EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI
DAN OTAK MENCIT
SKRIPSI
OLEH:
NURHAYATI LUBIS
NIM 101524069
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI
DAN OTAK MENCIT
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas SumateraUtara
OLEH:
NURHAYATI LUBIS
NIM 101524069
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI
DAN OTAK MENCIT
OLEH:
NURHAYATI LUBIS
NIM 101524069
Dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 31 Agustus 2013
Pembimbing I, Panitia Penguji
Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 197506102005012003 NIP 195103261978022001
Pembimbing II, Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Efek Pemberian
Monosodium Glutamat (MSG) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal, Hati Dan
Otak Mencit. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa
pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ibu Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si., Apt., dan Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U.,
Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat
selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Drs.
Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Ibu Marianne, S.Si., Apt., selaku penguji yang telah
memberikan evaluasi dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang
tulus kepada Ayahanda Hafiffuddin Lubis dan Ibunda Ramsiah Nasution tercinta,
serta kakak-kakak saya, Nurmaini Lubis, Nuraida Lubis, S.T., dan adik saya Amaliah
Rezeky Lubis atas doa, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam
Kakanda Boby Umar Ramsi serta teman-teman saya, Irsyad Hanafi, Dewi Sartika,
Evi susi yanti solin, atas doa dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan yang berarti bagi
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu farmasi.
Medan, 31 Agustus 2013 Penulis,
EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI DAN OTAK MENCIT
ABTRAK
Monosodium glutamat (MSG) merupaka sama seperti glutamat dari makanan lain. Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, mengenai permasalahan adanya berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak yang tidak mencantumkan kandungan MSG. Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak terutama pada organ ginjal, hati dan otak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit.
Monosodium glutamat dicampurkan ke dalam pelet, kemudian campuran monosodium glutamat dan pelet diberikan kepada mencit yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan dosis 13,79 g/kgBB, perlakuan dosis 30,01 g/kgBB dan perlakuan dosis 41,02 g/kgBB. Pemberian campuran monosodium glutamat dan pelet dilakukan selama 14 hari berturut-turut, kemudian hari ke-15 mencit dibunuh dan diambil organ ginjal, hati, dan otak kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE).
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ ginjal, hati dan otak. Parameter yang diamati adalah kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel glia pada otak. Berdasarkan pengamatan histopatologi secara kualitatif menunjukkan bahwa terjadi pertambahan jumlah sel glia pada otak sedangkan pada ginjal dan hati terjadi nekrosis (karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) dan degenerasi hidropis.
Hasil pengamatan histopatologi yang di peroleh dapat disimpulkan bahwa pemberian monosodium glutamat pada pelet mencit dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB dapat menyebabkan kerusakan sel pada ginjal, hati dan otak.
EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) ON
HISTOPATHOLOGICAL IMAGING OF MICE’S KIDNEY , LIVER AND BRAIN
ABSTRACT
Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt of glutamic acid (non-essential amino acids). Glutamate in MSG gives delicious and savory taste as glutamate in other foods. Several times there is fear in the media, mainly represented by Consumer Council about there are a variety of snack in containers commonly consumed by children do not list MSG as ingredient. The Consumer Council stated that amount of MSG consumption threatens the health of children especially in the kidneys, liver and brain. The purpose of this study to determine the effects of MSG on histopathological imaging of the kidney, liver and brain of mice.
Monosodium glutamate that have blended into pellets, then a mixture of monosodium glutamate and the pellets were given to mice that are divided into 5 groups with the negative control group, positive control, treatment dose of 13,79 g/kg body weight, the treatment dose of 30,01 g/kg body weight dose of treatment and 41,02 g/kg body weight. Administering a mixture of monosodium glutamate and the pellets were made during 14 days in a row, then the 15th day mice are killed and taken the organ kidney, liver, and brain then fixation in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and then processed into preparations using haematoxylin staining histopatologis eosin (HE).
Microscopic observations were carried out to see thetissue of kidney, the liver and the brain. The parameters observed were the genesis of degeneration in the liver and kidneys, the number of glia cells in the brain. Histopathology observation based on qualitatively indicates that happened increase number of glia cells in the brain, whereas in the kidneys and liver necrosis occurs (karyopiknosis, karyoreksis, kariolisis) and hidropis degeneration.
Based on histopathological imaging it could be concluded that the monosodium glutamate in mice with a dose of pellets with 30,01 g/kg body weight and 41,02 g/kg body weight can cause damage to cells in the kidneys, liver and brain mice.
2.4 Histologi Organ Penting ... 11
4.1 Perubahan Histopatologi Ginjal Mencit ... 28
4.2 Perubahan Histopatologi Hati Mencit ... 32
4.3 Perubahan Histopatologi Otak Mencit ... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
5.1 Kesimpulan ... 41
5.2 Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5
2.1 Rumus kimia MSG ... 7
2.2 Rumus Kimia Siklofosfamid ... 10
2.3 Gambar Medula Spinalis ... 15
2.4 Histopatologi Hati ... 16
2.5 Gambar Mikroskopik Hati Mencit ... 17
2.6 Gambar Histopatologi Ginjal ... 20
2.7 Gambar Nefron ... 21
3.1 Gambar Skema Prosedur Histopatologi ... 27
4.1 Gambar Pengamatan Jaringan Ginjal ... 32
4.2 Gambar Pengamatan Jaringan Hati ... 36
4.3 Gambar Pengamatan Jaringan Otak ... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Gambar monosodium glutamat (MSG) yang dicampurkan
dengan pelet ... 58
2 Perhitungan Dosis ... 59
3 Bagan Pembuatan Makanan Hewan Berupa Pelet yang dicampurkan dengan MSG ... 60
4 Alat-alat yang digunakan ... 61
5 Hewan Percobaan ... 62
6 Organ ginjal, hati dan otak mencit, parafinisasi ... 63
7 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di lab. Patologi FK USU ... 64
EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)
TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL, HATI DAN OTAK MENCIT
ABTRAK
Monosodium glutamat (MSG) merupaka sama seperti glutamat dari makanan lain. Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, mengenai permasalahan adanya berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak yang tidak mencantumkan kandungan MSG. Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak terutama pada organ ginjal, hati dan otak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit.
Monosodium glutamat dicampurkan ke dalam pelet, kemudian campuran monosodium glutamat dan pelet diberikan kepada mencit yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan dosis 13,79 g/kgBB, perlakuan dosis 30,01 g/kgBB dan perlakuan dosis 41,02 g/kgBB. Pemberian campuran monosodium glutamat dan pelet dilakukan selama 14 hari berturut-turut, kemudian hari ke-15 mencit dibunuh dan diambil organ ginjal, hati, dan otak kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE).
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ ginjal, hati dan otak. Parameter yang diamati adalah kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel glia pada otak. Berdasarkan pengamatan histopatologi secara kualitatif menunjukkan bahwa terjadi pertambahan jumlah sel glia pada otak sedangkan pada ginjal dan hati terjadi nekrosis (karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) dan degenerasi hidropis.
