• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Morfologi Vertikal Wajah Terhadap Tinggi Dentoalveolar Regio Molar dan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Morfologi Vertikal Wajah Terhadap Tinggi Dentoalveolar Regio Molar dan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN MORFOLOGI VERTIKAL WAJAH TERHADAP

TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR

LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS

ORTODONTI FKG USU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: SURYA WIJAYA

NIM: 080600041

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2012

Surya Wijaya

Hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

xi + 49 halaman.

Banyak literatur dalam ilmu ortodonti membahas mengenai morfologi wajah yang abnormal. Pada tipe wajah vertikal yang ekstrem dijumpai adanya pertumbuhan vertikal yang berlebih pada dentoalveolar regio posterior dan individu yang berwajah panjang cenderung memiliki dimensi tranversal lengkung gigi yang sempit dan individu berwajah pendek memiliki dimensi tranversal lengkung gigi yang lebar. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini menggunakan 30 sefalogram lateral dan model studi gigi yang diperoleh dari pasien Klas I skeletal di klinik PPDGS ortodonti FKG USU yang telah diseleksi terlebih dahulu.

(3)

korelasi yang signifikan terhadap lebar lengkung gigi. Pada analisis hubungan antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi juga tidak memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Mei 2012

Pembimbing : Tanda Tangan

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 22 Mei 2012

TIM PENGUJI

KETUA : Erliera, drg., Sp.Ort

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2.Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K)., selaku Ketua Departemen Ortodonsia dan penguji skripsi atas waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

3. Erliera, drg., Sp.Ort., sebagai pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort., selaku dosen penguji skripsi yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.

5.Seluruh staf pengajar FKG USU terutama staf dan pegawai di departemen Ortodonsia FKG USU atas bantuan yang diberikan kepada penulis.

(7)

7. Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Sendianto dan Ibunda yang tercinta Yenny Fransiska yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa kepada penulis serta bantuan baik berupa moral ataupun materi yang tidak akan terbalas oleh penulis sampai kapan pun.

8.Selanjutnya, penulis menyampaikan terima kasih kepada Fensuny, Jesica, Monika, Steffi, Merry, Dewi, dan teman-teman seangkatan stambuk 2008 yang telah membantu.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan bimbingan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ortodonti.

Medan, 24 April 2012 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... v

2.4.1 Tinggi Wajah pada Jaringan Lunak dengan Sefalometri 13 2.4.2 Tinggi Wajah pada Jaringan Keras (Kraniofasial) ... 14

(9)

2.7.1 Lebar Lengkung Gigi ... 20

2.8 Hubungan Morfologi Vertikal Wajah terhadap Tinggi Dentoalveolar dan Lebar Lengkung Gigi ... 21

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi Penelitian ... 23

3.4 Sampel Penelitian ... 23

3.4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24

3.5 Variabel Penelitian ... 25

3.6 Definisi Operasional Penelitian ... 25

3.7 Alat dan Bahan Penelitian ... 27

3.8 Cara Penelitian ... 28

3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 32

BAB 5 PEMBAHASAN ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 44

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Proporsi wajah secara fotografi ... 6

2. Simetri wajah ... 6

3. Bentuk wajah ... 7

4. Konveksitas wajah ... 7

5. Profil wajah ... 8

6. Sefalogram frontal dan lateral ... 9

7. Titik-titik jaringan keras ... 11

8. Titik-titik jaringan lunak ... 12

9. Proporsi wajah pada sefalometri lateral ... 13

10. Tinggi wajah menurut Jarabak ... 14

11.Sudut MP-FH dan Y-axis menurut Down ... 16

12.Sudut MP-SN menurut Steiner ... 17

13.Pengukuran dentoalveolar ... 19

14.Pengukuran lebar intermolar ... 21

15.Alat yang digunakan ... 28

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Mahasiswa Suku Batak

Universitas Sumatera Utara ... 21 2. Nilai Rerata Sudut MP-SN dan Tinggi Wajah Anterior Bawah pada

Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 32 3. Nilai Rerata Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien Di Klinik

PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 32 4. Nilai Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Pasien Di Klinik PPDGS

Ortodonti FKG-USU ... 33 5. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Tinggi Dentoalveolar Regio

Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU ... 34 6. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Tinggi

Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti

FKG-USU ... 35 7. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Lebar Lengkung Gigi pada

Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ... 36 8. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Lebar

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kerangka teori 2. Kerangka konsep

3. Hasil pengukuran sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah, tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU

4. Hasil perhitungan statistik sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah, tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak literatur dalam ilmu ortodonti membahas mengenai morfologi wajah yang abnormal.1-5 Ditemukan variasi yang begitu besar pada beberapa populasi dan telah banyak studi yang membahas mengenai variasi morfologi wajah manusia. Beberapa peneliti menemukan metode dalam mengidentifikasi berbagai tipe wajah menjadi beberapa klasifikasi. Klasifikasi tipe wajah memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosa dan merencanakan perawatan pada struktur kraniofasial dan diskrepansi rahang.6

Morfologi vertikal wajah berhubungan dengan bidang mandibula (MP). Schudy (1964) menggunakan basis kranii anterior (SN) sebagai garis referensi dalam menentukan kemiringan bidang mandibula (MP).7,8 Subjek yang memiliki sudut MP-SN tinggi cenderung berwajah panjang, dan sebaliknya subjek dengan sudut MP-MP-SN rendah sering memiliki wajah yang lebih pendek.9 Tsunori dkk. (1998), melaporkan bahwa tipe wajah (wajah pendek, normal atau panjang) memberikan karakteristik morfologis yang berbeda-beda. Hal ini menjadi faktor penting dalam merencanakan perawatan ortodonti, karena tipe wajah selain dapat mempengaruhi pertumbuhan sistem maksilofasial juga dapat mempengaruhi pemilihan sistem penjangkaran yang akan digunakan pada perawatan ortodonti.10

(14)

abnormal yang berlebihan pada dentoalveolar regio posterior ini merupakan salah satu karakteristik long-face syndrome.13-16 Sebaliknya, dijumpai defisiensi pertumbuhan dentoalveolar pada subjek short-face syndrome.11 Namun, menurut Martina dkk. (2005), menyatakan bahwa tidak ditemukan pengaruh pertumbuhan vertikal abnormal dengan tinggi dentoalveolar regio molar sehingga temuannya tidak mendukung pernyataan di atas.18 Betzenberger dkk. (1999), juga berpendapat sama, bahwa terjadi pengurangan tinggi dentoalveolar regio posterior pada maksila dan mandibula dengan subjek yang memiliki sudut MP-SN besar pada periode gigi permanen.17

