HUBUNGAN ANTARA PROKRASTINASI DAN STRES
KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
QORINA AZZANIAR
051301028
FAKULTAS PSIKOLOGI
Hubungan Antara Prokrastinasi Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil
Qorina Azzaniar Dan Gustiarti Leila
ABSTRAK
Prokrastinasi merupakan kebiasaan atau dengan sengaja menunda dan karena suatu alasan tertentu dianggap sebagai perilaku yang patut dicela seperti kemalasan atau pengabaian tanggung jawab (Websters Third International Dictionary dalam Benard, 1992). Pada umumnya pegawai yang menunda-nunda mengerjakan tugasnya akan merasa terbebani dengan pekerjaan yang menumpuk dan dikejar batas waktu pekerjaan yang harus terselesaikan dan target harus terpenuhi, padahal pekerjaan tersebut tertunda, kemudian hal itu akan menyebabkan pegawai mengalami stres kerja. Tidak hanya itu, pegawai yang menunda-nunda tersebut juga memiliki kekhawatiran, depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding pegawai yang tidak melakukan penundaan, sehingga tidak heran bila tingkat stres yang lebih tinggi dan persepsi kesehatan yang lebih buruk dimiliki oleh mereka yang suka menunda-nunda tugas (Tice & Baumeister, 1997).
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prokrastinasi dan stres kerja pada pegawai negeri sipil.
Penelitian ini mengambil sampel pegawai negeri sipil dinas kesehatan sumatera utara sejumlah 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prokrastinasi dan skala stres kerja yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan karakteristik prokrastinasi dari Ferrari et al (1995) dan aspek-aspek stres kerja dari Terry B dan John N (dalam Rice, 1992). Skala prokrastinasi memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.929 dan nilai reliabilitas skala stres kerja (rxx)= 0.884.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.631 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prokrastinasi dan stres kerja pada pegawai negeri sipil.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Hubungan Antara Prokrastinasi Dan Stres Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil” ini.
Skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini merupakan pengalaman
pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam skripsi ini
terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara penulisannya, yang masih
banyak terdapat kesalahan.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak. Bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ayah dan Mama yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi
kepada penulis. Terima kasih atas segala kasih sayang dan cinta yang
telah diberikan. Semua ini penulis lakukan hanya untuk membahagiakan
keduanya. Penulis tidak akan mengecewakan keduanya. Terus doakan
penulis. Buat Uwak Dedel Hasibuan (Mulkan) yang cerewet dan penuh
semangat, terima kasih untuk semua kasih sayang, bantuan, dan dukungan
Anggi (Mbak penulis yang cerewet) dan Mas Adi (Abang penulis).
Doakan adik kalian ini biar selalu sukses.Amin.
3. Dinda, Mefa, Ulan, Zira, Anin dan adik-adik penulis yang lain. Terima
kasih banyak ya atas bantuannya yang rela bacain skoring skala sampai
serak. Kalian motivasi mbak untuk jadi lebih baik. Untuk seluruh
keluarga, terimakasih untuk semua dukungan dan perhatiannya.
4. Ibu Gustiarti Laila, M.si, Psi selaku dosen pembimbing penulis. Terima
kasih banyak atas arahan dan bimbingan yang Ibu berikan, atas kesabaran
Ibu membimbing dan mengajari penulis dan atas motivasi yang ibu
berikan.
5. Terima kasih kepada Ibu Lili Garliah, M.Si dan Bapak Ferry Novliadi,
M.Si yang telah rela meluangkan waktunya untuk menjadi dosen penguji
skripsi penulis. Terima kasih atas kritik dan sarannya yang sangat
membangun. Senyuman Bapak dan Ibu ketika penulis sidang sangat
menyejukkan hati penulis selaksa embun di pagi hari.
6. Ibu Sri Supriyantini, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik penulis.
Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya. Kepada Kak
Siti Zahreni M.psi, Psi yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan
perhatian kepada penulis.
7. Kepada seluruh dosen pengajar di Fakultas Psikologi, terima kasih atas
ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis.Tanpa kalian semua penulis
bukanlah apa-apa. Terima kasih kepada kak Ade, kak Ari, kak Devi, Pak
8. Terima kasih kepada Rakhmatul Ikhsan yang telah mengisi hari-hari dan
hati penulis, yang telah rela kembali ke Medan untuk membantu
penelitian penulis dan memberikan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas cinta, perhatian, kasih sayang
dan pengorbanannya. Semoga kuliahnya lancar dan bisa cepat selesai.
Amin. Kepada keluarga RI (Mama dan Uni) terima kasih karena selalu
mendukung dan memberi semangat serta doa kepada penulis.
9. Kepada sahabat-sahabatku Dhebby, Ema, Febri, Mega, Noni, Titi, Ratna
dan Lasara Girls, terima kasih ya atas bantuannya dalam nyebarin skala,
ngurus surat, dengerin keluh kesah, serta motivasi dan semangat yang
terus-terusan. Kalian semua punya andil yang besar dalam penyelesaian
kuliah qorin. I love you all
10. Buat Bou (Yen dan Dewi), Om (Timan dan Dero), Bapak Icut, Tulang
Etek, terimakasih untuk semua dukungan, kasih sayang dan semangat.
Doakan Qorin ya biar sukses.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan saudara semua. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
rekan-rekan semua.
Medan , september 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR DIAGRAM ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan... 9
BAB II. LANDASAN TEORI ... 11
A. Keputusan Membeli ... 13
1. Pengertian Stres Kerja ... 11
2. Sumber Stres Kerja ... 13
3. Gejala Stres Kerja ... 17
B. Prokrastinasi ... 22
1. Pengertian Prokrastinasi ... 24
2. Sumber Perilaku Prokrastinasi ... 25
4. Karakteristik Perilaku Prokrastinasi ... 28
C. Hubungan Antara Prokrastinasi Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil ... 30
D. Hipotesa Penelitian... 36
BAB III. METODE PENELITIAN ... 37
A. Identifikasi Variabel ... 37
B. Definisi Variabel Penelitian ... 37
1. Prokrastinasi ... 37
2. Stres Kerja ... 38
C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel...38
1. Populasi Dan Sampel...38
2. Metode Pengambilan Sampel ...39
3. Jumlah Sampel Penelitian ...39
D. Metode Pengumpulan Data ... 40
1. Skala Prokrastinasi………...40
2. Skala Stres Kerja………...42
E. Uji Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43
1. Uji Validitas ... 44
2. Uji Daya Beda Item ... 45
3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 45
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 46
2. Hasil Uji Coba Skala Stres Kerja ... 47
G. Prosedur Penelitian ... 47
1. Persiapan Penelitian ... 47
2. Pelaksanaan Penelitian ... 50
3. Tahap Pengolahan Data ... 50
H. Metode Analisa Data ... 50
1. Uji Normalitas ... 50
2. Uji Linieritas ... 50
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 52
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 52
1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 52
2. Usia Subjek Penelitian ... 53
B. Hasil Penelitian ... 54
1. Hasil Uji Asumsi ... 54
2. Hasil Uji Analisa Data ... 56
C. Pembahasan ... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
1. Saran Metodologis ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
Hubungan Antara Prokrastinasi Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil
Qorina Azzaniar Dan Gustiarti Leila
ABSTRAK
Prokrastinasi merupakan kebiasaan atau dengan sengaja menunda dan karena suatu alasan tertentu dianggap sebagai perilaku yang patut dicela seperti kemalasan atau pengabaian tanggung jawab (Websters Third International Dictionary dalam Benard, 1992). Pada umumnya pegawai yang menunda-nunda mengerjakan tugasnya akan merasa terbebani dengan pekerjaan yang menumpuk dan dikejar batas waktu pekerjaan yang harus terselesaikan dan target harus terpenuhi, padahal pekerjaan tersebut tertunda, kemudian hal itu akan menyebabkan pegawai mengalami stres kerja. Tidak hanya itu, pegawai yang menunda-nunda tersebut juga memiliki kekhawatiran, depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding pegawai yang tidak melakukan penundaan, sehingga tidak heran bila tingkat stres yang lebih tinggi dan persepsi kesehatan yang lebih buruk dimiliki oleh mereka yang suka menunda-nunda tugas (Tice & Baumeister, 1997).
