode follow up 7,4 (3,4 - 14,1) 1,3 (0,2 - 4,6)
Foto thoraks
kemungkinan TB
dada abnormal,
57,7 (47,9 - 67,6) 4,5 (0,6 - 8,3)
Batuk kronis 3,6 (1,0 - 9,3) 1,6 (0,2 - 4,6)
Batuk darah 1,8 (0,2 - 6,6) 0
Pemeriksaan sputum n
=
33 n=1BTA positif (n) 3 1
Kultur positif (n) 5 1
BTA atau kultur positif (n) 6 1
Fungsi paru n
=
73 n = 84Rerata VC - %predicted 81,2 95,4
Rerata FEV
1/
FVC ratio 81,6 86,6VC=Vital Capacity; FEV1=Forced Expiratory Volume 1 second; FVC=Forced Vital Capacity.
Melalui anamnesis dan penemuan kasus yang aktif, total ditemukan 16 orang dari
mantan pasien TB yang meninggal dan mengalami TB ulang. Sementara, data dari
kontrol sehat dilaporkan 3 orang yang mengalami TB dan tidak ada yang meninggal
meninggal atau terjadi TB ulang dibandingkan kontrol sehat dengan Risiko Relatif
sebesar 5,9 (1,8-19,5).
label 2. Subjek yang meninggal, TB ulang, dan hidup tanpa TB pada mantan pasien
TB dibandingkan kontrol
Meninggal TB Total Hidup, Total RR (95% (I)
ulang meninggal tanpa TB
dan TB ulang
N n n(%) n (%) n
Mantan pasien 2 14 16 86 (84) 102 5,9 (1,8 -19,5)
TB 0 3 (16) 109 (97) 112 1
Kontrol 3 (2,7)
Total 2 17 19 (8,9) 195 (91) 214
Fungsi paru dengan menggunakan Spirometri hanya bisa dilakukan pada 158 orang
subyek (74 mantan TB pasien dan 83 kontrol sehat). Dari tabel 3 dapat dilihat ada
perbedaan mengenai fungsi paru antara mantan pasien TB dengan kontrol sehat
untuk semua parameter fungsi paru. Kerusakan fungsi paru diklasifikasikan dalam 2
tipe, yaitu restriksi dan obstruksi. Parameter FVC% dan VC% dapat memperlihatkan
kerusakan berupa restriksi, sementara obstruksi dapat dilihat dari parameter
FEV1!FVC dan FEV1/VC. Setelah dikoreksi dengan faktor merokok, IMT, dan usia,
Risiko Relatif kerusakafl paru pada mantan pasien TB dibandingkan kontrol I:ebih
tinggi baik berupa restriksi maupun obstruksi.
Tabel 3. Subjek yang mengalami kerusakan fungsi paru, risiko relatif dan odds ratio
setelah dikoreksi
Parameter Ke las Mantan Kontrol RR OR OR セッ イ・ォウ ゥ@
pasien (95% CI)
n (%) n (%)
FVC% < 80% 36 (49) 14 (17) 2,9 4,7 4,2 (2 ,0 - 8,9)
VC% < 80% 33 (45) 16 (19) 2,3 3,4 3,4 (1 ,7-6,7)
FEV,% < 80% 39 (53) 14 (17) 3,1 5,5 5,0 (2,4 - 11)
FEV,/ FVC " 70 7 (9.5) 1 (1, 2) 7, 9 8,6 8,6 (1,0 - 71)
FEV,/VC < 70 8 (11) 2 (2 ,4) 4,5 4,9 4,9 (1,024)
FEF25 ·,,% <80% 61 (82) 22 (40) 2,1 7,1 5,9 (2 ,8 13)
FVC= Force d Vital Capacity; VC= Vital Capacity; FEV ,=Farced Expiratory Volume 1 second; FEFz5.
[image:25.476.61.404.397.564.2]Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantan pasien TB lebih sering mengalami efek
jangka panjang yang negatif (meninggal atau TB ulang) dan mengalami kerusakan
fungsi paru dibandingkan dengan kontrol sehat meskipun setelah menjalani
pengobatan TB. Kematian selama follow up lebih tinggi ditemukan pada mantan
pasien TB dibandingkan dengan kontrol sehat meskipun perbedaan ini tidak
signifikan secara statistik. Kematian pada mantan pasien TB pada penelitian ini
hanya 2,1 %, hasil ini lebih rendah dibandingkan penelitian-penelitian lainnya di
Vietnam (6%) dan Uzbekistan (24%). Rendahnya kematian di penelitian ini
kemungkinan disebabkan karena hanya 73% mantan pasien TB yang dapat dilacak
dan diikutsertakan kembali. Penyebab lain rendahnya kematian adalah dikarenakan
mantan pasien TB yang diikutkan adalah yang mengalami diagnosis TB pertama pada
saat penelitian kasus kontrol sebelumnya berbeda dengan penelitian yang lain yang
dilakukan di Vietnam dan Uzbekistan.
Melalui anamnesis dan penemuan kasus yang aktif, risiko TB ulang adalah 6 kali lebih
tinggi ditemukan di mantan pasien TB dibandingkan kontrol sehat. Meskipun kita
tahu bahwa kontrol sehat tidak diskrining dan juga tidak diobati untuk laten TB,
tetapi mereka mempunyai risiko lebih rendah untuk menjadi TB aktif dibandingkan
dengan mantan pasien TB yang sudah menerima pengobatan TB lengkap. Penjelasan
yang mungkin adalah tidak semua kuman TB bisa dieradikasi, kerusakan paru dan
faktor genetik serta faktor lain yang mempengaruhi daya tahan tubuh.