Besarnya pertumbuhan vertikal kompleks dentokraniofasial dikendalikan oleh faktor genetik dan lingkungan.19,20 Dentoalveolar dianggap lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan faktor keturunan atau genetik.21 Pendapat ini didukung oleh temuan Enlow dkk. (1971), yang menyatakan bahwa selama pertumbuhan, gigi geligi erupsi dengan beradaptasi terhadap pertumbuhan lengkung rahang atas dan rahang bawah.22 Modifikasi pertumbuhan dari tinggi dentolaveolar dapat dilakukan melalui perawatan ortodonti.18

Morfologi vertikal wajah sering dihubungkan dengan lebar lengkung gigi. Menurut Enlow dan Hans (1996), Wagner dan Chung (2005), individu yang berwajah panjang cenderung memiliki dimensi tranversal yang lebih sempit dan individu berwajah pendek memiliki dimensi tranversal yang lebih lebar.9,23

(15)

memiliki gigi lebih besar, lengkung yang sempit dan pendek daripada individu dengan bidang mandibula datar.24 Isaacson dkk. (1971),juga melaporkan bahwa pada subjek dengan wajah panjang cenderung memiliki penurunan lebar intermolar pada maksila.11

Nasby dkk. (1972), mencatat bahwa rerata panjang lengkung maksila dan mandibula serta lebar intermolar mandibula lebih besar pada subjek dengan sudut MP-SN yang kecil bila dibandingkan dengan subjek sudut MP-SN yang besar.25 Forster dkk. (2008), mengungkapkan bahwa peningkatan sudut MP-SN cenderung diikuti dengan penurunan lebar lengkung gigi, walaupun korelasi yang ditemukan tidak terlalu kuat.26

Dimensi vertikal merupakan dimensi yang penting dianalisis secara klinis di bidang ortodonti. Diskrepansi vertikal dapat digambarkan sebagai gigitan terbuka dan gigitan dalam.27 Mengetahui normal atau tidaknya suatu maloklusi dalam arah vertikal dan anteroposterior akan membantu dalam penegakan diagnosa yang lebih akurat dan akan menghasilkan rencana perawatan yang lebih spesifik dan hasil optimal.28

(16)

di antara keduanya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan apakah ada hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Membantu dalam penentuan rencana perawatan ortodonti dan prognosa perawatan. 2. Hasilnya dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kasus maloklusi yang disertai diskrepansi vertikal cenderung sulit dalam perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi vertikal dapat bermanifestasi pada regio anterior yang mempengaruhi overbite, wajah yang pendek cenderung memiliki gigitan yang dalam sedangkan wajah yang panjang cenderung memiliki gigitan terbuka pada regio anterior.14,29,30

Dimensi vertikal wajah dapat diukur melalui analisis fotografi atau sefalometri baik dalam arah frontal maupun lateral. Karakteristik pertumbuhan vertikal wajah yang abnormal cenderung diikuti dengan diskrepansi dalam arah transversal.9,23 Diskrepansi dalam arah transversal dapat ditinjau dari analisis model pada rahang atas dan bawah, salah satunya melalui pengukuran lebar lengkung gigi.31

2.1 Analisis Fotografi

Metode fotografi sering digunakan dalam bidang ilmu ortodonti untuk mengevaluasi konfigurasi fasial baik dalam arah frontal maupun arah lateral. Analisis fotografi sering digunakan untuk menganalisis proporsi wajah, simetri wajah, bentuk wajah, dan konveksitas jaringan lunak wajah.31,32

(18)

Gambar 1. (A) Proporsi wajah secara frontal, (B) Proporsi wajah secara lateral.32

Simetri wajah dapat dianalisis dari arah frontal dengan cara, wajah dibagi menjadi dua bagian dengan menggunakan garis simetri wajah yang melalui titik glabella, puncak hidung, titik tengah bibir atas dan dagu (Gambar 2).31,32,33

(19)

Bentuk wajah dalam arah frontal dapat dievaluasi berdasarkan indeks morfologi wajah. Bentuk morfologi wajah mempunyai hubungan terhadap lengkung gigi geligi. Titik yang menjadi pedoman adalah nasion, zygoma, dan gnathion (Gambar 3).31

Gambar 3. Pengukuran bentuk wajah.31

Analisis konveksitas wajah secara lateral pada analisis fotografi menggunakan dua garis penuntun, yaitu garis yang menghubungkan antara dahi dan batas terluar bibir atas kemudian garis yang menghubungkan batas terluar dari bibir atas dengan titik pogonion jaringan lunak (Gambar 4).16,27,31

(20)

Profil wajah dibagi menjadi tiga berdasarkan hubungan antara kedua garis penuntun tersebut, yaitu profil lurus (kedua garis cenderung membentuk garis lurus), profil konveks (kedua garis membentuk sudut yang cembung, yaitu posisi dagu cenderung ke posterior wajah yang disebut divergen posterior) dan profil konkaf (kedua garis membentuk sudut yang cekung, yaitu posisi dagu cenderung ke anterior wajah yang disebut divergen anterior), ketiga profil tersebut dapat dilihat pada gambar 5.16,27,31,33

Gambar 5. Profil wajah.31

2.2 Radiografi Sefalometri

(21)

1. Sefalometri frontal yaitu gambaran frontal atau antero-posterior tengkorak kepala (Gambar 6 A).

2. Sefalometri lateral yaitu gambaran lateral tengkorak kepala (Gambar 6 B).

Gambar 6. (A) Sefalogram frontal, (B) Sefalogram lateral.33

Sefalometri mempunyai beberapa kegunaan yakni : 1. Mempelajari pertumbuhan struktur kraniofasial.

2. Menegakkan diagnosa atau analisis kelainan kraniofasial. 3. Mempelajari berbagai tipe wajah.

4. Merencanakan perawatan ortodonti.

5. Mengevaluasi kasus-kasus yang telah dirawat (progress reports). 6. Menganalisis secara fungsional.

7. Kepentingan riset.27

2.3 Analisis Sefalometri

(22)

a. Sella (S) : titik ditengah-tengah fossa pituitary (sella turcica). b. Nasion (N/Na) : titik perpotongan sutura frontonasalis.

c. Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita.

d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion.

e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion. f. Pogonion (Pog) : titik paling depan pada tulang dagu.

g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton.

h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior pada tulang dagu.

i. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah basis kranium dan permukaan posterior kondilus mandibula.

j. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh bidang mandibula dan ramus mandibula.

k. Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus.

l. Pterygomaxilary Fissure (PTM) : bayangan radiolusen yang menyerupai tetes air mata, bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan poterior tuber maksilaris.

