Skripsi
STRATEGI PEMENANGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF
PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF 2009
(
Studi Pada : CALEG PEREMPUAN TERPILIH PADA DPRD KOTA MEDAN)D i s u s u n
Oleh :
KARTIKA PANJAITAN
050906015
Dosen Pembimbing : Muryanto Amin S.sos M.Si
Dosen Pembaca
: Dra. T. Irmayani M.Si
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STRATEGI PEMENANGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF 2009
(Studi Pada : CALEG PEREMPUAN TERPILIH PADA DPRD KOTA MEDAN) Nama : Kartika Panjaitan
NIM : 05090615 Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ABSTRAKSI
Diselenggarakannya pemilu legislatif langsung sesuai pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan penerapan sistem suara terbanyak merupakan babak baru dalam proses demokratisasi politik saat ini. Berlakunya keputusan MK kemudian menimbulkan pro dan kontra, terutama bagi kaum perempuan yang selama ini menjadi pihak yang diperjuangkan keterwakilannya dengan upaya affirmative action. Dengan berlakunya sistem suara terbanyak berbagai upaya akan dilakukan oleh calon legislatif perempuan, karena sistem ini memaksa perempuan untuk sama dengan laki-laki. Sehingga melihat strategi kampanye dan isu apa yang diterapkan oleh calon legislatif perempuan terpilih menjadi penting untuk diteliti.
Kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan oleh para kandidat untuk menyampaikan visi, misi dan program kerjanya. Kampanye berhasil bilamana kedua belah pihak, baik kandidat dan konstituen memiliki kesepakatan-kesepakatan tentang pesan atau ide-ide yang disampaikan sehingga konstituen akan merasa yakin untuk menjatuhkan pilihannya kepada kandidat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi dan isu kampanye apa yang digunakan oleh calon legislatif perempuan terpilih 2009 pada DPRD Kota Medan. penelitian ini meggunakan bentuk penelitian deskriptif, yaitu dengan menggunakan teknik wawancara dan studi pustaka untik mengeksplorasi tentang strategi dan isu kampanye Calon Legislatif Terpilih DPRD Kota Medan 2009.
Salah satu yang menjadi kunci keberhasilan para calon legislatif terpilih yaitu dengan menggunakan teknik kampany dari pintu ke pintu (Door to Door
Campaign), kampanye diskusi kelompok (Group Discussion Campaign),
kampanye massa tidak langsung (Indirect Massa Campaign), dan kampanye massa langsung (Direct Massa Campaign)
DAFTAR ISI
E.3.1. Redefenisi dan Filosofi Ilmu Marketing...………...21
E.3.2. Marketing Politik...23
E.3.2.1. Perdebatan Marketing Politik...23
E.3.2.2. Peran Marketing dalam dunia Politik...24
E.3.3. Konsep Marketing dalam Domain Politik...24
E.3.3.1. Orientasi Pasar...26
E.4.2.1. Pesan Kampanye……….….…..31
H.1. JenisPenelitian.………...……39
H.2. Lokasi Penelitian……….40
H.3. Teknik Pengumpulan Data………..40
H.4. Teknik Analisa Data………41
H.5. Sistematika Penulisan………...41
BAB II SEJARAH UMUM PARTAI POLITIK DAN PROFIL CALON LEGISLATIF PEREMPUAN TERPILIH PADA DPRD KOTA MEDAN……….………43
A. Sejarah Umum Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, dan Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)……….………...43
A.1. Partai Demokrat……….……….43
A.2. Partai Golkar……….………..45
A.3. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)………….…………49
B. Profil Calon Legislatif Perempuan Terpilih Pada DPRD Kota Medan……….52
B.1. Dra. Ainal Mardiah……….…....54
B.2. Dra. Lily MBA, MH……….…..55
B.3. Janlie SE, Ak………...56
B.4. Dra. Srijati Pohan...57
B.5. Damai Yona Nainggolan...60
B.6. Hj. Halimatussakdiyah...61
BAB III RUMUSAN DAN ANALISIS STRATEGI KAMPANYE...63
A. Rumusan Strategi Kampanye...63
A.1. Pesan Kampaye... ...63
A.2. Teknik Kampanye...70
A.3. Anggaran Kampanye...92
B. Kesetaraan dan Keadilan Perempuan...103
B.1. Kesetaraan dan Keadilan Perempuan dari sudut pandang Patriarki...103
B.2. Analisis Kesetaraan dan Keadilan berdasarkan Pandangan Feminisme...105
BAB IV PENUTUP...111
A. Kesimpulan………...…...111
B. Saran……….113
STRATEGI PEMENANGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF 2009
(Studi Pada : CALEG PEREMPUAN TERPILIH PADA DPRD KOTA MEDAN) Nama : Kartika Panjaitan
NIM : 05090615 Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ABSTRAKSI
Diselenggarakannya pemilu legislatif langsung sesuai pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan penerapan sistem suara terbanyak merupakan babak baru dalam proses demokratisasi politik saat ini. Berlakunya keputusan MK kemudian menimbulkan pro dan kontra, terutama bagi kaum perempuan yang selama ini menjadi pihak yang diperjuangkan keterwakilannya dengan upaya affirmative action. Dengan berlakunya sistem suara terbanyak berbagai upaya akan dilakukan oleh calon legislatif perempuan, karena sistem ini memaksa perempuan untuk sama dengan laki-laki. Sehingga melihat strategi kampanye dan isu apa yang diterapkan oleh calon legislatif perempuan terpilih menjadi penting untuk diteliti.
Kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan oleh para kandidat untuk menyampaikan visi, misi dan program kerjanya. Kampanye berhasil bilamana kedua belah pihak, baik kandidat dan konstituen memiliki kesepakatan-kesepakatan tentang pesan atau ide-ide yang disampaikan sehingga konstituen akan merasa yakin untuk menjatuhkan pilihannya kepada kandidat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi dan isu kampanye apa yang digunakan oleh calon legislatif perempuan terpilih 2009 pada DPRD Kota Medan. penelitian ini meggunakan bentuk penelitian deskriptif, yaitu dengan menggunakan teknik wawancara dan studi pustaka untik mengeksplorasi tentang strategi dan isu kampanye Calon Legislatif Terpilih DPRD Kota Medan 2009.
Salah satu yang menjadi kunci keberhasilan para calon legislatif terpilih yaitu dengan menggunakan teknik kampany dari pintu ke pintu (Door to Door
Campaign), kampanye diskusi kelompok (Group Discussion Campaign),
kampanye massa tidak langsung (Indirect Massa Campaign), dan kampanye massa langsung (Direct Massa Campaign)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang banyak diterapkan oleh
berbagai negara di belahan dunia berangkat dari asumsi bahwa kedaulatan ada di
tangan rakyat yang ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Sebelum masa
reformasi di Indonesia, praktek demokrasi belum berjalan semestinya. Proses
demokrasi di bawah pemerintahan orde baru masih jauh dari gambaran demokrasi,
ini terbukti dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya yang sering dijumpai adanya
penyimpangan-penyimpangan dan diskriminasi terhadap keberadaan perempuan
sebagai bagian dari rakyat Indonesia.
Transisi pemerintahan dari masa orde baru menuju masa reformasi ini
kemudian menghasilkan banyak perubahan penting dalam sistem perpolitikan di
Indonesia, khususnya dalam hal perubahan penyelenggaraan pemilu. Karena
partai politik sebagai suatu organisasi yang berorientasi kepada pencapaian
legitimasi kekuasaan atas pemerintah melalui proses pemilu menuju pelaksanaan
demokratisasi yang ideal.1
1
Deden Faturohman, Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang : Universitas
Dengan jumlah partai politik yang hanya terdiri dari
tiga partai dibawah rezim orde baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai
politik di era reformasi pada pemilu 1999, menghasilkan perubahan yang sangat
signifikan dalam pola representasi perempuan dalam dunia politik, khususnya
dari beberapa gerakan perempuan maupun partai politik yang pada saat itu
mengusung isu-isu mengenai kesetaraan gender dalam kampanyenya.2
Kesadaran terhadap kesetaraan gender selama satu dasawarsa ini memang
menunjukkan kemajuan tetapi masih menghadapi banyak kendala. Selama
sepuluh tahun reformasi Indonesia ditandai dengan perubahan-perubahan yang
signifikan meskipun partisipasi perempuan dalam kancah politik belum optimal.
