KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT
UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI
T E S I S
OLEH :
ELYUZAR SIREGAR
NIM : 057005050
HUKUM EKONOMI
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NASKAH PUBLIKASI
Judul Tesis : KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI.
Nama Mahasiswa : ELYUZAR SIREGAR
Nomor Pokok : 057005050
Program Studi : HUKUM EKONOMI
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH MH K e t u a
Prof. H. Syamsul Arifin, SH.MH Prof. Muhammad Abduh, SH
A n g g o t a A n g g o t a
INTISARI
KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI
Oleh :
Elyuzar Siregar* Bismar Nasution**
Syamsul Arifin** Muhammad Abduh**
Kebijakan lingkungan hidup merupakan perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat, artinya dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan sumberdaya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang merusak (destruktif) yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup di daerah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup harus didukung atas kerjasama yang erat serta memiliki komitmen yang kuat antar lembaga/instansi yang berkaitan dengan sosial, kultur maupun kependudukan, sehingga apa-apa saja kendala yang dihadapi dapat diatasi hal inilah yang menjadi landasan dan tolak ukur keberhasilan pembangunan di kota Binjai.
Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan hidup di kota Binjai dalam penelitian ini adalah Bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam perspektif otonomi daerah dan Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yang bersifat
deskriptif analitis, sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur
*
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **
Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **
Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **
dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini adalah bahwa Otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah daerah secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangka panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah kota Binjai dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan pemerintah yang baik. Pelaksanaan kebijakan pengelola lingkungan hidup di kota binjai merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan tetap beracuan kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dan lokal
untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan di kota Binjai dapat tetap terjamin.
Saran dalam penelitian ini adalah agar pemerintah kota Binjai mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial dengan melakukan, memperluas area hutan kota; meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan izin; melakukan sosialisasi yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha dan/atau kegiatan terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dan diharapkan kepada pemerintah daerah kota Binjai setiap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang negatif.
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI ... i
ABSTRACT ... ii
INTISARI ... iii
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Keaslian Penelitian ... 6
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 6
G. Metode Penelitian ... 9
H. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 12
I. Kesimpulan ... 24
BAB II : PENGATURAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP…. 23
A. Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup 22
B. Peraturan Daerah Kota Binjai Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup ... 31
C. Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH ... 44
D. Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH ... 46
BAB III : PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH ... 69
A. Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah ... 69
B. Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Berdasarkan UUPLH ... 84
BAB IV : PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BINJAI ... 88
A. Gambaran Umum Kota Binjai ... 88
B. Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Kota Binjai ... 94
C. Hambatan dan Kendala ... 136
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 143
A. Kesimpulan ... 143
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan yang
seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan,
sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi
manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif, sedang manusialah yang aktif,
sehingga kualitas lingkungan amat bergantung pada kualitas manusia.
Sasaran kebijakan lingkungan hidup adalah merupakan perwujudan dari
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat.1
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan standar
yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi
kebijaksanaan pembangunan. Artinya, dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan
kemampuan sumberdaya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari
pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi,
kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap
pembangunan yang merusak (destruktif) yang tidak bertanggungjawab terhadap
1
lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat.2
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan diwujudkan dengan sebuah kebijakan yang merupakan suatu keputusan
dalam upaya memecahkan suatu permasalahan yang melibatkan banyak pihak dan
sumberdaya yang tidak sedikit. Sehingga diperlukan suatu pertimbangan yang serius
dalam menentukan serta menetapkan suatu kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada kebijakan bagi kepentingan
umum. Dengan demikian kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan ditentukan
oleh kebijakan tersebut.3
Pembangunan berkelanjutan pertama kali di perkenalkan pada Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) tentang Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) atau
yang dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi (Earth Summit) yang
diselenggarakan pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro, merupakan tonggak sejarah
yang menyatukan para Kepala Negara dan Pejabat Pemerintah dari seluruh dunia
bersama dengan utusan Badan-Badan PBB, organisasi Internasional dan utusan
lainnya dari berbagai organisasi non pemerintah (Ornop). Konferensi yang dihadiri
oleh 179 negara tersebut secara jelas menyatakan bahwa pembangunan nasional atau
2
Alvi Syahrin, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan Status
Hukumnya) (Medan : Fakultas Hukum USU, 1999), hal. 27. Perhatikan juga, Koesnadi
Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7 1999, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal. 18-19.
3
negara tidak bisa lagi memisahkan antara pengelolaan lingkungan dengan
pembangunan sosial ekonomi sebagai bidang-bidang yang terpisah, mengandung
prinsip-prinsip dasar yang harus dilandasi setiap keputusan dan kebijakan pemerintah
dimasa depan, dengan mempertimbangkan implikasi lingkungan terhadap
pembangunan, sosial ekonomi.
Adapun modal pembangunan integrasi dimensi lingkungan keseluruh sektor
pembangunan terkait merupakan suatu prasyarat. Agenda 21 yang merupakan program
kerja besar untuk abad ini sampai dengan abad 21 dan cerminan konsensus yang
dicapai oleh 179 negara tersebut, merupakan dokumen cetak biru dalam
mewujudkan hubungan kemitraan global yang bertujuan terciptanya keserasian
antara dua kebutuhan penting, yaitu lingkungan yang bermutu tinggi dan
perkembangan serta pertumbuhan ekonomi yang sehat bagi seluruh penduduk
dunia.