(23)

Gambar 7. Titik-titik dalam analisis jaringan keras.36

Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan lunak (Gambar 8) : 27,31,33,34,36,38

a. Glabella (G) : titik paling anterior dahi pada dataran midsagital.

b. Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. c. Pronasale (P) : titik paling anterior dari hidung.

d. Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. e. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus bibir atas.

(24)

k. Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. l. Menton kulit (Me’) : titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

Dengan menggunakan titik-titik diatas, berbagai analisis terhadap jaringan keras dan jaringan lunak wajah dapat dilakukan.27,31,33,34,36,38

Gambar 8. Titik-titik dalam analisis jaringan lunak.33

2.4 Pertumbuhan Wajah dalam Arah Vertikal

Basis kranii anterior (SN) sering digunakan sebagai garis acuan untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MP–SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah yang panjang. Hal ini disebabkan selama perkembangan rahang bawah berputar menjauhi rahang atas sehingga menyebabkan penambahan panjang vertikal wajah. Sebaliknya, individu dengan sudut MP–SN yang lebih kecil cenderung mempunyai wajah yang lebih pendek karena rahang bawah rotasi mendekati rahang atas.11

(25)

panjang, sedangkan individu dengan sudut gonion yang lebih kecil cenderung memiliki wajah yang pendek. Keadaan ini tercermin pada hubungan oklusal. Wajah yang pendek cenderung memiliki overbite yang dalam sedangkan wajah yang panjang cenderung memiliki gigitan terbuka anterior.3,5,11,14,16,29

2.4.1 Tinggi Wajah pada Jaringan Lunak dengan Sefalometri

Dimensi vertikal wajah juga dapat diukur berdasarkan penilaian proporsi wajah pada jaringan lunak dengan foto sefalometri. Penilaian proporsi wajah dikelompokkan menjadi tinggi wajah anterior bagian atas dan tinggi wajah anterior bagian bawah (Gambar 9). Tinggi wajah anterior atas dapat diukur dari titik glabella ke subnasal dan tinggi wajah anterior bawah diukur dari titik subnasal ke menton kulit. Proporsi tinggi wajah ideal apabila wajah atas dan wajah bawah memiliki tinggi yang sama besar (Proporsi ideal 1:1). Pada wajah bawah, proporsi bibir yang ideal adalah bibir atas tingginya sepertiga dari tinggi wajah bawah dan untuk bibir bawah tingginya dua pertiga dari wajah bawah.33,38

(26)

2.4.2 Tinggi Wajah pada Jaringan Keras (Kraniofasial)

Dimensi vertikal pada jaringan keras dapat diukur dari sefalometri lateral.

Terdapat beberapa pengukuran dimensi vertikal terhadap jaringan keras. Menurut

Jarabak, pengukuran linier pada tinggi wajah dibagi menjadi dua, yaitu tinggi wajah

anterior dan tinggi wajah posterior. Tinggi wajah anterior (AFH) adalah jarak dari

nasion (N) ke menton (Me), sedangkan tinggi wajah posterior (PFH) diperoleh dari pengukuran titik sella (S) ke gonion (Go) (Gambar 10). Pengukuran ini harus

dilakukan pada gigi dalam keadaan oklusi habitual.27,31,33,38

Gambar 10. Pengukuran tinggi wajah menurut Jarabak.37

Tinggi wajah anterior dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni tinggi wajah

anterior atas (UAFH) dan tinggi wajah anterior bawah (LAFH). Tinggi wajah

anterior atas diperoleh dari jarak nasion ke spina nasalis anterior dan tinggi wajah

(27)

Menurut analisis Tweed dan Merrifield, tinggi wajah posterior (PFH) adalah

pengukuran tinggi ramus mandibula, yaitu jarak dari articulare ke bidang mandibula.

Nilai vertikal ini penting dalam analisis kranial. Nilai ini mempengaruhi bentuk

wajah baik secara vertikal atau horizontal. Peningkatan tinggi wajah posterior

menyebabkan pertumbuhan mandibula berotasi ke arah yang berlawanan dengan

jarum jam dan juga mempengaruhi penutupan mandibula. Selanjutnya besar tinggi

wajah anterior (AFH) adalah pengukuran yang dilakukan dari bidang palatal ke

menton. Peningkatan tinggi wajah posterior dapat dikontrol dengan modifikasi

pertumbuhan dentoalveolar regio molar yakni dengan mengekstrusi atau mengintrusi

gigi maksila atau mandibula.27,33

2.5 Morfologi Vertikal Wajah

Ada beberapa pengukuran morfologi vertikal pada skeletal wajah, seperti

sudut Y-axis, bidang mandibula ke dataran frankfurt (MP-FH), bidang mandibula ke

sella tursika (MP-SN), rasio tinggi wajah anterior dan tinggi wajah posterior

(S:Go/N:Me), serta NSGn.31,36,38

2.5.1 Analisis Down

a. Sudut Bidang Mandibula

Menurut Down, bidang mandibula adalah garis yang menghubungkan titik

gonion dan menton, serta menyinggung bagian paling bawah dari simfisis mandibula.

Sudut MP-FH diperoleh dari perpotongan bidang mandibula (MP) dan dataran

frankfurt (FH) (Gambar 11). Jika sudut MP-FH meningkat, pola pertumbuhan wajah

(28)

ditemukan baik pada wajah retrusif dan protrusif, pertumbuhan vertikal dapat

mempersulit perawatan dan memiliki prognosis yang buruk. Rentangan nilai ideal

dari sudut ini berkisar antara 17o sampai 28o dengan nilai rata-rata 21,9o.27,33

b. Sumbu Y-axis

Y-axis diperoleh dari sudut yang terbentuk oleh perpotongan garis antara sella

tursika ke gnathion dengan bidang frankfurt (FH) (Gambar 11). Pada kasus skeletal Klas II biasanya diperoleh sudut yang lebih besar daripada skeletal klas III. Y-axis

menggambarkan posisi dagu terhadap skeletal wajah. Nilai rata-rata dari Y-axis adalah 59o dengan kisaran 53o-66o.27,33

Gambar 11. Sudut MP-FH dan Y-axis menurut Down.33

Sudut Y-axis yang kecil dapat diinterpretasikan memiliki pola pertumbuhan

(29)

Sebaliknya, peningkatan sudut Y-axis menunjukkan kelebihan pertumbuhan dalam arah vertikal pada mandibula.27,33

2.5.2 Analisis Steiner

Menurut Steiner, bidang mandibula adalah garis yang ditarik dari titik gonion

dan gnathion. MP-SN adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan bidang

mandibula ke basis kranii anterior (SN) (Gambar 12). Nilai rata-rata dari sudut ini

adalah 32o. Sudut MP-SN yang kecil mengindikasikan pola pertumbuhan wajah yang

lebih cenderung ke arah horizontal sedangkan sudut MP-SN yang besar menunjukkan

pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Sudut MP-SN yang berlebih atau kurang

menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak menguntungkan dalam menentukan

rencana perawatan dan dapat mempengaruhi hasil akhir perawatan.27,33

(30)

2.5.3 Analisis Jarabak

Pengukuran sudut NSGn ditemukan oleh Jarabak, yaitu sudut yang dibentuk

oleh basis kranii anterior (SN) dengan garis yang ditarik dari sella tursika ke gnation.

