• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Pemberian Monosodium Glutamat (Msg) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal, Hati Dan Otak Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efek Pemberian Monosodium Glutamat (Msg) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal, Hati Dan Otak Mencit"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI

DAN OTAK MENCIT

SKRIPSI

OLEH:

NURHAYATI LUBIS

NIM 101524069

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI

DAN OTAK MENCIT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas SumateraUtara

OLEH:

NURHAYATI LUBIS

NIM 101524069

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI

DAN OTAK MENCIT

OLEH:

NURHAYATI LUBIS

NIM 101524069

Dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 31 Agustus 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji

Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003 NIP 195103261978022001

Pembimbing II, Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Efek Pemberian

Monosodium Glutamat (MSG) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal, Hati Dan

Otak Mencit. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa

pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ibu Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt., dan Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U.,

Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat

selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Drs.

Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Ibu Marianne, S.Si., Apt., selaku penguji yang telah

memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang

tulus kepada Ayahanda Hafiffuddin Lubis dan Ibunda Ramsiah Nasution tercinta,

serta kakak-kakak saya, Nurmaini Lubis, Nuraida Lubis, S.T., dan adik saya Amaliah

Rezeky Lubis atas doa, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam

(5)

Kakanda Boby Umar Ramsi serta teman-teman saya, Irsyad Hanafi, Dewi Sartika,

Evi susi yanti solin, atas doa dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga

tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan yang berarti bagi

ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu farmasi.

Medan, 31 Agustus 2013 Penulis,

(6)

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI DAN OTAK MENCIT

ABTRAK

Monosodium glutamat (MSG) merupaka sama seperti glutamat dari makanan lain. Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, mengenai permasalahan adanya berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak yang tidak mencantumkan kandungan MSG. Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak terutama pada organ ginjal, hati dan otak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit.

Monosodium glutamat dicampurkan ke dalam pelet, kemudian campuran monosodium glutamat dan pelet diberikan kepada mencit yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan dosis 13,79 g/kgBB, perlakuan dosis 30,01 g/kgBB dan perlakuan dosis 41,02 g/kgBB. Pemberian campuran monosodium glutamat dan pelet dilakukan selama 14 hari berturut-turut, kemudian hari ke-15 mencit dibunuh dan diambil organ ginjal, hati, dan otak kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE).

Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ ginjal, hati dan otak. Parameter yang diamati adalah kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel glia pada otak. Berdasarkan pengamatan histopatologi secara kualitatif menunjukkan bahwa terjadi pertambahan jumlah sel glia pada otak sedangkan pada ginjal dan hati terjadi nekrosis (karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) dan degenerasi hidropis.

Hasil pengamatan histopatologi yang di peroleh dapat disimpulkan bahwa pemberian monosodium glutamat pada pelet mencit dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB dapat menyebabkan kerusakan sel pada ginjal, hati dan otak.

(7)

EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) ON

HISTOPATHOLOGICAL IMAGING OF MICE’S KIDNEY , LIVER AND BRAIN

ABSTRACT

Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt of glutamic acid (non-essential amino acids). Glutamate in MSG gives delicious and savory taste as glutamate in other foods. Several times there is fear in the media, mainly represented by Consumer Council about there are a variety of snack in containers commonly consumed by children do not list MSG as ingredient. The Consumer Council stated that amount of MSG consumption threatens the health of children especially in the kidneys, liver and brain. The purpose of this study to determine the effects of MSG on histopathological imaging of the kidney, liver and brain of mice.

Monosodium glutamate that have blended into pellets, then a mixture of monosodium glutamate and the pellets were given to mice that are divided into 5 groups with the negative control group, positive control, treatment dose of 13,79 g/kg body weight, the treatment dose of 30,01 g/kg body weight dose of treatment and 41,02 g/kg body weight. Administering a mixture of monosodium glutamate and the pellets were made during 14 days in a row, then the 15th day mice are killed and taken the organ kidney, liver, and brain then fixation in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and then processed into preparations using haematoxylin staining histopatologis eosin (HE).

Microscopic observations were carried out to see thetissue of kidney, the liver and the brain. The parameters observed were the genesis of degeneration in the liver and kidneys, the number of glia cells in the brain. Histopathology observation based on qualitatively indicates that happened increase number of glia cells in the brain, whereas in the kidneys and liver necrosis occurs (karyopiknosis, karyoreksis, kariolisis) and hidropis degeneration.

Based on histopathological imaging it could be concluded that the monosodium glutamate in mice with a dose of pellets with 30,01 g/kg body weight and 41,02 g/kg body weight can cause damage to cells in the kidneys, liver and brain mice.

(8)
(9)

2.4 Histologi Organ Penting ... 11

4.1 Perubahan Histopatologi Ginjal Mencit ... 28

4.2 Perubahan Histopatologi Hati Mencit ... 32

4.3 Perubahan Histopatologi Otak Mencit ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

2.1 Rumus kimia MSG ... 7

2.2 Rumus Kimia Siklofosfamid ... 10

2.3 Gambar Medula Spinalis ... 15

2.4 Histopatologi Hati ... 16

2.5 Gambar Mikroskopik Hati Mencit ... 17

2.6 Gambar Histopatologi Ginjal ... 20

2.7 Gambar Nefron ... 21

3.1 Gambar Skema Prosedur Histopatologi ... 27

4.1 Gambar Pengamatan Jaringan Ginjal ... 32

4.2 Gambar Pengamatan Jaringan Hati ... 36

4.3 Gambar Pengamatan Jaringan Otak ... 39

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Gambar monosodium glutamat (MSG) yang dicampurkan

dengan pelet ... 58

2 Perhitungan Dosis ... 59

3 Bagan Pembuatan Makanan Hewan Berupa Pelet yang dicampurkan dengan MSG ... 60

4 Alat-alat yang digunakan ... 61

5 Hewan Percobaan ... 62

6 Organ ginjal, hati dan otak mencit, parafinisasi ... 63

7 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di lab. Patologi FK USU ... 64

(12)

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI DAN OTAK MENCIT

ABTRAK

Monosodium glutamat (MSG) merupaka sama seperti glutamat dari makanan lain. Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, mengenai permasalahan adanya berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak yang tidak mencantumkan kandungan MSG. Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak terutama pada organ ginjal, hati dan otak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit.

Monosodium glutamat dicampurkan ke dalam pelet, kemudian campuran monosodium glutamat dan pelet diberikan kepada mencit yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan dosis 13,79 g/kgBB, perlakuan dosis 30,01 g/kgBB dan perlakuan dosis 41,02 g/kgBB. Pemberian campuran monosodium glutamat dan pelet dilakukan selama 14 hari berturut-turut, kemudian hari ke-15 mencit dibunuh dan diambil organ ginjal, hati, dan otak kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE).

Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ ginjal, hati dan otak. Parameter yang diamati adalah kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel glia pada otak. Berdasarkan pengamatan histopatologi secara kualitatif menunjukkan bahwa terjadi pertambahan jumlah sel glia pada otak sedangkan pada ginjal dan hati terjadi nekrosis (karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) dan degenerasi hidropis.

Hasil pengamatan histopatologi yang di peroleh dapat disimpulkan bahwa pemberian monosodium glutamat pada pelet mencit dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB dapat menyebabkan kerusakan sel pada ginjal, hati dan otak.

