• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PERILAKU SEKSUAL BERISIKO IMS PADA REMAJA PRIA DI

INDONESIA

(Analisis Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012)

Skripsi

Oleh:

Nadra Anniswah

1111101000040

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN

Skripsi, Maret 2016

Nadra Anniswah, NIM: 1111101000040

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO IMS PADA REMAJA PRIA DI INDONESIA

(Analisis Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012)

xiv + 100 halaman, 2 tabel, 3 bagan, 2 lampiran

ABSTRAK

Perilaku seksual remaja dapat berisiko pada terjadinya IMS. Remaja pria lebih berpeluang berperilaku seksual daripada wanita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012. Penelitian ini adalah menggunakan data sekunder yaitu SDKI tahun 2012 sehingga desain studi yang digunakan pun mengikuti SDKI 2012 yaitu cross sectional. Analisis data dilakukan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan 5%. 14.8% remaja pria di Indonesia tahun 2012 berperilaku seksual berisiko IMS. 68.3% remaja pria di Indonesia tahun 2012 memiliki pengetahuan yang kurang terkait perilaku seksual yang berisiko IMS. 56.9% remaja pria di Indonesia tahun 2012 memiliki sikap negatif terkait perilaku seksual yang berisiko IMS. 52.3% remaja pria di Indonesia tahun 2012 menganggap sekolahnya tidak berperan sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi. 72.4% remaja pria di Indonesia tahun 2012 tidak merasakan adanya pengaruh teman sebaya dalam pembentukan perilaku seksualnya. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, pengaruh teman sebaya, dan peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi, dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012. Maka, diharapkan kepada Kemenkes untuk membuat dan memantau pelaksanaan program perubahan perilaku dengan menyediakan layanan, meningkatkan pengetahuan, dan sikap remaja terkait kesehatan reproduksi khususnya perilaku berisiko IMS. Demikian pula halnya dengan Kemendikbud dan Kemenristekdikti untuk berperan dalam upaya perubahan perilaku, peningkatan pengetahuan dan sikap remaja.

(4)

ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT

HEALTH PROMOTION CONCENTRATION

Undergraduate thesis, Maret 2016

Nadra Anniswah, SIN: 1111101000040

Factors Related to Risk Sexual Behavior of STI’s of Indonesian Male

Adolescent in 2012 (Analysis ofIndonesia Demographic and Health Survey 2012) xiv + 100 pages, 2 tables, 3 figures, 2 attachments

ABSTRACT

Adolescent sexual behavior may present a risk to the occurrence of STIs. Young men are more likely than women to behave sexually. This study aims to determine the factors associated with STI sexual risk behavior in Indonesia male adolescent in 2012. This research is using secondary data, which is IDHS 2012 so that the study design is cross sectional. Data analysis was performed using chi square test with significance level of 5%. The number of sample of this study is 9160 male adolescent aged 15-24 years. 14.8% Indonesian male adolescent’s sexual behavior in 2012 are at risk for STI. 68.3% Indonesian male adolescent have low knowledge about sexual behaviour wick risky to STI. 56.9% Indonesian male adolescent have negative attitude regarding sexual behaviour wick risky to STI. 52.3% Indonesian male adolescent considers his school did not act as providers of reproductive health information.72.4% Indonesian male adolescent did not feel any peer influence in shaping their sexual behavior. Based on the results of chi square test is known that there are significant relationship between age, education level, knowledge, attitude, the peer influences, and the role of schools as providers of reproductive health information with Indonesian male adolescent sexual behavior in 2012. There is no a significant relationship between residence with Indonesian male adolescent sexual behavior in 2012. Thus, it is expected that the Ministry of Health to create and monitor the implementation of the program behavior change by providing services, increase knowledge, and attitudes related to adolescent reproductive health in particular STI risk behaviors. Similarly to Ministry of Education and Culture and Ministry of Research, Technology and Higher Education to play a role in efforts to change behavior, increase knowledge and adolescent attitude.

(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Berisiko IMS pada Remaja Pria di Indonesia”. Shalawat serta salam kepada Rasulullah saw. yang senantiasa

menjadi penautan penulis. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir/Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat semester VIII Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyampaikaan rasa terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyususnan laporan ini, yakni kepada:

1. Orang tua dan keluarga penulis (Bunda Ramadanura, alm. Ayah Fidaus, Tante Mira, Om Syarif, Oma Nursima, Aliffa, Tsabita, Kamil dan klg

Besar Basyir Ma‟ruf), yang senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan serta memberi kasih sayang dan nasihat agar tetap semangat dalam menjalani kehidupan.

2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, M. Kes selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku Dosen Pembimbing yang mendampingi hingga tahap siding proposal dan revisinya, terimakasih telah sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama magang dan penyusunan proposal.

(8)

6. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku penguji seminar proposal yang saat ini menjadi Dosen Pembimbing II, terimakasih telah sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penyusunan laporan skripsi ini

7. Sahabat2 terbaik genk remponkz BONANZA: Wulan SKM, Pewe SKM, Upit, SKM, Safira Hilwa SKM, mbake Lia dan Falah (soon gonna be) SKM too; + Fuji SKM, Pipi SKM.

8. Sahabat MATATTA: Riah S. Farm, Taufik, Emen, Maulidah S.T, Pito (S.Kom soon gonna be), Ichsan S.H, dan seeemuuaanya yang senantiasa memberi semangat, ngajak hang out dan tempat berbagi dikala jenuh. Terimakasih atas keceriaan yang kita bagi bersama, serta bully-bullyan tanda sayang dari kalian.

9. Kak Ida, kak Septi dan kak Ami menyumbangkan ide dan memberikan banyak masukan pada penulis dalam pembuatan skripsi ini, serta telah mengijinkan penulis menumpang di lab kakak kakak baik hati.

10.Sahabat seperjuangan, kesmas 2011, khususnya Proms 11 yang senantiasa saling menyemangati dan mendoakan.

11.Dina Amu SKM dan Kemal SKM, epiders cemerlang yang memberi banyak masukan dalam tahap analisis data dan penyusunan laporan skripsi ini. sarah ajeng dan rizal yang bersedia mengoreksi bagian abstract. 12.Keluarga besar PASIFIK, Paduan suara FKIK; keluarga bersar Paduan

Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta; keluarga besar PROMS, HPSA; dan keluarga besar Komunitas SAHABAT MUDA; yang telah memberi banyak pembelajaran dan pengalaman berharga, serta senantiasa menyemangati Penulis dengan keceriaan.

13.Seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya FKIK.

14.Semua sahabat dan teman-teman yang senantiasa memberi bantuan, semangat dan dorongan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu 15.Last but not least: Cikul terimakasih pernah saling menyemangati, tetap

(9)

sering menyemangati penulis dan membantu berbagai hal; pemilik akun soundcloud rizalindis yang sering menjadi penghibur dengan tembangnya. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi terciptanya perbaikan di masa yang akan datang. Semoga pelaksanaan penelitian ini dapat berjalan dengan lancar sesuai rencana. Aamiin.