Sudut ini disebut juga dengan Y-axis. Rasio PFH/AFH (S:Go/N:Me) diperkenalkan oleh Jarabak pada tahun 1972 yang dikenal sebagai rasio Jarabak. Rasio ini

digunakan sebagai penentu arah pertumbuhan wajah pasien. Nilai rata-rata dari rasio

ini adalah 62-65%. Jika rasio yang diperoleh lebih kecil dari 62% mengindikasikan

pola pertumbuhan cenderung ke arah vertikal dan memiliki nilai tinggi wajah

posterior yang kecil. Sebaliknya, jika rasio lebih besar dari 65% maka

mengindikasikan pola pertumbuhan lebih ke arah horizontal dan memiliki nilai tinggi

wajah posterior yang besar. Arah pertumbuhan kraniofasial ini sangat berperan

penting dalam merencanakan perawatan ortodonti terutama penggunaan piranti

fungsional.37,38

Rasio Jarabak = PFH

AFH x 100

2.6 Pengukuran Dentoalveolar

(31)

Gambar 13. Pengukuran linier dentoalveolar dengan sefalometri. (A) Dataran palatal (PNS-ANS) atau palatal plane (PP); (B) Bidang mandibula (Go-Me) atau mandibular plane (MP) ; (C) Tinggi vertikal molar pertama maksila (U6-PP); (D) Tinggi vertikal molar pertama mandibula (L6-MP).39

2.7 Dimensi Lengkung Gigi

(32)

2.7.1 Lebar Lengkung Gigi

Titik referensi untuk mengukur lebar lengkung gigi sangat bervariasi. Raberin menggunakan puncak tonjol kaninus, tonjol mesio-bukal molar pertama permanen dan tonjol disto-bukal molar kedua permanen sebagai titik referensi.43 Rakosi membagi lebar lengkung gigi menjadi dua bagian yaitu lebar anterior dan posterior. Lebar lengkung anterior adalah jarak yang diukur dari titik kontak premolar pertama dan kedua kiri dan kanan. Sementara, lebar lengkung posterior adalah jarak yang diukur dari tonjol distobukal molar pertama kiri dan kanan.31 Mills berpendapat lebar lengkung gigi terdiri dari lebar intermolar permanen pertama dan lebar intermolar permanen kedua.44 Sementara Poosti dan Jalali berpendapat bahwa lebar lengkung gigi dibagi menjadi lebar interkaninus dan lebar intermolar.45

Pengukuran lebar interkaninus dilakukan pada sisi bukal dan palatal. Pada sisi bukal, lebar interkaninus diukur pada pertengahan gigi kaninus setentang dengan 5 mm servikal gigi tersebut pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada sisi lingual, lebar interkaninus diukur pada pertengahan servikal gigi kaninus pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Kedua prosedur tersebut sama untuk mengukur lebar intermolar.45 Titik referensi pengukuran lebar lengkung gigi dapat dilihat pada gambar 14.

(33)

Gambar 14. Titik referensi pengukuran lebar intermolar pada sisi bukal dan lingual.45

Tabel 1. Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Mahasiswa Suku Batak Universitas Sumatera Utara12

2.8 Hubungan Morfologi Vertikal Wajah Terhadap Tinggi Dentoalveolar

dan Lebar Lengkung Gigi

Pasien dengan open bite skeletal biasanya memiliki maloklusi gigitan terbuka pada regio anterior yang dikarakteristikkan dengan erupsi gigi posterior yang

berlebih, rotasi maksila dan mandibula ke arah bawah, serta erupsi gigi anterior yang

(34)

face snydrome. Hal ini juga berlaku sebaliknya pada individu berwajah pendek yang memiliki deep bite skeletal serta memiliki pertumbuhan dengan arah yang

berlawanan. Pasien dengan kasus deep bite atau open bite anterior sering diikuti dengan gigi posterior yang infra atau supra-erupsi. Etiologi short face dan long face syndrome salah satunya mungkin saja dapat disebabkan dengan perbedaan kekuatan

otot kunyah dan kekuatan gigitan.16.47

Jika sudut antara bidang mandibula dan palatal plane kecil cenderung dapat

terjadi deep bite skeletal. Begitu juga sebaliknya dengan sudut mandibular plane dan palatal plane yang besar dapat menyebabkan kecenderungan open bite skeletal. Bila sudut bidang mandibula curam atau datar, koreksi deep bite atau open bite akan

membutuhkan modifikasi pertumbuhan dalam arah vertikal terutama pada posisi gigi

posterior sehingga mandibula dapat kembali ke posisi inklinasi yang lebih normal.

Analisis sefalometri dalam arah vertikal dibutuhkan dalam diagnosis suatu kasus

sehingga hubungan skeletal dan dental yang harmonis dapat tercapai.16,47

(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat : Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU Waktu : November - Mei 2012

3.3 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU dengan usia minimal 18 tahun.

3.4 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah sefalogram lateral dan model studi gigi (sebelum perawatan) yang diperoleh dari data rekam medik pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode

purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel ditentukan

(36)

keterangan :

n = jumlah minimum sampel

Zα = Standar error tipe 1; α = 5% →Zα = 1,96

Zβ = Standar error tipe 2; untuk β = 15% →Zβ = 1,036

r = Koefisien korelasi = 0,58 (penelitian terdahulu) Sehingga jumlah sampel minimum adalah :

� = � 1,96 + 1,036

0,5��[(1 + 0,58)/(1−0,58)]�

2

+ 3 = 23,453 ≈ 23

Jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah 23.

Jumlah sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah 30 sampel, dan pemilihan sampel disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi kelompok sampel :

• Sefalogram dan model studi gigi pasien sebelum perawatan ortodonti.

• Klas I skeletal (diketahui dari kartu status pasien). • Seluruh gigi permanen lengkap sampai molar kedua.

• Usia minimal 18 tahun (fase pertumbuhan mulai berhenti).

• Kualitas sefalogram lateral dan model studi gigi yang baik.

• Tidak ada gigitan terbalik (crossbite) posterior yang unilateral atau bilateral.

• Tidak ada kelainan ukuran gigi (makrodonsia dan mikrodonsia), bentuk serta

jumlah gigi.

(37)

• Tidak ada riwayat penyakit periodontal.

