• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PERJANJIAN

PENYAMBUNGAN AIR PADA PDAM TIRTANADI

MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

T

T

Y

Y

U

U

D

D

I

I

A

A

S

S

T

T

U

U

T

T

I

I

NIM. 090200462

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PERJANJIAN

PENYAMBUNGAN AIR PADA PDAM TIRTANADI

MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

T

T

Y

Y

U

U

D

D

I

I

A

A

S

S

T

T

U

U

T

T

I

I

NIM. 090200462

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Zulkifli Sembiring, SH, MH

NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat

beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Analisis Hukum Terhadap Perjanjian

Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan

didalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran

yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari

dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan

memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

(4)

Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan

didalam penulisan skripsi ini..

3. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Zulkifli Sembirng., S.H., MH., selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan,

arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Kepada ayahanda dan ibunda, T Tajrul Humaidi, SH dan Effa Rakhmi

Astuti, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga

penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama

menjalani perkuliahan.

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2013

Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8

BABII TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 11

A. Pengertian dan Jenis Perjanjian ... 11

B. Syarat Sah Perjanjian... 25

C. Akibat Perjanjian... 31

BAB III TINJAUAM UMUM TENTANG PDAM TIRTANADI MEDAN ... 34

A. Seajarah PDAM Tirtanadi Medan... ... 34

B. Bidang Usaha PDAM Tirtanadi Medan ... 36

C. Proses Menjadi Pelanggan PDAM Tirtanadi Medan ... 38

(6)

BAB IV AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PENYAMBUNGAN

AIR PADA PDAM TIRTANADI MEDAN ... 42

A. Proses Hukum Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan ... 42

B. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan ... 49

C. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan ... 56

BAB

V.

KESIMPULAN DAN SARAN ...

72

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

(7)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PEMASANGAN AIR PADA PDAM TIRTANADI MEDAN

Bagi masyarakat yang ingin berlangganan air bersih khususnya di Kota Medan harus melakukan kesepakatan dalam perjanjian dengan PDAM Tirtanadi Medan. Perjanjian tersebut merupakan suatu wujud dimana pihak PDAM melakukan sambungan agar pelanggan mendapatkan air bersihnya dan pelanggan berkewajiban membayar debit air yang dipakainya dalam suatu periode tertentu atau selama 1 bulan).

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses hukum perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan, bagaimana Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Penyambungan Air pada PDAM Tirtanadi Medan dan bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian penyambungan air pada PDAM Tirtanadi Medan.

Hasil analisis dan pembahasan penelitian ini menjelaskan proses hukum perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan adalah dimulai adanya permohonan dari calon pelanggan untuk melakukan pemasangan air baru. Permohonan tersebut dilengkapi dengan identitas pemohon. Setelah permohonan disepakati maka dibuat perjanjian pemasangan air antara PDAM Tirtanadi dengan pelanggan. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan, maka pihak yang merasa dirugikan oleh wanprestasi salah satu pihak dapat saja membatalkan perjanjian dan menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak yang wanprestasi. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Dan apabila jalan musyawarah dan mufakat tidak dapat menyelesaikan sengketa maka dilakukan penyelesaian melalui pengadilan domisili perjanjian dibuat. Penelitian ini juga menyarankan agar PDAM Tirtanadi Medan yang ada lebih dapat memainkan dirinya sebagai perusahaan daerah yang berhubungan erat dengan masyarakat, maka diperlukan peraturan pelaksanaan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, supaya ada acuan yang tegas bagi PDAM Tirtanadi Medan untuk menjalankan fungsinya.Agar gerakan PDAM Tirtanadi Medan ini dapat dirasakan masyarakat luas, mka perlu bagi PDAM Tirtanadi Medan perlindungan konsumen untuk lebih mensosialisasi dirinya ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan peluang PDAM Tirtanadi Medan yang cukup besar dalam memberikan pelayanan terhadap konsumen, maka diharapkan PDAM Tirtanadi Medan yang ada lebih mempersiapkan dirinya terutama dalam menghadapi era globalisasi atau perdagangan bebas, sehingga nantinya PDAM Tirtanadi Medan siap pakai dalam segala kondisi untuk memperjuangkan kepentingan konsumen.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa untuk

memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat

dibedakan atas berbagai macam kebutuhan. Jika dilihat dari tingkatannya, maka

kebutuhan konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer,

sekunder, dan tertier. Selain itu kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi

kebutuhan jasmani dan rohani. Dengan adanya bermacam-macam dan berbagai

jenis kebutuhan tersebut maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.1

Air merupakan salah satu dari sekian banyak zat yang ada di alam yang

penting bagi kehidupan manusia. Air adalah kebutuhan dasar (primer) yang

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang menduduki urutan kedua

setelah udara. Kebutuhan masyarakat akan air minum layak dan aman untuk

dikonsumsi semakin meningkat setiap hari sedangkan ketersediaan air layak

minum yang berkualitas dan terjamin dari segi kesehatan semakin sulit

diperoleh. Hal ini juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang

meningkat sangat cepat serta kuantitas dan kualitas air tanah yang mengalami

penurunan yang cukup tajam yang dapat disebabkan adanya kerusakan alam

1

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata

(9)

dan resiko pencemaran yang semakin tinggi.

