D
D
I
I
K
K
T
T
A
A
T
T
H
H
U
U
K
K
U
U
M
M
D
D
A
A
G
G
A
A
N
N
G
G
M
M
u
u
l
l
h
h
a
a
d
d
i
i
,
,
S
S
H
H
.
.
,
,
M
M
.
.
H
H
u
u
m
m
F
F
A
A
K
K
U
U
L
L
T
T
A
A
S
S
H
H
U
U
K
K
U
U
M
M
U
U
N
N
I
I
V
V
E
E
R
R
S
S
I
I
T
T
A
A
S
S
S
S
U
U
M
M
A
A
T
T
E
E
R
R
A
A
U
U
T
T
A
A
R
R
A
A
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN ... 1
B. SEJARAH HUKUM DAGANG ... 9
C. SUMBER HUKUM DAGANG ... 15
D. BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN ... 16
BAB II PERUSAHAAN BUKAN BADAN HUKUM A. PERUSAHAAN DAGANG ... 21
B. PERSEKUTUAN PERDATA ... 24
1. Pengertian... 24
2. Jenis-jenis Maatschap... 27
3. Sifat Pendirian Maatschap... 28
4. Keanggotaan Maatschap ... 28
5. Hubungan Intern Para Peserta ... 29
6. Pengurusan Maatschap ... 29
7. Pembagian Keuntungan dan Kerugian ... 30
8. Tanggungjawab Intern antara Sekutu... 31
9. Tanggungjawab Sekutu Maatschap dengan Pihak Ketiga ... 32
10.Maatschap Bukan Badan Hukum ... 32
11.Bubarnya Maatschap ... 34
C. PERSEKUTUAN FIRMA ... 35
1. Pengertian... 35
2. Sifat Kepribadian... 36
3. Pendirian Firma ... 37
4. Hubungan Antara Sekutu ... 38
5. Pengurusan Firma... 39
6. Tanggungjawab Sekutu Baru ... 40
7. Kewenangan Mewakili dan Bertindak Keluar ... 42
8. Firma Bukan Badan Hukum... 43
D. PERSEKUTUAN KOMANDITER ... 46
1. Pengertian ... 46
2. Komanditer Bukanlah Meminjamkan Uang ... 48
3. Jenis-jenis CV ... 49
4. Hubungan Intern antar Para Sekutu CV ... 51
5. Hubungan Hukum Ektern dengan Pihak Ketiga ... 53
6. Kedudukan Hukum CV ... 54
7. Bubarnya CV ... 56
BAB III PERUSAHAAN BADAN HUKUM A. BADAN HUKUM... 58
1. Pengertian ... 58
2. Teori - teori Badan Hukum ... 60
a. Teori Fiksi... 61
b. Teori Orgaan ... 61
c. Teori Kekayaan Bersama... 62
d. Teori Kenyataan Yuridis... 63
B. MASKAPAI ANDIL INDONESIA (I.M.A) ... 64
C. PERSEROAN TERBATAS (PT)... 65
1. Pengertian... 65
2. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum ... 67
3. Pendirian Perseroan Terbatas ... 69
4. Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar ... 77
5. Pendaftaran dan Pengumuman ... 79
6. Modal dan Saham Perseroan Terbatas ... 81
7. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan... 83
8. Organ-organ Perseroan Terbatas ... 85
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ... 85
2) Direksi ... 87
3) Dewan Komisaris ... 91
9. Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan HukumPT... 96
D. KOPERASI ... 98
1. Dasar Hukum Koperasi ... 98
2. Pengertian Koperasi ... 99
3. Sejarah Singkat Koperasi Indonesia... 104
4. Landasan dan Asas Koperasi Indonesia ... 106
5. Tujuan, Fungsi, dan Peran Koperasi ... 107
7. Perangkat Organisasi Koperasi ... 116
8. Modal Koperasi ... 121
9. Lapangan Usaha Koperasi ... 123
10.Sisa Hasil Usaha Koperasi ... 125
11.Pembubaran Koperasi ... 125
E. BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN ... 129
1. Pendahuluan ... 129
2. Sejarah Singkat BUMN... 137
3. Pengertian BUMN... 143
4. Tujuan Pendirian BUMN ... 144
5. Modal BUMN ... 146
6. Pengurusan dan Pengawasan BUMN ... 147
7. Perusahaan Perseroan (Persero) ... 149
8. Perusahaan Umum (Perum) ... 159
9. Penggabungan, Peleburan, Pengambialihan, dan Pembubaran ... 166
10.Kewajiban Pelayanan Umum ... 168
11.Satuan Pengawasan Intern, Komite Audit, dan Komite Lain ... 169
12.Pemeriksaan Eksternal ... 170
13.Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN ... 171
BAB I
PENGERTIAN DASAR HUKUM DAGANG
1. PENGERTIAN
Bila ingin mengetahui definisi hukum dagang, maka hal tersebut tidak akan
ditemukan di dalam KUHD, karena hal itu sama sekali tidak diatur secara khusus seperti
layaknya pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan. Selama ini definisi hukum
dagang hanya mengacu pada beberapa pendapat sarjana hukum, seperti berikut ini:
(1). Soekardono, mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada
umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang
diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam
kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan
KUHPerdata.
(2). HMN. Purwosutjipto, mengatakan hukum dagang adalah hukum perikatan yang
timbul khusus dari lapangan perusahaan.
(3). Achmad Ichsan, mengatakan hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal
perdagangan yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam
perdagangan atau perniagaan.
(4). Fockema Andreae (Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia), mengatakan hukum
dagang atau Handelsrecht adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai
perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauhmana diatur dalam KUHD dan
beberapa undang-undang tambahan.
Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya,
sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia perdagangan. Hal ini
perniagaan.1 Menurut Pasal 2 KHUD (lama), pedagang adalah mereka yang melakukan
perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya
diperjelas oleh Pasal 3 KUHD (lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk
dijual kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD (lama) tersebut, HMN.
Purwosutjipto mencatat bahwa:2
a. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan
penjualan tidak termasuk didalamnya, karena penjualan adalah tujuan pembelian;
dan
b. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Tidak termasuk di dalamnya
barang tetap.
Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk
dalam kategori perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli
perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat
Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan Pasal 3 KUHD (lama), kelihatan bertentangan
dengan Pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli sebagai perbuatan perniagaan.
Sedangkan Pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang
termasuk perbuatan perniagaan khususnya perbuatan-perbuatan perniagaan di laut, seperti
perbuatan yang timbul dari kewajiban–kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut,
kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang
di laut, dan lain-lain.
Berdasarkan atas kelemahan-kelemahan dalam prinsip Hukum Dagang seperti di
atas, maka akhirnya Pasal 2 s/d Pasal 5 dicabut dengan Stb.1938/276, yang mulai berlaku
1
Selain Buku I (khusus Pasal 2 s/d Pasal 5), Buku III KUHD juga sudah dicabut dan digantikan oleh undang-undang khusus, yakni UU No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebelum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diberlakukan, terdapat
sejumlah UU Kepailitan yang pernah berlaku, yakni Failissement Verordening (UU Kepailitan) Stb.
1905/217 jo Stb. 1906/348; Kemudian Perpu No.1 Tahun 1998, tentang Perubahan Undang-undang Kepailitan; selanjutnya Perpu ini pun ditetapkan menjadi UU No.4 Tahun 1998.
2
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan Dasar
sejak tanggal 17 Juli 1938. Selanjutnya istilah perbuatan perdagangan atau perniagaan
diganti menjadi istilah “Perusahaan”.
Istilah Perusahaan lahir sebagai wujud perkembangan yang terjadi dalam dunia
usaha yang kemudian diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Masuknya istilah Perusahaan dalam KUHD tentu saja diawali dengan ditemukannya
beberapa kekurangan/kelemahan dalam KUHD. Namun istilah Perusahaan ini tidak
dirumuskan secara eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah Pedagang dan Perbuatan
Perdagangan. Pengertian Perusahaan dibiarkan berkembang sendirinya sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dalam duania usaha. Namun demikian, beberapa ahli hukum
sudah memberikan beberapa rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
Ada beberapa keberatan yang dapat dicatat berkaitan dengan prinsip Hukum
Dagang yang pada pokoknya diperuntukkan bagi kaum pedagang (koopmanrecht):3
1. Perkataan “barang” dalam Pasal 3 KUHD (lama) berarti barang bergerak. Padahal
dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang tetap juga merupakan obyek perniagaan.
2. Perbuatan “menjual” dalam Pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian
perbuatan perniagaan, tetapi bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 4 KUHD
(lama), yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian
perbuatan perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara Pasal 3 dan Pasal 4 KUHD (lama).