Dengan adanya konferensi tersebut, pemerintah Indonesia dengan cepat
telah menyusun suatu rencana guna memenuhi persyaratan umum dari
prinsip-prinsip pembagian lingkungan serta tujuan umum dari KTT bumi dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini Pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
Untuk menindaklanjuti hasil dari konferensi tersebut Pemerintah diberi
kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UULH) yang
di ubah dengan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH).
Kemudian UUPLH ini dalam pelaksanaannya didukung dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diubah Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan
seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan hidup sebaik mungkin untuk kepentingan masyarakat dalam rangka
pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) juncto Pasal
17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya alam ini
dilakukan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah lainnya.
Dengan berlakunya Otonomi Daerah, telah memberikan kewenangan yang
nyata dan bertanggungjawab pada Pemerintahan Kota Binjai untuk menggali dan
melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang terdapat di daerah
tersebut. Terutama untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah lingkungan yang
terjadi akibat kecepatan dinamika perubahan pembangunan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut pemerintah kota
Binjai diperlukan membuat sebuah kebijakan dan sebuah perencanaan yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan jaminan,
perlindungan, kepastian, dan arah bagi pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen
lingkungan hidup, yaitu UUPLH.4 Undang-undang ini berfungsi mengatur, juga
berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang
sifatnya dapat tidak sekedar adaftif, fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Potensi undang-undang ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi
hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. 5 Dimensi fungsi UUPLH
merupakan instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga
harmonisasi kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa
masyarakat dalam hal ini hukum sebagai sarana perubahan sosial atau sarana
pembangunan.
UUPLH merupakan sarana bagi pembangunan berwawasan lingkungan,
dengan mengoperasionalkan dan memberdayakan hukum sebagai langkah yang harus
diambil untuk memacu kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat dan aparat
penegak hukum serta mengefektifkan pelaksanaan hukum (law enforcement).
UUPLH telah mempresentasikan hak-hak masyarakat secara sosial,
ekonomi, hukum dan politik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Dengan demikian persoalan-persoalan pengelolaan lingkungan hidup harus
memiliki prinsip-prinsip dasar bagi berkembangnya demokratisasi, transparansi dan
independensi sebagai pelaksanaan good governance (tata pemerintahan yang efektif).
Penelitian ini di fokuskan di kota Binjai, karena Penulis ingin melihat peran
pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup
4
Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, hal. 118.
5
di Kota Binjai, hal ini dilakukan karena kota Binjai merupakan salah satu kota yang
berusaha untuk menuju kota mandiri, maju, sejahtera dan berwawasan lingkungan.6
Kota Binjai selain strategis, merupakan kota permukiman yang setiap tahun
jumlah penduduknya meningkat, dan akan berakibat pula terhadap jumlah
bangunan-bangunan yang diperuntukkan dan disesuaikan dengan sektor yang terdapat di daerah
juga akan bertambah sehingga akan menimbulkan banyak masalah yang timbul dalam
proses pembangunan di Kota Binjai yang berkaian dengan lingkungan hidup, baik
berupa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena
adanya berupa dikotomi pemikiran pembangunan dengan lingkungan yang
menimbulkan tidak berjalan dengan baiknya clean government yang mengakibatkan
program pembangunan berkelanjutan tidak berjalan sesuai dengan prinsip-perinsip
pengelolaan lingkungan hidup.
UUPLH sebagai payung hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup
merupakan sarana yang diterapkan untuk mengatasi masalah dan dampak yang
ditimbulkan dengan adanya kegiatan pembangunan tersebut. Oleh karena itu
diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang diharapkan terwujudnya
pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan hidup di kota
Binjai.
6
Kondisi yang terjadi adalah banyaknya terjadi perubahan terhadap
eksploitasi sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan peruntukkannya,
pengembangan investasi, penerapan teknologi modern, perubahan kelembagaan
seperti pelaksanaan otonomi daerah, kesemuanya dapat dilakukan dengan adanya
kebijakan yang konsisten dari pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pada
saat ini dan dimasa mendatang.
Peranan pembangunan dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup harus dioptimalkan dalam rangka meningkatkan penegakan supremasi hukum
untuk mewujudkan pelestarian fungsi lingkukungan hidup yang menyebabkan
hak-hak masyarakat untuk menggunakan dan menikmatinya menjadi terlindungi dan
terbuka dan dapat mengurangi terjadinya konflik baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal.
Kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup
bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah berkelanjutan berwawasan
lingkungan hidup harus didukung atas kerjasama yang erat serta memiliki komitmen
yang kuat antar lembaga/instansi yang berkaitan dengan sosial, kultur maupun
kependudukan, sehingga apa-apa saja kendala yang dihadapi memiliki landasan yang
dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan di kota Binjai.
Oleh karena itu berdasarkan uraian latar belakang di atas Penulis memilih
judul tentang “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut
B. Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut tentang :
1. Bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentng Pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam perspektif otonomi daerah.
2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tentang
1. Untuk mengetahui penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentng
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
perspektif otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota
Binjai, beserta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu baik secara
teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti
lingkungan hidup di Kota Binjai. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi
bidang ilmu hukum. .