Sebagai suatu benda yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka

pengusahaan dan pengelolaan air harus dilakukan oleh negara sehingga

fungsi-fungsi sosial dan fungsi-fungsi pemupukan bagi peningkatan pendapatan negara dapat

tercapai secara beriringan. Demikian juga halnya dalam hal pengusahaan dan

pengelolaan air bersih di Kota Medan, maka penyediaan air bersih tersebut

dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Munum (PDAM) Tirtanadi yang

merupakan suatu perusahaan daerah yang berada di bawah dan dikuasai oleh

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Bagi masyarakat yang ingin berlangganan air bersih khususnya di Kota

Medan harus melakukan kesepakatan dalam perjanjian dengan PDAM

Tirtanadi Medan. Perjanjian tersebut merupakan suatu wujud dimana pihak

PDAM melakukan sambungan agar pelanggan mendapatkan air bersihnya dan

pelanggan berkewajiban membayar debit air yang dipakainya dalam suatu

periode tertentu atau selama 1 bulan). Mengingat air merupakan kebutuhan

pokok dalam kehidupan sehari-hari, memiliki peranan penting untuk

mendukung kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tersedianya air yang

memadai akan mendorong perkembangan sektor pembangunan di masyarakat.

Program penyediaan air yang dilakukan oleh PDAM mempunyai tujuan untuk

memberikan pelayanan pada masyarakat untuk mendapatkan air bersih yang

sehat dan memadai untuk keperluan rumah tangga maupun industri sehingga

(10)

PDAM memiliki tujuan yaitu untuk memberikan pelayanan air bersih

bagi seluruh masyarakat secara adil dan merata secara terus menerus dengan

memenuhi norma pelayanan dan syarat kesehatan serta memantapkan

manajemen perusahaan. Mahmudi menuliskan mengenai kepuasan pelanggan

sektor publik kepuasan pelanggan merupakan salah satu bentuk hasil suatu

pelayanan publik, oleh sebab itu, kepuasan pelanggan dapat dikategorikan

sebagai tujuan tingkat tinggi dalam suatu sistim pengukuran kinerja.2

Keluhan-keluhan terhadap pelayanan PDAM, baik dari pelanggan

maupun calon pelanggannya yang menyebabkan pelanggan menjadi kurang

puas, antara lain kontinitas air yang belum memenuhi target atau standar

pelayanan, lokasi atau tempat pembayaran hanya berada di tempat-tempat

tertentu, serta kecepatan penanganan keluhan yang kurang efektif sehingga PDAM telah mengupayakan memberikan pelayanan untuk memenuhi

kebutuhan akan air bersih, namun dalam perjalanannya sering mendapat

keluhan dari masyarakat atau pelanggan. Tentang semakin sulitnya untuk

mendapatkan air bersih tampaknya masih menjadi kendala yang sepenuhnya

belum dapat diatasi oleh pemerintah daerah dalam hal ini PDAM. Di satu pihak

permintaan masyarakat akan air bersih semakin meningkat, namun kualitas

pelayanan yang diberikan belum sebanding dengan pemenuhan permintaan

masyarakat tersebut dan pihak lain pelayanan kepada pelanggan yang sudah

terpasang belum optimal.

2

Mahmudi. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Unit Penerbit dan Percetakan YKPN.

(11)

membutuhkan waktu lebih dari yang diharapkan oleh pelanggan.

Penanganan keluhan memberikan peluang untuk mengubah seorang

pelanggan tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Proses penanganan

keluhan yang efektif mulai identifikasi disertai dengan penentuan sumber yang

menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh.

Hak dan kewajiban bertimbal balik dari kedua belah pihak tidak

sedemikian saja terjadi tetapi terlebih dahulu didahului kesepakatan yang

tertuang dalam suatu perjanjian penyambungan air bersih. Sebagai kajian

perdata tentunya konsep-konsep permbuatan perjanjian penyambungan air

bersih tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang

diatur dalam Buku III KUH Perdata.

