PERBAIKAN SIFAT TANAH KEBUN KAKAO
PADA BERBAGAI KEMIRINGAN LAHAN
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOPORI
DAN MULSA VERTIKAL
T E S I S
Oleh :
RINA MAHARANY
097001016/AET
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERBAIKAN SIFAT TANAH KEBUN KAKAO
PADA BERBAGAI KEMIRINGAN LAHAN
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOPORI
DAN MULSA VERTIKAL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Pertanian
Dalam Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
RINA MAHARANY
097001016/AET
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Tesis : Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao Pada Berbagai
Kemiringan Lahan Dengan Menggunakan Teknik Biopori Dan Mulsa Vertikal
Nama Mahasiswa : Rina Maharany
Nomor Pokok : 097001016
Program Studi : Agroekoteknologi
Fakultas : Pertanian
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
Ketua Anggota
Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS
Telah diuji pada
Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS:
Ketua
: Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
Anggota
: Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D
Penguji
: 1. Dr. Deni Elfiati, SP. MP
2. Dr. Delvian, SP. MP
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao Pada Berbagai Kemiringan Lahan Dengan Menggunakan Teknik Biopori dan Mulsa Vertikal”.
Selama berlangsungnya kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik yang bersifat membangun.
2. Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan, masukan, petunjuk dan pengarahannya dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Ibu Dr. Deni Elfiati, SP. MP selaku Dosen Penguji I atas kritik dan saran yang telah diberikan.
4. Bapak Dr. Delvian, SP. MP selaku Dosen Penguji II atas segala masukan yang diberikan.
5. Ayah dan Ibu serta kakak, abang dan adik, atas segala bantuan moril maupun materiil, serta do’a dan kasih sayangnya selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan di pasca sarjana - Agroekoteknologi’09 yang senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama ini. 7. Pak Slamet yang telah memberikan izin lahan kepada penulis, terimakasih
banyak atas bantuan dan kerjasamanya.
8. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya penelitian ini.
membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Medan, Januari 2012
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Hipotesis ... 4
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kakao ... 5
2.1.1.Iklim ... 6
2.1.2.Tanah dan Topografi ... 6
1) Sifat Fisik Tanah ... 7
2) Sifat Kimia Tanah ... 9
2.2. Perkembangan Perkebunan Kakao di Indonesia ... 11
2.3. Peran Pupuk Organik dan Bahan Organik ... 14
2.3.1. Peran BO Terhadap Kesuburan Fisika Tanah ... 17
2.3.2. Peran BO Terhadap Kesuburan Kimia Tanah ... 19
2.3.3. Peran BO Terhadap Kesuburan Biologi Tanah ... 21
2.4. Karakteristik Tanah di Indonesia ... 23
2.5. Biopori ... 25
2.6. Mulsa Vertikal ... 28
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
3.2. Alat dan Bahan ... 32
3.2.1.Alat ... 32
3.2.2.Bahan ... 32
3.3. Rancangan Penelitian ... 32
3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 34
A. Pembuatan Lubang Biopori ... 34
B. Pembuatan Mulsa Vertikal ... 34
C. Pengambilan Sampel Tanah ... 35
D. Pengukuran Bulk Density Tanah ... 35
E. Penetapan Kandungan Bahan Organik Tanah ... 36
3.5. Parameter Pengamatan ... 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 38
4.1.1.Sifat Fisika Tanah ... 38
4.1.2.Sifat Kimia Tanah ... 43
4.1.3.Sifat Biologi Tanah ... 57
4.2. Pembahasan ... 65
4.2.1.Perbaikan Sifat Fisika Tanah ... 65
4.2.2.Perbaikan Sifat Kimia Tanah ... 67
4.2.3.Perbaikan Sifat Biologi Tanah ... 72
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 77
5.2. Saran ... 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Areal & Produksi Perkebunan Kakao di Indonesia 13
2. Kelas Kemiringan Lahan... 25
3. Faktor Pertama (Kemiringan Lahan) ... 32
4. Faktor Kedua (Penempatan Serasah Kakao) ... 32
5. Tabel Kombinasi Perlakuan ... 33
6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Fisika Tanah Kebun Kakao ... 38
7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Kebun Kakao ... 43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
dan Kemiringan Lahan Terhadap Bulk Density Tanah Kebun Kakao 39
2. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Permeabilitas Tanah Kebun Kakao 40
3. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Infiltrasi Tanah Kebun Kakao .... 42
4. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap pH Tanah Kebun Kakao ... 44
5. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap P-tersedia Tanah Kebun Kakao .. 46
6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap K-tukar Tanah Kebun Kakao ... 48
7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap Ca-tukar Tanah Kebun Kakao .... 50
8. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap Mg-tukar Tanah Kebun Kakao ... 52
9. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap Na-tukar Tanah Kebun Kakao .... 53
10.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap KTK Tanah Kebun Kakao ... 55
11.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap C-organik Tanah Kebun Kakao .. 58
12.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap N-total Tanah Kebun Kakao ... 60
14.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap Total Mikroba Tanah Kebun Kakao 63
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Bagan Areal Percobaan di Lapangan ... 79
2. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Tanpa Pemberian Mulsa dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 80
3. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Biopori dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 81
4. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Mulsa Vertikal dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 82
5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Secara Umum ... 83
6. Hasil Analisis Total Mikroba Tanah ... 84
7. Hasil Analisis Rasio C/N Daun Kakao ... 84
8. Hasil Uji Statistik Nilai Bulk Density Tanah ... 85
9. Hasil Uji Statistik Nilai Permeabilitas Tanah ... 86
10.Hasil Uji Statistik Nilai pH Tanah ... 87
11.Hasil Uji Statistik Jumlah P-tersedia Dalam Tanah ... 88
12.Hasil Uji Statistik Nilai K-tukar Tanah ... 89
13.Hasil Uji Statistik Nilai Ca-tukar Tanah ... 90
14.Hasil Uji Statistik Nilai Mg-tukar Tanah ... 91
15.Hasil Uji Statistik Nilai Na-tukar Tanah ... 92
16.Hasil Uji Statistik Nilai KTK Tanah ... 93
17.Hasil Uji Statistik Kandungan C-organik Tanah ... 94
18.Hasil Uji Statistik Kandungan N-total Tanah ... 95
19.Hasil Uji Statistik Rasio C/N Tanah ... 96
20.Hasil Uji Statistik Total Mikroba Tanah ... 97
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang pengembangannya cukup signifikan. Hal ini disebabkan
tanaman kakao dapat meningkatkan sumber devisa negara dari sektor nonmigas.
Tanaman kakao menghendaki tanah dengan solum tanah yang dalam, yang
memberikan ruang perakaran yang cukup. Jika permukaan air tanah dangkal maka
akan menyebabkan dangkalnya perakaran sehingga pertumbuhannya tanaman
kurang kuat, dan mudah tumbang.
