HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
TRUST PADA INDIVIDU YANG MENJALANI PACARAN
JARAK JAUH
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
MARGARET KHOMAN
051301058
FAKULTAS PSIKOLOGI
Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Trust Pada Individu Yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh
Margaret Khoman dan Ridhoi Meilona
ABSTRAK
Pada tahun belakangan ini, pacaran jarak jauh mengalami peningkatan. Banyak peneliti berkesimpulan bahwa pacaran jarak jauh mempunyai probabilitas kegagalan yang cukup besar dibandingkan dengan pacaran jarak dekat karena pacaran jarak jauh penuh dengan ketidakpastian (Reisman, dalam Beebe, Beebe & Redmond, 2004). Salah satu strategi dalam mengurangi ketidakpastian adalah trust (Dainton & Aylor, 2001). Individu yang memiliki kecerdasan emosi cenderung dipercayai orang lain. Selain itu, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik memiliki kepercayaan diri yang kuat dan senantiasa memancarkan kepercayaan kepada orang disekitarnya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 120 orang yang menjalani pacaran jarak jauh. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala kecerdasan emosi dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori kecerdasan emosi dari Bar-On (2000) dan teori trust dari Johnson & Johnson (1997). Skala kecerdasan emosi memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.854 dan nilai reliabilitas skala trust (rxx)=0.891.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.335 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
The Correlation Between Emotional Intelligence And Trust In Long-Distance Relationships
Margaret Khoman and Ridhoi Meilona
ABSTRACT
In recent years long-distance relationships have become increasingly prevalent. Researchers assumed that long-distance relationships has higher probability to fail than proximal relationships that individuals in long-distance relationships experience greater relational uncertainty due to physical distance.(Reisman, dalam Beebe, Beebe & Redmond, 2004). Trust should be considered an important uncertainty strategy for those in long-distance relationship (Dainton & Aylor, 2001). Indivuals, who have emotional intelligence, are more trustwrothy. Beside that, those have high self-confidence dan always trust other.
This research is a correlation research that aims to know the correlation between emotional intelligence and trust at individuals in long-distance relationships.
The samples taken in this research are individuals in long-distance relationships. The total of sample is 120. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of emotional intelligence scale and trust scale. The researcher created the scales based on emotional intelligence theory from Bar-On (2000) and trust theory from Jhonson & Jhonson (1997). Emotional intelligence scale has reliability (rxx)=0.854
and reliabilility of trust (rxx)=0.891.
The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.335 with p<0.05 (p=0.000) so that researcher conclude that there is significant correlation between emotional intelligence and trust at individuals in long-distance relationships.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perbedaan Depresi Ditinjau dari Kategori Bullying dan Jenis Kelamin pada
Remaja Awal” ini. Skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini merupakan
pengalaman pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam
skripsi ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara penulisannya,
yang masih banyak terdapat kesalahan.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak. Bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Kedua orang tua dan saudara-saudara penulis yang senantiasa mendoakan
dan memberikan motivasi kepada penulis. Terima kasih atas segala kasih
sayang, cinta dan dukungan yang telah diberikan. Semua ini penulis
lakukan hanya untuk membahagiakan keduanya dan keluarga.
3. Ibu Ridhoi Meilona, M.Si selaku dosen pembimbing penulis. Terima
kasih banyak atas arahan dan bimbingan yang Ibu berikan..Terima kasih
kepada Ibu yang telah banyak bersabar dan membantu penulis dalam
4. Ibu Rika Eliana, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik
penulis. Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya.
Kepada Ibu Etty Rachmawati, M.Si, K’ Lisa, Bu Desvi Yanti Mukhtar,
M.Psi yang telah memberikan arahan kepada penulis dan membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen pengajar di Fakultas Psikologi, terima kasih atas
ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis.Tanpa kalian semua penulis
bukanlah apa-apa. Terima kasih kepada kak Ade, kak Ari, kak Devi, Pak
Aswan, Pak Iskandar yang telah membantu penulis.
6. Kepada sahabat-sahabatku Vera, yang rela membagi ilmunya; beibeh,
panda, cia2, juju, mayang, anggota PCI: Marie (teman berkubang di
psikolib), elsa (makasi buat ilmu-ilmunya), nova (makasi atas
”halusinasinya”), dll yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima
Kasih sebanyak-banyaknya.
7. Kepada teman-teman yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk
mengisi dan menyebarkan angket terutama kepada Said (thanks a lot y!)
Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan
membalas segala kebaikan saudara semua. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi rekan-rekan semua.
Medan , Juni 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL ... x
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Rumusan Masalah ...9
C. Tujuan Penelitian...10
D. Manfaat Penelitian ...10
E. Sistematika Penulisan ...11
BAB II. LANDASAN TEORI ... 11
A. Trust ... 11
1. Pengertian Trust ... 11
2. Komponen-Komponen Trust ... 12
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Trust ... 14
B. Kecerdasan Emosi... 16
1. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 16
2. Komponen-Komponen Kecerdasan Emosi... 17
1.Pacaran ... 20
a. Pengertian Pacaran ... 20
b. Komponen-Komponen Pacaran ... 21
c. Tipe-Tipe Pacaran ... 22
2.Pacaran Jarak Jauh ... 23
a.Pengertian Pacaran Jarak Jauh ... 23
b.Faktor Penyebab Pacaran Jarak Jauh ... 25
D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Trust Pada Individu yang menjalani Pacaran Jarak Jauh... 26
E. Hipotes Penelitian ... 28
BAB III. METODE PENELITIAN ... 29
A. Identifikasi Variabel Penelitian...29
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...30
1. Kecerdasan Emosi...30
2. Trust ...30
C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel...31
1. Populasi Dan Sampel ... 31
2. Metode Pengambilan Sampel ... 32
D. Instrumen/Alat Ukur Yang Digunakan ...32
1. Skala Kecerdasan Emosi ...33
2. Skala Trust... ...35
1. Uji Validitas ...36
2. Uji Daya Beda Item...37
3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ...37
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...38
1. Hasil Uji Coba Skala Kecerdasan Emosi ...38
2. Hasil Uji Coba Skala Trust ...41
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian...42
1. Persiapan Penelitian ...42
2. Pelaksanaan Penelitian ...43
3. Tahap Pengolahan Data...44
H. Metode Analisa Data...44
1. Uji Normalitas...44
2. Uji Linieritas ...45
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ...46
A. Gambaran Subjek Penelitian ...46
1. Usia Subjek Penelitian ...46
2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...47
3. Status Pekerjaan Subjek Penelitian ...48
4. Beda Kota Tempat Tinggal Subjek Penelitian Dengan Pasangan48 5. Lama Menjalani Pacaran Jarak Jauh Subjek Penelitian...49