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prokrastinasi dan stres kerja pada pegawai negeri sipil.
Penelitian ini mengambil sampel pegawai negeri sipil dinas kesehatan sumatera utara sejumlah 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prokrastinasi dan skala stres kerja yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan karakteristik prokrastinasi dari Ferrari et al (1995) dan aspek-aspek stres kerja dari Terry B dan John N (dalam Rice, 1992). Skala prokrastinasi memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.929 dan nilai reliabilitas skala stres kerja (rxx)= 0.884.
Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.631 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prokrastinasi dan stres kerja pada pegawai negeri sipil.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia
tentu menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan agar bangsa Indonesia tidak
tenggelam di lautan luas persaingan dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Indarjati dan Mildawani (dalam Wulan, 2000) bahwa konsep
tentang sumber daya manusia yang berkualitas pada dasarnya ditentukan oleh
indikator utama antara lain disiplin, kreatif, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Seseorang dikatakan mempunyai kualitas sumber daya manusia yang tinggi jika ia
dapat menunjukkan perilaku yang mencerminkan adanya etos kerja maupun
kedisiplinan, kreatifitas yang tinggi dalam mengerjakan setiap tugas yang
dimilikinya.
Instansi pemerintah sebagai penyambung atau penghubung antara Negara
dengan rakyatnya, dituntut untuk terus mampu melakukan pembaharuan agar roda
pemerintahan dapat berjalan lebih baik dan dapat mengimbangi pesatnya
perubahan dunia. Hal tersebut harus dilakukan agar Indonesia tidak tertinggal
dengan Negara-negara lain di dunia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
terus mengadakan pembaharuan pada sistem pemerintahan yang telah berjalan
selama ini adalah dengan cara peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah peletak dasar pelaksana sistem
Pegawai Negeri Sipil pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung
pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Oleh karena itu Pegawai
Negeri Sipil harus mampu menggerakkan serta melancarkan tugas-tugas
pemerintahan dalam pembangunan, termasuk di dalamnya melayani masyarakat.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Gatot (1982) yang menyatakan bahwa Pegawai
Negeri Sipil adalah mereka yang telah memiliki syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh
pejabat yang berwenang, serta diserahi tugas dalam jabatan negeri. Sesuai dengan
fungsi utamanya sebagai pelaksana utama pemerintahan negeri ini, maka para
Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk memiliki etos kerja dan disiplin waktu yang
tinggi. Hal ini tentu saja merupakan tantangan yang harus dijawab oleh seluruh
Pegawai Negeri Sipil di negeri ini. Bukan hanya di jajaran puncak saja, tetapi juga
pada seluruh staf sampai tingkat terendah. Hal ini didasarkan pada satu pemikiran
bahwa bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri meski bukan satu-satunya faktor
penentu, maju mundurnya negeri ini tergantung pada kinerja instansi
pemerintahan, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil itu sendiri.
Tapi akhir-akhir ini yang sering dihadapi sebuah instansi adalah tentang
rendahnya produktivitas kerja dilatarbelakangi oleh motivasi kerja yang rendah,
pekerja yang suka menunda-nunda pekerjaan, upah rendah, belum terpenuhi
kebutuhan minimal pekerja, kesehatan pekerja, atau berbagai tekanan psikis dalam
lingkungan pekerjaan. Sehingga menyebabkan pekerja berperilaku seperti
mangkir kerja, hubungan interpersonal yang buruk, pekerjaan terbengkalai, target
Stres adalah segala peristiwa/kejadian berupa tuntutan-tuntutan eksternal
seperti lingkungan maupun tuntutan-tuntutan internal (fisiologis/psikologis) yang
menuntut, membebani, atau melebihi kapasitas sumber daya adaptif individu. Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan keadaan dan tuntutan
yang melebihi kemampuan dan sumber daya adaptif individu untuk mengatasinya,
sehingga tuntutan dan keadaan (stressor) tersebut menimbulkan ketegangan baik
secara fisik maupun psikis. Stres juga dapat didefinikan secara keseluruhan proses
yang meliputi stimulasi, kejadian, peristiwa, respon dan iterpretasi individu yang
menyebabkan timbulnya ketegangan melebihi kemampuan individu (Rice, 1992).
Stres dapat dialami oleh siapa saja, tidak terkecuali oleh Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Randall Schuller (dalam Rini,
2002), stres yang dihadapi pekerja atau yang lebih sering dikatakan sebagai stres
kerja dalam sebuah organisasi berhubungan dengan penurunan prestasi kerja,
peningkatan ketidakhadiran kerja dan kecenderungan mengalami kecelakaan.
Sehingga, jika banyak diantara pekerja di dalam organisasi atau instansi
mengalami stres kerja, maka produktivitas dan kesehatan instansi itu akan
terganggu.
Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan
dengan pekerjaan mereka. Stres kerja menurut Morgan & King (1986) adalah
suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik,
atau lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.
Banyak hal yang dapat menyebabkan pekerja mengalami stres kerja, seperti yang
salah satunya adalah kondisi kerja, seperti kondisi kerja yang berlebihan (work
overload), beban kerja yang kurang (work underload), people decisions, kondisi
fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja dan kemajuan teknologi
(technostres).
Beban kerja yang berlebihan (work overload ) bisa diakibatkan oleh
banyaknya tuntutan tugas yang diberikan oleh instansi atau perusahaan, namun
bisa juga diakibatkan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) sendiri yang selalu
menunda dan tidak dapat mengatur jadwal dalam menyelesaikan tugasnya, namun
terkadang PNS menunda mengerjakan tugasnya diakibatkan karena pekerjaan
yang terlalu mudah ataupun sedikit (Bernard, 1992). Pada umumnya PNS yang
menunda-nunda mengerjakan tugasnya akan merasa terbebani dengan pekerjaan
yang menumpuk dan dikejar batas waktu pekerjaan yang harus terselesaikan dan
target harus terpenuhi, padahal pekerjaan tersebut tertunda, kemudian hal itu akan
menyebabkan PNS mengalami stres kerja. Tidak hanya itu, PNS yang
menunda-nunda tersebut juga memiliki kekhawatiran, depresi dan kecemasan yang lebih
tinggi dibanding PNS yang tidak melakukan penundaan, sehingga tidak heran
bila tingkat stres yang lebih tinggi dan persepsi kesehatan yang lebih buruk
dimiliki oleh mereka yang suka menunda-nunda tugas (Tice & Baumeister, 1997).