• Tidak ada karies atau tambalan pada bagian proksimal gigi.

• Tidak ada Crowded atau diastema parah yang lebih dari 9 mm. • Tidak ada asimetris mandibula.

• Tidak ada riwayat trauma kepala.

Kriteria eksklusi kelompok sampel : • Data rekam medik yang tidak lengkap.

• Kualitas sefalogram lateral dan model studi gigi yang tidak baik.

3.5 Variabel Penelitian

• Variabel bebas

- Morfologi vertikal wajah (Sudut MP-SN dan tinggi wajah anterior bawah). • Variabel tergantung

- Tinggi dentoalveolar regio molar. - Lebar lengkung gigi :

o Lebar interkaninus pada sisi bukal dan palatal/lingual. o Lebar intermolar pada sisi bukal dan palatal/lingual.

3.6 Defenisi Operasional Penelitian

a. Klas I skeletal : sampel yang memiliki besar sudut ANB 2-4º (dilihat dari kartu status pasien).

(38)

c. Sella (S) adalah titik ditengah-tengah fossa pituitary. d. Nasion (N) adalah titik perpotongan sutura frontonasalis. e. Menton (Me) adalah titik terendah dari simfisis mandibula. f. Mandibular Plane (MP) adalah kecuraman dataran mandibula. h. SN adalah basis kranii anterior.

i. MP-SN adalah kecuraman mandibula terhadap basis kranii anterior (Gambar 12).

j. Tinggi wajah anterior bawah adalah jarak dari titik ANS ke menton. k. Titik ANS adalah ujung spina nasalis anterior.

l. Titik PNS adalah ujung spina nasalis posterior.

m. Palatal plane (PP) adalah garis yang ditarik dari ANS ke PNS. n. Titik U6 : cusp mesial gigi molar pertama maksila.

o. Titik L6 : cusp mesial gigi molar pertama mandibula.

p. Tinggi dentoalveolar regio molar maksila (U6-PP) adalah jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama maksila ke dataran palatal. Tinggi dentoalveolar regio molar mandibula (L6-MP) yaitu jarak perpendikular dari cusp mesial gigi molar pertama mandibula ke dataran mandibula (Gambar 13).

q. Lebar interkaninus pada sisi bukal adalah jarak yang diukur 5 mm apikal dari pertengahan mesio-distal margin gingiva gigi kaninus di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada sisi palatal/lingual, diukur dari titik tengah servikal gigi kaninus pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan.

(39)

sisi palatal/lingual, diukur dari garis groove palatal/lingual gigi molar di satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan.

s. Pasien klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU yang dijadikan subjek penelitian adalah pasien dari dokter gigi yang mengikuti pendidikan spesialisasi ortodonti di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

3.7 Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah (Gambar 15) : a. Tracing box

b. Pensil 4H

c. Busur dan penggaris d. Pulpen

e. Kalkulator f. Penghapus

g. Kaliper merk Trickle Brand dengan ketepatan 0,05 mm untuk pengukuran lebar interkaninus dan lebar intermolar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian (Gambar 16) : a. Sefalogram lateral (8x10 inci)

b. Kertas asetat (8x10 inci; tebal 0,003) c. Lem perekat

(40)

(b) (c)

Gambar 15. Alat yang digunakan. (a) Tracing box, (b) Pensil, pulpen, busur, penghapus, penggaris, dan kalkulator, (c) Kaliper merk Trickle Brand.

Gambar 16. Bahan yang digunakan. (a) Sefalogram, (b) Kertas asetat, (c) Model studi gigi.

3.8 Cara Penelitian

Adapun prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang dilakukan, yaitu : a. Pengumpulan data

(41)

b. Pengukuran data • Sefalogram

Sefalogram di-tracing dengan kertas asetat dan pensil 4H di atas pencahayaan tracing box. Penentuan titik-titik referensi pada sefalogram lateral, antara lain nasion (N), sella (S), menton (Me), spina nasalis anterior (ANS), spina nasalis posterior (PNS), cusp mesiobukal molar pertama maksila dan mandibula (U6 & L6).

Titik S dan N dihubungkan, kemudian Garis S-N diproyeksikan tegak lurus sehingga garis S-N berpotongan dengan garis MP dan membentuk sudut. Ukur sudut tersebut dengan menggunakan busur sehingga diperoleh sudut MP-SN (Gambar 12). Tinggi wajah anterior bawah diperoleh dengan menghubungkan titik ANS ke menton kemudian diukur menggunakan penggaris (Gambar 10).

(42)

• Model studi gigi

Pengumpulan data untuk model studi gigi dilakukan dengan beberapa

pengukuran yaitu lebar interkaninus dan lebar intermolar. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper merk Trickle Brand dengan ketepatan 0,05 mm. Metode pengukuran yang dipakai dalam penelitian ini didasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Poosti M dan Jalali T. Jalali pada tahun 2007.45

c. Dalam satu hari, tracing sefalogram dan pengukuran model studi gigi hanya dilakukan pada 5 sampel yaitu 5 sefalogram dan 5 pasang model studi gigi (10 rahang) untuk menghindari kelelahan mata peneliti sewaktu pengambilan data baik yang terdapat pada kertas tracing maupun model studi gigi sehingga data yang didapatkan lebih akurat.

d. Setelah pengambilan data selesai dilakukan, diambil 5 sampel yang mencakup sefalogram lateral dan model studi gigi secara acak untuk diukur ulang dan dibandingkan hasilnya dengan pengukuran pertama. Ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan pengukuran yang telah dilakukan oleh operator. Pada uji intraoperator ini diperoleh hasil bahwa nilai pengukuran pertama dan kedua tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Oleh karena itu, pengukuran hanya dilakukan sebanyak satu kali, baik pada sefalogram lateral maupun model rahang atas dan rahang bawah.

(43)

3.9 Pengolahan Data dan Analisis Data

Hasil yang diperoleh diolah secara statistik dengan program SPSS 17.0 (software pengolahan data statistik). Analisis Pearson digunakan jika distribusi kedua kelompok data subjek penelitian normal. Sebaliknya, jika distribusi data tidak normal pada salah satu kelompok data atau kedua kelompok data, kita gunakan analisis Spearman.

Adapun analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :

a) Dihitung rerata dan standard deviasi sudut MP-SN dan tinggi dentoalveolar regio molar.

b) Dihitung rerata dan standard deviasi lebar lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah seluruh sampel yaitu, lebar interkaninus dan lebar intermolar.

c) Analisis Pearson dilakukan terhadap hubungan morfologi vertikal wajah dengan tinggi dentoalveolar regio molar jika distribusi kedua kelompok data subjek penelitian normal. Sebaliknya, jika distribusi data tidak normal pada salah satu kelompok data atau kedua kelompok data, kita gunakan analisis Spearman.