Tanah yang ideal untuk tanaman kakao adalah yang mempunyai daya
menahan air dengan baik, serta mempunyai drainase dan aerasi tanah yang baik,
sehingga tidak membatasi pertumbuhan akar dan tanaman (Darmawijaya, 1997).
Disamping itu tanaman kakao juga menginginkan tanah dengan sifat kimia tanah
yang baik, yaitu mengandung bahan organik tinggi, pH netral dan kaya akan unsur
hara. Bahan organik sangat diperlukan untuk tanaman kakao, karena dapat
berperan untuk menahan air, memperbaiki struktur tanah, dan sebagai sumber
unsur hara. Untuk tanaman kakao kandungan bahan organik pada lapisan tanah
0-15 cm tidak boleh kurang dari 3%. Disebutkan bahwa ada hubungan positif antara
kandungan bahan organik tanah dan produksi kakao meningkat secara linier
Penyebaran tanah di Indonesia sebagian besar bertopografi datar hingga
bergelombang dan sebagian kecil bergelombang hingga berbukit. Karena sebagian
besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring (Koedadiri dkk, 1999). Lahan miring tersebar luas pada
daerah tropis, dimana proses pembentukan tanahnya berasal dari proses pelapukan
yang sangat intensif karena berlangsung pada daerah tropis yang bersuhu panas
dan bercurah hujan tinggi. Pencucian basa-basa yang berlangsung sangat intensif
pada rezim temperatur mesik, iso mesik mengakibatkan tanah bersifat masam dan
miskin unsur hara (Koedadiri dkk, 1999).
Disisi lain, kebutuhan akan pangan, papan, dan serat serta lapangan
pekerjaan terus meningkat yang menyebabkan pemanfaatan lahan berlereng
curam hingga sangat curam semakin intensif. Pemanfaatan lahan berlereng yang
tidak terkendali dan tanpa disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan
air bukan hanya menyebabkan lahan terdegradasi, lebih dari itu dapat
menimbulkan bencana banjir, dan longsor di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau. Lahan miring berpotensi untuk dikembangkan apabila dipadukan
dengan teknik konservasi lahan yang sesuai. Guna mengatasi masalah tersebut,
salah satu teknik konservasi lahan yang sesuai dan diharapkan dapat menekan
degradasi lahan miring adalah dengan penerapan teknik mulsa vertikal dan
pemanfaatan lubang biopori pada pertanaman kakao.
Selain itu potensi suatu lahan juga sangat ditentukan oleh sifat fisik dan
sifat kimia tanah. (Hakim dkk, 1986) menyatakan apabila sifat fisik dan kimia
tanah diketahui akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi suatu
1.2. Rumusan Masalah
Pengelolaan limbah tanaman kakao di desa Prapat Janji masih belum
ditangani dengan tepat, karena limbah tanaman kakao seperti serasah dan kulit
buah tidak dikelola (tetap berada menumpuk diatas permukaan tanah saja). Selain
itu kadar bahan organik di kebun kakao tersebut juga tergolong rendah hanya
1,1%, karena tidak adanya upaya pengembalian bahan organik ke dalam tanah.
Oleh karena itu sangat diperlukan upaya pengelolaan yang tepat dalam
pengelolaan serasah kakao. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
membenamkannya ke dalam tanah agar terjadi percepatan pelapukan, dan
memberikan kontribusi terhadap perbaikan dan kesuburan sifat tanah.
1.3. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengevaluasi teknik biopori dan mulsa vertikal dalam penempatan
serasah kakao terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
2.Untuk mengevaluasi pengaruh kemiringan lahan terhadap sifat tanah di
perkebunan kakao.
3.Untuk mengevaluasi interaksi antara penempatan serasah kakao dan
kemiringan lahan terhadap sifat tanah diperkebunan kakao.
1.4. Hipotesis
1.Penempatan serasah kakao dengan menggunakan teknik biopori dan mulsa
vertikal berpengaruh signifikan terhadap perbaikan sifat tanah di kebun
2.Kemiringan lahan berpengaruh signifikan terhadap sifat tanah kebun
kakao.
3.Interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan
berpengaruh signifikan terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
1.5. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan pelaku perkebunan kakao dapat
memperoleh informasi tentang teknik konservasi yang dapat dilakukan khususnya
pada daerah dengan kemiringan lahan yang berbeda-beda, salah satunya yaitu
pembuatan lubang biopori dan mulsa vertikal yang bertujuan untuk meningkatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan ekspor non
migas negara Indonesia.D
Tanaman kakao mempunyai akar tunggang (radik primaria), dengan
pertumbuhan ke arah samping dapat mencapai 8 m dan 15 m ke arah bawah.
Tanah mempunyai hubungan erat dengan sistem perakaran tanaman kakao, karena
perakaran tanaman kakao sangat dangkal dan hampir 80% dari akar tanaman
kakao berada disekitar 20 - 30 cm dari permukaan tanah, sehingga untuk
mendapatkan pertumbuhan yang baik tanaman kakao menghendaki struktur tanah
yang gembur agar perkembangan akar tidak terhambat. Perkembangan akar yang
baik menentukan jumlah dan distribusi akar yang kemudian berfungsi sebagai
organ penyerapan hara dari tanah (Anonymous, 2006).
i Indonesia tanaman kakao pertama kali dibudidayakan
pada tahun 1921 dan berkembang pesat di daerah-daerah pulau Jawa dan sekarang
sudah menyebar di seluruh wilayah Indonesia (Sri mulato dkk, 2005).
Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus
untuk dapat berproduksi secara baik. Kakao saat ini bukan hanya tanaman
perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman rakyat. Di Indonesia, menurut data
statistik tahun 2002, luas areal kakao telah mencapai lebih dari 777.900 ha
(Goenadi dkk, 2005). Kakao tersebar pada lahan yang beragam dan tingkat
produktivitas yang juga beragam. Kakao dapat berproduksi tinggi dan
mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas
kakao. Adapun syarat tumbuh tanaman kakao yang sesuai adalah sebagai berikut :
2.1.1. Iklim
Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao
dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan
mempengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan
sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat
terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan
oleh ketersediaan air, sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik
di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang
tahun(Anonymous, 2004).
2.1.2. Tanah dan Topografi
Lahan di perkebunan kakao didominasi oleh tanah-tanah marginal.
Tanah-tanah marginal di perkebunan kakao berkembang di daerah dengan curah hujan
tinggi dan distribusinya merata sepanjang tahun dan telah mengalami proses
pencucian yang sangat intensif. Tanah tersebut memiliki karakteristik fisika dan
kimia dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kurang menguntungkan
untuk pertumbuhan tanaman (Koedadiri dkk, 1999).
Tanaman kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal persyaratan
fisik dan kimia tanah yang berperan terhadap pertumbuhan dan produksi kakao
terpenuhi. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro tanah,
bahan organik. Sifat fisik tanah meliputi tekstur, struktur, kedalaman efektif tanah
dan bulk density. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang
mempengaruhi pertumbuhan dan pertumbuhan kakao. Sedangkan sifat biologi
tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan,
karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung
sifat tersebut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Rahutomo dkk., 2001).