Menunda-nunda tugas atau yang lebih sering dikatakan sebagai
prokrastinasi adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun
menyelesaikan kinerja secara menyeluruh untuk melakukan aktivitas lain yang
tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan
pertemuan-pertemuan Solomon & Rothblum, (dalam Andrew J. Howell & David C. Watson,
2007). Steel (2004) juga mengatakan bahwa perilaku prokrastinasi adalah perilaku
menunda suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sengaja dan membuat hasil yang
tidak maksimal.
Prokrastinasi sebenarnya telah ada sejak lama, hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti di Universitas Ottawa, Canada pada abad ke-17. Prasasti
ini ditulis oleh seorang agamawan bernama Walker. Tertulis dalam prasasti itu
bahwa prokrastinasi merupakan salah satu dosa atau kejahatan manusia, dengan
menunda pekerjaan, manusia akan kehilangan kesempatan serta menyia-nyiakan
karunia Tuhan (Ferrari, dkk, 1995).
Hasil penelitian menunjukkan perkiraan mengenai prokrastinasi bahwa
(80-90 %) mahasiswa terkait dengan prokrastinasi (Ellis & Knaus, 1977; O’Brien,
2002 (dalam steel, 2007)), kira-kira (75 %) mengatakah bahwa mereka adalah
prokrastinator (Potts, 1987 (dalam steel, 2007)), dan hampir (50 %) melakukan
prokrastinasi secara konsisten dan problematik (Day, Mensink, & O’Sullivan,
2000; Haycock, 1993; Micek, 1982; Onwuegbuzie, 2000a; Solomon & Rothblum,
1984 (dalam steel, 2007)). Sebagai tambahan, selain sering muncul pada dunia
perkuliahan, prokrastinasi juga menyebar secara luas dipopulasi umum dan secara
kronis mempengaruhi hingga (15-20 %) orang dewasa (J. Harriott & Ferrari,
1996; “Haven’t Filed Yet,” 2003 (dalam Steel, 2007)).
Prokrastinasi juga muncul sebagai fenomena yang menyebabkan masalah.
Orang-orang kebanyakan menilai prokrastinasi sebagai sesuatu hal yang buruk,
prokrastinator berharap untuk menguranginya (O’Brien, 2002 (dalam Steel,
2007)). Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh sejumlah
ahli mengenai hubungan antara prokrastinasi dengan performansi yang
menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan prokrastinasi maka
performansinya lebih jelek (Beswick, Rothblum, & Mann, 1988; Steel, Brothen,
& Wambach, 2001; Wesley, 1994 (dalam Steel, 2007)), dan begitu juga dengan
kesejahteraan individu akan lebih menyedihkan jika melakukan prokrastinasi
dalam jangka waktu yang lama (Knaus, 1973; Lay & Schouwenburg, 1993; Tice
& Baumeister, 1997 (dalam Steel, 2007))
Prokrastinasi dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja tak
terkecuali di lingkungan kerja instansi pemerintah. Budiyanto (2005), menyatakan
bahwa banyak keluhan yang datang dari masyarakat tentang kinerja Pegawai
Negeri Sipil, yang menunjukkan masih adanya berbagai keterbatasan yang
dipunyai oleh Pegawai Negeri Sipil terutama menyangkut masalah yang
berhubungan dengan pelayanan para aparatur pemerintah. Keluhan yang kerap
terjadi misalnya yaitu menunda waktu-waktu pelayanan yang semestinya
diberikan kepada masyarakat dengan segara, tanpa ada alasan yang jelas. Kondisi
ini sesuai dengan pendapat Tamin (1996) yang mengungkapkan bahwa dari
sekitar empat juta Pegawai Negeri Sipil yang tersebar di seluruh Indonesia hanya
40% yang benar-benar profesional, produktif, dan berkualitas. Angka tersebut,
memang bukanlah data yang buruk, tetapi alangkah lebih baik lagi jika hanya 40%
Prokrastinasi yang kerap mewarnai keseharian Pegawai Negeri Sipil dalam
pelaksanaan tugasnya akan membawa konsekuensi negatif yang dapat merusak
pola peraturan yang ada jika dilakukan dengan alasan yang kurang tepat. Hal ini
di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Burka & Yuen (2008),
menjelaskan bahwa dampak dari prokrastinasi adalah adanya penurunan kualitas
kehidupan seseorang yang berakibat pada rendahnya kepuasan hidup
prokrastinator tersebut. Seorang prokrastinator akan mengalami ketidaknyamanan
psikologis yang dapat menyusahkan individu tersebut misalnya rasa bersalah dan
penyesalan yang mendalam akibat tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik
dan tepat waktu. Ditambahkan lagi oleh (Flett, Blankstein & Martin;
Melia-Gordon dan Pychyl; Tice & Baumeister dalam Sirois, 2004), bahwa perilaku
prokrastinasi juga dapat mempertinggi stres pada pegawai.
Beberapa fenomena tersebut diatas adalah faktor-faktor yang membuat
penulis merasa tertarik dan terpanggil untuk meneliti apakah ada hubungan antara
prokrastinasi dan stres kerja pada Pegawai Negeri Sipil.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis merumuskan
permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian empiris dilapangan yaitu
bagaimana hubungan antara prokrastinasi dengan stres kerja pada Pegawai Negeri
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara
prokrastinasi dengan stres kerja pada Pegawai Negeri Sipil.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan kontribusi akademis untuk
memperkaya khasanah hasil penelitian dan pengembangan dibidang
psikologi industry khususnya yang berkaitan dengan prokrastinasi dan
stres kerja.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi manajemen
perusahaan sebagai bahan informasi dan wacana pemikiran dalam
usaha meningkatkan kinerja karyawan dengan mengontrol dan
memperhatikan permasalahan yang dialami karyawan khususnya yang
berkaitan dengan prokrastinasi dan stres kerja, sehingga dapat
mencegah maupun mengurangi kemungkinan terjadinya prokrastinasi
dan stres kerja yang dapat merugikan bagi instansi maupun pegawai
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di sini digambarkan
mengenai berbagai tinjauan literatur dan hasil penelitian sebelumnya
mengenai prokrastinasi dan stres kerja pada Pegawai Negeri Sipil.
Bab II Landasan teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian. Memuat landasan teori tentang prokrastinasi dan stres
kerja pada Pegawai Negeri Sipil. Bab ini juga mengemukakan hipotesa
sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan
hubungan antara prokrastinasi dengan stres kerja pada Pegawai Negeri
Sipil.
Bab III Metodologi penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel,
metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item
dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk
mengolah hasil data penelitian.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang
BAB II
LANDASAN TEORI
A. STRES KERJA
1. Pengertian Stres Kerja
Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan
dengan pekerjaan mereka. Menurut Beer dan Newman (dalam Luthans, 1998),
stres kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu
dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.
Gibson dkk (1996), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan
penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses
psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar
(lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan
atau fisik berlebihan kepada seseorang.
Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu
proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan
tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan
variabel-variabelnya saling berkaitan. Selye (dalam Rice, 1992) menyatakan bahwa stres
kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping & rdquo”
Definisi stres kerja menurut Morgan & King (1986) adalah suatu keadaan
yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik, atau lingkungan,
dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Cooper (1994)
juga mengatakan bahwa stres kerja juga didefinisikan sebagai tanggapan atau
proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan
psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan pegawai.
Beehr dan Franz (dalam Retnaningtyas, 2005), mendefinisikan stres kerja
sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau
tegang karena pekerjaannya, tempat kerja atau situasi kerja tertentu. Ditambahkan
lagi oleh Caplan, et al (dalam Rice, 1992) yang mengatakan bahwa stres kerja
diakibatkan oleh jenis kerja yang mengancam pegawai.
Beberapa aspek penting yang perlu disoroti dalam stres kerja, yaitu :
1. Urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau
perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di
dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke
pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga
menjadi penyebab stres kerja Rousseau (dalam Rice, 1992).
2. Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu (Rice,
3. Memerlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan
persoalan stres tersebut (Ivancevich, Matteson, Freedman, & Phillips,
(dalam Rice, 1992)).
Stres kerja tidak selalu membuahkan hasil yang buruk dalam kehidupan
manusia. Selye (dalam Rice, 1992) membedakan stres menjadi 2 yaitu distress
yang destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres diperlukan
untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Demikian pula sebaliknya stres kerja
dapat menimbulkan efek yang negatif, namun, pada umumnya gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh stres kerja memiliki lebih banyak dampak yang merugikan diri
pegawai maupun perusahaan. Dampak merugikan yang diakibatkan oleh stres
disebut juga dengan distress (Selye dalam Rice, 1992). Yang menjadi fokus dalam
penelitian ini distress
2. Sumber Stres Kerja
Sumber stres kerja dikenal dengan job stressor yang sangat beragam dan
reaksinya beragam pula pada setiap orang. Berikut ini beberapa sumber stres kerja
menurut Cary Cooper (dalam Rice, 1992) yaitu :
a. Kondisi Kerja
Kondisi kerja ini meliputi kondisi kerja quantitative work overload,
qualitative work overload, assembli line- hysteria , pengambilan
keputusan, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, dan
Pengertian dari masing-masing kondisi kerja tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Quantitative work overload
Work overload (beban kerja yang berlebihan) biasanya terbagi dua,
yaitu quantitative dan qualitative overload. Quantitative overload
adalah ketika kerja fisik pegawai melebihi kemampuan nya. Hal ini
disebabkan karena pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang
sangat banyak dalam waktu yang singkat. Qualitative overload
terjadi ketika pekrejaan yang harus dilakukan oleh pegawai terlalu
sulit dan kompleks.
2. Assembli line- hysteria
Beban kerja yang kurang dapat terjadi karena pekerjaan yang harus
dilakukan tidak menantang atau pegawai tidak lagi tertarik dan
perhatian terhadap pekerjaannya.
3. Pengambilan keputusan dan tanggungjawab
Pengambilan keputusan yang akan berdampak pada perusahaan dan
pegawai sering membuat seorang manajer menjadi tertekan. Terlebih
lagi apabila pengambilan putusan itu juga menuntut
tanggungjawabnya, kemungkinan peningkatan stres juga dapat
4. Kondisi fisik yang berbahaya
pekerjaan seperti SAR, Polisi, penjinak bom sering berhadapan
dengan stres. Mereka harus siap menghadapi bahaya fisik
sewaktu-waktu.
5. Pembagian waktu kerja
Pembagian waktu kerja kadang-kadang mengganggu ritme hidup
pegawai sehari-hari, misalnya pegawai yang memperoleh jatah jam
kerja berganti-ganti. Hal seperti ini tidak selalu berlaku sama bagi
setiap orang yang ada yang mudah menyesuaikan diri, tetapi ada
yang sulit sehingga menimbulkan persoalan.
6. Stres karena kemajuan teknologi (technostres). Technostres adalah
kondisi yang terjadi akibat ketidakmampuan individu atau organisasi
menghadapi teknologi baru.
b. Ambiguitas Dalam Berperan
Pegawai kadang tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh
perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan
menjadi ancaman bagi pegawai yang berada pada masa karier tengah baya,
karena harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat
menurunkan kinerja, meningkatkan ketegangan dan keinginan keluar dari
pekerjaan
c. Faktor Interpersonal
Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor penting untuk
pihak manajemen maupun keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya
stres. Dengan demikian perlu kepedulian dari pihak manjemen pada
pegawai agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.
d. Perkembangan Karier
Pegawai biasnya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karier
kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya : sistem promosi yang tidak jelas,
pegawai akan merasa kehilangan harapan yang dapat menimbulkan gejala
perilaku stres.
e. Struktur Organisasi
Struktur organisai berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan
secara kaku, pihak manajemen kurang memperdulikan inisiatif pegawai,
tidak melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan dan tidak
adanya dukungan bagi kreatifitas pegawai.
f. Hubungan antara pekerjaan dan rumah
Rumah adalah sebuah tempat yang nyaman yang memungkinkan
membangun dan mengumpulkan semangat dari dalam diri individu untuk
memenuhi kebutuhan luar. Ketika tekanan menyerang ketenangan
seseorang, ini dapat memperkuat efek stres kerja. Denise Prosseau (dalam
Rice, 1992). Spillover mengatakan kekurangan dukungan dari pasangan,
konflik dalam rumah tangga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
3. Gejala Stres Kerja
Robbins (2005), mengelompokkan gejala stres kerja ke dalam tiga aspek,
yaitu:
a. Gejala fisiologikal
Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu:
1) Sakit perut
2) Detak jantung meningkat dan sesak nafas
3) Tekanan darah meningkat
4) Sakit kepala
5) Serangan jantung
Simptom-simptom pada fisiologkal memang tidak banyak ditampilkan,
karena menurut Robbin (2005) pada kenyataannya selain hal ini menjadi
kontribusi terhadap kesukaran untuk mengukur stres kerja secara objektif. Hal
yang lebih menarik lagi adalah simptom fisiologikal hanya mempunyai sedikit
keterkaitan untuk mempelajari perilaku organisasi.
Berikut ini ada dua kategori simptom dari stres kerja yang lebih penting
yaitu:
b. Gejala psikologikal
Adapun simptom-simptomnya sebagai berikut:
1) Kecemasan
2) ketegangan
3) Kebosanan
5) irritabilitas
6) menunda-nunda
Gejala-gejala psikis tersebut merupakan gejala yang paling sering
dijumpai, dan diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Pegawai
kadang-kadang sudah berusaha untuk mengurangi gejala yang timbul, namun menemui
kegagalan sehingga menimbulkan keputusasaan yang seolah-olah terus dipelajari,
yang biasanya disebut dengan learned helplessness yang dapat mengarah pada
gejala depresi Bodner & Mikulineer (dalam Robbin, 2005)
c. Gejala Perilaku
Yang termasuk dalam simptom-simptom perilaku yaitu:
1) Meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok
2) Melakukan sabotase dalam pekerjaan
3) Makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar
sebagi perilaku menarik diri.
4) Tingkat absensi meningkat dan performansi kerja menurun
5) Gelisah dan mengalami gangguan tidur
6) Berbicara cepat.