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum
dalam upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional kearah
pengaturan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengetahui
pengaturan mengenai kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu hukum,
khususnya mengenai pengaturan yuridis dalam pengelolaan lingkungan
hidup.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dikatahui bahwa penelitian mengenai
“Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-undang 23
Tahun 1997 di Kota Binjai,” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan
perumusan masalah yang sama sebelumnya, walaupun ada beberapa topik penelitian
tentang pengelolaan lingkungan namun jelas berbeda oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli, dan penelitian ilmiah ini dilakukan sesuai
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta
saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah
dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut
Undang-undang 23 Tahun 1997 di Kota Binjai, berkaitan erat dengan kekuasaan
pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka implementasi otonomi daerah.
Otonomi Derah telah memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggung
jawab pada pemerintahan kota Binjai untuk menggali dan melaksanakan
pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang terdapat di daerah tersebut,
terutama untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah lingkungan yang terjadi akibat
kecepatan dinamika perubahan pembangunan.
Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berkaitan dengan adanya
kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat dapat dibagi dengan 2 (dua) cara yaitu :
a. Secara vertical, pembagian kekuasaan menurut tingkatnya adalah pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan Carl J Frederich memakai istilah pembagian kekuasaan. Ini dapat dengan jelas kita bandingkan antara Negara kesatuan, federasi dan konfederasi.
b. Secara horizontal, pembagian kekuasaan menurut fungsinya adalah pembagian
legislatif, eksekutif yang lebih dikenal dengan trias politica atau pembagian
kekuasaan (division of power).7
Menurut CF. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana
wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya
kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap dimiliki oleh
pemerintah pusat.8 Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan
keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian, yang menjadi
hakekat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi atau dengan
perkataan lain, kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, oleh karena konstitusi
negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat.
Jadi adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri tidak
berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan
tertinggi tetap pada pemerintah pusat.
Sejalan dengan pendapat CF. Strong, menurut I Nyoman Sumaryadi
mengemukakan otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang pada hakekatnya merupakan penerapan
konsep areal divison of power yang membagi kekuasaan secara vertical yaitu
7
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : UII Press, 2002), hal. 12-13. 8
pembagian kekuasaan negara antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah
daerah di pihak lain.9
Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara
hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia
kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep ini muncul sebagai reaksi
atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsep legal
state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peran negara dalam
pemerintahan dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the
best government” dan terdapat prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam bidang
ekonomi yaitu melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi
masyarakat (staatsbemoeienis). Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi
negara menjadi fassif dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam.
Adanya pembatasan negara yang menimbulkan reaksi dan kerusuhan sosial, dalam
perkembangannya muncul gagasan yang menempatkan pemerintah sebgai pihak yang
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu teori welfare state.
Negara kesejahteraan (welfare state) menurut istilah Lemaire, disebut
bestuuszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum) atau
welvaarsstaat atau verzorgingsstaat merupakan konsepsi negara hukum modern,
menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang
serta tanggungjawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas, baik
9
secara kuantitatif maupun kualitatif. Tugas-tugas baru terus bertambah sementara
tugas-tugas lama seamkin berkembang. Akhirnya sekarang ini konsepsi negara
hukum modern menimbulkan dilemma yang penuh kontradiksi, sebab suatu negara
hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum
dan bersamaan dengan itu kepada pemerintah daerah diserahi pula peran, tugas dan
tanggungjawab yang luas dan berat.
Dalam rangka melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat tersebut harus diatur oleh hukum. Namun karena luas dan kompleksnya
permasalahan masyarakat yang dihadapi, maka ternyata tidak semua tindakan yang
akan dilakukan oleh pemerintah tersebut tersedia aturannya dalam undang-undang.
Karena itu timbul konsekuensi khusus dimana pemerintah memerlukan kemerdekaan
bertindak atas insiatif sendiri, utamanya dalam menyelesaikan masalah-masalah
genting dan penting yang timbul secara mendadak. Sedangkan peraturan untuk
menyelesaikannya belum ada atau samar-samar atau dirumuskan dengan sangat sumir
atau samara-samar atau dengan kata-kata yang sangat umum.
Konsep negara kesejahteraan (welfare state) berkembang di negara-negara
eropah bahkan meluas hampir keseluruh negara-negara di dunia. Konsep negara ini
juga dianut di Indonesia yang tercantum dalam pembukaan alinea ke empat
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD 1945) yang berbunyi : “Negara melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
Kemudian konsep negara kesejahteraan ini tercermin dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Dalam penerapannya negara Indonesia juga menganut paham negara
kesejahteraan (welfare state), hal ini berarti terdapat tanggungjawab negara untuk
mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta
meningkatkan kualitas pelayanan umum (public service) yang baik melalui
penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan negara kesejahteraan (welfare state) ini pemerintah
pusat, tidak mungkin bisa optimal untuk mengurus warganya secara sentralistik
karena faktor luas wilayah, banyaknya penduduk yang berbhineka tunggal ika, maka
untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di daerah dibentuklah Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota guna mempercepat mewujudkan tujuan negara
untuk mensejahterakan rakyatnya. Landasan konstitusinya diatur dalam Pasal 18
UUD 1945 setelah perubahannnya. Sebagai pelaksanaannya maka diterbitkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Konsep negara kesejahteraan (welfare state) juga tercantum dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup, dimana pemerintah menerbitkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini
diterbitkan dalam rangka mendayagunakan sumberdaya alam guna memajukan
kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan
nasional yang terpadu menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi
masa kini dan generasi masa depan.
Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma
hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan
lingkungan global serta perangkat hukum internasional berkaitan dengan lingkungan
hidup.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai
subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan
corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan
pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu
sendiri. Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan
mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan
hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat
sampai ke daerah.
Pembangunan merupakan bentuk dari pemanfaataan secara terus-menerus
sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara
itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah
maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut
makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya
alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi
jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa depan. Oleh karena itu,
lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang serasi selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, diselenggarakan dengan
asas tanggungjawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam
rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.10
10
Asas tanggungjawab negara merupakan implementasi dari teori hak
menguasai negara, artinya bahwa pelimpahan unsur publik dari hak bangsa kepada
negara untuk mengatur kekuasaan dan memimpin penggunaan seluruh wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia. Maka secara otomatis kewenangannya pun
berunsur publik.
Pelaksanaan kewenangan ini dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dengan bantuan dari partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian pengelolaan
lingkungan hidup yang dipegang oleh pemerintah pusat dapat dilaksanakan secara
terpadu oleh pemerintah daerah agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa, yang
dapat dipicu oleh adanya kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di
daerah.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah,
terutama pemerintah kabupaten/kota dalam hal ini memberikan kesempatan yang
sangat luas dan mengurus kepentingan masyarakat serta mengembangkan prakarsa
dan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan
masyarakat. Ketentuan ini juga termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan hidup
yang diatur dalam UUPLH yang merupakan payung hukum bagi penegakan
2. Kerangka Konsepsional
Konseptual adalah merupakan definisi dari operasional dari berbagai istilah
yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis,
bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada
pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan
pustaka.11 Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai
berikut di bawah ini :
Kebijakan adalah suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi
keputusan tersebut, kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.12
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup.13
Lingkungan Hidup ialah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 12
Heinz Eulau and Kennerth Prewit, dalam Ch. O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 57
13
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.14
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian mengenai “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 di Kota Binjai,” dilakukan melalui
pendekatan yuridis, yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen untuk
mewujudkan dan menemukan prinsip-prinsip hukum dalam pelaksanaan kebijakan
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya
membatasi kerangka studi kepada suatu pemerian, suatu analisis atau klassifikasi
tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa
atau teori-teori.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif, karena materi yang dibahas mengutamakan tinjauan dari
segi peraturan-peraturan yang berhubungan dalam kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup di kota Binjai.
Metode pendekatan ini dipergunakan bertitik tolak dan menganalisis terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
dikaitkan dengan penerapan kebijakan pemerintah daerah mengenai pengelolaan
lingkungan hidup di kota Binjai.
14
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto15 meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier. Sehingga penulisan ini menitikberatkan pada penelitian bahan
pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder, yang
terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu
sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan
perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur
bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan diambil dari terdiri dari kamus-kamus hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.
15
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pemerintah Kota Binjai, karena Kota
Binjai dalam kenyatannya dewasa ini lagi giat-giatnya membangun dan menata kota
untuk mewujudkan Binjai kota yang berwawasan lingkungan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
dikumpulkan, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi
dokumen terhadap bahan pustaka yang ada. Pengumpulan data didasarkan pada
buku-buku literature dan peraturan perundang-undangan yang relevan berkaitan dengan
tesis ini, guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan
yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan
permasalahan yang dibahas.
5. Alat Pengumpul Data
a. Studi Dokumen
Yaitu menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum,
yurisprudensi, filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap
b. Wawancara
Dengan melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten dalam hal ini
adalah Kepala Bapedalda Kota Binjai yaitu pihak yang mengetahui dan terlibat
langsung dalam hal pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.
6. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara deduktif.
Digunakannya metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai pertimbangan,
sebagai berikut : Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan
yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan. Kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, sifat dasar data yang akan
dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan
yang integral (holistic), yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam
(indepth information).16 Data yang dianalisis menggambarkan dan mengungkapkan
permasalahan yang terjadi, sekaligus diharapkan akan dapat memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.
16
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan
Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas
BAB II
PENGATURAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Peraturan Perundangan-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ketentuan yang mengatur tentang segi-segi pengelolaan lingkungan hidup
telah ada sebelum di keluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982.
Namun ketentuan tersebut masih tersebar dengan sifatnya yang sektoral dan bercorak
klassik. Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pada tanggal 19 September 1997 dimuat
dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, dan sejak itu
Undang-undang tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Keberadaan undang-undang itu merupakan langkah awal yang penting bagi
pembinaan hukum lingkungan nasional. Hal ini bertepatan pula dengan saat dunia
memasuki “Dasawarsa Kedua Lingkungan Hidup” (The Second Environmental
Decade) pada tanggal 5 Juni 1982 yang lalu, yaitu Hari Lingkungan sedunia, sepuluh
tahun sejak diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Lingkungan Hidup di Stockholm Swedia (United Nations Conference on The Human
Environment).17
17
Bagi Indonesia peraturan hukum yang tertuang dalam Undang-undang di
atas, bertegak sebagai “Umbrella Provision” bagi peraturan perundang-undangan
pengelolaan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun pengaturan lebih
lanjut (lex feranda), dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu peraturan produk
dari zaman kolonial yang masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945 dan peraturan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Peraturan-peraturan yang ada itu belum lengkap dan masih
diperlukan peraturan terkait lainnya untuk melindungi hidup manusia dan sumber
daya alam dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.