Era reformasi sepatutnya juga adalah masa untuk menyuarakan revolusi berbagai
kepentingan termasuk kepentingan perempuan.3 Adanya pembatasan-pembatasan
sosial-budaya membuat perempuan tidak banyak memiliki kesempatan untuk ikut
terlibat dalam pengambilan keputusan. Selama ini ada anggapan bahwa pola
interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki, dan politik sangat
dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang cenderung patriarki, dengan kekuatan
dan kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural terpusat pada laki-laki.
Sebenarnya pengaruh kaum wanita terhadap politik tidak bisa dinilai hanya dari
aspek pemberian suara saja, karena dalam tahun-tahun belakangan ini, kelompok
feminis telah memberi dampak pada kehidupan politik terlepas dari hak pilih
wanita.4
Dalam tataran politis, struktur masyarakat seperti ini dianggap cenderung
menjadikan peran politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan
senantiasa menjadi subordinat bagi peran politik laki-laki, terutama jika sudah
masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislatif. Relasi subordinat ini yang
kemudian menghasilkan ketidakadilan gender, dimana relasi ini telah
2
Dapat dilihat di:
3
T.O Ihromi, Penghapusan diskriminasi terhadap wanita, Bandung : PT. Alumni, 2006, hal. 300 4
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, sehingga manusia sebagai individu
kehilangan identitas dirinya, karena konstruksi budaya.5
Kurangnya keterwakilan perempuan pada struktur kepartaian maupun di
parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan
mereka. Selain karena sistem yang memang cenderung mendiskriminasi,
lemahnya posisi perempuan juga disebabkan kurang adanya kemampuan dan
kemauan untuk setara. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya peran dan
partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan
baik dalam kepengurusan partai politik maupun dalam keterwakilan di lembaga
legislatif. Hal ini seakan diperkuat karena sempitnya akses kaum perempuan
dalam memasuki bidang politik.
6
Apa yang diterapkan pemerintah terhadap sistem zipper di atas memang
sangat jelas dalam rangka menegakkan keadilan terhadap hak-hak perempuan
yang selama ini dikebiri dari area politik praktis, namun dalam perkembangannya,
Sebuah titik terang terhadap isu keterwakilan perempuan ini muncul
kembali dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 2008 yang mengkombinasikan
penerapan sistem kuota, Zipper system dan aturan nomor urut. Melalui sistem
kuota yang diterapkan, maka telah terjamin setidak-tidaknya 30% calon legislaif
perempuan diletakkan di antara tiga orang caleg (di dalam nomor urut) menjadi
aksi yang strategis mencegah caleg perempuan diletakkan pada nomor urut besar.
Sesuai dengan aturan nomor urut, maka kesempatan menjadi anggota legislatif
akan lebih besar lagi bagi caleg dengan nomor urut kecil, seperti halnya
dibuktikan oleh hasil pemilu di tahun 2004.
5
Nunuk Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan
Keluarga, Magelang : Indonesiatera, 2005, hal. XXIII
6
kesempatan yang diperoleh caleg perempuan melalui kombinasi affirmative action
di Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 menjadi kabur, ketika banyak
partai politik yang memutuskan untuk beralih menerapkan aturan suara terbanyak
di dalam kebijakan internal partai. Situasi semakin diperburuk lagi, ketika aturan
suara terbanyak ini kemudian disahkan pemberlakuaannya oleh Mahkamah
Konstitusi melalui keputusan Judisial Review atas UU No. 10 Tahun 2008 Pasal
214, pada 23 Desember 2008.7
Penerapan suara terbanyak tentunya tidak sejalan dengan upaya
affirmative action yang hanya sesuai apabila digunakan aturan nomor urut oleh
MK. Padahal, jika kita merujuk kepada negara-negara yang memiliki keterwakilan
perempuan yang baik, maka sistem zipper dan kuota terbukti efektif dan berhasil
meningkatkan angka representasi perempuan. Kebijakan affirmative action adalah
tindakan khusus yang bersifat sementara, dimana jika keadilan dan kesetaraan itu
telah tercapai maka kebijakan ini bisa dicabut. Lebih jauh affirmative action
bukanlah kuota dalam artian memberikan jatah kursi secara gratis di parlemen.8
Selain gagalnya sistem zipper tersebut, aturan suara terbanyak juga akan
mempersulit caleg perempuan untuk masuk ke dalam parlemen. Suara terbanyak
mengharuskan para caleg perempuan untuk terjun dan lebih dekat dengan para
konstituennya secara langsung. Aktivitas caleg untuk terjun kepada masyarakat
pemilihnya tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dengan status dan kondisi
ekonomi yang terbatas dimiliki oleh perempuan, maka tentunya akan sulit bagi
perempuan untuk terjun langsung kepada konstituen. Di samping itu, pendidikan
politik terhadap perempuan yang lebih terbatas dibanding laki-laki, tentunya
menyulitkan upaya politik caleg perempuan untuk berkampanye di dalam pemilu.
7
Dapat dilihat : http ://www.wri.or.id, “Penelitian Politik Perempuan”, Diakses 17 Juli 2009 8
Hambatan lain juga muncul dari masyarakat Indonesia yang nilai
patriarkinya masih kuat akan sulit menerima perempuan sebagai bagian di dalam
dunia politik, sehingga tentunya akan sulit untuk menjaring kepercayaan
masyarakat terhadap caleg perempuan. Situasi-situasi tersebut tentunya
menjadikan perempuan bekerja jauh lebih keras dibandingkan laki-laki, jika
didalam pemilu diberlakukan aturan suara terbanyak.
Akan tetapi sebagai bangsa yang menghargai demokratisasi yang berjalan,
keputusan MK harus dimaknai sebagai sebuah konsekuensi yang logis. Hasil
keputusan MK sebenarnya jika dilihat secara positif sebenarnya dapat disiasati
dengan beberapa strategi sehingga keputusan MK tidak mengorbankan
kepentingan perempuan. Pertama, perlu diadakan pembekalan secara intensif
kepada caleg-caleg perempuan agar mereka siap bertarung dalam pemilu,
diantaranya dalam pelatihan (Trainning), seminar, diskusi kelompok (groups
discussion) yang muaranya adalah pecerahan politik terhadap caleg-caleg
perempuan.
Kedua, seluruh caleg perempuan harus didorong untuk mempunyai
optimisme yang tinggi untuk mengetahui bahwa mereka bisa bertarung dengan
caleg-caleg lain, terutama caleg-caleg laki-laki. Sebaiknya pendapat yang
mengatakan bahwa kesempatan caleg perempuan akan semakin terhimpit akibat
dari keputusan MK dapat dijadikan sebagai cambuk untuk membangkitkan gelora
perjuangan perempuan untuk meraih kursi parlemen.
Pemilihan calon anggota legislatif secara langsung pada saat ini dapat
dikatakan sebagai suatu kemenangan demokrasi masyarakat terhadap demokrasi
perwakilan. Karena rakyat dapat memilih wakilnya secara langsung. Melalui
rakyat tidak lagi harus seperti membeli kucing dalam karung, karena selama ini
rakyat hanya memilih partai politiknya saja, kemudian partai yang akan
menentukan siapa calon yang akan duduk sebagai anggota legislatif.
Dalam sistem pemilu legislatif saat ini yang semakin terbuka dan
demokratis telah menyebabkan munculnya persaingan yang semakin kompleks
dan rumit antara para calon anggota legislatif dalam meraup suara
sebanyak-banyaknya, terutama antara caleg perempuan dan laki-laki. Biasanya caleg
perempuan dipandang sebelah mata dan lemah, sedangkan caleg laki-laki
dianggap lebih kompeten baik secara figur maupun intelektualitas. Dalam hal
inilah institusi partai dan sang kandidat atau calon yang bersangkutan harus
memikirkan strategi pemenangan untuk memenangkan dirinya dan kandidat yang
diusungnya. Perempuan sebagai bagian yang diupayakan keterwakilannya
diharapkan juga mampu bersaing secara sehat dan tangguh dalam pemilihan
umum legislatif ini. Kaum perempuan sebagai bagian dari masyarakat politik
seharusnya mampu menempatkan dirinya sejajar dengan kaum laki-laki.