Kesimpulan
Pengobatan TB tidak bisa mencegah kerusakan paru secara permanen, padahal
kerusakan jaringan paru yang permanen mempengaruhi fungsi paru mantan pasien
TB selama hidupnya. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai pengelolaan
yang optimal untuk menekan mortalitas dan insidens TB ulang serta perbaikan fungsi
paru. Intervensi khusus diperlukan untuk memperbaiki kerusakan fungsi paru yang
bersifat obstruksi.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu
terselenggaranya penelitian ini. Penelitian ini dapat terlaksana dengan baik karena
partisipasi mantan pasien TB dan kontrol sehat di dalam penelitian ini. Ucapan
yaitu Prof. dr. Cissy B. Sudjana Prawira, MSc, PhD selaku direktur Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung, dr. Carmelia Basri, MPH dari Program TB Nasional, Bapak Lukman
Tarigan selaku Ketua Tim Riset Operasional dan Jan Voskens dari KNCV Indonesia .
Penelitian ini didanai oleh Program Nasional TB di bawah Program Riset Operasional.
Daftar Pustaka
1. Cox H, Kebede Y, Allamuratova S, Ismailov G, Davletmuratova Z, Byrnes G, &
Stone C, et al. Tuberculosis recurrence and mortality after successful
treatment : impact of drug resistance. PloS Medicine 2006; 3: e384 .
2. Chang KC, Leung CC, Yew WW, Ho SC, & Tam CM. A nested case-control study
on treatment-related risk factors for early relapse of tuberculosis . Am J Respir
Critical Care Med 2004; 170: 1124-1130.
3. Pasipanodya JG, Miller TL, Vecino M, Munguia G, Garmon R, & Bae S, et al.
Integrasi
Kerja
Petugas
Program
Tuberkulosis
dan
Petugas
Laboratorium dalam Meningkatkan Kualitas Pemeriksaan Dahak secara
Mikroskopik di Puskesmas
Ike Silviana1, Ika Nursanti', Subakir2, Suroso2, Avida Bar3
, Bachti Alisjahbana4
Dinas Kesehatan Provinsi Jambi\ STIKES Harapan Ibu Jambi2, Politeknik Kesehatan
Latar Belakang
Pemeriksaan dahak mikroskopik merupakan aspek yang sangat mendasar dalam
penatalaksanaan Tuberkulosis (TB) dan komponen penting strategi Directly Observed
Treatment Short-course (DOTS). Namun demikian, pemeriksaan dahak mikroskopik
kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan strategi program TB yang lain 1,2
Program pengendalian TB dengan strategi DOTS di Provinsi Jambi sampai dengan Maret
2009 telah menjangkau 141 dari 149 Puskesmas yang ada. Berdasarkan empat indikator
keberhasilan program TB Nasional , pada tahun 2009 hanya dua indikator yang berhasil
melampaui target nasional, yaitu angka konversi 91 % dan angka keberhasilan pengobatan
sebesar 94%, sedangkan angka deteksi kasus sebesar 58,7%,
Dalam pelaksanaan program, petugas TB adalah mitra petugas laboratorium dalam
mendeteksi suspek. Keterlibatan petugas TB yang lebih banyak dalam proses pemeriksaan
dahak diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam hal perbaikan kinerja petugas
laboratorium. Kerjasama ini akan membuat kegiatan saling kontrol mengenai kesesuaian
antara temuan pada pasien, pelaksanaan protap dan hasil pemeriksaan dahak yang
dilakukan oleh petugas laboratorium.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja petugas laboratorium
Puskesmas yang ditentukan dengan peningkatan kualitas sediaan dan penurunan angka
kesalahan baca laboratorium (Error Rate) melalui kerjasama terintegrasi dengan petugas
TB puskesmas. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan identifikasi
karakteristik petugas laboratorium TB; (2) mengembangkan kegiatan terintegrasi antara
petugas laboratorium dan petugas TB puskemas; (3) menilai kontribusi dar! keterl,ibatan
petugas TB pada kinerja petugas laboratorium; dan (4) memberikan rekomendasi pada
program mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja
laboratorium TB di Puskesmas.
Metode
Penelitian menggunakan disain studi eksperimen. Penelitian dilakukan pada petugas TB
dan laboratorium Puskesmas terpilih sebanyak 30 Puskesmas Rujukan Mandiri (PRM) dan
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang memiliki angka kesalahan baca laboratorium
lebih dari 5% pada tahun 2009. Puskesmas -puskesmas tersebut telah mengikuti pe1latihan
laboratorium dengan sistem 'participatory training ' . Petugas puskesma s terpilih diberikan
pelatihan penyegaran untuk menyamakan pengetahuan dan pemahaman tentang
tugasnya, pembuatan dan pembacaan sediaan, pencatatan, pelaporan, serta
prosedur uji silang.
Setelah pelatihan penyegaran, puske smas terpilih dikelompokkan menjadi dua yaitu
integrasi kerja antara petugas TB dan petugas laboratorium Puskesmas di dalam
kegiatan TB Puskesmas. Kegiatan intervensi dimulai dengan pelatihan singkat (on the
job training) bagi petugas TB dan laboratorium mengenai ilmu laboratorium dasar dan keharusan bagi keduanya untuk bekerja sama, serta pertemuan koordinasi mulai sejak
saat penelitian dimulai. Integrasi dilakukan dalam bentuk pertemuan secara berkala
(minimal 2 minggu sekali) dengan membahas: kualitas sediaan yang telah dibuat, hasil
pembacaan sediaan yang telah dilakukan, kualitas sputum yang diterima dad
penderita dan apa pengaruhnya terhadap kualitas sediaan dan hasil' pembacaan,
mengidentifikasi masalah-masalah yang diketemukan, serta menyepakati
langkah-langkah yang perlu diambil untuk memecahkan masalah tersebut.