3. Bila terjadi perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa
pendapat mengenai pemberlakuan hukum dagang:
a. Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan yang
dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat adalah
pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum
dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedang. Pendapat
H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang. (pendapat ini
bertitik tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
3
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku kalau perbuatan yang
disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan.
(pendapat ini bertitik tolak pada obyek sengketa)
Dari pendapat di atas terlihat dengan jelas bahwa prinsip Hukum Dagang Bagi
Pedagang (koopmanrecht) tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini. Karena
pedagang berpeluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan
pedagang. Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Juli 1938, hukum dagang (KUHD) mulai
diberlakukan bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang.
Menurut Soekardono, Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga
masuk ke dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad
1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan
istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.4
Istilah Perusahaan di dalam bahasa Indonesia mempunyai 3 (tiga) pengertian yang
diadopsi dari istilah Belanda, yaitu: 5
1. Onderneming.
Dalam istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja
(wekeenheid), namun ini terjadi dalam suatu perusahaan.
2. Bedrijf
Bedrijf diterjemahkan dengan “perusahaan”, yang mana dalam hal ini tercermin adanya
penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba,
dalam bentuk suatu usaha yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata lain,
bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, seperti misalnya Huisvlijt (home
industri/industri rumah tangga), Nijverheid (kerajinan/keterampilan khusus), Fabriek
(pabrik).
4
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 (Bagian Pertama), (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),
hal.17
5
R. Rochmat Soemitro, Himpunan Kuliah-kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, (Bandung: PT. Eresco,
3. Vennootschap
Vennootschap mengandung pengertian juridis karena adanya suatu bentuk usaha yang
ditimbulkan dengan suatu perjanjian untuk kerja sama dari beberapa pesero.6
Dengan demikian dapat disimpulkan perbedaan pengertian bedrijf (perusahaan) dan
onderneming yaitu jika bedrijf mengandung pengertian kesatuan finansial-ekonomis, maka
onderneming merupakan suatu kesatuan kerja (werkeenheid) yang semata-mata
mengandung pengertian ekonomis saja, dan kedua-duanya mengandung pengertian yang
bersifat non juridis. Sedangkan vennootschap mengandung pengertian yang bersifat
juridis. 7
Beberapa ahli atau ilmuan memberikan pendapat tentang istilah Perusahaan,
sebagai berikut:
1. Pemerintah Belanda (Mentri Kehakiman Belanda) ketika membacakan Memorie van
Toelichting (rencana undang-undang) Wetboek van Koophandel (WvK) di depan
parlemen, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam
kedudukan tertentu dan untuk mencari laba.8
2. Molengraaff (dalam bukunya Leindraad I halaman 38) berpendapat bahwa perusahaan
adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar,
untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang,
menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Di
sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi.9
3. Polak (dalam bukunya Handboek I halaman 88) memberikan pendapat bahwa sebuah
perusahaan dianggap ada bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang
laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Di sini
Polak memandang perusahaan dari sudut komersil.10
6
M.Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia I (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hal. 29
7
Ibid., hal. 36-37
8
R. Soekardono, Op.Cit., hal. 20.
9
H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit., hal.15.
10
Dalam beberapa undang-undang juga ditemukan uraian mengenai definisi
perusahaan, antara lain:
1. Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan,
mendefiniskan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus
menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia
untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
2. Pasal 1 butir 2 UU No.8 Tahun 1997, tentang Dokumen Perusahaan, menyebutkan
bahwa perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus
menerus dangan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang
diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik berbentuk badan hukum
ataupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
Kalau meneliti Bab I (Pasal 2 s/d Pasal 5 yang sudah dihapuskan) KUHD, maka
istilah perbuatan dagang meliputi perbuatan membeli dan menjual barang-barang saja.
Berdasarkan definisi ini, bisa dipahami bahwa istilah Perusahaan lebih luas artinya
daripada istilah perbuatan dagang. Maka segala sesuatu yang dapat menghasilkan
keuntungan secara materil dapat dimaksudkan dengan Perusahaan. Besar kecilnya, ataupun
bentuk perusahaan tidak menjadi soal.11
Dalam pada itu, Mahkamah Agung Belanda ( Hoge Raad) telah memberi definisi
dalam arrestnya 25 Nopember 1925, bahwasanya “dianggap ada suatu perusahaan kalau
seseorang menyelenggarakan sesuatu secara teratur, yang ada hubungannya dengan
menjalankan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang”.12
Salah satu istilah yang muncul saat ini sebagai bagian penting dari perkembangan
dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah Hukum Perusahaan. Istilah Hukum
Perusahaan jelas tidak bisa dipisahkan dengan istilah Perusahaan yang muncul berkaitan
dengan penghapusan beberapa pasal dalam Buku I KUHD. Bahkan saat ini Hukum
Perusahaan sudah dijadikan materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan
11
R. Suryatin, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.7
12
berdiri sendiri berdampingan dengan Hukum Dagang. Disamping itu, Hukum Perusahaan
merupakan istilah yang lebih berkembang dibandingkan dengan istilah lama Hukum
Dagang, walaupun secara substansi materinya merupakan bagian khusus dari Hukum
Dagang.
Berbicara mengenai pengertian Hukum Perusahaan, maka hal ini juga tidak bisa
dipisahkan dengan pengertian Hukum Dagang dan pengertian Perusahaan. Sudah diketahui
bahwa Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan
perusahaan. Selanjutnya, bila merujuk pada pendapat salah satu ahli tentang istilah
Perusahaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum
Perusahaan adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam
lapangan perusahaan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, bertindak keluar,
terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba atau penghasilan,
dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau
mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan dan segala sesuatu itu dicatat dalam
pembukuan.
Berkembangnya dunia usaha dan atau perdagangan membawa akibat
berkembangnya pengertian perusahaan, baik menyangkut bentuk, bidang kegiatan/usaha
dan sebagainya. Dalam perkembangan ini muncullah apa yang disebut Hukum Perusahaan
atau Corporate Law.13
Di lihat dari obyek pengaturannya, maka Hukum Perusahaan ini diatur di dalam:14
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); dan
3. Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dengan demikian, Hukum Perusahaan dapat dikatakan merupakan pengkhususan
dari beberapa bab di dalam KUHPerdata dan KUHD, ditambah dengan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang Perusahaan.15
13
R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumatoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan :
Bentuk-bentuk perusahaan yang berlaku di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cetakan 1, hal. 7
Apabila Hukum Dagang merupakan hukum khusus (lex specialis) dari Hukum
Perdata (yang bersifat lex generalis), maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Hukum Perusahaan merupakan pengkhususan lebih lanjut dari Hukum Dagang. Dari sudut
pandang ini (kedudukan), Hukum Perusahaan diartikan sebagai hukum yang secara khusus
mengatur tentang bentuk-bentuk badan usaha (perusahaan) serta segala aktivitas yang
berkaitan dengan perusahaan.16
Mengacu pada Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan (Pasal 1 huruf b UU
No.3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan), maka perusahaan dapat didefinisikan
sebagai “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap,
terus-menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia
dengan tujuan meperoleh keuntungan dan atau laba”. Bertitik tolak dari definisi tersebut,
maka lingkup pembahasan Hukum Perusahaan meliputi dua hal pokok, yaitu bentuk usaha
dan jenis usaha. Dengan demikian, Hukum Perusahaan adalah keseluruhan aturan hukum
yang mengatur tentang bentuk usaha dan jenis usaha.17
Dari beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, sesuatu disebut
perusahaan apabila memenuhi unsur-unsur di bawah ini:
a. Ia merupakan bentuk usaha
b. Bentuk usaha itu diselenggarakan oleh perseorangan maupun badan usaha, baik
berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum;
c. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus;
d. Bertindak keluar dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan
perjanjian-perjanjian;
e. Membuat perhitungan tentang laba-rugi yang dicatat dalam pembukuan
f. Bertujuan memperoleh keuntungan atau laba
15 Ibid. 16
Ibid., hal. 8
17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
hal. 1. Bandingkan C.S.T. Kansil, dan Christine S.T.Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia: Aspek Hukum
Dengan demikian, ketika bicara perusahaan sudah dipastikan hal itu berhubungan
dengan bentuk-bentuk usaha dan segala hal yang berkaitan dengan bentuk usaha (hukum
perusahaan) yang kesemuanya berujung pada laba sebagai unsur mutlak. Unsur laba ini
juga menjadi tujuan bagi perbuatan perniagaan. Namun demikian, perbuatan perusahaan
lebih luas dari perbuatan perniagaan, sebab ada beberapa perbuatan yang termasuk dalam
pengertian perusahaan tetapi tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan,
seperti dokter, pengacara, notaris, juru sita, akuntan, dan lain-lain.