Robbins, (2005) mengatakan bahwa gejala psikologikal akibat stres kerja
adalah ketidakpuasan kerja yang lebih ditunjukkan dengan, kecemasan,
ketegangan, kebosanan, irritabilitas dan menunda-nunda.
Gejala stres kerja menurut Terry B dan John N (dalam Rice, 1992), dapat
a. Gejala Psikologis
1. Cemas, tegang, kebingungan, dan sensitif
2. Merasa frustasi, marah, dan kebencian
3. Hipersensitif emosi dan hiperaktif
4. Merasa tertindas
5. Berkurangnya efektifitas berkomunikasi
6. Menarik diri dan depresi
7. Merasa terisolasi dan terasing
8. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
9. Kelelahan mental dan penurunan fungsi intelektual
10. Kehilangan konsentrasi
11. Kehilangan spontanitas dan kreatifitas
12. Menurunnya Self-esteem
b. Gejala fisiologis
1. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,
2. meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin,
3. gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung),
4. mudah terluka,
5. mudah lelah secara fisik,
6. kematian,
7. gangguan kardiovaskuler,
8. gangguan pernafasan,
10. gangguan pada kulit,
11. kepala pusing, migrain,
12. kanker,
13. ketegangan otot,
14. problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur).
c. Gejala perilaku, meliputi :
1. Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas,
2. penurunan prestasi dan produktivitas,
3. meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk,
4. perilaku sabotase,
5. meningkatnya frekuensi absensi,
6. perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan),
7. kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan,
8. meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti berjudi,
9. meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri,
10. penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
serta
11. kecenderungan bunuh diri.
Carry Cooper dan Alison Straw (1995) membagi gejala stres kerja menjadi
tiga yaitu :
1. Gejala fisik
Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup: nafas memburu, mulut dan
terganggu, mencret- mencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala,
salah urat, gelisah.
2. Gejala- gejala dalam wujud perilaku
Banyak gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup:
a. Perasaan, berupa: bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah paham, tak
berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik,
kehilangan semangat.
b. Kesulitan dalam: berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan.
c. Hilangnya: kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang
lain.
3. Gejala- gejala di tempat kerja
Sebagian besar waktu bagi pegawai berada di tempat kerja, dan jika dalam
keadaan stres, gejala- gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja, antara
lain:
a. Kepuasan kerja rendah
b. Kinerja yang menurun
c. Semangat dan energi hilang
d. Komunikasi tidak lancar
e. Pengambilan keputusan jelek
f. Kreatifitas dan inovasi berkurang
B. PROKRASTINASI
1. Pengertian Prokrastinasi
Prokrastinasi (procrastination) dalam literatur ilmiah psikologi diartikan
sebagai perilaku yang tidak menghargai waktu. American College Dictionary
(dalam Burka dan Yuen, 1983) menjelaskan tentang prokrastinasi sebagai
menangguhkan suatu tindakan untuk melaksanakan suatu tugas yang akan
dilaksanakan pada waktu atau hari lainnya. Menurut kamus American Heritage
Dictionary of the English Language : Fourth Edition (2000), perilaku penundaan
adalah tidak mengerjakan tugas, menunda atau membatalkan mengerjakan
sesuatu. Pendapat ini sejalan dengan ulasan Ellis dan Knaus (dalam the
procrastination work book, 2010) yang mendefinisikan prokrastinasi sebagai
suatu kegagalan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu pekerjaan atau
aktivitas pada waktu yang telah ditentukan. Solomon & Rothblum, 1984 (dalam
Andrew J. Howell & David C. Watson, 2007) mengatakan bahwa prokrastinasi
adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun
menyelesaikan tugas secara menyeluruh untuk melakukan aktivitas lain yang tidak
berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas
tepat pada waktunya, serta sering terlambat dalam menghadiri
pertemuan-pertemuan. Prokrastinasi juga merupakan kebiasaan atau dengan sengaja menunda
dan karena suatu alasan tertentu dianggap sebagai perilaku yang patut dicela
seperti kemalasan atau pengabaian tanggungjawab (Websters Third International
Ferrari, Johnson, dan Mc.Cown (dalam Yakub, 2000) menambahkan,
bahwa prokrastinasi adalah perilaku menunda yang dilakukan oleh individu dalam
melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang menyebabkan perasaan yang tidak
nyaman. Solomon dan Rothblum, (1984) juga mengatakan bahwa suatu perilaku
penundaan yang dilakukan oleh individu dapat dikatakan suatu prokrastinasi
apabila perilaku penundaan itu dilakukan oleh individu pada tugas yang penting
dan dilakukan berulang-ulang secara sengaja dan menimbulkan perasaan tidak
nyaman pada diri individu.
Menurut Johnson dan Bloom (dalam steel, 2004) perilaku penundaan
adalah perilaku menunda penyelesaian sebuah tugas karena perasaan tidak
nyaman yang dialami individu. Steel (2004) mengemukakan bahwa perilaku
penundaan adalah perilaku menunda suatu pekerjaan yang dilakukan dengan
sengaja walaupun penundaan ini dapat membuat hasil yang tidak maksimal.
Menurut Ferrari et.al (1995) menyimpulkan bahwa pengertian
prokrastinasi dapat dipandang dari berbagai sudut pandang yaitu 1).prokrastinasi
adalah setiap perbuatan untuk menunda mengerjakan tugas tanpa
mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan 2). Prokrastinasi sebagai suatu
pola perilaku (kebiasaan) yang mengarah kepada trait, penundaan yang dilakukan
sudah merupakan respon yang menetap seseorang dalam menghadapi tugas dan
biasaanya disertai dengan keyakinan yang irrasional 3). Prokrastinasi sebagai
suatu trait kepribadian, tidak hanya perilaku menunda tetapi melibatkan struktur
2. Sumber Perilaku Prokrastinasi
Sumber-sumber yang dapat mempengaruhi perilaku prokrastinasi pada
pegawai dikategorikan menjadi dua macam menurut Burka & Yuen (dalam
LaForge, 2008 & Steele, 2007) yaitu sumber internal dan sumber eksternal.
1. Sumber internal
Sumber-sumber yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi
perilaku prokastinasi pada pegawai. Sumber-sumber itu meliputi kondisi fisik dan
kondisi psikologis dari individu, yaitu:
a. Kondisi fisik individu
Faktor dari dalam diri individu yang turut mempengaruhi munculnya
prokastinasi pada pegawai adalah berupa keadaan fisik dan kondisi
kesehatan individu misalnya kelelahan. Seseorang yang mengalami
kelelahan akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
melakukan prokastinasi daripada yang tidak (Bruno, 1998; Millgram,
dalam Ferrari dkk, 1995 dalam Erikha, 2009). Tingkat intelegensi yang
dimiliki seseorang tidak mempengaruhi perilaku prokastinasi, walaupun
prokastinasi sering disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan yang
irrasional yang dimiliki seseorang Ferrari (dalam Blunt, 1998).
b. Kondisi psikologis pegawai.