Hubungan perjanjian penyambungan air bersih ini tidak dapat

dipisahkan keberadaannya dengan ketentuan-ketentuan umum tentang

perjanjian sebagaimana diatur di dalam Buku III KUH Perdata. Salah satu

bunyi isi Buku III KUH Perdata Pasal 1320 yaitu :

Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Dengan adanya bunyi Pasal 1320 KUH Perdata tersebut maka

kesepakatan dalam perjanjian penyambungan air bersih ini tidak terlepas dari

(12)

Praktek perjanjian penyambungan air DI PDAM dilakukan secara

sepihak, yang artinya perjanjian tersebut dibuat oleh PDAM semata sedangkan

konsumen tinggal memberikan persetujuannya semata. Perjanjian yang

sedemikian pada dasarnya mengakomodir kepentingan salah satu pihak dan

kurang memberikan perlindungan kepada pihak konsumen. Kesepakatan yang

diketahui oleh konsumen hanya semata-mata untuk mendapatkan air bersih

sedangkan pola dan bentuk perjanjian yang disepakatinya tersebut tidak

diketahuinya. Hal ini menjelaskan konsumen kurang mengetahui hak dan

kewajibannya kepada PDAM secara jelas. Konsumen hanya mengetahui untuk

membayar tagihan penyambungan air bersih dari PDAM. Sedangkan hal-hal

yang terbit dari perjanjian tersebut seperti kurang lancarnya pasokan air,

kualitas mutu air tidak diketahui oleh konsumen.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengambil judul

“Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada Pdam Tirtanadi

Medan”.

B. Permasalahan

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena

dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan

penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan. Permasalahan dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses hukum perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi

(13)

2. Bagaimana Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Penyambungan

Air pada PDAM Tirtanadi Medan?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian penyambungan air pada

PDAM Tirtanadi Medan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses hukum perjanjian pemasangan air pada PDAM

Tirtanadi Medan.

2. Untuk mengetahui Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian

Penyambungan Air pada PDAM Tirtanadi Medan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam perjanjian penyambungan

air pada PDAM Tirtanadi Medan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang menjadi penulisan dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang hukum perjanjian

khususnya hukum perdata dalam kaitannya dengan perjanjian

penyambungan air minum pada PDAM Tirtanadi Medan.

b. Bagi yang mengetahui/ membaca maka secara praktis ini juga diharapkan

kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal

mengetahui dari pelaksanaan penyambungan langsung air minum pada

(14)

E. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap

Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan” ini merupakan

hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan

penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Maksud Metode Penulisan Hukum

Adapun maksud penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan

perjanjian penyambungan langsung air minum pada PDAM Tirtanadi

Medan.

2. Jenis dan sifat.

Jenis dan sifat penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi

ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis

empiris, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada

peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain3

3. Metode Pendekatan

ditambah dengan

penelitian lapangan pada PDAM Tirtanadi Medan.

Metode pendekatan penelitian ini diambil berdasarkan data Primer dan data

3

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta,

(15)

sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan dari penelitian

lapangan di PDAM Tirtanadi Medan. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni

seperti KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum

dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan

sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data

dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran

kepustakaan serta hasil penelitian pada PDAM Tirtanadi Medan yang

dilakukan dengan cara wawancara dan penelitian data.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat

(16)

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti

penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan,

Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan , Metode

Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal

yang berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian dan Jenis

Perjanjian, Syarat Sahnya Perjanjian serta Akibat Perjanjian

Bab III. Tinjauan Umum Tentang PDAM Tirtanadi Medan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang

secara umum dibahas mengenai PDAM Tirtanadi Medan, yaitu:

Sejarah PDAM Tirtanadi Medan, Bidang Usaha PDAM Tirtanadi

Medan, Proses Menjadi Pelanggan PDAM Tirtanadi Medan serta

Jumlah Pelanggan PDAM Tirtanadi Medan.

Bab IV. Akibat Hukum Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM

Tirtanadi Medan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: proses

hukum perjanjian penyambungan air pada PDAM Tirtanadi Medan,

Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Penyambungan Air

pada PDAM Tirtanadi Medan serta penyelesaian sengketa dalam

(17)

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian dan Jenis Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan

“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal”.4

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu

saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau

pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu

dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda

overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat

sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan

rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.5

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh

hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha,

dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang,

4

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (R. Subekti, I),Intermasa, Jakarta,1979, hal. 1

5

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (R. Subekti, II) Alumni, Bandung,

(19)

tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha

dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.6

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal

1313 KUH Perdata, Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat

bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH

Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung

kelemahan-kelemahan.7 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya

mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal

janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan

perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh

ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung

tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam

perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.8

Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa

unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang

(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada

pihak lain tentang suatu prestasi”.

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian¸ Alumni, Bandung, 1986, hal. 93.

7

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian

dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 45.

8

(20)

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan

hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada

dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu

hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam

harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan

sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya

seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu

perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang

mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban,

maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena

hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu

kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan

,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat

dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.9

9

Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 20 Mei 2013.

Tindakan/perbuatan

hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan

hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain

untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan

(21)

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan

pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan

prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa

prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama

sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang

berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur.

Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau

debitur.