Pemantauan pasca intervensi dilakukan sebanyak dua kali dengan jarak satu bulan .
Efek perlakuan akan diukur dalam hal perbaikan kinerja laboratorium Puskesmas yang
dinilai dalam kualitas sediaan dahak mikroskopik dan angka kesalahan baca
laboratorium. Faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas laboratorium yang
rendah diidentifikasi pada waktu pelaksanaan intervensi maupun pada saat dilakukan
pemantauan .
Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner, daftar tilik, dan observasi,
sedangkan data sekunder diperoleh dari Balai Laboratorium Kesehatan Jambi.
Pengumpulan data awal penelitian dilakukan sebelum refreshing, yang mencakup
karakter petugas, institusi dan nilai kinerja laboratorium pada triwulan berjalan.
Sebagian data juga diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner,
dan observasi dengan daftar tilik . Sedangkan data akhir yang berupa kinerja diperoleh
dari Balai Laboratorium Kesehatan setelah semua puskesmas yang terlibat
mengirimkan sediaannya untuk dilakukan uji silang .
Hasil
Petugas laboratorium yang ikut dalam penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, sebagian besar berusia antara 25-30 tahun, dengan masa kerja terbanyak 8
tahun (1-10 th). Semua petugas laboratorium tidak memiliki pekerjaan rangkap di
Puskesmas selain sebagai petugas laboratorium. Hampir semua petugas memiliki
pengetahuan dan motivasi yang baik dalam hal pemeriksaan mikroskopik daha k. Secara
umum, enam indikator kualitas sediaan yang dinilai pada kedua kelompok masih jelek.
Indikator kerataan memiliki nilai paling buruk dari ke enam indikator yang ditampilkan
(tabeI1).
Hasil pemantauan selama 3-6 bulan pasca intervensi menunjukkan bahwa proses integrasi
dari aktivitasnya, sembilan Puskesmas (60%) termasuk kategori "baik", 6 Puskesmas (40%)
kategori "sedang" , dan tidak ada Puskesmas yang termasuk kategori "buruk" .
Tabel 1. Perbandingan kualitas sediaan pada kelompok intervensi dan kontrol, pra dan pasca integrasi
Ind ikator kualitas Kelompok Puskesmas (%)
sediaan yang baik Intervensi Kontrol p
セセセセセセセセセ MMMMセセ セセ セMM セ セ@
Pra (n=220) Pasca (n=208) Pra (n=220) Pasca (n=236)
Spesimen 21,4 91,3 15,0 50,8 0,000
Pewarnaan 47,3 95,7 29,1 62,3 0,000
Kebersihan 40,0 96,2 30,9 60,6 0,000
Ketebalan 21,6 93,3 10,5 54,7 0,000
Ukuran 35,9 97,1 31,4 60,6 0,000
Kerataan 9,0 91,8 0,0 22,5 0,000
Perbandingan kualitas sediaan mikroskopik yang dihasilkan setelah kegiatan integrasi
adalah tujuan akhir dari penelitian ini . Pasca integrasi terlihat ada peningkatan kualitas
sediaan baik pada kelompok intervensi dan kontrol. Kena ikan persentase kualitas sediaan
pada kelompok intervensi terlihat jauh lebih baik bila dibandingkan kelompok kontrol,
dengan kenaikan terendah pad a pewarnaan pada kelompok intervensi dan kerataan
sediaan mikroskopik pada kelompok kontrol (tabeI1) .
Proporsi Puskesmas dengan angka kesalahan baca laboratorium >5 % pada kelompok
intervensi cenderung menurun, sedangkan di kelompok kontrol setelah enam bulan justru
meningkat (gambar 1). Pada tiga bulan pasca refreshing, kondisi angka kesalahan baca
laboratorium kedua kelompok hampir sama yaitu 5% pada kelompok intervensi, dan
0-7% pada kelompok kontrol. Namun setelah enam bulan terjadi perbedaan yang cukup
mencolok pada kelompok kontrol, dimana tiga Puskesma s memiliki angka kesalahan baca
laborator,ium yang cukup tinggi (7-29%), sedangkan pada kelompok intervensi 0-2%.
SO % ._- -- -- ---- -- --- -- ---- --- --- --- - --- - --- -- ----
---• ,46.67
40 % Nセ MMM M MM MM M MMセMMMMMMM MM MMMMMMM M MM MMMMMMMMM M MMMMMM MM MMMMMM i
S Sセ@
30 % .;.--- ---!\----
,
20 %
+
!\...
··2&OO-.
\...lD3
- I n ter ve nsi,
0 % ᄋ@ イG@ MM MMMMMMセMMMM MMMM⦅NMM セ セセセ@
[image:31.476.53.407.131.232.2]Triwulan 1 T ri w ulan 2 Triwul an 3
[image:31.476.79.411.439.571.2]Diskusi
Pengetahuan pada petugas laboratorium kedua kelompok cukup baik, demikian juga
motivasinya . Namun demikian pengetahuan yang baik saja ternyata belum mampu
mempertahankan kinerja yang baik. Sebaliknya diperkirakan motivasi cukup berperan
dalam mempertahankan bahkan meningkat kinerja yang baik.
