• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBANDINGAN DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Studi Putusan No.:400/Pid.B/2013/PN.KB dan Studi Putusan No.:05/Pid./2014/PT.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERBANDINGAN DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Studi Putusan No.:400/Pid.B/2013/PN.KB dan Studi Putusan No.:05/Pid./2014/PT.TK)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERBANDINGAN DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

(Studi Putusan No.:400/Pid.B/2013/PN.KB dan Studi Putusan No.:05/Pid./2014/PT.TK)

Oleh

QUEEN SUGIARTO

Penjatuhan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang terjadi di Desa Padang Ratu Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara pada tingkat pertama dan tingkat bandingnya memiliki perbedaan yang mencolok. Dimana pada tingkat pertama Majelis Hakim di Pengadilan Kotabumi memutus pelaku dengan penjatuhan tindakan untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dengan status anak negara, sedangkan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun terhadap pelaku. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian berdasarkan Putusan No.:400/pid.b/anak/2013/pn.kb dan Putusan No.:05/pid./2014/pt.tk ? (2) Manakah diantara Putusan No. : 400/pid.b/anak/2013/pn.kb dengan Putusan No: 05/pid./2014/pt.tk terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang memenuhi rasa keadilan ?

Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumplan data melalui wawancara, studi pustaka, dan studi lapangan. Pengolahan data dengan cara editing dan sistematisasi data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diinterprestasikan untuk dianalisis secara kualitatif dan penarikan kesimpulan secara induktif.

(2)

Tinggi Tanjung Karang telah melihat bahwa putusan tingkat pertama terlalu ringan dibandingkan dengan perbuatan pelaku. Hakim Tinggi akhirnya menjatuhkan putusan pidana penjara selama 6 (enam) tahun kepada pelaku anak tersebut. Kemudian dari kedua putusan tersebut, putusan tingkat bandinglah yang memenuhi rasa keadilan bagi kepentingan hukum.

Saran dalam putusan ini adalah agar penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum, terutama hakim, dalam memutus perkara harus memperhatikan keadilan bagi para pihak. Walaupun pelaku memang masih anak-anak namun penjatuhan pidana yang terlalu ringan dan tidak sesuai atau tidak setimpal dengan perbuatan pelaku yang sadis akan menimbulakn luka mendalam bagi keluarga korban serta meresahkan masyarakat. Kemudian dalam memutus perkara sebaikan memperhatian 4 (empat) kepentingan hukum, anatar lain (1) kepentingan negara, (2) kepentingan masyarakat, (3) kepentingan korban, dan (4) kepentingan pelaku.

(3)

ANALISIS PERBANDINGAN DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

(Studi Putusan No.: 400/Pid.B/2013/PN.KB dan Studi Putusan No.: 05/Pid./2014/PT.TK)

Oleh :

QUEEN SUGIARTO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Queen Sugiarto diahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 19 Juli 1995, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Reno Sugiarto dan Ibu Sri Palupi.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Ramuslimat NU 01 Desa Tanjung Harapan Kec. Seputih Banyak Kab. Lampung Tengah, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 3 Seputih Banyak Lampung Tengah. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar Bandar Lampung dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2012.

Penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada pertengahan tahun Juli 2012. Kemudian pada pertengahan tahun 2014 penulis memfokuskan diri untuk mendalami Hukum Pidana. Semasa perkuliahan penulis pernah mengikuti organisasi Mahkamah, Law English Club, dan menjadi anggota bidang kajian dan penelitian pada Himpuan Mahasiswa Hukum Pidana.

(7)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbilalamin…

Segala puji kupersembahkan untukMu, Ya Allah pencipta

semesta alam dan segala isinya. Shalawat dan salam

kucurahkan kepada Rasulullah SAW beserta para sahabat.

Karya ini kupersembahkan untuk :

My Parents : Papa Mama, thank you for everything, for the

support, advice, and the pray for me. I am so grateful to be

your child.

RENO SUGIARTO & SRI PALUPI

My Sister and Brothers : Edelweis Sugiarto (Alm.), Caesar

Moreno, and Elang Ramadhan, thank you for the countless

joy given to me.

My Cousin : Zhakia El Shinta, thank you for always support

and trust in me.

(8)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :

Analisis Perbandingan Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan No. : 400/Pid.B/2013/PN.KB dan Putusan No. : 05/Pid./2014/PT.TK)

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Hukum Unversitas Lampung. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari peranan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang banyak memberikan saran dan motivasi serta meluangkan waktu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

(9)

6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Pembahas II atas segala kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Kasmawati, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Para dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terutama pada Bagia Hukum Pidana : Mba Sri, Babe, dan Bude Siti.

