• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Pertumbuhan Vertikal Wajah (Analisis Steiner) dengan Lebar Lengkung Rahang pada Pasien Usia Dewasa di Klinik Ortodonti FKG USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pola Pertumbuhan Vertikal Wajah (Analisis Steiner) dengan Lebar Lengkung Rahang pada Pasien Usia Dewasa di Klinik Ortodonti FKG USU"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Estetika Wajah

Keberhasilan perawatan ortodonti sering dikaitkan dengan perbaikan penampilan wajah termasuk profil jaringan lunak. Jaringan lunak merupakan faktor penting yang dapat mengubah penampilan estetika wajah. Estetika wajah adalah suatu konsep yang berhubungan dengan kecantikan atau wajah yang menarik dan telah menjadi satu hal penting di dalam kehidupan modern.15 Menurut Harkati, wajah dengan estetika yang baik adalah wajah yang mempunyai keseimbangan dan keserasian bentuk, hubungan, serta proporsi komponen wajah yang baik.16

Estetika wajah dipercaya dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian serta interaksi sosial.

17,18

Faktor – faktor estetika wajah sulit untuk dievaluasi dan pada umumnya ditentukan secara subjektif.15 Salah satu faktor penting yang menentukan estetika wajah adalah posisi dental yang baik. Posisi dental yang baik tidak hanya mendukung kesehatan mulut, tetapi juga merupakan salah satu syarat terwujudnya senyum yang menarik sehingga secara keseluruhan akan meningkatkan

self esteem dan self image seseorang di dalam kehidupannya.15,19,20 Oleh sebab itu sebagian besar masyarakat biasanya datang untuk melakukan perawatan ortodonti dengan tujuan memperbaiki estetika dental, dengan harapan juga dapat memperbaiki dan mendukung estetika wajahnya.

2.2 Maloklusi

(2)

bukal molar pertama rahang bawah. Jika gigi geligi tersusun rapi pada garis oklusi dan menunjukkan relasi molar tersebut, maka akan dihasilkan oklusi yang normal.1 Pengertian maloklusi adalah penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung gigi (rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima dimana dapat meyebabkan ketidaksesuaian estetis dan fungsional. Maloklusi dapat disebabkan adanya kelainan gigi dan malrelasi lengkung gigi (rahang).

Untuk kemudahan penyebutan maloklusi, penggunaan klasifikasi sangat membantu menggolongkan maloklusi yang sangat bervariasi dalam beberapa golongan saja.

1,2,10

9

Selanjutnya Angle menerangkan tiga Klas dari maloklusi, berdasarkan relasi molar pertama yaitu Klas I, Klas II, Klas III.1,2,9

2.2.1 Maloklusi Klas I Angle

Maloklusi Klas I Angle (Gambar 1) merupakan maloklusi yang paling sering dijumpai dengan prevalensi lebih lima puluh persen.10 Maloklusi Klas I Angle disebut juga neutro-occlusion.2 Maloklusi Klas I Angle merupakan kondisi dimana relasi molar normal (cusp mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi pada groove bukal molar pertama rahang bawah) tetapi garis oklusi tidak benar dikarenakan oleh malposisi gigi, rotasi atau penyebab lainnya.1,2,9 Pasien Klas I menunjukkan relasi skeletal yang normal (ANB 2-4o) dan fungsi otot yang normal.

Pada tahun 1915, Dewey memodifikasi maloklusi Klas I Angle dengan memisahkan malposisi pada bagian anterior dan posterior dalam 5 tipe sebagai berikut :

2

1. Tipe 1 : Klas I Angle dengan gigi anterior maksila yang berjejal. 2,21

2. Tipe 2 : Klas I Angle dengan gigi insisivus maksila yang proklinasi. 3. Tipe 3 : Klas I Angle dengan gigi insisivus maksila dalam keadaan linguoversi terhadap gigi insisivus mandibula (cross bite anterior).

4. Tipe 4 : Gigi Molar atau premolar dalam keadaan bukoversi atau linguoversi, tetapi gigi insisivus dan kaninus dalam keadaan normal (cross bite

(3)

5. Tipe 5 : Gigi molar permanen dalam keadaan mesio-versi dikarenakan kehilangan dini gigi molar dua desidui atau premolar dua.