Adanya dana tambahan untuk pembayaran pemeriksaan sediaan merupakan salah satu
unsur yang memotivasi petugas, seperti yang disimpulkan dari penelitian lain oleh Manongi
et al 2 di Tanzania dan Dieleman et al 3 di Mali. Telaah literatur oleh Dieleman et al4
menunjukkan bahwa adanya tambahan penghasilan mempunyai hubungan dengan
peningkatan motivasi yang dapat meningkatkan kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
Perhatian dari atasan kepada petugas juga merupakan unsur penting dalam meningkatkan
kinerja selain kerjasama antar rekan kerja.
Kesimpulan
Proses integrasi antara petugas TB dan laboratorium Puskesmas yang baik, ternyata
mampu meningkatkan kualitas kinerja petugas laboratorium TB Puskesmas, khususnya
dalam pemeriksaan dahak secara mikroskopis . Peran kepala Puskesmas sangat besar dallam
mengembangkan dan memantapkan integrasi ini. Untuk kesinambungan proses ini
diperlukan suatu komitmen yang kuat dari kepala Puskesmas dalam membina dan
mengembangkan budaya kemitraan, kebersamaan, diskusi dan saling mengisi antar
petugas. Berdasarkan hal tersebut sangat diharapkan kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan perangkatnya dapat mensosialisasikan pentingnya kerjasama secara
nyata tim TB di Puskesmas, melakukan pembinaan secara berkesinambungan baik dari
aspek teknis dalam bentuk on the job training maupun dari aspek sinergisme hubungan
kerja antar petugas.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini tidak akan terlaksananya dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jambi, Ketua STIKES Harapan Ibu Jambi, Direktur Poltekkes Jambi, Kepala Di nas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Puskesmas di wilayah penelitian, Kasubdit
Tuberkulosis Kementerian Kesehatan RI, KNCV Tuberculosis Foundation, dr. Bachti
Alisjahbana, SpPD, PhD selaku pembimbing, serta pihak-pihak lain yang tak dapat kami
Daftar Pustaka
1. World Heaah Organization. 1998. Laboratory Services in Tuberculosis Control: part
1, Organization and Management. Geneva, Switzerland: World Health
Organization, 1998.
2. Addo KK, Yeboah-Manu D, Dan-Dzide M, Owusu-Darko K, Caulley P, & Mensah GI,
et al. Diagnosis of Tuberculosis in Ghana: The Role of Laboratory Training. Ghana
Med J 2010; 44(1): 31-36.
3. Manongi RN, Marchant TC, & Bygbjerg Ie. Improving Motivation among Primary
Health Care Workers in Tanzania : A Health Worker Perspective. Human Resources
for Health 2006; 4:6 doi:1O.1186/1478-4491-4-6.
4. Dieleman M, & Harnmeijer JW. 2006 . Improving Health Worker Performance : in
Search of Promising Practices. Evidence and Information for Policy. Department of
Human Resources for Health. Geneva, Switzerland: World Health Organization,
2006 .
5. Dieleman M, Gerretsen B, & van der Wilt GJ. Human Resources Management
Interventions to Improve health Workers'performance in Low and Middle Income
Countries: A Realist Review . Health Res Pol Sys 2009; 7:7 doi:
Kualitas Diagnosis Mikroskopik Tuberkulosis di Puskesmas, Provinsi Jawa
Tengah
Martini1, Bagoes Widjanarko1, Praba Ginanjar 1, Siti Zuraidah2, Budi Nugroho3,
Any Setyawati1, Dyah Anantalia Widyastari1
1Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, 2 Dinas Kesehatan
Latar Belakan g
Badan Kesehatan Dunia menyatakan target angka deteksi kasu s (Case Detection Rate)
tuberkulosis (TB) sebesar 70% dan angka ke sembuhan (Cure Rate) sebesar 85%. Capai an
angka deteksi kasus Jawa Tengah di t ahun 2008 masih di bawah 50% tetapi angk a
kesembuhan telah mencapai lebih dari 80%. Pu skesmas sebagai tempat pelayanan
kesehatan masyarakat menjadi kontributor diagnosis hasil pemeriksaan basil tuberkulosis
secara mikro skopik. Untuk memantau ku alitas tata laksana pemeriksaan lab oratorium
puskesmas dilakukan uji silang yaitu pengiriman seluruh slide Bakteri Tahan Asa m (BTA)
positif tersangka pender ita ditambah 10% BTA negatif hasil pemeriksaan puskesmas ke
Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau BP4 yang ditunjuk. Hasil pemeriksaan BLK atau
BK PM m erupakan parameter yang digunakan untuk mengukur angka kesalahan baca
laboratorium (Error Rate=ER)l
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provin si Jawa Tengah tahun 2008, belum semua
pu skesmas mengikuti uji silang secara rutin setiap bulan. Dari total puskesmas yang
mengirim uji silang, 20-30% masih mempunyai ER>5%. Kualitas pemeriksaan slide BTA
ditentukan oleh kinerja petugas laboratorium. Oleh karena itu hasil pemeriksaan sediaan
mikroskopi BTA haruslah akurat dan dapat dipercaya kebenaran hasilnya. Penelitian in i
bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan , persepsi petugas, menilai kualitas ha sil
pemeriksaan petugas laboratorium di Pu skesmas, kelengkapan sarana dan prasarana
laboratorium, serta mekanisme si stem rujukan hasil pemeriksaan yang ada.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan pada tahun 2008 .
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh puskesmas di Provinsi Jawa Tengah. Sampel
puskesmas sejumlah 120 yang ditentukan dengan menggunakan multistage sampling.
Tahapan pemilihan Puskesmas dimulai dengan penentuan secara random 20 dari total 3 5
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Tahap selanjutnya adalah ュ・ョ ・ ョエオセ 。@ョ@
Puskesmas yang ada di kabupaten/ kota secara purposif, yaitu setiap kabupaten dipilih
enam puskesmas yang meliputi dua Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), du a
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), dan dua Puskesmas Satelit (PS) .