Ciputat, April 2016

(10)

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

2.1 Perilaku ... 13

2.2 Perilaku Seksual ... 17

2.5.1 Perilaku Seksual Berisiko IMS ... 21

2.3 Remaja ... 22

2.4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja ... 28

2.4.1 Umur ... 28

(11)

2.4.3 Pendidikan ... 30

2.4.4 Pengetahuan ... 30

2.4.5 Sikap ... 31

2.4.6 Peran orang tua, sekolah, dan media sebagai penyedia informasi tentang kesehatan Reproduksi pada Remaja ... 33

2.4.6.1. Peran orang tua ... 33

2.4.6.2. Peran sekolah ... 35

2.4.6.3. Paparan media ... 35

2.4.7 Pengaruh teman sebaya ... 36

2.4.8 Perilaku Pacaran ... 36

2.5 Dampak Perilaku Seksual ... 37

2.5.1 Ketagihan ... 37

2.5.2 IMS ... 38

2.6 Kerangka Teori ... 39

BAB III ... 41

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS ... 41

3.1 Kerangka Konsep ... 41

3.2 Definisi Operasional ... 42

3.3 Hipotesis ... 44

BAB IV ... 45

METODOLOGI PENELITIAN ... 45

4.1 Desain Penelitian ... 45

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4.3 Populasi dan Sampel ... 46

(12)

4.6 Pengolahan Data ... 49

4.7 Analisis Data ... 50

BAB V ... 52

HASIL ... 52

5.1 Analisis Univariat ... 52

5.2 Analisis Bivariat ... 55

BAB VI ... 57

PEMBAHASAN ... 57

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 57

6.2 Gambaran Perilaku Seksual Remaja Indonesa Tahun 2012 ... 58

6.3 Hubungan Umur dengan Perilaku Seksual Remaja Pria Indonesa Tahun 2012 ... 60

6.4 Hubungan Tempat Tinggal dengan Perilaku Seksual Remaja Pria Indonesa Tahun 2012 ... 61

6.5 Gambaran Tingkat Pendidikan Remaja Pria Indonesa Tahun 2012 ... 64

6.6 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun 2012 ... 66

6.7 Hubungan Sikap dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun 2012 ... 69

6.8 Hubungan Peran Sekolah dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun 2012 ... 71

6.9 Hubungan Pengaruh Teman Sebaya dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun 2012 ... 74

BAB VII ... 77

PENUTUP ... 77

7.1 Simpulan ... 77

[image:12.595.114.540.96.644.2]
(13)
(14)

xiii

[image:14.595.118.516.94.442.2]

DAFTAR TABEL

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

xv

DAFTAR BAGAN

[image:16.595.110.517.89.460.2]

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 5239 Tabel 5.1 ... 52

Tabel 5.1 ... 52

(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome Depkes : Departemen Kesehatan

HIV : Human Immunodeviciency Virus

IDHS : Indonesia Demographic and Health Survey IMS : Infeksi Menular Seksual

Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kenudayaan Kemenkes : Kementerian Kesehatan

Kemenristekdikti : Kementerian Riset, Tekonlogi dan Pendidikan Tinggi KTD : Kehamilan yang Tidak Diinginkan

RI : Republik Indonesia

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perilaku seksual berisiko merupakan salah satu amsalah kesehatan reproduksi pada remaja dewasa ini. Perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Di antara perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab adalah perilaku seksual yang dilakukan remaja diluar ikatan pernikahan yang sah. Berdasarkan data WHO yang melakukan penelitian dibeberapa Negara berkembang menunjukkan sekitar 40% remaja umur 18 tahun telah melakukan hubungan seks meskipun tanpa ada ikatan pernikahan. Akibat dari hubungan seksual, sekitar 12% telah positif terkena Penyakit Menular Seksual sekitar 27% positif HIV (Mangando et al., 2014)

Menurut L‟Engle mendseskripsikan perlaku seksual mulai dari

memiliki perasaan tertarik/naksir, pergi berkencan, berduaan di tempat sepi, ciuman kering, ciuman basah/faench kiss, meraba payudara, meraba vagina atau penis, melakukan oral seks, dan melakukan penetrasi kelamin (sexual intercourse) (L‟Engle et al., 2005). SDKI 2012 membuat pengelompokan yang lebih general namun kulan lebih sama dengan yang

dibuat oleh L‟Engle. Bentuk-bentuk perilaku seksual remaja berdasarkan

(19)

bibir (48.1% pria dan 29.3% wanita), meraba/merangsang (29.5% pria dan 6.2% wanita), penetrasi kelamin (8.3% pria dan 0.9% wanita).

Hubungan seksual adalah bagian dari perilaku seksual. Hal ini jika dilakukan secara tidak bertanggung jawab, tidak aman, dan bukan dengan pasangan yang tetap sangat berisiko menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Diantara masalah tersebut adalah pada terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, penularan IMS, bahkan penularan HIV/AIDS.

Infeksi Menular Seksual menempati peringkat 10 besar alasan berobat di banyak negara berkembang (Kemenkes, 2011). World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru Infeksi Menular Seksual (IMS) di negara berkembang seperti di Afrika, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Di negara maju prevalensinya sudah dapat diturunkan, namun di negara berkembang prevalensi gonore menempati tempat teratas dari semua jenis IMS (Arfrianti et al., 2008).

(20)

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu pintu masuk HIV. Total kasus IMS yang ditangani pada tahun 2012 adalah 140.803 kasus dari 430 layanan IMS. Jumlah kasus IMS terbanyak adalah duh tubuh vagina (klinis) 20.962 dan servicitis/ proctitis (lab) 33.025 (Kemenkes, 2013).

Penularan HIV/AIDS memang bukan hanya melalui hubungan seksual. Namun hubungan seksual dengan pasangan berbeda jenis (heteroseksual) merupakan faktor risiko tertinggi pada penularan HIV/AIDS. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin berdasarkan Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia hingga September 2014 adalah 55.799 kasus dengan faktor risiko tertinggi heteroseksual sebesar 34305 kasus (61,48%), yang disusul dengan faktor risiko tak diketahui sebesar 9536 kasus (17,09%), pengguna narkoba suntik sebesar 8462 kasus (15,17%), transmisi perinatal sebesar 1506 kasus (2,7%), homo/biseksual sebesar 1366 kasus (2,45%), transfusi darah sebesar 130 kasus (0,23%). (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data tersebut hubungan seksual berbeda jenis (heteroseksual) merupakan bagian dari perilaku seksual yang menjadi penyumbang terbesar penularan HIV/AIDS.

(21)

membutuhkan waktu 5-10 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor risiko HIV/AIDS sudah tentu terjadi pada saat penderita dalam masa remaja awal, tengah hingga akhir.

Perilaku seksual dilakukan oleh remaja mengalami peningkatan. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), Departemen Sosial Republik Indonesia. Peningkatan status gizi dan usia kematangan seksual semakin cepat, sedangkan remaja menunda usia pernikahan karena alasan pendidikan dan karir. Pada situasi ini, remaja membutuhkan saluran untuk memenuhi kebutuhan seksualnya namun belum dapat terpenuhi sehingga berisiko melakukan perilaku seksual tanpa ikatan pernikahan (Maryatun, 2008).