7. Intensitas Pertemuan Subjek Pertemuan ...50
B. Hasil Penelitian...51
1. Hasil Utama Penelitian...51
2. Hasil Tambahan Penelitian ...62
a. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Mean Empirik Dan Mean Hipotetik ...53
b. Gambaran Trust Berdasarkan Jenis Kelamin...56
c. Gambaran Trust Berdasarkan Beda Kota Tempat Tinggal Dengan Pasangan ...57
d. Gambaran Trust Berdasarkan Lama Menjalani Pacaran Jarak Jauh ...58
e. Gambaran Trust Berdasarkan Ada atau Tidaknya Menjalani Pacaran Jarak Dekat Sebelumnya ...59
f. Gambaran Trust Berdasarkan Intensitas Pertemuan ...60
g. Analisa Regresi Ke-15 Aspek Kecerdasan Emosi Dengan Trust ...61
C. Pembahasan ...65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...72
A. Kesimpulan ...72
B. Saran ...74
1. Saran Metodologis ...74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Distribusi Aitem-aitem Skala Kecerdasan Emosi... 33
Tabel 2 : Distribusi Aitem-aitem Skala Trust ... 35
Tabel 3 : Distribusi Aitem skala Kecerdasan emosi setelah uji coba... 39
Tabel 4 : Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian ... 40
Tabel 5 : Distribusi item skala trust setelah uji coba...41
Tabel 6 : Distribusi item skala trust untuk penelitian ...42
Tabel 7 : Penyebaran subjek berdasarkan usia ...46
Tabel 8 : Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin 47
Tabel 9 : Penyebaran subjek berdasarkan status pekerjaan 48
Tabel 10 : Penyebaran subjek berdasarkan beda kota tempat tinggal subjek penelitian dengan pasangan 48
Tabel 11 : Penyebaran subjek berdasarkan lama menjalani pacaran jarak jauh 49 Tabel 12 : Penyebaran subjek berdasarkan ada atau tidaknya menjalani pacaran jarak dekat sebelumnya 50 Tabel 13 : Penyebaran subjek berdasarkan intensitas pertemuan 50
Tabel 15 : Tabel ANOVA...52
Tabel 16 : Deskripsi data penelitian ...53
Tabel 17 : Kategorisasi data pada variabel kecerdasan emosi...55
Tabel 18 : Norma kategorisasi trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh ...56
Tabel 19 : Kategorisasi data pada variabel Trust ... . . ... ... 56
Tabel 20 : Deskripsi Skor Trust Berdasarkan jenis kelamin ... .. 57
Tabel 21 : Analisa varians Trust berdasarkan jenis kelamin ... ...57
Tabel 22 : Deskripsi Skor Trust Berdasarkan beda kota ... .. 57
Tabel 23 : Analisa varians Trust berdasarkan beda kota ... ...58
Tabel 24 : Deskripsi Skor Trust lama menjalani pacaran jarak jauh 58 Tabel 25 : Analisa varians Trust lama menjalani pacaran jarak jauh ... .59
Tabel 26 : Deskripsi Skor Trust Berdasarkan ada atau tidaknya menjalani pacaran jarak dekat sebelumnya ... .. 59
Tabel 27 : Analisa varians Trust berdasarkan ada atau tidaknya menjalani pacaran jarak dekat sebelumnya... ... ..60
Tabel 28 : Deskripsi Skor Trust Berdasarkan intensitas pertemuan .. 60
Tabel 29 : Analisa varians Trust berdasarkan intensitas pertemuan ... .. 61
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Gambaran Subjek Penelitian
Lampiran B : Reliabilitas
Lampiran C : Skala Penelitian
Lampiran D : Data Hasil Penelitian
Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Trust Pada Individu Yang Menjalani Pacaran Jarak Jauh
Margaret Khoman dan Ridhoi Meilona
ABSTRAK
Pada tahun belakangan ini, pacaran jarak jauh mengalami peningkatan. Banyak peneliti berkesimpulan bahwa pacaran jarak jauh mempunyai probabilitas kegagalan yang cukup besar dibandingkan dengan pacaran jarak dekat karena pacaran jarak jauh penuh dengan ketidakpastian (Reisman, dalam Beebe, Beebe & Redmond, 2004). Salah satu strategi dalam mengurangi ketidakpastian adalah trust (Dainton & Aylor, 2001). Individu yang memiliki kecerdasan emosi cenderung dipercayai orang lain. Selain itu, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik memiliki kepercayaan diri yang kuat dan senantiasa memancarkan kepercayaan kepada orang disekitarnya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 120 orang yang menjalani pacaran jarak jauh. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala kecerdasan emosi dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori kecerdasan emosi dari Bar-On (2000) dan teori trust dari Johnson & Johnson (1997). Skala kecerdasan emosi memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.854 dan nilai reliabilitas skala trust (rxx)=0.891.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.335 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
The Correlation Between Emotional Intelligence And Trust In Long-Distance Relationships
Margaret Khoman and Ridhoi Meilona
ABSTRACT
In recent years long-distance relationships have become increasingly prevalent. Researchers assumed that long-distance relationships has higher probability to fail than proximal relationships that individuals in long-distance relationships experience greater relational uncertainty due to physical distance.(Reisman, dalam Beebe, Beebe & Redmond, 2004). Trust should be considered an important uncertainty strategy for those in long-distance relationship (Dainton & Aylor, 2001). Indivuals, who have emotional intelligence, are more trustwrothy. Beside that, those have high self-confidence dan always trust other.
This research is a correlation research that aims to know the correlation between emotional intelligence and trust at individuals in long-distance relationships.
The samples taken in this research are individuals in long-distance relationships. The total of sample is 120. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of emotional intelligence scale and trust scale. The researcher created the scales based on emotional intelligence theory from Bar-On (2000) and trust theory from Jhonson & Jhonson (1997). Emotional intelligence scale has reliability (rxx)=0.854
and reliabilility of trust (rxx)=0.891.
The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.335 with p<0.05 (p=0.000) so that researcher conclude that there is significant correlation between emotional intelligence and trust at individuals in long-distance relationships.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Cinta (love) merupakan salah satu tema yang paling umum dalam lagu-lagu,
film, dan kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang menerima cinta sebagai
pengalaman manusia yang paling umum. Menurut Sternberg (dalam Tambunan,
2001), cinta adalah sebuah kisah yang ditulis oleh setiap orang; merefleksikan
kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Kisah ini
biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah
hubungan.
Banyak cara untuk mengungkapkan cinta, bisa dengan kata-kata dan tindakan.
Mengungkapkan cinta adalah cara untuk meraih satu tujuan yaitu arti cinta itu
sendiri. Berawal dari adanya ketertarikan terhadap lawan jenis, rasa cinta
kemudian dilampiaskan dengan cara berpacaran (”Cinta”, 2007). Berpacaran atau
pacaran merupakan suatu proses pemilihan pasangan hidup. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Benokraitis (1996) yang menyatakan bahwa pacaran adalah proses
dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang
bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk
dijadikan pasangan hidup.
Memilih pasangan hidup merupakan salah satu tugas perkembangan masa
17 – 40 tahun dapat digolongkan dalam masa dewasa muda (Levinson dalam
Monks, 2002). Pada masa inilah, individu mencari pasangan hidup dengan
membentuk hubungan romantik atau yang sering disebut dengan pacaran
(Kiessinger, Shulman & Krenke, 2001). Selain itu, pada masa dewasa muda ini,
individu juga mengembangkan karir dan membentuk mimpi mengenai kehidupan
yang diinginkannya (Craig, 1986).