Menurut Millgram, dkk (dalam Rizvi, 1998), trait kepribadian individu
yang turut mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi, misalnya trait
kemampuan sosial yang tercermin dalam self regulation dan tingkat
Besarnya motivasi yang dimiliki seorang pegawai juga akan
mempengaruhi prokastinasi secara negatif, dimana semakin tinggi
motivasi intrinsik yang dimiliki pegawai ketika menghadapi tugas, akan
semakin rendah kecenderungannya untuk pegawai melakukan prokastinasi
(Briordy, dalam Ferrari, dkk, 1995). Steele (2007) menambahkan,
kebencian kepada tugas, cemas akan kegagalan, depresi atau yang
berkaitan dengan mood, kekurangan energi atau tingkat motivasi yang
rendah, masalah pada manajemen tugas, pemberontakan, menikmati
bekerja dibawah tekanan dan impulsif juga termasuk dalam kategori
sumber prokrastinasi instrinstik pada kondisi psikologis pegawai.
2. Sumber eksternal
Fakor-faktor yang terdapat di luar diri pegawai yang mempengaruhi perilaku
prokastinasi antara lain berupa tugas yang terlalu banyak atau terlalu sedikit,
tekanan dari atasan dan waktu yang diberikan untuk melaksanakan
tugas-tugas. lingkungan yang kondusif juga menjadi suber penyebab perilaku
prokrastinasi Steele (2007).
3. Penyebab Perilaku prokrastinasi
Bernard (1992) mengemukakan ada 10 penyebab seseorang melakukan
perilaku prokrastinasi. Kesepuluh penyebab perilaku prokrastinasi tersebut adalah :
a. Kecemasan
Bernard menyatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh seseorang
merupakan sikap dan kognisi seseorang akan kejadian yang mereka alami.
Individu cenderung menilai bahwa situasi-situasi yang dihadapinya
membawa ancaman dan berpotensi menimbulkan stres bagi dirinya. Hal
ini mengakibatkan respon emosional individu berupa kecemasan
meningkat. Bernard juga menyatakan semakin tinggi tingkat kecemasan
yang dialami oleh individu maka semakin tinggi pula kecenderungannya
untuk melakukan perilaku prokrastinasi.
b. Kurangnya penghargaan akan diri (self-depreciation)
Bernard (1992) menyatakan bahwa terdapat sebagian orang yang memiliki
kecenderungan self-depreciation yang lebih tinggi dibandingkan orang
lain. Individu dengan self-depreciation tinggi mudah menyalahkan diri
sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu penting. Ketika ada sesuatu
yang sedikit saja berjalan dengan tidak semestinya, individu ini
menyalahkan dirinya sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu penting.
Individu mengalami kesulitan dalam menyusun rencana dan arah tujuan
hidupnya. Saat individu melakukan penundaan, individu semakin merasa
tidak yakin dengan dirinya sendiri dan ini akan semakin mempersulitnya
dalam melakukan pekerjaannya.
c. Rendahnya toleransi terhadap ketidakyakinan (low discomfort tolerance)
Ketika menghadapi tugas yang membosankan ataupun sulit untuk
dikerjakan ada sebagian orang yang menjadi sangat tertekan sementara
oranglain tidaklah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat
toleransi terhadap ketidaknyamanan yang lebih rendah dibandingkan orang
lain saat menghadapi stressor yang sama disebut Bernard (1992) sebagai
‘sensation sensitive’. Individu yang sensation sensitive ini terbiasa
menghindari dan menarik diri dari tugas-tugas yang ia rasa menimbulkan
frustasi.
d. Pencarian kesenangan (pleasure seeking)
Individu dengan pleasure seeking yang tinggi menolak mengorbankan
kesenangannya untuk mengerjakan suatu tugas sekalipun tugas itu penting.
e. Disorganisasi waktu (time disorganization)
Individu dapat menunda melakukan pekerjaannya karena tidak memiliki
waktu yang cukup untuk mengerjakannya, namun dapat pula disebabkan
terlalu banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia.
f. Disorganisasi lingkungan (environmental disorganization)
Lingkungan yang terlalu bising dan terlalu banyak gangguan akan
mengakibatkan sulitnya berkonsentrasi pada individu sehingga membuat
individu menunda melakukan pekerjaannya. Lingkungan yang berantakan
dan penyimpanan dokumen-dokumen mengenai tugas yang tidak rapi juga
dapat menghambat seseorang untuk dapat segera mngerjakan tugasnya.
g. Rendahnya pendekatan terhadap tugas ( poor task approach)
Bila seseorang tidak mengerti bagaimana mengawali atau bagaimana
mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya maka hal ini dapat membuat
h. Kurangnya asertifitas (lack of assertion)
Individu yang sulit berkata “tidak” atau sulit untuk menolak permintaan
orang lain, walaupun sebenarnya ia tak memiliki cukup waktu untuk
melakukan permintaan tersebut karena harus mengerjakan pekerjaan
lainnya, akan membuat individu semakin sulit mengatur waktunya dan
harus menunda salah satu dari pekerjaan yang sebenarnya harus
dikerjakan.
i. Kekerasan terhadap orang lain (hostility with others)
Perilaku menunda dapat juga didorong oleh faktor kemarahan individu
terhadap orang lain. Kemarahan itu dapat berupa menolak untuk bekerja
sama dengan orang tersebut ataupun menunda melakukan tugas yang
diperintahkan dan diharapkan oleh orang tersebut.
j. Stres dan kelelahan
Stres dan kelelahan ini seringkali menimbulkan kecenderungan pada
individu untuk menunda melakukan tugasnya.
4. Karakteristik Perilaku Prokrastinasi
Ferrari et al (1995), mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan,
prokrastinasi dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur
dan diamati ciri-ciri tertentu berupa:
a. Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang
Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang
dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, akan
tetapi dia nunda untuk mulai mengerjakannya atau
menunda-nunda untuk menyelesaikan sampai tuntas jika dia sudah mulai
mengerjakan sebelumnya.
b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas, karena melakukan hal-hal lain
yang tidak dibutuhkan.
Orang yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih lama
daripada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan suatu
tugas. Seorang prokratinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk
mempersiapkan diri secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang
tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan
keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut
mengakibatkan seseorang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara
memadai. Kelambanan, dalam arti lambannya kerja seseorang dalam
melakukan suatu tugas dapat menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi.
c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.
Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang
prokrastinator sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi deadline
yang telah ditentukan, baik oleh orang lain maupun rencana-rencana yang
telah dia tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk
tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa
yang telah direncanakan, sehingga menyebabkan keterlambatan maupun
kegagalan untuk menyelesaikan tugas secara memadai.
d. Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan
tugas yang harus dikerjakan.
Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera melakukan tugasnya,
akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki untuk melakukan aktivitas
lain yang dipandang lebih menyenangkan dan mendatangkan hiburan,
seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita lainnya), nonton,
ngobrol, jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya, sehingga menyita
waktu yang dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus
diselesaikannya.
C. HUBUNGAN ANTARA PROKRASTINASI DENGAN STRES KERJA
PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL
Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan dengan
pekerjaan mereka. Menurut Beer dan Newman (dalam Luthans, 1998), stres kerja
adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan
pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.
Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu
proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan
variabel-variabelnya saling berkaitan. Selye (dalam Rice, 1992) menyatakan bahwa stres
kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa gejala pada fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Terry B dan John N menyatakan gejala stres kerja dapat dibagi dalam 3
aspek yaitu gejala psikologis seperti : hipersensitif emosi dan hiperaktif, merasa
frustasi, marah, dan kebencian, cemas, tegang, kebingungan dan sensitive, merasa
tertindas, berkurangnya efektifitas berkomunikasi, menarik diri dan depresi,
merasa terisolasi dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan
mental dan penurunan fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi, kehilangan
spontanitas dan kreatifitas, menurunnya self-esteem. Sedang gejala fisiologis
seperti : meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi
adrenalin dan nonadrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan
lambung), mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan
kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada
kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur,
terlalu banyak tidur). Serta gejala perilaku seperti : Menunda atau menghindari
pekerjaan atau tugas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk,
perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak
normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan penurunan
drastis berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti
berjudi, kecenderungan bunuh diri, meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan
mencuri, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman,
Banyak hal yang dapat menyebabkan pegawai mengalami stres kerja,
seperti yang dikatakan oleh (Rice, 1992) ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan stres kerja, salah satunya adalah kondisi kerja, seperti people
decisions, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, kemajuan
teknologi (technostres), beban kerja yang kurang (work underload) dan beban
kerja yang berlebihan (work overload).
Seringkali beban kerja yang berlebihan (work overload) diakibatkan oleh
pegawai sendiri yang selalu menunda dan tidak dapat mengatur jadwal dalam
menyelesaikan tugasnya, namun terkadang pegawai menunda mengerjakan
tugasnya diakibatkan karena pekerjaan yang terlalu mudah ataupun sedikit
(Bernard, 1992). Pada umumnya pegawai yang menunda-nunda mengerjakan
tugasnya akan merasa terbebani dengan pekerjaan yang menumpuk dan dikejar
batas waktu pekerjaan yang harus terselesaikan dan target harus terpenuhi,
padahal pekerjaan tersebut tertunda, kemudian hal itu akan menyebabkan pegawai
mengalami stres kerja. Tidak hanya itu, pegawai yang menunda-nunda tersebut
juga memiliki kekhawatiran, depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding
pegawai yang tidak melakukan penundaan, sehingga tidak heran bila tingkat stres
yang lebih tinggi dan persepsi kesehatan yang lebih buruk dimiliki oleh mereka
yang suka menunda-nunda tugas (Tice & Baumeister, 1997).
Menunda-nunda atau sering juga disebut sebagai prokrastinasi adalah
suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan
kinerja secara menyeluruh untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna,
waktunya, serta sering terlambat dalam menghadiri pertemuan-pertemuan
(Solomon & Rothblum, 1984). Steel (2004) juga mengatakan bahwa perilaku
prokrastinasi adalah perilaku menunda suatu pekerjaan yang dilakukan dengan
sengaja yang dapat membuat hasil yang tidak maksimal. Ferrari, Johnson, dan
Mc.Cown (1977) juga menambahkan, bahwa prokrastinasi adalah perilaku
menunda yang dilakukan oleh individu dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau
tugas yang menyebabkan perasaan yang tidak nyaman.
Bernard (1992) mengemukakan ada 10 penyebab seseorang melakukan
perilaku prokrastinasi antara lain : kecemasan terhadap apa saja yang sedang
dihadapinya. Bernard menyatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh seseorang
dipengaruhi oleh stressful attitude orang tersebut. Stressful attitude merupakan
sikap dan kognisi seseorang akan kejadian yang mereka alami. Individu
cenderung menilai bahwa situasi-situasi yang dihadapinya membawa ancaman
dan berpotensi menimbulkan stres bagi dirinya. Hal ini mengakibatkan respon
emosional individu berupa kecemasan meningkat. Bernard juga menyatakan
semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami oleh individu maka semakin
tinggi pula kecenderungannya untuk melakukan perilaku prokrastinasi. Kemudian
kurangnya penghargaan akan diri (self-depreciation), Bernard (1992) menyatakan
bahwa terdapat sebagian orang yang memiliki kecenderungan self-depreciation
yang lebih tinggi dibandingkan orang lain. Individu dengan self-depreciation
tinggi mudah menyalahkan diri sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu
penting. Ketika ada sesuatu yang sedikit saja berjalan dengan tidak semestinya,
penting. Individu mengalami kesulitan dalam menyusun rencana dan arah tujuan
hidupnya. Saat individu melakukan penundaan, individu semakin merasa tidak
yakin dengan dirinya sendiri dan ini akan semakin mempersulitnya dalam
melakukan pegawaiannya.
Penyebab ketiga yaitu rendahnya toleransi terhadap kemampuannya dalam
menyelesaikan tugas yang sedang dihadapinya (low discomfort tolerance). Ketika
menghadapi tugas yang membosankan ataupun sulit untuk dikerjakan ada
sebagian orang yang menjadi sangat tertekan sementara oranglain tidaklah
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat menekan. Individu yang
memiliki toleransi terhadap ketidaknyamanan yang lebih rendah akan mudah
mengalami frustasi jika dibandingkan dengan orang lain saat menghadapi stressor
yang sama disebut Bernard (1992) sebagai ‘sensation sensitive’. Individu yang
sensation sensitive ini terbiasa menghindari dan menarik diri dari tugas-tugas
yang ia rasa menimbulkan frustasi.
Penyebab yang keempat yaitu pencarian kesenangan (pleasure seeking).
Individu dengan pleasure seeking yang tinggi menolak mengorbankan
kesenangannya untuk mengerjakan suatu tugas sekalipun tugas itu penting.
Penyebab yang kelima yaitu disorganisasi waktu (time disorganization). Individu
dapat menunda melakukan pekerjaannya karena tidak memiliki waktu yang cukup
untuk mengerjakannya, namun dapat pula disebabkan terlalu banyak waktu yang
terbuang dengan sia-sia. Penyebab berikutnya yaitu disorganisasi lingkungan
(environmental disorganization). Lingkungan yang terlalu bising dan terlalu
sehingga membuat individu menunda melakukan pekerjaannya. Lingkungan yang
berantakan dan penyimpanan dokumen-dokumen mengenai tugas yang tidak rapi
juga dapat menghambat seseorang untuk dapat segera mngerjakan tugasnya.
Penyebab yang kelima adalah kurangnya pemahaman terhadap tugas (
poor task approach). Bila seseorang tidak mengerti bagaimana mengawali atau
bagaimana mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya maka hal ini dapat
membuat seseorang menunda mengerjakan tugas tersebut. Kemudian adalah
kurangnya asertifitas (lack of assertion) yaitu individu yang sulit berkata “tidak”
atau sulit untuk menolak permintaan orang lain, walaupun sebenarnya ia tak
memiliki cukup waktu untuk melakukan permintaan tersebut karena harus
mengerjakan pekerjaan lainnya, akan membuat individu semakin sulit mengatur
waktunya dan harus menunda salah satu dari pekerjaan yang sebenarnya harus
dikerjakan.
Penyebab kesembilan adalah kekerasan terhadap orang lain (hostility with
others) . Perilaku menunda dapat juga didorong oleh faktor kemarahan individu
terhadap orang lain. Kemarahan itu dapat berupa menolak untuk bekerja sama
dengan orang tersebut ataupun menunda melakukan tugas yang diperintahkan dan
diharapkan oleh orang tersebut dan penyebab terakhir adalah stres dan kelelahan.