(13)

EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) ON

HISTOPATHOLOGICAL IMAGING OF MICE’S KIDNEY , LIVER AND BRAIN

ABSTRACT

Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt of glutamic acid (non-essential amino acids). Glutamate in MSG gives delicious and savory taste as glutamate in other foods. Several times there is fear in the media, mainly represented by Consumer Council about there are a variety of snack in containers commonly consumed by children do not list MSG as ingredient. The Consumer Council stated that amount of MSG consumption threatens the health of children especially in the kidneys, liver and brain. The purpose of this study to determine the effects of MSG on histopathological imaging of the kidney, liver and brain of mice.

Monosodium glutamate that have blended into pellets, then a mixture of monosodium glutamate and the pellets were given to mice that are divided into 5 groups with the negative control group, positive control, treatment dose of 13,79 g/kg body weight, the treatment dose of 30,01 g/kg body weight dose of treatment and 41,02 g/kg body weight. Administering a mixture of monosodium glutamate and the pellets were made during 14 days in a row, then the 15th day mice are killed and taken the organ kidney, liver, and brain then fixation in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and then processed into preparations using haematoxylin staining histopatologis eosin (HE).

Microscopic observations were carried out to see thetissue of kidney, the liver and the brain. The parameters observed were the genesis of degeneration in the liver and kidneys, the number of glia cells in the brain. Histopathology observation based on qualitatively indicates that happened increase number of glia cells in the brain, whereas in the kidneys and liver necrosis occurs (karyopiknosis, karyoreksis, kariolisis) and hidropis degeneration.

Based on histopathological imaging it could be concluded that the monosodium glutamate in mice with a dose of pellets with 30,01 g/kg body weight and 41,02 g/kg body weight can cause damage to cells in the kidneys, liver and brain mice.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perubahan gaya

hidup masyarakat, termasuk perubahan pola konsumsi makanan yang lebih banyak

mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan awetan yang

belakangan ini semakin banyak dijual di pasar tradisional dan swalayan.

Penggunaan bahan tambahan makan banyak sekali digunakan dalam kehidupan

sehari-hari, seperti senyawa L-asam glutamat yang digunakan dalam bentuk

garamnya yaitu MSG. Berbagai merk dagang MSG telah dikenal di masyarakat

secara luas seperti ajinomoto, vetsin, micin, sasa, miwon dan sebagainya (Maidawilis,

2010).

Dalam kehidupan sehari-hari, MSG banyak dipakai dalam makanan sebagai

bahan penyedap masakan untuk merangsang selera makan. Penggunaan MSG dalam

makanan biasanya dilakukan dalam jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan

MSG diperjual belikan secara bebas (Wakidi, 2012).

Saat ini ada beberapa makanan mengandung bumbu penyedap atau yang biasa

dikenal dengan vetsin atau MSG. Vetsin atau MSG adalah penyedap rasa yang sering

digunakan saat memasak untuk menyedapkan masakan. Setelah diberi sedikit vetsin,

makanan dapat menjadi sedap karena di dalam vetsin itu terkandung asam glutamat

(glutamic acid). Berbagai senyawa pembangkit citarasa yang beredar bebas di

(15)

sulfosuccinate (untuk susu kaleng) dan lain sebagainya. Diketahui hanya MSG yang

banyak menimbulkan kontroversi antara produsen dan konsumen (Winarno, 2004).

Pada tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat

mengelompokkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga

tidak perlu aturan khusus. Tetapi tahun 1968, muncul laporan di New England

Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran

china sehingga disebut “Chinese Restaurant Syndrome”. Karena kompisisinya

dianggap signifikan dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi

belum dilaporkan bukti ilmiahnya. Untuk itu, tahun 1970 FDA menetapkan batas

aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi

garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan

kepada bayi kurang dari 12 minggu. Tahun 1980, laporan-laporan tentang hubungan

MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome ini kembali banyak muncul berupa sakit

kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah. Pada tahun ini pula diketahui

bahwa glutamate berperan penting pada fungsi sistem syaraf, sehingga muncul

pertanyaan (Ardyanto, 2004).

Penelitian tentang MSG selama ini dilakukan pada hewan coba dalam masa

neonatal, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari MSG digunakan oleh orang dewasa

dan umumnya dalam jangka waktu yang lama. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa MSG menimbulkan disfungsi reproduksi dan endokrin yang multipel pada

hewan coba. Dada dan Blake (1984), menemukan bahwa pemberian MSG

(16)

spermatogenesis (Nizamuddin, 2000) dan dapat menyebabkan terbentuknya

mikronukleus pada sel sumsum tulang femur mencit (Handayani, 2012).

Salah satu metode yang dipilih untuk pengamatan terhadap parameter biologis

adalah melalui pengamatan histopatologi. Pemeriksaan histologi adalah salah satu

cara untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui

pengamatan secara mikro anatomi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui

pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan, yang

bertujuan untuk memeriksa penyakit berdasarkan pada reaksi perubahan jaringan,

terjadinya perubahan pada jaringan diduga merupakan efek toksik dari satu zat

tertentu (Kurniasih, 2002).

Histopatologi mempunyai keuntungan yaitu dapat membantu memahami

struktur histologi jaringan tubuh sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada waktu

hidup, memberikan hasil yang benar-benar shahih (valid/akurat) yang sangat

dibutuhkan oleh para peneliti untuk menjawab permasalahan yang timbul, disamping

itu untuk menunjang diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien dan efek toksik

suatu zat lebih mudah dilihat secara histopatologi (Jusup,2009)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui efek pemberian MSG

terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit. Sebagai pembanding

digunakan siklofosfamid (50 mg/kgBB). Pemberian dosis dilakukan dengan

mencampur pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b, 0,6% b/b, 0,9% b/b yang

(17)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

Apakah MSG dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ ginjal, hati

dan otak mencit?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis:

MSG menyebabkan kerusakan organ ginjal, hati dan otak mencit

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah:

Mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal,

hati dan otak mencit.

1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah:

Masyarakat menjadi lebih waspada dalam mengkonsumsi makanan yang

mengandung MSG dan mengetahui dampak yang di timbulkan MSG terhadap

(18)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Monosodium Glutamat (MSG)

MSG adalah garam natrium glutamat, zat aditif pada makanan yang

meningkatkan cita rasa makanan yang ada dalam makanan kemasan tanpa tertera

pada label. Hal ini bisa menyebabkan masyarakat mengkonsumsi MSG dalam

konsentrasi tinggi karena tidak ada dicantumkan kadar MSG dalam makanan

kemasan (Ismail, 2012).

MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia dan

menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara. MSG banyak

digunakan pada masakan Cina dan Asia Tenggara yang dikenal dengan nama

Ajinomoto®, Sasa®, Miwon® (Wakidi, 2012).