Usia kematangan seksual yang meningkat dibuktikan oleh data usia pertama mimpi basah yang tercatat pada SKRRI 2007 dan 2012. Pada SKRRI 2007 populasi terbesar menjawab usia pertama mimpi basah adalah 15 tahun (26%). Pada SDKI 2012 25% remaja menjawab usia mimpi basah pertama kali adah 14 tahun. Salin itu, pada SKRRI 2007, kelompok umur remaja awal (15-19) mengalami mimpi basah lebih awal dibandingkan kelompok umur remaja akhir (20-24) (BPS et al., 2008).

(22)

menimbulkan kebingungan bagi remaja yang bersangkutan dalam menghadapi tugas perkembangan yang harus diselesaikannya.

Terdapat beberapa definisi remaja. Diantara definisi tersebut adalah yang dicanangkan oleh WHO. Menurut WHO, remaja adalah individu yang sedang mengalami peralihan; dari segi kematangan biologis seksual sedang berangsur-angsur sedang menunjukkan karakteristik seks yang sekunder sampai mencapai kematangan seks; dari segi kejiwaan, jiwanya sedang berkembang dari sifat kekanakan menjadi dewasa; dari segi ekonomi sosial dia adalah individu yang beralih dari ketergantungan menjadi relatif bebas (BKKBN, 2008).

Sering kali remaja tidak mendapatkan informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi. Hal ini memaksa remaja mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Majalah, buku, dan film pornografi dan pornoaksi memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga mempelajari seks dari internet. Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah melakukan hubungan seks di usia dini, yakni 13-15 tahun (Depsos RI, 2008).

(23)

faktor mempermudah terjadinya perlaku dan berasal dari dalam diri individu (diantaranya seperti pengetahuan, sikap, nilai-nilai, tradisi, kepercayaan dan lain-lain). Kedua, enabling factor atau faktor pemungkin merupakan faktor yang memungkinkan individu atau kelompok berperilaku tertentu (diantaranya ketersediaan akses, pelayanan kesehatan, paparan media/informasi dan lain-lain). Ketiga, reinforcing factor atau faktor pendorong adalah faktor yang memperkuat terjadinya perilaku (di antaranya dorongan tokoh masyarakat, keluarga, teman sebaya, pemerintah, adanya peraturan, penghargaan dan hukuman) (GreendanKreuter, 2000).

Dalam penelitian yang dilakukan Azinar, diketahui bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi perilaku seksual pada mahasiswa adalah religiusitas, sikap terhadap seksualitas, akses dan kontak dengan media informasi, sikap teman dekat serta perilaku seksual teman dekat. Adapun faktor yang paling dominan mempengaruhi dan menjadi prediktor perilaku seksual pada mahasiswa adalah perilaku seksual teman dekat, sikap mereka terhadap seksualitas dan tingkat religiusitas (Azinar, 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan seksual dan kualitas komunikasi orang tua-anak dengan perilaku seks bebas (Merita et al., 2013)

(24)

ekonomi, akses terhadap media informasi, komunikasi dengan orang tua, dan adanya teman yang berperilaku berisiko. Faktor yang paling dominan hubungannya adalah jenis kelamin. Remaja laki-laki berpeluang 5 kali lebih besar untuk melakukan hubungan seksual, jika dibandingkan dengan remaja perempuan (LestarydanSugiharti, 2011). Selain itu, studi yang dilaukan pada murid SMU Negeri di kota Padang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai peluang untuk berperilaku seskual berisiko berat sebesar 4,41 kali dibandingkan perempuan dengan 95% CI = 2,48 - 8,81 (Nursal, 2007).

Dari 10980 remaja pria (15-24 tahun, belum kawin) SDKI 2012 yang dapat dianalisis adalah 9144 atau 83,28%. Hal ini menunjukkan bahwa data ini cukup baik untuk dianalisis lebih lanjut. Data SDKI merupakan salah satu survey yang jika ditinjau dari atribut data dan kekhasan data dapat digunakan untuk penelitian terkait kesehatan reproduksi remaja. SDKI 2012 adalah hasil survei terbaru yang telah dipublikasikan. Oleh sebab itu peneliti ingin melakukan penelitian lanjutan dengan menganalisa data SDKI tahun 2012 terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remja pria di Indonesia berdasarkan data SDKI 2012.

1.2.Rumusan Masalah

(25)

yang berisiko. Hal tersebut hendaknya dapat ditekan dan diturunkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia berdasarkan data SDKI 2012.

1.3.Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimanakah gambaran perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

b. Bagaimanakah gambaran umur remaja pria di Indonesia tahun 2012? c. Bagaimanakah gambaran tempat tinggal remaja pria di Indonesia

tahun 2012?

d. Bagaimanakah gambaran tingkat pendidikan remaja pria di Indonesia tahun 2012?

e. Bagaimanakah gambaran pengetahuan terkait perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

f. Bagaimanakah gambaran sikap remaja Indonesia tahun 2012 terhadap perilaku seksual berisiko IMS?

g. Bagaimanakah gambaran peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi pada remaja pria di Indonesia tahun 2012? h. Bagaimanakah gambaran pengaruh teman sebaya sebagai pembentuk

perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012?

(26)

j. Adakah hubungan tempat tinggal dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

k. Adakah hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

l. Adakah hubungan pengetahuan terkait perilaku seksual berisiko IMS pada dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

m. Adakah hubungan sikap terhadap perilaku seksual berisiko IMS dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

n. Adakah hubungan peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

o. Adakah hubungan pengaruh teman sebaya sebagai pembentuk perilaku seksual dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012?

1.4.Tujuan Penelitian

1.1.1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

(27)

a. Diketahuinya gambaran perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

b. Diketahuinya gambaran umur remaja pria di Indonesia tahun 2012? c. Diketahuinya gambaran tempat tinggal remaja pria di Indonesia

tahun 2012?

d. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan remaja pria di Indonesia tahun 2012?

e. Diketahuinya gambaran pengetahuan terkait perilaku seksual pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

f. Diketahuinya gambaran sikap remaja pria di Indonesia tekait isu kesehatan reproduksi tahun 2012

g. Diketahuinya gambaran peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi pada remaja pria di Indonesia tahun 2012 h. Diketahuinya gambaran pengaruh teman sebaya sebagai

pembentuk perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012 i. Diketahuinya hubungan umur dengan perilaku seksual berisiko

IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

j. Diketahuinya hubungan tempat tinggal dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

[image:27.595.158.516.111.416.2]
(28)

l. Diketahuinya hubungan pengetahuan terkait perilaku seksual dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

m. Diketahuinya hubungan sikap terkait isu kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

n. Diketahuinya hubungan peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

o. Diketahuinya hubungan pengaruh teman sebaya dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia berdasarkan data SDKI 2012

1.5.Manfaat Penelitian

1.1.3. Manfaat bagi penyelenggara SDKI (BKKBN, Kemenkes, BPS) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu analisis lanjut dari data yang sudah dikumpulkan. Selain itu dapat pula menjadi salah satu bahan evaluasi terkait kualitas data yang ada.

1.1.4. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dan sumber data untuk penelitian selanjutnya.

1.1.5. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan

(29)

tingkat nasional. Selain itu diharapkan juga dapat menjadi sumber informasi terkait perilaku seksual remaja pria dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya.