Kondisi mobilitas yang tinggi seperti pada masa sekarang ini menyebabkan
kebanyakan orang berusaha mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih
baik demi kelangsungan hidup. Namun, sebagai dampaknya, hubungan romantik
antar pasangan harus dihadapkan dengan perpisahan fisik secara geografis yang
cukup jauh. Mayntz (2006) menyatakan bahwa pada umumnya, pacaran jarak jauh
terjadi pada pasangan yang telah bersama sebelumnya dan salah seorang dari
mereka harus ditempatkan di tempat lain karena adanya faktor pekerjaan,
sehingga memaksa hubungan mereka terpisahkan oleh jarak. Selain itu, ada juga
hubungan yang mulai dibentuk walau terpisahkan oleh jarak. Pasangan yang
menjalani hubungan ini harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak pernah
bertemu secara fisik. Jenis hubungan ini bisa dimulai melalui berbagai cara
misalnya melalui situs-situs perjodohan, personal ads., sahabat pena ataupun
melalui ruang chatting.
Pacaran jarak jauh atau yang sering disebut dengan “long distance
relationship”, merupakan pacaran dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik
yang tidak memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu
waktu tertentu sebagai salah satu faktor yang menbedakan pacaran jarak dekat
dengan pacaran jarak jauh. Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan
faktor waktu dan jarak untuk mengkategorisasikan pasangan yang menjalani
pacaran jarak jauh. Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian
yang menjalani pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0,
kurang dari 6 bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali
seminggu, seminggu hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori
jarak (0-1 mil, 2-294 mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone
(dalam Kidenda, 2002) ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat
dikategorisasikan berdasarkan ketiga faktor tersebut.
Pacaran jarak jauh selain berkaitan dengan trend sosial, seperti dalam
peningkatan tenaga kerja wanita (Johnston & Packer dalam Kaufman, 2000), juga
berkaitan dengan faktor pendidikan (Hampton, 2004). Penelitian yang dilakukan
oleh Stafford, Daly, dan Reske (dalam Kaufmann, 2000) menunjukkan bahwa
kira-kira sepertiga dari hubungan sebelum menikah yang dijalani mahasiswa
merupakan pacaran jarak jauh. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Dellmann-Jenkins, Bernard-Paolucci, & Rushing (dalam Dainton & Aylor, 2001) bahwa
25% - 40% hubungan yang dijalani oleh mahasiswa merupakan pacaran jarak
jauh.
Salah satu artikel mengenai pacaran jarak jauh yang berjudul How to Make a
Long-Distance Relationship Work menyebutkan bahwa hambatan paling besar
yang bertentangan dengan hubungan sehat adalah masalah jarak. Berpisah secara
di negara lain. Pada kenyataannya, semakin jauh jarak yang memisahkan
pasangan, semakin besar hambatan dan tantangan yang dihadapi pasangan yang
menjalani pacaran jarak jauh, khususnya mempersulit pasangan untuk dapat
bertemu. Intensitas pertemuan yang minim akan menimbulkan kesulitan dalam
hubungan tersebut (Rindfuss & Stephen dalam Stafford & Reske, 1990).
Berdasarkan hambatan-hambatan dalam pacaran jarak jauh, banyak peneliti
yang kemudian berkesimpulan bahwa pacaran jarak jauh mempunyai probabilitas
kegagalan yang cukup besar dibandingkan dengan pacaran jarak dekat (proximal
relationship) (Reisman, 1993 dalam Beebe, Beebe, & Redmond, 2004). Hal ini
disebabkan karena pacaran jarak jauh penuh dengan keraguan dan ketidakpastian
(Lydon, Pierce, & O’Regan, 1997 dalam Stafford, 2006).
Ketidakpastian hubungan lebih mungkin terjadi dalam pacaran jarak jauh
karena jarak fisik merupakan sumber utama dalam ketidakpastian hubungan
(Dainton & Aylon, 2001). Planalp & Honeycutt (dalam Dainton & Aylon, 2001)
menyatakan bahwa peningkatan dalam ketidakpastian hubungan berhubungan
dengan penurunan trust. Oleh sebab itu, individu yang menjalani pacaran jarak
jauh mengalami ketidakpastian hubungan yang tinggi, maka mereka akan
memiliki trust yang rendah dibandingkan dengan individu yang menjalani pacaran
jarak dekat (dalam Dainton & Aylon, 2001).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Dainton & Aylon (2001)
ditemukan bahwa trust menjadi salah satu strategi dalam mengurangi
ketidakpastian bagi individu yang sedang membangun hubungan dan menjadi hal
(2007) dalam bukunya “Loving Your Long Distance Relationship” juga
menyatakan bahwa jarak tidak dapat, dan tidak akan melukai ikatan antara dua
orang yang didasarkan atas cinta, komitmen, saling menghargai, dan kepercayaan
(trust). Adapun Westefeld & Liddell (1982) juga menyatakan bahwa trust
merupakan elemen yang penting dalam mempertahankan hubungan, khususnya
yang terlibat dalam pacaran jarak jauh (dalam Dainton dan Aylon, 2001). Sejalan
dengan itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kauffman (2000) juga ditemukan
bahwa trust merupakan syarat dalam keberhasilan pacaran jarak jauh, dimana
banyak responden yang meyakini trust sebagai kekuatan hubungan mereka.
Hal ini seperti yang terungkap dalam salah satu forum diskusi di salah satu
website internet yang membahas mengenai long-distance relationships:
“Saya pernah mengalami masa-masa pacaran long distance selama 4 tahun. Mungkin saya bisa sharing apa yang membuat saya dan pasangan berhasil dan menikah). Kunci keberhasilan saya selama long distance date ini cuma ada dua yaitu percaya dan terbuka. Kalau salah satu kunci ini sudah dilanggar berarti saya mulai mempertanyakan keseriusan hubungan kita. Kita harus percaya bahwa dia disana enggak main dibelakang kita. Dan untuk bisa tetap percaya kita mesti terbuka! Sekali lagi percaya & terbuka!. Dan prinsip ini bukan hanya berlaku buat kita seorang, tapi juga buat pasangan kita. Sejauh pasangan kita masih terbuka ama kita, nothing to worry!”
(Curhat Room Indo Mp3z-01-08-2008)
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa trust
merupakan kunci mempertahankan hubungan dalam menjalani pacaran jarak jauh.
Trust dalam suatu hubungan percintaan merupakan hal yang perlu ada, bahkan
dalam suatu hubungan tidak adanya trust akan mengantarkan ke suasana yang
sangat negatif seperti saling curiga, saling tertutup, saling menipu dan
jauh, seringkali timbul kecurigaan dan kecemburuan karena tidak bisa selalu
mengawasi pasangan. Oleh karena itu, kepercayaan kepada pasangan sangat
dibutuhkan agar individu tidak selalu disesaki oleh rasa curiga yang berlebihan
(Oktady dalam “Tips”, 2008).