Hasil pengamatan histopatologi yang di peroleh dapat disimpulkan bahwa pemberian monosodium glutamat pada pelet mencit dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB dapat menyebabkan kerusakan sel pada ginjal, hati dan otak.
EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) ON
HISTOPATHOLOGICAL IMAGING OF MICE’S KIDNEY , LIVER AND BRAIN
ABSTRACT
Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt of glutamic acid (non-essential amino acids). Glutamate in MSG gives delicious and savory taste as glutamate in other foods. Several times there is fear in the media, mainly represented by Consumer Council about there are a variety of snack in containers commonly consumed by children do not list MSG as ingredient. The Consumer Council stated that amount of MSG consumption threatens the health of children especially in the kidneys, liver and brain. The purpose of this study to determine the effects of MSG on histopathological imaging of the kidney, liver and brain of mice.
Monosodium glutamate that have blended into pellets, then a mixture of monosodium glutamate and the pellets were given to mice that are divided into 5 groups with the negative control group, positive control, treatment dose of 13,79 g/kg body weight, the treatment dose of 30,01 g/kg body weight dose of treatment and 41,02 g/kg body weight. Administering a mixture of monosodium glutamate and the pellets were made during 14 days in a row, then the 15th day mice are killed and taken the organ kidney, liver, and brain then fixation in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and then processed into preparations using haematoxylin staining histopatologis eosin (HE).
Microscopic observations were carried out to see thetissue of kidney, the liver and the brain. The parameters observed were the genesis of degeneration in the liver and kidneys, the number of glia cells in the brain. Histopathology observation based on qualitatively indicates that happened increase number of glia cells in the brain, whereas in the kidneys and liver necrosis occurs (karyopiknosis, karyoreksis, kariolisis) and hidropis degeneration.
Based on histopathological imaging it could be concluded that the monosodium glutamate in mice with a dose of pellets with 30,01 g/kg body weight and 41,02 g/kg body weight can cause damage to cells in the kidneys, liver and brain mice.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perubahan gaya
hidup masyarakat, termasuk perubahan pola konsumsi makanan yang lebih banyak
mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan awetan yang
belakangan ini semakin banyak dijual di pasar tradisional dan swalayan.
Penggunaan bahan tambahan makan banyak sekali digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, seperti senyawa L-asam glutamat yang digunakan dalam bentuk
garamnya yaitu MSG. Berbagai merk dagang MSG telah dikenal di masyarakat
secara luas seperti ajinomoto, vetsin, micin, sasa, miwon dan sebagainya (Maidawilis,
2010).
Dalam kehidupan sehari-hari, MSG banyak dipakai dalam makanan sebagai
bahan penyedap masakan untuk merangsang selera makan. Penggunaan MSG dalam
makanan biasanya dilakukan dalam jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan
MSG diperjual belikan secara bebas (Wakidi, 2012).
Saat ini ada beberapa makanan mengandung bumbu penyedap atau yang biasa
dikenal dengan vetsin atau MSG. Vetsin atau MSG adalah penyedap rasa yang sering
digunakan saat memasak untuk menyedapkan masakan. Setelah diberi sedikit vetsin,
makanan dapat menjadi sedap karena di dalam vetsin itu terkandung asam glutamat
(glutamic acid). Berbagai senyawa pembangkit citarasa yang beredar bebas di
sulfosuccinate (untuk susu kaleng) dan lain sebagainya. Diketahui hanya MSG yang
banyak menimbulkan kontroversi antara produsen dan konsumen (Winarno, 2004).
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat
mengelompokkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga
tidak perlu aturan khusus. Tetapi tahun 1968, muncul laporan di New England
Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran
china sehingga disebut “Chinese Restaurant Syndrome”. Karena kompisisinya
dianggap signifikan dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi
belum dilaporkan bukti ilmiahnya. Untuk itu, tahun 1970 FDA menetapkan batas
aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi
garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan
kepada bayi kurang dari 12 minggu. Tahun 1980, laporan-laporan tentang hubungan
MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome ini kembali banyak muncul berupa sakit
kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah. Pada tahun ini pula diketahui
bahwa glutamate berperan penting pada fungsi sistem syaraf, sehingga muncul
pertanyaan (Ardyanto, 2004).
Penelitian tentang MSG selama ini dilakukan pada hewan coba dalam masa
neonatal, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari MSG digunakan oleh orang dewasa
dan umumnya dalam jangka waktu yang lama. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa MSG menimbulkan disfungsi reproduksi dan endokrin yang multipel pada
hewan coba. Dada dan Blake (1984), menemukan bahwa pemberian MSG
spermatogenesis (Nizamuddin, 2000) dan dapat menyebabkan terbentuknya
mikronukleus pada sel sumsum tulang femur mencit (Handayani, 2012).
Salah satu metode yang dipilih untuk pengamatan terhadap parameter biologis
adalah melalui pengamatan histopatologi. Pemeriksaan histologi adalah salah satu
cara untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui
pengamatan secara mikro anatomi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui
pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan, yang
bertujuan untuk memeriksa penyakit berdasarkan pada reaksi perubahan jaringan,
terjadinya perubahan pada jaringan diduga merupakan efek toksik dari satu zat
tertentu (Kurniasih, 2002).
Histopatologi mempunyai keuntungan yaitu dapat membantu memahami
struktur histologi jaringan tubuh sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada waktu
hidup, memberikan hasil yang benar-benar shahih (valid/akurat) yang sangat
dibutuhkan oleh para peneliti untuk menjawab permasalahan yang timbul, disamping
itu untuk menunjang diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien dan efek toksik
suatu zat lebih mudah dilihat secara histopatologi (Jusup,2009)
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui efek pemberian MSG
terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit. Sebagai pembanding
digunakan siklofosfamid (50 mg/kgBB). Pemberian dosis dilakukan dengan
mencampur pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b, 0,6% b/b, 0,9% b/b yang
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Apakah MSG dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ ginjal, hati
dan otak mencit?
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis:
MSG menyebabkan kerusakan organ ginjal, hati dan otak mencit
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah:
Mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal,
hati dan otak mencit.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah:
Masyarakat menjadi lebih waspada dalam mengkonsumsi makanan yang
mengandung MSG dan mengetahui dampak yang di timbulkan MSG terhadap
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Monosodium Glutamat (MSG)
MSG adalah garam natrium glutamat, zat aditif pada makanan yang
meningkatkan cita rasa makanan yang ada dalam makanan kemasan tanpa tertera
pada label. Hal ini bisa menyebabkan masyarakat mengkonsumsi MSG dalam
konsentrasi tinggi karena tidak ada dicantumkan kadar MSG dalam makanan
kemasan (Ismail, 2012).
MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia dan
menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara. MSG banyak
digunakan pada masakan Cina dan Asia Tenggara yang dikenal dengan nama
Ajinomoto®, Sasa®, Miwon® (Wakidi, 2012).