Asam glutamat adalah asam amino yang terdapat paling banyak dalam cairan

otak dan sumsum tulang belakang, dan bekerja sebagai neurotransmitter. Asam

glutamat merupakan komponen dari asam folat dan GTF (faktor toleransi glukosa)

dan merupakan precursor dari GABA (gamma-amino butyric acid). Dalam usus,

glutamat dirombak menjadi citrulin dan arginin, suatu regulator penting dari sistem

imun. Dengan demikian, glutamat adalah esensial pula bagi baiknya fungsi usus dan

pemeliharaan barrier mukosanya. Penggunaannya terutama sebagai garam natrium

(MSG) untuk memperkuat rasa dalam makanan. Sebagai suplemen pada keadaan

stress untuk memperbaiki kondisi lambung-usus dan sistem imun, juga guna

(20)

mual, muka menjadi merah, dan perasaan panas yang disebut sindroma restoran cina

(Tan dan Rahardja, 2002).

Asam glutamat (asam bebas dari MSG) adalah unsur pokok dari protein yang

terdapat pada bermacam-macam sayuran, daging, seafood, dan air susu ibu. Asam

glutamat digolongkan pada asam amino non essensial karena tubuh manusia sendiri

dapat menghasilkan asam glutamat. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan

2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang

menjadi ciri pada asam amino. Struktur kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda

dengan asam glutamat, hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung

hidrogen diganti dengan natrium. Gugus karboksil setelah diionisasi dapat

mengaktifkan stimulasi rasa pada alat pengecap.

Rumus kimia dari MSG seperti yang terlihat pada Gambar 2.1:

Gambar 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) (Wakidi, 2012).

2.2 Beberapa Penelitian Terhadap MSG

Kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah

mengkonsumsi MSG 30 mg/kgBB/hari, yang berarti sudah mulai melampaui

(21)

kadar ini akan menurun kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam 3

jam, berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5-3,5 g MSG

(BB 50-70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok

teh rata-rata berisi 4-6 g MSG (Maidawilis, 2010).

MSG mempunyai pengaruh terhadap kemampuan untuk merasakan suatu

makanan dari dua percobaan makanan yang diberikan terhadap 36 pria dan wanita

yang sehat. MSG meningkatkan citarasa makanan sampai 0,6 %. Percobaan yang

diberikan selama 1 minggu dengan mengkonsumsi MSG menunjukkan kemampuan

untuk mencicipi makanan semakin meningkat. Dampak pemberian MSG pada

makanan meningkatkan kadar kalsium dan magnesium, selain itu juga meningkatkan

kadar lemak dalam tubuh (Bellisle, dkk., 1991).

Menurut Fahim (1999) MSG menyebabkan penurunan kandungan histamin yang

berarti dalam sistem saraf pusat dan menyebabkan kerusakan pada otak. MSG

menyebabkan terjadinya obesitas dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan

tubuh pada tikus neonatal. Selain itu beberapa peneliti lain mengatakan bahwa MSG

dapat menyebabkan gangguan endokrinal melalui mekanisme hipotalamus-hipofisis

(Maidawilis, 2010).

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nizamuddin, (1993),

dilaporkan bahwa pengaruh pemberian MSG peroral terhadap spermatogenesis dan

kesuburan tikus jantan dewasa, dosis 2400, 4800 dan 9600 mg/kgBB/hari selama 49

hari, menimbulkan efek pengurangan diameter tubulus semniferus dan menyebabkan

(22)

Penelitian lain dilakukan pada anak mencit jantan dan betina yang baru

dilahirkan dengan melakukan penyuntikan subkutan dari hari ke-2 sampai hari ke-11,

dengan dosis berangsur-angsur meningkat, dari 2,2 sampai 4,2 mg/kgBB. Ternyata

setelah dewasa, bila mencit jantan dikawinkan dengan mencit betina yang diberi

MSG, maka jumlah kehamilan dan jumlah anak berkurang pada mencit betina yang

diberi MSG. Pada mencit betina dan mencit jantan yang diberi MSG, terjadi

pengurangan berat kelenjar endokrin, yaitu pada kelenjar hipofisis, tiroid, ovarium,

dan testis. Setelah dewasa, pada mencit betina yang diberi MSG terjadi kelambatan

kanalisasi vagina dan mempunyai siklus estrus yang lebih panjang daripada kontrol.

Setelah dewasa, pada mencit jantan yang diberi MSG didapatkan tanda-tanda

fertilitas menurun, misalnya berkurangnya berat testis dan hipofisis (Maidawilis,

2010).

Pada penelitian dengan menggunakan tikus jantan yang diberi MSG selama 15

hari dan 30 hari yang diberi 4 g/kgBB intraperitonial memperlihatkan pengaruhnya

berupa penurunan berat testis, jumlah sperma dan peningkatan jumlah sperma yang

rusak atau abnormal. Jumlah sperma yang normal pada tikus yang dipajankan dengan

MSG jangka panjang lebih sedikit dibanding dengan yang dipajankan dengan jangka

pendek. Pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa salah satu mekanisme yang

mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG pada sistem

reproduksi mencit jantan adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis

(Nayanatara, dkk., 2008).

Pemberian MSG 4 g/kgBB secara intraperitonial pada tikus yang baru lahir

(23)

memperlihatkan pada usia prapubertas terjadi hiperleptinemia, hiperadiposit, dan

peningkatan kadar kortikosteron, penurunan berat testis, jumlah sel sertoli dan sel

leydig per testis, serta penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH), Folicle

Stimulating Hormone (FSH), Thyroid (T), dan Free T4 (FT4). Sementara pada saat

dewasa memperlihatkan hiperleptimia yang lebih tinggi dan penurunan dar FSH dan

LH dan tidak nampak perubahan pada struktur testis (Miskowiak, dkk., 1993).

2.3 Siklofosfamida

Siklofosfamid sebagai agen alkilasi bekerja lewat timbulnya efek sitotoksik

melalui pemindahan gugus alkilnya ke berbagai unsur sel. Alkilasi DNA di dalam

nukleus merupakan interaksi utama yang menyebabkan kematian sel. Tempat alkilasi

utama di dalam DNA adalah posisi N7 guanin. Sistem sitokrom P450 mixed function

axidase mikrosoma hati mengubah siklofosfamid menjadi

4-hidroksisiklofosfamid yang seimbang dengan aldofosfamid. Metabolit-metabolit aktif

ini dibawa aliran darah ke jaringan tumor dan jaringan sehat, dimana pemecahan

nonenzimatik dari aldofosfamid menjadi bentuk sitotoksik fosforamid mustard dan

akrolein. Hati terlindung oleh adanya pembentukan 4-ketosiklofosfamid dan

karboksifosfamid, metabolit inaktif yang terbentuk secara enzimatik (Salmon, 1998).

Rumus molekul siklofosfamida dapat dilihat pada gambar 2.2:

(24)

Deskripsi:

a. Nama dan Struktur kimia:

2-[Bis(2-kloroetil)amino]tetrahidro-2H-1,3,2-oksazafosforin 2-oksida monohidrat [6055-19-2].

b. Sifat fisikokimia:

Serbuk hablur, putih, pada penghabluran terbentuk molekul air. Larut dalam air

dan dalam etanol.

c. Sediaan :

Siklofosfamid tersedia dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg dan 1,2 gram untuk

suntikan, dan tablet 25 dan 50 mg untuk pemberian per oral.

d. Mekanisme kerja:

Siklofosfamid merupakan obat yang dalam tubuh mengalami konversi oleh enzim

sitokrom P-450 menjadi 4-hidroksisiklofosfamid dan aldofosfamid yang

merupakan obat aktif. Aldofosfamid selanjutnya mengalami perubahan non

enzimatik menjadi fosforamid dan akrolein. Efek siklofosfamid dipengaruhi oleh

penghambat atau perangsang enzim metabolismenya. Sebaliknya, siklofosfamid

sendiri merupakan perangsang enzim mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi

aktivitas obat lain (Depkes, 1995).