Gambar 1. Relasi molar pada maloklusi Klas I Angle.2

2.2.2 Maloklusi Klas II Angle

Maloklusi Klas II Angle disebut juga disto-occlusion. Maloklusi Klas II Angle (Gambar 2) merupakan kondisi dimana letak molar pertama rahang bawah berada relatif lebih ke distal dari molar pertama rahang atas (distoklusi) dan garis oklusinya tidak spesifik.1,2,9 Dalam jurusan sagital relasinya menunjukkan pola skeletal Klas II (ANB >40

1. Maloklusi Klas II Divisi 1 Angle, tanda-tanda maloklusi ini berupa insisivus maksila proklinasi, jarak gigit bertambah, kurva spee positif, insisivus mandibula retroklinasi, dan relasi molar pertama permanen biasanya Klas II.

). Maloklusi Klas II Angle terbagi atas dua divisi berdasarkan angulasi labiolingual dari gigi insisivus maksila yaitu :

2,9,10

Relasi skeletal menunjukkan pola skeletal Klas II (ANB >40).10 Sudut mandibula yang besar pada kepala yang dolikosefal menunjukkan profil muka yang tidak menguntungkan dengan adanya dagu yang kurang berkembang.

2. Maloklusi Klas II Divisi 2 Angle, gambaran khas maloklusi ini adalah insisvus sentalis maksila retroklinasi sedangkan insisivus lateral maksila proklinasi, gigitan dalam, dan retrusi distal bilateral dengan lengkung maksila yang normal atau

(4)

bentuk persegi.2,9 Pola skeletal biasanya menunjukkan Klas I atau Klas II ringan. Dengan relasi skeletal seperti ini profil wajah biasanya dalam batas normal.10

Gambar 2. Relasi molar pada maloklusi Klas II Angle.2

2.2.3 Maloklusi Klas III Angle

Maloklusi Klas III Angle disebut juga mesio-occlusion. Maloklusi Klas III dapat disebabkan adanya maksila yang kecil dan sempit sedangkan mandibula dalam batas normal tetapi sudut gonionnya besar sehingga sudut Frankfurt-mandibula menjadi besar. Dapat pula disebabkan mandibula yang besar dengan sudut gonion dalam ukuran rata-rata atau kecil.10 Maloklusi Klas III Angle (Gambar 3) merupakan kondisi dimana letak molar pertama rahang bawah berada relatif lebih ke mesial dari molar pertama rahang atas dan garis oklusinya tidak spesifik.1,2 Dalam jurusan sagital biasanya terdapat relasi skeletal Klas III (ANB <0o) sebanding dengan keparahan relasi maksila dan mandibula. Pada pemeriksaan sefalometri bisa didapatkan adanya maksila yang retrognatik dan pendek, posisi fosa glenoid yang lebih anterior pada basis kranial sehingga mandibula terletak lebih anterior dari normalnya.10

Pada tahun 1915, Dewey memodifikasi maloklusi Klas III Angle dengan memisahkan malposisi pada bagian anterior dan posterior dalam 3 tipe sebagai berikut :

(5)

1. Tipe 1 : Lengkung maksila dan madibula menunjukkan lengkung yang normal bila dilihat secara terpisah. Namun, ketika maksila dan mandibula dioklusikan terlihat kontak edge to edge pada gigi insisivus.

2. Tipe 2 : Gigi insisivus mandibula berjejal dan lebih lingual dari gigi insisivus maksila.

3. Tipe 3 : Gigi insisivus maksila berjejal dan terdapat cross bite anterior.

Gambar 3. Relasi molar pada maloklusi Klas III Angle.2

2.3 Radiografi Sefalometri

(6)

diperoleh informasi hubungan skletal, dental dan jaringan lunak di dalam kraniofasial.27,28 Sefalometri mempunyai beberapa kegunaan yakni :

1. Mempelajari pertumbuhan struktur kraniofasial.

21

2. Menegakkan diagnosa atau analisis kelainan kraniofasial. 3. Mempelajari berbagai tipe wajah.

4. Merencanakan perawatan ortodonti.

5. Mengevaluasi kasus – kasus yang telah dirawat (progress reports). 6. Menganalisis secara fungsional.

7. Untuk penelitian.

Jenis sefalometri dibagi menjadi dua, yaitu (Gambar 4) :

1. Sefalometri lateral yaitu gambaran lateral tengkorak kepala (Gambar 4A). Sefalometri lateral berguna untuk menganalisa pertumbuhan, mendiagnosis, rencana perawatan, mengamati progres perawatan, dan mengevaluasi hasil akhir perawatan.