Produksi optimum suatu tanaman dapat dicapai dengan pemupukan dan
usaha-usaha perbaikan sifat fisik tanah. Akan tetapi pemupukan tidak akan
berhasil dan menguntungkan sebelum usaha-usaha pencegahan erosi, perbaikan
keadaan air dan udara, usaha-usaha pemeliharaan bahan organik tanah, perbaikan
tanah-tanah yang telah rusak, atau perbaikan drainase telah dilakukan (Arsyad,
2000).
1) Sifat Fisik Tanah
Pertumbuhan tanaman tidak hanya tergantung pada tersedianya unsur hara
yang seimbang, tetapi juga harus ditunjang oleh keadaan fisik dan kimia tanah
yang baik. Pentingnya sifat-sifat fisik dan kimia yang baik dalam menunjang
pertumbuhan tanaman sering tidak disadari karena kesuburan tanah selalu dititik
beratkan hanya pada kesuburan kimianya (Rohlini dan Soeprapto, 1989).
Sifat tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah solum tebal 80 cm.
Solum tebal akan merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga
efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah yang baik untuk
tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30 ‐ 40% fraksi
liat, 50% pasir, dan 10 ‐ 20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi
agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga
menguntungkan bagi akar. Perkembangan struktur baik, konsistensi gembur
sampai agak teguh dan permeabilitas sedang (Rohlini, 1989).
Terdapat hubungan yang positif antara sifat fisik tanah, permeabilitas,
ruang pori total, pori drainase dan kerapatan bongkah dengan pertumbuhan
tanaman. Semakin baik sifat fisik tanah semakin baik pula pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Akar akan mudah menembus tanah biasanya
pertumbuhan tanaman secara keseluruhan akan semakin cepat dan akan
memberikan hasil yang tinggi (Martoyo, 1992).
Permeabilitas tanah sangat erat kaitannya dengan pori makro pada tanah.
Semakin banyak pori makro pada tanah, maka air akan semakin mudah melewati
partikel - partikel tanah sehingga nilai permeabilitasnya juga akan semakin besar
(Adiwiganda, 1998). Aktifitas biologi menunjukkan berkurangnya jumlah pori
makro pada lahan yang ditanami daripada yang tidak ditanami. Pengurangan ini
menjadi alasan utama dari lebih rendahnya permeabilitas tanah pada lahan
pertanian dibandingkan dengan yang masih bervegetasi alami. Dengan
permeabilitas yang lebih kecil pada lahan pertanian dibandingkan dengan yang
masih alami mengakibatkan hanya sebagian kecil air yang mampu masuk ke
dalam lapisan tanah sedangkan yang lain akan mengalir melalui permukaan yang
dikenal sebagai limpasan permukaan (Hakim dkk., 1986).
Porositas tanah tinggi apabila bahan organik juga tinggi. Tanah-tanah
dengan sistem granuler atau remah mempunyai porositas yang lebih tinggi
tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air
(Hardjowigeno, 1993).
Kerapatan lindak (bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat
tanah kering dengan volume total (padat dan pori-pori). Bulk density dipengaruhi
oleh stuktur tanah seperti kelonggaran tanah atau kepadatan tanah, akibat dari sifat
mengembang dan mengerut yang dipengaruhi oleh kadar liat dan kelembaban
(Hilel, 1980). Menurut Hardjowigeno (1993) guna menentukan kerapatan lindak
(bulk density) adalah untuk :
a) Deteksi adanya lapisan padas dan tingkat kepadatannya, semakin
memadas maka semakin tinggi bulk densitynya.
b) Menentukan adanya kandungan abu volkan dan batu apung yang cukup
tinggi. Tanah dengan kandungan abu volkan/batu apung yang tinggi
mempunyai bulk density yang rendah dengan nilai 0,85 g/cm3
c) Evaluasi terhadap kemungkinan akar menembus tanah. Pada
tanah-tanah dengan bulk density tinggi akar tanaman tidak dapat menembus
lapisan tanah tersebut.
.
2) Sifat Kimia Tanah
Tanah dikatakan subur apabila fase padat mengandung cukup unsur hara
tersedia dan cukup air serta udara bagi pertumbuhan tanaman. Apabila
ruang-ruang pori yang terdapat diantara partikel-partikel padat menyebar sedemikian
rupa sehingga dapat menyediakan air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman
dan pada waktu yang bersamaan memungkinkan aerasi yang cukup pada akar,
maka tanah itu dinilai mempunyai hubungan air dan udara yang cocok (Lubis,
Banyaknya unsur hara di dalam tanah tidak menjamin tanaman dapat
tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi, tetapi tergantung juga dari hubungan
air dan udara yang memungkinkan tanaman dapat mempergunakan unsur hara
tersedia secara efisien, perkembangan akar lebih intensif dan proses biologi dan
kimia berlangsung baik pada kondisi optimum (Hasibuan, 1981). Singkatnya
untuk kesuburan kimia, tanah harus memiliki kesuburan fisik.
Sifat kimia tanah yaitu pH secara umum adalah 4,0 – 6,0, kandungan
unsur hara tinggi, C/N mendekati 10 dengan C:1% dan N:0,1% (Lubis, 1992).
Kemasaman (pH) tanah merupakan faktor paling penting dan merupakan
indikator ketersediaan unsur hara dalam tanah. Tanaman kakao dapat tumbuh
dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 ‐ 7,5 tidak lebih tinggi dari 8 serta
tidak lebih rendah dari 4; paling tidak pada kedalaman 1 meter. Kemasaman (pH)
tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 6 - 7,5. Sifat ini khusus
berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil)
kemasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basa. Pada pH > 8
(alkalis) menyebabkan klorosis karena Fe, Mn, Zn, Cu tidak dapat diserap oleh
akar tanaman kakao, sebaliknya pada pH < 4 (masam) terjadi keracunan karena
Fe, Mn, Zn, Cu tersedia dalam jumlah yang berlebihan (Bintaran, 2007).
Disamping faktor keasaman, sifat kimia tanah yang juga turut berperan
adalah kadar bahan organik. Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan
organik tinggi, yaitu di atas 3% pada lapisan tanah setebal 0 – 15 cm. Kadar
tersebut setara dengan 1,75% unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air
serta struktur tanah yang gembur. Kadar bahan organik yang tinggi akan
hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan
bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya
melepaskannya untuk diserap akar tanaman. Usaha meningkatkan kadar organik
dapat dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa pemangkasan maupun
pembenaman kulit buah kakao(Bintaran, 2007).
2.2. Perkembangan Perkebunan Kakao di Indonesia
Kakao merupakan salah satu komoditi utama nasional dengan sebaran
sentra penanaman yang cukup banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia.
Kakao juga telah lama menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia
yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa negara.
Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka permintaan
pasar untuk komoditi kakao juga akan meningkat. Ini merupakan peluang bagi
Indonesia untuk terus meningkatkan produksi kakao. Salah satu cara untuk
meningkatkan produksi kakao adalah dengan memperluas lahan penanaman. Hal
ini sulit untuk dilakukan karena kurangnya lahan yang sesuai untuk dapat
dimanfaatkan sebagai usaha perkebunan kakao di Indonesia (Anonymous, 2007).
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal
tahun 1980-an dan pada tahun 2004, areal perkebunan Kakao Indonesia tercatat
seluas 992.191 ha dimana sebagian besar (89,59%) dikelola oleh rakyat dan
selebihnya 5,04% perkebunan besar negara serta 5,37% perkebunan besar swasta.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga
saat ini. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun
terakhir. Pada tahun 2007 luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai
menjadi 1.473.259 ha. Luas perkebunan kakao kembali bertambah menjadi
1.592.982 ha atau tumbuh 8,1% pada tahun berikutnya. Secara rata-rata
pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2006 hingga tahun
2009 adalah 8,1%. Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar terletak di
pulau Sulawesi. Luas perkebunan ini sekitar 953.691 ha atau 60% dari seluruh
perkebunan kakao di Indonesia. Wilayah terbesar kedua adalah di pulau Sumatera
yakni sekitar 18% dengan luas mencapai 300.461 ha (Siregar, 2006).
Beberapa program terkait pengembangan perkebunan kakao yang
dicanangkan pemerintah adalah peremajaan perkebunan seluas 70.000 ha,
rehabilitasi 235.000 ha lahan kakao, intensifikasi pada 145.000 ha lahan, serta
pengendalian hama pada 450.000 ha lahan kakao dalam tiga tahun sejak 2009
hingga 2011 (Goenadi, 2005).
Pada tahun 2002 komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat
seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha
(67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%) tanaman tua/rusak.
Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas
perkebunan rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar
negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan produktivitas perkebunan besar swasta
(PBS) rata-rata 681,1 kg/ha (Anonymous, 2007).
Tabel 1. Perkembangan Areal dan Produksi Perkebunan Kakao di Indonesia
Tahun Areal (ha) Produksi (ton)
PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah
1990 252.237 57.600 47.653 357.490 97.418 27.016 17.913 142.347
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004.
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat, PBN = Perkebunan Besar Negara, PBS = Perkebunan Besar Swasta
Pada Tabel 1 terlihat bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu
pesat umumnya dilakukan petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi
perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok
tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur,
Kalimantan Timur, maluku Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan
peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan
pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil
menempatkan diri sebagai produsen Kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai
Gading (Cote d’lvoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi
ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization, 2003).
Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin
mengganasnya serangan hama PBK. Di samping itu rendahnya produktivitas
tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang dibangun dengan
asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan
tanaman klonal.
2.3. Peranan Pupuk Organik dan Bahan Organik
Pupuk organik mempunyai fungsi untuk menggemburkan tanah,
yang keseluruhannya dapat meningkatkan kesuburan tanah (Troeh and Thompson,
2005). Kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami
degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak
dikenali bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman, dan tidak berbau (Indriani,
2008). Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran
yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan
kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk
mempertahankan kandungan air tanah (Isroi, 2008).
Bahan organik merupakan bahan penting dalam pasokan hara tanah dan
meningkatkan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, dan biologi tanah. Sekitar
dari setengah kapasitas tukar kation (KTK) berasal dari bahan organik yang
merupakan sumber hara tanaman (Hakim dkk, 1986). Bahan organik ditemukan
dipermukaan tanah. Jumlahnya tidak besar hanya sekitar 3-5%, tetapi
pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Syarat tanah sebagai media
tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang
baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai
tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan
organik. (Hardjowigeno, 1993) menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap
tanah dan pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut : i. Granulator yaitu
memperbaiki struktur tanah, ii. Sumber unsur hara bagi tanaman, iii. Menambah
kemampuan tanah untuk menahan unsur hara (kapasitas tukar kation menjadi
tinggi), iv. Sumber energi bagi mikroorganisme, dan v. Menambah kemampuan
tanah untuk menahan air. Seperti tanaman lainnya, tanah tempat tumbuh tanaman
memerlukan bahan organik sebesar 3,5% pada kedalaman 0-15 cm (Widyotomo
dkk, 2007).
Kadar zat organik yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan pada
masa sebelum panen. Untuk itu zat organik pada lapisan tanah setebal 0 - 15 cm
sebaiknya lebih dari 3%. Kadar tersebut setara dengan 1,75% unsur karbon yang
dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur. Usaha
meningkatkan kadar organik dapat dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa
pemangkasan maupun pembenaman kulit buah kakao. Kulit tanaman kakao sangat
potensial dijadikan sumber hara karena mengndung sejumlah unsur hara, setiap
900 kg kulit buah kakao dapat menghasilkan unsur hara setara dengan 29 kg urea,
9 kg RP, 56,6 kg KCl dan 8 kg Kieserit (Bintaran, 2007).
2.4. Karakteristik Tanah di Indonesia
Tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk
dari bahan-bahan yang mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk
kondisi tanah tersebut dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu
penerapan teknik konservasi memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang
telah terdegradasi (Kartasapoetra dkk., 1991).
Erosi pada dasarnya adalah proses pengikisan tanah. Proses ini terjadi
dengan penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Di alam ada dua
penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi
dengan adanya aktifitas manusia di alam, maka manusia akan menjadi faktor yang
sangat penting dalam mempengaruhi erosi (Kartasapoetra dkk, 1991). Pengaruh
erosi berat terhadap kesuburan tanah antara lain sebagai berikut: i. Hilangnya atau
berkurang sehingga ruang tumbuh akar dalam menyerap air dan unsur hara
terbatas, iii. Kemampuan menyimpan air di dalam tanah berkurang.
Lahan dengan kemiringan lebih dari 15% tidak baik ditujukan sebagai
lahan pertanian, melainkan sebagai lahan konservasi, karena semakin besar
kemiringan lahan maka laju aliran permukaan akan semakin cepat, daya kikis dan
daya angkut aliran permukaan makin cepat dan kuat. Oleh karena itu strategi
konservasi tanah dan air pada lahan berlereng adalah memperlambat laju aliran
permukaan dan memperpendek panjang lereng untuk memberikan kesempatan
lebih lama pada air untuk meresap kedalam tanah (Kartasapoetra dkk, 1991).
Lahan yang memiliki kemiringan dapat dikatakan lebih mudah terganggu
atau rusak, apalagi bila derajat kemiringannya besar. Tanah yang mempunyai
kemiringan akan selalu dipengaruhi oleh curah hujan (apalagi jika curah hujan itu
mencapai 3.200 mm curah hujan/tahun atau distribusi hujan yang merata setiap
bulannya), oleh teriknya sinar matahari dan angin yang selalu berhembus. Akibat
pengaruh-pengaruh tersebut, gangguan atau kerusakan tanah akan berlangsung
melalui erosi maupun kelongsoran tanah, terkikisnya lapisan tanah yang subur
atau humus (Kartasapoetra dan Sutedjo., 1991).