(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 30 sampel sefalogram lateral dan model studi gigi pasien dengan usia minimal 18 tahun di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Pada penelitian ini digunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik pasien PPDGS berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap sampel, dapat dilihat gambaran rerata sudut MP-SN, tinggi wajah anterior bawah (LAFH), tinggi dentoalveolar regio molar maksila dan mandibula serta lebar lengkung gigi pada pasien klas I skeletal di klinik PPDGS ortodonti FKG USU (Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 2. Nilai Rerata Sudut MP-SN dan Tinggi Wajah Anterior Bawah pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Tinggi Vertikal Wajah N Rata-rata Simpangan Baku

Sudut MP-SN 30 33,25 o 6,905 o

LAFH 30 72,59 mm 7,493 mm

Tabel 2 menunjukkan nilai rerata sudut MP-SN dan tinggi wajah anterior bawah pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG-USU. Nilai rerata sudut MP-SN adalah 33,250 dan LAFH adalah 72,59 mm.

Tabel 3. Nilai Rerata Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar N Rata-rata Simpangan Baku

Maksila 30 28,283 mm 5,996 mm

(45)

Tabel 3 menunjukkan nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila dan mandibula pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG-USU. Nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila adalah 28,2830 dan mandibula adalah 33,567.

Tabel 4. Nilai Rerata Lebar Lengkung Gigi pada Pasien Di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU

Tabel 4 menunjukkan bahwa lebar lengkung gigi yang paling besar adalah lebar lengkung intermolar bagian bukal sebesar 71,20 mm pada maksila dan 64,70 mm pada mandibula, kemudian lebar lengkung gigi yang paling kecil adalah lebar interkaninus palatal sebesar 21,50 mm pada maksila dan lebar interkaninus lingual sebesar 16,70 mm pada mandibula.

(46)

anterior bawah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi dapat diperoleh dengan menggunakan uji korelasi Pearson’s. (Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7 dan Tabel 8).

Tabel 5. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU (Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar Sudut MP-SN

p r (Pearson’s)

Maksila 0,286 0,201

Mandibula 0,869 -0,31

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

(47)

Tabel 6. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Tinggi Dentoalveolar Regio Molar pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG-USU (Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Dentoalveolar Regio Molar Tinggi Wajah Anterior Bawah

p r (Pearson’s)

Maksila 0,041 0,376

Mandibula 0,000 0,637

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

(48)

Tabel 7. Hubungan antara Sudut MP-SN dengan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ( Uji Korelasi Pearson’s)

Sudut MP-SN

Lebar Lengkung Gigi p r (Pearson’s)

Lebar Lengkung Gigi RA

Interkaninus bukal 0,328 -0,185

Interkaninus palatal 0,544 -0,115

Intermolar bukal 0,996 0,001

Intermolar palatal 0,775 -0,055

Lebar Lengkung Gigi RB

Interkaninus bukal 0,381 0,166

Interkaninus lingual 0,283 -0,203

Intermolar bukal 0,179 -0,252

Intermolar lingual 0,892 0,026

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

Pada tabel 7, hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan lebar

lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasinya lemah dengan signifikansi

(p) sebesar 0,179 dimana p ≥ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.

(49)

Tabel 8. Hubungan antara Tinggi Wajah Anterior Bawah dengan Lebar Lengkung Gigi pada Pasien di Klinik PPDGS Ortodonti FKG USU ( Uji Korelasi Pearson’s)

Tinggi Wajah Anterior Bawah

Lebar Lengkung Gigi p r (Pearson’s)

Lebar Lengkung Gigi RA

Interkaninus bukal 0,385 0,164

Interkaninus palatal 0,686 0,077

Intermolar bukal 0,055 0,354

Intermolar palatal 0,460 0,140

Lebar Lengkung Gigi RB

Interkaninus bukal 0,169 0,258

Interkaninus lingual 0,783 -0,052

Intermolar bukal 0,736 -0,064

Intermolar lingual 0,946 0,013

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.05 ( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah

( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Tanda negatif menyatakan arah korelasi variabel.

(50)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi. Sampel penelitian ini adalah pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU. Subjek dalam penelitian ini memiliki kriteria yaitu skeletal Klas I tanpa crossbite posterior unilateral ataupun bilateral. Dalam penelitian ini umur yang digunakan yaitu minimal 18 tahun karena pada umur tersebut merupakan usia maturasi dimana pada usia ini telah melewati masa pubertas dan fase tumbuh kembangnya telah stabil.

Tabel 5 menunjukkan hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila sebesar 0,201 dengan signifikansi (p) sebesar 0,286 dan mandibula sebesar -0,31 dengan signifikansi (p) sebesar 0,869. Pada nilai r ≤ 0,21 dan p ≥ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak diperoleh adanya kekuatan korelasi dan signifikansi sehingga korelasi dan signifikansi dinyatakan tidak bermakna. Hasil ini didukung oleh Martina dkk. (2005), yang menyatakan bahwa tinggi dentoalveolar regio molar tidak dipengaruhi oleh kemiringan bidang mandibula (sudut MP-SN).18

(51)

penelitian ini dengan Yousif (2010) dapat dijelaskan karena adanya perbedaan ras, besar sampel, dan kriteria inklusi dan eksklusi yang dipakai dalam penelitian ini. Hal lainnya mungkin disebabkan oleh besarnya proporsi sampel perempuan yang terdapat dalam penelitian ini.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa hasil uji korelasi Pearson’s antara tinggi wajah anterior bawah dengan tinggi dentoalveolar regio molar masing-masing diperoleh sebesar 0,376 pada maksila dan sebesar 0,637 untuk mandibula. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar maksila adalah lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,041 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna. Sedangkan kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar mandibula adalah cukup kuat dengan signifikansi (p) sebesar 0,000 dimana p ≤ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Martina dkk. (2005), bahwa tinggi wajah anterior bawah memiliki pengaruh positif terhadap tinggi dentoalveolar regio molar, sehingga hasil ini turut mendukung anggapan tentang adanya hubungan positif antara dentoalveolar dengan dimensi vertikal kraniofasial.

(52)

dimensi vertikal kraniofasial.48 Disamping itu, Mestrovic dkk. (2000), juga melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tinggi alveolar dengan tinggi wajah tetapi tidak menemukan hasil yang signifikan antara tinggi alveolar dengan bidang mandibula.50

Pada tabel 7, hasil uji korelasi Pearson’s antara sudut MP-SN dengan lebar

lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasinya lemah dengan signifikansi

(p) sebesar 0,179 dimana p ≥ 0,05 sehingga korelasi dinyatakan tidak memiliki signifikansi yang bermakna.