10.Kedua orang tua penulis, Reno Sugiarto dan Sri Palupi. Terima kasih atas segalanya, baik doa, dukungan, serta motivasi yang diberikan kepada penulis. 11.Adik-adikku tersayang, (Alm.) Edelweis Sugiarto, Caesar Moreno, dan Elang

Ramadhan, terima kasih untuk selalu menghibur penulis ketika penat dalam mengerjakan skripsi ini.

12.Keluarga besar penulis untuk selalu memberikan dukungan terhadap penulis. 13.Sahabat dan teman seperjuanganku selama menjadi mahasiswi di Fakultas

Hukum Universitas Lampung : Lovia Listiane Putri, Rizki Ananda N., Shabrina D. Firda, Nuning Andriyani, Sari Tirta R., Ika Nursanti, Olivia Rizka V., dan Shinta Wahyu P. untuk setiap suka cita serta duka selama masa perkuliahan, semoga persahabatan kita dapat dipertahankan for good.

(10)

15.Sahabat dan teman seperjuangan selama KKN di Desa Penawar Baru Kecamatan Gedung Aji Kabupaten Tulang Bawang : M. Imam Syafei, I Made Widiyana, dan Lintang Afriana.

16.Rekan-rekan Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana : Redo Noviansyah, Ragiel Armanda Arief, Siti Dwi, Yoya Nalamba, Albar Diaz, dan anggota HIMA Pidana lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

17.Kepada teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2012 : Nazyra Yosea, Riky Farizal, Retno Mega Sari, Rachmat Mahendra, Prasetya N. R., Belardo Prasetya, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

18.Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat diucapkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, Februari 2016

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbandingan Hukum ... 20

B. Tinjauan Tindak Pidana ... 22

C. Teori Dasar Pertimbangan Hakim ... 25

D. Tinjauan Terhadap Anak …………. ... 28

E. Putusan Pengadilan ... 34

F. Pengertian Pencurian …….. ... 38

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 44

B. Data dan Sumber Data ... 45

C. Penentuan Narasumber... 47

D. Metode Pengumpulan Data ... 47

(12)

Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan No. : 400/Pid.B/2013/PN.KB dan No. : 05/Pid./2014/PT.TK)…… 50 B. Putusan yang Memenuhi Rasa Keadilan Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan No. : 400/Pid.B/2013/PN.KB dan No. : 05/Pid./2014/PT.TK)…. 63

V. PENUTUP

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup sebuah bangsa dan Negara1. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan2.

Melihat pentingnya peranan anak tersebut, maka anak perlu mendapatkan perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di berbagai bidang, kemajuan ilmu pengetahuan tekhnologi dan komusikasi (IPTEK), serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang

1

Angger Sigit dan Fuady, Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2015, Hlm. 1 2

(14)

telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Perlindungan terhadap anak tidak terbatas oleh pemerintah selaku kaki tangan negara, akan tetapi harus dilakukan juga oleh orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk dapat bertanggungjawab menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut 3. Dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak terutama untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Senada dengan itu dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."

Seiring berkembangnya teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah iklim demokrasi yang menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam isu sangatlah mudah sampai kepada publik, untuk kemudian ramai-ramai dibahas dan diperbincangkan4. Dalam kenyataannya, banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini, yang mempengaruhi perkembangan kehidupan anak. Anak yang dibesarkan dalam suasana konflik cenderung mengalami keresahan jiwa, yang dapat mendorong anak melakukan tindakan-tindakan negatif yang dikategorikan sebagai kenakalan anak. Anak melakukan kenakalan dapat dipngaruhi oleh latar belakang kehidupannya. Kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan bangsa dan Negara.

3

Angger Sigit dan Fuadi, Op.Cit., Hlm. 5. 4

(15)

Kenyataannya, pada saat ini peristiwa pidana atau tindak pidana banyak yang dilakukan oleh anak. Anak yang melakukan suatu tindak pidana disebut dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) memberikan pengertian mengenai anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Sebagai contoh kasus kenakalan anak yang terjadi di Lampung adalah yang dilakukan oleh Baru Raharja. Baru Raharja adalah seorang anak yang berusia 15 (lima belas) tahun yang bertempat tinggal di Desa Padang Ratu, Kecamatan Sungkai Utara, Kabupaten Lampung Utara5. Dia terbukti telah melakukan suatu tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian kepada korban Abdul Wahab bin Muhammad Nur yang merupakan teman sepermainannya. Pada hari senin tanggal 7 Oktober 2013 terdakwa beserta korban sedang menonton acara orgen tunggal di desa mereka. Terdakwa meminta kepada korban untuk diantarkan ke dekat lokasi koramil yang tidak jauh dari tempat nonton tersebut dengan menggunakan motor korban jenis Honda Absolute Revo warna hitam dengan Nopol BE 8022 QE. Sebelum sampai di tempat tujuan terdakwa menghentikan motor karena melewati rumah bibi tersangka, terdakwa kemudian masuk kerumah bibinya dan berkata “Bi,