Pada lahan yang miring tanah lebih rentan mengalami kerusakan, terutama
oleh erosi, dibandingkan lahan yang relatif datar. Demikian juga, lahan miring
lebih sedikit dalam absorbsi air sehingga ketersediaan air untuk tanaman lebih
kritis dibanding lahan datar dalam zona iklim yang sama (Paimin dkk., 2002).
Lahan miring tersebar luas pada daerah tropis. Sekitar 500 juta orang
memanfaatkan sebagai lahan pertanian pada lahan tersebut. Sejalan dengan
miring, memunculkan masalah erosi tanah. Berdasarkan kemiringan lahan di
Indonesia dapat dibedakan atas kelas-kelas (Tabel 2) (Darmawijaya, 1997):
Tabel 2. Kelas Kemiringan Lahan
Kelas Kemiringan Lahan (%) Kelas Kemiringan Lahan Relief
A 0 – 3 Datar Datar
B 3 – 8 Agak miring Landai
C 8 – 15 Miring Berombak
D 15 – 25 Agak terjal Bergelombang
E 25 – 45 Terjal Berbukit
F > 45 Curam Bergunung
Sumber : Dephut, 2004
2.5. Biopori
Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat
berbagai akitifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman,
rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang tersebut akan berisi udara dan menjadi
jalur mengalirnya air di dalam tanah sehingga air hujan tidak langsung masuk ke
saluran pembuangan air, tetapi meresap ke dalam tanah melalui lubang tersebut
(Johnherf, 2008). Pada dasarnya, lubang resapan biopori merupakan lubang
vertikal ke dalam tanah yang berfungsi meningkatkan laju peresapan air hujan.
Pembuatan lubang resapan biopori ke dalam tanah secara langsung akan
memperluas bidang permukaan peresapan air, seluas permukaan dinding lubang.
Peningkatan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat
lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan
organik, seperti sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput atau
vegetasi lainnya, dan sejenisnya. Bahan organik ini kelak akan dijadikan sumber
Dengan meningkatnya aktifitas mereka maka akan semakin banyak biopori yang
terbentuk (Bambang dan Sibarani, 2009).
Lubang biopori merupakan lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah
dengan diameter 10-30 cm, dengan kedalaman sekitar 100 cm atau jangan
melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang biopori sebaiknya dibuat di bagian
tanah yang tidak terendam air atau lebih tinggi dari saluran air. Jadi, selama
musim kering, lubang tidak terendam air(Brata, 2008).
Teknik biopori ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, salah satu peneliti
senior di IPB. Lubang resapan biopori adalah metode yang diilhami dari dunia
pertanian yang akrab dikenal dengan rorak. Lubang biopori dapat berperan
sebagai resapan untuk menangkap air yang jatuh ke tanah terutama di lahan
miring untuk meminimalisasi erosi. Lubang resapan biopori dapat juga dijadikan
sebagai komposter sederhana untuk memproduksi pupuk organik yang akrab
dengan sebutan kompos. Di daerah perkotaan fungsi utama lubang resapan
biopori adalah untuk meminimalisasikan masalah banjir yang kerap menyerang
daerah perkotaan apabila musim hujan. Dalam hal ini lubang resapan biopori juga
berperan sebagai water reservoir (penangkap air) yang semakin minim di
kawasan urban. Disamping itu bahan organik yang dimasukkan ke dalam
lubang-lubang tersebut dapat memperbaiki kondisi tanah/sifat tanah baik kimia, biologi
juga fisikanya (Rauf, 2009).
Fungsi utama biopori sebagai ruang di dalam tanah adalah untuk tempat
udara dan air. Udara di dalam tanah sangat diperlukan oleh tanaman dan
mikroorganisme tanah. Oksigen (O2) digunakan akar tanaman dan organisme
tanah untuk melakukan proses fotosintesa, N2
Selain fungsi utama tersebut, biopori memiliki banyak fungsi lainnya,
yaitu (Rauf, 2010) :
tanah digunakan oleh bakteri
penambat N untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan lain-lain. Sementara air di
dalam tanah sangat diperlukan sebagai pelarut unsur hara, diserap akar untuk
berbagai proses fisiologis di dalam tubuh (organ) tanaman, menjaga kelembaban
dan mengendalikan suhu tanah (Rauf, 2010).
1. Meningkatkan daya resapan air
2. Memperbesar kemampuan tanah menyerap (meng-infiltrasi) air hujan,
sehingga erosi tanah dapat dikendalikan karena run-off (limpasan permukaan)
dapat dikurangi.
Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang
resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Dengan Adanya
aktifitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan
senantiasa terpelihara keberadaannya. Oleh Karena itu bidang resapan ini akan
selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian
kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara
bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
3. Membantu menekan terjadinya genangan/banjir pada tapak lahan. Lubang
biopori sedalam 1 meter berdiameter 10 cm dapat menampung air sebanyak
0,03 m3 (30 liter). Bila jarak antar biopori 2 x 2 m maka akan ada 2.500 lubang
biopori per hektar yang berarti dapat menampung air sebanyak 75 m3 (75.000
4. Menggemburkan tanah, sehingga memudahkan terjadinya pertukaran udara di
dalam tanah.
5. Dapat digunakan sebagai lubang pembuat kompos dengan memasukkan
sampah organik sisa panen atau sampah organik (sampah basah) rumah tangga
(sekaligus menanggulangi sampah rumah tangga).
6. Dapat menyuburkan tanaman karena sampah organik yang dibuang di lubang
biopori merupakan makanan untuk organisme yang ada dalam tanah.
Organisme tersebut dapat membuat sampah menjadi kompos yang merupakan
pupuk bagi tanaman di sekitarnya.
7. Meningkatkan kualitas air tanah karena organisme dalam tanah mampu
membuat sampah menjadi mineral-mineral yang kemudian dapat larut dalam
air. Hasilnya, air tanah menjadi berkualitas karena mengandung mineral.
2.6. Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal ini adalah salah satu teknik dalam konservasi tanah
dan air. Teknik ini adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian
tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun
daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau
alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Brata dkk,
1992).
Mulsa vertikal atau disebut juga “teknik jebakan mulsa” adalah bangunan
menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih
panjang bila dibandingkan dengan rorak. Ukuran mulsa vertikal harus disesuaikan
antar barisan mulsa vertikal ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar antara
3 - 5 m (Rauf, 1999).
Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan
pembuatan guludan. Mulsa vertikal dapat digunakan sebagai alternatif cara
pemanfaatan sisa tanaman untuk usaha konservasi tanah dan air sekaligus lebih
mendayagunakan saluran teras gulud sebagai tempat pengomposan pada lahan
pertanian agak miring (lereng <15%) (Rauf, 1999).