Pada tabel 7 terlihat bahwa hasil korelasi dalam arah negatif. Tanda negatif tidak menunjukkan besarnya nilai korelasi, tetapi menunjukkan arah korelasi variabel penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar sudut MP-SN, maka lebar lengkung gigi regio intermolar bukal pada rahang bawah cenderung menjadi lebih sempit. Hasil ini sependapat dengan Nasby dkk. (1972), yang juga menemukan adanya korelasi negatif antara bidang mandibula (sudut MP-SN) dengan lebar intermolar mandibula. Pada penelitiannya ditemukan bahwa lebar intermolar mandibula lebih besar untuk subjek dengan sudut MP-SN rendah daripada subjek dengan sudut MP-SN tinggi. Hasil tersebut menunjukkan adanya penurunan lebar intermolar mandibula untuk setiap peningkatan sudut MP-SN.25

(53)

pertama, premolar kedua dan molar pertama pada laki-laki. Sedangkan pada perempuan hanya pada regio premolar kedua maksila. Pada lengkung mandibula, terlihat bahwa pada laki-laki terdapat hubungan yang signifikan antara sudut dataran mandibula dengan lebar interkaninus dan interpremolar pertama mandibula.26 Kemudian, Isaacson dkk., juga melaporkan bahwa lebar intermolar maksila lebih kecil pada individu yang memiliki wajah panjang daripada individu yang berwajah pendek.11 Adanya perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran, besar sampel, kriteria inklusi dan eksklusi sampel, analisis statistik yang dipakai maupun perbedaan populasi ras yang diteliti.

(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan morfologi vertikal wajah terhadap tinggi dentoalveolar regio molar dan lebar lengkung gigi pada pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU, dapat disimpulkan bahwa :

1. Rerata sudut MP-SN adalah 33,250. Nilai rerata tinggi wajah anterior bawah (LAFH) adalah 72,59 mm. Nilai rerata tinggi dentoalveolar regio molar maksila (U6-PP) adalah 28,28 mm dan rerata tinggi dentoalveolar regio molar mandibula adalah 33,56 mm.

2. Aspek lebar lengkung gigi rahang atas, rerata lebar interkaninus sisi bukal sebesar 37,05 mm, lebar interkaninus sisi palatal 26,27 mm, lebar intermolar sisi bukal 62,36 mm dan lebar intermolar bagian palatal 37,10 sedangkan lebar lengkung gigi rahang bawah, rerata lebar interkaninus sisi bukal 28,82 mm, lebar interkaninus sisi lingual 20,80 mm, lebar intermolar sisi bukal 56,91 mm dan lebar intermolar bagian lingual 33,27 mm.

(55)

4. Terdapat korelasi antara tinggi wajah anterior bawah (LAFH) dengan tinggi dentoalveolar regio molar maksila sebesar 0,376 dan mandibula sebesar 0,637. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada maksila adalah lemah dengan signifikansi (p) sebesar 0,041. Sedangkan kekuatan korelasi untuk tinggi dentoalveolar regio molar pada mandibula adalah cukup kuat dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Keduanya dinyatakan memiliki signifikansi yang bermakna karena nilai p ≤ 0,05.

5. Terdapat korelasi antara sudut MP-SN dengan lebar lengkung gigi pada regio intermolar bukal untuk rahang bawah diketahui sebesar -0,252. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasi lemah dengan signifikansi (p) yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,179 (p ≥ 0,05). Hubungan korelasi dalam arah negatif menunjukkan bahwa semakin besarnya sudut MP-SN, maka lebar lengkung gigi regio intermolar bukal pada rahang bawah cenderung menjadi lebih sempit.

(56)

6.2Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengelompokan subjek berdasarkan jenis kelamin dan suku.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mendapatkan validitas yang lebih tinggi.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wylie WL, Johnson EL. Rapid evaluation of facial dysplasia in the vertical plane. Angle Orthod 1952; 22 : 165-82.

2. Scheidman GB, Bell WH, Legan HL, Finn RA, Reisch JS. Cephalometric analysis of dentofacial normals. Am J Orthod 1980; 78 : 404-20.

3. Schendel SA, Eisenfeld J, Bell WH, Epker BN, Mishelevich DJ. The long face syndrome—vertical maxillary excess. Am J Orthod 1976; 70 : 398–408.

4. Fields HW, Proffit WR, Nixon WL, Phillips C, Stanek E. Facial pattern differences in long-face children and adults. Am J Orthod 1984; 85 : 217–23. 5. Opdebeeck H, Bell WH. The short face syndrome. Am J Orthod 1978; 73 : 499–

511.

6. Bishara SE, Jakobsen MA. Longitudinal changes in three normal facial types. Am J Orthod 1985; 88 : 466-502.

7. Schudy FF. Vertical growth versus anteroposterior growth as related to function and treatment. Angle Orthod 1964; 34 : 75 – 93.

8. Schudy FF. The rotation of the mandible resulting from growth : its implications in orthodontic treatment. Angle Orthod 1965; 35 : 36 – 50.

(58)

10. Tsunori M, Mashita M, Kasai K. Relationship between facial types and tooth and bone characteristics of the mandible obtained by CT scanning. Angle Orthod 1998; 68 : 557-62.

11. Isaacson JR, Speidel TM, Worms FW. Extreme variation in vertical facial growth and associated variation in skeletal and dental relations. Angle Orthod 1971; 41 : 219–29.

12. Björk A, Skieller V. Facial development and tooth eruption : An implant study at the age of puberty. Am J Orthod 1972; 62 : 339–83.

13. Bishara SE, Augspurger EF. The role of the mandibular plane inclination in orthodontic diagnosis. Angle Orthod 1975; 45 : 273–81.

14. Cangialosi TJ. Skeletal morphologic features of anterior open-bite. Am J Orthod 1984; 85 : 28–36.

15. Tsang WM, Cheung LK, Samman N. Cephalometric parameters affecting severity of anterior open-bite. J Oral Maxillofac Surg 1997; 26 : 321–6.

16. Proffit WR, Field HW. Contemporary orthodontic. 4th ed. Canada: Mosby Elsevier, 2007: 151, 180-3, 227.

17. Betzenberger DO, Ruf SA, Pancherz HA. The compensatory mechanism in high-angle malocclusion: a comparison of subjects in mixed and permanent dentition.

Angle Orthod 1999; 69 : 27–32.

(59)

19. Moss ML, Salentijn L. The primary role of functional matrices in facial growth. Am J Orthod 1969; 55 (6) : 566–77.

20. Thilander B. Basic mechanisms in craniofacial growth. Acta Odontol Scand 1995; 53 (3) : 144-51.

21. Harris EF, Johnson MG. Heritability of craniometric and occlusal variables : a longitudinal sib analysis. Am J Orthod 1991; 99 (3) : 258–68.