Menurut Lewicki & Wiethoff (2000), trust dipengaruhi oleh orientasi
psikologis. Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa
individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial mereka berdasarkan
orientasi psikologisnya. Begitupula ketika individu sedang membangun hubungan
percintaan dengan pasangannya. Cinta, sebentuk emosi yang yang mengandung
ketertarikan, hasrat seksual, dan perhatian pada seseorang, membuat seseorang
ingin memiliki hubungan khusus dengan orang lain melalui keterlibatan
emosional yang mendalam dengan pasangannya. (Mendatu, 2009). Dalam
membangun suatu hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang
lain berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi (Jones & George dalam
Hoy & Moran, 2000). Oleh karena itu, individu perlu untuk memproses informasi
yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosinya dengan kecerdasan dalam
menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004).
Menurut Levinson (1995) menyatakan bahwa untuk dapat dipercayai oleh
pasangan maka individu harus berusaha menunjukkannya dalam kata dan
perbuatannya. Kedua belah pihak harus menjaga agar apa yang dilakukan maupun
dikatakan menimbulkan kepercayaan bagi pasangannya. Jadi kepercayaan ini
tidak berarti karena pasangan saling cinta, mereka harus saling percaya tanpa mau
cinta menuntut masing-masing pihak dalam hal kata dan perbuatannya dapat
dipercaya (Ahmadi, 1999).
Individu yang secara verbal mampu mengajukan permintaan-permintaan
dengan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk
menolak pengaruh-pengaruh negatif, mampu mendengarkan orang lain, dan
secara non verbal mampu menunjukkan ekspresi wajah, sikap tubuh dan
pandangan mata); mampu mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan
serta terampil dalam berperilaku; mampu mengidentifikasikan dan mendefinisikan
perasaan yang muncul;mampu mengungkapkan perasaan; mampu menilai
intensitas (kadar) perasaan; mampu mengelola perasaan dan mampu
mengendalikan diri sendiri, serta mampu mengurangi stres merupakan individu
yang berkembang kecerdasan emosinya dengan baik dan terampil dalam
mengelola emosinya (Hidayati & Masyum, 2005).
Menurut Hidayati dan Masyum (2005), kecerdasan emosi penting dan perlu
dalam pacaran. Individu tidak hanya dituntut untuk mengenali emosinya sendiri,
tetapi juga emosi pasangannya. Selain itu, yang paling penting adalah bagaimana
individu bisa mengungkapkan dan mengendalikan emosi dengan baik. Sarbirin
(2002) menyatakan bahwa hubungan dengan pasangan akan terjalin dengan baik
apabila ada rasa nyaman, saling pengertian dan keterbukaan sehingga hubungan
tersebut dapat terus dipertahankan.
Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani
B. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan antara
kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang akan
digunakan untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada
individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan antara
kecerdasan emosi dan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan yang akan memperkaya
ilmu pengetahuan psikologi, khususnya psikologi sosial, terutama yang berkaitan
dengan tema trust dan pacaran jarak jauh serta diharapkan dapat memberikan
informasi bagi peneliti-peneliti lain yang berkeinginan untuk meneliti tentang
pacaran jarak jauh.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pasangan yang
dalam menjalani dan mempertahankan hubungan pacaran, khususnya pacaran
jarak jauh.
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Sistematika Penelitian dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat dari penelitian.
Dalam penelitian ini manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan
manfaat praktis. Selain itu pula terdapat sistematika penulisan pada akhir
Bab I.
Bab II Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang
berhubungan dengan kecerdasan emosi yang mencakup definisi dan
komponen-komponen kecerdasan emosi. Selain itu, juga akan dipaparkan
teori trust yang mencakup definisi, komponen-komponen trust,
faktor-faktor yang mempengaruhi trust. Selain itu akan dibahas mengenai
definisi pacaran dan pacaran jarak jauh.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi
ukur yang digunakan, uji validitas, uji daya beda dan uji reliabilitas;
prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan gambaran
subjek penelitian dan pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang
diungkapkan berdasarkan hasil penelitian. Diskusi membahas mengenai
kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang diperoleh
dengan teori yang ada dan saran penelitian yang meliputi saran praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TRUST
1. Pengertian Trust
Dalam buku intimate relationship (Miller, Perlman & Brehm, 2007), trust
didefinisikan sebagai pengharapan bahwa pasangan akan memperlakukan dengan
baik dan secara terhormat (Holmes dalam Miller, Perlman & Brehm, 2007).
Giffin (dalam Rakhmat, 1992) mendefinisikan trust sebagai mengandalkan
perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya
tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko.
Holmes & Rempel (dalam Hendrik & Hendrik,1992) menyatakan bahwa trust
adalah kepercayaan bahwa pasangan tidak hanya akan responsif tetapi akan
berkali-kali mengurangi atau bahkan mengorbankan minatnya untuk membantu
pasangannya.
Menurut Johnson & Johnson (1997), trust merupakan aspek dalam suatu
hubungan dan secara terus menerus berubah serta bervariasi yang dibangun
melalui rangkaian tindakan trusting dan trustworthy. Trusting adalah kemauan
untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk, sedangkan
trustworthy adalah perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan
orang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapat di ambil suatu definisi bahwa trust
mengambil resiko terhadap akibat baik atau buruk dan menerima kepercayaan dari
pasangan.
2. Komponen – Komponen Trust
Menurut Johnson & Johnson (1997), komponen trust meliputi trusting dan
trustworthy. Trusting mencakup openness dan sharing, dan trustworthy mencakup
acceptance, support serta cooperative intentions.
a. Trusting
Komponen – komponen trusting:
1) Keterbukaan (openness): membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan,
dan reaksi terhadap isu-isu yang terjadi.
2) Berbagi (sharing): menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada
orang lain dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas.
Tingkah laku trusting adalah:
1) Kemauan untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk.
2) Perilaku yang melibatkan keterbukaan diri dan kemauan untuk diterima dan
didukung secara terbuka oleh orang lain.
b. Trustworthy
Komponen – komponen trustworthy:
1) Penerimaan (acceptance): melakukan komunikasi dengan orang lain dan
2) Dukungan (support): hubungan dengan orang lain yang diketahui
kemampuannya dan percaya bahwa mereka memiliki kapabilitas yang
dibutuhkan
3) Niat untuk bekerjasama (cooperative Intentions): harapan bahwa orang lain
dapat di ajak bekerja sama untuk mencapai pemenuhan tujuan.
Tingkah laku trustworthy adalah:
1) Kemauan untuk merespon terhadap resiko yang telah diambil orang lain yang
menyakinkan bahwa orang tersebut akan menerima akibat yang baik.
2) Perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain.