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak

boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas

kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai

hukum yang memaksa .10

10

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya , Kencana, Jakarta,

2003, hal. 21.

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter

hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya,

semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum

kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta

apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda,

namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan

benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu

(22)

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi

mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati

hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya

atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.11

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi

ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang

pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang

menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de

suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum

pertanahan, Buku II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

11

Universitas Sumatera Utara, “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”,

Diakses tanggal 21

(23)

fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3

Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari

perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang

tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu

keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat

dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada

hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada

Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).12

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak

mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti

kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan

pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur

enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada

Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau

12

(24)

uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang

dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal

ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis

adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian,

perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi

hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya

perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya,

yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak

diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi.

Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan

dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela

melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum

menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi

riel, ganti rugi serta uang paksa.

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku

(25)

tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum

baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak

menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat: “Bahwa dalam hal gangguan oleh

pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun

juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam

hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak

mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni

orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.13

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata

membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu

perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan

perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang

tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang

suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu,

berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan

orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A

dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah

pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di

dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari

diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga

13

Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung, 2011. hal.

(26)

lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya

berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat

langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada

hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda.

Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang

dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut.

Dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak

dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja

tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum

perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap,

yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para

pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri

sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang

mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak

pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi

dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan

untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak

(27)

kesusilaan dan ketertiban umum. 14

a. Perjanjian Timbal Balik

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum

yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau

dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan

satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat

itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam

bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci

dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh

masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau

jenis yang berbeda tentunya.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci

dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh

masyarakat de-ngan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau

jenis yang berbeda tentunya.

Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan

kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa. Dari

contoh ini, dapat diuraikan tentang apa itu jual beli.

14

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Raja

(28)

Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari

satu pihak perbuatan dinamakan penjual, sedangkan di pihak lain dinamakan

pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah

Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu

Verkoop (menjual), sedangkan koopt adalah membeli. 15

b. Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal

balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada

satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya : Perjanjian hibah.

c. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani

Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya

memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal

1740 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Pinjam pakai adalah suatu perjanjian

dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang

lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima

barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan

mengembalikannya kembali.

Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah

suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu

terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada

15

(29)

hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban

pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A

menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan

suatu barang tertentu kepada A .

d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,

maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh

Undang-undang. Misalnya jual-beli; sewa-menyewa; perjanjian pertanggungan;

pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah

merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari.

Contohnya: Perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas

banyaknya.

Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu

azas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih

dikenal Party Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.

e. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik

dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

perjanjian obligatoir.

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan,

(30)

f. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak

yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat

(Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam KUH Perdata ada juga

perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.

Misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai

(Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian

riil yang merupakan peninggalan hukum Romawi”.16

1. Karena pembayaran

Dari uraian diatas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan

sauatu perjanjian real, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan

adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang dititipkan.

Seperti diketahui secara umum bahwa berakhirnya suatu perjanjian itu

menurut Pasal 1381 KUH Perdata ada 10 (sepuluh), yaitu :

2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan.

3. Karena pembaharuan hutang

4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi.

5. Karena percampuran hutang

6. Karena pembebasan hutang.

16

(31)

7. Karena musnahnya barang yang terutang

8. Karena kebatalan atau pembatalan.

9. Karena berlakunya suatu syarat-syarat batal yang diatur dalam bab kesatu

buku ini.

10.Karena lewatnya waktu.17

Bab III dan IV KUH Perdata mengatur berbagai cara tentang hapusnya

suatu perikatan, baik perikatan itu bersumber dari perjanjian maupun dari

undang-undang. Pada Pasal 1381 KUH Perdata mengatur berbagai cara

hapusnya perikatan-perikatan dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk

undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan

cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata itu tidaklah

lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena

meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat

dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUH perdata

menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara

keenam yaitu pembebasan hutang, maka kreditur tidak menerima prestasi,

bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada

empat cara yang terakhir dari Pasal 1381 KUH Perdata maka kreditur tidak

menerima prestasi karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah

17

(32)

gugur.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan

yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai

perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, pembeli mengingini sesuatu barang penjual .18

18

R. Subekti, I, Op.Cit, hal. 17.

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus

dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus

(33)

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila

kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat

mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalakan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.19

Mengenai kekeliruan atau kesilapan Undang-undang tidak memberikan

penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan

kekeliruan. Menurutpendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian

terhadap kekeliruan, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap

tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif,

dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan

mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau

tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan

yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan Undang-undang dapat

dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu

paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara

tidak benar.

19

(34)

perjanjian. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan terhadap unsur pokok dari

barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui, seandainya orang

tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi

sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang

mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna

menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai

pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang

cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu

harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus

mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanui yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.20

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka

pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah

kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu

mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut

adalah orang yang dimaksudkannya.