5

(16)

minjam golok” lalu dijawab oleh Bibi Sinar “Untuk apa ?” kemudian dijawab oleh terdakwa “minjam sebentar”, setelah itu terdakwa bergegas menuju dapur untuk

mengambill golok dan mengasahnya. Setelah diasah, kemudia golok tersebut diselipkan di pinggang terdakwa tanpa diketahui korban lalu terdakwa mengajak korban pergi lagi dengan korban yang mengendarai motor. Belum sampai tujuan yang dimaksud oleh terdakwa, korban tidak mau lagi mengantarkan terdakwa dan pada saat itu terjadi percekcokan antara korban dengan terdakwa, sesaat kemudian terdakwa mengeluarkan golok yang telah diselipkan terdakwa dipinggang kemudian membacokkanya kearah kepala korban dan korbanpun terjatuh dari motor kemudian korban masih sempat untuk berusaha berlari namun terdakwa kembali membacokkan goloknyaberkali-kali kearah tangan dan tubuh korban sampai korban benar-benar terjatuh dan terakhir terdakwa membacokkan goloknya kearah leher korban. Setelah terdakwa memastikan korban tidak bernyawa lagi, terdakwa langsung membawa kabur motor korban dan menyembunyikannya di belakang rumah terdakwa.

(17)

Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi menjatuhkan putusan tersebut dengan menimbang bahwa Baru Raharja masih anak-anak dan diharapkan masih dapat diperbaiki dan memperbaiki dirinya, bahwa selama masa persidangan Baru Raharja menyesali dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, bahwa Baru Raharja berperilaku sopan, serta bahwa Baru Raharja belum pernah dihukum. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Metro untuk Baru Raharja serta setelah mendengar pendapat dari orang tua terdakwa yang menyerahkannya untuk dijadikan Anak Negara dengan alasan keluarga sudah tidak sanggup mengurus dan mendidik terdakwa. Dengan menimbang hal-hal tersebut, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi menetapkan status Baru Raharja sebagai Anak Negara dan ditempatkan pada tempat khusus di Lembaga Pemasyarakatn Anak Kelas II.A Kotabumi, Lampung.

Melihat putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi yang terlalu ringan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan upaya banding terhadap putusan tersebut. Permohonan banding tersebut tercatat pada Akta Banding No.18/Akta.Bdg/2013/PN.KB yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang oleh Panitera Pengadilan Negeri Kotabumi. Permohonan banding yang diajukan oleh JPU tersebut masih dalam tenggang waktu, serta memenuhi cara dan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga permohonan banding itu diterima oleh Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

(18)

terdakwa, dimana dampak dari penjatuhan hukuman tersebut tidak hanya menimbulkan luka yang mendalam kepada keluarga korban tetapi juga akan memberikan rasa takut kepada masyarakat umum terhadap perbuatan terdakwa tersebut karena dimungkinkan perbuatan sekejam itu akan terulang lagi ditengah masyarakat. Akhirnya, berdasarkan Putusan No. : 05/Pid./2014/PT.TK Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 6 (enam) tahun penjara. Putusan ini telah inkrah atau memiliki kekuatan hukum yang tetap karena tidak ada pihak yang mengajukan upaya hukum terhadap putusan ini.

Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang menjatuhkan putusan tersebut dengan menimbang beberapa hal, antara lain bahwa majelis hakim tingkat pertama menjatuhkan putusan yang terlalu ringan terhadap terdakwa, bahwa penjatuhan pidana yang ringan tidak akan memberikan efek jera bagi terdakwa dan tidak memberikan pelajaran hukum bagi masyarakat lain, bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan luka yang mendalam bagi keluarga korban, bahwa belum ada perdamaian dengan keluarga korban, serta bahwa perbuatan terdakwa dilakukan dengan sadis. Dengan menimbang hal-hal tersebut, maka Hakim Tinggi menjatuhkan hukuman pidana 6 (enam) tahun penjara terhadap Baru Raharja.

(19)

dikembalikan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja dengan status sebagai Anak Negara. Sedangkan dalam putusan tingkat banding, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang memutus Baru Raharja dengan pidana 6 (enam) tahun penjara.