1.1.6. Manfaat bagi institusi Pedidikan baik dasar maupun tinggi, serta Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi terkait keadaan remaja saat ini, khususnya terkait perilaku seskualnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi agar dapat menentukan sikap dan membuat kebijakan terkait pembinaan remaja yang menjadi tanggungjawab masing-masing pihak.

1.2. Ruang Lingkup Penelitian

(30)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Tinjauan pustaka ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui faktor yang berhubungan dengan perilaku sekual remaja pria di Indonesia antara lain karakteristik individu seperti usia, tempat tinggal, dan tingkat pendidikan; predisposing factor seperti pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, sikap terhadap perilaku seksual dan dampak yang mengikutinya; reinforcing factor seperti pengaruh teman sebaya; serta enabeling factor seperti paparan informasi terkait perilaku seksual, dampak dan cara menghindarinya.

2.1Perilaku 2.1.1 Definisi

(31)

Dalam Teori perilaku Max Waber, Perilaku memiliki makna subjektif. Karena setiap perilaku didorong oleh keinginan atau motivasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Artinya setelah adanya stimulus yang diterima oleh individu, maka stimulus itu melalui proses dalam diri individu tersebut seperti adanya pengalaman terdahulu, persepsi, pemahaman ataupun penafsiran individu yang kemudian menghasilkan perilaku. Dengan demikian perilaku yang dimaksud adalah perbuatan manusia yang berarti bagi si pelaku, baik perbuatan yang terlihat maupun tidak terlihat seperti perenungan, perencanaan, atau pengambilan keputusan.

Berbeda dengan Teori Weber, Talcot Parson mengatakan bahwa tindakan manusia tidak mutlak ditentukan oleh individu. Menurut Parson peran individu tersebut sewaktu-waktu akan atau bisa lenyap di balik peran-peran yang dilambagakan melalui struktur sosial dan pola-pola prilaku. Itu artinya menurut Parson, di samping otoritas individu manusia bertindak sesuai dengan peran apa yang ditentukan dan ditetapkan oleh kebudayaan setempat bagi pelaku. Perilaku bisa saja menjadi positif (menguntungkan) dan bisa juga menjadi negatif (merugikan).

2.1.2 Bentuk Perilaku

(32)

a. Perilaku terselubung (Covert Behavior) yang merupakan respon internal yang terjadi dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat seperti berpikir, berniat, merenung.

b. Perilaku nyata (Overt Behavior) yang merupakan perilaku yang telah ditunjukan dalam tindakan nyata.

2.1.3 Domain Perilaku

Benyamin Bloom (dalam Sunaryo, 2004) membagi perilaku dalam 3 domain atau ranah dan memiliki hasil ukur masing-masing. a. Ranah Kognitif (cognitive domain) yang terukur oleh pengetahuan

(knowledge)

b. Ranah Afektif (affective domain) yang terukur oleh sikap (attitude) c. Ranah Psikomotor (psychomotor domain) yang terukur oleh

tindakan (practice)

Menurut para ahli, seseorang terutama yang berusia dewasa yang akan mengadopsi perilaku baru dimulai dari domain kognitif. Subjek tersebut tahu terlebih dahulu tentang stimulus berupa materi atau objek yang kemudian memunculkan pengetahuan baru bagi subjek. Pengetahuan tersebut kemudian menimbulkan respon dalam individu tersebut berupa sikap yang kemudian diwujudkan dalam perilaku.

2.1.4 Determinan perilaku

(33)

sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, sikap, keyakinan, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya sulit diketahui gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Jika dikaji lebih dalam maka faktor kejiwaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sarana fisik, sosial budaya masyarakat, pengalaman, keyakinan dan lain sebagainya. Ada beberapa teori yang mengjelaskan sebab-sebab individu/kelompok berperilaku, diantaranya teori precede procede (GreendanKreuter, 2000).

2.1.4.1Teori Precede Proceed (1980)

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori precede-proceede theory yang digagas oleh Lawrence Green (1980) dalam bukunya Health Promotion Planning an Education and Environtmental Approach. Teori ini mencoba menganalisis perilaku sekelompok individu (masyarakat) dari segi kesehatan. Kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan non perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya faktor perilaku dibentuk dari 3 faktor, yaitu:

(34)

b. Faktor pemungkin (enabling factors) yang terwujud dalam tersedianya sumber daya kesehatan, aksesibilitas sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen untuk kesehatan komunitas/ hukum pemerintah, keterampilan kesehatan.

c. Faktor penguat (reinforcing factors) berupa keluarga, teman sebaya, guru, pemberi pekerjaan, penyedia layanan kesehatan.

2.2Perilaku Seksual

[image:34.595.139.517.101.515.2]

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.bentuk-bentuk perilaku ini beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2005). Perilaku seksual pranikah menurut Sari (2007) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya melalui

(35)

perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual yang paling ringan hingga tahap yang paling berat.

Sekarrini dalam penelitiannya pada tahun 2011 mengkategorikan perilaku seksual menjadi perilaku seksual berisiko berat dan perilaku seksual berisiko ringan. Perilaku seksual berisiko ringan mulai dari mengobrol, nonton film, pegangan tangan, jalan-jalan, pelukan, sampai cium pipi. Sedangkan perilaku seksual berisiko berat mulai dari ciuman bibir, ciuman mulut, ciuman leher, meraba daerah erogen, petting, dan intercourse (Sekarrini, 2012).

Menurut Yuliantini, 2012 perilaku seksual yang sering ditemukan pada remaja antara lain:

a. Berfantasi, yakni membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual untuk menimbulkan perasaan erotisme

b. Berpegangan tangan, merupakan bentuk pernyataan afeksi atas perasaan sayang berupa sentuhan. Aktifitas ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya

c. Cium kering yakni aktivitas seksual berupa sentuhan pipi dengan pipi (touching), pipi dengan bibir, atau bibir dengan leher (necking)

(36)

e. Meraba, yaitu kegiatan meraba bagian-bagian sensitive rangsang seksual (erogen) seperti payudara, leher, paha atas, vagina, penis, dan pantat

f. Berpelukan

g. Masturbasi, yakni perilaku merangsang organ kelamin dengan tangan ataau tanpa melakukan hubungan intim

h. Oral sex yakni memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan yang dapat terjadi pada kaum heteroseksual maupun homoseksual (gay dan lesbian)

i. Petting merupakan keseluruhan aktivitas non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin)

j. Sexual intercourse (hubungan seksual) yakni aktivitas memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelalmin perempuan pada kaum heteroseksual, dan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam anus laki-laki pada kaum homoseksual (gay) (Yuliantini, 2012).