2. Sefalometri frontal yaitu gambaran frontal atau antero-posterior tengkorak kepala (Gambar 4B). Sefalometri frontal berguna sebagai pelengkap dari sefalometri lateral yang terutama berguna melihat pertumbuhan yang abnormal dan trauma serta berguna dalam perencanaan urutan perawatan ortodonti dan bedah.

23

23

(7)

2.4 Teknik Tracing

Sebelum dilakukan tracing, diperlukan pengetahuan menyeluruh terhadap anatomi kepala.29,30 Gambaran anatomi kepala dapat dilihat pada gambar. Tidak semua titik pada struktur kraniofasial adalah berupa titik unilateral (tunggal). Beberapa titik seperti gonion dan artikularis merupakan titik bilateral. Pada radiograf lateral titik – titik bilateral akan saling membentuk bayangan, tetapi karena wajah umumnya asimetris, hal ini tidak selalu terjadi. Jika titik bilateral sebagai dua titik pada radiograf, pada umumnya titik yang terletak di pertengahan antara keduanya dianggap sebagai posisi yang tepat.

Saat melakukan tracing, sefalogram diletakkan di atas tracing box atau x-ray illuminator kemudian kertas asetat 0,003 ichi diletakkan di atas sefalogram. Tracing

lebih mudah dilakukan di ruangan gelap. Untuk mendapatkan garis yang diharapkan, pada kertas asetat biasanya digunakan pensil dengan diameter 0,3-0,5 mm. Tracing

yang dilakukan harus sistematik, dimulai dari inspeksi menyeluruh terhadap sefalogram kemudian dilakukan penentuan titik – titik (landmarks) pada struktur anatomi dan dibuat garis.

31

29

2.5 Analisis Sefalometri

Analisis sefalometri dibagi dalam pengukuran skeletal, dental, dan jaringan lunak. Pengukuran skeletal dilakukan untuk mengevaluasi hubungan rahang terhadap basis kranium. Pengukuran dental menghubungkan satu gigi terhadap gigi yang lain, rahang, dan struktur kranial. Analisis jaringan lunak telah berkembang untuk tujuan penegakan diagnosa dan cenderung menggambarkan hubungan bibir ke hidung dan dagu.32

2.5.1 Analisis skeletal

(8)

a. Sella (S) : titik di tengah – tengah fossa pituitary (sella turcica). b. Nasion (N/Na) : titik perpotongan sutura frontonasalis.

c. Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita.

d. Sub-Spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan

prosthion.

e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion. f. Pogonion (Pog) : titik paling depan pada tulang dagu.

g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogoniondan menton.

h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior pada tulang dagu.

i. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah basis kranium dan permukaan posterior kondilus mandibula.

j. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh bidang mandibula dan ramus mandibula.

k. Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus.

l. Pterygomaxilary Fissure(PTM) : bayangan radiolusen yang mempunyai tetes air mata, bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan posterior tuber maksilaris.

(9)

Gambar 5. Titik – titik dalam analisis jaringan keras.6

Ada beberapa pengukuran pertumbuhan vertikal pada skeletal wajah, seperti sudut Y-axis, bidang mandibula ke dataran frankfurt (MP-FH), bidang mandibula ke sella tursika (MP-SN), rasio tinggi wajah anterior dan tinggi wajah posterior (S:Go/N:Me), serta NSGn.22,26,32

2.5.1.1 Analisis Down a. Sudut Bidang Mandibula

Menurut Down, bidang mandibula adalah garis yang menghubungkan titik

gonion dan menton, serta menyinggung bagian paling bawah dari simfisis mandibula. Sudut MP-FH diperoleh dari perpotongan bidang mandibula (MP) dan dataran

(10)

b. Sumbu Y-axis

Y-axis diperoleh dari sudut yang terbentuk oleh perpotongan garis antara sella tursika ke gnathion dengan bidang frankfurt (FH) (Gambar 6). Pada kasus skeletal Klas II biasanya diperoleh sudut yang lebih besar daripada skeletal klas III. Y-axis

menggambarkan posisi dagu terhadap skeletal wajah. Nilai rata-rata dari Y-axis

adalah 59o dengan kisaran 53o-66o.