Keberadaan perempuan dalam partai politik maupun lembaga legislatif
seharusnya dapat ditunjukkan dengan kompetensi dan kompetisi yang cerdas dan
intelektual, sehingga keberadaan perempuan tidak dipandang sebelah mata oleh
kaum laki-laki, terutama juga oleh kaumnya.
Strategi pemenangan dilakukan dalam upaya meningkatkan jumlah massa
pemilihnya. Dalam hal ini harus ada lebih banyak orang yang memiliki pandangan
dan pemikiran yang positif terhadap kandidat dan partai yang mengusungnya,
sehingga nantinya kampanye pemenangan dapat dilaksanakan oleh partai dan
kandidat dapat berjalan baik dan berhasil.9
9
Dalam kajian ini penulis memfokuskan penelitian pada Calon Legislatif
(Caleg) perempuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan.
Penulis merasa tertarik melihat tingkat partisipasi politik perempuan dalam pemilu
legislatif tahun ini. Hal ini terlihat dari daftar nama dan nomor urut calon yang
cukup banyak diisi oleh caleg perempuan yaitu hampir semua partai politik
menempatkan kuota perempuan sebesar 30% dalam daftar nama dan nomor urut
calon tetap.
Paradigma baru yang ditimbulkan oleh penetapan keterwakilan perempuan
sebesar 30% tentunya telah membawa pengaruh positif terhadap kesetaraan dan
keadilan gender. Bahwa partai politik harus membuka akses yang seluas-luasnya
bagi siapa saja tak terkecuali perempuan untuk dapat masuk dan menjadi bagian
dalam perkembangan kehidupan politik yang dinamis.
Dengan demikian, mencermati dan memperhatikan pada hal-hal diatas
maka penulis tertarik dan berniat meneliti tentang strategi pemenangan anggota
legislatif perempuan untuk DPRD Kota Medan dalam pemilu legislatif 2009.
Untuk itulah melalui penelitian ini, penulis ingin mengetahui serta mengeksplorasi
tentang apa saja yang menjadi strategi pemenangan caleg perempuan dalam
B. Perumusan Masalah
Pemilu 2009 memberikan angin segar bagi kaum perempuan, upaya
pemenuhan kuota 30% bagi setiap partai politik untuk mendudukkan calonnya
dari perempuan menjadi suatu keharusan. Dorongan inilah yang kemudian
membuat banyak perempuan kini banyak mewarnai setiap daftar nama dan nomor
urut caleg dari keseluruhan partai peserta pemilu. Walaupun ada yang menduduki
nomor urut satu ataupun nomor urut terakir, namun keberadaan keputusan MK,
membuat setiap perempuan memiliki peluang yang sama untuk meraih suara
pemilih.
Keraguan terhadap kemampuan perempuan untuk berkompetisi baik
dengan sesama perempuan maupun dengan laki-laki, termasuk dalam berpolitik
tidak dapat dipungkiri masih dalam taraf yang mengkhawatirkan. Hal inilah
kemudian menjadi persoalan tersendiri. Bahwa sebagian besar keterlibatan
perempuan dalam pencalonan sebagai caleg bukan lahir dari dorongan murni dari
perempuan, tapi banyak hanya karena upaya partai dalam memenuhi kuota 30%
atau dengan kata lain bahwa keterlibatan perempuan hanya sebagai pelengkap
penderita saja. Akhirnya banyak perempuan yang tidak paham untuk melakukan
strategi politik dalam upaya mengumpulkan suara. Kondisi ini salah satunya juga
dikarenakan kebanyakan partai tidak memiliki sistem kader untuk memantapkan
pendidikan politik perempuan.
Akibat terbitnya keputusan MK itu, maka sistem kuota bukan menjadi
jaminan dipilihnya calon legislatif perempuan. Berbagai upaya yang dilakukan
oleh calon legislatif perempuan akan berlaku sama dengan calon legislatif lainnya.
Sehingga melihat strategi kampanye yang ditetapkan bagi calon legislatif
penting. Oleh karena itu pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
“Bagaimana Strategi Pemenangan Calon Anggota Legislatif Perempuan
Terpilih DPRD Kota Medan dalam Pemilu Legislatif 2009?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui teknik dan strategi kampanye yang dilakukan Caleg
perempuan dalam upaya pemenangannya dalam Pemilu legislatif DPRD
Kota Medan 2009.
2) Untuk mengetahui peran dan kedudukan perempuan dalam
keterlibatannya pada partai politik.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1) Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi
baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik pada para mahasiswa
pada umumnya, dan bagi mahasiswa ilmu politik khususnya.
2) Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat mejelaskan secara
realitas pelaksanaan strategi kampanye yang dilakukan oleh caleg
E. Landasan Teori
E.1 Partriarki
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial
di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaaan atas
kaum perempuan.10 Engels berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan
dengan mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada
pengaturan jenis kelamin perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun
pendapat itu dikritik karena mereduksi subordinasi perempuan pada faktor-faktor
ekonomis dan ketidakmampuannya menjelaskan ketimpangan gender dalam
masyarakat pra dan pasca-kapitalis.11
Patriarki menurut Kamla Bhasin adalah sistem yang selama ini meletakan
kaum perempuan terdominasi dan tersubordinasi (patriarki). Hubungan antara
perempuan dan laki-laki bersifat Hierarkis : yakni laki-laki berada pada
kedudukan dominan sedangkan perempuan sub-ordinat, (laki-laki menentukan,
perempuan ditentukan)
Dalam hal ini, perdebatan feminis pun
berkisar di seputar soal kemungkinan mengembangkan teori umum tentang
patriarki.
12
Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah ciri khas masalah patriarki
yang selalu ada dimana-mana dan perubahannya sepanjang sejarah maupun
perwujudannya yang berbeda-beda secara kultural. Ideologi ini dianggap
merupakan salah satu dari basis penindasan perempuan karena,menciptakan watak
feminim dan maskulin yang melestarikan patriarki, memperkuat pembatas antara
privat dan publik, aerta membatasi gerak dan perkembangan perempuan serta
memproduksi dominasi kaum laki-laki.
10
Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal.18 11
Ibid 12
E.2 Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah
kelahirannya dengan kelahiran pada
masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
kota di selatan
menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit
putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa
yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan
pertama kali oleh aktivis
Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak
publikasi13
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada
masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia
menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan
dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin)
khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang
lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi
masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum
laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai
14
Secara umum yang menjadi momentum perjuangan feminisme yaitu
mengenai gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik,
peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan
pembebasan perempuan dari:
perempuan, dan
Feminisme sendiri lahir akibat dari proses perdebatan mengenai kesetaraan
dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perdebatan yang telah membentuk
teorisasi feminisme secara lebih jelas dan meyakinkan selama era 1980an dan
1990an telah menjadi perdebatan mengenai persamaan dan perbedaan. Aliran ini
kemudian berkembang dengan munculnya pembahasan tentang ketidakadilan
gender yang dialami perempuan yang muncul pada akhir abad ke-20, yaitu pada
gelombang II gerakan feminisme di barat (Eropa dan Amerika) yang kemudian
disebut ke dalam feminisme Anglo Amerika.15
Umumnya, pengertian feminisme diartikan sebagai suatu kesadaran akan
penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat yang terjadi
dalam manifestasi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya., serta tindakan
sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.16
14 Ibid. 15
Judith Squires, Gender in Political Theory, Published in the USA by Bleckwell Publisher inc. hal. 115 (terjemahan)
16
Nunuk Muniarti, Op. Cit., hal. 128
Artian
feminisme yang demikian ini biasanya tidak dapat dipisahkan dari pengertian
gender, yaitu kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa para perempuan
Beberapa pemikir telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini
sebagai feminisme gelombang-gelombang, gelombang pertama, yang ditandai
dengan adanya persamaan, gelombang kedua ditandai dengan komitmen terhadap
perbedaan, dan gelombang ketiga ini didasarkan oleh komitmen terhadap
keragaman.17
Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah
diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena
ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (Gender Difference) dan
ketidakadilan gender (gender inequalities).