Pembinaan hukum lingkungan itu, berhubungan erat dengan fungsi hukum
sebagai sarana pembangunan dan sarana pemenuhan kepentingan, terutama
disebabkan pengelolaan lingkungan menyangkut penetapan nilai antara
nilai-nilai yang sedang berlaku dan yang bertujuan menjadikan manusia sebagai “pembina
lingkungan” dan berjiwa “akrab lingkungan”.18
Di dalam undang-undang tersebut, secara tegas menetapkan sasaran
pengelolaan lingkungan hidup adalah tentang
a. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup;
b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki
sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
18
c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indoensia terhadap dampak usaha
dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 mulai berlaku 11 Maret 1982, setelah
melalui proses yang cukup panjang dimana pada tahun 1976 telah dimulai
penyusunan RUU Lingkungan Hidup dengan dibentuknya Kelompok kerja
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup dalam bulan Maret 1979 oleh Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH. Pada
tanggal 16 s/d 18 Maret 1981 telah diadakan rapat antar Departemen, bertempat di
Puncak guna membicarakan naskah RUU yang disiapkan oleh Kelompok Kerja
Peraturan Pemerintah LH. Berdasarkan hasil pembicaraan dalam rapat antar
Departemen ini telah diadakan perubahan-perubahan dalam naskah RUU tersebut.19
Pada tanggal 21 Maret 1981 Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH
mengirimkan konsep RUU hasil pembahasan antar Departemen untuk minta
persetujuan para Menteri yang diwakili dalam rapat antar Departemen. Berdasarkan
19
saran dari para Menteri, konsep RUU hasil pembahasan antar Departemen diperbaiki
dan disampaikan kepada Menteri/ Sekretaris Negara pada tanggal 3 Juli 1981.
Pada tanggal 14 Nopember 1981, Kepala Biro Hukum dan
Perundang-undangan Sekretariat Kabinet mengirimkan naskah konsep RUU yang telah
diperbaiki kepada beberapa Menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut. Hasil
perbaikan akhir kemudian diajukan kepada Presiden dan dengan surat Presiden
tanggal 12 Januari 1982 RUU Lingkungan Hidup disampaikan kepada Pimpinan
DPR.
Badan Musyawarah DPR memutuskan untuk dibentuknya Panitia Khusus
(PANSUS) guna menangani RUU Lingkungan Hidup ini. Pansus ini terdiri dari 24
anggota dengan komposisi sebagai berikut tentang :
- 12 anggota Fraksi Karya Pembangunan
- 6 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
- 4 anggota Fraksi ABRI
- 2 Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Telah ditunjuk pula 24 anggota pengganti dengan komposisi yang sama.
Pada tanggal 23 Januari 1982, Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH
menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai RUU Lingkungan Hidup, yang
disusul kemudian dengan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi yang dilaksanakan pada
tanggal 2 Februari 1982. Jawaban Pemerintah atas Pandangan Umum tersebut
diberikan pada tanggal 15 Februari 1982. Rapat-rapat PANSUS diadakan pada
1982 PANSUS dapat menyetujui hasil perumusan Tim Perumus yang dibentuk oleh
PANSUS.20
Pada tanggal 25 Februari 1982 dengan aklamasi RUU Lingkungan Hidup
hasil PANSUS disetujui Sidang Paripurna DPR. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah
disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan penandatanganan oleh Presiden Republik
Indonesia dan diundangkan pada hari yang sama dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12. Adapun hal-hal yang
ditonjolkan dalam undang-undang ini mengandung dua segi, yaitu tentang :
1. Undang-undang ini hanya memberi pengaturan secara garis besar dalam
pokok-pokoknya saja, sedangkan aturan yang lebih terperinci diatur dalam pelbagai
peraturan pelaksana.
2. Undang-undang ini bukan mengatur tentang lingkungan hidup secara
keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi pengelolaan lingkungan hidup.
UULH tersebut di atas memiliki ciri-ciri, sebagai berikut tentang
1. sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan,
sesuai keadaan, waktu dan tempat;
2. mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut;
20
3. mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup, agar dapat menjadi dasar bagi
pengaturan lebih lanjut masing-masing segi, yang akan dituangkan dalam bentuk
peraturan tersendiri.
UULH tersebut juga menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan
semua peraturan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup yang
berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan misalnya mengenai pengairan,
pertambangan dan energi, kehutanan, perlindungan dan pengawetan sumber daya
alam, industri, permukiman, tata ruang, pertanahan dan lain-lain.
Sifat undang-undang ini secara khusus memberikan arah dan ciri-ciri bagi
semua jenis tata pengaturan lingkungan hidup, yang perlu dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya, UULH ini juga menjadi dasar
dan landasan bagi perkembangan hukum lingkungan selanjutnya, termasuk di
dalamnya pembaharuan dan penyesuaian peraturan-peraturan hukum lama.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berlaku pada
tanggal diundangkannya (tanggal 19 September 1997). Undang-undang baru ini
dianggap lebih bersifat komprehensif, karena dipersiapkan untuk menjawab isu-isu
Pertimbangan penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang :
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) yang menyatakan tidak berlakunya lagi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 adalah sebagai berikut :
a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan
dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi,
selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunan hidup harus didasarkan
perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang
berkaitan dengan lingkungan hidup.21
Materi bidang lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam UUPLH
sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung sampai perut bumi
dan dasar laut, dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber
daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Hal ini terlihat dari Pasal 1 angka (1)
UUPLH yang memuat pengertian mengenai lingkungan hidup, yakni:
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain”.