Melihat perbedaan yang mencolok dalam putusan yang diberikan kepada terdakwa pada tingkat pertama dan tingkat banding tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : “Analisis Perbandingan

Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian (Studi Putusan No.: 400/Pid.B/2013/PN.KB dan Putusan No.: 05/Pid./2014/PT.TK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian berdasarkan Putusan No.:400/pid.b/anak/2013/pn.kb dan Putusan No.:05/pid./2014/pt.tk ?

(20)

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah mencakup ilmu hukum pidana khususnya mengenai dasar pertimbangan hakim baik pada tingkat pertama maupun tingkat banding dalam memutus tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anak berdasarkan Putusan No.: 400/Pid.B/2013/PN.KN dan Studi Putusan No.: 05/Pid./2014/PT.TK dan putusan manakah yang dapat memberikan keadilan terhadap anak pelaku tindak pidana tersebut. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Kelas II Kotabumi dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Penelitian tersebut akan dilaksanakan pada Tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian :

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding (Studi Putusan No.: 400/Pid.B/2013/PN.KN dan Studi Putusan No.: 05/Pid./2014/PT.TK).

(21)

pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian terhadap putusan pada tingkat pertama ataupun pada tingkat banding berdasarkan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Kegunaan Teoritis

Dimana kegunaan penelitian ini secara teoritis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana pada bidang sistem peradilan pidana anak di Indonesia, yang berkaitan dengan hal-hal mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anak (Studi Putusan No.: 400/Pid.B/2013/PN.KN dan Studi Putusan No.: 05/Pid./2014/PT.TK).

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana serta sebagai acuan sumber informasi bagi pembaca terkait dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(22)

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneiti6. Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :

a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat kepada surat dakwaan tersebut. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasar pada alat bukti yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti – alat bukti yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP tersebut anatara lain :

1) Keterangan saksi. Keterangan saksi berkaitan dengan keterangan dari saksi korban maupun saksi dari terdakwa yang mengetahui secara langsung kronologi peristiwa.

2) Keterangan ahli. Keterangan ahli digunakan oleh Hakim dalam menentukan suatu tindak pidana apakah sudah layak dan memenuhi unsur-unsur dariperbuatan pidana tersebut yang nantinya akan diputus.

3) Surat. Surat-surat dapat berupa akta, perjanjian, nota-nota, dan surat lainnya yang berkaitan erat dengan kasus sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

6

(23)

4) Petunjuk. Petunjuk biasanya ditemukan bahwa apabila ada petunjuk atau fakta lain di persidangan maupun yang telah Hakim gali di tengah masyarakat. 5) Keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa berkaitan dengan kasus yang

sedang dihadapi untuk dinilai oleh hakim dalam rangka pengumpuan alat bukti guna menjadi dasar pertimbangan hakim.

Alat bukti inilah yang nantinya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukum pidana yang didasarkan kepada unsur materiil dan formil serta hasil pemeriksaan dalam proses peradilan pidana sehingga didapatkan suatu hasil yang optimal dan terjadinya kesinkronan atau kesesuaian terhadap putusan tersebut. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dinyatakan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu :

1. Pasal 6 Ayat (2):”Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”dan

2. Pasal 8 Ayat (2): “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,hakim wajib memperhatikan pada sifat yang baik dan jahat pada terdakwa”.

Menurut Barda Nawawi Arief, sebelum hakim menetapkan putusannya ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:

(24)

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan terdakwa itu merupakan suatu tindakan tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana7.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara yaitu :

1. Teori Keseimbangan

Keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara. Keseimbangan ini dalam praktiknya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa (Pasal 197 Ayat (1) huruf (f) KUHAP).

2. Teori Pendekatan Seni dan Institusi

Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi daripada pengetahuan hakim. Hakim dengan keyakinannya akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang sesuai bagi setiap pelaku tindak pidana.

7

(25)

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan menjelaskan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim. Sehingga putusan yang dijatukan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok-pokok perkara yang disengketakan. Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, karena berkaitan dengan hati nurani dan rasa keadilan dari dalam diri hakim.

6. Teori Kebijaksanaan

(26)

memelihara, mendidik pelaku tindak pidana, serta sebagai pencegahan umum kasus8

b. Teori Konsep Keadilan

Teori mengenai keadilan ini menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya.

Teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan, teori hukum tentang kemanfaatan yang berasal dari Jeremy Bentham yang menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates happiness for the greatest number). Jadi yang diutamakan dalam teori Jeremi Bentham adalah mewujudkan kebahagiaan yang sebesar- besarnya, karena teori kemanfaatan merupakan rasionalisme dari keadilan, bila keadilan telah tercapai

8

(27)

otomatis akan memberikan manfaat bagi para pihak. Dalam hal kewenangan Hakim diharapkan dapat memberikan kemanfaatan dalam hal menjatuhkan hukuman9.

Pemaknaan teori keadilan dalam praktikya terhadap penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih menjadi debatable di tengah masyarakat. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu segketa. Hal itu tidak dapat dilepaskan karena cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan semestinya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekuatan normatif-rosedural yang ada dalam suatu peraturan perundangan, karena hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang10.

Munculnya permasalahan sebagaimana tersebut dimuka tidak dapat dilepaskan karena adanya sebuah dikotomi antara keadilan substantif disatu sisi dan keadilan prosedural disisi yang lain. Keadilan substantif dalam Black’s Law Dictionary dimaknai sebagai :

Justice fairly administered according to rules od substantive law,

regardless of any procedural errors not affecting the litigant’s substantive

rights.”

9

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit UNDIP : 2001, Hlm. 75.

10

(28)

Artinya :

“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif,

dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat.”

Hal ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural adalah benar bisa menjadi salah, jika secara materil dan susbtansinya melanggar keadilan. Demikian pula sebaliknya, apa yang secara formal adalah salah bisa menjadi benar, jika secara materil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substansi bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang, namun dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum11.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-arti

11

(29)

yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui12. Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah.13

b. Pertimbangan Hakim adalah dasar-dasar yang digunakan oleh hakim dalam menelaah atau menecermati suatu perkara sebelum memutuskan suatu perkara tertentu melalui sidang pengadilan. 14

c. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas), termasuk anak yang masih dalam kandungan. 15

d. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 16

e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang- undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 17

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Pelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia : 1986, Hlm. 132.

13

Lexy J.Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rineka Cipta : 2005, Hlm. 54. 14

Ahmad Rifai, Op.Cit, Hlm. 112. 15

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 16

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 17

(30)

f. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut. 18

g. Pencurian adalah barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dnegan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian19.

E. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah serta memperjelas dalam memahami isi skripsi ini secara keseluruhan, maka dipelukan penjelasan mengenai sistematikam penulisan yang bertujuan untuk mendapat suatu gambaran jelas tentang pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bagian ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

18

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara. 1993, Hlm. 37.

19

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Pada bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang akan digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, cara pengumpulan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasana yang mengemukakan hasil penelitian mengenai “analisis perbandingan dasar pertimbangan hakim pada tingkat pertama dan

tingkat banding terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian (Studi Putusan No.:400/Pid.B/2013/PN.KB dan Studi Putusan No.:05/Pid./2014/PT.TK)” dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkn kematian berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kotabumi No. : 400/Pid.B/2013/PN.KB dan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. : 05/Pid./2014/PT.TK.

V. PENUTUP

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief dalam bahasa asing diterjemahkan sebagai berikut20 :

1. Comperative law

2. Vergleihende rechslehre 3. Droit compre

Istilah ini dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan menjadi hukum perselisihan yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. Istilah yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah perbandingan hukum pidana. Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia dan sudah sejalan dengan istilah yang dipergunakan untuk hal yang sama dibidang hukum pidana, yaitu perbandingan hukum pidana.

20

(33)

Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah perbandingan hukum, antara lain :

1. Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan tehnik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum.

2. Winterton mengemukakan bahwa, perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu perbandingan suatu sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingan.

3. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law, pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.

4. Perbandingan hukum adalah metode umum dari suatu perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah : Frederick Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George Winterton.

5. Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cadangan ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi) dari kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dasar-dasar kemasyarakatnya.

6. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup “analysis and comparsion of the laws” pendapat tersebut sudah menunjuksan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu hukum. 7. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan oleh

(34)

8. Barda Nawawi Arief yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistem hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan.

B. Tinjauan Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak terdapat penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu21. Hal itu mengakibatkan tidak adanya keseragaman pendapat para ahli hukum mengenai pengertian strafbaar feit.

Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit”, sebagai berikut 22:

a. Delik (delictI) b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana

d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum e. Hal yang diancam dengan hukum

f. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum g. Tindak pidana

Berikut merupakan beberapa definisi tindak pidana menurut beberapa ahli hukum : a. Pompe memberikan dua definisi mengenai tindak pidana, yaitu :

21

Adami Chazawi, Pelajara Hukum Pidana I., Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2011. Hlm. 67. 22

(35)

i. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

ii. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

b. Simons memberikan defisi tindak pidana sebagai kelakuan/hendeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

c. Van Hattum memberikan definisi suatau peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (een persoon) mendapat hukuman. Atau dapat dihukum. (feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is)23 d. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut24

23

E. Utrecht, Hukum Pidana I, Bandung : Pustaka Tinta Mas. 1986. Hlm. 260. 24

(36)

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam KUHP pada umumnya suatu tindak pidana dapat dijabarkan ke dalam dua macam unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif25. Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia / si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan, dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP dapat diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu26 :

a) Unsur tingkah laku b) Unsur melawan hukum c) Unsur kesalahan

d) Unsur akibat konstitutif

e) Unsur keadaan yang menyertai

f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i) Unsur objek hukum tindak pidana

j) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak adalah27 :

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayai (1) KUHP

25

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti,1997, Hlm. 193

26

Adami Chazawi, Ibid., Hlm. 82 27

(37)

c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad e) Perasaan takut atau vress

Unsur-unsur objektif dalam suatu tindak pidana adalah28 : a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid b) Kualitas si pelaku

c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan secara penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

C. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim dalam menjatuhkan dan membuat putusan haruslah dilakukan dengan keyakinan. Putusan hakim merupakan mahkota dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sesedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Jika hal negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembangnya sikap atau sifat kepuasan moral jika kemungkinan kemudian putusan yang dibuatnya itu menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi kalangan teoritis

28

(38)

maupun praktisi hukum serta kepuasan nurani sendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi29

Menurut Moeljatno, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rifai, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagaimana berikut30:

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana

Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.

2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Yang dipandang primer adalah orang itu sendiri. Hakim dapat menggunakan Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) tentang orang-orang yang dinyatakan tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut.

3. Tahap Penentuan Pemidanaan

Dalam hal ini, jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan

29

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, Hlm. 94

30

(39)

kemudian perbuatannya itu dapat di pertanggungjawabkan oleh si pelaku, maka hakim akan menjatuhkan terhadap pelaku tersebut, dengan melihat pasal-pasal, undang-undang yang dilanggar oleh si pelaku.

Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasar pada alat bukti yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti inilah yang nantinya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukum pidana yang didasarkan kepada unsur materiil dan formil serta hasil pemeriksaan dalam proses peradilan pidana sehingga didapatkan suatu hasil yang optimal dan terjadinya kesinkronan atau kesesuaian terhadap putusan tersebut. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dinyatakan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu :

1. Pasal 6 Ayat (2):”Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”dan

2. Pasal 8 Ayat (2): “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,hakim wajib memperhatikan pada sifat yang baik dan jahat pada terdakwa”.

Menurut Barda Nawawi Arief, sebelum hakim menetapkan putusannya ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian

(40)

merupakan suatu tindakan tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana31

D. Tinjauan Terhadap Anak

1. Pengertian Anak

Hingga saat ini belum ada keseragaman mengenai pengertian anak itu sendiri. Pengertian anak pada setiap peraturan perundang-undangan berbeda berdasarkan batas umurnya. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri memiliki beberapa pengertian anak, yaitu :

1. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU SPPA).

2. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA).

3. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA).

31

(41)

4. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5 UU SPPA).

Hal penting yang perlu diperhatikan daam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak32

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup mausia dan keberlangsungan hidup sebuah bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2) UUD 1945). Sehingga, perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban kita bersama,agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat menjadi pengemban

32

(42)

risalah peradaban bangsa ini. Berkaitan dengan perlakuan anak tersebut, maka penting bagi kita mengetahui hak-hak anak dan kewajiban anak, yaitu :

1. Hak Anak

Indonesia telah meratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child, sehingga sejak tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalam Konvensi Hak-Hak Anak33

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan perwujudan konkrit dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yng telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 12 UU No.35 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2002 tentag Perlindungan Anak, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminalisasi.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, antara lain34 :

33

M. Nasir Djamil, Op.Cit., Hlm. 13 34

(43)

a) Hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of live) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

b) Hak terhadap perlindungan (protection tights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak memppunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c) Hak untuk tumbuh kembang (development right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak (the right of standart living).

d) Hak untuk berpartisipasi (participation right) yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the right of a child to express her/his views freely in all matters affecting the child).