2.4 Histologi Organ Penting 2.4.1 Sistem Saraf Pusat (Otak)

Menurut Dellmann dan Eurell (1998), parenkhim jaringan saraf terdiri dari

neuron dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Jaringan saraf dalam bentuk sistem

saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) atau Central Nerovus System (CNS)

(25)

terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST terdiri dari nervus cranialis dan

spinalis yang dihubungkan dengan saraf (nervus) dan ganglia yang berupa syaraf

motorik dan syaraf sensorik (Lu, 1995).

a. Neuron

Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf. Selain itu,

neuron juga sebagai unit tropik karena sifatnya dalam mentransformasi dan

menyokong sesuatu yang diinervasikan. Dengan pengecualian sel reseptor

olfaktorius, neuronnya khas dengan tidak mempunyai kemampuan mitosis. Struktural

neuron terdiri dari badan sel dan serabut saraf yang terdiri dari dendrit

dan akson (Dellmann dan Eurell 1998). Dari segi patologi, menurut Macfarlane et al.

(2000), neuron sangat sensitifterhadap kerusakan oleh berbagai macam agen

termasuk anoksia, hipoglikemia, infeksi virus dan gangguan metabolik intraseluler

(misalnya: yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B). Ada dua tipe utama

kerusakan neuron yang tergantung dari kecepatan perubahannya. Pertama, nekrosis

cepat. Hal ini berkaitan dengan kegagalan fungsi akut, misalnya kerusakan agen

berupa hipoksia, akan menyebabkan nuklear menjadi piknosis dan sitoplasma

mengkerut dan kemudian terjadi pemutusan sel dengan memfagositosis sel debri.

Kedua, atrofik lambat. Hal ini berhubungan dengan kehilangan fungsi secara

berangsur-angsur. Neuron biasanya mengecil atau dapat juga menggelembung

disertai metabolit abnormal dan pada akhirnya terjadi pemutusan sel neuron

(26)

Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Cerebrum (Otak Besar)

2. Cerebellum (Otak Kecil)

3. Brainstem (Batang Otak)

4. Limbic System (Sistem Limbik)

1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan

nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak

yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki

kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan

kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh

kualitas bagian ini.

cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan

otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabelsaraf

di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh,

dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam

kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir.

2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan

ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,

diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,

(27)

serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,

gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

3. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala

bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang

belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,

denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan

sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya

bahaya.

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat

kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Sistem limbik

berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara

homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme

dan juga memori jangka panjang.

b. Neuroglia

Neuroglia terdiri atas lebih dari 90% sel yang membangun sistem saraf. Sel

neuroglia (gliosit) relatif kecil. Dengan pewarnaan biasanya, hanya nuklei dan

perikarya yang terlihat. Secara bersamaan, neuroglia menyediakan dukungan

struktural dan fungsional. Tidak seperti neuron yang matang, gliosit tetap dapat

bermitosis dan mereka dapat menjadi sebuah tumor pada sistem saraf. Gliosit yang

ditemukan di SSP adalah astrosit, oligodendrosit, sel mikroglia (makrofag) dan sel

(28)

Menurut Ganong (2002) pada SSP, terdapat tiga jenis utama sel glia. Mikroglia

yang merupakan sel “pemakan bangkai” yang menyerupai sel-sel makrofag jaringan.

Mereka mungkin berasal dari sumsum tulang dan masuk ke sistem saraf melalui

sistem sirkulasi darah. Oligodendrogliosit berperan dalam pembentukan mielin.

Astrosit mempunyai dua subtipe. Astrosit fibrosa, yang mengandung banyak filamen

antara, terdapat terutama di substansia putih. Astrosit protoplasmik, ditemukan di

substansi kelabu dan mempunyai sitoplasma yang granular.

c. Medula spinalis

Medula spinalis yang berbentuk silinder dapat dibagi ke dalam beberapa

segmen yang dibatasi dengan kemunculan bilateralis nervus spinalis dorsal dan

ventral. Sebuah potongan melintang Medula spinalis menunjukkan canal centralis

yang dikelilingi oleh penampilan berbentuk kupu-kupu dari substansi abu-abu, yang

di dalam putarannya dikelilingi oleh substansi putih seperti pada Gambar 2.3

(Dellmann dan Eurell 1998). Pada setiap setengah bagian medula spinalis, substansi

alba dibagi ke dalam funikulus dorsalis, funikulus lateralis, dan funikulus ventralis

(Eurell dan Frappier, 2006).

(29)

Keterangan:

Substansi abu-abu (gm) Substansi putih (wm)

Ligamentum densikulata (dent) Dura mater (d.m.)

Dorsal roots (d.r.) Funikulus dorsalis (DF) Funikulus lateralis (LF) Funikulus ventralis (VF) 2.4.2 Hati

Hati merupakan kelenjar yang besar dan berlobus. Masing-masing lobus

ditutup oleh sebuah mesotelium, di bawahnya terdapat kapsula dari Glisson, lapisan

jaringan penghubung yang tipis. Masing-masing lobus terbagi dalam sejumlah

lobulus klasik yang terdiri dari sinusoid dan gambaran dari sel parenkhim, hepatosit,

yang menjari teratur sekitar vena centralis (Bacha dan Bacha, 2000). Lobus hati

berbentuk heksagonal dan vena centralis sebagai pusat cabangnya sedangkan portal

canal terletak di luar batas lobus. Lobus portal merupakan wilayah segitiga yang

berpusat pada duktus empedu di portal canal (King, 2007).

(30)

Hati tersusun dalam lobulus-lobulus, yang di dalamnya mengandung darah

dari cabang-cabang vena porta mengalir melewati sel-sel hati melalui sinusoid ke

vena sentral di setiap lobulus. Terdapat celah-celah besar di sel endotel, dan plasma

berkontak erat dengan sel hati. Biasanya hanya terdapat satu lapisan hepatosit di

antara sinusoid-sinusoid, sehingga luas permukaan kontak total antara sel hati dengan

plasma sangatlah besar. Darah arteri hepatica juga masuk ke dalam sinusoid.

Vena-vena centralis bergabung membentuk vena hepatica, yang mengalir ke dalam vena

cava cranialis. Semua darah yang mengalir melewati usus dan limpa akan diterima

oleh hati melalui vena portal hepatica. Darah portal tidak hanya membawa nutrisi

tetapi juga membawa berbagai macam kontaminan (obat-obatan, toksin dari

makanan, dan bakteri) yang terserap melalui mukosa usus atau yang diproduksi oleh

limpa. Selain itu, hati juga mendapat suplai darah dari arteri yang membawa oksigen

dari arteri hepatica (King, 2007).