(37)

Menurut Kinsey (1948), perilaku seksual dibagi menjadi 4 tahapan dimana yang lebih tinggi akan didahului oleh tahapan sebelumnya. Tahapan tersebut antara lain (Kinsey et al., 1948):

a. Bersentuhan (touching), mulai dari berpegangan tangan, sampai berpelukan.

b. Berciuman (kissing), mulai dari berciuman singkat sampai berciuman bibir dengan mempermainkan lidah pasangannya (deep kissing). c. Bercumbuan (petting), menyentuh bagian yang sensitif dari tubuh

pasangannya dan mengarah pada pembangkitan gairan seksual.

d. Berhubungan kelamin (sexual intercourse), melakukan penetrasi penis ke dalam vagina

Kinsey juga mengelompokkan tingkatan perilaku seksual menjadi 2 bagian, yakni perilaku seksual ringan dan perilaku seksual berat. Perilaku seksual dikatakan ringan jika seseorang pernah berpegangan tangan, berpelukan, sampai berciuman bibir. Perilaku seksual dikatakan berat jika seseorang pernah melakukan perilaku sekual meraba dada/alat kelamin pasangan, saling menggesekkan alat kelamin dengan pasangan, oral seks, dan melakukan hubungan seksual (intercourse) (Kinsey et al., 1948).

L‟Engle mengelompokkan perilaku seksual menjadi 2 yakni perilaku

(38)

memegang dada, memegang vagina atau penis, melakukan seks oral, dan berhubungan seksual (penetrasi/sexual intercourse) (L‟Engle et al., 2005).

2.5.1 Perilaku Seksual Berisiko IMS

Ditjen PPM&PL dalam Buku Saku IMS menjelaskan bahwa IMS dapat menular melalui hubungan seksual yang tidak aman di antaranya hubungan seks lewat liang senggama tanpa kondom, hubungan seks lewat dubur tanpa kondom, dan seks oral. Selain itu IMS dapat pula menular melalui transfusi darah, saling bertukar jarum suntik atau benda tajam lainnya pada pemakaian obat bius, menindik kuping atau tato. Penularan IMS dapat juga terjadi dari ibu hamil ke janin, saat hamil, melahirkan atau melalui ASI saat menyusui (Kemenkes, 2015).

(39)

2.3Remaja

2.1.5 Definisi Remaja

Muss menjelaskan bahwa remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata Latin (adolescere) yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Masa remaja dapat ditinjau sejak mulainya seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual (Sarwono, 1994).

Santrock mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun remaja mempunyai ciri unik, yang terjadi pada masa remaja akan saling berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman pada masa anak-anak dan dewasa (Santrock, 2003).

Masa awal remaja adalah waktu di mana konflik orang tua dengan remaja meningkat lebih dari konflik orang tua dengan anak. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, dan harapan yang tak tercapai (Santrock, 2003).

(40)

(Mappiare, 1982). Soekanto memberikan batasan golongan remaja putri adalah para gadis berusia 13 tahun sampai 17 tahun, dan bagi remaja laki-laki berusia 14 tahun sampai 17 tahun.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kriteria remaja dilihat berdasarkan aspek biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Ditinjau dari bidang kesehatan WHO, masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berdasarkan permasalahan tersebut, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batas usia remaja. Kehamilan pada usia tersebut mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada usia di atasnya. WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarwono, 1994).

Dalam SDKI 2012, yang dimaksud remaja adalah usia 15-24 tahun dan belum menikah. Itu artinya perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja, adalah perilaku seksual yang diluar ikatan pernikahan atau perilaku seksual.

2.1.6 Tahap Perkembangan Remaja

Menurut Sarwono (2006) ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa :

a. Remaja Awal (Early Adolescence)

(41)

tubuhnya sendiri dan dorong-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan

berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para

remaja awal sulit dimengerti orang dewasa.

b. Remaja Madya (Middle Adolescence)

Tahap ini berusia 13-15 tahun.Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan.Ia sangat senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan Narastic, yaitu mencintai diri sendiri. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perlu, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau meterialis dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.

c. Remaja Akhir (Late Adolescence)

Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal dibawah ini:

(42)

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

3. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)

diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

5. Tumbuh „dinding‟ yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).

2.1.7 Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst antara lain (Gunarsa 1991):

a. Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh peranan sosial

b. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif c. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa

lainnya

d. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri

(43)

2.1.8 Perkembangan Seksualitas Remaja

Perkembangan seksualitas remaja meliputi (Potter dan Perry, 2005): 1. Perubahan Fisik

a.Perempuan

1) Ditandai dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai akhir usia 10 tahun.

2) Meningkatnya kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar; vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat rangsangan.

3) Menarke sangat bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun. Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama.

b. Laki-Laki

1) Meningkatnya kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah.

2) Walaupun mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan mengalami ejakulasi, sebelum organ seksnya matang sekitar usia 12 – 14 tahun.

(44)

dan bagi sebagian anak hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat memalukan.

4) Oleh karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan tetapi mereka akan segera menjadi subur.

2. Perubahan Psikologis

a. Periode ini ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat

b. Remaja dihadapkan pada pengambilan sebuah keputusan seksual, dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual. c. Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang didapatkan tidak diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin maupun kehamilan tidak akan terjadi padanya, sehingga ia cenderung melakukan aktivitas seks tanpa kehatihatian.

(45)

ndividu terus berorientasi heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.

e. Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual yang jelas akan merasa kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihat spiritual, keluarga, maupun profesional kesehatan mental)

2.4Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja

2.4.1 Umur

Menurut Depkes (2008) umur adalah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun terakhir (Depkes, 2008). Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Musthofa dan Winarti pada mahasiswa di Pekalongan, diketahui bahwa terhapat hubungan yang signifikan antara umur dengan perilaku seksual (MusthofadanWinarti, 2010). Hasil penelitian Sabon (2003) juga menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan perilaku berisiko HIV/AIDS (perilaku seksual) berdasarkan SKRRI 2002-2003 (Sabon, 2003). Demikian pula temuan Nursal pada tahun 2007 remaja yang mengalami usia pubertas dini mempunyai peluang berperilaku seksual berisiko berat 4,65 kali dibanding responden dengan usia pubertas normal (95%CI=1,99-10,85) (Nursal, 2007).

(46)

(Juleha, 2007). Begitu pula hasil temuan pada SMK kesehatan di Kabupaten Bogor tahun 2011 (Sekarrini, 2012). Pada remaja di Pasir Gunung Selatan, Depok tahun 2012 (Dewi, 2012), diketahui tidak ada hubungan antara usia pertama pacaran dengan perilaku seksual.

2.4.2 Tempat tinggal

Tempat tinggal menurut Depkes adalah lokasi rumah sesorang yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan (Depkes, 2008). Untuk menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada tiga variabel yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum (BPS, 2007).

(47)

perilaku berisiko remaja perkotaan lebih tinggi daripada remaja pedesaan (Sabon, 2003).

2.4.3 Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan hasil studi di Remaja dengan tingkat pendidikan tinggi kecenderungan berperilaku berisiko lebih besar dibandingkan remaja yang berpendidikan rendah (Hidayangsih et al., 2011, Depkes, 2008). Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan da remaja di Pasir Gunung Selatan, Depok tahun 2012. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan perilaku seksual, dimana remaja yang pendidikannya lebih tinggi memiliki peluang lebih besar sebanyak 1,89 kali dibandingkan remaja dengan pendidikan lebih rendah (Dewi, 2012).