Responden penelitian ini adalah 120 petugas laboratorium puskesmas. Data
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur,
wawancara mendalamdan observasi yang telah diujicoba. Wawan cara mendalam
dilakukan pada 120 pasien TB, dan 120 kepala Puskesmas. Dalam pel aksanaan
penelitian , peneliti dibantu oleh pencacah yang direkrut melalui seleksi, kemudi an dilatih
kualitas pemeriksaan mikroskopis, surveyor dilatih oleh teknisi Balai Laboratorium
Kesehatan Semarang . Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel distribusi,
sementara data kualitatif dianalisis berdasarkan analisis isi (content analysis) .
Hasil
Petugas laboratorium berjenis kelamin perempuan lebih banyak (64,2%) dari pad a
petugas laki-Iaki (35,8%) . Sebanyak 43% petugas laboratorium berlatar belakang
pendidikan non analis, namun 74,2% dari mereka adalah petugas yang telah bekerja 5
tahun atau lebih, serta 90% menyatakan pernah mengikuti pelatihan teknik diagnosis
mikroskopis tuberkulosis. Dalam wawancara mendalam dengan kepala Puskesmas,
mereka menyatakan bahwa penempatan petugas non analis di laboratorium dikarenakan
keterbatasan ketersediaan tenaga analis untuk laboratorium Puskesmas. Menurut
pengalaman kepala Puskesmas, petugas non analis ternyata lebih rajin, loyal dan patuh
kepada atasan dan institusi.
Sebagian besar petugas laboratorium (72,2%) telah mempunyai pengetahuan yang baik
tentang prosedur diagnosis mikroskopis TB, namun hampir separuh dari responden (45%)
masih mempunyai persepsi yang kurang baik tentang penyakit TB dan status
pekerjaannya sebagai petugas laboratorium. Masih banyak petugas takut tertular
tuberkulosis, oleh karena itu dalam bekerja petugas menjaga jarak dengan pasien.
Berdasarkan pekerjaannya, sebagian besar petugas laboratorium menyatakan
mempunyai beban tugas yang berat, karena harus menjalankan tugas di laboratorium
maupun di luar laboratorium. Mereka juga menyatakan bahwa sering merasa jenuh
bekerja di laboratorium.
Hasil pengamatan pada petugas laboratorium pad a puskesmas menggambarkan bahwa
sebagian besar petugas (Iebih dari 55%) telah dapat melakukan pengambilan dahak,
fiksasi, dan pewarnaan dengan benar. Namun dalam pembuatan sediaan, lebih dari 80%
petugas di PPM dan PRM tidak dapat melakukan pembuatan sediaan dengan benar (tabel
1). Bahkan, semua petugas laboratorium puskesmas PS belum dapat melakukan dengan
sesuai standar. Pasien yang berkunjung di PS lebih sedikit dari pada puskesmas PPM &
PRM. Hal ini dapat mempengaruhi ketrampilan petugas di puskesmas PS, terutama
dalam pembuatan sediaan yang memerlukan ketrampilan dan ketelitian dalam
Tabel l. Kualitas pemeriksaa n berdasarkan kriteri a Puskesmas, Provinsi Jawa Tenga h, tahun 2008
Kualitas Pemeriksaan PRM PPM P5
55(%) T55 (%) 55 (%) T55 (%) SS (% ) T55( %)
Pengambil an dahak 81,4 18,6 76,3 23,7 76, 9 23, 1
Penggunaan al at 58,1 41,9 63,2 36,8 41,0 59, 0
laboratorium
Pembuatan sediaan 2,3 97,7 10,5 89,5 0,0 100,0
Fiksasi 79,1 20,9 71,1 28,9 66,7 33,3
Pewarnaan 67,4 32,6 65, 8 34,2 23,1 76,9
Pemba caan has il 25,6 74,4 23,7 76,3 10,3 89,7
Un iversal precaution 27 ,9 72,1 23,7 76,3 38,5 61 ,5
55
=
Sesua i Sta ndar; TSS=
Tida k Se s uai Sta nda r.Keterampilan petugas laboratorium yang berpendidikan non analisis cenderung lebih
banyak yang melakukan pemeriksaan mikro skop is tidak sesuai standar (tabel 2) . I..ebih
dari 70% petuga s tidak mampu melakukan pembuatan sediaan dan :pembacaan hasil
dengan benar. Mereka juga belum melakukan upaya pencegahan penularan kum an
tuberkulosis (universal precaution) denganpenggunaan Alat Pelindung Diri seperti
ma sker, baju laboratorium , sa rung tangan dan cuci tangan setelah membuat preparat.
Tabel2. Kualitas pemeriksaan berdas arkan pendidikan petugas laboratorium
Puske smas, Provin si Jawa Tengah, tahun 2008
Kualita s Pemeriksa an An ali s Bukan An ali s
55 (%) T55 (%) 55 (%) TSS (%)
Pengambilan dahak 85,3 14,7 69,2 30,8
Penggunaan alat lab 61,8 38,2 44,2 55,8
Pembuata n sediaan 5, 9 94,1 1,9 98,1
Fik sasi 76,5 23,5 67,3 32,7
Pewarnaan 67,6 32,4 32,7 67,3
Pemba caan na sil 26,5 73,5 11,5 88,5
[image:37.476.50.426.436.590.2]Hampir semua peralatan laboratorium telah tersedia dalam jumlah yang cukup dan
dalam kondisi baik. Namun, terdapat 7,4% mikroskop binokuler; 8,6% rak pewarnaan;
5,4% lampu spiritus, 4,2% botol pasir alkohol dalam kondisi tidak baik dan terdapat 3,4%
bak pencucian sediaan dengan air tidak mengalir. Beberapa petugas meletakkan rak
pewarnaan yang rusak pada kotak yang terbuat dari kertas dan dipisahkan per-slide
menggunakan kertas tissue, yang dapat mempengaruh i hasil pengecatan . Ditemukan
beberapa puskesmas mempunyai reagen yang sudah kadaluarsa namun masih digunakan
karena ketidaktelitian petugas atau karena perasaan enggan membuang.