Menurut Johnson & Johnson (1997), penerimaan (acceptance) mungkin
merupakan perhatian yang pertama dan paling dalam yang muncul dalam sebuah
hubungan. Penerimaan terhadap orang lain biasanya disertai penerimaan terhadap
diri sendiri. Individu harus dapat menerima diri mereka sendiri sebelum mereka
dapat sepenuhnya menerima orang lain. Penerimaan merupakan kunci untuk
mengurangi kecemasan dan ketakutan ketika mendapat kritik. Jika seseorang
merasa tidak diterima, maka frekuensi dan partisipasinya berhubungan dengan
orang lain akan berkurang. Untuk membangun trust dan memperdalam hubungan
dengan orang lain, setiap individu harus bisa untuk mengkomunikasikan
acceptance, support dan cooperativeness.
Kunci untuk membangun dan mempertahankan trust adalah menjadi
trustworthy. Semakin acceptance dan supportive seseorang terhadap orang lain,
kesimpulan-kesimpulan, perasaan dan reaksinya. Semakin trustworthy individu
dalam merespon keterbukaan orang lain, maka semakin dalam dan personal
pemikiran yang akan dibagikan orang lain. Jika seseorang ingin meningkatkan
trust, maka trustworthiness harus ditingkatkan.
Keterampilan utama yang penting dalam mengkomunikasikan acceptance,
support dan cooperativeness melibatkan pengekspresian kehangatan, pengertian
yang akurat, dan keinginan untuk bekerjasama. Ada bukti-bukti yang menyatakan
bahwa ekspresi semacam itu dapat meningkatkan trust dalam suatu hubungan,
bahkan ketika ada konflik yang tidak terselesaikan antara individu yang terlibat
(Johnson & Johnson, 1997).
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Trust
Individu mengembangkan harapannya mengenai tingkat bagaimana seseorang
dapat trust kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini
(Lewicki & Wiethoff, 2000):
a. Predisposisi Kepribadian (Personality Predisposition)
Penelitian menunjukkan bahwa individu berbeda di dalam predisposisi mereka
untuk percaya kepada orang lain (Rotter dalam Lewicki & Wiethoff, 2000).
Semakin tinggi tingkat individu dalam predisposisi untuk trust, semakin besar
harapan untuk dipercaya oleh orang lain.
b. Reputasi dan Stereotip (Reputation and Stereotype)
Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain,
dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan
yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk trust dan distrust
serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.
c. Pengalaman Aktual (Actual Experience)
Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk
berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut
sangat kuat di dalam trust, dan sebagian mungkin kuat pada distrust. Sepanjang
berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust memulai untuk
mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan
sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk
mengenelarisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau
rendahnya trust atau distrust.
d. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation)
Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000) menyatakan bahwa individu
membangun dan mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi
psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan
sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan
mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Hubungan dengan orang lain
menentukan emosi seseorang. Jika individu tidak menjaga hubungannya dengan
orang lain dengan emosi yang baik, maka emosi tersebut dapat mendorong
individu untuk melakukan tindakan yang akan mencelakakan hubungan yang
Menurut Jones & George (dalam Hoy & Moran, 2000), dalam membangun
suatu hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain
berdasarkan informasi yang disediakan oleh emosi dimana emosi sangat
berhubungan erat dengan kejadian atau lingkungan khusus yang menghalangi
proses kognitif dan perilaku seseorang. Individu yang tidak bisa menangani
emosinya dengan baik akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain (Ciarrchi, Chan, Caputi, & Roberts, 2001).
Oleh sebab itu, diperlukan keterampilan emosi dalam berhubungan dengan
orang lain (Keltner & Heidt, dalam Lopes, Bracket, Nezlek, dkk, 2004). Emosi
positif berhubungan dengan kemampuan bergaul. Sedangkan emosi negatif
menyebabkan orang saling berjauhan. Jadi, individu perlu untuk memproses
informasi yang disediakan oleh emosi dan mengatur emosi dengan kecerdasan
dalam menjalani dunia sosial (Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004).
B. KECERDASAN EMOSI
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life
with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Salovey dan Mayer (dalam Clark & Fletcher, 2003) mendefinisikan
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain,
membedakannya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan.
Berbeda dengan pengertian yang dikemukakan Salovey dan Mayer yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosi berdasarkan kemampuan seseorang ,
Bar-On (dalam Schulze & Roberts, 2005) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengenal,
menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif sehingga sesuai
dengan tuntutan dan tekanan lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini menggunakan definisi
kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Schulze & Roberts,
2005) yaitu suatu interrelasi dari kemampuan yang memungkinkan individu untuk
mengenal, menggunakan dan mengatur emosi dengan tepat dan produktif
sehingga sesuai dengan tuntutan dan tekanan lingkungan.
2. Komponen – Komponen Kecerdasan Emosi
Definisi dan konseptual kecerdasan emosi mencakup satu atau beberapa
komponen di bawah ini (Bar-On dalam Stein & Book, 2000):
a. Kemampuan intrapersonal (Intrapersonal Skill)
Kemampuan intrapersonal yaitu kemampuan mengenali, memahami dan
1) Kesadaran diri emosional (Emotional self awareness): Kemampuan untuk
mengenali dan membedakan perasaan yang dirasakan, mengetahui apa
yang sedang dirasakan dan mengapa merasakan hal tersebut.
2) Asertivitas (Assertiveness): Kemampuan mengekspresikan perasaan
(misalnya menerima dan mengekspresikan kemarahan dan kehangatan),
kemampuan mengekspresikan keyakinan dan pemikiran secara terbuka
(misalnya mampu menyuarakan pendapat, ketidaksetujuan) dan berani
membela hak pribadi (tidak membiarkan orang lain menganggu atau
mendapat keuntungan dari indiviu)
3) Kemandirian (Independence): Kemampuan untuk memimpin dan
mengendalikan diri dalam berpikir dan berperilaku serta bebas dari
ketergantungan emosi,
4) Menghargai diri (Self-regard): Kemampuan untuk menghormati dan
menerima diri sendiri,
5) Aktualisasi diri (Self-Actualization): Kemampuan menyadari kapasitas
potensial yang dimiliki.
b. Kemampuan interpersonal (Interpersonal Skill)
Kemampuan interpersonal yaitu kemampuan untuk memahami bagaimana
yang dirasakan oleh orang lain dan berhubungan dengan mereka, diantaranya:
1) Empati (Emphaty): Kemampuan mengetahui, memahami dan menyadari
perasaan dan pikiran orang lain, bagaimana dan mengapa orang lain
2) Tanggung jawab sosial (Social Responsibility): Kemampuan menunjukkan
sebagai anggota yang kooperatif, memberikan kontribusi, dan konstruktif
3) Hubungan interpersonal (Interpersonal relationship): Kemampuan
membangun dan mempertahankan kepuasan hubungan yang
dikarakteristikkan dengan adanya kedekatan dan memberi dan menerima
kasih sayang.