20

(35)

pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan

oleh pihak lawannya.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal

penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan

atau tipu muslihat tidak cukup jika seseorang itu hanya melakukan kebohongan

mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian

kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada

gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk

sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini

dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita

bedakan :

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara

sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang

menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara

suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya adalah sebagaimana yang

diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan

(36)

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya

adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain

oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau

mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai

kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah

maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela

haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah

kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun

1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH

Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum

dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari

suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong

tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa

perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu

sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa

perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskuensinya adalah segala akibat

dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak

(37)

dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan

membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata

tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri

pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak

dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut

tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah

apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh

perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi

akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan

sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu

perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau

pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat

menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah

adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang

diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan

dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1)

KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi

syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja

(38)

mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan,

maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat

ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.21

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320

KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab

yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu

sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu “Azas-azas

hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang

mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Dalam pandangan saya, causa

dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang

menyebabkan adanya persetujuan itu”.22

C. Akibat Perjanjian

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,

dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang,

adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh

orang.

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan

sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku

21

Universitas Sumatera Utara, Op.Cit.

22

(39)

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah

pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan istilah semua pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa

perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bersama, tetapi juga

meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah semua itu terkandung

suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie.23

1. Isi perjanjian,

Dengan istilah sesecara sah pembentuk undang-undang hendak

menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua

persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Yang

dimaksud dengan secara sah disini ialah bahwa perbuatan perjanjian harus

mengikuti apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Akibat dari apa yang diuraikan pada ayat 1 tadi melahirkan apa yang

disebut pada ayat (2), yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara

sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam ayat 1 dan ayat 3 terdapat

asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak.

Undang-undang mengatur tentang isi perjanjian dalam Pasal 1329

KUH perdata. Dari dua ketentuan ini, disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri

dari elemen-elemen sebagai berikut :

23

(40)

2. Kepatuhan

3. Kebiasaan.

Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah

pihak di dalam perjanjian itu. Kepatuhan adalah ulangan dari kepatuhan yang

terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Kebiasaan adalah yang diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata

berlainan dengan yang terdapat dalam Pasal 1347 KUH Perdata. Kebiasaan

yang tersebut dalam Pasal 1339 KUH Perdata bersifat umum, sedangkan yang

disebut Pasal 1327 KUH perdata ialah kebiasan yang hidup di tengah

masyarakat khusus (bestending gebruikelijk beding), misalnya pedagang.

Yang dimaksud dengan undang-undang di atas adalah undang-undang

pelengkap, undang-undang yang bersifat memaksa tidak dapat dilanggar oleh

para pihak.

Urutan isi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata,

mengenai keputusan peradilan mengalami perubahan sehingga urutan dari

elemen isi perjanjian menjadi sebagai berikut :

1. Isi perjanjian

2. Undang-undang

3. Kebiasaan

4. Kepatuhan

Hal ini didasarkan pada Pasal 3 A.B (Algemene Bepalingen) yang

menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumbe rhukum jika

(41)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PDAM TIRTANADI MEDAN

A. Sejarah PDAM Tirtanadi Medan

PDAM Tirtanadi dibangun oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada

tanggal 8 Desember 1905 yang diberi nama NV Waterleiding Maatschappij

Ajer Beresih. Pembangunan ini dilakukan oleh Hendrik Cornelius Van Den

Honert selaku Direktur Deli Maatschappij, Pieter Kolff selaku Direktur Deli

Steenkolen Maatschappij dan Charles Marie Hernkenrath selaku Direktur Deli

Spoorweg Maatschappij. Kantor Pusat dari perusahaan air bersih ini berada di

Amsterdam Belanda.

Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi didirakan pada tanggal 23

September 1905 dengan nama NV. Water Leiding Maatschappij Ajer Beresih

yang berkantor pusat di Amsterdam negeri Belanda. Dengan dikeluarkannya

Peraturan Daerah Sumatera Utara No.11 tahun1979 perusahaan ini resmi

menggunakan nama yang sekarang (Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi)

disingkat PDAM Tirtanadi yang berlokasi di Jl.Sisingamangaraja No.1 Medan.

Pada Tahun 1985, Peraturan Daerah ini disempurnakan dengan

Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Utara No.25 tahun 1985 tentang

Perusahaan Daerah Air Minum Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Selanjutnya pada tahun 1991 diadakan perubahan pertama Peraturan

Daerah No.25 tahun 1985 dengan No.6 tahun 1991. Dalam Peraturan Daerah

(42)

mengelola Air limbah. Selanjutnya pada tanggal 29 April 1999, Peraturan

Daerah No.6 tahun 1991 diperbaharui lagi dengan Peraturan Daerah Propinsi

Daerah Tingkat I Sumatera Utara No.3 tahun 1999.