Dalam persfektif feminisme, kata seks dan gender seringkali dari sisi
bahasa dikenal sebagai “Jenis kelamin” dan dari sisi konseptual sering dikenal
sebagai yang bersifat alami, kodrati dan tidak berubah karena terbawa sejak lahir.
Kata seks dan gender dipandang sebagai sesuatu yang bersifat melekat pada
perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang
sejarah. Karena merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural sebagai sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan maka seharusnya keadaan ini dapat
menerima perubahan.
18
17
Judith Squires, Op.Cit., hal. 116
Akan tetapi realitas historis
melahirkan ketidakadilan gender, terlebih bagi perempuan. Dari realitas historis
semacam ini perbedaan gender terbentuk bahkan tersosialisasi, terbakukan dan
terkonstruksi secara sosial kultural melalui ajaran agama bahkan melalui negara.
Dikarenakan perbedaan analisisi tentang terjadinya ketidakadilan yang dimaksud
maka dalam feminisme tampak adanya berbagai aliran, diantaranya, Feminisme
Dalam teorinya feminisme berasumsi negatif tentang ideologi partriarki,
karena dalam ideologi ini perempuan ditempatkan pada posisi subordinat, dan
demi tercapainya sistem yang lebih egaliter, maka pendekatan terhadap sistem
patriarki ini mewarnai gerakan feminisme, yaitu ingin meruntuhkan struktur
patriarki. Subordinasi perempuan ini berakar dari serangkaian hambatan
berdasarkan adat kebiasaan dan hukum, yang membatasi masuk serta keberhasilan
perempuan pada apa yang disebut dunia publik. Karena masyarakat mempunyai
keyakinan yang salah bahwa perempuan secara alamiah tidak secerdas laki-laki.
Sebagai akibat dari “politik meminggirkan” ini, potensi yang sesungguhnya dari
perempuan tidak terpenuhi.19
Gagasan feminisme liberal telah muncul sejak akhir abad-19 dan awal
abad-20, namun baru pada tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol, dan
akhirnya mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia, khususnya
dunia ketiga saat ini. Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia menurut mereka
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam mencapai sistem yang
lebih egaliter tersebut, gerakan feminisme kemudian memiliki dua pola yaitu
pertama, dengan transformasi sosial melalui perubahan eksternal yang
revolusioner dan kedua, transformasi sosial melalui perubahan internal yang
evolusioner.
E.2.1 Feminisme Liberal
19
Rosemarie Putham Tong, Feminist Thougt : Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus
memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang
pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta
kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasikan
kaum perempuan.
Sejak awal bagi feminisme liberal, persoalan perempuan dianggap sebagai
masalah (anomaly) bagi perekonomian modern atau partisipasi politik maupun
pembangunan. Menurut mereka, keterbelakangan kaum perempuan, selain
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri, juga akibat dari sikap irrasional
yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena
identitas gender semata-mata adalah produk sosialisasi yang dapat diubah jika
masyarakat menginginkannya.20 Perempuan harus mempersiapkan diri agar
mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
Naomi Wolf salah satu tokoh alam aliran ini , menyatakan bahwa
"feminisme kekuatan" merupakan solusi atas segala permasalahan perempuan.
Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan,
dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini
perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal
mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas.
Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki,
sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya
terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender.
Salah satu pengaruh feminisme liberal ini terekspresi dalam teori
modernisasi dan program global yang dikenal senagai Women Development.21
Orang-orang yang melakukan pendekatan melalaui teori gender dan politik
dari perspektif persamaan dan kesetaraan sangat menyakini bahwa gender akan
menjadi tidak relevan secara politik, atau sama sekali tidak berhubungan.
Kenyataan bahwa laki-lak dan perempuan umumnya dipahami berbeda adalah
alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam
lingkungan politik.
Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan dapat
dilihat melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah
kontribusi dari pengalaman feminisme liberal.
22
Dalam pandangan feminisme liberal kesetaraan seharusnya tidak dilihat
dari kondisi biologi (Sex), karena hal ini sama sekali tidak mempengaruhi sifat
yang dibawanya (Gender). Bahwasannya gender adalah produk kebudayaan dan
bukan merupakan kodrat yang secara alami dibawa manusia sejak dilahirkan.
Identitas gender diyakini hanya sebagai produk sosialisasi yang dapat di ubah jika
masyarakat mengiginkannya. Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat
telah melanggar nilai tentang hak-hak kesetaraan terhadap wanita, terutama
21 Ibid. 22
dengan cara mendefinisikan wanita sebagai sebuah kelompok ketimbang sebagai
individu-individu.23
Mereka dalam mendefenisikan masalah kaum perempuan, tidak melihat
struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Asumsi dasar feminisme liberal
berakar bahwa pandangan kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) berakar
pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja
feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada
kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk
didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan.
Mazhab ini mengusulkan agar wanita memiliki hak yang sama dengan
laki-laki. Para tokoh pendukung feminisme liberal sangat banyak, antara lain
diwakili oleh John Stuart Mill, Harriet Taylor, Josephine St. Pierre Ruffin, Mary
Church Terrel dan Fannie barrier Williams. Gerakan utama dari feminisme liberal
tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan bertitik
tolak memasukan wanita ke dalam struktur yang ada berdasarkan kepada prinsip
atas kesetaraan dengan laki-laki.
Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara wanita dan laki-laki
melalui penguatan perwakilan wanita di ruang-ruang publik. Para feminis liberal
aktif memonitor pemilihan umum dan mendukung laki-laki yang
memperjuangkan kepentingan wanita. Berbeda dengan para pendahulunya,
feminis liberal saat ini cenderung lebih sejalan dengan model liberalisme
kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara
Dalam teori literatur feminisme perspektif keadilan adalah sebuah
artikulasi tertentu tentang objektifisme moral. Dimana objektifisme kognotif
berkeyakinan bahwa ada beberapa kerangka ahistoris, permanent, dimana kita
pada akhirnya dapat tertarik dalam penentuan sifat kebenaran. Objektifisme moral
menggunakan keyakinan ini terhadap pemikiran moral. Salah satu tokoh dari
pemikiran ini adalah Immanuel Kant. Dia dengan jelas membedakan kerangka
ahistoris, universal untuk mendasarkan kalim-klaim moral. Dia juga menolak
semua usaha yang mendasarkan moralitas kepada pengalaman bekerja untuk
membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal, objektif, untuk semua
sifat rasional yang ada.24
Pemikiran feminisme liberal muncul sebagai kritik terhadap teori politik
liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai
moral serta kebebasan individu. Namun pada saat yang bersamaan dianggap
mendiskriminasikan kaum perempuan. Dalam pandangan feminisme liberal
keadilan maupun kesetaraan tercipta bukan atas dasar campur tangan negara di
dalamnya. Campur tangan negara tidak boleh ada dan mendominasi segala bentuk
pergerakan kaum feminisme. Hal ini karena, feminisme liberal menganggap
bahwa keadilan bagi perempuan adalah keadilan yang individual atau keadilan
diri sendiri. Sehingga tidak boleh ada pengaturan negara terhadap upaya
perjuangan keadilan maupun kesetaraan perempuan. 25
24
Ibid., hal. 141-142 25
E.2.2 Feminisme Radikal
Feminisme Radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana
aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, tujuan utamanya
adalah melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman
penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem
masyarakat yang sekarang ada.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek
utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik.26 “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang
mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang
dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
Feminis radikal juga dikembangkan dari gerakan-gerakan kiri baru (New
Left) yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan karenanya
transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan yang
paling baik. Mazhab ini secara fundamental menolak agenda feminisme liberal
mengenai kesamaan hak wanita dan menolak strategi kaum liberal yang bersifat
Berseberangan dengan feminis liberal yang menekankan kesamaan antara
wanita dan laki-laki, feminis radikal menekankan pada perbedaan antara wanita
dan laki-laki. Misalnya, wanita dan laki-laki mengkonseptualisasikan kekuasaan
secara berbeda. Bila laki-laki berusaha untuk mendominasi dan mengontrol orang
lain, maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan.