Pada endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel Kupffer) yang

berproyeksi ke dalam lumen. Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotel dengan

fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah oleh sebab itu hati

merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan

(31)

Gambar 2.5 mikroskopik hati mencit (King, 2002)

Menurut Ganong (2002), hati memiliki fungsi sebagai berikut : pembentukan

dan sekresi empedu; metabolisme nutrient dan vitamin (seperti glukosa dan gula lain,

asam amino, lipid, vitamin yang larut dalam lemak, vitamin yang larut dalam air);

invasi beberapa zat (toksin, steroid, hormon); sintesis protein plasma dan imunitas

(sel Kupffer). Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu, 1995).

Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima

±80% suplai darah dari porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal,

sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri,

logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan

ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan

biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk

dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara

(32)

pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut dengan

degenerasi (McGavin, 2007).

Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa pembengkakan

sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis

terjadi akibat sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus,

bakteri, dan perlukaan bermediasi imun (McGavin, 2007). Pengamatan histopatologi

pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan berpenampakan seperti bervakuol

berisi cairan dan sitoplasma membengkak (Underwood, 1992). Degenerasi lemak

terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu

memetabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel.

Pengamatan histopatologi sel yang mengalami degenerasi lemak ini memperlihatkan

adanya vakuola yang jelas (Macfarlane, 2000).

Menurut Cheville (1999), kerusakan sel yang berkelanjutan dapat

menyebabkan sel mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua

mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa. Apoptosis adalah bentuk kematian sel

terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan

adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak

melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang

berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat

(Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk

menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville

(33)

2.4.3 Ginjal

Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan

menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adipose

(Seely, 1999). Pada semua spesies, arteri dan vena renalis, limfatik, saraf danureter

melewati lekukan tunggal atau hilus. Semua ginjal dilingkupi oleh jaringan konektif

kapsul yang tersusun atas serat kolagen utama tetapi dapat juga tersusun atas

sejumlah otot licin. Posisi ginjal yang retroperitoneal biasanya terdapat satu

permukaan dengan peritoneum (mesotelium, dan lapisan tipis jaringan konektif),

yang ditutupi oleh jaringan adiposa. Ginjal dibagi atas dua bagian yaitu korteks

(bagian luar) dan medula (bagian dalam) (Dellmann dan Eurell, 1998).

Dalam analisis toksipatologi, gangguan atau kerusakan ginjal diperiksa secara

histopatologis. Toksin menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada epitel tubuli

terutama di bagian proksimal. Bentuk kerusakan pada ginjal akibat dari toksin adalah

adanya degenerasi hidropis, dan nekrosa pada sel epitel tubuli proksimalis (Seely,

1999).

Pembagian tubulus renalis seperti halnya aliran filtrasi yang berasal dari darah

hingga menjadi tetes-tetes urin dari parenkhim ginjal yaitu meliputi nefron yang

terdiri atas korpuskel ginjal (glomerulus dan kapsula Bowman’s), tubuli proksimal

dan tubuli distal, macula densa, dan jerat henle. Selain nefron adalah sistem duktus

(34)

Gambar 2.6 Histopalogi Ginjal (King, 2002)

Keterangan: Glomerulus (glom) Tubuli proksimalis (p) Tubuli distalis (d).

Unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus

proksimalis yang berbelok-belok dan lurus, jerat henle desendens dan ascendens,

segmen yang lurus, dan tubulus distalis (Seely, 1999).

(35)

Dalam perjalanan sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan

berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan

kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat

terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan

disalurkan ke dalam pelvis renalis. Air serta elektrolit dan metabolit penting lainnya

akan diserap kembali. Selain itu, susunan urine dapat berubah-ubah, dan banyak

mekanisme pengaturan homeostasis yang mengurangi atau mencegah perubahan

susunan cairan ekstrasel (CES) dengan cara mengubah jumlah air dan zat terlarut

tertentu yang dieksresi melalui urine. Dari pelvis renalis, urine dialirkan ke dalam

vesika urinaria (kandung kemih) untuk kemudian dikeluarkan melalui proses

berkemih, atau miksi (Ganong, 2002).

Fungsi ginjal dalam toksisitas dapat dievaluasi melalui urinalisis dan

penentuan serum darah, seperti kreatinin dan nitrogen urea darah. Urin mencit

memiliki berat jenis yang tinggi. Proteinuria secara normal ada pada mencit dan

meningkat pada mencit jantan dewasa karena pengaruh hormone testosteron.

Albumin dan prealbumin berespon terhadap proteinuria. Ginjal mencit juga

mensintesa MUP (Mouse Urinary Protein), suatu protein yang hampir sama dengan

alfa-2u-globulin yang ada pada tikus. Akan tetapi MUP pada mencit tidak

direabsorpsi oleh ginjal dan mempunyai sifat ikatan yang berbeda. Ginjal mencit

mempunyai sistem enzim tertentu dalam membantu proses metabolisme,

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode percobaan ini meliputi pencampuran MSG dengan pelet, penyiapan

hewan uji, dan pengolahan data. Data histopatologi yang didapatkan sebagai data

kualitatif dianalisis dengan melihat langsung perubahan yang terjadi pada organ

dibawah mikroskop yang terjadi seperti, adanya degenerasi hidropik dan nekrosis

(karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) pada ginjal, hati dan adanya sel glia pada otak

mencit.

3.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas

laboratorium, neraca kasar (ohaus), neraca digital (Vibra), mortir dan stamfer, neraca

hewan (Presica), spuit ukuran 1 ml, alat bedah (Wells spencer), mikroskop (Boeco,

BM-180, Halogen Lamp), kamera digital MDCE-5A, Talenan, pisau scalpel, pinset,

kertas saring, tissue casset, mesin processor otomatis, mesin vaccum, mesin bloking,

freezer (-20°C), mesin microtome, pisau microtome, water bath, kaca obyek, kaca

penutup, rak khusus untuk pewarnaan, oven.

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan adalah MSG, makanan hewan berupa pelet, NaCl

0,9%, siklofosfamid (Cyclovid®, Novell), bahan utama berupa potongan jaringan

hewan yang telah difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Larutan

yang diperlukan adalah ethanol absolute, xylol, parafin, gliserin 99,5%, ewit

(37)

3.3 Penyiapan hewan percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit dengan berat 18-30 g sebanyak 30 ekor

dibagi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Sebelum digunakan

sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang

lebih satu minggu untuk menyesuaikan lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat

badan serta menyeragamkan makanannya.

3.3.1 Penentuan dosis MSG yang digunakan LD50 MSG = 16.600 mg

= 16,6 g

Untuk dosis yang digunakan pada mencit adalah 1/6 dari LD50, yaitu:

1/6 x 16,6 g = 2,76 g ≈ 3 g

Setelah didapat 1/6 dari LD50 yaitu 3 g, kemudian di beri dosis kelipatan menjadi

3 g, 6 g, dan 9 g (Anonim, 2012 ).

3.3.2 Pembuatan mucilago amyli 5%

Amilum manihot sebanyak 5 g dicampurkan pada lumpang yang berisi air

panas, aduk homogen sampai terbentuk massa yang jernih, kemudian tambahkan

aquadest sampai dengan 100 ml.