2. Kewajiban Anak

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. Kebanyakan hak akan muncul apabila sudah melakukan kewajibannya terlebih dahulu. Berdasarkan Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terdapat 5 (lima) kewajiban anak, yaitu :

a) Menghormati orang tua, wali, dan guru

(44)

c) Mencintai tanah air, bangsa, dan Negara

d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya e) Melaksanakan etika dan akhlak mulia

2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu35 :

a. Status Offence adalah perilaku anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebaggai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah, atau kabur dari rumah

b. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakuakan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak disebut sebagai kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan meunjukan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertibn umum. Sehingga hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan, melaikan suatu kenakalan.

Kenakalan anak disebut juga sebagai Juvenile Deliquency. Menurut Kartini Kartono, juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak-anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkahlaku yang menyimpang. Sedangkan

35

(45)

juvenile delinquency menurut Romli Atmasasmita adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang belaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan36.

Pengaturan mengenai sanski yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. (UUPA) Diaturnya ketentuan pidana dan tindakan bagi anak nakal dalam UUPA merupakan perubahan atau perbaikan terhadap stelsel pidana yang ada dalam KUHP, karena stelsel pidana yang ada dalam KUHP tidak diorientasikan untuk anak yang melakukan tindak pidana, melainkan berlaku umum untuk setiap orang (orang dewasa), walaupun ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap anak.37

Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal diatur dalam Pasal 23 UUPA sebagai berikut :38

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. pidana penjara;

b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau

36

M. Nasir Djamil, Op.Cit., Hlm. 35 37

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Lampung, Fakultas Hukum Unila : 2013, Hlm. 54. 38

(46)

d. pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

E. Putusan Pengadilan

Putusan adalah hasil atau kesimpuan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vinnis tetap (definite) rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukann ahli hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlagsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sedang pengadilan. Ada juga yang disebut interlocutore yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.39

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

39

(47)

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Demikian pula berdasarkan Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, putusan pengadilan dapat digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu40 :

a. Putusan bebas

Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yaitu :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang disyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak terpenuhi. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa seseorang terdakwa diputus bebas oleh hakim karena :

1. Minimum bukti, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tidak terpenuhi

2. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa

3. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut menjelaskan kepada kita dan terutama kepada hakim bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Akan tetapi, dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa

40

(48)

terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, keyakinan dari hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut sudah tidak ditimbulkan oleh sekurang-karangnya dua alat bukti yang sah.41

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

Dasar hukum dalam putusan ini adalah Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan.”

Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, baik yang menyangkut perbuatan sendiri maupun dari pelaku, misalnya :

1. Perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan bukan merupakan tindak pidana

2. Perbuatan terbukti sebagai tindak pidana, tetapi ada alasan penghapusan pidana, seperti :

a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya b. Pasal 48 KUHP, tentang keadaan memaksa (over macht) c. Pasal 49 KUHP, tentang membela diri (noodweer)

d. Pasal 50 KUHP, melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang

41

(49)

e. Pasal 51 KUHP, melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. 42

c. Putusan yang mengandung pemidanaan.

Dasar putusan ini adalah Pasal 193 ayat (3) KUHP, yang berbunyi :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.: Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal adanya dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa itu berdasarkan alat bukti yang ada. Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.43

1. Putusan Tingkat Pertama

Dimana putusan ini merupakan putusan yang dibacakan dipersidangan yang terbuka untuk umum yang berisikan salah satu dari tiga kemungkinan isi putusan di Pengadilan Negeri yang berwenang.

2. Putusan Tingkat Banding

Andi Hamzah berpendapat bahwa banding adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menolak putusan pengadilan, dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum dari putusan pengadilan tingkat pertama44

42

Ibid., Hlm. 69 43

Ibid. 44

(50)

F. Pengertian Pencurian

Tindak pidana pencurian pertama diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP ialah tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, yang memuat semua unsure dari tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut :

“Hij die eenig dat geheel of ten deele aan een ander toebehoort wegneemt,

met het oogmerk om het zich wederrechtelijk toe te eigenen, wordt, als

schuldig aan diefstal, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren

of geldboete van ten hoogste negen hondred gulden.”

Artinya :

“Barangsiapa mengambil sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya

merupakan kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, karena bersalah melakukan pencurian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.”45

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagai berikut :

a. Unsur subjektif : met het oogmerk om het zich wederrechtelijk toe te eigenen atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan

hukum

45

(51)

b. Unsur objektif : 1. hij atau barangsiapa

2. wegnemen atau mengambil 3. eenig goed atau sesuatu benda

4. dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan prang lain.46

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP.