Dalam melakukan analisis mengenai penyebab penindasan terhadap kaum
perempuan oleh laki-laki, para pemikir feminisme radikal menggangapnya
berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya.
Dengan demikian proses ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan secara biologis maupun secara politis disebabkan oleh keberadaan
kaum laki-laki. Dari situ kemudian aliran feminisme radikal menggangap bahwa
penguasaan fisik kaum perempuan oleh laki-laki adalah bentuk penindasan. Bagi
mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem
hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuatan superior dan privilege
ekonomi dan politik.27
27
DR. Masour Fakih, Op. Cit., hal. 884-85
Bagi gerakan feminisme radikal, tujuan utama perjuangan adalah revolusi
menuju kesetaraan dan keadilan akan terjadi ketika perempuan telah mengambil
aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri
terhadap kaum laki-laki. Dengan kata lain, bagi gerakan feminisme radikal,
revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bisa dilakukan dalam bentuk
yang sangat personal. Karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
pemahaman dan analisis mereka bahwa personal is Political memberi peluang
Dalam mewujudkan perjuangannya terhadap keadilan bagi keberadaan
perempuan, feminisme radikal memperjuangkan pembebasan perempuan dari
pembagian kerja yang didasarkan kepada sex dan ideologi patriarki. Dalam
feminisme radikal berlaku slogan ‘The personal is political’, Maknanya bahwa
pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan
kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal
yang harus diperjuangkan keadilannya. Karena pada hakekatnya hal ini berasal
dari isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita
dan laki-laki.
Untuk itu dalam mewujudkan keadilan (Justice) ini diperlukan peran dan
campur tangan negara dalam mengatur dan mejamin terwujudnya keadilan bagi
peluang partisipasi politik perempuan dalam pemerintahan dan masyarakat. Hal
ini di sadari karena tanpa pengaturan dari negara maka akan sulit dalam mencapai
keadilan yang setara antara perempuan dan laki-laki.
E.3. Marketing Politik
E.3.1 Redefenisi dan Filosofi Ilmu Marketing
Marketing sebagai suatu cabang ilmu merupakan konstruksi sosial.28
28
Firmanzah, Marketing Politik “Antara Pemahaman danRealtas”, Jakarta : Yayasan Obor
Banyak sekali institusi (misalnya assosiasi marketing, klub marketing, sekolah
marketing) dan peneliti yang secara aktif mengembangkan marketing. Hampir
dipastikan bahwa setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari aktivitas marketing.
Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan, ilmu marketing
Berangkat dari sini, Bagozzi (1974-1975) melihat bahwa marketing adalah
proses yang memungkinkan adanya pertukaran (exchange) antara dua pihak atau
lebih. Artinya, aktivitas marketing akan selalu ditemui dalam proses pertukaran.
Dalam pertukaran terdapat proses hubungan (relation) yang memungkinkan
interaksi, dimana dalam prosesnya masing-masing pihak ingin memaksimalkan
dan menjamin bahwa kepentingan sendiri akan terpenuhi. Dalam proses interaksi
juga akan terjadi tukar menukar. Dalam proses ini satu pihak bersedia
memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Proses tukar-menukar
ini melibatkan negosiasi dan tawar-menawar yang merupakan mekanisme untuk
mengusahakan maksimalisasi kepentingan masing-masing pihak. Marketing
adalah hubungan dan pertukaran.29
Selain itu, keberadaan marketing sebagai suatu konsep menjadi penting
ketika adanya persaingan. Dimana terdapat dua pihak atau lebih yang
berkompetisi untuk memperebutkan ’prestasi’ tertentu. Ketika persaingan menjadi
intens, maka pada saat itu juga semakin tinggi kebutuhan akan marketing. Ketika
hanya ada satu pemain di suatu pasar, biasanya pemain tersebut tidak
membutuhkan konsep dan pendekatan marketing untuk memasarkan produk dan
jasanya. Karena konsumen berada dalam situasi ‘tidak memiliki pilihan lain’.
Suka atau tidak suka dan puas atau tidak puas tetap saja konsumen akan mencari
dan membeli produk jasa yang ditawarkan. Namun ketika muncul pesaing-pesaing
baru dan kompetisi menjadi lebih intens, maka institusi tersebut akan semakin
membutuhkan marketing sebagai alat memenangkan persaingan.30
29
Ibid, hal. 137 30
E.3.2 Marketing Politik
Seiring dengan gelombang demokrasi di seluruh dunia, konsekuensi yang
muncul adalah semakin ditekannya aspek transparansi dan kebebasan masyarakat
untuk terikat dan mengikatkan diri pada suatu partai politik atau kontestan
individu tertentu. Transparansi berarti masyarakat semakin sadar bahwa aktivitas
politik semakin perlu diatur secara transparan, untuk menjamin bahwa
masing-masing pihak memiliki kesempatan yang sama dalam upaya memenangkan
pemilihan umum. Praktik-praktik kolusif dan diskriminasi terhadap suatu partai
politik atau kontestan individu tertentu menjadi musuh bersama yang harus
dihilangkan. Hal ini menyangkut hak asasi manusia. Konsekuensi logis dalam hal
ini adalah bahwa persaingan yang fair semakin dituntut dilaksanakan oleh partai
politik dan kontestan selama pemilu. Hal–hal ini semakin meningkatkan intensitas
persaingan antara partai politik atau antara kontestan individu untuk
memperebutkan hati masyarakat.
E.3.2.1 Perdebatan Marketing politik
Marketing politik sebagai suatu domain baru tidak terlepas dari polemik
yang menyertainya. Marketing politik merupakan penerapan ilmu marketing
dalam kehidupan politik. Penggabungan dua hal yang sangat berbeda ini tentunya
masih meninggalkan banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Permasalahan yang
ada menyangkut cara dan metode yang dapat digunakan, etika dan moralitas,
hingga konsekuensi dibalik penerapan marketing politik menjadi lebih
dikhawatirkan oleh pihak-pihak yang tidak setuju terhadap penerapan ilmu
marketing politik.31
Tidak ubahnya dengan domain aktivitas sosial lain, dunia politik telah
menjadi lebih terbuka dan transparan. Dunia politik pun tidak kebal terhadap
persaingan. Bahkan bidang ini justru sangat kental diwarnai dengan persaingan.
Persaingan terjadi untuk memperebutkan hati konstituen dan membuat mereka
untuk memilih kandidat (partai politik atau kontestan individu) masing-masing
selama periode pemilihan umum. Persaingan tidak hanya terjadi diantara
kontestan dalam memperebutkan konsumen mereka, melainkan juga dalam
lobi-lobi politik di parlemen. Persaingan ini menuntut masing-masing konsumen untuk
memikirkan cara dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan
meyakinkan konstituen bahwa kandidat atau partai politik merekalah yang paling
layak dipilih. Dalam hal ini marketing lebih dilihat secara filosofis dan
relasional.
E.3.2.2 Peran Marketing dalam dunia politik
32
Tujuan marketing dalam politik adalah membantu partai politik untuk
lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau yang menjadi target,
kemudian mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan
aspirasi mereka, dan mampu berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat.
Marketing tidak bertujuan untuk masuk ke wilayah politik, dalam arti menjadi
cara pendistribusian kekuasaan atau untuk menentukan keputusan politik. Bagi
E.3.3 Konsep Marketing Dalam Domain Politik
31
Ibid, hal. 148 32
marketing, semua hal tersebut sudah diputuskan (given), dan yang menjadi
masalah bagi marketing dalam politik adalah mengkomunikasikannya kepada
masyarakat. Di luar masalah itu, marketing niscahya dapat berkontribusi di dalam
politik, terutama teknik marketing untuk pengumpulan informasi tentang semua
hal yang terkait dengan isu dan masalah politik. Melalui metode dan riset pasar,
misalnya, dunia politik dapat melakukan proses pencarian, pengumpulan, analisis
data, dan informasi yang didapat dari masyarakat luas.