Asam glutamat adalah asam amino yang terdapat paling banyak dalam cairan
otak dan sumsum tulang belakang, dan bekerja sebagai neurotransmitter. Asam
glutamat merupakan komponen dari asam folat dan GTF (faktor toleransi glukosa)
dan merupakan precursor dari GABA (gamma-amino butyric acid). Dalam usus,
glutamat dirombak menjadi citrulin dan arginin, suatu regulator penting dari sistem
imun. Dengan demikian, glutamat adalah esensial pula bagi baiknya fungsi usus dan
pemeliharaan barrier mukosanya. Penggunaannya terutama sebagai garam natrium
(MSG) untuk memperkuat rasa dalam makanan. Sebagai suplemen pada keadaan
stress untuk memperbaiki kondisi lambung-usus dan sistem imun, juga guna
mual, muka menjadi merah, dan perasaan panas yang disebut sindroma restoran cina
(Tan dan Rahardja, 2002).
Asam glutamat (asam bebas dari MSG) adalah unsur pokok dari protein yang
terdapat pada bermacam-macam sayuran, daging, seafood, dan air susu ibu. Asam
glutamat digolongkan pada asam amino non essensial karena tubuh manusia sendiri
dapat menghasilkan asam glutamat. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan
2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang
menjadi ciri pada asam amino. Struktur kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda
dengan asam glutamat, hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung
hidrogen diganti dengan natrium. Gugus karboksil setelah diionisasi dapat
mengaktifkan stimulasi rasa pada alat pengecap.
Rumus kimia dari MSG seperti yang terlihat pada Gambar 2.1:
Gambar 2.1 Monosodium Glutamat (MSG) (Wakidi, 2012).
2.2 Beberapa Penelitian Terhadap MSG
Kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah
mengkonsumsi MSG 30 mg/kgBB/hari, yang berarti sudah mulai melampaui
kadar ini akan menurun kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam 3
jam, berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5-3,5 g MSG
(BB 50-70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok
teh rata-rata berisi 4-6 g MSG (Maidawilis, 2010).
MSG mempunyai pengaruh terhadap kemampuan untuk merasakan suatu
makanan dari dua percobaan makanan yang diberikan terhadap 36 pria dan wanita
yang sehat. MSG meningkatkan citarasa makanan sampai 0,6 %. Percobaan yang
diberikan selama 1 minggu dengan mengkonsumsi MSG menunjukkan kemampuan
untuk mencicipi makanan semakin meningkat. Dampak pemberian MSG pada
makanan meningkatkan kadar kalsium dan magnesium, selain itu juga meningkatkan
kadar lemak dalam tubuh (Bellisle, dkk., 1991).
Menurut Fahim (1999) MSG menyebabkan penurunan kandungan histamin yang
berarti dalam sistem saraf pusat dan menyebabkan kerusakan pada otak. MSG
menyebabkan terjadinya obesitas dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan
tubuh pada tikus neonatal. Selain itu beberapa peneliti lain mengatakan bahwa MSG
dapat menyebabkan gangguan endokrinal melalui mekanisme hipotalamus-hipofisis
(Maidawilis, 2010).
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nizamuddin, (1993),
dilaporkan bahwa pengaruh pemberian MSG peroral terhadap spermatogenesis dan
kesuburan tikus jantan dewasa, dosis 2400, 4800 dan 9600 mg/kgBB/hari selama 49
hari, menimbulkan efek pengurangan diameter tubulus semniferus dan menyebabkan
Penelitian lain dilakukan pada anak mencit jantan dan betina yang baru
dilahirkan dengan melakukan penyuntikan subkutan dari hari ke-2 sampai hari ke-11,
dengan dosis berangsur-angsur meningkat, dari 2,2 sampai 4,2 mg/kgBB. Ternyata
setelah dewasa, bila mencit jantan dikawinkan dengan mencit betina yang diberi
MSG, maka jumlah kehamilan dan jumlah anak berkurang pada mencit betina yang
diberi MSG. Pada mencit betina dan mencit jantan yang diberi MSG, terjadi
pengurangan berat kelenjar endokrin, yaitu pada kelenjar hipofisis, tiroid, ovarium,
dan testis. Setelah dewasa, pada mencit betina yang diberi MSG terjadi kelambatan
kanalisasi vagina dan mempunyai siklus estrus yang lebih panjang daripada kontrol.
Setelah dewasa, pada mencit jantan yang diberi MSG didapatkan tanda-tanda
fertilitas menurun, misalnya berkurangnya berat testis dan hipofisis (Maidawilis,
2010).
Pada penelitian dengan menggunakan tikus jantan yang diberi MSG selama 15
hari dan 30 hari yang diberi 4 g/kgBB intraperitonial memperlihatkan pengaruhnya
berupa penurunan berat testis, jumlah sperma dan peningkatan jumlah sperma yang
rusak atau abnormal. Jumlah sperma yang normal pada tikus yang dipajankan dengan
MSG jangka panjang lebih sedikit dibanding dengan yang dipajankan dengan jangka
pendek. Pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa salah satu mekanisme yang
mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG pada sistem
reproduksi mencit jantan adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis
(Nayanatara, dkk., 2008).
Pemberian MSG 4 g/kgBB secara intraperitonial pada tikus yang baru lahir
memperlihatkan pada usia prapubertas terjadi hiperleptinemia, hiperadiposit, dan
peningkatan kadar kortikosteron, penurunan berat testis, jumlah sel sertoli dan sel
leydig per testis, serta penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH), Folicle
Stimulating Hormone (FSH), Thyroid (T), dan Free T4 (FT4). Sementara pada saat
dewasa memperlihatkan hiperleptimia yang lebih tinggi dan penurunan dar FSH dan
LH dan tidak nampak perubahan pada struktur testis (Miskowiak, dkk., 1993).
2.3 Siklofosfamida
Siklofosfamid sebagai agen alkilasi bekerja lewat timbulnya efek sitotoksik
melalui pemindahan gugus alkilnya ke berbagai unsur sel. Alkilasi DNA di dalam
nukleus merupakan interaksi utama yang menyebabkan kematian sel. Tempat alkilasi
utama di dalam DNA adalah posisi N7 guanin. Sistem sitokrom P450 mixed function
axidase mikrosoma hati mengubah siklofosfamid menjadi
4-hidroksisiklofosfamid yang seimbang dengan aldofosfamid. Metabolit-metabolit aktif
ini dibawa aliran darah ke jaringan tumor dan jaringan sehat, dimana pemecahan
nonenzimatik dari aldofosfamid menjadi bentuk sitotoksik fosforamid mustard dan
akrolein. Hati terlindung oleh adanya pembentukan 4-ketosiklofosfamid dan
karboksifosfamid, metabolit inaktif yang terbentuk secara enzimatik (Salmon, 1998).