2.4.4 Pengetahuan

(48)

menanyakan tentang isi materi yang ingin dikur dari subjek penelitian atau responden. (Notoatmojo, 2007)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMAN Mandai Maros tahun 2014, diketahui ada hubungan antara pengetahuan seksual dan/atau pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual remaja (Rasmiani et al., 2014). Begitupula dengan studi yang dilakukan di SMKN 8 Semarang (Solehyanti, 2008) dan Yogyakarta pada tahun 2013 (Andriani, 2013). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Bandar lampung menyatakan pengetahuan tidak berhubungan dengan perilaku seksual (Samino, 2012). Demikian pula halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Anesia dan Notobroto di Situbondo pada tahun 2013 (C.P.danNotobroto, 2013) dan Juleha pada tahun 2007 (Juleha, 2007).

2.4.5 Sikap

(49)

menolak (unfavorable) (Apsari, 2009). Hawkins Dkk (1986) menyebutkan, sikap adalah pengorganisasian secara ajeg dan bertahan (enduring) atas motif, keadaan emosional, persepsi dan proses-proses kognitif untuk memberikan respon terhadap dunia luar (Choerunnisa, 2008).

Sikap tumbuh diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan ke dalam dirinya. Dari apa yang diketahui tersebut akan berpengaruh pada perilakunya. Kalau apa yang dipersepsikan tersebut bersifat positif, maka seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan persepsinya. Sebab ia merasa setuju dengan apa yang diketahuinya. Namun sebaliknya, kalau ia mempersipkan secara negatif, maka ia cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam perilakunya. Tetapi seringkali dalam kehidupan realitasnya, ada banyak faktor lain yang emperngaruhi seseorang, bukan hanya sikap dan pengetahuan seseorang, melainkan bisa juga lingkungan sosial, situasi, atau kesempatan. Akibatnya perilakunya tidak konsisten dengan pengetahuan dan sikapnya (AmaliyasaridanPuspitasari, 2008).

(50)

di Semarang pada tahun yang sama menyatakan bahwa tidak ada hubngan antara sikap dengan perilaku seksual (Lestari et al., 2014). Begitu pula hasil studi yang dilakukan pada kelas III SMU Negeri Cirebon tahun 2007, tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual (Juleha, 2007)

2.4.6 Peran orang tua, sekolah, dan media sebagai penyedia informasi tentang kesehatan Reproduksi pada Remaja

2.4.6.1. Peran orang tua

Orang tua adalah bagian penting dalam program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Pikiran, pandangan, dukungan dan keterlibatan mereka akan sangat menentukan kebeerhasilan program KRR. Banyak program gagal karena tidak mendapatkan dukungan orang tua remaja. Sebaliknya, terbukti bawa sebuah program KRR bisa berhasil karena memperoleh dukungan dari orang tua (Djajaluddin dan Saefuddin, 2004).

(51)

anak/remaja terlindungi dari bahaya atau risiko-risiko kesehatan reproduksi (Djajaluddin dan Saefuddin, 2004).

Orang tua perlu dibekali pemahaman KRR yang benar, sebagai berikut (Djajaluddin dan Saefuddin, 2004):

a. Proses tumbuh kembang yang dialami remaja, baik secara fisik, psikologis, maupun emosi,

b. Organ-organ reproduksi beserta fungsinya c. Pacaran dan pergaulan yang bertanggungjawab

d. Akibat dari hubungan seks yang tidak aman (KTD, aborsi, IMS, HIV/AIDS)

e. Bagaimana membekali anak dengan keterampilan hidup yang bisa melindungi mereka dari risiko kesehatan reproduksi f. Bagaimana berkomunikasi dengan anak

(52)

2.4.6.2. Peran sekolah

Untuk mencegah perilaku seksual remaja yang tidak terkendali dan berisiko menimbulkan masalah kesehatan reproduksi pada remaja perlu adanya suatu cara penyampaian informasi tentang bahaya-bahaya dari sebuah dampak pergaulan bebas. Untuk mendapatkan informasi tersebut peran sekolah dan keluarga sangatlah penting dibutuhkan untuk pemberian informasi. Dari sekolah misal bisa melalui peran Bimbingan Konseling (BK) atau melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Sayangnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Sabon menunjukkan bahwa variabel sekolah sebagai sumber informasi tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku seksual (Sabon, 2003).

2.4.6.3. Paparan media

(53)

diketahui tidak ada hubungan sumber informasi kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual (Juleha, 2007).

2.4.7 Pengaruh teman sebaya

Teman sebaya adalah sekelompok remaja yang nilainya dianut oleh remaja lain (Rice, 2005). Sanrtock (2005) menyatakan teman sebaya berfungsi sebagai tempat bagi remaja berbagi dan sering perubahan perilaku remaja disebabkan transfer perilaku sesame teman sebaya. Teman sebaya sebagai kelompok kelompok acuan untuk berhubungan dengan lingkungan social, dimana remaja menyerap norma dan nilai-nilai yang akhirnya menjadi standar nilai yang mempengaruhi pribadi remaja (Santrock, 2005).

Menurut Jones dan Furman (2010), berkeinginan untuk memiliki teman sebaya atau kelompok merulakan bagian dari proses tumbuh kembang yang dialami remaja. Teman sebaya adalah remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Teman sebaya merupakan individu atau kelompok satuan fungsi yang berpengaruh pada remaja. Kelompok remaja memiliki ciri yang khas dalam orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut (StanhopedanLancaster, 2004).

2.4.8 Perilaku Pacaran

(54)

peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Daehler & Bukatko, 1985 dalam Syah, 1003).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pacar didefinisikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Sementara berpacaran didefinisikan dengan bercnintaan; berkasih-kasihan. Berpacaran disamakan maknanya dengan pacaran.Menurut mulamawitri pacaran adalah hubungan pertemanan antar lawan jenis yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar (Mulamawitri, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Samino di Bandar Lampung tahun 2013 menunjukkan adanya hubungan status pacaran dengan perilaku seksual (Samino, 2012). Demikian pula dengan penelitian Nurhidayah dkk pada remaja di Kota Bekasi, terdapat hubungan signifikan antara memiliki pacar dengan perilaku seks (Nurhidayah et al., 2012).

2.5Dampak Perilaku Seksual

2.5.1 Ketagihan

(55)

berulang-ulang. Seiring meningkatnya frekuensi remaja dalam berperilaku seksual maka riksiko penularan penyakit juga meningkat. Ketika remaja mulai berani melakukan perilaku seksual ringan, ada keenderungan mulai mencoba perilaku seksual yang lebih berat dan besar risikonya (Sekarrini, 2012).

2.5.2 IMS

Infeksi menular seksual adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual baik melalui vagina, mulut, maupun anus. Infeksi tersebut dapat disebabkan oleh bakteri (misalnya sifilis), jamur, virus (misalnya herpes, HIV), atau parasit (misalnya kutu) (BKKBN, 2012). Semua orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual berisiko tertular IMS. Risiko tersebut akan lebih tinggi pada orang yang melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (multipartner), melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang multipartner, melakukan hubungan seksual tanpa pengaman (kondom) (BKKBN, 2012).

(56)

(be faithful) serta meningkatkan akses dan layanan pencegahan komprehensif, termasuk pendidikan pencegahan dan penyediaan kondom (condoms) sangat penting bagi orang-orang muda yang aktif secara seksual (BKKBN, 2012).