B. SEJARAH HUKUM DAGANG
Mempelajari sejarah Hukum Dagang erat kaitannya dengan sejarah hukum dagang
Belanda. Sejarah hukum dagang Belanda tentu ada kaitannya dengan sejarah hukum
dagang Perancis. Sedangkan hukum dagang Perancis tidak bisa dipisahkan dari hukum
Romawi yang dikenal dengan Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis peninggalan
Romawi tersebut terdiri dari 4 buku:
(1) Institusionil (lembaga). Buku I ini memuat tentang lembaga-lembaga yang ada
pada masa kekaisaran Romawi, termasuk didalamnya Consules Mercatorum
(pengadilan untuk kaum pedagang).
(2) Pandecta. Buku II ini memuat asas-asas dan adagium hukum, seperti “ asas facta
sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai otonom (kebebasan berkontrak);
unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), dan lain-lain.
(3) Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak memisahkan antara hukum
perdata dan hukum dagang.
(4) Novelete. Berisi karangan/cerita.
Perkembangan pesat Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad
pertengahan di Eropah, kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula
perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan tumbuh dan berkembangnya
kota dagang di Eropah Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir
dan lain-lain. Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan
seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di
kota-kota Eropah Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping
Hukum Romawi yang berlaku.18
Hukum yang baru dan berdiri sendiri ini berlaku hanya bagi pedagang dan
hubungan-hubungan perdagangan, sehingga lebih populer ia disebut “Hukum Pedagang”
(Koopmansrecht). Kemudian, pada abad ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis
mulai menyelenggarakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan
perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).19
Hukum pedagang ini awalnya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem
hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap
daerah mempunyai hukum pedagang sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya.
Kemudian, disebabkan pesatnya perkembangan dalam dunia perdagangan dan eratnya
hubungan antar daerah, ditambah dengan banyaknya konflik-konflik dagang yang
menemui jalan buntu di masa itu, telah mendorong keinginan untuk membentuk satu
kesatuan hukum (unifikasi) di bidang perdagangan yang berlaku untuk seluruh daerah.
1. Perancis
Pada abad 17 di Perancis, masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715). Raja
Louis XIV ini memiliki seorang Perdana Mentri bernama Colber, dan Colber ini dikenal
memiliki minat yang sangat tinggi dengan perkembangan hukum. Oleh karena itu ia
memerintahkan untuk membuat ordonansi yang mengatur tentang perdagangan.20
Kodifikasi hukum dagang pertama dibuat pada tahun 1673, yang dikenal dengan
nama Ordonance de Commerce. Ordonansi ini isinya tentang pedagang, bank dan
pedagang perantara (makelar), catatan-catatan dagang, badan usaha, perbuatan dagang,
surat berharga (seperti wesel), paksaan badan terhadap pedagang (gijzeling), pemisahan
18
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986), hal. 307
19 Ibid. 20
barang-barang antara suami-istri dimana salah satunya menjadi pedagang melalui huwelijk
overeenskomst, pernyataan pailit dan peradilan dalam perkara-perkara dagang, dan
sebagainya.21
Kemudian pada tahun 1681, lahirlah kodifikasi hukum dagang kedua yang dikenal
dengan nama Ordonance de la Marine. Dalam ordonansi ini dimuat segala
peraturan-peraturan mengenai kapal dan perlengkapan kapal, nahkoda dan anak buah kapal,
perjanjian perdagangan di laut, polisi pelabuhan dan perikanan laut. Pada umumnya
ordonansi ini mencakup semua hal berkaitan dengan kodifikasi hukum laut atau hukum
perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan.22
Kedua kitab hukum tersebut dijadikan sumber bagi pengkodifikasian hukum
dagang baru yang mulai dikerjakan pada permulaan abad ke-19. Kodifikasi hukum dagang
baru tersebut bernama Code de Commerce yang mulai berlaku pada tahun 1807. Beberapa
tahun sebelum kodifikasi hukum dagang berlaku, sebenarnya juga sudah disahkan
kodifikasi hukum perdata yaitu Code Civil (1804). Dengan demikian, pada tahun 1807 di
Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce yang
dipisahkan dari Hukum Perdata (Sipil) yang dikodifikasikan dalam Code Civil. Code de
Commerce ini memuat peraturan-peraturan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan
sejak zaman pertengahan.23
Di Romawi, ditemukan adanya sebuah pengadilan khusus bagi para pedagang yang
dinamakan “Consules Mercatorum”, yang kemudian oleh hukum dagang Perancis diambil
alih dengan nama “Judge et Consuls”. Hakim-hakim Consules Mercatorum diambil dari
para pedagang itu sendiri. Badan peradilan ini berdiri sendiri, terpisah dari badan peradilan
umum lainnya. Lembaga penyelesaian sengketa dagang ini mirip dengan “Arbitration”
(pertamakali diperkenalkan di Amerika) yang memang lebih popular diberlakukan saat ini
dalam hubungan-hubungan dagang atau bisnis yang berskala internasional.
21
Ibid.hal. 308
22 Ibid. 23
Sebenarnya, masuknya pengaruh hukum Romawi dalam hukum dagang Perancis
ini disebut dengan gejala Resepsi hukum Romawi. Pemisahan hukum perdata dan hukum
dagang di Perancis adalah masuk akal disebabkan adanya perbedaan strata sosial dan
golongan-golongan masyarakat yang berbeda, yang tidak persis sama dengan keadaan di
Belanda.
2. Belanda
Belanda sebagai negara bekas jajahan Perancis, kondisinya agak berbeda, dimana
telah terjadi pluralisme (keanekaragaman) hukum di bidang hukum perdata. Ada hukum
Romawi, hukum Perancis, hukum Belgia, hukum German, dan peraturan-peraturan Raja
atau Gubernur. Dapat dibayangkan bahwa pluralisme hukum tersebut telah menyebabkan
tidak adanya kepastian hukum.
Setahun setelah Belanda merdeka dari Perancis (tahun 1813), memperhatikan
keadaan pluralisme hukum tersebut dan dampaknya, serta atas amanat UUD Belanda untuk
mengkodifikasi hukum privat (hukum perdata dan hukum dagang), maka Raja Lodewijk
Napoleon memerintahkan pembentukan sebuah Komisi Pembuat Undang-undang. Komisi
ini diketuai oleh ahli hukum (seorang guru besar) Belanda yang bernama Van Kemper.
Komisi ini terbentuk pada tahun 1814. Dua tahun berikutnya (1816) berhasil disiapkan
sebuah RUU yang dinamakan “Ont Werp Kemper” (naskah rancangan Kemper) yang
terdiri dari 4000 pasal, yang bertujuan untuk menghapuskan pengaruh hukum Perancis.
Tetapi RUU ini harus dilimpahkan lebih dahulu ke Paerlemen Belanda. Hasilnya,
Parlemen Belanda menolak RUU ini untuk disahkan menjadi UU karena terlalu berbau
Belanda. Penolakan ini dilakukan atas prakarsa seorang hakim tinggi Belanda keturunan
Belgia bernama Nikolai, yang tidak senang dengan RUU tersebut. Karena ditolak, Raja
kemudian mengembalikan RUU tersebut kepada Komisi. Selanjutnya Kemper berusaha
menyelesaikan revisi RUU tersebut selama 4 tahun yang dinamakan dengan “Ont Werp
Kemper II” (1820). Namun demikian, RUU revisi itu ditolak untuk kedua kalinya oleh
Paerlemen Belanda, sehingga tugas komisi tersebut dinyatakan gagal. Kemper kemudian
frustasi dan tidak mau lagi menjadi Ketua Komisi, Ia kemudian meninggal dunia pada
Dalam usul KUHD Belanda 1820 (Ont Werp Kemper II) telah direncanakan
sebuah KUHD yang terdiri atas 3 kitab, akan tetapi didalamnya tidak mengakui lagi
pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang
perdagangan, dan perkara-perkara dagang itu untuk selanjutnya diselesaikan di muka
pengadilan biasa.24 Walaupun Ont Werp Kemper II ditolak, namun usul penghapusan
pengadilan khusus bagi pedagang tetap menjadi muatan penting yang ditindaklanjuti oleh
pengganti Kemper.
Pengganti Kemper sebagai Ketua Komisi Perancang Hukum Dagang adalah
Nikolai. Dalam pekerjaannya, Komisi dibawah pimpinan Nikolai ternyata tidak mampu
mewujudkan gagasannya dalam menciptakan Hukum Dagang baru. Akhirnya setelah
melalui sebuah rapat Komisi, diputuskanlah untuk mengadakan studi banding ke Perancis.