Rumus molekul siklofosfamida dapat dilihat pada gambar 2.2:
Deskripsi:
a. Nama dan Struktur kimia:
2-[Bis(2-kloroetil)amino]tetrahidro-2H-1,3,2-oksazafosforin 2-oksida monohidrat [6055-19-2].
b. Sifat fisikokimia:
Serbuk hablur, putih, pada penghabluran terbentuk molekul air. Larut dalam air
dan dalam etanol.
c. Sediaan :
Siklofosfamid tersedia dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg dan 1,2 gram untuk
suntikan, dan tablet 25 dan 50 mg untuk pemberian per oral.
d. Mekanisme kerja:
Siklofosfamid merupakan obat yang dalam tubuh mengalami konversi oleh enzim
sitokrom P-450 menjadi 4-hidroksisiklofosfamid dan aldofosfamid yang
merupakan obat aktif. Aldofosfamid selanjutnya mengalami perubahan non
enzimatik menjadi fosforamid dan akrolein. Efek siklofosfamid dipengaruhi oleh
penghambat atau perangsang enzim metabolismenya. Sebaliknya, siklofosfamid
sendiri merupakan perangsang enzim mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi
aktivitas obat lain (Depkes, 1995).
2.4 Histologi Organ Penting 2.4.1 Sistem Saraf Pusat (Otak)
Menurut Dellmann dan Eurell (1998), parenkhim jaringan saraf terdiri dari
neuron dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Jaringan saraf dalam bentuk sistem
saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) atau Central Nerovus System (CNS)
terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST terdiri dari nervus cranialis dan
spinalis yang dihubungkan dengan saraf (nervus) dan ganglia yang berupa syaraf
motorik dan syaraf sensorik (Lu, 1995).
a. Neuron
Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf. Selain itu,
neuron juga sebagai unit tropik karena sifatnya dalam mentransformasi dan
menyokong sesuatu yang diinervasikan. Dengan pengecualian sel reseptor
olfaktorius, neuronnya khas dengan tidak mempunyai kemampuan mitosis. Struktural
neuron terdiri dari badan sel dan serabut saraf yang terdiri dari dendrit
dan akson (Dellmann dan Eurell 1998). Dari segi patologi, menurut Macfarlane et al.
(2000), neuron sangat sensitifterhadap kerusakan oleh berbagai macam agen
termasuk anoksia, hipoglikemia, infeksi virus dan gangguan metabolik intraseluler
(misalnya: yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B). Ada dua tipe utama
kerusakan neuron yang tergantung dari kecepatan perubahannya. Pertama, nekrosis
cepat. Hal ini berkaitan dengan kegagalan fungsi akut, misalnya kerusakan agen
berupa hipoksia, akan menyebabkan nuklear menjadi piknosis dan sitoplasma
mengkerut dan kemudian terjadi pemutusan sel dengan memfagositosis sel debri.
Kedua, atrofik lambat. Hal ini berhubungan dengan kehilangan fungsi secara
berangsur-angsur. Neuron biasanya mengecil atau dapat juga menggelembung
disertai metabolit abnormal dan pada akhirnya terjadi pemutusan sel neuron
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
2. Cerebellum (Otak Kecil)
3. Brainstem (Batang Otak)
4. Limbic System (Sistem Limbik)
1. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak
yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan
kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh
kualitas bagian ini.
cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan
otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabelsaraf
di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh,
dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam
kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir.
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya.
4. Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Sistem limbik
berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara
homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme
dan juga memori jangka panjang.
b. Neuroglia
Neuroglia terdiri atas lebih dari 90% sel yang membangun sistem saraf. Sel
neuroglia (gliosit) relatif kecil. Dengan pewarnaan biasanya, hanya nuklei dan
perikarya yang terlihat. Secara bersamaan, neuroglia menyediakan dukungan
struktural dan fungsional. Tidak seperti neuron yang matang, gliosit tetap dapat
bermitosis dan mereka dapat menjadi sebuah tumor pada sistem saraf. Gliosit yang
ditemukan di SSP adalah astrosit, oligodendrosit, sel mikroglia (makrofag) dan sel
Menurut Ganong (2002) pada SSP, terdapat tiga jenis utama sel glia. Mikroglia
yang merupakan sel “pemakan bangkai” yang menyerupai sel-sel makrofag jaringan.
Mereka mungkin berasal dari sumsum tulang dan masuk ke sistem saraf melalui
sistem sirkulasi darah. Oligodendrogliosit berperan dalam pembentukan mielin.
Astrosit mempunyai dua subtipe. Astrosit fibrosa, yang mengandung banyak filamen
antara, terdapat terutama di substansia putih. Astrosit protoplasmik, ditemukan di
substansi kelabu dan mempunyai sitoplasma yang granular.
c. Medula spinalis
Medula spinalis yang berbentuk silinder dapat dibagi ke dalam beberapa
segmen yang dibatasi dengan kemunculan bilateralis nervus spinalis dorsal dan
ventral. Sebuah potongan melintang Medula spinalis menunjukkan canal centralis
yang dikelilingi oleh penampilan berbentuk kupu-kupu dari substansi abu-abu, yang
di dalam putarannya dikelilingi oleh substansi putih seperti pada Gambar 2.3
(Dellmann dan Eurell 1998). Pada setiap setengah bagian medula spinalis, substansi
alba dibagi ke dalam funikulus dorsalis, funikulus lateralis, dan funikulus ventralis
(Eurell dan Frappier, 2006).
Keterangan:
Substansi abu-abu (gm) Substansi putih (wm)
Ligamentum densikulata (dent) Dura mater (d.m.)
Dorsal roots (d.r.) Funikulus dorsalis (DF) Funikulus lateralis (LF) Funikulus ventralis (VF) 2.4.2 Hati
Hati merupakan kelenjar yang besar dan berlobus. Masing-masing lobus
ditutup oleh sebuah mesotelium, di bawahnya terdapat kapsula dari Glisson, lapisan
jaringan penghubung yang tipis. Masing-masing lobus terbagi dalam sejumlah
lobulus klasik yang terdiri dari sinusoid dan gambaran dari sel parenkhim, hepatosit,
yang menjari teratur sekitar vena centralis (Bacha dan Bacha, 2000). Lobus hati
berbentuk heksagonal dan vena centralis sebagai pusat cabangnya sedangkan portal
canal terletak di luar batas lobus. Lobus portal merupakan wilayah segitiga yang
berpusat pada duktus empedu di portal canal (King, 2007).
Hati tersusun dalam lobulus-lobulus, yang di dalamnya mengandung darah
dari cabang-cabang vena porta mengalir melewati sel-sel hati melalui sinusoid ke
vena sentral di setiap lobulus. Terdapat celah-celah besar di sel endotel, dan plasma
berkontak erat dengan sel hati. Biasanya hanya terdapat satu lapisan hepatosit di
antara sinusoid-sinusoid, sehingga luas permukaan kontak total antara sel hati dengan
plasma sangatlah besar. Darah arteri hepatica juga masuk ke dalam sinusoid.
Vena-vena centralis bergabung membentuk vena hepatica, yang mengalir ke dalam vena
cava cranialis. Semua darah yang mengalir melewati usus dan limpa akan diterima
oleh hati melalui vena portal hepatica. Darah portal tidak hanya membawa nutrisi
tetapi juga membawa berbagai macam kontaminan (obat-obatan, toksin dari
makanan, dan bakteri) yang terserap melalui mukosa usus atau yang diproduksi oleh
limpa. Selain itu, hati juga mendapat suplai darah dari arteri yang membawa oksigen
dari arteri hepatica (King, 2007).