c. Penyesuaian diri (Adaptability)
Penyesuaian diri yaitu kemampuan untuk mengatur perubahan, beradaptasi
dan memecahkan masalah personal dan interpersonal, diantaranya:
1) Pemecahan Masalah (Problem Solving): Kemampuan mengenali dan
menjelaskan masalah serta membuat dan melaksanakan solusi yang efektif
2) Uji realitas (Reality testing): Kemampuan untuk menilai hubungan antara
apa yang dialami dengan apa yang ada secara objektif
3) Fleksibilitas (Flexibility): Kemampuan untuk menyesuaikan emosi, pikiran
dan perilaku terhadap perubahan situasi dan kondisi.
d. Penanganan stres (Stress Management)
Penanganan stres yaitu kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan
emosi, diantaranya:
1) Ketahanan menanggung stres (Stress Tolerance): Kemampuan untuk
melawan kejadian yang buruk dan situasi stres secara aktif dan pasif
mengatasi stres
2) Pengendalian impuls (Impulse Control): Kemampuan untuk menahan atau
e. Suasana hati (General Mood)
Suasana hati yaitu kemampuan untuk menghasilkan perasaan positif dan
memotivasi diri, diantaranya:
1) Kebahagiaan (Happiness): Kemampuan untuk merasa puas dengan
kehidupan diri sendiri, mengembirakan diri sendiri dan orang lain, dan
bersenang-senang
2) Optimisme (Optimism): Kemampuan untuk melihat sisi yang lebih baik
dari kehidupan dan mempertahankan sikap positif bahkan dalam
menghadapi kesulitan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil subkomponen dari
komponen-komponen utama dari kecerdasan emosi sebagai faktor untuk
mengembangkan instrumen kecerdasan emosi.
C. PACARAN DAN PACARAN JARAK JAUH
1. Pacaran
a. Pengertian Pacaran
Pacaran adalah aktivitas sosial yang membolehkan dua orang yang berbeda
jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangan yang tidak
ada hubungan keluarga (Dacey & Kenny, 1997). Salah satu karakteristik dari
pacaran yaitu kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy).
Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai perilaku seksual seperti
berpegangan tangan, berciuman dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya
Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana
seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan
untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan
pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu
peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara
dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan
berlainan jenis).
Jadi, pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan orang lain yang
tidak ada hubungan keluarga untuk menjajaki kemungkinan untuk dijadikan
pasangan hidup yang meliputi aktivitas bersama.
b. Komponen – Komponen Pacaran
Menurut Karsner (2001), ada empat komponen penting dalam menjalin
hubungan pacaran. Kehadiran komponen-komponen tesebut dalam hubungan
akan mempengaruhi kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani.
Adapun komponen-komponen pacaran tersebut, antara lain:
1) Saling Percaya (Trust each other)
Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah suatu hubungan
akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan ini meliputi
pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang dilakukan oleh
pasangannya.
Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik
(Johnson dalam Supraktik, 1995). Feldman (1996) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi tentang
dirinya terhadap orang lain.
3) Keintiman (Keep the romance alive)
Keintiman merupakan perasaan dekat terhadap pasangan (Stenberg dalam
Shumway, 2004). Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja.
Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan
juga merupakan bagian dari keintiman. Dalam pacaran jarak jauh juga tetap
memiliki keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional melalui
kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui sms (short messaging
service), surat atau email (electronic mail).
4) Meningkatkan komitmen (Increase Commitment)
Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1988) komitmen lebih merupakan tahapan
dimana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus
bersamanya hingga hubungannya berakhir. Individu yang sedang pacaran,
tidak dapat melakukan hubungan spesial dengan pria atau wanita lain selama
ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang.
c. Tipe – Tipe Pacaran
Berdasarkan jarak, Hampton (2004) membagi pacaran (romantic relationship)
menjadi dua tipe yaitu:
Proximal Relationship dikenal dengan pacaran jarak dekat dimana pasangan
tidak dipisahkan oleh jarak fisik yang berarti oleh karena itu kedekatan fisik
dimungkinkan (Hampton, 2004). Persepsi hubungan jarak jauh atau dekat
tergantung dengan persepsi subjek (Dellman-Jenkins dkk, 1994 dalam Skinner
2005), namun ada beberapa literatur yang membuat standar jarak dekat seperti
kurang dari 60 mil (Shumway, 2004) atau 200 mil (Knox, Zusman, Daniels, &
Brantley, 2002).
2) Pacaran Jarak Jauh (Long-Distance Relationship)
Long-Distance Relationship adalah pacaran yang sering disebut pacaran jarak
jauh dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak memungkinkan
adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu (Hampton, 2004).
Beberapa penelitian menggunakan batas jarak jauh sekitar 60 mil (Shumway,
2004) sampai 200 mil (Knox, Zusman, Daniels, & Brantley, 2002), namun ada
pula beberapa penelitian yang menggunakan batas jarak jauh tergantung dari
persepsi subjek akan hubungan jarak jauh yang dialaminya (Dellman-Jenkins
dalam Skinner 2005).
2. Pacaran Jarak Jauh
a. Pengertian Pacaran Jarak Jauh
Dalam jurnal Perceptions of College Students in Long Distance Relationships
(Skinner, 2005) disebutkan bahwa pengertian pacaran jarak jauh berbeda-beda
berdasarkan penelitian yang dilakukan. Mayoritas penelitian menggunakan
Contohnya, Schwebel dkk. (1992) menggunakan 50 mil atau lebih dalam
penelitiannya, sedangkan Lydon, Pierce, and O’Regan (1997) dan Knox dkk.
(2002) menggunakan 200 mil atau lebih untuk mendefinisikan pacaran jarak jauh.
Penelitian lainnya menggunakan definisi berdasarkan persepsi partisipan terhadap
hubungan tersebut (Dellman-Jenkins dkk, 1994). Definisi yang berbeda-beda ini
menandakan bahwa banyak faktor yang berperan dalam menentukan apakah suatu
hubungan termasuk hubungan jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis
hubungan jarak jauh (dalam Skinner, 2005).
Penelitian lainnya (Carpenter & Knox, 1986; Stafford & Reske, 1990)
menetapkan jarak minimum untuk pacaran jarak jauh yang berkisar dari 100 mil
hingga 421 mil, Helgeson (dalam Kidenda, 2002) menyatakan bahwa pacaran
jarak jauh harus diluar area tertentu, sedangkan Stephen (dalam Kidenda, 2002)
mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan berada di
negara lainnya.
Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan jarak
untuk mengkategorisasikan pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh.
Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani
pacaran jarak jauh, didapat tiga kategori waktu berpisah (0, kurang dari 6 bulan,
lebih dari 6 bulan), tiga kategori waktu pertemuan (sekali seminggu, seminggu
hingga sebulan, kurang dari satu bulan), dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294
mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002)
ini, ditemukan bahwa pacaran jarak jauh dapat dikategorisasikan berdasarkan
Pada penelitian ini, pacaran jarak jauh didefinisikan sebagai hubungan dimana
pasangan berada di kota lainnya, telah menjalani pacaran jarak jauh minimal 6
bulan dan mengadakan pertemuan maksimal 1 kali per bulan.
b. Faktor Penyebab Pacaran Jarak Jauh
Kaufmann (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab individu
menjalani pacaran jarak jauh diantaranya:
1) Pendidikan
Salah satu faktor penyebab pacaran jarak jauh adalah ketika individu berusaha
untuk mengejar dan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga
hubungan mereka dengan pasangan harus dipisahkan oleh jarak. Stafford,
Daly, & Reske (dalam Kauffman, 2000) menyatakan bahwa sepertiga dari
hubungan pacaran di dalam universitas yang dijalani oleh mahasiswa
merupakan pacaran jarak jauh.