Marketing telah menawarkan persfektif alternatif yang dapat digunakan
oleh politikus untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat luas. Terlebih
dengan semakin meningkatnya kompetisi dan persaingan di antara partai-partai
politik untuk memperebutkan hati dan rasionalitas pemilih. Selain itu, adanya
juga peningkatan (volatility) perilaku pemilih. Hal ini membuat keberpihakan
pemilih terhadap suatu partai menjadi lebih sulit terduga.partai politik yang bisa
memenangkan pemilu adalah partai yang menurut persepsi pemilih, relative
menawarkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik dibandingkan dengan partai
politik lainnya. Untuk bisa berbeda dn lebih baik, dunia politik sebagai praktik
sosial harus membuka diri terhadap pendekatan-pendekatan baru, karena dinamika
dan interaksi sosial memang kompleks. Marketing diyakini dapat menjembatani
dua pihak yang saling berinteraksi, yaitu partai politik terhadap masyarakat. Fokus
dalam hal ini adalah sikap partai politik terhadap masyarakat, sebab partai politik
adalah entitas sosial yang terorganisasi dan memiliki perangkat organisasi untuk
E.3.3.1 Orientasi pasar
Dalam iklim persaingan, entitas yang melakukan persaingan harus
menghadapi kenyataan bahwa mereka bersaing untuk memperebutkan konsumen.
Untuk dapat memenangkan persaingan dalam dunia politik, partai harus dapat
memuaskan kebutuhan masyarakat luas. Kebutuhan dalam hal ini yaitu kebutuhan
politik seperti : program kerja, ideologi, harapan, dan figur pemimpin yang bisa
memberikan rasa pasti untuk menghadapi masa depan. Untuk itu produk politik
harus berorientasi pasar.
Diperlukan pergeseran paradigma dalam tubuh partai politk, supaya
produk partai politik yang ditawarkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Kesesuaian ini hanya dapat dicapai apabila partai politik berusaha memahami apa
yang sebenarnya dirasakan dan dihadapi masyarakat. Selain itu, partai politik
harus mampu menawarkan produk politik yang memiliki nilai (value) lebih atau
setidaknya berbeda dengan partai politik lainnya.
Dalam menyusun program kerja, partai politik harus menganalisis dan
mengevaluasi pasar. Karena sulit bagi partai politik bila ingin mengembangkan
produk politik semata-mata hanya berdasarkan data dan informasi internal partai.
Partai politik harus berorientasi pasar, artinya apa yang terjadi di lingkungan
eksternal harus menjadi pijakan utama untuk mengembangkan produk politik
mereka. Para politikus dituntut untuk semakin peka terhadap apa saja yang
berkembang dalam masyarakat. Tentunya orientasi pasar harus dibungkus dengan
kerangka ideologi partai dan memiliki keterkaitan dengan program kerja yang
mereka sudah lakukan, agar tercipta kesinambungan antara apa yang ditawarkan
E.3.3.2 Orientasi konsumen
Hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh partai politik adalah
kemampuan dalam menilai dan mengevaluasi siapa konsumen mereka. Menurut
Popkin (1994), pemilih akan memilih partai atau kandidat yang paling memiliki
kedekatan ideologi dan kebijakan. Konsumen dalam hal ini adalah masyarakat
yang harus ditampung aspirasinya dan diterjemahkan kedalam bentuk program
kerja atau platform partai. Program partai harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat sebagai konsumen. Dalam hal ini partai politik harus mampu
menangkap aspirasi, keresahan, masalah, keinginan, harapan, impian dan
kekecewaan yang dirasakan masyarakat kemudian diterjemahkan kedalam
program kerja.
Paradigma dalam penyusunan produk politik yang selama ini hanya
memperhatikan internal partai dirasa tidak memadai lagi. Karena produk partai
tidak boleh menyimpang dari kebutuhan masyarakat. Permasalahan ini dianggap
tidak sesuai dengan iklim persaingan. Para politikus diharapkan terjun
kemasyarakat guna memahami dan menyelami permasalahan yang dialami
masyarakat. Hal inilah yang kemudian menggeser istilah political party centered
ke voter centered. Bahwa masyarakat merupakan titik tolak bagi perkembangan
produk politik.
E.3.3.3 Orientasi pesaing
Selain harus berorientasi kepada konsumen, dalam orientasi pasar, partai
politik juga perlu memperhatikan apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan
pesaing. Tidak semua faktor keberhasilan ditentukan oleh internal partai. Faktor
politik untuk memenangkan perolehan suara dalam pemilu. Salah satu faktor
eksternal yang paling mempengaruhi adalah perilaku pesaing. Perilaku dalam hal
ini diartikan sebagai semua ulah partai politik lain yang dapat atau berpotensi
mengurangi keberpihakkan masyarakat dan perolehan suara suatu partai politik
tertentu, diantaranya strategi dan produk politik pesaing.
Dalam orientasi pasar, suatu partai politik harus terus menerus
menganalisis produk yang ditawarkan pesaing. Ketika pesaing mengangkat suatu
isu politik lain, atau sekurang-kurangnya ikut serta dalam diskusi dan debat atas
permasalahan yang telah diangkat. Hal ini dilakukan untuk menghindari dominasi
suatu isu politik oleh suatu partai politik tertentu. Disisi lain, menurut Gatignon
etal. (1989), menunjukkan bahwa pesaing akan bereaksi dalam tiga hal atas apa
yang dilakukan oleh organisasi. Pertama, pesaing akan menyerang balik secara
aktif atas apa yang dilakukan. Kalau suatu organisasi melakukan kampanye
publikasi, pesaing juga harus membalas dengan melakukan hal serupa. Kedua,
pesaing tidak melakukan apa-apa. Hal ini disebabkan oleh, pesaing melihat tidak
perlunya membahas apa yang telah dilakukan oleh suatu pihak. Ketiga, pesaing
menarik diri dari kompetisi ketika mereka melihat dasyatnya mobilisasi dan
kekuatan sumberdaya yang dimiliki partai politik. Sehingga terjadi pilihan untuk
melebur dan ikut dengan partai besar merupakan pilihan terbaik.
Yang bermasalah dalam hal ini adalah ketika pesaing secara aktif melawan
balik strategi yang diterapkan. Keadaan ini akan menyita banyak waktu, pikiran,
energi, dan keuangan untuk mempertahankan efektivitas strategi yang telah
dicanangkan, sebab pesaing tidak akan membiarkan suatu pihak mendominasi
pasar. Akibatnya, suatu partai politik tidak bisa dengan leluasa membentuk opini
E.3.3.4 Riset pasar
Untuk dapat memahami apa yang dibutuhkan masyarakat dan aspirasi apa
yang diperjuangkan, partai politik perlu untuk melakukan riset pasar. Penelitian
yang menyangkut pasar perlu dilakukan agar bisa terus-menerus mengumpulkan
informasi tetang semua hal yang terjadi di luar organisasi partai politik . penelitian
dilakukan dengan mengevaluasi perubahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu
juga, penelitian dilakukan untuk menganalisis apa saja yang dilakukan pesaing
politik. Tujuan utama dari riset pasar adalah mempersiapkan organisasi politik
untuk melakukan langkah-langkah adaptasi terhadap semua perubahan yang
terjadi.
Dalam hal ini perlu dibedakan antara riset pasar dan polling. Polling
adalah suatu bentuk riset tentang intensi, preferensi, opini dan sikap pemilih
terhadap suatu isu politik, kebijaka politik, dan figur pimpinan politik. Sementara
riset pasar dilihat lebih komprehensif dan lebih menggali permasalahan dalam
persfektif dan cakupan dan kompleksitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan polling.
Riset pasar juga diharapkan sebagai aktifitas monitoring melalui pencarian
dan pengumpulan informasi, analisis serta perumusan langkah-langkah strategis.