Pada endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel Kupffer) yang
berproyeksi ke dalam lumen. Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotel dengan
fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah oleh sebab itu hati
merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan
Gambar 2.5 mikroskopik hati mencit (King, 2002)
Menurut Ganong (2002), hati memiliki fungsi sebagai berikut : pembentukan
dan sekresi empedu; metabolisme nutrient dan vitamin (seperti glukosa dan gula lain,
asam amino, lipid, vitamin yang larut dalam lemak, vitamin yang larut dalam air);
invasi beberapa zat (toksin, steroid, hormon); sintesis protein plasma dan imunitas
(sel Kupffer). Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu, 1995).
Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima
±80% suplai darah dari porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal,
sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri,
logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan
ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk
dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara
pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut dengan
degenerasi (McGavin, 2007).
Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa pembengkakan
sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis
terjadi akibat sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus,
bakteri, dan perlukaan bermediasi imun (McGavin, 2007). Pengamatan histopatologi
pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan berpenampakan seperti bervakuol
berisi cairan dan sitoplasma membengkak (Underwood, 1992). Degenerasi lemak
terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu
memetabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel.
Pengamatan histopatologi sel yang mengalami degenerasi lemak ini memperlihatkan
adanya vakuola yang jelas (Macfarlane, 2000).
Menurut Cheville (1999), kerusakan sel yang berkelanjutan dapat
menyebabkan sel mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua
mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa. Apoptosis adalah bentuk kematian sel
terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan
adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak
melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang
berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat
(Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk
menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville
2.4.3 Ginjal
Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan
menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adipose
(Seely, 1999). Pada semua spesies, arteri dan vena renalis, limfatik, saraf danureter
melewati lekukan tunggal atau hilus. Semua ginjal dilingkupi oleh jaringan konektif
kapsul yang tersusun atas serat kolagen utama tetapi dapat juga tersusun atas
sejumlah otot licin. Posisi ginjal yang retroperitoneal biasanya terdapat satu
permukaan dengan peritoneum (mesotelium, dan lapisan tipis jaringan konektif),
yang ditutupi oleh jaringan adiposa. Ginjal dibagi atas dua bagian yaitu korteks
(bagian luar) dan medula (bagian dalam) (Dellmann dan Eurell, 1998).
Dalam analisis toksipatologi, gangguan atau kerusakan ginjal diperiksa secara
histopatologis. Toksin menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada epitel tubuli
terutama di bagian proksimal. Bentuk kerusakan pada ginjal akibat dari toksin adalah
adanya degenerasi hidropis, dan nekrosa pada sel epitel tubuli proksimalis (Seely,
1999).
Pembagian tubulus renalis seperti halnya aliran filtrasi yang berasal dari darah
hingga menjadi tetes-tetes urin dari parenkhim ginjal yaitu meliputi nefron yang
terdiri atas korpuskel ginjal (glomerulus dan kapsula Bowman’s), tubuli proksimal
dan tubuli distal, macula densa, dan jerat henle. Selain nefron adalah sistem duktus
Gambar 2.6 Histopalogi Ginjal (King, 2002)
Keterangan: Glomerulus (glom) Tubuli proksimalis (p) Tubuli distalis (d).
Unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus
proksimalis yang berbelok-belok dan lurus, jerat henle desendens dan ascendens,
segmen yang lurus, dan tubulus distalis (Seely, 1999).
Dalam perjalanan sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan
berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan
kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat
terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan
disalurkan ke dalam pelvis renalis. Air serta elektrolit dan metabolit penting lainnya
akan diserap kembali. Selain itu, susunan urine dapat berubah-ubah, dan banyak
mekanisme pengaturan homeostasis yang mengurangi atau mencegah perubahan
susunan cairan ekstrasel (CES) dengan cara mengubah jumlah air dan zat terlarut
tertentu yang dieksresi melalui urine. Dari pelvis renalis, urine dialirkan ke dalam
vesika urinaria (kandung kemih) untuk kemudian dikeluarkan melalui proses
berkemih, atau miksi (Ganong, 2002).
Fungsi ginjal dalam toksisitas dapat dievaluasi melalui urinalisis dan
penentuan serum darah, seperti kreatinin dan nitrogen urea darah. Urin mencit
memiliki berat jenis yang tinggi. Proteinuria secara normal ada pada mencit dan
meningkat pada mencit jantan dewasa karena pengaruh hormone testosteron.
Albumin dan prealbumin berespon terhadap proteinuria. Ginjal mencit juga
mensintesa MUP (Mouse Urinary Protein), suatu protein yang hampir sama dengan
alfa-2u-globulin yang ada pada tikus. Akan tetapi MUP pada mencit tidak
direabsorpsi oleh ginjal dan mempunyai sifat ikatan yang berbeda. Ginjal mencit
mempunyai sistem enzim tertentu dalam membantu proses metabolisme,
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode percobaan ini meliputi pencampuran MSG dengan pelet, penyiapan
hewan uji, dan pengolahan data. Data histopatologi yang didapatkan sebagai data
kualitatif dianalisis dengan melihat langsung perubahan yang terjadi pada organ
dibawah mikroskop yang terjadi seperti, adanya degenerasi hidropik dan nekrosis
(karyopiknosis, karyoreksis, karyolisis) pada ginjal, hati dan adanya sel glia pada otak
mencit.
3.1 Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas
laboratorium, neraca kasar (ohaus), neraca digital (Vibra), mortir dan stamfer, neraca
hewan (Presica), spuit ukuran 1 ml, alat bedah (Wells spencer), mikroskop (Boeco,
BM-180, Halogen Lamp), kamera digital MDCE-5A, Talenan, pisau scalpel, pinset,
kertas saring, tissue casset, mesin processor otomatis, mesin vaccum, mesin bloking,
freezer (-20°C), mesin microtome, pisau microtome, water bath, kaca obyek, kaca
penutup, rak khusus untuk pewarnaan, oven.
3.2 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan adalah MSG, makanan hewan berupa pelet, NaCl
0,9%, siklofosfamid (Cyclovid®, Novell), bahan utama berupa potongan jaringan
hewan yang telah difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Larutan
yang diperlukan adalah ethanol absolute, xylol, parafin, gliserin 99,5%, ewit
3.3 Penyiapan hewan percobaan
Hewan yang digunakan adalah mencit dengan berat 18-30 g sebanyak 30 ekor
dibagi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Sebelum digunakan
sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang
lebih satu minggu untuk menyesuaikan lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat
badan serta menyeragamkan makanannya.
3.3.1 Penentuan dosis MSG yang digunakan LD50 MSG = 16.600 mg
= 16,6 g
Untuk dosis yang digunakan pada mencit adalah 1/6 dari LD50, yaitu:
1/6 x 16,6 g = 2,76 g ≈ 3 g
Setelah didapat 1/6 dari LD50 yaitu 3 g, kemudian di beri dosis kelipatan menjadi
3 g, 6 g, dan 9 g (Anonim, 2012 ).