Berdasarkan standar acuan dalam pembinaan, pengawasan mutu dan mekanisme
rujukan menunjukkan bahwa dalam jejaring laboratorium di Provinsi Jawa Tengah mas ih
terdapat kelemahan pada pembinaan dan pengawasan mutu dari Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten ke laboratorium Puskesmas terutama PS . Penelitian ini memperbaiki
sistem pengawasan mutu internal puskesmas PS dan PPM, yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten setelah mendapatkan hasil evaluasi (umpan balik) dari
laboratorium rujukan provinsi yakni BLK. Selama ini hasil umpan balik tidak selalu
disampaikan ke laboratorium sasaran.
Diskusi
Pemeriksaan sputum secara mikroskopis merupakan dasar penegakan diagnosis TB paru. 2
Kualitas pemeriksaan yang baik dan mempunyai akurasi yang tinggi dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya teknik pemeriksaan , kualitas dahak, kualitas slide BTA serta
kelengkapan sarana prasarana laboratorium3. Dalam penelitian ini tergambarkan bahwa
kemampuan petugas laboratorium melakukan pemeriksaan mikroskopik cenderung
terkait dengan latar belakang pendidikan, beban kerja, serta kelengkapan
sarana/prasarana pemeriksaan . Tenaga laboratorium non analisis dapat dioptimalkan
sebagai tenaga laboratorium puskesmas mengingat masa kerja yang lama serta
kepatuhan yang dimiliki petugas tersebut. Pelatihan yang bersifat kontinyu akan
meningkatkan keterampilan mereka. Hal-hal yang masih memerlukan peningkatan
ketrampilan seperti teknik pembuatan sediaan, pembacaan hasil dan perlu ditekankan
pula prosedur kewaspadaan umum selama melakukan pemeriksaan.
Kesimpulan
Penelitian ini juga mendapatkan bukti lemahnya sistim pengawasan mutu internal,
terutama di daerah yang terpencil. Hal ini perlu dipikirkan suatu kebijakan pemberian
petugas yang dapat dilakukan pad a saat pertemuan rutin di Kabupaten/Kota oleh BLK,
serta adanya peningkatan pengawasan kualitas mutu internal setiap tribulan mela1ui
pengiriman slide untuk uji silang. Selanjutnya pihak Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
perlu memberikan umpan balik hasil analisa uji silang ke Puskesmas secara rutin sebagai
bahan untuk mawas diri petugas laboratorium Puskesmas.
Ucapan Terim a Kasih
Disampaikan ucapan terima kasih atas dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini,
terutama kepada KNCV Tuberculosis Foundation , Subdit TB Kementer ian Kesehatan RI,
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah be serta jajarannya, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro, serta para re sponden penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. Gerdunas TBC. Program Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, Indonesia:
Gerdunas TBC, 2002.
2. Khatri, GR . DOTS: State of the Art in TB Diagnosis, Treatment and Control . Makalah
dalam Simposium Internasional di Yogyakarta, Kamis 12 Agustus 2004.
3. Girsang M , Sumarti , Yulianti, Noerendah P, Gendrowahyuhono. Quality Control
Pemeriks aan Mikroskopis TB di Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM). Cermll1
Besaran Kasus Tuberkulosis Paru, Penegakan
Diagnosis, Eksplorasi
Komitmen Pimpinan, serta Perilaku Petugas di Unit Pelayanan Kesehatan
Kota Balikpapan
Chatarina Umbul Wahyuni\ Risva 2, Fahmi3. Rahimah2, Wisnuwardhana 2,lrwansyah3
I Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universita s Airlangga Surabaya, 2 Fakultas Kesehatan
Masyarakat/Fakultas Kedokteran, Universitas Mulawarman Samarinda, 3 Dinas Kesehatan
Latar Belakang
Pelaksanaan program TB strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) di
Kalimantan Timur telah dimulai sejak tahun 1997. Angka penemuan kasus (Case
Detection Rate/CDR) di Kalimantan Timur masih rendah sebesar 33 ,2 1% tahun 2008, 3
(tiga) terendah di antara provinsi di Indonesia, angka keberhasilan pengobatan (Success
Rate) sebesar 82,50%1 Target nasional untuk cakupan penemuan kasus baru BTA positif
adalah 70% sedangkan untuk angka keberhasilan pengobatan sebesar 85 %2.
Kota Balikpapan memiliki jumlah penduduk 601.392 jiwa (Pemerintah Kota Balikpapan,
2008), tetapi memiliki prestasi rendah dalam pencapaian program TB. Tahun 2007 angka
penjaringan suspek sebesar 538 per 100 ribu penduduk, turun di tahun 2008 menjadi 444
per 100 ribu penduduk3 Tujuan dari penelitian adalah mengetahui seberapa masalah
kasus TB, pol a penegakan diagnosa dan mengeksplorasi komitmen pimpinan, perilaku
petugas di Unit Pelayanan Kesehatan Kota Balikpapan.