Komisi memutuskan untuk mengambil alih Code Civil dan Code du Commerce Perancis
untuk dialihbahasakan menjadi BW dan WvK (1838).
Pada akhir abad 19, Molengraaff merencanakan suatu UU Kepailitan yang akan
menggantikan Buku III KUHD Belanda. Rencana Molengraaff ini berhasil diwujudkan
menjadi UU Kepailitan tahun 1893 (mulai berlaku tahun 1896). Berdasarkan asas
konkordansi, perobahan ini juga dilakukan di Indonesia pada tahun 1906 yang dikenal
dengan Failissement Verordenig Stb. 1905/217 jo Stb. 1906/348Stb.
Dari beberapa hal diatas, sarjana Van Kant beranggapan bahwa hukum dagang itu
merupakan hukum tambahan daripada hukum perdata, yaitu suatu tambahan yang
mengatur hal-hal yang khusus.
Akibat adanya hukum dagang khusus bagi pedagang (hukum
pedagang/koopmanrecht). Konsekuensinya, hanya para pedagang saja yang bisa
melakukan kegiatan dagang seperti mendirikan CV, Fa, NV. Bagi non pedagang, hanya
dibolehkan mendirikan badan usaha lain seperti maatschap yang diatur dalam
KUHPerdata.
24
Melihat keadaan tersebut di atas, Molengraff dan Van Apeldooren tidak setuju
adanya diskriminasi hukum yang membedakan antara pedagang dan non pedagang. Atas
anjuran dua sarjana itu (khususnya Molengraff) menyebabkan dicabutnya Pasal 2 s/d
Pasal 5 KUHD dengan stb. 1938/276 tanggal 17 Juli 1938. Sedangkan di negeri Belanda
pencabutan pasal-pasal tersebut sudah lebih dahulu dilakukan pada tanggal 2 Juli 1934
melalui stb. 1934/347.
3. Indonesia (Hindia Belanda)
Ketika keinginan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda
(Indonesia), muncullah dua perbedaan pendapat:
a. Pendapat I: Menginginkan agar seluruh hukum Belanda diberlakukan di HB agar
penjajahan Belanda di HB bisa langgeng.
b. Pendapat II: Tidak setuju asas konkordansi dilaksanakan secara utuh di HB, sebab
di masyarakat Indonesia sudah ada hukum yang hidup dan mengatur perikehidupan
masyarakatnya yang lebih dikenal dengan sebutan hukum adat (adatrecht).
Disamping itu, kenyataannya banyak sekali hukum Belanda (Eropah) yang
bertentangan dengan hukum asli orang Indonesia (hukum adat). Namun demikian,
tidak ada larangan bagi orang Indonesia untuk menundukkan diri secara sukarela
pada hukum Eropah. Untuk mengakomodasi hal ini dibentuklah Lembaga Tunduk
Sukarela.
Akhirnya, berdasarkan asas konkordansi kedua kodifikasi itu juga diberlakukan di
Indonesia (dahulu Hindia Belanda) dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). KUHD sendiri
dipublikasikan pada tanggal 30 April 1847 dalam Stb.1847/23, yang mulai berlaku pada
C. SUMBER HUKUM DAGANG
Pada mulanya sumber utama hukum dagang Indonesia diatur dalam KUHPerdata
sebagai genus, dan KUHD sebagai species. Belakangan dengan semakin pesatnya
perkembangan dunia usaha pengaturan hukum dagang makin berkembang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur bagian-bagian khusus dari hukum bisnis.
1). Pengaturan Hukum di dalam Kodifikasi
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Ketentuan penting dari KUHPerdata yang menjadi sumber hukum dagang adalah
Buku III tentang Perikatan. Disamping itu, beberapa bagian dari Buku II tentang
Benda juga merupakan sumber hukum dagang, khususnya titel XXI mengenai
Hipotik. Namun demikian, tidak semua ketentuan hipotik ini diberlakukan,
beberapa bagiannya seperti hipotik atas tanah sudah digantikan oleh UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hanya ketentuan mengenai hipotik atas
kapal laut dan pesawat udara yang masih berlaku hingga saat ini.
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya, beberapa bagian dari ketentuan Buku I
KUHD sudah dicabut, yaitu Pasal 2 s/d Pasal 5. Demikian juga dengan Buku III
yang sudah digantikan oleh UU Kepailitan (saat ini UU No.37 Tahun 2004).
Sedangkan Buku II secara keseluruhan hingga saat ini masih diberlakukan.
2). Pengaturan Hukum di luar Kodifikasi
Banyak sekali produk perundang-undangan khusus yang mengatur masalah
perdagangan atau aktivitas perusahaan pada saat ini, antara lain:
a. UU No. 3 Tahun 1992, tentang Wajib Daftar Perusahaan;
b. UU No. 8 Tahun 1995, tentang Pasar Modal;
c. UU No. 8 Tahun 1997, tentang Dokumen Perusahaan;
e. UU No. 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
f. UU No. 30 Tahun 2000, tentang Rahasia Dagang;
g. UU No. 31 Tahun 2000, tentang Desain Industri;
h. UU No. 32 Tahun 2000, tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
i. UU No. 15 Tahun 2001, tentang Merek;
j. UU No. 14 Tahun 2002, tentang Paten;
k. UU No. 19 Tahun 2002, tentang Hak Cipta;
l. UU No. 19 Tahun 2003, tentang Badan Usaha Milik Negara;
m. UU No.37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran
n. UU No. 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas;
o. dan lain-lain
3). Yurisprudensi
4). Hukum Kebiasaan
D. BENTUK-BENTUK BADAN USAHA (PERUSAHAAN)
Bentuk-bentuk badan usaha/perusahaan (business organization)/ yang dapat
dijumpai di Indonesia sekarang ini demikian beragam jumlahnya. Sebagian besar dari
bentuk-bentuk badan usaha tersebut merupakan peninggalan masa lalu (pemerintah
Belanda), diantaranya ada yang telah diganti dengan sebutan dalam bahasa Indonesia,
tetapi masih ada juga sebagian yang tetap mempergunakan nama aslinya. Nama-nama yang
masih terus digunakan dan belum diubah pemakainnya misalnya, Burgelijk
Maatschap/Maatschap, Vennootschap onder Firma atau Firma (Fa), dan Commanditaire
Vennootschap (CV). Selain itu, ada pula yang sudah di Indonesiakan seperti Perseroan
“Vennootschap” diartikan menjadi kata “perseroan”, sehingga dengan demikian dapat
dijumpai sebutan Perseroan Firma, Perseroan Komanditer dan Perseroan Terbatas.
Bersamaan dengan itu, ada juga yang menggunakan kata perseroan dalam arti luas, yaitu
sebagai sebutan perusahaan pada umumnya.25
Apabila diperhatikan kata “perseroan”, berasal dari kata “sero” yang artinya saham
atau andil, sehingga perusahaan yang mengeluarkan saham atau sero disebut perseroan,
sedangkan yang memiliki sero dinamakan “pesero” atau lebih dikenal dengan sebutan
pemegang saham. Kemudian tentu dipertanyakan, bagaimana halnya dengan perusahaan
yang tidak mengeluarkan sero (saham)? Ternyata perusahaan tersebut juga disebut
perseroan.26
Barangkali, yang paling sesuai untuk pemakaian kata “perseroan” adalah dalam hal
penyebutan Perseroan Terbatas (PT), karena dalam kenyataannya PT itu memang
mengeluarkan saham atau sero. Seluruh modal PT terbagi dalam saham, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007, tentang Perseroan
Terbatas. 27 Namun untuk bentuk usaha seperti Maatschap (demikian juga Firma dan CV)
sebaiknya tetap diterjemahkan dengan menggunakan kata “persekutuan” daripada
memakai kata perseroan. Hal ini sesuai dengan arti kata perseroan itu sendiri dan pula
Maatschap, Firma dan CV tidak menerbitkan saham. Jadi, kata “persekutuan” tetap dipakai
untuk padanan Maatschap, Firma dan CV dan ini sesuai pula dengan terjemahan yang
dipakai dalam KUHPerdata.28 Tetapi perlu diingat bahwa CV juga mengenal sekutu
pelepas uang, sehingga ada salah satu jenis CV yang disebut “CV atas saham” yang
modalnya dibentuk dari kumpulan saham-saham. Barangkali untuk jenis “CV atas saham”
tidak ada salahnya untuk menyebutnya sebagai “perseroan”.