3.3.3 Penyiapan makanan hewan berupa pelet Formula pembuatan makanan mencit:

MSG (g) 3 6 9

Amilum (g) 0,1 0,1 0,1

Nipagin (g) 0,1 0,1 0,1

(38)

Pembuatan makanan hewan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

MSG digerus ke dalam lumpang, ditambahkan nipagin 0,1 g dan mucilago amyli.

Mucilago amyli yang diambil adalah 0,1% yaitu sebanyak 2 ml dari pembuatan

mucilago amyli 5%, lalu digerus sampai homogen, kemudian ditambahkan pelet

sampai dengan 10 g, gerus sampai homogen, lalu cetak menjadi pelet baru yang

mengandung MSG.

3.3.4 Penyiapan larutan siklofosfamid (LS) 0,5% (b/v)

Pembuatan LS dilakukan dengan cara sebagai berikut: ditimbang sebanyak 25

mg siklofosfamid (serbuk) kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml,

ditambahkan larutan fisiologis [NaCl 0,9% (b/v)] sampai batas tanda.

3.3.5 Pengujian efek MSG terhadap organ mencit

Pengujian efek MSG terhadap organ mencit dilakukan dengan cara melihat

jaringan organ ginjal, hati dan otak mencit di bawah mikroskop. Hewan percobaan

dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor hewan

percobaan. Kelompok tersebut adalah:

- Kelompok I : Diberikan pelet secara per oral l0 g/hari, selama 14 hari.

- - Kelompok II : Diberikan pelet 10 g/hari selama 14 hari,

dan pada hari ke-15 di induksi dengan LS 50 mg/kgBB secara

i.p.

- Kelompok III : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b

selama 14 hari.

- Kelompok IV : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,6% b/b

(39)

- Kelompok V : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,9% b/b

selama 14 hari.

Setelah 30 jam pemberian siklofosfamid, semua mencit penelitian dibunuh

dengan cara dislokasi leher kemudian dilakukan pembedahan, diambil jaringan segar

ginjal, hati, dan otak mencit. Terhadap organ dilakukan fiksasi (perendaman dengan

larutan formalin bufer 10% selama 6-48 jam), kemudian di dehidrasi dengan alkohol

70%, 80% 96%, dan absolute masing-masing 1 jam untuk mengeluarkan air dari

jaringan, selanjutnya dilakukan clearing (penjernihan) menggunakan xylol 1, 2 dan 3

masing-masing 1 jam untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan yang telah di fiksasi,

kemudian dilakukan embedding/parafinisasi yaitu penyusupan parafin menggunakan

parafin cair 1 dan 2 suhu 60-70°C masing-masing 2 jam. Pemotongan organ

dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 5μm dan di masukkan dalam

waterbath, kemudian dilakukan mounting (diletakkan sediaan diatas objeck glass

setelah diolesi glysin, kemudian di staining atau pewarnaan dengan

haematoxyline-eosin (H-E). Pengamatan dibawah mikroskop cahaya pembesaran 10x40. Secara

skematis pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Sampel Jaringan

Ginjal, Hati dan Otak ambil dan cuci tangan dengan NaCI fisiologis

Fiksasi

dengan larutan formalin buffer 10% (0,1 mol/L Phosphat Buffer Saline) pH 7 selama 6-48 jam

(40)

Gambar 3.1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi Ginjal, Hati dan Otak Mencit.

Clearing

(penjernihan) menggunakan xylol 1,2 dan 3 masing-masing : 1 jam untuk mengeluarkan alcohol dari jaringan yang telah difiksasi

Embedding/Parafinisasi

impregnasi/Penyusupan paraffin menggunakan paraffin cair suhu 60-700C masing-masing : 2 jam

Pembuatan Blok Parafin

(Penanaman jaringan dalam kaset dan didinginkan)

Sectioning / Pemotongan

Menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan masukkan dalam waterbath

Mounting

Letakkan sediaan diatas objeck glass setelah diolesi glyserin

Staining

pewarnaan dengan haematoxyline-eosin (H-E)

(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perubahan Histopatologi Ginjal Mencit

Setiap jaringan ginjal baik kiri dan kanan yang dibuat preparatnya di potong

secara serial, dimana posisi lateral ginjal kiri dan dan posisi vertikal ginjal kanan,

kemudian masing-masing preparat diamati di bawah mikroskop cahaya dengan

perbesaran 10 x 40 untuk melihat kerusakan selnya. Kerusakan dari setiap area

ditandai dengan adanya sel yang mengalami degenerasi hidrofil dan nekrosis.

Degenerasi hidrofil adalah pembengkakan sel karena penimbunan cairan didalam

sitoplasma. Nekrosis (kematian sel) yang ditandai perubahan dari inti sel seperti:

Karyopiknosis (inti kecil dan padat), Karyolisis (inti pucat dan terlarut) dan

Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan).

Berdasarkan perhitungan rata berat badan mencit selama 14 hari dan

rata-rata campuran pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b, 0,6% b/b, 0,9% b/b yang

dimakan selama 14 hari, maka jumlah dosis yang dipakai adalah dosis 13,79 g/kgBB,

30,01 g/kgBB, 41,02 g/kgBB. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu tanpa

menghitung berapa jumlah kerusakan yang terjadi pada organ. Pemberian MSG

menunjukkan perubahan jaringan pada organ ginjal yang dapat dilihat pada Gambar

4.1 D dan Gambar 4.1 E yaitu gambar jaringan organ ginjal mencit yang di beri MSG

dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB. Pada pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB

dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari menunjukkan gambaran yang sama dengan

pemberian siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.1 B). Gambar histopatologi

(42)

menunjukkan perubahan yang besar dan dapat dikatakan mirip dengan kontrol normal

(Gambar 4.1 A).

Adapun perubahan jaringan organ ginjal mencit di tandai terbentuknya

degenerasi hidrofil, yaitu terjadi pembengkakan sel akibat penumpukan cairan pada

sitoplasma. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada pemberian MSG dosis 41,02

g/kgBB lebih banyak dibandingkan dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB

selama 14 hari.

Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis merupakan salah satu

parameter kerusakan pada ginjal. Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang

menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut

(karyolisis) dan inti sel pecah menjadi gumpalan (karyoreksis).

Pada Gambar 4.1 D terlihat adanya pembengkakan sel akibat penumpukan

cairan pada sitoplasma (degenerasi hidrofil) dan terjadi perubahan inti sel yang

menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan pada Gambar 4.1 E menunjukkan

inti sel menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan terjadi pembengkakan sel

akibat penumpukan cairan pada sitoplasma (degenerasi).

Gambar pengamatan jaringan organ ginjal mencit pada mikroskop cahaya

dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dangan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat

(43)

A. Kontrol Normal

(44)

C. MSG 13,79 g/kgBB

(45)

E. MSG 41,02 g/kgBB

Gambar 4.1 Pengamatan Histopatologi jaringan ginjal

Keterangan:

DH : Degenerasi hidrofil (penimbunan cairan didalam sitoplasma) P : Karyopiknosis (inti kecil dan padat)

4.2 Perubahan Histopatologi Organ Hati

Hati merupakan organ yang paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang

menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah

dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga

memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam

mineral, dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal di transportasikan ke hati.

Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi

pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk di eliminasi oleh tubuh.

Kerusakan pada hati dapat bersifat sementara (degenerasi), dan menetap hingga

(46)

hati menjadi organ yang penting untuk diamati histopatologinya akibat pemberian

MSG.