Sudut Y-axis yang kecil dapat diinterpretasikan memiliki pola pertumbuhan mandibula arah horizontal yang lebih besar dibandingkan dalam arah vertikal. Sebaliknya, peningkatan sudut Y-axis menunjukkan kelebihan pertumbuhan dalam arah vertikal pada mandibula.

21,23

21,23

(11)

2.5.1.2 Analisis Steiner

Menurut Steiner, bidang mandibula adalah garis yang ditarik dari titik gonion dan gnation. MP-SN adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan bidang mandibula ke basis kranii anterior (SN) (Gambar 7). Nilai rata – rata dari sudut ini adalah 32o. Sudut MP-SN yang kecil menindikasikan pola pertumbuhan wajah yang lebih cenderung ke arah horizontal sedangkan sudut MP-SN yang besar menunjukkan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Sudut MP-SN Yang berlebih atau kurang menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak menguntungkan dalam menentukan rencana perawatan dan dapat mempengaruhi hasil akhir perawatan.21,23

Gambar 7. Sudut MP-SN menurut Steiner.2

2.5.1.3 Analisis Jarabak

(12)

dari ratio ini adalah 62 – 65%. Jika rasio yang diperoleh lebih kecil dari 62% mengindikasikan pola pertumbuhan cenderung ke arah vertikal dan memiliki nilai tinggi wajah posterior yang kecil. Sebaliknya, jika rasio lebih besar dari 65% maka mengindikasikan pola pertumbuhan lebih ke arah horizontal dan memiliki nilai tinggi wajah posterior yang besar. Arah pertumbuhan kraniofasial ini sangat berperan penting dalam merencanakan perawatan ortodonti terutama penggunaan piranti fungsional.2,26

Gambar 8. Sudut NSGn menurut Jarabak.2

2.5.2 Analisis Jaringan Lunak

Keberhasilan perawatan ortodonti sering dikaitkan dengan perbaikan penampilan wajah termasuk profil jaringan lunak. Analisis jaringan lunak pada dasarnya adalah catatan grafis dari pengamatan visual yang dilakukan dalam pemeriksaan klinis pasien. Analisis jaringan lunak mencakup penilaian terhadap adaptasi jaringan lunak dan profil tulang dengan mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan postur bibir seperti terlihat pada sefalometri lateral.

Analisis jaringan lunak wajah dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode langsung pada jaringan lunak, radiografi sefalometri, dan fotometri.

16,33

(13)

Analisis terhadap jaringan lunak dapat dilakukan pada sefalogram lateral. Titik – titik yang digunakan dalam analisis jaringan lunak (Gambar 9):

a. Glabella (G) : titik paling anterior dahi pada dataran midsagital. 6,21-24,26

b. Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. c. Pronasale (P) : titik paling anterior dari hidung.

d. Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. e. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus bibiir atas.

f. Superior labial sulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. g. Stomion superius (Stms

h. Stomion inferius (Stm

) : titik paling bawah pada vermilion bibir atas. i

i. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan pada membran bibir bawah. ) : titik paling atas pada vermilion bibir bawah.

j. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog’. k. Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. l. Menton kulit (Me’) : titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

Dengan menggunakan titik – titik di atas, berbagai analisis terhadap jaringan keras dan jaringan lunak wajah dapat dilakukan.6,21-24,26

(14)

2.5.3 Analisis Dental

Analisis dental terbagi dua yaitu analisis angular dental dan analisis linear dental. Analisis angular dental mencakup sudut interinsisal (U1 : L10), sudut insisivus sentralis atas terhadap basis kranial (U1 : SN0), sudut insisivus sentralis bawah terhadap bidang mandibula (L1 : MP0). Analisis linear dental mencakup jarak insisivus sentralis atas terhadap garis N-A (U1 : NA mm).32