Stres dan kelelahan ini seringkali menimbulkan kecenderungan pada individu
untuk menunda melakukan tugasnya.
Kesepuluh uraian menurut Bernard (1992) yang telah diuraikan
sebelumnya adalah merupakan hal yang dapat menyebabkan seseorang
menyelesaikan tugas tepat waktu atau menyelesaikannya secara terburu-buru serta
memperoleh hasil yang maksimal. (Flett, Blankstein & Martin; Melia-Gordon dan
Pychyl; Tice & Baumeister (dalam Sirois, 2004)) menambahkan bahwa perilaku
prokrastinasi juga dapat mempertinggi stres pada pegawai. Djamarah (2002),
menemukan bahwa akibat menunda-nunda menyelesaikan tugas, banyak individu
yang gelisah seperti tidur kurang nyenyak, duduk tidak tenang, berjalan
terburu-buru, istirahat tidak sepenuhnya dapat dinikmati.
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah :
“Ada hubungan positif antara prokrastinasi dengan stres kerja pada
Pegawai Negeri Sipil (PNS)”.
Semakin tinggi prokrastinasi maka akan semakin tinggi stres kerja pada Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Sebaliknya semakin rendah prokrastinasi maka akan semakin
BAB III
METODE PENELITIAN
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain:
Variabel Bebas : Prokrastinasi
Variabel Tergantung : Stres Kerja
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Definisi operasional digunakan untuk memberikan batasan arti suatu
variable dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur
variable tersebut (Kerlinger, 1995). Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya
perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan definisi untuk setiap variable pada
penelitian ini, maka definisi operasional dari penelitian ini dibatasi sebagai
berikut:
1. Prokrastinasi.
Prokrastinasi adalah suatu perilaku menunda baik dalam memulai maupun
menyelesaikan suatu aktivitas atau tugas penting seperti tugas yang wajib
dilakukan oleh pegawai pada sebuah instansi, penundaan itu berupa melakukan
hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas yang dipandang
menyenangkan dan mendatangkan hiburan, sehingga menyebabkan tugas
menggunakan angket atau kuesioner. Prokrastinasi pada Pegawai Negeru Sipil
(PNS) diukur melalui skala yang disusun berdasarkan karakteristik prokrastinasi
yang dikemukakan oleh Ferrari et al (1995). Dimana semakin tinggi skor yang
diperoleh seseorang menunjukkan semakin tinggi prokrastinasi yang dimilikinya.
2. Stres Kerja
Stres kerja adalah suatu kondisi yang menimbulkan reaksi fisiologis,
psikologis dan perilaku yang muncul akibat dari interaksi antara individu dengan
lingkungan kerja mereka, dimana individu merasakan lingkungan kerjanya
sebagai ancaman atau tantangan yang dapat mengganggu situasi kerja dan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Stres kerja ini diukur dengan
menggunakan metode skala yang terdiri dari gejala fisiologis, gejala psikologis
dan gejala perilaku yang disusun berdasarkan gejala-gejala stres kerja menurut
Terry B dan John N (dalam Rice, 1992), dimana semakin tinggi skor yang
diperoleh seseorang berarti semakin tinggi stres kerja yang dimilikinya.
C. Populasi dan metode pengambilan sampel
1. Populasi dan sampel
Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan
salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah objek, gejala
atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu untuk siapa
kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu hendak digeneralisasikan
Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Pegawai Ngeri
Sipil (PNS) yang bekerja di Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Peneliti
akan meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan subjek
penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel. Sampel dalam penelitian ini
adalah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di dinas kesehatan propinsi sumatara
utara.
2. Metode pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Teknik
Probability, yaitu teknik yang memberi peluang/ kesempatan yang sama bagi
setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik Probability yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Sampling Aksidental (Incidental
Sampling), yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, dimana setiap
subjek yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai
sampel, bila orang tersebut memenuhi kriteria sampel penelitian (Sugiyono,
2006).
3. Jumlah Sampel Penelitian
Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa
jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000)
menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada
menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Sampel yang digunakan dalam penelitian
D. Metode pengumpulan data.
Penelitian ini menggunakan metode skala. Metode skala digunakan
mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang
dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang
diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2004).
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunkan dua skala, yaitu skala
prokrastinasi dan skala stres kerja.
1. Skala prokrastinasi
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala prokrastinasi yang
diukur dengan menggunakan 4 (empat) karakteristik dari prokrastinasi menurut
Ferrari et al (1995). Skala prokrastinasi ini dibuat oleh peneliti berdasarkan
karakteristik prokrastinasi Ferrari et al (1995), yaitu adanya penundaan dalam
memulai maupun menyelesaikan tugas, keterlambatan dalam mengerjakan tugas,
adanya kesenjangan waktu antara rencana dengan kinerja aktual dalam
mengerjakan tugas, adanya kecenderungan untuk melakukan aktivitas lain yang
lebih menyenangkan daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan. Jika nilai
skala dari keempat karakteristik tersebut tinggi maka prokrastinasi tersebut
bernilai negatif, sedangkan jika nilai skala dari keempat dimensi tersebut rendah
maka prokrastinasi tersebut bernilai positif.
Skala ini dikembangkan dengan menggunakan model likert yang terdiri
dari 54 butir pernyataan. Aitem-aitem dalam skala ini menggunakan pernyataan
dengan empat pilihan jawaban, yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
SS akan mendapatkan skor empat, pilihan S akan mendapatkan skor tiga, pilihan
TS akan mendapatkan skor dua, dan pilihan STS akan mendapatkan skor satu.
Sedangkan untuk aitem yang unfavorabel pilihan SS akan mendapatkan skor satu,
pilihan S mendapatkan skor dua, pilihan pilihan TS akan mendapatkan skor tiga,
dan pilihan STS akan mendapatkan skor empat.
Berikut adalah blue print yang menyajikan distribusi aitem-aitem skala
prokrastinasi :
Table 1
Karakteristik
Distribusi susunan aitem-aitem skala prokrastinasi
Nomor Aitem
Jumlah Persen (%)
Favorabel Unfavorabel
1. Adanya penundaan dalam
2. Skala stres kerja
Skala stres kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang
disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan gejala-gejala stres kerja menurut Terry B
dan John N (dalam Rice, 1992). Gejala-gelaja nya meliputi ; 1. Gejala Psikologis
yaitu Cemas, tegang, kebingungan, dan sensitive, Merasa frustasi, marah, dan
kebencian, Hipersensitif emosi dan hiperaktif, Merasa tertindas, Berkurangnya
efektifitas berkomunikasi, Menarik diri dan depresi, Merasa terisolasi dan
terasing, Kebosanan dan ketidakpuasan kerja, Kelelahan mental dan penurunan
fungsi intelektual, Kehilangan konsentrasi, Kehilangan spontanitas dan kreatifitas,
Menurunnya Self-esteem. 2. Gejala fisiologis yaitu Meningkatnya detak jantung
dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin, gangguan
gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), mudah terluka, mudah lelah secara
fisik, kematian, gangguan kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering
berkeringat, gangguan pada kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan
otot, problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur). 3. Gejala perilaku yaitu
Menunda atau menghindari pegawaian atau tugas, penurunan prestasi dan
produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku
sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal
(kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis
berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti
berjudi, meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri, penurunan kualitas
hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan bunuh