EPI DEMI OLOGI HI V/ AI DS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Drh. Rasmaliah, M.Kes
Fakult as Kesehat an MasyarakatUniversit as Sumat era Ut ara
PENDAHULUAN
Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk diperlukan suatu
Pembangunan kesehatan yang pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa I ndonesia agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kegiatan pembangunan kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya
penyembuhan penderita secara berangsur -angsur berkembang ke arah pelayanan kesehatan
paripurna yang meliputi upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif),
penyembuhan (kuratif) serta pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
Upaya kesehatan termaksud dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya termasuk
ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks. Dewasa ini sebagai
akibat sampingan dari globalisasi disegala bidang keadaan sosial budaya di masyarakat I ndonesia
telah dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat, khususnya di
daerah pariwisata dan daerah perkotaan.
I ndonesia merupakan salah satu negara yang banyak dikunjungi oleh wisatawan
mancanegara. Meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara akan ikut meningkatkan industri
pariwisata yang telah dianggap sebagai suatu lahan yang diharapkan akan berperan dalam
mendapatkan devisa untuk pembangunan.
Bersama dengan ini berbagai usaha yang ada kaitannya dengan bidang pariwisata ini
mendapat peluang untuk berkembang, seperti : jasa, angkutan, hotel, tempat penginapan,
restoran, industri, kerajinan, hiburan dan kesenian serta termasuk hiburan seksual walaupun
dikelola secara gelap-gelapan namun nyata bila diamati secara seksama.
Berkembangnya kegiatan prostitusi merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya
industri pariwisata. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan keliru yang menganggap bahwa
kegiatan seksual pada umumnya tidak hanya ditujukan untuk mendapat keturunan semata-mata,
tetapi juga dianggap sebagai prokreasi (memperoleh kenikmatan dan kesenangan) serta hiburan
bagi pemenuhan kebutuhan biologis manusia.
Meningkatnya kegiatan prostitusi secara luas mengakibatkan meningkatnya berbagai
kasus penyakit yang ditularkan akibat hubungan seksual (PMS). Salah satu PMS yang paling
berbahaya dan sangat ditakuti adalah apa yang disebut dengan Acquired I mmuno Deficiency
Syndroma (AI DS). Aids adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HI V
(Human I mmunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya atau menurunnya sistem
kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Virus HI V berkembang sangat cepat, sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah
menjadi pandemi. Berkembangnya tempat-tempat hiburan seksual, praktek prostitusi yang
semakin meluas merupakan salah satu faktor penyebaran virus HI V. Begitu juga prilaku seksual
yang berganti-ganti pasangan merupakan cara penularan AI DS yang potensial.
Kelompok masyarakat yang diduga mempunyai prilaku yang cenderung berisiko tinggi
AIDS, yaitu kelompok WTS, waria, pramuria, panti pijat, pramuria bar/ diskotik, homoseks, orang
terpenjara, penerima transfusi darah serta keluarga dari penderita HI V positif.
Di I ndonesia penyebaran AI DS sebagian besar “I mported Cases” yaitu dibawa oleh
penderita yang datang dari luar negeri, melalui hubungan seksual.
Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran virus HI V/ AI DS
ini, maka pemerintah dalam hal ini Depkes RI telah melakukan berbagai upaya untuk menekan
penularan HI V/ AI DS. Upaya tersebut diantaranya melalui kegiatan pemeriksaan sampel darah
secara rutin kepada mereka yang berisiko tinggi mengidap HI V/ AI DS, melaksanakan kegiatan
penyuluhan serta menyebarluaskan informasi tentang AI DS, penularan dan pencegahannya
seperti pemakaian kondom bagi mereka yang terlibat dengan prilaku hubungan seksual bebas.
1. DEFI NI SI AI DS.
AI DS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HI V (Human
I mmunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/ menurunnya sistem kekebalan tubuh
terhadap berbagai penyakit.
Apabila HI V ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HI V tersebut
menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh
yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HI V secara berangsur -angsur merusak
sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
2. SEJARAH AI DS
Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978.
Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus Sarkoma Kaposi dan
penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa, penyakit-penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang
bermukim di Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-kasus
tersebut adalah AI DS.
Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh
Gotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HI V akan
berpotensi sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang tersebut tidak
merasa sakit dan tampak sehat.
Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan adanya
kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini
menimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.
Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk
pertamakali membuat defenisi kasus AI DS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadap
kasus-kasus AI DS.
Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual,
yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para
penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Pada tahun ini juga Luc Montagnier dari
Pasteur I nstitute, Paris I nstitute menemukan bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV
(Lymphadenopathy Associated Virus).
Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada tahun yang
sama diketahui bahwa HI V menyerang sel limfosit T penolong. Pada tahun itu juga Gallo dkk dari
National Institute of Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan HTLV I I I (Human T Cell
Lymphotropic Virus Type I I I ) sebagai penyebabkan kelainan ini. Pada tahun 1985 ditemukan
antigen untuk melakukan tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui bahwa HI V juga menyerang sel
otak. Pada tahun 1986 I nternational Committee on Taxonomy of Virus memutuskan nama
penyebab penyakit AI DS adalah HI V sebagai pengganti LAV dan HLTV.
AI DS (Acquired I mmune Deficiency Syndrome) atau SI DA (Syndrom I muno Deficiency
Akuisita) adalah sebuah penyakit yang dengan cepat menyebar keseluruhan dunia (pandemi).
Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 1996 kasus HI V/ AI DS tercatat
sebanyak 501 orang (119 kasus AI DS dan 382 HI V + ) yang menyebar di 19 Propinsi.
Perkembangan kasus HI V/ AI DS di I ndonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 : Perkembangan masalah HI V/ AI DS di I ndonesia Desember 1993 - 1995 dan
1996
Variabel
S/ d Des 1993
N = 193
S/ d Des 1995
N = 213
S/ d Des 1996
N = 501
AIDS
HIV
Penularan seksual
Pengidap WNI
Umur 20 – 39 tahun
Wanita
49 (25 % )
144 (75 % )
133 (70 % )
88 (46 % )
136 (70 % )
27 (14 % )
55 (26 % )
158 (74 % )
164 (77 % )
117 (55 % )
155 (73 % )
43 (20 % )
119 (24 % )
382 (56 % )
411 (82 % )
333 (67 % )
238 (48 % )
144 (29 % )
Sumber : Gde Muninjaya (1998).
3. GEJALA.
Terdapat 4 stadium penyakit AI DS yaitu :
a. Stadium awal infeksi HI V, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan, nyeri
sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai
influenza/ monokleosis.
b. Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat
merupakan sumber penularan infeksi HI V.
c. Stadium ARC (AI DS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti : demam
lebih dari 38
oC secara berkala/ terus-menerus, menurunnya berat badan lebih dari 10%
dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/ mencret secara
berkala/ terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh
yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam hari.
d. Stadium AI DS, akan menunjukkan gejala-gejala seperti : gejala klinis utama yaitu
terdapatnya kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker kelenjar getah bening,
infeksi penyakit penyerta misalnya : pneumonia yang disebabkan oleh pneumocytis
carinii, TBC, peradangan otak/ selaput otak.
4. PENULARAN AI DS.
HI V dapat ditularkan melalui :
A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan seorang yang mengidap
HIV.
B. Transfusi darah yang tercemar HI V.
C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang
mengidap HI V.
D. Pemindahan HI V dari ibu hamil yang mengidap HI V kepada janin yang dikandungnya.
5. EPI DEMI OLOGI HI V/ AI DS
[image:3.612.128.540.131.231.2]Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai 3 Maret 1998, infeksi HI V/ AI DS telah
menyebar di 22 propinsi yaitu Daerah I stimewa Aceh 1 penderita, Sumatera Utara 25 penderita,
Sumatera Barat 1 penderita, Riau 70 penderita, Sumatera Selatan 26 penderita, DKI Jakarta 181
penderita, Jawa Barat 19 penderita, Jawa Tengah 14 penderita, DI Yogyakarta 5 penderita, Jawa
Timur 43 penderita, Kalimantan Barat 4 penderita, Kalimantan Tengah 4 penderita, Kalimantan
Selatan 3 penderita, Kalimantan Timur 8 penderita, Sulawesi Utara 3 penderita, Sulawesi Selatan
4 pnederita, Bali 43 penderita, NTB 2 penderita, NTT 1 penderita, Maluku 16 penderita, I rian Jaya
137 penderita, Timor-Timor 1 penderita.
Distribusi umur penderita AI DS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok
terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar
dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual
merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AI DS yang berkisar dari 5 tahun ke
atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/ seksual paling aktif yaitu 20 – 30
tahun.
Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian
besar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di negara-negara pola I I , rasio ini adalah
1 : 1. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan)
umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas
(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi
adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk
kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi
darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu
pengidap HI V.
Kelompok homoseksual (termausk biseksual) kelompok ini termasuk kelompok terbesar
pengidap HI V di Amerika Serikat. Prevalensi infeksi HI V dikalangan ini terus meningkat dengan
pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap
HI V, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 % , 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan
pada saat ini telah menjadi 100 % . Di London pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksual
mengidap HI V, 3 tahun kemudian menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehingga
diperkirakan pada tahun 1990 menjadi 100 % .
Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan kelompok utama dimana
homoseksualitas tidak populer. Saat AI DS pertama kali dideteksi pada kaum homoseksual di
negara-negara maju, pola hubungan heteroseksual belum menjadi perhatian. Saat ini 4 % kasus
AIDS berasal dari kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi
epidemi AI DS kedua pada kaum heteroseksual.
Sebagai perbandingan keadaan di Amerika Serikat dan Afrika, maka dapat
diperbandingkan dari para penderita penyakit menular seksual heteroseksual yang berobat ke
rumah sakit, persentase penderita dengan infeksi HI V di AS adalah 0 – 3,4 % , sedangkan di
Afrika adalah 18 – 29 % . Demikian pula dengan sero-prevalensi HI V pada kaum laki-laki dan
wanita hamil di Amerika Serikat berkisar pada angka 2 % , sedangkan di Afrika sampai 18 % . Dari
data-data ini terlihat bahwa kelompok heteroseksual lebih menonjol di Afrika. Pernah ada
anggapan bahwa AI DS berasal dari pedalaman Afrika dengan pola penyebaran heteroseksual.
Dari penelitian akhir-akhir ini ternyata prevalensi di daerah urban tetap lebih besar
daripada di pedesaan sehingga anggapan tersebut adalah tidak benar. Prevalensi di kalangan
WTS di beberapa tempat di Afrika Barat adalah 20 – 88 % sedangkan di Eropa dan Amerika
Serikat berkisar antara 0 – 30 % .
Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di I ndonesia adalah para WTS, para pramupijat,
pramuria bar dan club malam dan para pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik,
mereka ini menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di dalam
jarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari semua kasus AI DS dan di
Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AI DS.
for Syphilis) yang positif akan meningkatkan prevalensi infeksi HI V karena luka-luka ini menjadi
tempat masuknya HI V. Sel-sel limfosit T4/ CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HI V
akan aktif mencari HI V di luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HI V tersebut ke dalam
peredaran darah.
Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB, pada para WTS di Nairobi terbukti
bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HI V lebih tinggi. Hal ini
memerlukan penelitian lebih lanjut. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama
atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap prilaku seksual masyarakat. Bila semua faktor
ini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok seksual aktif maka mereka mudah masuk
ke dalam keadaan promiskuitas.
Walaupun telah diketahui berbagai cara penularan HI V/ AI DS, penularan secara seksual
adalah yang terbanyak, yaitu 83,3% dari 631 kasus yang dilaporkan. I n donesia dianggap rentan
terhadap epidemi HI V/ AI DS karena banyak faktor yang mendorong antara lain : adanya prilaku
seksual yang berisiko (WTS), kemiskinan, banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing.
6. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN AI DS.
Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HI V seperti yang
sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HI V/ AI DS, yaitu :
A. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HI V terutama terjadi melalui
hubungan seksual, sehingga pencegahan AI DS perlu difokuskan pada hubungan seksual.
Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan
bertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri
(suami/ isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HI V, maka dalam
melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal iman
agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.
B. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara memastikan
bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar virus HI V,
jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AI DS, gunakan alat-alat
kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.
C. Pencegahan penularan dari I bu-Anak (Perinatal).
Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HI V/ AI DS disarankan untuk tidak hamil.
Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa cara
pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau
penyebaran HI V/ AI DS.
Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KI E) yang dalam
implementasinya berupa : konseling AI DS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yang
ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HI V/ AI DS melalui
hubungan seksual yang dilakukannya.
Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus menerus akan mendapat
informasi yang baru (up to date) tentang HI V/ AI DS sehingga keluarga akan lebih waspada dan
mampu mengembangkan langkah –langkahpraktis untuk melindungi anggota keluarganya
daripenularan HI V serta untuk mwngurangi tumbuhnya sikap yang menganggap bahwa
keluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus AI DS ini.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional
Penanggulangan AI DS, Depkes RI , Jakarta,.
2. Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AI DS dan Strategi Pemberantasan di I ndonesia,
Media Litbangkes vol. I I I no. 4 Jakarta.
5. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama
Pencegahan dan Pananggulangan AI DS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.
6. Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan
Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AI DS di Jakarta, Majalah Kesehatan
Masyarakat I ndonesia taun X, No. 7 Jakarta.
7. ---, 1994. Aids dan Wanita suatu Tantangan kemanusiaan, Jakarta.
8. ---,1994. Pedoman Penanggulangan AI DS di Rutan, Jakarta.
9. Hull, T.M. Endang S, 1997. Pelacuran di I ndonesia Sejarah Perkembangannya, Jakarta.
10. Gde Muninjaya, 1997. AI DS di I ndonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya.
EGC. Jakarta.
9. Penutup.
Dari unsur host, agent, dan environment, pemutusan transmisi tidak bisa dilakukan pada
host karean belum adanya vaksin, dan juga tidak pada agent karean belum adanya obat
penangkalnya. Satu-satunya jalan adalah dengan mengubah environment yaitu dengan
mengubah prilaku seksual, kelompok seksual aktif (15-45 tahun) yang merupakan kelompok
terbesar pengidap HI V. Perubahan prilaku ini dilakukan denga melakukan penyuluhan kesehatan
dengan materi :
1. Jangka panjang adalah untuk mengurangi permissiveness dan promiskuitas.
2. Jangka pendek adalah meningkatkan kewaspadaan dini untuk mendeteksi penderita
AI DS/ ARC dan program kondomisasi bagi kelompok risiko tinggi. Masalah ini dibicarakan oleh
pembicara lainnya.
A. Agent.
HI V yang termasuk retrovirus itu sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk
membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Akan tetapi percobaan-percobaan
sangat memberi harapan ke arah itu. Ditinjau dari sudut epidemiologi, jumlah HI V (agent)
pada seorang pengidap HI V juga sangat menentukan dalam penularan. Hal ini terbukti dari
penelitian terhadap 24 orang isteri yang suaminya menderita hemofilia dan sekaligus
pengidap HI V, ternyata hanya 4 orang isteri yang tertular. Keempat suami mereka itu
ternyata mempunyai jumlah sel limfosit T yang lebih rendah dibandingkan dengan 20 suami
lainnya. Penurunan jumlah sel limfosit T biasanya berbanding terbalik dengan jumlah HI V
(peningkatan j umlah HI V). Hal yang sama terbukti pada penularan transplasental, makin
rendah jumlah sel limfosit T seorang ibu pengidap HI V, maka makin besar kemungkinan
penularan HI V kepada janinnya. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa daya tular
(infectivity) seseorang bergantung pada stadium penyakitnya, makin parah penyakitnya maka
makin rendah sel limfosit T nya, maka makin besar pula jumlah virus dalam darahnya
(viremia).
8. Kelompok Resiko Tinggi Tertular AI DS.
Semula diduga bahwa penyakit AI DS hanya merupakan penyakit yang menimpa
kelompok laki-laki “homoseks” yang biasa berhubungan sesama laki-lai. Sekarang diketahui
bahwa AI DS bisa menjangkiti siapa saja melalui berbagai penularan AI DS. Mereak yang termasuk
kelompok risiko tinggi tertular AI DS adalah :
a. Mereak yang mempunyai banyak pasangan seksual (homo dan heteroseksual) seperti
wanita/ pria tuna susila dan pelanggannya, mucikari, kelompok homoseks, biseks dan
waria.
b. Penerima transfusi darah.
c. Bayi yang dilahirkan dari ibu penderita AI DS.
d. Pecandu narokotik suntik.
Kelompok Resiko Tinggi (WTS)
Pelacuran/ prostitusi/ persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada
laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran yang disetubuhi sebagai pemuas nafsu
seks si pembayar yang dilakukan diluar pernikahan.
Pelacur/ tunasusila/ lonte/ cabo/ sundal atau kupu-kupu malam adalah umumnya wanita
(ada juga pria) yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja/ banyak laki-laki yang
membutuhkan hubungan seksual dengan bayaran.