UUPLH sebagaimana halnya dengan UULH juga mengatur mengenai
“ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup” sehingga fungsinya juga
sebagai umbrella act/provision bagi penyusunan peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian
peraturan perundang-undangan yang telah ada.
UUPLH memuat tentang asas, tujuan dan sasaran dari pengelolaan
lingkungan hidup. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat, yang bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertqwa
21
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Asas tanggung jawab negara mempunyai makna
negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat
yang sebesar-besar bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi maupun
generasi mendatang, serta negara melakukan pencegahan terhadap kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayah yurisdiksinya yang
menimbulkan kerugian bagi negara lain, dan melindungi negara terhadap dampak
kegiatan di luar wilayah negara.22
Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara
pandang (visi) yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan
program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu
kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma,
mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup
dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang ketahanan lingkungan.
B. Peraturan Daerah Kota Binjai Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Otonomi daerah telah memberikan perubahan yang mendasar bagi
perkembangan ketatanegaraan Indonesia, khususnya pada pemerintahan daerah.
Otonomi daerah telah meletakkan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi yang benar dalam hal ini terutama
22
adalah mengakomodasikan aspirasi yang secara riil ada di masyarakat dalam tindakan
dan atau kebijaksanaan secara nyata.
Di dalam kerangka otonomi daerah tersebut, berdasarkan perspektif hukum
positif harus diarahkan pada satu kata kunci yaitu konsistensi. Konsistensi utama dan
pertama-tama ditujukan terhadap asas hukum baik yang dituangkan di dalam
peraturan perundang-undangan dalam perspektif Asas Umum Pemerintahan yang
baik
Asas hukum yang bersifat tersurat dan memang memerlukan penafsiran
lebih lanjut akan tetapi jika didasarkan pada persamaan persepsi terhadap pemaknaan
konsep yang utuh, tidak akan menimbulkan permasalahan.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
mengatakan bahwa kewenangan daerah mencakup dalam bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan kemanan, peradilan
dan moneter dan fiskal serta kewenangan lain. Selanjutnya kewenangan yang
diberikan kepada daerah kota dan kabupaten akan dibatasi oleh kewenangan
Pemerintah pusat di bidang lainnya yang menyangkut :
a. Kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara
makro;
b. Kebijakan dana perimbangan keuangan;
c. Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara;
d. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang bersifat
e. Kebijakan konservasi;
f. Kebijakan standarisasi nasional;
Di samping itu kewenangan daerah kabupaten dan kota dibatasi pula oleh
kewenangan daerah propinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya, yaitu kewenangan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota dan kewenangan dalam bidang pemrintahahan tertentu lainnya.
Menurut Penjelasan Pasal 9 undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang termasuk kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat
lintas Kabupaten dan Kota antara lain :
a. Kewenangan di bidang Pekerjaan Umum;
b. Kewenangan di bidang Perkebunan;
c. Kewenangan di bidang kehutanan;
d. Kewenangan di bidang Perhubungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu
lainnya adalah :
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro;
b. Pelatihan bidang tertentu alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian
yang mencakup wilayah propinsi;
c. Pengelolaan pelabuhan regional;
d. Pengendalian lingkungan hidup;
e. Promosi daging dan budaya pariwisata;
g. Perencanaan tata ruang propinsi.
Dengan demikian, apabila semua daerah kabupaten dan kota sudah dapat
melaksanakan semua kewenangannya, maka kewenangan yang tinggal pada daerah
provinsi hanyalah kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten
dan kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya sebagaimana telah dikemukakan
di atas, di samping kewenangan sebagai wilayah administrasi yag dilimpahkan
kepada gubernur selaku wakil Pemerintahan Pusat di daerah.
Kewenangan pemerintah untuk dalam mengembangkan aspek
kependudukan dan aspek perekonomian membutuhkan suatu kewenangan yang lebih
besar di dalam pengelolaannya. Kewenangan daerah sebagaimana yang ditetapkan di
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 (c) adalah bahwa penyerahan
wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan, daerah otonomi adalah Daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota. Kewenangan ini adalah berupa
peraturan-peraturan daerah yang menetapkan wewenang daerah untuk mengelola sumber daya
nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab terhadap kelestariannya.
Melalui kewenangan yang dimiliki daerah tersebut, yaitu pihak eksekutif
dan legislatif daerah menetapkan perda-perda. Bagian ini mencoba untuk
menginventarisasikan berbagai perda-perda yang mengatur tentang kewenangan
pemerintah daerah khususnya kota Binjai yang ada dalam konteks pengelolaan
Perda-perda ini dimaksudkan agar pelaksanaan pembangunan di kota Binjai
dapat memperhatikan ramah lingkungan yang merupakan bagian dari esensi
pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan bagi rencana usaha yang
tidak ada dampak pentingnya atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak
pentiingnya maka diwajibkan membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun UKL
dan UPL adalah syarat untuk mendapatkan izin melakukan usaha.