22. Enlow DH, Kuroda T, Lewis AB. The morphological and morphogenetic basis for craniofacial form and pattern. Angle Orthod 1971; 41 (3) : 161–88.

23. Wagner DC, Chung CH. Transverse growth of the maxilla and mandible in untreated girls with low, average, and high MP-SN angles : a longitudinal study. Am J Orthod Dentofac 2005; 128 : 716 – 23.

24. Howes A. Arch width in the premolar region — still the major problem in orthodontics. Am J Orthod Dentofac 1957; 43 : 5 – 31.

25. Nasby JA, Isaacson RJ, Worms FW, Speidel TM. Orthodontic extractions and facial skeletal pattern. Angle Orthodontist 1972; 42 : 116 – 22.

26. Forster CM, Sunga E, Chung CH. Relationship between dental arch width and vertical facial morphology in untreated adults. Eur J Orthod 2008; 30 : 288-94. 27. Bhalajhi SI. Orthodontics : The art and science. 1st ed. New Delhi: Arya

publishing house, 1998: 1-15, 145-60.

28. Kim JY, Lee SJ, Kim TW, Nahm DS, Chang Y. Classification of the Skeletal Variation in Normal Occlusion. Angle Orthod 2005; 75 (3) : 311–9.

(60)

30. Harry DR, Sandy J. Orthodontic Part 2 : Patient assessment and examination I. British Dental Journal 2003; 195 (9) : 489-92.

31. Rakosi, Jonas I, Graber TM. Orthodontics Diagnosis. New York: Thieme Medical Publisher Inc., 1993: 110-13, 173-203, 207-10, 228-30.

32. Stevens R. Facial Analysis. 1 Oct 1997.

33. Jacobson A, Jacobson RL. Radiographic Cephalometry : From Basics to 3-D Imaging. Birmingham: Quintessence Publishing Co, Inc, 2006: 49-51, 65-6, 74, 131-2, 139-40, 206-9.

34. Athanasiou AE. Orthodontic Cephalometry. London: Mosby-Wolfe, 1995: 21, 36, 50-51.

35. Susanto FA. Analisa hubungan kranio-dento-fasial kelompok etnik Proto Melayu usia 12-19 tahun di Medan pada tahun 1989 secara sefalometri radiografi.

Majalah Ortodonti Indonesia 1993; 4: 58-78.

36. Bishara SE. Textbook of Orthodontics. Toronto: WB Saunders Co, 2001: 114-7, 131-2.

37. Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2007: 511-512.

38. Rakosi T. An atlas and manual of cephalometric radiography. London: Wolfe Medical Publications Ltd, 1982: 7-8, 34-45, 65, 78-89.

(61)

40. Febrina RS, Soemantri ESS, Mardiati E. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD. Jurnal Kedokteran Gigi 1997; 9 (1) : 22-7.

41. Raberin M, Laumon B, Martin JL, Brunner F. Dimension and form of dental arches in with normal occlusions. Am J Orthod Dentofac 1993; 104 : 67-72. 42. Moyers RE. Handbook of orthodontics. 4th ed. London: Year Book Medical

Publisher, INC 1998: 119-24.

43. Phan X, Antoniazzi A, Short L. Palatal expansion in mixed dentition versus early permanent dentition. Virtual Journal of Orthodontics 2007; 7 (3) : 1-9.

44. Mills LF. Changes in dimension of the dental arches with age. J Dent Res 1966; 45(3) : 890-4.

45. Poosti M, Jalali T. Tooth size and arch dimension in uncrowded versus crowded class I malocclusion. J Contemp Dent Pract 2007; 8 (3) : 1-8.

46. Simanjuntak H. Ukuran lebar mesiodistal dan dimensi lengkung gigi pada mahasiswa suku Batak Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan; Universitas Sumatera Utara: 2009.

47. Proffit WR. Contemporary orthodontics. In: Proffit WR, White RP, eds. Late stages of development. 3rd ed. St Louis, Mo: CV Mosby, 2000 : 104–5.

(62)

49. Enoki C, Telles CS, Matsumoto MAN. Dental-skeletal dimensions in growing individuals with variations in the lower facial height. Braz Dent J 2004; 15 (1) : 68-74.

(63)
(64)
(65)

HASIL PENGUKURAN SUDUT MP-SN, TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH, TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI

PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

(66)

UJI NORMALITAS DATA

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA SUDUT MP-SN TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

MPSN U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

MPSN Pearson Correlation 1 .201 -.031 -.099 -.115 .001 -.055 .166 -.203 -.252 .026

Sig. (2-tailed) .286 .869 .603 .544 .996 .775 .381 .283 .179 .892

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

(67)

UJI KORELASI PEARSON’S ANTARA TINGGI WAJAH ANTERIOR BAWAH TERHADAP TINGGI DENTOALVEOLAR REGIO MOLAR DAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

Correlations

LAFH U6PP L6MP CBA CPA MBA MPA CBB CLB MBB MLB

LAFH Pearson Correlation 1 .376*

.637**

.248 .077 .354 .140 .258 -.052 -.064 .013

Sig. (2-tailed) .041 .000 .186 .686 .055 .460 .169 .783 .736 .946

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Gambar

Gambar
Gambar 1. (A) Proporsi wajah secara frontal, (B) Proporsi wajah secara lateral.32
Gambar 3.  Pengukuran bentuk wajah.31
gambar 5.16,27,31,33
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 2 terlihat bahwa hubungan signifikan antara dimensi vertikal tulang vertebra servikalis dengan lebar lengkung gigi hanya terdapat pada lengkung gigi

Hal ini merupakan konsep klasik dari Tweed yang menjelaskan ditemukan inklinasi lingual dari aksis processus alveolaris pada subyek dengan dataran mandibula (MP) yang tinggi,

Kesimpulan penelitian yaitu lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung pada maksila tidak signifikan sedangkan pada mandibula signifikan antara sebelum dan

panjang lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan tidak signifikan sebelum dan. setelah perawatan dengan jumlah sampel perempuan yang lebih banyak

Hasil uji statistik Lebar dan Panjang Lengkung Gigi antara Laki-laki dan Perempuan Sebelum dan Sesudah Perawatan Ortodonti. JenisKelamin N Mean

Individu dengan sudut MP- SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang

Association between facial height development and mandibular growth rotation in low and high MP-SN angle faces: A longitudinal study.. Siriwat PP,

Sampel dalam penelitian ini adalah sefalogram lateral dan model studi gigi (sebelum perawatan) yang diperoleh dari data rekam medik pasien di klinik PPDGS ortodonti FKG USU