Metode
Jenis penelitian studi eksploratif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, yang
dilaksanakan di 26 Puskesmas dan tujuh Rumah Sakit (RS) wilayah Kota Balikpapan.
Informan adalah pimpinan unit pelayanan kesehatan , petugas program TB, poli umum,
laboran, rekam medik, sebanyak 134 informan (104 orang dari Puskesmas, 10 orang dari
RS DOTS, 20 orang dari RS Non-DOTS).
Varia bel kuantitatif yang diteliti adalah proporsi kasus TB, karakteristik penderita TB (jenis
kelamin , umur, asal domisili, pemilihan unit pelayanan kesehatan, kepesertaan asuransi,
klasifikasi kasus TB paru, cara diagnosa kasus TB, serta pengetahuan, si kap , dan tindakan
petugas). Sedangkan datakualitatif yang diambil adalah komitmen pimpinan.
Data kuantatif dikumpulkan dengan metode kajian dokumen, daftar tilik, wawancara
dengan menggunakan kuesioner. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara
mendalam dengan daftar pertanyaan terbuka yang berbeda untuk masing-masing
Has i I
Angka suspek (suspect rate) adalah 428 per 100.000 penduduk, yang berarti diantara
100.000 penduduk diperkirakan ada sebanyak 428 suspek TB Paru. Positive rate yang
didapat dari penelitian ini adalah 9,6%.
Tabel l. Karakteristik penderita dan jumlah kasus TB di fasilitas pelayanan kesehatan Kota Balikpapan, tahun 2009
Karakteristik pasien TB Paru Jumlah kasus TB Ratio
n %
Domisili
Balikpapan 465 98,3 58 :1
Luar Balikpapan 8 1,7
Jenis kelamin
Laki -Iaki 277 58,6 1,4:1
Perempuan 196 41,7
Pemilihan fasilitas pelayanan kesehata:1
Puskesmas 433 91,6 10,8 : 1
Rumah Sakit 40 8,4
Kepesertaan asuransi
Jamkesda 449 94,9 18 :1
Non Jamkesda 24 5, 1
Total 473 100
Jumlah kasus TB BTA positif sebesar 57,2 %, TB BTA negatif dengan Rontgen positif
sebesar 42, 2%. Proporsi TB anak sebesar 5,6% dan TB ekstra paru sebesar 3,3%. Proporsi
kasus TB BTA positif terhadap seluruh suspek (sputum smear positive rate) masih sesuai
harapan 9,6% (target 5-15%). Propersi kasus TB BTA positif terhadap seluruh kasus TB di
[image:42.476.73.422.180.425.2]Tabel 2. Komitmen pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan Kota Balikpapan, tahun 2009
Pimpinan Puskesmas Rumah Sa kit DOTS Rumah Sakit
Non-DOTS
Kebijakan dan tujuan
SOP
Dan a
Sarana dan prasarana
Proses ruang lingkup
pelayanan
Pelayanan promotif
dan prevent if
Tim monitoring
Keluaran/target
Indikator
Membantu dan
mengawasi pasien;
Memudahkan
pelacakan.
Terdapat SOP namun
tidak tertulis ;
Memakai pedoman TB
dari Depkes; Tidak
mengetahui ada SOP;
Menyerahkan ke
petugas TB.
Dana hanya kegiatan
promkes
Logistik lang sung dari
DKK
Penjaringan suspek ;
Prosedur pengobatan
yang benar.
Penyuluhan;
Pengobatan; Kontak
serumah
Tidak mengetahui
pasti ada monitoring;
Monitoring dari
internal PKM dan DKK .
Menurunkan angka
penderita TB;
Ditentukan oleh DKK;
Tidak ditemukan BTA positif; Tidak ada
indikator; Tidak t ahu
progress report.
Tid ak ada indikator; Tidak tahu progress
report ; Tid ak ada
indikator; Tidak tahu
progress report
Mengontrol pasien
BTA (+) tidak putus berobat.
Tidak mengetahui
adanya SOP;
Diserahkan ke poli
paru.
Dana khusus tidak ada ;
Retribusi yang tidak
memiliki jamkesmas.
Tidak ada aloka si
Segala regimen obat
TB; Pol a penegakan
diagnosis TB
Promotif tidak ada ;
Preventif penyuluhan ;
Fokus kuratif
Diserahkan ke poli
umum
Tidak ada target
Kesembuhan pasien
Pelak sanaan
penanggulan gan TB
sesuai prosedur yang
ada.
Terdapat retribu si
untuk pasien; Tidak
ada aloka si dana
kebijakan TB.
Alur sepert i pasien
biasa, jika tel ah
terdiagnosa maka
dirujuk ke PKM.
Tidak ada target
Pengetahuan petugas TB sudah baik, namun tidak dibarengi dengan sikap serta tindakan
yang baik (tabel 2). Petugas TB meragukan pemeriksaan hasil laboratorium dan
menyatakan perlunya pemeriksaan ulang. Mereka juga menyatakan bahwa suspek tidak
wajib dipanggil kembali. Jika hasil pemeriksaan kasus rujukan kasus baru dari fasilitas
pelayanan kesehatan positif maka dilakukan pemeriksaan ulang sputum . Namun petugas
TB tidak selalu mengkonfirmasi hasil pemeriksaan kepada petugas laboratorium serta
melakukan evaluasi internal dengan tim TB .
Pengetahuan petugas laboratorium cukup, terutama dalam hal peme liharaan
mikroskopis, form pencatatan laboratorium dan pemeriksaan ulang sputum. Sikap
petugas laboratorium baik, namun hanya sebagian mereka yang mengisi formulir TB
as.
Selain itu, petugas laboratorium RS hanya mengambil sputum sewaktu.
Pengetahuan petugas poli umum cukup, bersikap baik namun sebagian tindakan yang
kurang. Sebagian besar petugas poli umum tidak mengisi formulir TB
as,
meskipunmengisi TB 04. Hal ini menyebabka n ketidaksesuaian data di formulir yang ada . Petugas
laboratorium RS hanya mengambil sputum sewaktu dan itu juga menunjukkan masih
adanya pola diagnosis yang keliru.
Diskusi
Suspect rate di Kota Balikpapan sebesar 428 per 100.000 penduduk adalah rendah. Penyebab rendahnya angka penjaringan kasus adalah jumlah suspek yang diperiksa
karena penjaringan suspek TB hanya dilakukan di unit pelayanan kesehatan, tidak
melibatkan masyarakat (active case finding). Penjaringan kasus dilakukan hanya melalui
Contact Survey terhadap anggota keluarga dan tetangga yang dicurigai TB.
Pencapaian Positive Rate hanya 9,6% : angka ini masih jauh dari target yang ditentukan .
Penyebabnya adalah kesulitan suspek mengeluarkan dahak karena ketidak jelasnya
informasi cara pengeluaran dahak kepada suspek akan berpengaruh terhadap kualitas
sputum yang akan diperiksa. Sehingga, tidak jarang hasil pemeriksaan tidak menunjukkan
kuman BTA, atau kurang dari 5000 kuman. Program TB hanya mengandalkan passive case
finding untuk menjaring kasus TB . Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam di seluruh Indonesia. Selain itu , terlalu longgarnya penjaringan (terlalu
sensitif) menyebabkan banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek ikut terjaring,
kualitas dahak diperiksa kurang baik sangat mempengaruhi . Adanya lost data yang
terdapat di rumah sakit karena tidak ada pencatatan khusus kasus TB .
Hasil wawancara dengan tenaga laboratorium fasilitas pelayanan kesehatan swasta
mengungkapkan mereka kurang memberikan kontribusi penemuan , pemeriksaan,
pelayanan kesehatan swasta tidak menggunakan pemeriksaan dahak untuk diagnosa TB.
Alasan yang dikemukakan adalah waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan dahak di laboratorium, dan sebagai gantinya mereka menggunakan foto
rontgen yang menu rut mereka lebih cepat dan praktis.
Sebagian besar pimpinan Puskesmas tidak memahami prosedur yang ditetapkan program
DOTS karena tidak adanya pelatihan yang diberikan. Beberapa pimpinan Puskesmas baru
menduduki j,abatan sebagai pimpinan, sehingga segala urusan menyangkut program TB
diserahkan kepada petugas program TB. Kegiatan program TB tidak maksimal di
Puskesmas, bukan semata-mata karena rendahnya komitmen dari pimpinan tetapi
karena pembiayaan kegiatan TB tidak dialokasikan khusus sehingga kegiatan lapangan
diikutkan kegiatan lainnya.
Rendahnya komitmen RS swasta dalam penerapan program pengendalian TB dengan
strategi DOTS disebabkan oleh ketidaktaatan dokter pada prosedur standar diagnosis dan
terapi kasus TB, tidak ada suplai OAT standar DOTS dan logistik administrasi untuk
mendukung sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB.
Pengetahuan dan sikap petugas baik, namun pada tindakan masih ada yang tidak
melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan ke petugas laboratorium, tidak pernah
melakukan evaluasi, dan tidak advokasi dengan pimpinan. Hal ini disebabkan karena
dokter/perawat poli umum tersebut baru saja bertugas di unit pelayanan kesehatan
tersebut dan belum mendapatkan pelatihan TB program DOTS. Selain itu tidal<: adanya
Standard Operating Procedure.
Petugas program TB hanya kadang-kadang mengkonfirmasi hasil pemeriksaan kepada
petugas laboratorium, evaluasi internal dengan Tim TB. Ini disebabka n petugas merasa
setiap petugas yang terlibat dalam program DOTS melakukan tugasnya sesuai dengan
pelatihan yang telah diperoleh.
Kesimpulan
Program pengendalian TB dengan strategi DOTS telah berjalan dengan baik diKota
Balikpapan, tetapi pelaksanaan belum mencapai target diharapkan. Disarankan agar
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan menentukan angka kore ksi atau
penyesuaian mengenai estimasi angka prevalensi TB disesuaikan dengan kepadatan
penduduk, yang sedapat mungkin dijadikan data sekunder. Selain itu penja ningan kasus
ditingkatkan melalui active case finding, dengan menggunakan model deteksi dini kasus TB oleh kader posyandu karena model ini lebih konsisten dengan elemen strategi baru
Rendahnya komitmen pimpinan UPK dalam pelaksanaan strategi DOTS selain ketidak
pahaman, didukung dengan rendahnya dukungan pemerintah dalam pembiayaan.
Dilakukan penyegaran bagi pimpinan yang sudah maupun belum mendapatakan
sosialisasi/pelatihan mengenai program strategi DOTS, penguatan sistem dan
peningkatan partisipasi tenaga kesehatan dengan cara membangun jaringan eksternal,
membuat nota kesepakatan dan mewajibkan RS swasta untuk memeriksa, mendiagnosa,
mengobati dengan prosedur standa r DOTS, dengan cara mengaitkan dengan persyaratan
akreditasi RS.
Pengetahuan, sikap,tindakan petugas TB sangat bervariasi. Disarankan dilakukan
pertemuan sekali setahun untuk evaluasi dan penyamaan persepsi, selain itu petugas
laboratorium tiap fasilitas pelayanan k