Adapun perda-perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kota Binjai,
antara lain yang yang mengatur kebijaksanan dan prosedur yang berkaitan
pengelolaan lingkungan di Kota Binjai adalah :
1. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan dalam Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai.
Perda ini diterbitkan bertujuan untuk mengatur tentang Retribusi izin
mendirikan bangunan harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang ada, dan
sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di kotamadya
Binjai. Perda ini bertujuan dalam rangka untuk pengaturan, pembinaan, pengendalian
dan pengawasan atas kegiatan mendirikan bangunan guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pada perda ini mengatur bahwa setiap orang pribadi atau badan yang
mendirikan bangunan harus memperoleh izin dari Kepala Negara dan juga harus
melengkapi adanya Dokumen Amdal yang disetujui Tim Komisi Tingkat II untuk
usaha industri/pabrik, perumahan/real estate, pusat perbelanjaan dan usaha-usaha
Pemegang izin mendirikan bangunan memilki kewajiabn yang harus
dipenuhinya agar permohonan bangunan tidak ditolak atau dibongkar. Jika
permintaan izin tidak dipenuhi maka permohonan akan ditolak dan akan terjadinya
pembongkaran bangunan dengan izin kepala daerah untuk memberikan kesempatan
kepada pemilik bangunan/pelaksana bangunan untuk membongkar bangunannya, dan
apabila tidak dilakukan pembongkaran selambat-lambatnya 15 (lima belas hari)
sesudah perintah pembongkaran maka kepala daerah atau pejabat yang dihunjuk
dapat membongkar seluruh atau sebagian bangunan tersebut atas biaya dan resiko
pemilik/pelaksana bangunan Pasal 8 point (d).
Perda ini terdiri dari XXII Bab dan 34 Pasal yang mengatur tentang
Ketentuan umum, Perizinan, Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan, Objek
dan Subjek Retribusi, Golongan Retribusi, Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa,
Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif, Struktur dab
Besarnya Tarif Retribusi, Cara Penghitungan Retribusi, Wilayah Pemungutan,
Tatacara Pemungutan, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran, Tatacara
Penagihan, Pengembalian Kelebihan Pembayaran, Keberatan, Pengurangan,
Keringanan dan Pembebasan Retribusi, Kadaluarsa Penagihan, Penyidikan,
2. Peraturan Daerah Kota Madya Tingkat II Binjai Nomor 25 Tahun 1998
Tentang Retribusi Izin Gangguan.
Perda ini diterbitkan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 18 Tahun
1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah yang terkait atas
pemakaian kekayaan perlu disesuaikan.
Perda ini bertujuan untuk melakukan pengaturan guna melindungi
kepentingan umum dan lingkungan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan
gangguan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Perda ini mengatur tentang subjek hukum yang wajib memiliki izin
gangguan/ tempat usaha dalam hal mendirikan atau memperluas tempat usahanya
dilokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, tidak
termasuk tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh pemerintah pusat atau
daeran. (Pasal 7 ayat (1)).
Perda ini juga mengatur sanksi administrasi dan sanksi pidana, sanksi
administrasi dikenakan bagi wajib pajak yang tidak membayar retribusi tepat pada
waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi adminstrasi sebesar 2 %
(Pasal16), sedangkan sanksi pidana dikenakan bagi pelaku yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini dan ancaman
pidananya kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 4
(empat) bulan kali retribusi terhalang (Pasal 24).
Perda ini juga mengatur mengenai Penyidikan yaitu Pasal 25 ayat (1) yang
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Perda ini terdiri dari XVII Bab dan 28 Pasal yang mengatur tentang
Ketentuan umum, Subjek, Objek Retribusi, Golongan Retribusi, Retribusi Izin
Gangguan, Jangka Waktu Berlakunya Izin Gangguan (Ho), Ketentuan Retribusi,
Tatacara Pemungutan, Wilayah Pungutan, Sanksi Administrasi, Tatacara
Pembayaran, Tatacara Penagihan, Tatacara Perhitungan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Retribusi, Kadaluarsa, Tatacara Penghapusan Piutang Retribusi yang
Kadaluarsa, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Penutup.
3. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 tahun 2001 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Binjai Tahun 2001, persetujuan DPRD Nomor
5/DPRD-II/5-2001 tanggal 29-3-2001, diundangkan dalam Lembaran Daerah
No.2 Seri D tanggal 5-4-2000.
4. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Izin Tempat
Usaha.
Perda ini diterbitkan dalam rangka usaha-usaha Pemerintah Kota Binjai
dalam melaksanakan penataan dan sekaligus pembinaan terhadap para pengusaha,
oleh karena itu perlu diberikan Izin Tempat Usaha kepada para pengusaha yang
melaksanakan kegiatan usaha di Kota Binjai.
Pada perda ini dijelaskan subjek hukum yang wajib dikenakan retribusi
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama di dalam
bentuk apapun, Firma, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan,
Organisasi Sosial Politik atau organisasi yang sejenis, Lembaga Bentuk Usaha Tetap
dan bentuk badan lainnya.