Pengamatan terhadap efek pemberian MSG dosis 13,79 g/kgBB, 30,01

g/kgBB, 41,02 g/kgBB ini dilakukan secara kualitatif yaitu tanpa menghitung berapa

jumlah kerusakan yang terjadi pada organ. Pemberian MSG menunjukkan perubahan

jaringan pada organ hati yang dapat dilihat pada Gambar 4.2 D dan Gambar 4.2 E

yaitu gambar jaringan organ hati mencit yang di beri MSG dosis 30,01 g/kgBB dan

41,02 g/kgBB selama 14 hari. Pada pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02

g/kgBB selama 14 hari menunjukkan gambaran yang sama dengan pemberian

siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.2 B). Gambar histopatologi hati mencit

dengan pemberian MSG dosis 13,79 g/kgBB selama 14 hari tidak menunjukkan

perubahan yang besar dan dapat dikatakan mirip dengan kontrol normal (Gambar 4.2

A).

Adapun perubahan jaringan organ hati mencit ditandai terbentuknya

degenerasi hidrofil, yaitu terjadi pembengkakan sel akibat penumpukan cairan pada

sitoplasma. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada pemberian MSG dosis 41,02

g/kgBB lebih banyak dibandingkan dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB

selama 14 hari.

Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis merupakan salah satu

parameter kerusakan pada hati. Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang

menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut

(47)

Pada Gambar 4.2 D terlihat adanya pembengkakan sel akibat penumpukan

cairan pada sitoplasma (degenerasi hidrofil) dan terjadi perubahan inti sel yang

menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan pada Gambar 4.2 E menunjukkan

inti sel menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan terjadi pembengkakan sel

akibat penumpukan cairan pada sitoplasma (degenerasi).

Gambar pengamatan jaringan organ hati mencit pada mikroskop cahaya

dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat

pada Gambar 4.2 berikut ini:

(48)

B. Pembanding

(49)

D. MSG 30,01 g/kgBB

E. MSG 41,02 g/kgBB

Gambar 4.2 Pengamatan Histopatologi jaringan hati

Keterangan:

DH : Degenerasi hidrofil (penimbunan cairan didalam sitoplasma) P : Karyopiknosis (inti kecil dan padat)

(50)

L : Karyolisis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan)

4.3 Perubahan Histopatologi Organ Otak

Mikroglia merupakan sel yang berasal dari mesodermal yang bermigrasi ke susunan saraf pusat (SSP) ketika tervaskularisasi secara embriologik. Pada otak yang

mengalami kerusakan (misalnya meningitis), mikroglia dapat berubah menjadi

makrofag dengan keberadaan antigen dan memiliki kemampuan memfagosit

(Delmann dan Eurell, 1998) dan ketika sitoplasma menjadi bengkak oleh material

fagositosis, mikroglia disebut sebagai sel Gitter, atau foam cell (Wardanela, 2008).

Oleh karena itu, dari pengamatan perubahan histopatologi medula spinalis yang

menjadi parameternya adalah kejadian gliosis pada substansi glisea/abu-abu dengan

membandingkan sel glia pada mencit kontrol dan perlakuan.

Gambar pengamatan jaringan organ otak mencit pada mikroskop cahaya

dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat

(51)

A.Kontrol Normal

B. Pembanding

(52)

D. MSG 30,01 g/kgBB

E. MSG 41,02 g/kgBB

Gambar 4.3 Pengamatan Histopatologi jaringan otak Keterangan:

(53)

Pada Gambar 4.3 D dan E dapat dilihat jaringan otak mencit yang diberi MSG

30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari memperlihatkan adanya perubahan

pada medula spinalis. Perubahan pada medula spinalis menunjukkan adanya

pertumbuhan sel glia yang meningkat di bandingkan pada MSG 13,79 g/kgBB selama

14 hari pada Gambar 4.3 C.

Berdasarkan keterangan Gambar 4.3, dapat dilihat bahwa perubahan jaringan

sel terjadi seiring dengan meningkatnya dosis MSG yang diberikan. Pemberian MSG

dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB memberikan efek perubahan jaringan sel.

Gambaran histopatologi organ otak mencit yang diberi MSG dosis 41,02 g/kgBB

memperlihatkan kondisi yang hampir sama dengan kontrol positif yaitu pemberian

siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.3 B).

Pada pemberian siklofosfamid, MSG 30,01 g/kgBB, dan MSG 41,02 g/kgBB

terlihat pertumbuhan sel glia yang lebih banyak dibandingkan kontrol normal,

pembanding dan MSG 13,79 g/kgBB. Perbedaan ini terjadi karena meningkatnya

aktivitas sel-sel glia yang ada di otak dalam memfagositosis dan berproliferasi

sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak (Wardanela, 2008).

Berdasarkan hasil pengamatan ditunjukkan bahwa monosodium glutamat

(MSG) berpotensi merusak jaringan, karena pemberian MSG pada dosis 41,02

g/kgBB menunjukkan gambaran histopatologi yang sangat mengkhawatirkan

dibanding dengan kontrol normal dan gambaran tersebut mendekati gambaran

histopatologi pada kontrol positif/pembanding yaitu pemberian siklofosfamid dosis

50 mg/kgBB (Gambar 4.3 B). Pemberian MSG dengan dosis 13,79 g/kgBB belum

(54)

dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari menimbulkan kerusakan

jaringan yang ditandai dengan adanya perubahan jaringan organ ginjal dan hati

mencit yaitu terbentuknya degenerasi hidrofil. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada

pemberian MSG dosis 41,02 g/kgBB selama 14 hari lebih banyak dibandingkan

dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB selama 14 hari.

Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis pada jaringan ginjal dan hati.

Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang menjadi lebih kecil dan padat

(karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut (karyolisis) dan inti sel pecah

menjadi gumpalan (karyoreksis) dan menimbulkan kerusakan jaringan pada organ

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian

ini adalah:

Efek MSG pada organ ginjal dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB

selama 14 hari menyebabkan degenerasi hidrofil (pembengkakan sel akibat

penumpukan cairan di sitoplasma) dan karyopiknosis (inti sel menjadi lebih kecil dan

padat).

Efek MSG pada organ hati dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB

selama 14 hari menyebabkan degenerasi hidrofil (pembengkakan sel akibat

penumpukan cairan di sitoplasma) dan ditandai dengan karyopiknosis (inti sel yang

menjadi lebih kecil dan padat), dan karyoreksis (inti sel pecah menjadi gumpalan),

karyolisis (inti sel menjadi pucat dan terlarut).

Efek MSG pada organ otak dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB

selama 14 hari menyebabkan peningkatan aktivitas sel glia yang ada di otak dalam

memfagositosis dan berproliferasi sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak.

Efek MSG dengan dosis 13,79 g/kgBB tidak menimbulkan efek pada organ

ginjal, hati dan otak mencit.

5.2 Saran

Sebaiknya pengamatan histopatologi dilakukan secara kuantitatif dengan

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2012). Monosodium Glutamat. www.wikipedia.org>. Diakses tanggal 4 Agustus 2012.

Ardyanto, T.D. (2004). MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek dan Kontroversinya.

Kesehatan. 16(1): 1.