3.3.2 Pembuatan mucilago amyli 5%
Amilum manihot sebanyak 5 g dicampurkan pada lumpang yang berisi air
panas, aduk homogen sampai terbentuk massa yang jernih, kemudian tambahkan
aquadest sampai dengan 100 ml.
3.3.3 Penyiapan makanan hewan berupa pelet Formula pembuatan makanan mencit:
MSG (g) 3 6 9
Amilum (g) 0,1 0,1 0,1
Nipagin (g) 0,1 0,1 0,1
Pembuatan makanan hewan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
MSG digerus ke dalam lumpang, ditambahkan nipagin 0,1 g dan mucilago amyli.
Mucilago amyli yang diambil adalah 0,1% yaitu sebanyak 2 ml dari pembuatan
mucilago amyli 5%, lalu digerus sampai homogen, kemudian ditambahkan pelet
sampai dengan 10 g, gerus sampai homogen, lalu cetak menjadi pelet baru yang
mengandung MSG.
3.3.4 Penyiapan larutan siklofosfamid (LS) 0,5% (b/v)
Pembuatan LS dilakukan dengan cara sebagai berikut: ditimbang sebanyak 25
mg siklofosfamid (serbuk) kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml,
ditambahkan larutan fisiologis [NaCl 0,9% (b/v)] sampai batas tanda.
3.3.5 Pengujian efek MSG terhadap organ mencit
Pengujian efek MSG terhadap organ mencit dilakukan dengan cara melihat
jaringan organ ginjal, hati dan otak mencit di bawah mikroskop. Hewan percobaan
dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor hewan
percobaan. Kelompok tersebut adalah:
- Kelompok I : Diberikan pelet secara per oral l0 g/hari, selama 14 hari.
- - Kelompok II : Diberikan pelet 10 g/hari selama 14 hari,
dan pada hari ke-15 di induksi dengan LS 50 mg/kgBB secara
i.p.
- Kelompok III : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b
selama 14 hari.
- Kelompok IV : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,6% b/b
- Kelompok V : Diberikan campuran pelet yang mengandung MSG 0,9% b/b
selama 14 hari.
Setelah 30 jam pemberian siklofosfamid, semua mencit penelitian dibunuh
dengan cara dislokasi leher kemudian dilakukan pembedahan, diambil jaringan segar
ginjal, hati, dan otak mencit. Terhadap organ dilakukan fiksasi (perendaman dengan
larutan formalin bufer 10% selama 6-48 jam), kemudian di dehidrasi dengan alkohol
70%, 80% 96%, dan absolute masing-masing 1 jam untuk mengeluarkan air dari
jaringan, selanjutnya dilakukan clearing (penjernihan) menggunakan xylol 1, 2 dan 3
masing-masing 1 jam untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan yang telah di fiksasi,
kemudian dilakukan embedding/parafinisasi yaitu penyusupan parafin menggunakan
parafin cair 1 dan 2 suhu 60-70°C masing-masing 2 jam. Pemotongan organ
dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 5μm dan di masukkan dalam
waterbath, kemudian dilakukan mounting (diletakkan sediaan diatas objeck glass
setelah diolesi glysin, kemudian di staining atau pewarnaan dengan
haematoxyline-eosin (H-E). Pengamatan dibawah mikroskop cahaya pembesaran 10x40. Secara
skematis pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Sampel Jaringan
Ginjal, Hati dan Otak ambil dan cuci tangan dengan NaCI fisiologis
Fiksasi
dengan larutan formalin buffer 10% (0,1 mol/L Phosphat Buffer Saline) pH 7 selama 6-48 jam
Gambar 3.1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi Ginjal, Hati dan Otak Mencit.
Clearing
(penjernihan) menggunakan xylol 1,2 dan 3 masing-masing : 1 jam untuk mengeluarkan alcohol dari jaringan yang telah difiksasi
Embedding/Parafinisasi
impregnasi/Penyusupan paraffin menggunakan paraffin cair suhu 60-700C masing-masing : 2 jam
Pembuatan Blok Parafin
(Penanaman jaringan dalam kaset dan didinginkan)
Sectioning / Pemotongan
Menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan masukkan dalam waterbath
Mounting
Letakkan sediaan diatas objeck glass setelah diolesi glyserin
Staining
pewarnaan dengan haematoxyline-eosin (H-E)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perubahan Histopatologi Ginjal Mencit
Setiap jaringan ginjal baik kiri dan kanan yang dibuat preparatnya di potong
secara serial, dimana posisi lateral ginjal kiri dan dan posisi vertikal ginjal kanan,
kemudian masing-masing preparat diamati di bawah mikroskop cahaya dengan
perbesaran 10 x 40 untuk melihat kerusakan selnya. Kerusakan dari setiap area
ditandai dengan adanya sel yang mengalami degenerasi hidrofil dan nekrosis.
Degenerasi hidrofil adalah pembengkakan sel karena penimbunan cairan didalam
sitoplasma. Nekrosis (kematian sel) yang ditandai perubahan dari inti sel seperti:
Karyopiknosis (inti kecil dan padat), Karyolisis (inti pucat dan terlarut) dan
Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan).
Berdasarkan perhitungan rata berat badan mencit selama 14 hari dan
rata-rata campuran pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b, 0,6% b/b, 0,9% b/b yang
dimakan selama 14 hari, maka jumlah dosis yang dipakai adalah dosis 13,79 g/kgBB,
30,01 g/kgBB, 41,02 g/kgBB. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu tanpa
menghitung berapa jumlah kerusakan yang terjadi pada organ. Pemberian MSG
menunjukkan perubahan jaringan pada organ ginjal yang dapat dilihat pada Gambar
4.1 D dan Gambar 4.1 E yaitu gambar jaringan organ ginjal mencit yang di beri MSG
dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB. Pada pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB
dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari menunjukkan gambaran yang sama dengan
pemberian siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.1 B). Gambar histopatologi
menunjukkan perubahan yang besar dan dapat dikatakan mirip dengan kontrol normal
(Gambar 4.1 A).
Adapun perubahan jaringan organ ginjal mencit di tandai terbentuknya
degenerasi hidrofil, yaitu terjadi pembengkakan sel akibat penumpukan cairan pada
sitoplasma. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada pemberian MSG dosis 41,02
g/kgBB lebih banyak dibandingkan dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB
selama 14 hari.
Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis merupakan salah satu
parameter kerusakan pada ginjal. Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang
menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut
(karyolisis) dan inti sel pecah menjadi gumpalan (karyoreksis).
Pada Gambar 4.1 D terlihat adanya pembengkakan sel akibat penumpukan
cairan pada sitoplasma (degenerasi hidrofil) dan terjadi perubahan inti sel yang
menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan pada Gambar 4.1 E menunjukkan
inti sel menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan terjadi pembengkakan sel
akibat penumpukan cairan pada sitoplasma (degenerasi).