2) Pekerjaan
Pacaran jarak jauh juga berhubungan dengan kecenderungan sosial pada saat
ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja ke
luar negeri (Johnson & Packer dalam Kauffman, 2000) dan juga dengan
adanya kondisi mobilitas kerja pada saat ini sehingga dalam usaha pencapaian
D. HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TRUST
PADA INDIVIDU YANG MENJALANI PACARAN JARAK JAUH
Hubungan pacaran jarak jauh sering dipandang sebagai hubungan yang
mustahil, dimana pasangan yang menjalani hubungan ini kerap mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pasangannya. Menurut Salhstein (2004),
jarak aktual pasangan dapat memepengaruhi berjalannya suatu hubungan.
Keadaan pasangan yang berjauhan dapat menyebabkan ketidakjelasan hubungan
yang dikarenakan minimnya interaksi tatap muka.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dainton & Aylon (2001) ditemukan
bahwa trust merupakan salah satu strategi dalam mengurangi ketidakpastian bagi
individu yang sedang membangun hubungan dan menjadi hal yang penting dalam
mengurangi ketidakpastian hubungan. Westefeld & Liddell (dalam Dainton dan
Aylon, 2001) juga menyatakan bahwa trust merupakan elemen yang penting
dalam mempertahankan hubungan, khususnya yang terlibat dalam pacaran jarak
jauh. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kauffman (2000) ditemukan juga
bahwa trust dipercaya sebagai syarat dalam keberhasilan pacaran jarak jauh
dimana banyak responden meyakini trust sebagai kekuatan hubungan mereka.
Adanya orientasi psikologis mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk
trust (Lewicki & Wiethoff, 2000). Deutsch (dalam Lewicki & Wiethoff, 2000)
menyatakan bahwa individu membangun dan mempertahankan hubungan sosial
berdasarkan orientasi psikologisnya. Agar orientasinya tetap konsisten, maka
individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Hubungan
hubungan, seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain berdasarkan
informasi yang disediakan oleh emosi dimana emosi sangat berhubungan erat
dengan kejadian atau lingkungan khusus yang menghalangi proses kognitif dan
perilaku seseorang (Jones & George, dalam Hoy & Moran, 2000). Individu yang
tidak bisa menangani emosinya dengan baik akan mengalami kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain (Ciarrchi, Chan, Caputi, & Roberts, 2001).
Oleh sebab itu, diperlukan keterampilan emosi dalam berhubungan dengan
orang lain (Keltner & Heidt, dalam Lopes, Bracket, Nezlek, dkk, 2004).
Disamping itu, individu juga perlu untuk memproses informasi yang disediakan
oleh emosi dan mengatur emosi dengan kecerdasan dalam menjalani dunia sosial
(Lopes, Braket, Nezlek, dkk, 2004).
Salah satu tantangan paling sulit dalam hubungan percintaan adalah mengatasi
perbedaan dan selisih pendapat. Stafford & Reske (2006) mengatakan bahwa
pasangan yang menjalani pacaran jarak jauh seringkali memiliki perbedaan
persepsi akibat komukasi yang terbatas, yang pada akhirnya dapat memicu
konflik.
Salah satu cara yang paling mudah untuk menghindari pertengkaran adalah
dengan mengetahui kapan meminta maaf dan tidak menyalahkan pasangan ketika
ia berbuat salah (Ogden Nash dalam Fitness, 2001). Untuk mengetahui kapan,
mengapa dan bagaimana dan kemampuan untuk melatih mengendalikan diri
bahkan di bawah lingkungan penuh cobaan, diperlukan keterampilan emosi
kebutuhan dan perasaan manusia. Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan
inilah yang dinamakan kecerdasan emosi.
Ketika suatu hubungan sedang berjalan dan kehidupan pasangan saling
berkaitan satu sama lain, kemungkinan untuk terjadinya konflik akan meningkat.
Dengan hadirnya konflik ini memberikan kesempatan bagi masing-masing
pasangan untuk menunjukkan perhatian terhadap hubungan dan kesediaan untuk
memperhitungkan kebutuhan pasangan (Levinson, 1995). Jika pasangan
mengalami kesuksesan dalam hal keterbukaan dan pemecahan konflik, bukan
hanya trust menjadi kuat tetapi juga akan menambah bukti terhadap komitmen
pasangan dalam hubungan dan juga kepercayaan yang lebih besar bahwa
hubungan akan berjalan (Levinson, 1995).
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : “Ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah karena
metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian
tersebut dapat dipertanggung-jawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode penelitian
korelasional digunakan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu
faktor yang berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain
berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Dalam hal ini peneliti
ingin melihat bagaimana hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada
individu yang menjalani pacaran jarak jauh.
Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel, definisi operasional
variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur
yang digunakan, uji validitas, uji daya beda dan uji reliabilitas, prosedur
pelaksanaan penelitian serta metode analisis data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel X : Kecerdasan Emosi
B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan individu untuk mengenal,
menggunakan dan mengatur emosi; membina hubungan dengan orang lain;
mengatur perubahan, beradaptasi dan memecahkan masalah personal dan
interpersonal; serta mengatur dan mengendalikan situasi stress; menghasilkan
perasaan positif dan memotivasi diri dengan baik sehingga bisa diterapkan dalam
menghadapi tekanan dan tuntutan lingkungan.
Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecerdasan
emosi yang diperoleh berdasarkan komponen-komponen kecerdasan emosi yang
dikemukan oleh Bar-On (dalam Stein & Book, 2000) yaitu kemampuan
intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian, penanganan stres, dan
suasana hati. Total skor yang diperoleh pada skala kecerdasan emosi
menggambarkan tingkat kecerdasan emosi subjek. Semakin tinggi total skor pada
skala kecerdasan emosi maka semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi subjek.
Sebaliknya, semakin rendah total skor skala kecerdasan emosi maka semakin
rendah kecerdasan emosi subjek.
2. Trust
Trust merupakan kepercayaan individu terhadap pasangannya yang didasarkan
keterbukaan, hal berbagi, penerimaan, dukungan dan niat untuk bekerjasama
Trust diukur dengan menggunakan skala trust yang didasarkan komponen –
komponen trust yang dikemukakan Johnson & Johnson (1997) yaitu openness,
sharing, acceptance, support, dan cooperative intentions. Total skor yang
diperoleh pada skala trust menggambarkan tingkat trust subjek. Semakin tinggi
total skor pada skala trust maka semakin tinggi tingkat trust subjek. Sebaliknya,
semakin rendah total skor skala trust maka semakin rendah trust subjek.