25
I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc,2005), hal.1
26 Ibid. 27
Pasal 1 yata (1) Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
28
Bila kembali pada beberapa definisi perusahaan yang dikemukakan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk usaha itu bermacam-macam, diantaranya:
1. Ditinjau dari jumlah pemilik modalnya:
a. Usaha perseorangan
b. Usaha dalam bentuk institusi atau badan (persekutuan)
2. Ditinjau dari segi himpunan, badan usaha dibagi dua:
a. Himpunan orang (persoonen associatie/nirlaba). Himpunan orang ini memiliki
ciri-ciri/kharakter, antara lain: pengaruh asosiasi terhadap anggotanya sangat besar;
anggotanya sedikit/terbatas; dan anggotanya tidak mudah keluar/masuk (tertutup).
Contohnya IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia); IWAPI (Ikatan Wanita
Pengusaha Indonesia); HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia).
b. Himpunan modal (capital associatie/laba). Contohnya Firma; CV; NV/PT
3. Baik secara teoritis maupun ditinjau dari status hukumnya, bentuk usaha/perusahaan
memiliki dua bentuk:
a. Bentuk usaha/perusahaan bukan badan hukum
b. Bentuk usaha/perusahaan badan hukum
Sepintas lalu kedua badan usaha yang disebut terakhir tidak ada perbedaan. Namun
jika dilihat dari perspektif hukum perusahaan, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni
masalah tanggung jawab.
Undang-undang tidak menjabarkan definisi badan hukum. Selama ini istilah badan
hukum diadopsi dari istilah belanda (rechtpersoon), atau istilah inggris (legal persons).
Agar uraian dalam tulisan ini lebih sistematis, maka definisi badan hukum lebih lanjut
akan dijelaskan pada Bab III.
Pada dasarnya, sebagian besar bentuk-bentuk perusahaan yang ada bentuk asalnya
dimana tidak mempunyai kepribadian sendiri dan mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:29
a. Kepentingan bersama;
b. Kehendak bersama;
c. Tujuan bersama; dan
d. Kerja sama
Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan seperti Persekutuan Perdata,
Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Namun sudah tentu bahwa masing-masing
mempunyai unsur tambahan sebagai unsur pembeda (ciri khas) antara satu perkumpulan
dengan perkumpulan lain.
KUHPerdata, Pasal 1653 hanya menyebutkan jenis-jenis perkumpulan atau badan
hukum:
a. Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum;
b. Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum;
c. Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Perusahaan yang bukan badan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan sebagai
berikut:
1. Perusahaan Perseorangan, yang wujudnya berbentuk Perusahaan Dagang (PD) atau
Usaha Dagang (UD)
2. Persekutuan, yang wujudnya terdiri dari bentuk-bentuk:
a. Perdata (Maatschap)
b. Persekutuan Firma (Fa)
c. Persekutuan Komanditer (CV)
29
Sedangkan perusahaan berbadan hukum meliputi bentuk-bentuk perusahaan
sebagai berikut:
1. Maskapai Andil Indonesia (IMA)
2. Perseroan Terbatas (PT)
3. Koperasi
4. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
a. Perusahaan Perseroan (Persero)
b. Perusahaan Umum (Perum)
5. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Mengingat rumusan badan hukum tidak ditemui dalam undang-undang, maka para
ahli hukum mencoba membuat kriteria badan usaha/perusahaan yang dapat dikelompokkan
sebagai badan hukum jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya pemisahan harta kekayaan antara perusahaan dan harta pribadi
(pemilik);
b. Mempunyai tujuan tertentu;
c. Mempunyai kepentingan sendiri;
d. Adanya oraganisasi yang teratur.
Jika tidak memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, suatu badan usaha tidak dapat
dikelompokkan sebagai badan hukum. Berikut dicoba dijabarkan badan usaha/perusahaan
BAB II
PERUSAHAAN BUKAN BADAN HUKUM
A. PERUSAHAAN DAGANG (PD)
Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD) merupakan perusahaan
perseorangan yang biasanya dilakukan atau dijalankan oleh satu orang pengusaha.30
Perusahaan perseorangan ini modalnya dimiliki oleh satu orang. Pengusahanya langsung
bertindak sebagai pengelola yang kadangkala dibantu oleh beberapa orang pekerja. Pekerja
tersebut bukan termasuk pemilik tetapi berstatus sebagai pembantu pengusaha dalam
mengelola perusahaannya berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa. Perusahaan
perseorangan ini biasa disebut dengan one man corporation atau een manszaak.
Dalam perusahaan perseorangan kadang-kadang tampak banyak orang yang
bekerja, tetapi mereka itu adalah pembantu pengusaha dalam perusahaan, yang hubungan
hukumnya dengan pengusaha bersifat perburuhan dan pemberian kuasa.
Modal dalam perusahaan perseorangan milik satu orang, yaitu milik si pengusaha.
Karena modal ini milik satu orang, maka biasanya modal itu tidak besar. Sebagian besar
perusahaan perseorangan ini modalnya termasuk modal kecil atau modal lemah.
Kedudukan hukum dari Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD)
tidaklah tegas karena tidak dapat dikategorikan dengan Maatschap, Firma, dan CV yang
diatur dalam KUHD. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seakan-akan cendrung
mempersamakan bentuk perusahaan perseorangan ini dengan “Handelsvennootschap”
yang dapat mendekati pengertian “vennootschap” pada umumnya seperti Maatschap,
Firma, dan CV. Padahal pengertian vennootschap (menurut BW baru Belanda) adalah
suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang atau lebih yang mana mengikatkan diri
untuk bersama-sama membiayai, mengerjakan atau menjalankan suatu perusahaan.31
30
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hal.18
31
Jelaslah bahwa pengertian Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD)
berbeda dengan vennootschap (persekutuan) pada umumnya. Perusahaan Dagang (PD)
atau Usaha Dagang (UD) terlihat lahir dari hukum kebiasaan.32
KUHD sendiri tidak mengatur secara khusus mengenai perusahaan perseorangan,
akan tetapi dalam praktek (hukum kebiasaan) diakui sebagai pelaku usaha. Di dalam dunia
usaha, masyarakat telah mengenal dan menerima bentuk perusahaan perseorangan yang
disebut Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD). Perusahaan Dagang (PD) atau
Usaha Dagang (UD) ini berbeda dengan vennootschap (persekutuan) yang terletak pada
jumlah pengusahanya. Jumlah pengusaha dalam perusahaan perseorangan seperti PD
hanya seorang, sedangkan jumlah pengusaha dalam persekutuan dua orang atau lebih. Pada
Perseroan Terbatas (salah satu contoh persekutuan), jumlah pengusahanya sama dengan
jumlah pemegang saham, yang berarti bahwa keseluruhan pemegang saham pada PT
adalah pengusaha.
Walaupun KUHD tidak mengatur secara khusus mengenai Perusahaan perdagangan
(PD), karena eksistensinya diakui sebagai bentuk usaha, maka pemerintah berupaya
melegalisasinya dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat di lihat dengan dikeluarkannya
keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPP/KEP/1/1998, tentang
Lembaga-lembega Usaha Perdagangan. Pasal 1 butir 3 KEP MPP ini disebutkan :
“Lembaga perdagangan adalah suatu instansi/badan yang dapat berbentuk
perorangan atau badan usaha…”
Tidak ada persyaratan khusus atau standar yang harus dipenuhi guna mendirikan
Perusahaan Dagang. Hanya dalam praktek pada umumnya pendirian PD ini dibuat dengan
akta notaris . kemudian diikuti dengan permohonan “izin usaha” kepada kepala Kantor
Perdagangan dan permohonan “izin tempat usaha” kapada Pemerintah Daerah setempat.
Perlu diketahui bahwa ada atau tidak ada akta notaris, PD (usaha dagang) ini tetap bisa
didirikan. Keberadaan akta hanya sebagai alat bukti semata, bukan sebagai syarat bahwa ia
adalah badan hukum. Sudah tentu akta pendirian itu sangat sederhana sebab tidak
memerlukan anggaran dasar. Dengan adanya akta pendirian yang notariil ini, orang
berpendapat bahwa kedudukan hukum perusahaannya lebih kuat. Tetapi sebenarnya akta
pendirian yang notariil ini tidak diharuskan. Akta ini juga tidak perlu didaftarkann kepada
kepaniteraan Pengadilan Negeri dan pula tidak perlu diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara RI.
Di Inggris, bentuk perusahaan yang berwujud PD ini dikenal sebagai Sole Traders.
Di Amerika dikenal sebagai Proprietorships. Perusahaan demikian merupakan tipe
organisasi bisnis atau perusahaan yang paling sederhana.