Gambar pengamatan jaringan organ ginjal mencit pada mikroskop cahaya
dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dangan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat
A. Kontrol Normal
C. MSG 13,79 g/kgBB
E. MSG 41,02 g/kgBB
Gambar 4.1 Pengamatan Histopatologi jaringan ginjal
Keterangan:
DH : Degenerasi hidrofil (penimbunan cairan didalam sitoplasma) P : Karyopiknosis (inti kecil dan padat)
4.2 Perubahan Histopatologi Organ Hati
Hati merupakan organ yang paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang
menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah
dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga
memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam
mineral, dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal di transportasikan ke hati.
Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi
pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk di eliminasi oleh tubuh.
Kerusakan pada hati dapat bersifat sementara (degenerasi), dan menetap hingga
hati menjadi organ yang penting untuk diamati histopatologinya akibat pemberian
MSG.
Pengamatan terhadap efek pemberian MSG dosis 13,79 g/kgBB, 30,01
g/kgBB, 41,02 g/kgBB ini dilakukan secara kualitatif yaitu tanpa menghitung berapa
jumlah kerusakan yang terjadi pada organ. Pemberian MSG menunjukkan perubahan
jaringan pada organ hati yang dapat dilihat pada Gambar 4.2 D dan Gambar 4.2 E
yaitu gambar jaringan organ hati mencit yang di beri MSG dosis 30,01 g/kgBB dan
41,02 g/kgBB selama 14 hari. Pada pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02
g/kgBB selama 14 hari menunjukkan gambaran yang sama dengan pemberian
siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.2 B). Gambar histopatologi hati mencit
dengan pemberian MSG dosis 13,79 g/kgBB selama 14 hari tidak menunjukkan
perubahan yang besar dan dapat dikatakan mirip dengan kontrol normal (Gambar 4.2
A).
Adapun perubahan jaringan organ hati mencit ditandai terbentuknya
degenerasi hidrofil, yaitu terjadi pembengkakan sel akibat penumpukan cairan pada
sitoplasma. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada pemberian MSG dosis 41,02
g/kgBB lebih banyak dibandingkan dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB
selama 14 hari.
Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis merupakan salah satu
parameter kerusakan pada hati. Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang
menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut
Pada Gambar 4.2 D terlihat adanya pembengkakan sel akibat penumpukan
cairan pada sitoplasma (degenerasi hidrofil) dan terjadi perubahan inti sel yang
menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan pada Gambar 4.2 E menunjukkan
inti sel menjadi lebih kecil dan padat (karyopiknosis) dan terjadi pembengkakan sel
akibat penumpukan cairan pada sitoplasma (degenerasi).
Gambar pengamatan jaringan organ hati mencit pada mikroskop cahaya
dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat
pada Gambar 4.2 berikut ini:
B. Pembanding
D. MSG 30,01 g/kgBB
E. MSG 41,02 g/kgBB
Gambar 4.2 Pengamatan Histopatologi jaringan hati
Keterangan:
DH : Degenerasi hidrofil (penimbunan cairan didalam sitoplasma) P : Karyopiknosis (inti kecil dan padat)
L : Karyolisis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan)
4.3 Perubahan Histopatologi Organ Otak
Mikroglia merupakan sel yang berasal dari mesodermal yang bermigrasi ke susunan saraf pusat (SSP) ketika tervaskularisasi secara embriologik. Pada otak yang
mengalami kerusakan (misalnya meningitis), mikroglia dapat berubah menjadi
makrofag dengan keberadaan antigen dan memiliki kemampuan memfagosit
(Delmann dan Eurell, 1998) dan ketika sitoplasma menjadi bengkak oleh material
fagositosis, mikroglia disebut sebagai sel Gitter, atau foam cell (Wardanela, 2008).
Oleh karena itu, dari pengamatan perubahan histopatologi medula spinalis yang
menjadi parameternya adalah kejadian gliosis pada substansi glisea/abu-abu dengan
membandingkan sel glia pada mencit kontrol dan perlakuan.
Gambar pengamatan jaringan organ otak mencit pada mikroskop cahaya
dengan pewarna haematoxyline-eosin (H-E) dan perbesaran 10 x 40 dapat dilihat
A.Kontrol Normal
B. Pembanding
D. MSG 30,01 g/kgBB
E. MSG 41,02 g/kgBB
Gambar 4.3 Pengamatan Histopatologi jaringan otak Keterangan:
Pada Gambar 4.3 D dan E dapat dilihat jaringan otak mencit yang diberi MSG
30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari memperlihatkan adanya perubahan
pada medula spinalis. Perubahan pada medula spinalis menunjukkan adanya
pertumbuhan sel glia yang meningkat di bandingkan pada MSG 13,79 g/kgBB selama
14 hari pada Gambar 4.3 C.
Berdasarkan keterangan Gambar 4.3, dapat dilihat bahwa perubahan jaringan
sel terjadi seiring dengan meningkatnya dosis MSG yang diberikan. Pemberian MSG
dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB memberikan efek perubahan jaringan sel.
Gambaran histopatologi organ otak mencit yang diberi MSG dosis 41,02 g/kgBB
memperlihatkan kondisi yang hampir sama dengan kontrol positif yaitu pemberian
siklofosfamid dosis 50 mg/kgBB (Gambar 4.3 B).
Pada pemberian siklofosfamid, MSG 30,01 g/kgBB, dan MSG 41,02 g/kgBB
terlihat pertumbuhan sel glia yang lebih banyak dibandingkan kontrol normal,
pembanding dan MSG 13,79 g/kgBB. Perbedaan ini terjadi karena meningkatnya
aktivitas sel-sel glia yang ada di otak dalam memfagositosis dan berproliferasi
sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak (Wardanela, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan ditunjukkan bahwa monosodium glutamat
(MSG) berpotensi merusak jaringan, karena pemberian MSG pada dosis 41,02
g/kgBB menunjukkan gambaran histopatologi yang sangat mengkhawatirkan
dibanding dengan kontrol normal dan gambaran tersebut mendekati gambaran
histopatologi pada kontrol positif/pembanding yaitu pemberian siklofosfamid dosis
50 mg/kgBB (Gambar 4.3 B). Pemberian MSG dengan dosis 13,79 g/kgBB belum
dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB selama 14 hari menimbulkan kerusakan
jaringan yang ditandai dengan adanya perubahan jaringan organ ginjal dan hati
mencit yaitu terbentuknya degenerasi hidrofil. Degenerasi hidrofil yang terjadi pada
pemberian MSG dosis 41,02 g/kgBB selama 14 hari lebih banyak dibandingkan
dengan pemberian MSG dosis 30,01 g/kgBB selama 14 hari.
Selain itu, terjadinya kematian sel atau nekrosis pada jaringan ginjal dan hati.
Ditandai dengan terjadinya perubahan inti sel yang menjadi lebih kecil dan padat
(karyopiknosis), inti sel menjadi pucat dan terlarut (karyolisis) dan inti sel pecah
menjadi gumpalan (karyoreksis) dan menimbulkan kerusakan jaringan pada organ
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian
ini adalah:
Efek MSG pada organ ginjal dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB
selama 14 hari menyebabkan degenerasi hidrofil (pembengkakan sel akibat
penumpukan cairan di sitoplasma) dan karyopiknosis (inti sel menjadi lebih kecil dan
padat).