C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi Dan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi
sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang
sama (Hadi, 2000). Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
individu yang menjalani pacaran jarak jauh. Mengingat keterbatasan peneliti
untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian
dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang
dikenal dengan nama sampel. Adapun karakteristik subjek penelitian dalam
penelitian ini adalah:
a) berusia 17 – 40 tahun
b) Individu memiliki pasangan yang berada di kota lainnya.
c) Lama menjalani pacaran jarak jauh minimal 6 bulan
d) Memiliki intensitas pertemuan maksimal 1 kali per bulan
Mengenai jumlah sampel tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal
statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel. Jumlah total
subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 120 orang. Sedangkan untuk uji
coba alat ukur (try out) dilakukan sekaligus terhadap 72 orang subjek penelitian
untuk skala kecerdasan emosi dan skala trust.
2. Metode Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan memakai teknik incidental sampling. Dalam incidental sampling, tidak
semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dapat
dipilih menjadi anggota sampel, hanya individu-individu yang kebetulan dijumpai
atau dapat dijumpai saja yang diteliti (Hadi, 2000). Teknik pengambilan sampel
ini merupakan jenis nonprobability sampling, dimana besarnya peluang anggota
populasi terpilih sebagai sampel tidak diketahui.
D. INSTRUMEN/ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN
Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian
dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2002). Data penelitian ini
diperoleh dengan menggunakan metode skala.
Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur
aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang
Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini
merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi
respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2006).
1. Skala Kecerdasan Emosi
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi adalah skala
kecerdasan emosi yang dirancang sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan
komponen-komponen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam
Stein & Book, 2000).
Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Kecerdasan Emosi
N O
Nomor Aitem Total
Dimensi Kecerdasan Emosi
Favorabel Unfavorabel 1 Kemampuan Intrapersonal:
a.Kesadaran diri emosional
2 Kemampuan Interpersonal: a. Empati
3 Penyesuaian diri: a. Pemecahan masalah
4 Penanganan Stres:
a. Ketahanan menangung stres 18, 48 5, 35
b. Pengendalian impuls 12, 42 27, 52
5 Suasana hati: a. Kebahagiaan b. Optimisme
11, 41 6, 36
26, 57 20, 50
8
Total 30 30 60
Setiap dimensi-dimensi pada tabel 1 akan diuraikan ke dalam sejumlah
pernyataan favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif
pilihan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor
empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor
dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang
unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu, pilihan S mendapatkan skor
dua, pilihan TS akan mendapatkan skor tiga, dan pilihan STS akan mendapatkan
2. Skala Trust
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur trust adalah skala trust yang
dirancang sendiri oleh peneliti dengan mengkombinasikan komponen-komponen
trust yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1997).
Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala trust
N O
Nomor Aitem Total
Dimensi Trust
Favorabel Unfavorabel
1 Keterbukaan 8, 13, 23, 38 2, 17, 27, 33 8
2 Berbagi 7, 18, 29, 36 4, 11, 24, 34 8
3 Penerimaan 1, 10, 15, 25 6, 19, 22, 30 8
4 Dukungan 9, 14, 21, 35 5, 26, 32, 39 8
5 Niat untuk bekerjasama 12, 20, 31, 40 3, 16, 28, 37 8
Total 20 20 40
Setiap dimensi-dimensi pada tabel 2 akan diuraikan ke dalam sejumlah
pernyataan favorabel dan unfavorabel, dimana subjek diberikan empat alternatif
pilihan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Untuk aitem yang favorabel, pilihan SS akan mendapatkan skor
empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan TS akan mendapatkan skor
dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu. Sedangkan untuk aitem yang
unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu, pilihan S mendapatkan skor
dua, pilihan TS akan mendapatkan skor tiga, dan pilihan STS akan mendapatkan
E. UJI VALIDITAS, UJI DAYA BEDA DAN UJI RELIABILITAS ALAT
UKUR
Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat
ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat
ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2006). Uji coba skala
dilakukan dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian. Berdasarkan
daya beda item dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment
yang diperoleh melalui analisa data dengan menggunakan SPSS version 13.0 for
windows. Aitem yang memiliki daya beda cukup tinggi akan dihitung
reliabilitasnya dengan menggunakan reliabilitas koefisien Alpha yang diperoleh
melalui analisis data dengan menggunakan SPSS version 13.0 for windows.
Aitem-aitem dalam skala yang memiliki daya beda cukup tinggi dan reliabel akan
digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi dan trust.
1. Uji Validitas
Azwar (2000) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah
sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya
derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk
mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur
berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content
Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem yang dilihat dari isinya
dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Validitas isi alat ukur
ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses
telaah soal sehingga aitem-aitem yang telah dikembangkan memang mengukur
(representatif bagi) apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2000).
2. Uji Daya Beda Item
Setelah melakukan validitas isi kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji
daya beda item. Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item
mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki
atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur (Azwar, 2000).
Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total yang dapat dilakukan
dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment
(Azwar, 2000). Uji daya beda item ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam
penelitian ini adalah skala kecerdasan emosi dan trust.
3. Uji Reliabilitas Alat Ukur
Pengujian reliabilitas terhadap hasil skala dilakukan bila aitem-aitem yang
terpilih lewat prosedur analisis aitem telah dikompilasi menjadi satu. Reliabilitas
mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung
Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal
(Cronbach’s alpha coeffecient), yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu
kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan
untuk melihat konsistensi antaritem atau antar bagian dalam skala. Teknik ini
dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2000).
Penghitungan koefisien reliabilitas dalam uji coba dilakukan dengan
menggunakan program SPSS version 13.0 for Windows.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
Uji coba skala kecerdasan emosi dan skala trust dilakukan pada 72 orang yang
sedang menjalani pacaran.
1. Hasil Uji Coba Skala Kecerdasan Emosi
Hasil uji coba skala kecerdasan emosi menghasilkan 34 item yang diterima
dari 60 aitem yang diujicobakan. Indeks diskriminasi item rix 0,25 dengan
koefisien reliabilitas rxx = 0,876. Indeks item yang memiliki daya beda tinggi
Tabel 3. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi setelah uji coba
N O
Nomor Aitem Total
Dimensi Kecerdasan Emosi
Favorabel Unfavorabel 1 Kemampuan Intrapersonal:
a.Kesadaran diri emosional
2 Kemampuan Interpersonal: a. Empati
3 Penyesuaian diri: a. Pemecahan masalah
4 Penanganan Stres:
a. Ketahanan menangung stres b. Pengendalian impuls
Pada skala di atas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor
aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur dan tidak terpilih, tidak
diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem skala yang
Tabel 4. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian
N O
Nomor Aitem Total
Dimensi Kecerdasan Emosi
Favorabel Unfavorabel 1 Kemampuan Intrapersonal:
a.Kesadaran diri emosional
2 Kemampuan Interpersonal: a. Empati
3 Penyesuaian diri: a. Pemecahan masalah
4 Penanganan Stres: