• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epidemiologi HIV/AIDS dan Upaya Penanggulangannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Epidemiologi HIV/AIDS dan Upaya Penanggulangannya"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

EPI DEMI OLOGI HI V/ AI DS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Drh. Rasmaliah, M.Kes

Fakult as Kesehat an Masyarakat

Universit as Sumat era Ut ara

PENDAHULUAN

Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk diperlukan suatu

Pembangunan kesehatan yang pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan

oleh bangsa I ndonesia agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Kegiatan pembangunan kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya

penyembuhan penderita secara berangsur -angsur berkembang ke arah pelayanan kesehatan

paripurna yang meliputi upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif),

penyembuhan (kuratif) serta pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan.

Upaya kesehatan termaksud dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya termasuk

ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks. Dewasa ini sebagai

akibat sampingan dari globalisasi disegala bidang keadaan sosial budaya di masyarakat I ndonesia

telah dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat, khususnya di

daerah pariwisata dan daerah perkotaan.

I ndonesia merupakan salah satu negara yang banyak dikunjungi oleh wisatawan

mancanegara. Meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara akan ikut meningkatkan industri

pariwisata yang telah dianggap sebagai suatu lahan yang diharapkan akan berperan dalam

mendapatkan devisa untuk pembangunan.

Bersama dengan ini berbagai usaha yang ada kaitannya dengan bidang pariwisata ini

mendapat peluang untuk berkembang, seperti : jasa, angkutan, hotel, tempat penginapan,

restoran, industri, kerajinan, hiburan dan kesenian serta termasuk hiburan seksual walaupun

dikelola secara gelap-gelapan namun nyata bila diamati secara seksama.

Berkembangnya kegiatan prostitusi merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya

industri pariwisata. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan keliru yang menganggap bahwa

kegiatan seksual pada umumnya tidak hanya ditujukan untuk mendapat keturunan semata-mata,

tetapi juga dianggap sebagai prokreasi (memperoleh kenikmatan dan kesenangan) serta hiburan

bagi pemenuhan kebutuhan biologis manusia.

Meningkatnya kegiatan prostitusi secara luas mengakibatkan meningkatnya berbagai

kasus penyakit yang ditularkan akibat hubungan seksual (PMS). Salah satu PMS yang paling

berbahaya dan sangat ditakuti adalah apa yang disebut dengan Acquired I mmuno Deficiency

Syndroma (AI DS). Aids adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HI V

(Human I mmunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya atau menurunnya sistem

kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Virus HI V berkembang sangat cepat, sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah

menjadi pandemi. Berkembangnya tempat-tempat hiburan seksual, praktek prostitusi yang

semakin meluas merupakan salah satu faktor penyebaran virus HI V. Begitu juga prilaku seksual

yang berganti-ganti pasangan merupakan cara penularan AI DS yang potensial.

Kelompok masyarakat yang diduga mempunyai prilaku yang cenderung berisiko tinggi

AIDS, yaitu kelompok WTS, waria, pramuria, panti pijat, pramuria bar/ diskotik, homoseks, orang

terpenjara, penerima transfusi darah serta keluarga dari penderita HI V positif.

Di I ndonesia penyebaran AI DS sebagian besar “I mported Cases” yaitu dibawa oleh

penderita yang datang dari luar negeri, melalui hubungan seksual.

(2)

Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran virus HI V/ AI DS

ini, maka pemerintah dalam hal ini Depkes RI telah melakukan berbagai upaya untuk menekan

penularan HI V/ AI DS. Upaya tersebut diantaranya melalui kegiatan pemeriksaan sampel darah

secara rutin kepada mereka yang berisiko tinggi mengidap HI V/ AI DS, melaksanakan kegiatan

penyuluhan serta menyebarluaskan informasi tentang AI DS, penularan dan pencegahannya

seperti pemakaian kondom bagi mereka yang terlibat dengan prilaku hubungan seksual bebas.

1. DEFI NI SI AI DS.

AI DS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HI V (Human

I mmunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/ menurunnya sistem kekebalan tubuh

terhadap berbagai penyakit.

Apabila HI V ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HI V tersebut

menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh

yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HI V secara berangsur -angsur merusak

sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.

2. SEJARAH AI DS

Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978.

Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus Sarkoma Kaposi dan

penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa, penyakit-penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang

bermukim di Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-kasus

tersebut adalah AI DS.

Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh

Gotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HI V akan

berpotensi sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang tersebut tidak

merasa sakit dan tampak sehat.

Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan adanya

kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini

menimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.

Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk

pertamakali membuat defenisi kasus AI DS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadap

kasus-kasus AI DS.

Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual,

yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para

penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Pada tahun ini juga Luc Montagnier dari

Pasteur I nstitute, Paris I nstitute menemukan bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV

(Lymphadenopathy Associated Virus).

Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada tahun yang

sama diketahui bahwa HI V menyerang sel limfosit T penolong. Pada tahun itu juga Gallo dkk dari

National Institute of Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan HTLV I I I (Human T Cell

Lymphotropic Virus Type I I I ) sebagai penyebabkan kelainan ini. Pada tahun 1985 ditemukan

antigen untuk melakukan tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui bahwa HI V juga menyerang sel

otak. Pada tahun 1986 I nternational Committee on Taxonomy of Virus memutuskan nama

penyebab penyakit AI DS adalah HI V sebagai pengganti LAV dan HLTV.

AI DS (Acquired I mmune Deficiency Syndrome) atau SI DA (Syndrom I muno Deficiency

Akuisita) adalah sebuah penyakit yang dengan cepat menyebar keseluruhan dunia (pandemi).

(3)

Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 1996 kasus HI V/ AI DS tercatat

sebanyak 501 orang (119 kasus AI DS dan 382 HI V + ) yang menyebar di 19 Propinsi.

Perkembangan kasus HI V/ AI DS di I ndonesia dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1 : Perkembangan masalah HI V/ AI DS di I ndonesia Desember 1993 - 1995 dan

1996

Variabel

S/ d Des 1993

N = 193

S/ d Des 1995

N = 213

S/ d Des 1996

N = 501

AIDS

HIV

Penularan seksual

Pengidap WNI

Umur 20 – 39 tahun

Wanita

49 (25 % )

144 (75 % )

133 (70 % )

88 (46 % )

136 (70 % )

27 (14 % )

55 (26 % )

158 (74 % )

164 (77 % )

117 (55 % )

155 (73 % )

43 (20 % )

119 (24 % )

382 (56 % )

411 (82 % )

333 (67 % )

238 (48 % )

144 (29 % )

Sumber : Gde Muninjaya (1998).

3. GEJALA.

Terdapat 4 stadium penyakit AI DS yaitu :

a. Stadium awal infeksi HI V, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan, nyeri

sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai

influenza/ monokleosis.

b. Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat

merupakan sumber penularan infeksi HI V.

c. Stadium ARC (AI DS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti : demam

lebih dari 38

o

C secara berkala/ terus-menerus, menurunnya berat badan lebih dari 10%

dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/ mencret secara

berkala/ terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh

yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam hari.

d. Stadium AI DS, akan menunjukkan gejala-gejala seperti : gejala klinis utama yaitu

terdapatnya kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker kelenjar getah bening,

infeksi penyakit penyerta misalnya : pneumonia yang disebabkan oleh pneumocytis

carinii, TBC, peradangan otak/ selaput otak.

4. PENULARAN AI DS.

HI V dapat ditularkan melalui :

A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan seorang yang mengidap

HIV.

B. Transfusi darah yang tercemar HI V.

C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang

mengidap HI V.

D. Pemindahan HI V dari ibu hamil yang mengidap HI V kepada janin yang dikandungnya.

5. EPI DEMI OLOGI HI V/ AI DS

[image:3.612.128.540.131.231.2]
(4)

Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai 3 Maret 1998, infeksi HI V/ AI DS telah

menyebar di 22 propinsi yaitu Daerah I stimewa Aceh 1 penderita, Sumatera Utara 25 penderita,

Sumatera Barat 1 penderita, Riau 70 penderita, Sumatera Selatan 26 penderita, DKI Jakarta 181

penderita, Jawa Barat 19 penderita, Jawa Tengah 14 penderita, DI Yogyakarta 5 penderita, Jawa

Timur 43 penderita, Kalimantan Barat 4 penderita, Kalimantan Tengah 4 penderita, Kalimantan

Selatan 3 penderita, Kalimantan Timur 8 penderita, Sulawesi Utara 3 penderita, Sulawesi Selatan

4 pnederita, Bali 43 penderita, NTB 2 penderita, NTT 1 penderita, Maluku 16 penderita, I rian Jaya

137 penderita, Timor-Timor 1 penderita.

Distribusi umur penderita AI DS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok

terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar

dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual

merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AI DS yang berkisar dari 5 tahun ke

atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/ seksual paling aktif yaitu 20 – 30

tahun.

Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian

besar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di negara-negara pola I I , rasio ini adalah

1 : 1. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan)

umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas

(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi

adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk

kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi

darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu

pengidap HI V.

Kelompok homoseksual (termausk biseksual) kelompok ini termasuk kelompok terbesar

pengidap HI V di Amerika Serikat. Prevalensi infeksi HI V dikalangan ini terus meningkat dengan

pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap

HI V, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 % , 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan

pada saat ini telah menjadi 100 % . Di London pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksual

mengidap HI V, 3 tahun kemudian menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehingga

diperkirakan pada tahun 1990 menjadi 100 % .

Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan kelompok utama dimana

homoseksualitas tidak populer. Saat AI DS pertama kali dideteksi pada kaum homoseksual di

negara-negara maju, pola hubungan heteroseksual belum menjadi perhatian. Saat ini 4 % kasus

AIDS berasal dari kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi

epidemi AI DS kedua pada kaum heteroseksual.

Sebagai perbandingan keadaan di Amerika Serikat dan Afrika, maka dapat

diperbandingkan dari para penderita penyakit menular seksual heteroseksual yang berobat ke

rumah sakit, persentase penderita dengan infeksi HI V di AS adalah 0 – 3,4 % , sedangkan di

Afrika adalah 18 – 29 % . Demikian pula dengan sero-prevalensi HI V pada kaum laki-laki dan

wanita hamil di Amerika Serikat berkisar pada angka 2 % , sedangkan di Afrika sampai 18 % . Dari

data-data ini terlihat bahwa kelompok heteroseksual lebih menonjol di Afrika. Pernah ada

anggapan bahwa AI DS berasal dari pedalaman Afrika dengan pola penyebaran heteroseksual.

Dari penelitian akhir-akhir ini ternyata prevalensi di daerah urban tetap lebih besar

daripada di pedesaan sehingga anggapan tersebut adalah tidak benar. Prevalensi di kalangan

WTS di beberapa tempat di Afrika Barat adalah 20 – 88 % sedangkan di Eropa dan Amerika

Serikat berkisar antara 0 – 30 % .

Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di I ndonesia adalah para WTS, para pramupijat,

pramuria bar dan club malam dan para pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik,

mereka ini menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di dalam

jarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari semua kasus AI DS dan di

Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AI DS.

(5)

for Syphilis) yang positif akan meningkatkan prevalensi infeksi HI V karena luka-luka ini menjadi

tempat masuknya HI V. Sel-sel limfosit T4/ CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HI V

akan aktif mencari HI V di luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HI V tersebut ke dalam

peredaran darah.

Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB, pada para WTS di Nairobi terbukti

bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HI V lebih tinggi. Hal ini

memerlukan penelitian lebih lanjut. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama

atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap prilaku seksual masyarakat. Bila semua faktor

ini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok seksual aktif maka mereka mudah masuk

ke dalam keadaan promiskuitas.

Walaupun telah diketahui berbagai cara penularan HI V/ AI DS, penularan secara seksual

adalah yang terbanyak, yaitu 83,3% dari 631 kasus yang dilaporkan. I n donesia dianggap rentan

terhadap epidemi HI V/ AI DS karena banyak faktor yang mendorong antara lain : adanya prilaku

seksual yang berisiko (WTS), kemiskinan, banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing.

6. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN AI DS.

Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HI V seperti yang

sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HI V/ AI DS, yaitu :

A. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HI V terutama terjadi melalui

hubungan seksual, sehingga pencegahan AI DS perlu difokuskan pada hubungan seksual.

Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan

bertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri

(suami/ isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HI V, maka dalam

melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal iman

agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.

B. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara memastikan

bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar virus HI V,

jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AI DS, gunakan alat-alat

kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.

C. Pencegahan penularan dari I bu-Anak (Perinatal).

Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HI V/ AI DS disarankan untuk tidak hamil.

Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa cara

pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau

penyebaran HI V/ AI DS.

Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KI E) yang dalam

implementasinya berupa : konseling AI DS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yang

ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HI V/ AI DS melalui

hubungan seksual yang dilakukannya.

Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus menerus akan mendapat

informasi yang baru (up to date) tentang HI V/ AI DS sehingga keluarga akan lebih waspada dan

mampu mengembangkan langkah –langkahpraktis untuk melindungi anggota keluarganya

daripenularan HI V serta untuk mwngurangi tumbuhnya sikap yang menganggap bahwa

keluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus AI DS ini.

7. DAFTAR PUSTAKA

1. Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional

Penanggulangan AI DS, Depkes RI , Jakarta,.

2. Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AI DS dan Strategi Pemberantasan di I ndonesia,

Media Litbangkes vol. I I I no. 4 Jakarta.

(6)

5. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama

Pencegahan dan Pananggulangan AI DS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.

6. Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan

Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AI DS di Jakarta, Majalah Kesehatan

Masyarakat I ndonesia taun X, No. 7 Jakarta.

7. ---, 1994. Aids dan Wanita suatu Tantangan kemanusiaan, Jakarta.

8. ---,1994. Pedoman Penanggulangan AI DS di Rutan, Jakarta.

9. Hull, T.M. Endang S, 1997. Pelacuran di I ndonesia Sejarah Perkembangannya, Jakarta.

10. Gde Muninjaya, 1997. AI DS di I ndonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya.

EGC. Jakarta.

9. Penutup.

Dari unsur host, agent, dan environment, pemutusan transmisi tidak bisa dilakukan pada

host karean belum adanya vaksin, dan juga tidak pada agent karean belum adanya obat

penangkalnya. Satu-satunya jalan adalah dengan mengubah environment yaitu dengan

mengubah prilaku seksual, kelompok seksual aktif (15-45 tahun) yang merupakan kelompok

terbesar pengidap HI V. Perubahan prilaku ini dilakukan denga melakukan penyuluhan kesehatan

dengan materi :

1. Jangka panjang adalah untuk mengurangi permissiveness dan promiskuitas.

2. Jangka pendek adalah meningkatkan kewaspadaan dini untuk mendeteksi penderita

AI DS/ ARC dan program kondomisasi bagi kelompok risiko tinggi. Masalah ini dibicarakan oleh

pembicara lainnya.

A. Agent.

HI V yang termasuk retrovirus itu sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk

membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Akan tetapi percobaan-percobaan

sangat memberi harapan ke arah itu. Ditinjau dari sudut epidemiologi, jumlah HI V (agent)

pada seorang pengidap HI V juga sangat menentukan dalam penularan. Hal ini terbukti dari

penelitian terhadap 24 orang isteri yang suaminya menderita hemofilia dan sekaligus

pengidap HI V, ternyata hanya 4 orang isteri yang tertular. Keempat suami mereka itu

ternyata mempunyai jumlah sel limfosit T yang lebih rendah dibandingkan dengan 20 suami

lainnya. Penurunan jumlah sel limfosit T biasanya berbanding terbalik dengan jumlah HI V

(peningkatan j umlah HI V). Hal yang sama terbukti pada penularan transplasental, makin

rendah jumlah sel limfosit T seorang ibu pengidap HI V, maka makin besar kemungkinan

penularan HI V kepada janinnya. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa daya tular

(infectivity) seseorang bergantung pada stadium penyakitnya, makin parah penyakitnya maka

makin rendah sel limfosit T nya, maka makin besar pula jumlah virus dalam darahnya

(viremia).

8. Kelompok Resiko Tinggi Tertular AI DS.

Semula diduga bahwa penyakit AI DS hanya merupakan penyakit yang menimpa

kelompok laki-laki “homoseks” yang biasa berhubungan sesama laki-lai. Sekarang diketahui

bahwa AI DS bisa menjangkiti siapa saja melalui berbagai penularan AI DS. Mereak yang termasuk

kelompok risiko tinggi tertular AI DS adalah :

a. Mereak yang mempunyai banyak pasangan seksual (homo dan heteroseksual) seperti

wanita/ pria tuna susila dan pelanggannya, mucikari, kelompok homoseks, biseks dan

waria.

b. Penerima transfusi darah.

c. Bayi yang dilahirkan dari ibu penderita AI DS.

d. Pecandu narokotik suntik.

(7)

Kelompok Resiko Tinggi (WTS)

Pelacuran/ prostitusi/ persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada

laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran yang disetubuhi sebagai pemuas nafsu

seks si pembayar yang dilakukan diluar pernikahan.

Pelacur/ tunasusila/ lonte/ cabo/ sundal atau kupu-kupu malam adalah umumnya wanita

(ada juga pria) yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja/ banyak laki-laki yang

membutuhkan hubungan seksual dengan bayaran.

Gambar

Tabel 1 : Perkembangan masalah HIV/AIDS di Indonesia Desember 1993 - 1995 dan

Referensi

Dokumen terkait

Tampak bahwa sebenarnya jawabannya dan proses awalnya benar yaitu menggambar grafik fungsi ( ) = − 2 yang kemudian grafik yang dibawah sumbu X dicerminkan oleh sumbu X

[r]

Hasil analisis keragaman sifat - sifat dasar Parallel Strand Lumber dari limbah batang kelapa sawit yang terdiri dari kadar air, kerapatan, susut volume, MOE,

melihat stock penyimpanan bahan baku yang ada dan terkadang juga ada laporan dari salah satu karyawan mengenai ketersediaan bahan baku yang mereka butuhkan dalam

(4) Calon yang Berhak Mengikuti Ujian yang lulus dan memperoleh nilai tertinggi oleh Panitia Peneliti dan Penguji diajukan kepada Kepala Desa dengan dilampiri

Dalam belajar membaca Al- Qur’ an sesuai dengan Tajwid dan Makharijul huruf yang benar terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan pada1. pembelajaran

Dalam rangka menciptakan rasa persaudaraan dan kebersamaan yang mencerminkan persatuan para generasi muda pecinta otomotif khususnya roda dua, dalam hal ini yaitu

Sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang mendukung fungsi operasi organisasi