Pada saat itu air yang diambil dari sumber utama mata air Rumah

Sumbul di Sibolangit dengan kapasitas 3000 m3/hari. Air tersebut

ditransmisikan ke Reservoir Menara yang memiliki kapasitas 1200 m3 yang

terletak di Jl. Kapitan (sekarang kantor Pusat PDAM Tirtanadi Provinsi

Sumatera Utara). Reservoir ini memiliki ketinggian 42 m dari permukaan tanah.

Reservoir ini dibuat dari besi dengan diameter 14 m. Setelah kemerdekaan

Indonesia, perusahaan ini diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera

Utara melalui Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan Perda Sumatera Utara No 11 tahun 1979, status perusahaan

diubah menjadi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara. Sejak tahun 1991

PDAM Tirtanadi ditunjuk sebagai operator sistem pengelolaan air limbah Kota

Medan.

Dalam rangka pengembangan cakupan pelayanan air minum bagi

masyarakat Sumatera Utara, PDAM Tirtanadi melaksanakan kerjasama operasi

dengan 9 (Sembilan) PDAM di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara, yaitu

Kabupaten Simalungun, Kabupten Deli Serdang, kabupaten Toba Samosir,

Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten

Mandailing Natal, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten

Samosir. Pada Pebruari 2009, PDAM Tirtanadi Cabang Nias, Madina, dan

(43)

pertimbangan bahwa pihak Pemkab telah memiliki kemampuan di dalam

pengelolaan PDAM di daerahnya masing-masing.

Pada tanggal 10 September 2009, telah ditandatangani Peraturan Daerah

Provinsi Sumatera Utara No 10 Tentang Perusahaan Daerah Air Minum

Tirtanadi yang menyatakan bahwa tujuan pokok PDAM Tirtanadi adalah untuk

mengelola dan menyelenggarakan pelayanan air minum yang memenuhi

persyaratan kesehatan dan untuk mengembangkan perekonomian daerah,

meningkatkan pendapatan daerah, serta meningkatkan kualitas lingkungan

dengan memberikan pelayanan pengumpulan dan penyaluran air limbah

melalui sistem perpipaan dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada umumnya.

B. Bidang Usaha PDAM Tirtanadi Medan

Bidang usaha PDAM Tirtanadi Medan adalah penyediaan air bersih

untuk masyarakat Kota Medan dan sekitarnya. Dalam rangka melakukan

bidang usaha tersebut maka PDAM Tirtanadi Medan memiiki visi, misi dan

tujuan.

1. Visi PDAM Tirtanadi

Visi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara adalah menjadi salah satu

prusahaan air minum unggul di Asia Tenggara.

2. Misi PDAM Tirtanadi

a. Memberikan pelayanan air minum kepada masyarakat Sumatera Utara

(44)

b. Mengembangkan air siap minum secara berkesinambungan.

c. Meminimalkan keluhan pelanggan dengan mengutamakan Pelayanan

Prima.

d. Memperlakukan karyawan sebagai asset strategis dan

mengembangkannya secara optimal.

e. Mengelola Perusahaan dengan menerapkan prinsip kewajaran,

transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas, sebagai bentuk

pelaksanaan Good Corporate Governance.

f. Menjadikan perusahaan sebagai salahsatu sumber Pendapatan Asli

Daerah Provinsi Sumatera Utara.

g. Melaksanakan seluruh aktivitas perusahaan yang berwawasan

lingkungan.

h. Menjalankan pengelolaan air limbah kepada masyarakat Sumatera Utara

dan mengembangkannya di masa yang akan datang.

3. Tujuan Pokok PDAM Tirtanadi

a. Mengembangkan perekonomian Daerah.

b. Pendapatan Asli Daerah.

c. Menyelenggarakan pelayanan air minum.

d. Memenuhi persyaratan kesehatan.

e. Memberikan pelayanan penyaluran air limbah.

(45)

C. Proses Menjadi Pelanggan PDAM Tirtanadi Medan

Proses menjadi pelanggan baru PDAM untuk perorangan, Badan Usaha

Milik Negara dan BUMD serta Swasta antara lain:

1. Foto copy identitas diri (KTP / SIM) sebanya 2 (dua) lembar

2. Mengisi formulir permohonan menjadi pelanggan PDAM

3. Membayar biaya pendaftaran

4. Membayar biaya pemasangan standart sebesar

5. Apabila melebihi dari standart, biaya pemasangan menunggu hasilsurvey

petugas ke lokasi calon pelanggan.

6. Membayar melalui petugas selain di kantor, resiko ditanggung oleh calon

pelanggan (PDAM tidak bertanggung jawab.