Modifikasi teknik mulsa vertikal yang diperkirakan dapat diterapkan oleh
petani adalah pembuatan alur dengan cangkul dan galian tanah ditumpukkan
untuk membuat guludan di sebelah hilir/bawah saluran (seperti teras gulud). Sisa
tanaman dimasukkan ke dalam saluran untuk memelihara dan meningkatkan
permukaan resapan saluran. Dengan demikian teknik mulsa vertikal tersebut
diharapkan dapat memudahkan petani membersihkan sisa tanaman sebelum
pengolahan tanah, sekaligus mendayagunakan saluran untuk mengomposkan sisa
tanaman di lahannya (Kurnia, 2004).
Peranan dari teknik mulsa vertikal ini yang terdiri dari 3 komponen, yaitu
pemanfaatan limbah (serasah), pembuatan saluran, dan guludan, antara lain :
1. Limbah (serasah) berfungsi sebagai :
a) Menghasilkan unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman, yaitu
seresah yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi. Lalu
aktivitas mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau
b) Biomass segar yang telah dikomposisi tersebut merupakan media yang
dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar
sehingga penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien.
c) Bahan organik yang telah terkomposisi di dalam saluran dapat
diangkat dan digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat
memperbaiki kesuburan tanah.
d) Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan
niche ekologi bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan
memanfaatkan energi dan unsur hara di dalam mulsa dan akan
menghasilkan senyawa organik yang dapat memantapkan agregat
tanah.
e) Limbah/seresah yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi
sebagai penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh
sedimen sehingga air akan mudah meresap ke dalam saluran.
2. Saluran berfungsi sebagai:
a) Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran
permukaan yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air
akan masuk ke dalam saluran.
b) Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa
oleh aliran dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di
bagian saluran mulsa vertikal tersebut.
3. Dan guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan
partikel-partikel tanah akan terhenti di bagian guludan tersebut
(www.dephut.go.id/files/Pratiwi).
Teknik pemulsaan (mulching) yang selama ini dilakukan yaitu tindakan
pelapisan permukaan tanah (teknik mulsa horizontal) yang menggunakan bahan
tertentu agar tanah terhindar dari pukulan langsung (energi kinetik) curah hujan,
limpasan permukaan (run-off) dan erosi, serta mempertahankan/meningkatkan
kelembaban tanah, mengendalikan fluktuasi temperatur tanah, dan menambah
unsur hara tanah hanya sesuai pada lahan datar, tetapi kurang/tidak efektif bila
diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng tinggi, apalagi dengan
kedalaman solum yang dangkal sampai sangat dangkal (Arsyad, 2000).
Pada kondisi lahan miring perlakuan mulsa vertikal dapat menekan laju
limpasan permukaan dan erosi yang sekaligus menekan pencucian bahan organik
dan unsur hara, dapat meningkatkan infiltrasi tanah, meningkatkan kadar unsur
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kebun kakao desa Prapat Janji Dusun VII, Kel.
Bangun Rejo, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan, pada bulan Juni sampai dengan
Agustus 2011.
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini antara lain :
cangkul, meteran, tali plastik, timbangan, bor tanah, dan program SAS untuk
analisa statistik.
Bahan-bahan yang digunakan selama melakukan penelitian antara lain:
serasah daun kakao yang akan digunakan sebagai bahan organik dalam teknik
biopori dan mulsa vertikal.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan petak berjalur (strip plot design)
dengan 3 (kali) ulangan. Dimana faktor pertamanya yaitu kemiringan lahan dan
faktor keduanya yaitu penempatan serasah kakao.
Tabel 3. Faktor Pertama (Kemiringan Lahan)
No. Simbol Tingkat Kemiringan Lahan (%)
1. T1 3 ( datar )
2. T2 8 ( landai )
3. T3 15 ( miring )
Tabel 4. Faktor Kedua (Penempatan Serasah Kakao)
No. Simbol Perlakuan
1. M0 Kontrol (tanpa pemberian mulsa)
2. M1 Biopori
Dengan kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Tabel Kombinasi Perlakuan
Perlakuan Kemiringan Lahan (T)
Penempatan Serasah Kakao (M)
M0T1 M1T1 M2T1
Jumlah tanaman/plot : 12
Jumlah tanaman seluruhnya : 324
Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Strip plot
design yaitu:
Yijk = µ + ρi
+
αj + εij+ βk + εjk + (αβ)jk+ εijk i = 1,2,3 j = 1,2,3 k = 1,2,3Yijk
µ = Rataan umum
= Adalah nilai pengamatan pada ulangan ke – i, perlakuan kemiringan
lahan ke – j dan penempatan serasah ke - k
(αβ) jk = Pengaruh interaksi perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan
serasah ke – k
= Nilai error pada perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan
€ijk = Efek error pada ulangan ke – i, perlakuan kemiringan lahan ke – j dan
penempatan serasah ke – k.
Bila data yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji beda
nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
A. Pembuatan Lubang Biopori
1) Tanah dilubangi dengan menggunakan bor tanah sampai dengan
kedalaman 100 cm dari atas permukaan tanah
2) Setelah itu isi lubang biopori dengan serasah daun kakao sedikit demi
sedikit, dan dipadatkan dengan menggunakan kayu pemukul hingga
lubang biopori terisi penuh oleh bahan organik.
3) Tutup lubang biopori dengan menggunakan tanah sekaligus melakukan
pemberian tanda pada lubang biopori yang akan diamati.
4) Plot penelitian dibuat dengan ukuran 10 x 10 m yang terdiri dari 40
lubang biopori, jarak antar lubang biopori adalah 100 cm. Dalam 1
lubang biopori berisi bahan organik sisa tanaman atau serasah daun
kakao sebanyak 3 kg.
B. Pembuatan Mulsa Vertikal
Tanah digali dengan menggunakan cangkul dengan lebar 50 cm,
kedalaman 50 cm dan panjang 10 m. Setelah itu masukkan serasah daun kakao
dengan jumlah yang sama yang digunakan dalam perlakuan biopori. Selanjutnya
tutup mulsa vertikal dengan menggunakan tanah galian.
Pengambilan sampel tanah yang dilakukan pada masing-masing perlakuan
adalah sama yaitu sampel tanah komposit. Sampel tanah yang diambil pada
perlakuan biopori maupun mulsa vertikal adalah yang berjarak 10 cm dengan
kedalaman 0 – 20 cm dari lubang biopori dan mulsa vertikal.
Pada penelitian ini dilakukan 2x pengambilan sampel tanah yaitu sampel
tanah tanpa pemberian mulsa (kontrol) dan pada saat bahan organik telah
terdekomposisi/matang (1 bulan setelah aplikasi bahan organik) atau setelah
perlakuan biopori dan mulsa vertikal.
D. Pengukuran Bulk Density Tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan menggunakan ring sample
dengan cara sebagai berikut :
1) Bersihkan lapisan tanah yang akan diambil dan gali hingga kedalaman ±
10 cm, kemudian letakkan ring sampletegak pada lapisan tanah tersebut.
2) Tekan ring samplesampai seluruh bagiannya masuk kedalam tanah atau
rata dengan tanah.