Bellisle, F., Monneuse, M.O., Chabert, M., Larue, A.C., Lanteaume, M.T., dan Louis, S.J. (1991). Monosodium Glutamate As a Palatability Enhancer in the European Diet. Physiol Behav. 49(5): 869-73.

Cheville, N.F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Halaman 113-120.

Depkes. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 266.

Dada, M.O., dan Blake, C.A. (1984). Administration of MSG to Neonatal Male Rat’s: Alterations in Gonadotrophs and in Gonadotrophin Secretions.

Neuroendocrinology. 38(6): 90-97.

Dellmann, H.D., dan Eurell, J.A. (1998). Veterinary Histology. Lippincott; Williams & Wilkins. Halaman 91-225.

Eurell, J.A., dan Frappier, B.L. (2006). Nervous System. Version: 1.0. Kota: Blackwell Publishing. Halaman 194-221.

Fahim E, AM Rahman and MM. Fathi. 1999. Effect of monosodium glutamate and sodium benzoate on histame content and their potential interaction with anthitasminic in different CNS areas of albino rat. Egyptian Ger. Society of Zoology Journal 29 (A): 1-16.

Ganong, W.F. (1995). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Edisi ke-14. Alih Bahasa: Adrianto. Jakarta: EGC. Halaman 234-245.

Ganong, W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Halaman 286-290.

(57)

Harada. (1999). Liver dan Gallbladder. Maronpot RR. (1999). Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi ke-1.Cache River Press. Halaman 119-136.

Ismail, N.H. (2012). Assessment of DNA Damage In Testes From Young Wistar Male Rat Treated With Monosodium Glutamate. Life Science Journal. 9(1): 1.

Jusup. A.A. (2009). Histoteknik Dasar. Jakarta: Fakultas kedoktersn Universitas Indonesia.32(1):1.

King, D. (2002). Lobule of Pig Liver. http://www.siumed.edu/[14 September 2008].

King, D. (2007). Histology Study Guide of the Gastrointestinal System, Kidney andUrinary Tract. http://www.siumed.edu/ [20 Juli 2008].

Kurniasih. (2002). Petunjuk Proses Jaringan dan Atlas Histologi. Yogyakarta; Laboratorium Patologi FKH-UGM. Halaman 7-30.

Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar. Edisi 2. Jakarta: UI-Press. Halaman 20-268.

MacFarlane, P.S., Reid, R., dan Callander, R. (2000). Pathology Ilustrated. Edisi ke-4. London: Hurchill Livingstone. Halaman 135-150.

Maidawilis. (2010). Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat Terhadap Kadar

Follicle Stimulating Hormon Dan Luteinizing Hormon Mencit (Mus Musculus) Betina Strain Jepang. Tesis. Padang: Universitas Andalas.

McGavin, M.D., dan Zachary, J.F. (2007). Pathologic Basic of Veterinary Disease. kota: Mosby, Inc. Halaman12-17.

Miskowiak, B., Limanowski, A., dan Partyka, M. (1993). Effect of Perinatal Administration of Monosodium Glutamat (MSG) on the Reproductive System of Male Rat. Endocrynol Pol. 44(4): 497-505.

Nizamuddin. (2000). Pengaruh Pemberian MSG Per oral Terhadap Spermatogenesis dan Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. Jurnal Kedokteran YARSI. 8(3): 93-113.

(58)

Prawirohardjono, W., dan Dwiprahasto, I. (2000). The Administration to Indonesians of Monosodium L-Glutamat In Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions In A Randomized. Jurnal Of Nutrition. 130:1074-1076.

Salmon, S.E., dan Alan, C.S. (1998). Kemoterapi kanker. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Editor Bertram G.Katzung. Edisi IV. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Halaman 860-861, 865.

Seely, J.C. 1999. Pathology of The Mouse. Edited by: Maronpot RR. Associate

Editors: Boorman GA and Gaul BW Cache. Vienna:River Press. Halaman 134-180.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. ( 2002). Obat-Obat Penting. Edisi V. Jakarta: PT Gramedia. Halaman 840.

Underwood, J.C.E. (1992). General and Systemic Pathology. New York. Churchill Livingstone. Halaman: 23-765.

Wardanela, M. (2008). Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin

Enterobacter sakazaki Pada Mencit (Mus musculus) Neotatus. Skripsi, Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Wakidi, R.F. (2012). Efek Protektif Vitamin C dan E Terhadap Mutu Sperma Mencit Jantan Dewasa Yang di Pajan Dengan Monosodium Glutamat. Tesis. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Wilson, L.M. dan Lester, L.B (1995). Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam: SA. Price and LM. Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Terjemahan: Peter Anugerah. Jakarta: Halaman 426-427, 429-430 Penerbit.Buku Kedokteran EGC.

(59)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Monosodium Glutamat (MSG) yang dicampurkan dengan pelet.

a.MSG 0,3% b/b

b. MSG 0,6% b/b

(60)
(61)

Lampiran 3. Bagan pembuatan makanan hewan berupa pelet yang dicampurkan dengan MSG.

Ditaburkan pada lumpang yang berisi air panas

Digerus homogen sampai terbentuk massa yang jernih

Ditambahkan aquadest sampai dengan 100 ml

Digerus homogen sampai terbentuk massa yang jernih

Digerus sampai homogen

Ditambahkan 0,1 g nipagin

Di tambahkan Mucilago amyli Digerus kembali sampai homogen

Ditambahkan pelet sampai dengan 10 g

Digerus sampai homogen

Dicetak menjadi pelet baru MSG

Pelet baru Amylum

manihot

(62)

Lampiran 4. Alat-alat yang digunakan

a. Mikroskop

a. Mikroskop

(63)

Lampiran 4. (lanjutan)

c. Gunting bedah dan pinset

(64)

Lampiran 5. Hewan percobaan

a.Mencit

(65)

Lampiran 6.

a. Organ Ginjal, Hati dan Otak yang direndam Formalin 10%

b. Penanaman jaringan dalam kaset /parafinisasi

(66)

Gambar

Gambar Medula Spinalis  .........................................................
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) (Wakidi, 2012).
Gambar 2.3 Medula spinalis (Dellmann & Eurell, 1998)
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pertama, seorang penjual mengatakan, ‘saya menjual pakaian ini kepadamu sepuluh dinar kontan dan lima belas dinar kredit.’ “maka, akad jual-beli ini tidak sah karena pihak

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat observasi siklus kedua mengalami peningkatan dari siklus pertama dengan meningkatnya kemampuan berfikir kreatif

Pengertlan pencemaran laut adalah perubahan pada ling­ kungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh ma­ nusia secara langsung ataupun tidak langsung bahan- bahan atau energi

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul : “Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Proses penyearahan dapat dijelaskan melalui Gambar 2.2 (a), (b) dan (c), pada setengah siklus pertama dengan polaritas positif, dioda pada rangkaian penyearah akan ON karena

tidak cukup, kebutuhan yang terus meningkat dan pengaruh lingkungan sosial,. mempengaruhi sikap dari tindakan setiap

Jika MOSFET dalam kondisi ideal, ketika MOSFET dalam kondisi ON memiliki karakteristik tegangan pada terminal pengalir dan sumber (V DS ) sama dengan nol dan arus yang