Prosedur Pemasangan Baru PDAM sebagai berikut :

1. Calon pelanggan baru datang ke kantor PDAM terdekat dengan membawa

fotocopy KTP / SIM sebanyak 2 (dua) lembar dan langsung mengisi

formulir permohonan menjadi pelanggan PDAM serta membayar biaya

pendaftaran

2. Petugas dari PDAM datang ke lokasi untuk melakukan survey pemasangan

3. Perencanaan anggaran biaya pemasangan telah selesai, PDAM memanggil

calon pelanggan baru untuk menyetujuinya

4. Dalam waktu + 15 hari kerja setelah pembayaran pemasangan baru

diselesaikan, petuga PDAM akan datang ke lokasi untuk melaksanakan

(46)

Prosedur Pembayaran Rekening Air Minum :

1. Pembayaran rekening air minum setiap bulannya tanggal 1 - 20 :

2. Pelanggan membawa rekening bulan lalu

3. Mohon dicek bukti pembayaran dan uang kembali sebelun meninggalkan

kasir

4. Pengaduan 12 jam setelah pembayaran tidak dapat dilayani

Prosedur Pengaduan Pelanggan :

1. Pelanggan PDAM dapat langsung datang sendiri maupun lewat surat dan

telepon

2. Pelanggan mengisi formulir yang telah disediakan tentang keluhan yang

disampaikan serta menanda tanganinya

3. Petugas Pengaduan memberikan nomor registrasi berdasarkan pengaduan

yang masuk dan meneruskan pada bagian terkait untuk ditindaklanjuti

4. Petugas menindaklanjuti ke tempat/alamat pelanggan

5. Dengan dikunjunginya tempat/alamat pelanggan oleh petugas, maka

pengaduan pelanggan tersebut telah selesai dilaksanakan

D. Jumlah Pelanggan PDAM Tirtanadi Medan

Adapun total jumlah pelanggan PDAM Tirtanadi - Propinsi Sumatra

Utara pada tahun 2012 adalah sebanyak 335,339 sambungan pelanggan, dan ini

merupakan peningkatan dari jumlah pelanggan tahun 2009 sebanyak 294,898

(47)

Tabel 1

Jumlah pelanggan PDAM Tirtanadi, tahun 2009 – 2012

Tahun

Area Pelayanan

Total Medan dan

sekitarnya KSO area

2009 262,572 32,326 294,898

2010 274,118 35,235 309,353

2011 285,222 37,535 322,757

2012 294,821 40,518 335,339

Pada akhir tahun 2012 jumlah sambungan pelanggan di kota Medan dan

sekitarnya adalah 294,812 sambungan pelanggan dan melayani ± 79,5% dari

total jumlah penduduk kota Medan sebanyak 1.990.432 jiwa (daerah operasi).

Area pelayanan di kota Medan dan sekitarnya ini dibagi atas beberapa

cabang. Jumlah pelanggan pada tahun 2009 adalah 262,572 sambungan dan

pada tahun 2012 meningkat menjadi 294,821 sambungan, atau dalam 3 tahun

meningkat 12.3%. Bila melihat jumlah sambungan dari tiap cabang pada tahun

2012, maka jumlah yang terbanyak adalah di daerah pusat kota, yaitu di cabang

Utama sebanyak 50,517 sambungan dan cabangSei Agul sebanyak 42,590

sambungan.

Ditinjau dari klasifikasi pelanggan, maka jumlah pelanggan yang

terbanyak adalah pelanggan rumah tangga yang mencapai 82% dari jumlah

pelanggan di kota Medan dan sekitarnya. Jumlah sambungan pada tiap cabang

pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 5.

Sedangkan tabel 6. memperlihatkan klasifikasi jenis pelanggan pada tahun 2012

(48)

Jumlah air terjual pada tahun 2012 adalah 102,94 juta m3/tahun, atau

mengalami peningkatan 15% dibandingkan jumlah air terjual pada tahun 2009.

Sesuai dengan banyaknya jumlah pelanggan, maka jumlah air yang paling

banyak terjual adalah di cabang Utama dan cabang Sei Agul. Tabel 7.

memperlihatkan jumlah air terjual pada tiap cabang dari tahun 2009 sampai

dengan tahun 2012.

Pemakaian air rata-rata dari tiap sambungan pelanggan pada tahun 2012

adalah 29.10 m3/sambungan/bulan. Pemakaian air rata2/bulan setiap tahun

meningkat sebesar 0.25m3. Tabel 8 pemakaian air rata2 tiap sambungan pada

(49)

BAB IV

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PENYAMBUNGAN AIR PADA PDAM

TIRTANADI MEDAN

A. Proses Hukum Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi

Medan

Pada dasarnya suatu perjanjian akan dilaksanakan apabila para pihak

telah sepakat pada hal pokok mengenai perjanjian yang mereka perbuat dan

sepakat mereka tersebut diteruskan dalam suatu penandatanganan akan

perjanjian yang telah mereka sepakati.