2.6 Analisis Model Studi

Model studi merupakan hal yang penting dalam mendiagnosis. Model studi dapat memperlihatkan lengkung maksila dan mandibula dalam tiga dimensi dan merupakan alat yang berguna dalam menegakkan diagnosis serta rencana perawatan. Adapun kegunaan studi model antara lain menilai dan mencatat anatomi gigi, bentuk lengkung, kurva oklusi, mengevaluasi oklusi, mengukur progres pada perawatan, mengkalkulasi ketersediaan dan kebutuhan ruang, dan memberikan catatan sebelum, ketika, sesudah perawatan.2

2.6.1 Dimensi dan Lebar Lengkung Gigi

Lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imajiner yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah.34 Moyers menyatakan bahwa dimensi lengkung gigi adalah lebar interkaninus, lebar intermolar, panjang dan perimeter lengkung gigi.35 Demikian pula, Phan, Antoniazzi dan Short berpendapat bahwa dimensi lengkung gigi terdiri dari lebar interkaninus, lebar intermolar, panjang dan perimeter lengkung gigi.

Titik refrensi untuk mengukur lebar lengkung gigi sangat bervariasi. Raberin menggunakan puncak tonjol kaninus, tonjol mesio-bukal molar pertama permanen dan tonjol disto-bukal molar kedua permanen sebagai titik refrensi.

29

36

(15)

dan kedua kiri dan kanan. Sementara, lebar lengkung posterior adalah jarak yang diukur dari tonjol distobukal molar pertama kiri dan kanan.22 Mills berpendapat lebar lengkung gigi terdiri dari lebar intermolar permanen pertama dan lebar intermolar permanen kedua.37 Sementara Poosti dan Jalali berpendapat bahwa lebar lengkung gigi dibagi menjadi lebar interkaninus dan lebar intermolar.

Pengukuran lebar interkaninus dilakukan pada sisi bukal dan palatal. Pada sisi bukal, lebar interkaninus diukur pada pertengahan gigi kaninus setentang dengan 5 mm apikal gigi tersebut pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Pada sisi lingual, lebar interkaninus diukur pada pertengahan servikal gigi kaninus pada satu sisi ke titik yang sama pada sisi yang berlainan. Kedua prosedur tersebut sama untuk mengukur lebar intermolar (Gambar 10).

38

38

Titik referensi pengukuran lebar lengkung gigi dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 10. Titik refrensi pengukuran lebar intermolar dan

interkaninus.8

Gambar

Gambar 1. Relasi molar pada maloklusi Klas I Angle. 2
Gambar 2. Relasi molar pada maloklusi Klas II Angle.2
Gambar 3. Relasi molar pada maloklusi Klas III Angle.2
Gambar 4. (A) Sefalometri Lateral, (B) Sefalometri Frontal.23
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Dihitung rerata dan standard deviasi sudut MP-SN dan tinggi dentoalveolar regio molar. b) Dihitung rerata dan standard deviasi lebar lengkung gigi rahang atas dan rahang

rahang atas dan rahang bawah terhadap kranium normal, skeletal Klas II adalah relasi. rahang atas terhadap kranium lebih ke anterior dari rahang bawah, skeletal Klas

Judul Tesis : Hubungan Pola Morfologi Vertikal Skeletal Wajah pada Maloklusi Klas I, II dan III dengan Ketebalan Simfisis Mandibula di Klinik PPDGS Ortodonti RSGMP FKG USU..

Untuk mengetahui perbedaan dan hubungan pola morfologi vertikal skeletal wajah pada maloklusi Klas I, II dan III dengan ketebalan simfisis mandibula dilakukan uji Kruskal Wallis

Untuk mengetahui perbedaan pola morfologi vertikal skeletal wajah pada tiap-tiap. maloklusi Klas I, II dan III dengan ketebalan

Kesimpulan: lasifikasi hubungan molar klas II subdivisi dapat dipertimbangkan sebagai indikator risiko asimetri mandibula dalam arah vertikal ketika ditemukan maloklusi

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer untuk menghitung persentase tipe vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III pada pasien Suku Batak

Hasil yang diperoleh diolah secara statistik dengan program komputer ( software pengolahan data statistik). Analisis Pearson digunakan jika distribusi kedua kelompok data