Mengenai perizinan mempunyai jangka waktu 3 (tiga) tahun dan selanjutnya
setiap tahun divalidasi sekaligus pembayaran retribusi dan pada Perda ini juga
dilakukan pengawasan berupa pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas yang telah
diberi wewenang untuk itu terhadap izin tempat usaha yang dilakukan setiap
tahunnya untuk memeriksa letak, ukuran luas, jenis usaha berubah dan atau kegiatan
usaha dialihkan dan atau dipindahkan kepada pihak lain tanpa izin dari Kepala
Daerah.
Pada perda ini mengatur sanksi administrasi terhadap Wajib Retribusi yang
tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dari besarnya
Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang bayar dan ditagih dengan
menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.
Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam
perda ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
penyidikan terhadap tindak pidana perpajakan daerah dah retribusi diberikan
kewenangan kepada PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah setempat.
Perda ini terdiri dari XVI Bab dan 23 Pasal yang mengatur tentang
Ketentuan umum, Nama, Objek, Subjek Retribusi dan Persyaratan dalam
Memperoleh Izin, Jangka Waktu Berlakunya Izin Tempat Usaha, Golongan Retribusi,
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip Penetapan dan Struktur dan
Besarnya Tarif Retribusi, Wilayah Pemungutan, Tatacara Pemungutan dan Penetapan
Retribusi, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran, Tatacara Penagihan,
Pengawasan, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan
Penutup.
5. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengelolaan
& Pengusahaan Burung Walet, persetujuan DPRD Nomor
22/DPRD-II/5-2000 tertanggal 7-9-22/DPRD-II/5-2000, diundangkan dalam Lembaran Daerah No.3 Seri B
tanggal 14-9-2000.
6. Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2001 tentang Retribusi Upaya
Pengendalian Pencemaran Udara, persetujuan DPRD Nomor
27/DPRD-II/5-2001, tertanggal 6 Desember 2001, diundangkan dalam Lembaran
Daerah Nomor 7 Seri B tanggal 14 Desember 2001.
7. Peraturan Daerah Nomor 26 tahun 2001 tentang Retribusi Pemeriksaan
Limbah Cair Industri, persetujuan DPRD Nomor 27/DPRD-II/5-2001,
tertanggal 7-9-2001, diundangkan dalam Lembaran Daerah No. 12 Seri B
Terdapatnya dua Peraturan Daerah mengenai Retribusi Upaya pengendalian
Pencemaran Udara, dan Pemeriksaan Limbah Cair Industri merupakan ketentuan
daerah yang baru jika dibandingkan dengan Peraturan Daerah sebelum adanya
Otonomi Daerah. Karena dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
membawa implikasi perkembangan bagi pengelolaan lingkungan hidup yakni
diberikannya wewenang dan tanggungjawab penuh pada Pemerintah Daerah untuk
pengelolaan lingkungan hidup.
Di dalam Pasal 3 ayat (5) angka 16 Peraturan Pemerintah tersebut, telah
menetapkan Kewenangan Propinsi di dalam bidang lingkungan hidup, yakni :
a. Pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota.
b. Pengaturan pengelolan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4
(empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.
c. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas
Kabupaten/Kota.
d. Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi
kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya
meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota.
f. Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup
nasional.
8. Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Binjai
Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
Keputusan ini diterbitkan sebagai pelaksana dari Peraturan Daerah Kota
Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
Keputusan ini bertujuan untuk mengatur tentang izin mendirikan bangunan yang
selanjutnya disebut retribusi yaitu pembayaran atas pemberian izin kepada orang
pribadi atau badan, termasuk dalam kegiatan peninjauan, desain, dan pemantauan
pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan,
rencana tata ruang teknis bangunan, rencana tata ruang yang berlaku dengan tetap
memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan (KLB),
Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB) dan Pengawasan Penggunaan Bangunan yang
meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat-syarat keselamatan bagi yang
menempati bangunan tersebut.
Keputusan ini terdiri dari XXII Bab dan 34 Pasal yang mengatur tentang
mengatur tentang Ketentuan umum, Perizinan, Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan
Bangunan, Objek dan Subjek Retribusi, Golongan Retribusi, Cara Mengukur Tingkat
Penggunaan Jasa, Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif,
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi, Cara Penghitungan Retribusi, Wilayah
Tatacara Penagihan, Pengembalian Kelebihan Pembayaran, Keberatan, Pengurangan,
Keringanan dan Pembebasan Retribusi, Kadaluarsa Penagihan, Penyidikan,
Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.
9. Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Binjai
Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan ini
juga didukung dengan adanya Ketetapan Tarif Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dalam Kota Binjai Nomor 503.648-611 Tanggal 20 Maret
2000.
10.Keputusan Walikota Binjai Nomor 620-252/SK/2000 Tentang Penetapan
Kelas Jalan, Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan
(GSB) untuk izin Mendirikan Bangunan dalam Kota Binjai.
Keputusan ini diterbitkan bertujuan untuk kelancaran pelaksanaan dalam
menentukan Retribusi terutang terhadap suatu bangunan perlu ditetapkan Kelas Jalan
Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) dalam kota
Binjai.
Keputusan ini menetapkan tentang kelas jalan, Daerah Milik Jalan
(DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) untuk izin mendirikan bangunan
dalam kota Binjai. Keputusan ini terdiri dari 3 Pasal yang mengatur ketetapan
keputusan ini.
11.Keputusan Walikota Binjai Nomor 020-251/SK/2000 Tentang Penetapan