3) Kemudian ring sample beserta tanah didalamnya digali dengan
menggunakan sekop. Potonglah kelebihan tanah yang ada pada bagian
atas dan bawah ring sample sampai rata sekali dengan menggunakan
pisau.
4) Tutup ring sample dengan tutup plastik, dan sampel tanah siap diuji di
laboratorium.
Bahan organik tanah adalah hasil peruraian tubuh bekas jasad hidup
(tumbuhan dan hewan), sehingga menunjukkan perbedaan dalam ukuran, bangun,
komposisi, dan watak fisika – kimia dari aslinya dan telah menyatu dengan bahan
penyusun tanah lainnya. Penetapan bahan organik tanah dilakukan dengan metode
Walkley dan Black.
Penetapan N
Dilakukan dengan metode Kjehdal
pH tanah
dilakukan dengan metode Elektrimeter dengan menggunakan pH meter.
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Dilakukan dengan metode ekstraksi 1 N NH4Oac
P-tersedia
pH 7.
Dilakukan dengan metode Bray II.
3.5. Parameter Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi variabel sifat fisik,
sifat kimia dan sifat biologi tanah yaitu :
Sifat Fisik Tanah :
1. Permeabilitas
2. Bulk density (BD)
3. Infiltrasi
Sifat Kimia Tanah :
1. pH
3. K-tukar (me/100gr)
4. Ca-tukar (me/100gr)
5. Mg-tukar (me/100gr)
6. Na-tukar (me/100gr)
7. KTK (me/100gr)
Sifat Biologi Tanah :
1. Total mikroba dalam tanah
2. C-organik (%)
3. N-total (%)
4. C/N
Parameter pengamatan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Sifat Fisik Tanah
Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan dan analisis laboratorium
diperoleh nilai pengamatan untuk setiap parameter fisika yang diamati pada
masing-masing perlakuan dengan kemiringan lahan yang berbeda seperti yang
terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan terhadap Bulk Density dan Permeabilitas Tanah Kebun Kakao
Perlakuan Bulk Density
(g/cm3
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata jujur (BNT) pada taraf 5%.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai bulk density, juga disajikan dalam
Gambar 1. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Bulk Density Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai bulk density pada perlakuan biopori dan mulsa
vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai bulk density. Keadaan atau kemiringan
lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai bulk density. Sedangkan
interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai bulk density.
Tabel 6 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1)
dan mulsa vertikal (M2) dapat menurunkan nilai bulk density tanah. Pada
perlakuan biopori (M1) nilai bulk density menurun menjadi 1.12 g/cm3 dan pada
perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai bulk density menjadi 1.14 g/cm3 berbeda
nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa yaitu 1.22 g/cm3
Sementara pada perlakuan kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai
bulk density. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai bulk density adalah 1.01
g/cm
.
3
, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai bulk
density meningkat menjadi 1.16 dan 1.30 g/cm3
Sedangkan perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan
bulk density. Perlakuan interaksi menunjukkan bahwa dengan kemiringan lahan
yang lebih besar dapat menyebabkan peningkatan nilai bulk density. Hal ini
terlihat jelas pada perlakuan biopori (M1) dimana seiring dengan meningkatnya
kemiringan lahan maka nilai bulk density juga semakin besar. Begitu juga pada
perlakuan mulsa vertikal (M2) dan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0).
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai permeabilitas, juga disajikan dalam
bentuk diagram (Gambar 2) :
Gambar 2. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Permeabilitas Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai permeabilitas pada perlakuan biopori dan mulsa
vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai permeabilitas. Keadaan atau kemiringan
lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai permeabilitas. Sedangkan
interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai permeabilitas.
Tabel 6 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori dan
mulsa vertikal dapat meningkatkan nilai permeabilitas tanah. Pada perlakuan
perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai permeabilitas menjadi 16.10 g/cm3, berbeda
nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) yaitu 11.89 g/cm3
Sedangkan pada perlakuan kemiringan lahan dapat menurunkan nilai
permeabilitas. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai permeabilitas adalah 16.15
g/cm
.
3
, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai
permeabilitas menurun menjadi 12.98 g/cm3 dan 13.02 g/cm3
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan
lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan
menurunnya nilai permeabilitas. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai
permeabilitas tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar
18.33 g/cm
.
3
dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai permeabilitas menjadi
menurun yaitu 14.63 g/cm3. Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang lebih
besar (T3) nilai permeabilitas lebih besar dari kemiringan lahan T2 yaitu 15.35
g/cm3
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) juga dapat menurunkan nilai
permeabilitas, tetapi tidak sebesar pada perlakuan mulsa vertikal (M2). Pada
perlakuan biopori (M1) nilai permeabilitas tertinggi juga terdapat pada
kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 16.51 g/cm
. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa dengan bertambahnya
kemiringan lahan (T2) nilai permeabilitas tanah menurun, tetapi pada kemiringan
lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai permeabilitas tanah lebih besar dari T2.
3
dan pada kemiringan lahan
landai (T2) nilai permeabilitas menjadi menurun yaitu 12.60 g/cm3. Berbeda
halnya pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai permeabilitas lebih
besar dari kemiringan lahan T2 yaitu 13.36 g/cm3. Perlakuan biopori (M1) juga
permeabilitas tanah menurun, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3)
ternyata nilai permeabilitas tanah lebih besar dari T2.
Pada kedua perlakuan (biopori dan mulsa vertikal) menunjukkan bahwa
kemiringan lahan landai (T2) dapat menurunkan nilai permeabilitas tanah, tetapi
pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai permeabilitas tanah ternyata
lebih besar meskipun tidak sebesar pada kemiringan lahan datar (T1).
Grafik laju infiltrasi pada masing-masing perlakuan dengan kemiringan
lahan datar, landai dan miring dapat dilihat pada Gambar 3 :
Gambar 3. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap laju Infiltrasi Tanah Kebun Kakao.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa
vertikal (M2) dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah. Pada perlakuan mulsa
vertikal (M2) laju infiltrasi pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 3
cm/menit dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) laju infiltrasi
menjadi meningkat yaitu 4.2
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) juga dapat menaikkan laju
infiltrasi, tetapi tidak sebesar pada perlakuan mulsa vertikal (M2). Pada perlakuan cm/menit dan 4.5 cm/menit. Perlakuan mulsa vertikal
(M2) menunjukkan bahwa dengan kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3)
dapat menyebabkan peningkatan laju infiltrasi tanah. 2,5
M0T1 M0T2 M0T3 M1T1 M1T2 M1T3 M2T1 M2T2 M2T3
biopori (M1) laju infiltrasi infiltrasi pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu
sebesar 2.6 cm/menit dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3)
laju infiltrasi menjadi meningkat yaitu 3.8cm/menit dan 4.2 cm/menit. Perlakuan
biopori (M1) juga menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kemiringan lahan
(T2) dapat menyebabkan peningkatan laju infiltrasi tanah.