Perusahaan berbentuk PD atau UD ini memiliki kelebihan dan kelemahan, yaitu:
Kelebihan :
a) Aktivitas relatif lebih sedikit dan sederhana sehingga organisasinya mudah
b) Biaya organisasi rendah
c) Pemilik bebas mengambil keputusan
d) Seluruh keuntungan perusahaan menjadi hak pemilik perusahaan
e) Rahasia perusahaan terjamin
f) Pemilik lebih giat berusaha
g) Pendirian dan pembubarannya mudah karena tidak memerlukan formalitas
Kelemahan :
a) Tanggungjawab pemilik tidak terbatas
b) Sumber keuangan perusahaan terbatas sehingga kemampuan investasi pun terbatas
c) Status hukum perusahaan bukan badan badan hukum
d) Kelangsungan hidup perusahaan kurang terjamin
e) Seluruh aktivitas manajemen dilakukan sendiri, sehingga pengelolaan manajemen
menjadi kompleks
f) Kemampuan manajerial biasanya terbatas
g) Bila pemilik perusahaan meninggal dunia atau sakit dalam waktu yang lama maka
B. PERSEKUTUAN PERDATA (BURGELIJKE MAATSCHAP)
1. Pengertian
Menurut pandangan klasik, Burgelijke Maatschap atau lebih popular disebut
Maatschap merupakan bentuk genus (umum) dari Persekutuan Firma (VoF) dan
Persekutuan Komanditer (CV). Bahkan menurut pandangan klasik, tadinya Maatschap
tersebut merupakan bentuk genus pula dari Perseroan Terbatas (PT). Hanya saja, karena
saat ini tentang PT sudah jauh berkembang, maka ada pendapat yang mengatakan PT
bukan lagi termasuk bentuk species (khusus) dari Maatschap.33 Bila Firma dan CV sebagai
bentuk Maatschap, maka ia akan mengandung pula kharakteristik-kharakteristik dari
Maatschap, sepanjang tidak diatur secara khusus dan menyimpang dalam KUHD. Jelasnya,
apa yang diatur dalam KUHPerdata mengenai Maatschap berlaku pula terhadap Firma dan
CV. Keadaan ini terbaca dalam Pasal 15 KUHD, yang menyatakan bahwa
persekutuan-persekutuan yang disebut dalam Buku I, Bab III, Bagian I KUHD, diatur oleh
perjanjian-perjanjian antara para pihak dan oleh KUHPerdata. Sebenarnya, apa yang diatur dalam
Pasal 15 KUHD sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 1 KUHD. Sebab KUHD itu
sendiri merupakan species dari KUHPerdata yang merupakan genusnya.
Dalam kepustakaan dan ilmu hukum, istilah persekutuan bukanlah istilah tunggal,
karena ada istilah pendampingnya yaitu perseroan dan perserikatan. Ketiga istilah ini
sering digunakan untuk menerjemahkan istilah bahasa Belanda “maatschap”;
“vennootschap”. Maat maupun vennoot dalam bahasa aslinya (Belanda) berarti kawan atau
sekutu.
H.Van der Tas, dalam Kamus Hukum menerjemahkan Maatschap sebagai
perseroan, perserikatan, persekutuan. Fockema Andreae, menerjemahkannya sebagai
perseroan, perseroan perdata. R. Subekti dalam terjemahan BW menyebut istilah
Maatschap sebagai persekutuan. Penulis lain menerjemahkannya sebagai persekutuan
perdata atau perserikatan perdata (burgelijke maatschap).
33
Rudhi Prasetya, Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, (Bandung: PT. Citra Aditya
“Persekutuan” artinya persatuan orang-orang yang sama kepentingannya terhadap
suatu perusahaan tertentu. Sedangkan “sekutu” artinya peserta dalam persekutuan.Jadi,
persekutuan berarti perkumpulan orang-orang yang menjadi peserta pada perusahaan
tertentu. Jika badan usaha tersebut tidak menjalankan perusahaan, maka badan itu
bukanlah persekutuan perdata, tetapi disebut “perserikatan perdata”. Sedangkan
orang-orang yang mengurus badan itu disebut sebagai “anggota”, bukan sekutu. Dengan
demikian, terdapat dua istilah yang pengertiannya hampir sama, yaitu “perserikatan
perdata” dan “persekutuan perdata”. Perbedaannya, perserikatan perdata tidak menjalankan
perusahaan, sedangkan persekutuan perdata menjalankan perusahaan. Dengan begitu maka
perserikatan perdata adalah suatu badan usaha yang termasuk hukum perdata umum, sebab
tidak menjalankan perusahaan. Sedangkan persekutuan perdata adalah suatu badan usaha
yang termasuk dalam hukum perdata khusus (hokum dagang), sebab menjalankan
perusahaan.
Menurut Purwosutjipto, persekutuan perdata (burgelijke maatschap) sebagaimana
diatur dalam Buku III, Bab VIII KUHPerdata adalah persekutuan yang termasuk dalam
bidang hukum perdata umum, sebab apa yang disebut “burgelijke maatschap” itu pada
umumnya tidak menjalankan perusahaan. Tetapi dalam praktek, persekutuan perdata juga
sering menjalankan perusahaan. Namun persekutuan yang dimaksud adalah persekutuan
perdata khusus. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 1623 KUHPerdata jo Pasal 16 KUHD.
Pasal 1623 KUHPerdata berbunyi:”Persekutuan perdata khusus ialah persekutuan perdata
yang hanya mengenai barang-barang tertentu saja, pemakaian atau hasil yang didapat dari
barang-barang itu atau mengenai suatu usaha tertentu, melakukan perusahaan ataupun
melakukan pekerjaan”. Sedangkan Pasal 16 KUHD berbunyi: “Yang dinamakan
persekutuan firma ialah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama (firma)”.
Batasan yuridis Maatschap dimuat di dalam Pasal 1618 KUHPerdata yang
“Persekutuan perdata (Maatschap) adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) dalam
persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”.
Menurut Soenawar Soekowati, Maatschap adalah suatu organisasi kerjasama dalam
bentuk taraf permulaan dalam suatu usaha. Yang dimaksudkan dalam taraf permulaan
disini adalah bahwa Maatschap merupakan suatu badan yang pra atau sebelum menjadi
perkumpulan berbadan hukum. Ia merupakan bentuk badan yang paling sederhana, sebagai
dasar dari bentuk-bentuk badan usaha yang telah mencapai taraf yang sempurna
(berbelit-belit) pengaturannya. Jadi, maatschap bentuknya belum sempurna, artinya belum memiliki
pengaturan yang rumit atau belum memenuhi unsur-unsur sebagai badan hukum.
Menurut kepustakaan, Maatschap itu bersifat 2 (dua) muka, yaitu bisa untuk
kegiatan yang bersifat komersial atau bisa pula untuk kegiatan non komersial termasuk
dalam hal ini untuk persekutuan-persekutuan menjalankan profesi. Dalam praktek dewasa
ini, yang paling banyak dipakai justru untuk non profit kegiatan profesi itu, misalnya
persekutuan diantara para lawyer yang biasa dikenal sebagai “associated” atau “partner”
(rekan) atau “compagnon” yang disingkat “Co”.34
Dalam Pasal 1618 dikatakan bahwa tiap peserta harus memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan. Hal yang dimaksudkan disini adalah “pemasukan” (inbreng). Yang
dimaksud dengan “pemasukan” (inbreng) bisa berwujud barang, uang atau tenaga, baik
tenaga badaniah maupun tenaga kejiwaan (pikiran). Adapun hasil dari adanya pemasukan
itu tidak hanya keuntungan saja, tetapi mungkin pula “kemanfaatan”, misalnya: Empat
orang bersahabat (A,B, C dan D) masing-masing memasukkan uang sebesar Rp. 200.000,-
untuk melakukan sebuah perjalanan wisata ke Sibolangit dengan mencarter sebuah taksi
mulai pagi hingga sore dengan membawa makanan dan minuman, maka pada sore hari
ketika mereka sampai dirumah, sedikitpun tidak mendapat keuntungan, tetapi hanya
kemanfaatan yang berwujud kepuasan hati. Kenyataan hukum ini disebut “perserikatan
perdata”.
34
2. Jenis-jenis Maatschap
1) Maatschap Umum (Pasal 1622 KUHPerdata)
Maatschap umum meliputi apa saja yang akan diperoleh para sekutu sebagai hasil
usaha mereka selama maatchap berdiri. Maatschap jenis ini usahanya bisa
bermacam-macam (tidak terbatas) yang penting inbrengnya ditentukan secara
jelas/terperinci.
2) Maatschap Khusus (Pasal 1623 KUHPerdata)
Maatschap khusus (bijzondere maatschap) adalah maatschap yang gerak usahanya
ditentukan secara khusus, bisa hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau
pemakaiannya, atau hasil yang akan didapat dari barang-barang itu, atau mengenai
suatu usaha tertentu atau penyelenggaraan suatu perusahaan atau pekerjaan tetap.