Perubahan-perubahan yang disikapi, hanyalah perubahan-perubahan eksternal
yang memiliki potensi mengancam perolehan suara partai politik. Melalui proses
riset pasar, suatu partai politik akan dapat mencari informasi dan masukan guna
penyusunan produk politik mereka. Isu dan permasalahan masyarakat harus terus
diikuti. Semakin dinamis masyrakat maka semakin cepat perubahan peta
pemahaman mereka tentang apa yang berkembang dalam masyarakat, pesaing,
dan kebijakan pemerintah.33
Secara umum kampanye adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan
secara terlembaga. Menurut Satropoetra kampanye adalah suatu kegiatan
komunikasi antara komunikator (penyebar pesan) kepada komunikan (penerima
pesan) yang dilakukan secara intensif dalam jangka waktu tertentu secara
berencana dan berkesinambungan.
E.4. Kampanye
E.4.1. Pengertian Kampanye
34
Menurut Gabriel Almond, bahwa salah satu bentuk komunikasi politik
adalah kampanye politik.
Kampanye politik secara universal dapat
didefenisikan sebagai suatu cara yang digunakan para warga dalam demokrasi
untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka. Ciri utama dari
kampanye adalah persuasif, perubahan sikap, dan tingkah laku dari objek
kmunikasi (komunikan) yang ingin dicapai melalui himbaun dan ajakan. Faktor
penting disini adalah membuat komunikan tertarik sehingga mau secara sadar
sukarela menerima dan menuruti keinginan komunikator (sumber pesan).
35
33
Ibid, hal. 168 34
Rosady Ruslan, Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 64
35
Antar Venus, Managemen Kampanye, Bandung : PT. Rosdakarya, 2004, hal. 4
Komunikasi politik menurut Almond beranggapan
bahwa arus komunikasi bisa mengalir dari bawah ke atas yaitu dari masyarakat ke
penguasa politik dan dari atas ke bawah yaitu dari penguasa politik ke masyarakat.
Bagi kampanye politik keefektifan adalah memenangkan pemilihan, sedangkan
yang tersedia secara tepat dengan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan menawarkan program, visi dan misi partai politik.
E.4.2. Strategi Kampanye
Strategi kampanye adalah pendekatan secara keseluruhan yang akan
diterapkan dalam menyampaikan informasi dan komunikasi kepada objek yang
dituju, atau untuk lebih mudahnya dapat disebut sebagai guiding principle atau the
big idea. Hal ini dapat diartikan sebagai pendekatan yang diambil untuk menuju
pada suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai dari posisi saat ini.36
Tujuan kampanye hanya dapat dicapai bila khalayak memahami
pesan-pesan yang ditujukan pada mereka. Ketidakmampuan mengkonstruksi pesan-pesan
sesuai dengan khalayak sasaran yang dihadapi merupakan awal dari kegagalan
sebuah program kampanye. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya sebuah Strategi ini
kemudian dituangkan secara kongkrit dalam beberapa bagian sebagai berikut:
E.4.2.1. Pesan Kampanye
Kampanye selalu bermula dari gagasan. Kampanye pada dasarnya adalah
penyampaian pesan-pesan dari pengirim kepada khalayak. Apapun bentuknya,
pesan-pesan selalu menggunakan simbol, baik verbal maupun nonverbal, yang
diharapkan dapat memancing respon khalayak. Pesan kampanye dirancang secara
sistematis agar dapat memunculkan respon tertentu dalam pikiran khalayak. Agar
respon tersebut itu muncul maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya
kesamaan pengertian tentang simbol-simbol yang digunakan antara pelaku dan
kegiatan kampanye bergantung pada sebaik apa ia mengolah, mendesain dan
mengorganisasikan pesan kampanyenya.
Penyampaian pesan kampanye politik biasanya dituangkan melalui
pemaparan visi dan misi oleh partai atau kandidat yang bersangkutan, kemudian
selanjutnya disampaikan kembali dalam berbagai bentuk mulai dari poster,
spanduk, baliho (bilboard), pidato, diskusi, iklan hingga selebaran.
Pesan kampanye yang efektif adalah pesan yang menginformasikan
dengan segera kejadian penting atau masalah yang sedang terjadi di sekitar
khalayak sasarannya, sehingga mudah diterima dan ditanggapi oleh khalayak.
E.4.2.2. Teknik Kampanye
Teknik kampanye merupakan hal yang mendasar dalam melakukan
kampanye, melalui pemilihan teknik kampanye yang tepat maka akan mencapai
tujuan yang diinginkan. Teknik kampanye sangat bergantung kepada tujuan dan
sasaran yang akan di bidik program kampanye. Semakin kompleks tujuan dan
sasaran, maka teknik yang akan digunakan harus semakin kreatif dan variatif.
Namun demikian, pemilihan teknik bukanlah hal yang sangat rumit, karena
pemilihan teknik sebenarnya hanya didasarkan pada dua fungsi yaitu fungsi
menghubungkan dan fungsi meyakinkan. Fungsi menghubungkan maksudnya
melalui program kampanye dengan sasaran melalui media komunikasi sedangkan
fungsi meyakinkan yaitu melalui kekuatan pesan komunikasi tertentu sehingga
membuat sasaran berfikir, percaya dan bertindak sesuai dengan tujuan program
kampanye.37
37
Edward T. Hall menyatakan bahwa dalam ilmu politik ada empat teknik
kampanye yang umum digunakan yaitu:38
1. Kampanye Dari Pintu Ke Pintu (Door to Door Campaign)
Kampanye Dari Pintu Ke Pintu (Door to Door Campaign) dilakukan dengan
cara kandidat mendatangi langsung para pemilih sambil menanyakan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi baik itu yang menyangkut kebijakan pemerintah
maupun dalam rangka pemberdayaan kelompok-kelompok marginal seperti
buruh, nelayan, kaum miskin kota, yatim piatu dan lain sebagainya.
2. Kampanye Diskusi Kelompok (Group Discussion Campaign)
Pelaksanaan kampanye diskusi kelompok (group discussion campaign)
dilakukan dengan membentuk kelompok, diskusi kecil yang ditujukan untuk
membicarakan masalah yang di hadapi oleh masyarakat.
Pada dasarnya kampanye melalui diskusi kelompok sangat sulit dilakukan
dengan para masyarakat luas karena kebanyakan dari mereka yang belum paham
terhadap hal-hal yang disampaikan oleh para kader atau caleg partai politik
tertentu. Maka dari itu fokus utama dalam diskusi kelompok ini lebih kepada para
tokoh agama, tokoh masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat saja.
3. Kampanye Massa Tidak Langsung (Indirect Massa Campaign)
Kampanye massa tidak langsung (indirect massa campaign) biasanya
dilakukan dalam bentuk pidato di radio, televisi ataupun iklan di media cetak.
Karena seperti hanya iklan, produk partai juga perlu untuk dipromosikan kepada
kampanye massa tidak langsung yaitu berupa media massa, media cetak yang
lebih terjangkau dan lebih efektif dalam menjagkau pemilih.
Kampanye massa tidak langsung biasanya dilakukan dengan cara
memasang alat-alat peraga berupa poster, spanduk, baliho dan pamplet calon yang
di usung partai politik di setiap sudut-sudut jalan. Hal ini diharapkan agar
khalayak dapat mengenal sosok calon anggota legislatif yang akan dipilihnya.
4. Kampanye Massa Langsung (Direct Massa Campaign)
Kampanye massa langsung (direct massa campaign) adalah kampanye
dengan melakukan aktivitas yang dapat menarik perhatian massa secara langsung,
seperti mengadakan pawai, pertunjukan kesenian dan sebagainya. Kampanye
dengan penegrahan massa ini memang di anggap menjadi pilihan utama partai
politik, tetapi tidak untuk kampanye individu, seperti kampanye caleg. Karena
tidak semua caleg yang bersangkutan mampu mengerahkan massa yang banyak
karena keterbatasan dana dan basis massa.