4.1.2. Sifat Kimia Tanah
Berdasarkan hasil analisis laboratorium diperoleh nilai pengamatan untuk
setiap parameter kimia yang diamati pada masing-masing perlakuan dengan
kemiringan lahan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Kebun Kakao.
Perlakuan pH
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap pH tanah, juga disajikan dalam bentuk
diagram (Gambar 4) :
Gambar 4. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap pH Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan pH tanah pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal
serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap pH tanah. Keadaan atau kemiringan lahan juga
berpengaruh signifikan terhadap pH tanah. Sedangkan interaksi antara
penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap pH tanah.
Tabel 7 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori dan
mulsa vertikal dapat meningkatkan pH tanah. Pada perlakuan biopori (M1) pH
tanah meningkat menjadi 6.21, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) pH tanah
menjadi 6.55, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) pH
Begitu pula dengan kemiringan lahan yang lebih besar dapat
meningkatkan pH tanah. Pada kemiringan lahan datar (T1) pH tanah adalah 5.67,
tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) pH tanah meningkat
menjadi 6.31 dan 6.55.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan
lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat
meningkatkan pH tanah. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) pH tanah tertinggi
terdapat pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) yaitu sebesar 6.89. Tetapi
pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) pH tanah ternyata semakin
menurun menjadi 6.25 dan 6.50. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan
bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah.
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) pH tanah tertinggi juga terdapat
pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) yaitu sebesar 6.57. Tetapi pada
kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) pH tanah juga ternyata semakin
menurun menjadi 5.57 dan 6.48. Perlakuan biopori (M1) juga menunjukkan
bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah.
Pada kedua perlakuan (biopori dan mulsa vertikal) menunjukkan bahwa
kemiringan lahan yang lebih besar (T3) dapat meningkatkan pH tanah, begitu pula
sebaliknya pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1) pH tanah ternyata lebih
rendah.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai P-tersedia, juga disajikan dalam bentuk
Gambar 5. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap P-tesedia Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai P-tersedia pada perlakuan biopori dan mulsa
vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai P-tersedia. Keadaan atau kemiringan
lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai P-tersedia. Sedangkan interaksi
antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai P-tersedia.
Tabel 7 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1)
dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai P-tersedia. Pada perlakuan
biopori (M1) nilai P-tersedia meningkat menjadi 9.09 ppm, dan pada perlakuan
mulsa vertikal (M2) nilai P-tersedia menjadi 8.59 ppm berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai P-tersedia yaitu 8.48 ppm.
Sedangkan peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai
P-tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai P-tersedia
meningkat meskipun tidak sebesar pada kemiringan lahan datar (T1). Pada
kemiringan lahan datar (T1) nilai P-tersedia adalah 8.94 ppm, dan pada
kemiringan lahan landai (T2) nilai P-tersedia menurun menjadi 8.58 ppm.
Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai
P-tersedia meningkat menjadi 8.65 ppm.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan
lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai
tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai
P-tersedia lebih besar. Pada perlakuan biopori (M1) nilai P-P-tersedia tertinggi
terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 10.00 ppm. Tetapi pada
kemiringan lahan landai (T2) nilai P-tersedia menjadi menurun yaitu 8.02 ppm.
Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang besar (T3) ternyata nilai P-tersedia
meningkat menjadi 9.26 ppm. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa
peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai P-tersedia, tetapi pada
kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai P-tersedia menjadi
meningkat.
Sedangkan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) juga dapat meningkatkan
nilai P-tersedia, tetapi tidak sebesar pada perlakuan biopori (M1). Pada perlakuan
mulsa vertikal (M2) nilai P-tersedia tertinggi terdapat pada kemiringan lahan
landai (T2) yaitu sebesar 9.14 ppm. Dan pada kemiringan lahan datar (T1) nilai
P-tersedia adalah 8.22 ppm. Sedangkan pada kemiringan lahan yang lebih besar
(T3) nilai P-tersedia menurun menjadi 8.42 ppm. Perlakuan mulsa vertikal (M2)
menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat meningkatkan nilai
tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai K-tukar, juga disajikan dalam bentuk
diagram (Gambar 6) :
Gambar 6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap K-tukar Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai K-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal
serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 12. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap nilai K-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga
berpengaruh signifikan terhadap nilai K-tukar. Sedangkan interaksi antara
penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap nilai K-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1)
dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai K-tukar. Pada perlakuan
biopori (M1) nilai K-tukar meningkat menjadi 0.61 me/100g, dan pada perlakuan
mulsa vertikal (M2) nilai K-tukar menjadi 0.56 me/100g berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai K-tukar adalah 0.20 me/100g.
Sedangkan perlakuan kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai K-tukar,
tetapi dapat pula menyebabkan menurunnya nilai K-tukar pada kemiringan lahan
yang lebih besar. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai K-tukar adalah 0.46
me/100g, dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai K-tukar meningkat menjadi
0.49 me/100g, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai K-tukar
menjadi menurun yaitu sebesar 0.43 me/100g.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan
lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai K-tukar,
tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar nilai K-tukar menjadi lebih rendah.
Pada perlakuan biopori (M1) nilai K-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan
lahan landai (T2) yaitu sebesar 0.73 me/100g. Dan pada kemiringan lahan datar
(T1) nilai K-tukar adalah 0.56 me/100g. Sedangkan pada kemiringan lahan yang
lebih besar (T3) nilai K-tukar adalah yang paling rendah yaitu sebesar 0.55
me/100g. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan
lahan dapat pula meningkatkan nilai K-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang
lebih besar (T3) nilai K-tukar menjadi menurun.
Sedangkan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) juga dapat meningkatkan
nilai K-tukar, tetapi tidak sebesar pada perlakuan biopori (M1). Pada perlakuan
mulsa vertikal (M2) nilai K-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar
(T1) yaitu sebesar 0.65 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar
(T2 dan T3) ternyata nilai K-tukar menurun menjadi 0.51 me/100g dan 0.53
me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa peningkatan
kemiringan lahan dapat menurunkan nilai K-tukar.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan
perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai Ca-tukar, juga disajikan dalam bentuk
Gambar 7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Ca-tukar Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai Ca-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal
serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 13. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap nilai Ca-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga
berpengaruh signifikan terhadap nilai Ca-tukar. Sedangkan interaksi antara
penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap nilai Ca-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1)
dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai Ca-tukar. Pada perlakuan
biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) nilai Ca-tukar meningkat menjadi 1.31
me/100g, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa (M0) nilai Ca-tukaradalah
0.70 me/100g.
Sedangkan perlakuan kemiringan lahan dapat menyebabkan menurunnya
nilai Ca-tukar. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai Ca-tukar adalah 1.21
me/100g, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai
Ca-tukar menjadi menurun yaitu masing-masing sebesar 1.05 dan 1.06 me/100g.