Jadi, penentuannya ditekankan pada jenis usaha yang dikelola oleh maatshap
(umum atau khusus), bukan pada inbrengnya. Mengenai inbreng, baik pada
maatschap umum maupun maatschap khusus harus ditentukan secara
jelas/terperinci. Kedua maatschap ini dibolehkan. Yang tidak dibolehkan adalah
maatschap yang sangat umum yang inbrengnya tidak diatur secara terperinci seperti
yang disinggung oleh Pasal 1621 KUHPerdata.
Maatschap termasuk salah satu jenis permitraan (partnership) yang dikenal dalam
hukum Perusahaan di Indonesia disamping bentuk lainnya seperti Vennootschap Onder
Firma (Fa) dan Commanditaire Vennooschap (CV). Maatschap merupakan bentuk usaha
yang biasa dipergunakan oleh para Konsultan, Ahli Hukum, Notaris, Dokter, Arsitek dan
profesi-profesi sejenis lainnya.
Maatschap merupakan bentuk permitraan yang paling sederhana karena:35
a. Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang besarnya modal, seperti yang berlaku
dalam Perseroan Terbatas (PT) yang menetapkan besar modal minimal, saat ini
adalah minimal Rp. 50.000.000,00- (lima puluh juta rupiah);
35
b. Dalam rangka memasukkan sesuatu dalam persekutuan atau maatschap, selain
berbentuk uang atau brang, boleh menyumbangkan tenaga saja;
c. Lapangan kerjanya tidak dibatasi, juga bisa dalam bidang perdagangan;
d. Tidak ada pengumuman kepada pihak ketiga seperti yang dilakukan dalam Firma
3. Sifat Pendirian Maatschap
Menurut Pasal 1618 KUHPerdata, maatschap adalah persekutuan yang didirikan
atas dasar perjanjian. Menurut sifatnya, perjanjian itu ada dua macam golongan, yaitu
perjanjian konsensual (concensuelle overeenkomst) dan perjanjian riil (reele
overeenkomst). Perjanjian mendirikan maatschap adalah perjanjian konsensual, yaitu
perjanjian yang terjadi karena ada persetujuan kehendak dari para pihak atau ada
kesepakatan sebelum ada tindakan-tindakan (penyerahan barang). Pada maatschap, jika
sudah ada kata sepakat dari para sekutu untuk mendirikannya, meskipun belum ada
inbreng, maka maatschap sudah dianggap ada.
Undang-undang tidak menentukan mengenai cara pendirian maatschap, sehingga
perjanjian maatschap bentuknya bebas. Tetapi dalam praktek, hal ini dilakukan dengan
akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Juga tidak ada ketentuan yang mengharuskan
pendaftaran dan pengumuman bagi maatschap, hal ini sesuai dengan sifat maatschap yang
tidak menghendaki adanya publikasi (terang-terangkan).
Perjanjian untuk mendirikan maatschap,disamping harus memenuhi ketentuan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. tidak dilarang oleh hukum;
b. tidak bertentangan dengan tatasusila dan ketertiban umum; dan
c. harus merupakan kepentingan bersama yang dikejar, yaitu keuntungan.
4. Keanggotaan Maatschap
Keanggotaan suatu maatschap penekanannya diletakkan pada sifat kapasitas
maatschap terikat pada kapasitas kepribadian dari masing-masing anggota, dan cara
masuk-keluarnya ke dalam maatschap ditentukan secara statutair (tidak bebas). Adapun
sifat kapasitas kepribadian dimaksud diutamakan, seperti: sama-sama seprofesi, ada
hubungan keluarga, atau teman karib.
KUHPerdata (Bab VIII) sendiri juga tidak melarang adanya maatschap antara
suami-istri. Meskipun tidak dilarang, maatschap yang didirikan antara suami-istri, dimana
ada kebersamaan harta kekayaan (huwelijk gemeenschap van goederen), maka maatschap
demikian tidak berarti apa-apa, sebab kalau ada kebersamaan harta kekayaan (harta
perkawinan), maka pada saat ada keuntungan untuk suami-istri itu tidak ada bedanya,
kecuali pada saat perkawinan diadakan perjanjian pemisahan kekayaan.
5. Hubungan Intern Para Peserta
Perjanjian maatschap tidak mempunyai pengaruh ke luar (terhadap pihak ketiga),
dan pesertalah yang semata-mata mengatur bagaimana caranya kerjasama itu berlangsung,
demikian juga pembagian keuntungan yang diperoleh bersama diserahkan sepenuhnya
kepada mereka sendiri untuk mengaturnya dalam perjanjian maatschapnya.
Hanya undang-undang mengadakan pembatasan terhadap kebebasan mengatur
pembagian keuntungan itu, berupa dua ketentuan:
a. para sekutu tidak boleh memperjanjikan bahwa mereka akan menyerahkan
pengaturan tentang besarnya bagian masing-masing kepada salah seorang dari
mereka atau kepada seorang pihak ketiga (Pasal 1634 ayat 1 KUHPerdata).
b. para sekutu tidak boleh memperjanjikan bahwa kepada salah seorang akan
diberikan semua keuntungan (Pasal 1635 ayat 1 KUHPerdata)
6. Pengurusan Maatschap
Pengangkatan pengurus Maatschap dapat dilakukan dengan dua cara (Pasal 1636),
yaitu:
a. Diatur sekaligus bersama-sama dalam akta pendirian maatschap. Sekutu maatschap ini
b. Diatur sesudah persekutuan perdata berdiri dengan akta khusus. Sekutu pengurus ini
dinamakan “sekutu mandater” (gerant mandataire).
Perbedaan kedudukan hukum antara sekutu statuter dan sekutu mandater:
a) Menurut Pasal 1636 (2) KUHPerdata, selama berjalannya maatschap, sekutu statuter
tidak boleh diberhentikan, kecuali atas dasar alasan-alasan menurut hukum, misalnya
tidak cakap, kurang seksama (ceroboh), menderita sakit dalam waktu lama, atau
keadaan-keadaan/peristiwa-peristiwa yang tidak memungkinkan seorang sekutu
pengurus itu melaksanakan tugasnya secara baik.
b) Yang memberhentikan sekutu statuter ialah maatschap itu sendiri. Atas pemberhentian
itu sekutu statuter dapat minta putusan hakim tentang soal apakah pemberhentian itu
benar-benar sesuai dengan kaidah hukum. Sekutu statuter bisa minta ganti kerugian
bila pemberhentian itu dipandang tidak beralasan.
c) Sekutu mandater kedudukannya sama dengan pemegang kuasa, jadi kekuasaannya
dapat dicabut sewaktu-waktu atau atas permintaan sendiri.
Kalau diantara para sekutu tidak ada yang dianggap cakap atau mereka tidak
merasa cakap untuk menjadi pengurus, maka para sekutu dapat menetapkan orang luar
yang cakap sebagai pengurus. Jadi, ada kemungkinan pengurus maatschap adalah bukan
sekutu. Hal ini dapat ditetapkan dalam akta pendirian maatschap atau dalam perjanjian
khusus.
7. Pembagian Keuntungan dan Kerugian
Para mitra bebas untuk menentukan bagaimana keuntungan maatschap akan
dibagikan diantara mereka. Menurut Pasal 1633 KUHPerdata cara membagi keuntungan
dan kerugian itu sebaiknya diatur dalam perjanjian pendirian maatschap. Bila dalam
perjanjian pendirian tidak diatur maka bagian tiap sekutu dihitung menurut perbandingan
besarnya sumbangan modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu. Sekutu yang
inbreng-nya hanya berupa tenaga, maka bagian keuntungan/rugi yang diperolehnya sama
sedikit. Menurut pasal 1634 KUHPerdata, para sekutu tidak boleh berjanji bahwa jumlah
bagian mereka masing-masing dalam maatschap ditetapkan oleh salah seorang sekutu dari
mereka atau orang lain. Perjanjian yang demikian harus dianggap tidak ada/tidak tertulis.
Disamping itu, menurut Pasal 1635 KUHPerdata, para sekutu dilarang memperjanjian akan
memberikan keuntungan saja kepada salah seorang sekutu, tetapi harus mencakup
dua-duanya, yakni keuntungan (laba) dan kerugian. Bila hal itu diperjanjikan juga maka hal itu
dianggap batal. Namun sebaliknya, para sekutu diperbolehkan memperjanjikan bahwa
semua kerugian akan ditanggung oleh salah seorang sekutu saja.