2.6Kerangka Teori

Berdasarkan ulasan pada tinjauan pustaka, maka dapat dibangun sebuah kerangka teori seperti berikut ini:

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Kerangka teori ini mengadopsi teori Precede Proceede Lawrence Green (1980). Teori ini dibuat untuk perencanaan dan evaluasi program kesehatan. Dalam hal ini terdapat kesesuaian antara tujuan teori Precede Proceede dengan penelitian yang dilakukan. Dari analisis lanjut data SDKI 2012 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual

Predisposing factor

1. Faktor demografi (umur, tempat tinggal, tingkat pendidikan)

2. Pengetahuan 3. Sikap

Enabling factor

1. Peran sekolah sebagai penyedia informasi kespro 2. Peran masyarakat sebagai

penyedia informasi kespro 3. Paparan media

4. Perilaku pacaran

Perilaku seksual

Reinforcing factor

(57)
(58)

41

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini dibuat sesuai dengan variabel yang datanya tersedia dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012. Variabel tersebut meliputi karakteristik individu, pengetahuan, sikap, peran sekolah, dan masyarakat sebagai faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual remaja Indonesia. Variabel paparan media tidak akan diteliti dalam penelitian ini dikarenakan terlalu banyak data SDKI 2012 yang tidak lengkap (missing data) pada bagian ini. Sedangkan variabel lainnya tetap diteliti karena jumlah sampel mencukupi dan tidak terlalu banyak missing data. Kerangka konsep ini dibangun berdasarkan modifikasi dari teori precede proceed Lawrence Green.

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Predisposing factor

1. Faktor demografi (umur, tempat tinggal, tingkat pendidikan)

2. Pengetahuan 3. Sikap

Enabling factor

Peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi

Perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun

2012 Reinforcing factor

(59)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Dependen

1 Perilaku seksual berisiko IMS

Aktivitas responden yang dilakukan berdasarkan dorongan hasrat seksual mulai

dari berpacaran, berpegangan tangan, berciuman, meraba/merangsang organ sensitif, hingga sexual intercourse yang

berpeluang pada penularan IMS

Wawancara SDKI

Kuesioner nomor 704a-704c, 705

0. Berisiko IMS, jika sexual intercourse

1. Tidak Berisiko IMS jika, berpacaran dan/atau berpegangan tangan dan/atau beciuman bibir, dan/atau meraba/merangsang organ sensitif (Kemenkes, 2015) Ordinal Variabel Independen

2 Umur

Masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan kebawah atau umur pada waktu

ulang tahun terakhir (Depkes, 2008)

Wawancara SDKI

Kuesioner nomor 102

0. Remaja awal (15-19)

1. Remaja akhir (20-24) Ordinal

3 Tempat tinggal

Lokasi rumah responden yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan (Depkes,

2008)

Wawancara

SDKI Kuesioner nomor 5

0. Rural, jika pedesaan 1. Urban, jika perkotaan (Depkes, 2008)

Ordinal

4 Pendidikan Tingkat pendidikan formal tertinggi yang telah dicapai oleh responden (Depkes, 2008)

Wawancara SDKI

Kuesioner nomor 105

0. Rendah, jika tamat < SMA

1. Tinggi, jika tamat ≥ SMA

(60)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

5 Pengetahuan

Kemampuan responden untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya terkait IMS dan perilaku seksual yang berisiko pada penularan IMS

(Depkes, 2008) Wawancara SDKI Kuesioner nomor 216B,216C, 602, 604,617, 619,620

0. Kurang, jika jika skor ≤ 4

1. Baik, jika skor > 4 Ordinal

6 Sikap

Tanggapan responden terkait pernyataan mengenai perilaku seksual yang berisiko

pada penularan IMS

Wawancara

SDKI Kuesioner nomor 717a-720e 0.1. Negatif Positif, jika skor > 8 jika skor ≤ 8 Ordinal

7 Peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi

Kontribusi Sekolah dalam memberikan infomasi dan edukasi terkait kesehatan

reprosuksi pada siswa (remaja pria)

Wawancara SDKI

Kuesioner nomor 403A-403D

0. Tidak berperan, jika skor

≤ 2

1. Berperan jika skor > 2

Ordinal

8 Pengaruh Teman sebaya

Dorongan dari teman sebaya yang pernah melakukan hubungan seksual dalam membentuk perilaku seksual responden

Wawancara SDKI

Kuesioner nomor 715 dan 716

0. Berpengaruh jika skor = 2

1. Tidak berpengaruh skor < dari 2

(61)

Berdasarkanpenelitian terdahulu diketahui hipotesis pada penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara umur dengan perilaku seksual berisiko IMS pada

remaja pria di Indonesia tahun 2012

2. Ada hubungan antara tempat tinggal dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

3. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

4. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

5. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

6. Ada hubungan antara peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko IMS pada remaja pria di Indonesia tahun 2012

(62)

45

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dengan mempelajari dinamika korelasi antara variabel independen dengan variabel dependen dalam satu waktu. Menurut Murti (2006) metode cross sectional yaitu mempelajari variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Variabel independen dalam penelitian ini adalah umur, tempat tinggal, pendidikan, pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, sikap terhadap perilaku seksual beserta dampaknya, pengalaman pacaran, peran orang tua dan keluarga, peran sekolah dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku seksual remaja pria di Indonesia berdasarkan SDKI 2012.

4.2Lokasi dan Waktu Penelitian

(63)

dan dianalisis pada bulan September 2015

4.3Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga. Anggota unit populasi disebut elemen populasi (Murti, 2006). Populasi dalam penelitian ini mengacu pada populasi dalam SDKI 2012 yaitu seluruh remaja pria di Indonesia usia 15-24 tahun dengan total populasi 10980.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau di ukur. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini mengunakan total sampling atau sampel jenuh (Murti, 2006). Metode sampling yang digunakan dalam SDKI 2012 adalah sampling tiga tahap. Tahap pertama adalah memilih sejumlah Primary Sampling Unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara Probability Proportional to Size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus yang berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim Sensus Penduduk 2010. Tahap kedua adalah memilih satu blok sensus secara PPS di setiap PSU terpilih. Tahap ketiga adalah memilih 25 rumah tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik (BPS, 2013).

(64)

penelitian ini. Setelah mendapatkan jumlah sampel, dilakukan perhitungan kekuatan uji, dimana didapatkan nilai 1 - β yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 93.728%

Rumus sampling yang digunakan dalam SDKI 2012 adalah sebagai berikut:

Dimana

nh: jumlah sampel blok sensus strata-h mh: jumlah sampel rumah tangga strata h n: target sampel blok sensus, dan

k: jumlah alokasi dominan

Sedangkan untuk mengukur kekuatan uji digunakan rumus uji hipotesis beda 2 proporsi sebagai berikut:

Keterangan:

n = jumlah sampel yang dibutuhkan Z 1- α/2 = derajat kemaknaan (5% = 1,96)

Z 1-β = kekuatan uji

(65)

memiliki perilaku seksual berisiko = 36,4% = 0,364 (Rasmiani et al., 2014)

P2 = proporsi remaja dengan tingkat pengetahuan tinggi yang

memiliki perilaku seksual berisiko = 38,9% = 0.389 (Hakim, 2013)

DE = desain effect = 2

Bagan 4.1 Penentuan Sampel

4.4Cara Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan yaitu menggunakan data sekunder dari data SDKI 2012. Data ini diperoleh dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Indonesia.Sebelum pengambilan data, peneliti melakukan observasi kuesioner SDKI tahun 2012 untuk mengetahui pertanyaan apa saja yang berkaitan dengan perilaku seksual dan faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku seksual.