Demikiain juga halnya dalam pelaksanaan perjanjian pemasangan air

pada PDAM Tirtanadi Medan ini bahwa terjadinya perjanjian di atas adalah

dengan telah sepakatnya para pihak terhadap hal-hal yang pokok dalam

pelaksanaan perjanjian tersebut, dan sepakat mereka tersebut ditandai dengan

penandatanganan perjanjian.

Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya di dalam pasal 1320 KUH

Perdata bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat,

yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

(50)

dihubungkan dengan pelaksanaan dari terjadinya perjanjian pemasangan air

pada PDAM Tirtanadi Medan ini maka setelah sepakatnya para pihak atas hal

yang pokok dalam perjanjian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa empat

syarat di atas telah dipenuhi oleh para pihak tersebut.

Sepakat para pihak dalam hal pokok yang ditentukan dalam perjanjian

pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan adalah disimpulkan dalam suatu

bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis adalah suatu bentuk kesepakatan

antara para pihak yang menuangkan kesepakatan tersebut tersebut dalam bentuk

tertulis, dimana di dalamnya disebutkan hal-hal yang berhubungan dengan

kewajiban dan hak masing-masing pihak.

Perjanjian tertulis juga merupakan suatu bentuk perjanjian yang

menjelaskan dari klausula-klausula apa saja yang disepakati oleh para pihak

dalam perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan. Klausula

tersebut juga menjelaskan identitas para pihak yang mengadakan perjanjian,

sistem pembayaran yang akan dilakukan serta hal-hal lainnya yang dianggap

memiliki hubungan dengan perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi

Medan.

Hal-hal yang di ataslah yang mendasari terjadinya suatu perjanjian

pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan. Ditambah dengan

keadaan-keadaan yang harus dipenuhi dari ketentuan bunyi pasal 1320 KUH Perdata di

atas.

Terhadap ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tersebut dapat dilakukan

(51)

apabila kita tarik kepada pelaksanaan perjanjian pemasangan air pada PDAM

Tirtanadi Medan ini dapat dibagi menjadi dua syarat. Kedua syarat yang

pertama yang oleh ahli hukum dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat

tersebut mengenai subjek perjanjian, yang apabila kita lihat dalam perjanjian

pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan maka kedua syarat tersebut

adalah dilakukan oleh masing-masing pihak pimpinan, merekalah yang

membuat kesepakatan karena mereka dianggap layak untuk itu oleh

masing-masing pihak. Kedua syarat terakhir yang ditentukan pasal 1320 KUH Perdata

merupakan syarat objektif karena mengenai obyek dari perjanjian.

Dalam perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan telah

dapat dilihat jelas bahwa suatu hal tertentu yang antara lain adalah

penyambungan air sedangkan suatu sebab yang halal, bahwa penyambungan air

tersebut karena kepentingannya tidaklah melanggar hukum.

Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak,

Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu :

1. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada

saat kehendak pihak penerima dinyatakan , misalnya dengan menuliskan

surat.

2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran.

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang

(52)

4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh

pihak yang menawarkan.

Menurut kutipan di atas maka dapatlah dipahami bahwa terjadinya

pelaksanaan perjanjian pemasangan air pada PDAM Tirtanadi Medan ini adalah

sebagaimana penulis uraikan di muka, yaitu telah disepakatinya hal-hal yang

pokok dan diikuti dengan penandatanganan hitam di atas putih.

Hal lainnya yang menjadi perhatian dalam perjanjian pemasangan air

pada PDAM Tirtanadi Medan adalah dipakainya perjanjian secara baku.

Pemakaian surat perjanjian yang telah dibakukan dipandang sebagai salah satu

bentuk dari efisiensi kerja sebuah usaha termasuk dalam bidang penyambungan

air bersih. Penggunaan surat-surat perjanjian dalam bentuk formulir terjadi

secara berulang dan teratur yang melibatka

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia,tilisan ini juga sebagai bentuk perhatian peneliti untuk ikut ambil bagian dalam upaya mengatasi menipisnya bahan tambang yang di gunakan untuk isi baterai .Peneliti

Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa bimbingan belajar adalah kegiatan bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk menghadapi UN

[r]

Dengan pertimbangan tersebut, pada penulisan ilmiah ini penulis mencoba untuk membuat suatu aplikasi pencarian kamar pasien rawat inap. Pembuatan aplikasi ini menggunakan

9.Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kewajiban yang harus di laksanakan oleh..

[r]

Berdasarkan penelitaian atas pengelolaan barang/aset daerah pada Pemerintah Kabupaten Sampang tersebut diketahui hal-hal: (1) Secara umum, masih banyak Pengguna Barang

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman konsep masalah sosial dalam pembelajaran IPS melalui penggunaan model Picture And Picture dalam