Namun tindakan pencurian tersebut bisa saja dilakukan dengan rencana yang dipersiapkan oleh pelaku. Pencurian tersebut juga dapat dilakukan dengan menggunakan kekerasan kepada korban, pencurian tersebut diatur dalam Pasal 365 KUHP yang rumusan aslinya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut :

(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste negen jaren wordt gestraft diefstal, voorafgegaan, vergezeld of gevolgd van geweld, bedreiging met geweld tegen

personen, gepleegd met het oogmerk om dien diefstal voor te bereiden of

gemakkelijk te maken, of om, bij betrapping op heterdaad, aan zich zelven of

andere deelnemers aan het misdrijf, hetzij de vlucht mogelijk te maken, hetzij

het brezit van het gestolene te verzekeren.

(2) gevangenisstraf van ten hoogste twaalf jaren wordt opgelegd :

46

(52)

1. indien het feit wordt gepleegd hetszij bij nacht in eene wooning of op een besloten erf waarop een wooning staat; hetzij op den openbaren weg

hetzij in een spoortrien of tram die in beweging is

2. indien het feit wordt gepleegd door twee verenigde personen;

3. indien de schuldige zich de toegang tot de plaats des misdrijfs heeft verschaft door middle van vraak of inklimming, van valse sleutels, van een

valse order of een vals kostuum

(3) gevengenisstraf van ten hoogste vijftien jaren wordt opgelegd, indien het feit den dood ten gevolge heeft

(4) de doodstraf of levenslange gevengenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twentig jaren wordt opgelegd, indien het feit zwaar lichamelijk letsel of den

dood ten gevolge heeft, door twee of meer verenigde personen wordt gepleegd

en daarenboven van een der in no. 1 en no. 3 vermeide omstandigheden

vergezeld gaat.

Artinya :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri

(53)

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnyam, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan

2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu 3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu

4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yag diterangkan no. 1 dan no. 3

(54)

Pendapat yang sama dengan pendapat seperti yang telah dikatakan di atas juga pernah dikemukakan oleh Mr. Ort dalam kesimpulan yang beliau tuliskan di bawah arrest Hoge Raad tanggal 28 Juli 1911, yang berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP itu mengatur masalah pencurian yang

dilakukan dalam keadaan-keadaan yang memberatkan. Yang dinyatakan dapat dipidana dalam Pasal 365 KUHP itu ialah satu kejahatan yang berdiri sendiri, yakni pencurian yang dilakukan dalam suatu keadaan yang memberatkan karena dalam pelaksanaannya telah dipakai kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang-orang dengan maksud seperti yang dikatakan dalam rumusannya.” 47

Menurut Prof. Simons, kekerasan itu tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi sebelum, selama, dan sesudah pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat (1) KUHP yakni :

a. Untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;

b. Jika kejahatan yang mereka lakukan itu op heterdaad betrapt atau diketahui pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri;

c. Untuk menjamin tetap mereka kuasai benda yang telah mereka curi.48

47

Ibid., Hlm. 57 48

(55)
(56)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian49. Pendekatan masalah yang digunakan dalam peneitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan oleh penulis dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat dan memperhatikan asas-asas, seperti asas kepastian dan keadilam yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berhubungan dengan permasalah yang diteliti yaitu dalam hal putusan Pengadilan Negeri Kota Bumi Nomor : 400/Pid.B/2013/PN.KB dan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor :

49

(57)

05/Pid./2014/PT.TK tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh pelaku anak. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan agar mendapat gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti. Peneliti melakukan wawancara dengan aparat penegak hukum yakni : Hakim Pengadilan Negeri Kotabumi dan Hakim Pengadilan Tinggi Tajung Karang untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh pelaku anak.

B. Data dan Sumber Data

(58)

hukum in concerto. Banyaknya data primer bergantung dari banyaknya tolak ukur normatif yang diterapkan pada peristiwa hukum50.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Bahan hukum primer yang digunakan :

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP).

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana / KUHAP).

4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

5. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam meganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian dan diperoleh dengan cara studi dokumen, dan mempelajari perbed

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah masalah rendahnya hasil belajar siswa pada materi instalasi sistem operasi di kelas X SMK Swasta Harapan Stabat.. Penelitian

[r]

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Permasalahannya adalah apabila dalam penyalahgunaan wewenang yang dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintah yang merugikan keuangan negara itu sudah diselesaikan oleh APIP

Padahal, dalam konteks sebagai produk pemikiran manusia yang lahir dalam ruang historis, status pemikiran-pemikiran Islam (baik di bidang fiqih, kalam, tasawuf) adalah

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

pengalaman ajaran Islam terutama tentang peradaban Islam sejak pasca-Khulafaur Rasyidin sampai tumbuhnya gerakan-gerakan dakwah Islam yang berskala nasional maupun