Remaja priausia 15-24 tahun yang memenuhi syarat untuk diwawancarai dalam SDKI 2012 diseluruh

Indonesia = 10980 remaja pria

Setelah melalui proses cleaning untuk variabel dependen jumlah sampel yang diperoleh sebesar 9160

remaja pria

(66)

terlatih dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh informasi terkait umur, pendidikan, menanyakan beberapa pertanyaan terkait perilaku seksual, pengetahuan, sikap, peran orang tua, sekolah dan pengalaman pacaran responden.

4.5Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner SDKI 2012 yang digunakan untuk mengumpulkan data perilaku seksual remaja di Indonesia. Pertanyaaan-pertanyaan yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini yang meliputi variebel karakteristik individu (umur dari kuesioner nomor 102 dan 103, tempat tinggal dari kuesioner nomor 5, pendidikan dari kuesioner nomor 105); pengetahuan (dari kuesioner nomor 216b-216c, 602, 604, 617, 619, 620); sikap (dari kuesioner nomor 717a-717b, 718-720e); peran sekolah (dari kuesioner nomor 404a-404d), dan peran teman sebaya (dari kuesioner nomor 715 dan 716). Dalam pelaksanaan SDKI 2012 sudah memperhatikan validitas dan reabilitas kuesioner penelitian.

4.6Pengolahan Data

Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan data dengan urutan sebagai berikut:

a. Filter

(67)

berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan. b. Pembersihan Data (Data Cleaning)

Pembersihan data perlu dilakukan untuk membersihkan data dari kesalahan yang mungkin terjadi. Dalam pembersihan data biasanya dilakukan pegecekan ulang dengan melihat distribusi frekuensi variabel dan menilai kelogisan serta konsistensinya, mengetahui variasi data dan untuk mengetahui adanya data yang missing/hilang.

c. Rescoring

Setelah cleaning data maka dilakukan rescoring atau scoring ulang pada data yang telah dipilih untuk digunakan dan sudah dijumlahkan menurut variabel yang ditentukan. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui skor maksimal suatu variabel untuk selanjutkan akan dikategorisasi dengan cara recoding.

d. Transformasi Data/Recoding

Setelah dilakukan rescoring, maka dilakukan transformasi data berupa pengkodean ulang/recoding terhadap variabel sesuai dengan kebutuhan peneliti. Hal ini bertujuan untuk mengklarifikasi data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian.

4.7Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

(68)

tinggal, pendidikan, pengethuan, sikap, peran orang tua, peran sekolah dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi, dan pengalaman pacaran) tersebut.

4.7.2 Analisis Bivariat

(69)

52

BAB V

HASIL

[image:69.595.146.532.104.765.2]

5.1Analisis Univariat

Tabel 5.1

Gambaran Perilaku Seksual Remaja Pria di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tahun 2012

Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)

Perilaku Seksual

Berisiko IMS 1356 14.8

Tidak Berisiko IMS 7804 85.2

Jumlah 9160 100.0

Umur

Remaja Akhir 4938 53.9

Remaja Awal 4222 46.1

Total 9160 100.0

Tempat Tinggal

Rural 3972 43.4

Urban 5188 56.6

Total 9160 100.0

Pendidikan

Tinggi 5964 65.1

Rendah 3150 34.4

Total 9114 99.5

Missing 46 0.5

Pengetahuan

Kurang 6253 68.3

Baik 2907 31.7

Jumlah 9160 100.0

Sikap

Negatif 5209 56.9

Positif 3951 43.1

Jumlah 9160 100.0

PeranSekolah

Tidak Berperan 4787 52.3

Berperan 4373 47.7

Jumlah 9160 100.0

Pengaruh Teman Sebaya

Ada Pengaruh 2525 27.6

Tidak ada Pengaruh 6635 72.4

(70)

tidak berisiko IMS yakni 85.2 %. diketahui bahwa lebih dari separuh remaja pria di Indonesia Tahun 2012 yang menjadi responden berada pada kelompok umur remaja akhir (53.9%). Menurut karakteristik tempat tinggal, lebih dari separuh remaja pria di Indonesia tahun 2012 tinggal di daerah perkotaan (urban) yakni sebesar 56.6%. Jika dikelompokkan berdasarkan karakteristik tingkat pandidikan, sebagian besar remaja pria di Indonesia tahun 2012 berpendidikan tinggi (65.1%). Pada variabel pendidikan terdapat missing data sebanyak 5%. Sebagian besar (68.3 %) remaja pria di Indonesia tahun 2012 memiliki pengetahuan yang kurang terkait perilaku seksual yang berisiko IMS. Lebih dari separuh (56.9 %) remaja pria di Indonesia tahun 2012 memiliki sikap negatif terkait perilaku seksual yang berisiko IMS. Lebih dari separuh (52.3%) remaja pria di Indonesia tahun 2012 menganggap sekolahnya tidak berperan sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi. Sebagian besar (72.4%) remaja pria di Indonesia tahun 2012 tidak merasakan adanya pengaruh teman sebaya dalam pembentukan perilaku seksualnya.

(71)
(72)
[image:72.595.145.544.127.782.2]

Berikut tabel 5.2 menampilkan tabel silang hubugan antara variabel independen dengan variabel dependen.

Tabel 5.2

Hubungan Pengetahuan, Sikap, Peran Sekolah dan Pengruh Teman Sebaya dengan Perilaku Seksual Remaja Pria di Indonesia Tahun 2012

Variabel

Perilaku Seksual Jumlah P value

Berisiko IMS Tidak

Berisiko IMS

n % n % n

Gambar

Gambaran Perilaku Seksual Remaja Indonesa Tahun 2012 ............................. 58
Tabel 5.1 ...............................................................................................................
Tabel 5.1 ...............................................................................................................
gambaran pengaruh
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama

Dari gambar 9 terlihat bahwa ada perubahan kekuatan geser pada masing- masing variasi adhesive dan terlihat bahwa nilai dari Komposit Sandwich Cantula 3D- UPRs dengan adhesive

Aturan yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kode etik mahasiswa yang mengatur mahasiswa UIN Suska Riau untuk melakukan kehidupan sosial-budayanya sebagai

pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS) dalam melaksnakan program pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kepenghuluan Bagan Batu Barat perlu

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, pada penelitian ini akan membahas tentang estimasi suku bunga yang mengikuti model CIR dengan menggunakan

Menganalisa hasil estimasi dari implementasi algoritma Filter Kalman pada model aliran air sungai yang direduksi dengan metode Singular Perturbation Approximation (SPA)..

5 Ada pengaruh pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap hasil belajar aspek psikomotor siswa, disebabkan karena siswa mengalami sendiri secara langsung