E.4.2.3.Penyusunan Anggaran Kampanye
Uang atau dana operasional adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam
semua kegiatan, termasuk dalam kegiatan kampanye. Uang adalah salah satu
sumber dana kampanye yang penting dan harus dimiliki untuk dimiliki untuk
kelancaran program kampanye. Perencanaan anggaran kampanye merupakan hal
vital yang harus dilakukan agar kampanye berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Selain itu, perencanaan anggaran kampanye juga mempunyai peran
penting dalam proses evaluasi dan pengawasan fungsi manajerial, diantaranya
ada, membandingkan kegiatan kampanye dengan kampanye lain yang memiliki
sumber dana yang sama dan mengukur produktivitas kerja serta pencapain tujuan
kampanye berkaita dengan efektifitas biaya secara keseluruhan. Sebagai catatan,
tidak semua program kampanye mempunyai lembaga yang secara khusus
memberikan biaya kampanye secara keseluruhan.39
Ada beberapa kategori pos-pos pendanaan yang dapat digunakan pada
hampir semua jenis kegiatan kampanye yang secara relatif sudah menjadi standar,
yaitu:40
1. Personil inti (key personel), yang terdiri dari administrator, staff dan
keperluan untuk tenaga baru yang diproyeksikan.
2. Biaya daur ulang (disposible materials) yaitu benda-benda yang secara total
habis digunakan dan tidak bisa digunakan lagi setelah kampanye.
3. Biaya media (media charges), yaitu biaya untuk penggunaan media, baik
media elektronik, seperti radio dan televisi, maupun media cetak seperti
koran dan majalah.
4. Biaya transportasi (transportation costs), yaitu biaya yang digunakan untuk
bepergian selama kegiatan kampanye.
E.4.2.4. Organisasi Politik
Dalam pelaksanaan kampanye politik modern, dibutuhkan dukungan dari
pihak-pihak yang mampu membawa keberhasilan dari kampanye yang dilakukan.
Dalam pelaksanaannya kampanye organisasi akan memiliki struktur yang jelas
personilnya seperti pada struktur organisasi perusahaan. Adapun yang termasuk
ke dalam organisasi politik pendukung kampanye yaitu:
39
1. Manager Kampanye, kesuksesan kampanye biasanya memerlukan seorang
manager kampanye untuk mengkoordinasikan seluruh operasi kampanye
itu. Biasanya seorang pemimpin kampanye yang memiliki visi. Manager
kampanye modern mungkin lebih fokus pada eksekusi strategi ketimbang
terjun ke lapangan.
2. Konsultan Politik, seorang konsultan politik bertugas memberi saran
kampanye secara virtual untuk aktivitas kampanye, dari melakukan riset
untuk menemukan strategi kampanye, riset pemilih, hingga meneliti
pesaing klien mereka.
3. Aktivis, merupakan “prajurit” yang setia pada kandidatnya, pengikut sejati
yang akan menuntun jalanya aktivitas para relawan. Para relawan ikut
bagian seperti melakukan konvoi dalam sebuah kampanye, tapi itu hanya
terjadi pada waktu dulu. Kampanye politik di Indonesia pada saat ini lebih
F. Defenisi Konsep
Defenisi konsep merupakan hal yang penting dalam penelitian yang
dipakai untuk menggambarkan secara abstrak, keadaan kelompok atau individu
yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.41
1. Strategi Kampanye
Dalam penelitian ini penulis menggunakan defenisi konsep sebagai
berikut:
Langkah-langkah yang dilakukan oleh kandidat atau calon anggota legislatif
perempuan terpilih yang meliputi persaingan merebut suara terbanyak,
dalam usaha memenangkan pemilihan umum.
2. Kesetaraan dan Keadilan Perempuan
Merupakan suatu upaya dalam melihat peran dan kedudukan perempuan
dalam partai politik pengusungnya dan bagaimana proses pencalonan caleg
perempuan dalam daftar nama dan nomor urut calon legislatif.
G. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah suatu penjelasan tentang suatu variable yang
di ukur. Defenisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator
pengukuran suatu variable. Dalam penelitian ini maka veriabel yang akan diteliti
adalah bagaimana nilai kesetaran serta keadilan terhadap caleg perempuan dan
bagaimana strategi kampanye dari para Caleg terpilih DPRD Kota Medan dalam
pemilihan Umum Calon Anggota Legislatif 2009. Adapun defenisi operasional
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
41
1. Strategi Kampanye
a. Teknik kampanye
Teknik kampanye merupakan hal yang mendasar dalam melakukan
kampanye, melalui pemilihan teknik kampanye yang tepat maka akan mencapai
tujuan yang diinginkan. Teknik kampanye sangat bergantung kepada tujuan dan
sasaran yang akan di bidik program kampanye.
a.1. Kampanye Dari Pintu Ke Pintu (Door to Door Campaign)
a.2. Kampanye Diskusi Kelompok (Group Discussion Campaign)
a.3. Kampanye Massa Tidak Langsung (Indirect Massa Campaign)
a.4. Kampanye Massa Langsung (Direct Massa Campaign)
b. Pesan Kampanye
Kampanye pada dasarnya adalah penyampaian pesan-pesan dari pengirim
kepada khalayak. Penyampaian pesan kampanye politik biasanya dituangkan
melalui pemaparan visi dan misi oleh partai atau kandidat yang bersangkutan,
kemudian selanjutnya disampaikan kembali dalam berbagai bentuk mulai dari
poster, spanduk, baliho (bilboard), pidato, diskusi, iklan hingga selebaran.
c. Anggaran Kampanye
Anggaran kampanye juga mempunyai peran penting dalam proses evaluasi
dan pengawasan fungsi manajerial, diantaranya dalam menganalisis alternatif
yang mungkin dilakukan dengan jumlah dana yang ada, membandingkan kegiatan
kampanye dengan kampanye lain yang memiliki sumber dana yang sama dan
mengukur produktivitas kerja serta pencapain tujuan kampanye berkaita dengan
d. Tim Sukses
Merupakan kelompok yang berperan dalam mendukung dan mengkoordinir
peaksanaan kampanye dan menggalang suara bagi calon yang bersangkutan agar
dipilih oleh para pemilih.
2. Kesetaraan dan Keadilan Perempuan
2.1. Kesetaraan
1. Berada dalam kepengurusan partai politik
2. Memiliki hak suara dalam partisipasi politik
3. Pengembangan karakter diri dan intelektualitas dengan melakukan
peningkatan pendidikan politik.
2.2. Keadilan
1. Memberikan hak suara dalam pemilihan umum
2. Akses yang seluas-luasnya dalam memasuki dunia politik
3. Seimbang keterwakilannya dalam lembaga Legislatif
H. Metode Penelitian
H.1. Jenis Penelitian
Untuk menguraikan bagaimana strategi pemenangan yang dilakukan oleh
caleg perempuan untuk dapat duduk di DPRD Kota Medan. Maka penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan,
meringkaskan berbagai kondisi, situasi, berbagai variable yang timbul dalam
H.2. Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka penulis
melakukan panelitian di pada caleg perempuan terpilih yaitu :
Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Kota Medan.
H.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan,
maka penulis dalam hal ini menggunakan teknik wawancara langsung dengan
narasumber. Adapun beberapa teknik pengumpulan data yaitu data primer dan
data sekunder.43
1. Data Primer
Dalam megumpulkan data dilakukan dengan wawancara terstruktur, yaitu
dengan mengadakan pembicaraan langsung dengan informan yang mengetahui
benar masalah yang diteliti. Informan adalah orang yang diduga mengetahui fakta
dan kejadian atas masalah yang akan diteliti. Informan kunci dalam penelitian ini
adalah Caleg-caleg perempuan terpilih DPRD Kota Medan. Adapun caleg
perempuan terpilih DPRD Kota Medan, sebagai berikut :
1. Dra. Ainal Mardiah (Partai Golkar, dapem V)
2. Dra. Lily MBA, MH (Partai Perjuangan Indonesia Baru, dapem I)
3. Janlie SE,Ak (Partai Perjuangan Indonesia Baru, dapem IV)
4. Dra. Srijati Pohan (Partai Demokrat, dapem I)
5. Damai Yona Nainggolan (Partai Demokrat, dapem II)
6. Hj. Halimatuksakdiyah (Partai Demokrat, dapem IV)
43