8. Tanggungjawab Intern antara Sekutu
Para sekutu Maatschap bisa membuat perjanjian khusus dalam rangka menunjuk
salah seorang diantara mereka atau orang ketiga sebagai pengurus Maatschap (gerant
mandataire). Menurut Pasal 1637 KUHPerdata, pengurus yang ditunjuk itu berhak
melakukan semua tindakan kepengurusan yang ia anggap perlu, walaupun tidak disetujui
oleh beberapa sekutu, asalkan dilakukan dengan itikad baik. Jadi pengurus dapat bertindak
atas nama persekutuan dan mengikat para sekutu terhadap pihak ketiga dan sebaliknya
pihak ketiga terhadap para mitra selama masa penunjukkan (kuasa) itu berlaku. Para sekutu
tentu saja masih bebas untuk menggeser atau mengganti pengurus dengan mandat tersebut.
Selama pengurus yang ditunjuk itu ada, maka maka sekutu yang bukan pengurus tidak
mempunyai kewenangan untuk bertindak atas nama Maaschap dan tidak bisa mengikat
para sekutu lainnya dengan pihak ketiga.
Bila tidak ada penunjukan secara khusus mengenai pengurus, Pasal 1639
KUHPerdata menetapkan bahwa setiap sekutu dianggap secara timbal balik telah memberi
kuasa, supaya yang satu melakukan pengurusan terhadap yang lain, bertindak atas nama
Maatschap dan atas nama mereka. Jadi, berkenaan dengan tanggungjawab intern antara
sekutu, kecuali dibatasi secara tegas dalam perjanjian pendirian Maatschap, setiap sekutu
berhak bertindak atas nama Maatschap dan mengikat para sekutu terhadap pihak ketiga dan
9. Tanggungjawab Sekutu Maatschap dengan Pihak Ketiga
Menurut Pasal 1642 s/d 1645 KUHPerdata, pertanggungjawaban sekutu maatschap
adalah sebagai berikut:
a. Pada asasnya, bila seorang sekutu maatschap mengadakan hubungan hukum
dengan pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu,
walaupun dia mengatakan bahwa dia berbuat untuk kepentingan persekutuan.
b. Perbuatan sekutu baru mengikat sekutu-sekutu lainnya apabila :
- sekutu tersebut diangkat sebagai pengurus secara gerant statutaire
- nyata-nyata ada surat kuasa dari sekutu-sekutu lain;
- hasil perbuatannya atau keuntungannya telah nyata-nyata dinikmati oleh
persekutuan
c. Bila beberapa orang sekutu maatschap mengadakan hubungan hukum dengan pihak
ketiga, maka para sekutu itu dapat dipertanggungjawabkan sama rata, meskipun
inbreng mereka tidak sama, kecuali bila dalam perjanjian yang dibuatnya dengan
pihak ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan pertanggungjawaban
masing-masing sekutu yang turut mengadakan perjanjian itu.
d. Bila seorang sekutu mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga atas nama
persekutuan (Pasal 1645 KUHPerdata), maka persekutuan dapat langsung
menggugat pihak ketiga itu. Disini tidak diperlukan adanya pemberian kuasa dari
sekutu-sekutu lain.
10.Maatschap Bukan Badan Hukum
Setiap kerjasama selalu menimbulkan hasil yang dualistis, oleh karena tiap
kerjasama itu: a). mesti menimbukan kesatuan (rechtspersoonlijkheid), yakni yang
berwujud suatu badan atau corporatie; b). disamping itu juga menimbulkan akibat yang
bersifat verbintenisrechtelijk yang individual.
Kalau suatu kerjasama itu dimana unsur corporatienya merupakan hal yang lebih
bahwa PT itu sudah rechtspersoon, (artinya badan hukum itu bisa bertindak sebagai subyek
hukum seperti halnya natuurlijke persoon). Sebaliknya, manakala dalam kerjasama itu
unsur corporatienya lebih sedikit, maka disitu akan timbul keraguan, baik pada peradilan
maupun para sarjana, yakni tentang apakah kerjasama itu dilakukan oleh badan hukum
atau bukan.
Ajaran yang umum (de heersen de leer) yang dianut tidak mengakui bahwa
maatschap itu merupakan badan hukum, karena maatschap tidak mempunyai harta
kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para sekutunya. Tapi karena hukum itu
berkembang, muncul pendirian baru yang mengatakan bahwa pada maatschap itu dalam
praktik sudah ada kekayaannya yang terpisah, akan tetapi belum dianggap sebagai badan
hukum.
Pada firma terlihat bahwa undang-undang mengakui adanya harta kekayaan yang
terpisah (Pasal 32 KUHD), tetapi oleh undang-undang, firma juga belum diakui sebagai
badan hukum.
Diisamping itu, walaupun maatschap dapat mengguggat langsung kepada pihak
ketiga berdasarkan Pasal 1645 KUHPerdata, namun bukan berarti maatschap adalah badan
hukum. Perbuatan maatschap (persekutuan perdata) untuk menggugat langsung kepada
pihak ketiga adalah perbuatan bersama semua para sekutu, karena mereka masing-masing
mempunyai bagiannya sendiri dalam harta kekayaan persekutuan, sehingga tiap-tiap sekutu
berhak menagih sesuai dengan bagiannya itu.
Dari sudut pertanggung jawaban, bisa juga disimpulkan bahwa Persekutuan Perdata
(maatschap) bukanlah badan hukum, karena bila ia disebut badan hukum maka seorang
sekutu yang melakukan perbuatan atas nama persekutuan, persekutuanlah yang terikat
dengan pihak ketiga dan bukan sekutu yang berbuat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1644 KUHPerdata. Bila maatschap ingin dipaksakan menjadi badan hukum, maka tentu
ada keharusan bagi maatschap untuk memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum, seperti
a). Pengesahan dari Mentri Kehakiman, sekarang Mentri Hukum dan HAM; b).Pendaftaran
Sedangkan maatschap tidak memerlukan prosedur pendirian sebagaimana disebut di atas,
tetapi cukup dilakukan secara konsensuil atau dengan akta (otentik/dibawah tangan).
11.Bubarnya Maatschap
Mengenai bubarnya Maatschap, diatur dalam Buku III Pasal 1646 s/d 1652
KUHPerdata. Adapun beberapa sebab sebuah maatschap bisa dinyatakan bubar (Pasal
1646 KUHPerdata) adalah :
a. Lampaunya waktu untuk mana maatschap itu didirikan;
b. Musnahnya barang atau telah diselesaikannya usaha yang menjadi tugas pokok
maatschap itu;
c. Kehendak dari seorang atau beberapa orang sekutu; dan
d. Salah seorang sekutu meninggal dunia atau dibawah pengampuan atau dinyatakan
pailit.
Berkenaan dengan huruf a), bila Maatschap sejak semula didirikan untuk waktu
tertentu namun diteruskan oleh para mitra melewati waktu tersebut, maka kemudian
secara hokum Maatschap itu didirikan untuk waktu yang tidak tertentu. Berkenaan dengan
huruf c), terdapat perbedaan antara Maatschap yang didirikan untuk waktu tertentu dan
yang didirikan untuk waktu yang tidak tertentu. Dalam kasus pengunduran diri tidak dapat
terjadi sebelum waktu yang ditunjuk kecuali semua mitra setuju atau ada perintah
pengadilan (yang diberikan untuk alasan demikian, seperti misalnya tidak berprestasi atau
sakit berat). Manurut Pasal 1649 KUHPerdata pengunduran diri harus pada waktunya dan
dengan itikad baik.36
36
C. PERSEKUTUAN FIRMA (VENNOOTSCHAP ONDER FIRMA)
1. Pengertian
Apa yang dimaksud dengan Firma dijelaskan dalam pasal 16 KUHD, “Persekutuan
Firma ialah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama”. Dari ketentuan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Persekutuan
Firma merupakan persekutuan khusus. Kekhususan itu terletak pada tiga unsur mutlak
sebagai tambahan pada Persekutuan Perdata (Maatschap), yaitu:
a. Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD)
b. Dengan nama bersama atau Firma (Pasal 16 KUHD); dan
c. Pertanggungjawaban sekutu yang bersifat pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18
KUHD)
Dengan demikian, Persekutuan Perdata yang unsur tambahannya kurang dari apa
yang disebutkan diatas, maka Persekutuan Perdata itu belum menjadi Persekutuan Firma.
Molengraaff memberikan pengertian Firma dengan menggabungkan Pasal 16 dan
Pasal 18 WvK, yaitu suatu perkumpulan (vereniging) yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan di bawah nama bersama dan yang mana anggota-anggotanya tidak terbatas
tanggung jawabnya terhadap perikatan Firma dengan pihak ketiga.37
Schilfgaarde mengatakan Persekutuan Firma sebagai persekutuan terbuka
terang-terangan (openbare vennootschap) yang menjalankan perusahaan dan tidak mempunyai
pesero komanditer.38
Menurut Slagter, Firma adalah suatu perjan