Efek MSG pada organ hati dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB
selama 14 hari menyebabkan degenerasi hidrofil (pembengkakan sel akibat
penumpukan cairan di sitoplasma) dan ditandai dengan karyopiknosis (inti sel yang
menjadi lebih kecil dan padat), dan karyoreksis (inti sel pecah menjadi gumpalan),
karyolisis (inti sel menjadi pucat dan terlarut).
Efek MSG pada organ otak dengan dosis 30,01 g/kgBB dan 41,02 g/kgBB
selama 14 hari menyebabkan peningkatan aktivitas sel glia yang ada di otak dalam
memfagositosis dan berproliferasi sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak.
Efek MSG dengan dosis 13,79 g/kgBB tidak menimbulkan efek pada organ
ginjal, hati dan otak mencit.
5.2 Saran
Sebaiknya pengamatan histopatologi dilakukan secara kuantitatif dengan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2012). Monosodium Glutamat. www.wikipedia.org>. Diakses tanggal 4 Agustus 2012.
Ardyanto, T.D. (2004). MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek dan Kontroversinya.
Kesehatan. 16(1): 1.
Bellisle, F., Monneuse, M.O., Chabert, M., Larue, A.C., Lanteaume, M.T., dan Louis, S.J. (1991). Monosodium Glutamate As a Palatability Enhancer in the European Diet. Physiol Behav. 49(5): 869-73.
Cheville, N.F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Halaman 113-120.
Depkes. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 266.
Dada, M.O., dan Blake, C.A. (1984). Administration of MSG to Neonatal Male Rat’s: Alterations in Gonadotrophs and in Gonadotrophin Secretions.
Neuroendocrinology. 38(6): 90-97.
Dellmann, H.D., dan Eurell, J.A. (1998). Veterinary Histology. Lippincott; Williams & Wilkins. Halaman 91-225.
Eurell, J.A., dan Frappier, B.L. (2006). Nervous System. Version: 1.0. Kota: Blackwell Publishing. Halaman 194-221.
Fahim E, AM Rahman and MM. Fathi. 1999. Effect of monosodium glutamate and sodium benzoate on histame content and their potential interaction with anthitasminic in different CNS areas of albino rat. Egyptian Ger. Society of Zoology Journal 29 (A): 1-16.
Ganong, W.F. (1995). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Edisi ke-14. Alih Bahasa: Adrianto. Jakarta: EGC. Halaman 234-245.
Ganong, W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Halaman 286-290.
Harada. (1999). Liver dan Gallbladder. Maronpot RR. (1999). Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi ke-1.Cache River Press. Halaman 119-136.
Ismail, N.H. (2012). Assessment of DNA Damage In Testes From Young Wistar Male Rat Treated With Monosodium Glutamate. Life Science Journal. 9(1): 1.
Jusup. A.A. (2009). Histoteknik Dasar. Jakarta: Fakultas kedoktersn Universitas Indonesia.32(1):1.
King, D. (2002). Lobule of Pig Liver. http://www.siumed.edu/[14 September 2008].
King, D. (2007). Histology Study Guide of the Gastrointestinal System, Kidney andUrinary Tract. http://www.siumed.edu/ [20 Juli 2008].
Kurniasih. (2002). Petunjuk Proses Jaringan dan Atlas Histologi. Yogyakarta; Laboratorium Patologi FKH-UGM. Halaman 7-30.
Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar. Edisi 2. Jakarta: UI-Press. Halaman 20-268.
MacFarlane, P.S., Reid, R., dan Callander, R. (2000). Pathology Ilustrated. Edisi ke-4. London: Hurchill Livingstone. Halaman 135-150.
Maidawilis. (2010). Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat Terhadap Kadar
Follicle Stimulating Hormon Dan Luteinizing Hormon Mencit (Mus Musculus) Betina Strain Jepang. Tesis. Padang: Universitas Andalas.
McGavin, M.D., dan Zachary, J.F. (2007). Pathologic Basic of Veterinary Disease. kota: Mosby, Inc. Halaman12-17.
Miskowiak, B., Limanowski, A., dan Partyka, M. (1993). Effect of Perinatal Administration of Monosodium Glutamat (MSG) on the Reproductive System of Male Rat. Endocrynol Pol. 44(4): 497-505.
Nizamuddin. (2000). Pengaruh Pemberian MSG Per oral Terhadap Spermatogenesis dan Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. Jurnal Kedokteran YARSI. 8(3): 93-113.
Prawirohardjono, W., dan Dwiprahasto, I. (2000). The Administration to Indonesians of Monosodium L-Glutamat In Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions In A Randomized. Jurnal Of Nutrition. 130:1074-1076.
Salmon, S.E., dan Alan, C.S. (1998). Kemoterapi kanker. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Editor Bertram G.Katzung. Edisi IV. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Halaman 860-861, 865.
Seely, J.C. 1999. Pathology of The Mouse. Edited by: Maronpot RR. Associate
Editors: Boorman GA and Gaul BW Cache. Vienna:River Press. Halaman 134-180.
Tan, H.T., dan Rahardja, K. ( 2002). Obat-Obat Penting. Edisi V. Jakarta: PT Gramedia. Halaman 840.
Underwood, J.C.E. (1992). General and Systemic Pathology. New York. Churchill Livingstone. Halaman: 23-765.
Wardanela, M. (2008). Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin
Enterobacter sakazaki Pada Mencit (Mus musculus) Neotatus. Skripsi, Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Wakidi, R.F. (2012). Efek Protektif Vitamin C dan E Terhadap Mutu Sperma Mencit Jantan Dewasa Yang di Pajan Dengan Monosodium Glutamat. Tesis. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Wilson, L.M. dan Lester, L.B (1995). Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam: SA. Price and LM. Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Terjemahan: Peter Anugerah. Jakarta: Halaman 426-427, 429-430 Penerbit.Buku Kedokteran EGC.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Monosodium Glutamat (MSG) yang dicampurkan dengan pelet.
a.MSG 0,3% b/b
b. MSG 0,6% b/b
Lampiran 3. Bagan pembuatan makanan hewan berupa pelet yang dicampurkan dengan MSG.
Ditaburkan pada lumpang yang berisi air panas
Digerus homogen sampai terbentuk massa yang jernih
Ditambahkan aquadest sampai dengan 100 ml
Digerus homogen sampai terbentuk massa yang jernih
Digerus sampai homogen
Ditambahkan 0,1 g nipagin
Di tambahkan Mucilago amyli Digerus kembali sampai homogen
Ditambahkan pelet sampai dengan 10 g
Digerus sampai homogen
Dicetak menjadi pelet baru MSG
Pelet baru Amylum
manihot
Lampiran 4. Alat-alat yang digunakan
a. Mikroskop
a. Mikroskop
Lampiran 4. (lanjutan)
c. Gunting bedah dan pinset
Lampiran 5. Hewan percobaan
a.Mencit
Lampiran 6.
a. Organ Ginjal, Hati dan Otak yang direndam Formalin 10%
b. Penanaman jaringan dalam kaset /parafinisasi