KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
PADA BERBAGAI ASPEK AGRONOMI
ANI KURNIAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul Kajian Karakter Biomassa, Kadar Dan Profil Derivat Xanthone Serta Potensi Antioksidan Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Pada Berbagai Aspek Agronomi adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2011
ANI KURNIAWATI. Study of biomass characters, content and profile of xanthones derivates, and antioxidant properties of mangosteen fruit’s hulls on the several aspects of agronomy. Supervised by: ROEDHY POERWANTO as the chairman, SOBIR, DARDA EFENDI, and HERRY CAHYANA as the members of advisory commitee.
Research reports about the presence of xanthones compounds in the fruit hull of mangosteen and xanthone bioactivity provides great hope for Indonesia as mangosteen producing countries and is the center of origin of the mangosteen plant to explore utilization. Studies on isolation of types of xanthones and biological activity have been widely reported. However, there is a gap between research of chemical /pharmacological and agronomy fields, so it has not been clearly the known the cultuvation and environmental factors on the mangosteen tree. Xanthones development as industrial materials of phytopharmaca or other natural industry requires cultivation standard to produce the raw material of fruit hull which is determined according to industry standards. To achieve this we need studies on biomass production potential of mangosteen fruit hull, xanthone derivatives and profile, and antioxidant properties in aspects of agronomy.
This research aims to study the influence of agroecology of production centers, various stages of fruit development of mangosteen and after the fruit is harvested, a diverse group of fruit quality, and the influence of farming inputs of N, P, K fertilization on biomass production of fruit hull, levels and profiles of xanthone derivates, and antioxidant properties. Research began in 2006 through January 2009. The plant material of the mangosteen fruit from mangosteen population in various centers: Leuwiliang, Bogor; Wanayasa, Purwakarta; Puspahiang, Tasikmalaya; Kaligesing, Purworejo dan Watulimo, Trenggalek. The analysis was conducted in various laboratories at the Department of Agronomy and Horticulture; Laboratory of RGCI, Laboratory of Ecophysiology; Integrated Laboratory, Faculty of Agriculture, IPB; and analytical profile of xanthones with Liquid Chromatography Mass Chromatography (LCMS) at the Institute of Molecular Biology, University of Queensland.
maturation, 74.99-75.51 g per fruit. The thickness of fruit hull is different between stage of fruit maturity, the highest is 2 MAA and decrease when the ripening fruit; the weight of the hull increase in accordance with the age of the fruit with the highest weight at 3 MAA that is 51.48 g/ fruit. After the fruit is harvested and stored happen deterioration of physical characteristics of fruit. Grouping of fruit quality based on physical characteristics affect hull thickness, weight of wet hull, dry and weight hull but does not affect the hardness of fruit hull; and also affect chemistry characters namely total soluble solids and vitamin C. Input cultivation of N and K fertilization did not increase the physical characters of the mangosteen fruit. Only posphor fertilization increases fruit weight significantly in both doses 600 and 1200 g P2O5 per tree, with fruit weight range 70.22-73.63 g/fruit. The thickness and weight of the fruit hull biomass increased with fertilization at the doses of 600 g P2O5/ tree and 1200 g P2O5/ tree with increased 20.7% and 24.1%.
α-mangostin is a type of xanthones dominant for the fruits of various types of agroecology poduction centers, various fruit growth stages and after the fruit is harvested and stored, various group of quality mangosteen, and the tree fertilized with N, P and K. Levels of xanthones and α-mangostin of the fruit ages 1 to 4 MAA is no different, range 14.67-16.21 mg/g and 186.54-205.49 mg/g crude extract of the hull. Content of xanthones standar after the fruit is harvested increased, while levels of benzophenone and α-mangostin did not change. Dotted fruit had higher levels of xanthones standar and benzophenone, its have significantly higher than the fruit sap, but no different than any other fruit group. Only levels of P fertilization affect the xanthones derivat, phosphorus fertilization significantly decrease levels of xanthones standard and benzophenone at doses of 600 and 1200 g P2O5/tree; a reduction in consecutive 28.2% and 28.3%, while benzophenone decrease 45.3% and 45.4%. Levels of α-mangostin significantly decreased only in fertilizer P 1200 g P2O5 per tree with 15% decrease.
activity as radical scavenger. Gruoping fruit based physical character does not affect free radical, IC50 values ranging from 5.57 to 6.11 ppm. Radical scavenging activity was not influenced by the doses of N, P and K fertlizier; IC50 values below 20 ppm.
Xanthones profile in mangosteen hull extract are the same among the type of agroecology centers, fruit growth stadia and after the fruit is harvested and stored, a variety of physical conditions of mangosteen fruit, and fertilizer N, P, or K. In the chromatogram there are 20 peaks, with 6 compounds were identified as xanthones based on the characteristics of the UV spectrum and m/z, namely isomangostin, gartanin, 8-deoxygartanin, 9-hydroxycalabanxanthone, α-
mangostin and β-mangostin; and 6 compounds were identified based on the m/z, namely dehydrasion of 6-O-methylmangostanine (m/z 422.18), whose loss 4 atomic H, mangostanol (m/z 426.17), mangoxanthone (m/z 396.16) whose loss 2H, mangostinone (m/z 380.16), mangostenone B ( m/z 462.21) are excess of two H atoms, mangostenone A (m/z 460.19) whose loss 1H, Garciniafuran (m/z 380 127) whose lost 4H.
ANI KURNIAWATI. Kajian karakter biomassa, kadar dan profil derivat xanthone serta potensi antioksidan kulit buah manggis pada berbagai aspek agronomi. Komisi Pembimbing : ROEDHY POERWANTO (Ketua), SOBIR, DARDA EFENDI dan HERRY CAHYANA (Anggota).
Laporan penelitian tentang senyawa xanthone dalam kulit manggis dan bioaktivitasnya memberikan harapan besar bagi Indonesia sebagai negara penghasil manggis dan merupakan centre of origin dari tanaman manggis untuk menggali potensi pemanfaatannya. Kajian tentang isolasi berbagai jenis xanthone dan aktivitas biologinya pun telah banyak dilaporkan. Namun demikian, terdapat kesenjangan penelitian antara bidang kimia/farmakologi dengan bidang agronomi sehingga belum diketahui jelas faktor budidaya dan lingkungan yang mempengaruhi pembentukan xanthone dalam tubuh tanaman manggis. Pengembangan xanthone sebagai bahan baku industri fitofarmaka atau industri bahan alam lainnya memerlukan standar budidaya untuk menghasilkan bahan baku kulit manggis yang berkualitas sesuai standar industri yang ditentukan. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan kajian tentang potensi produksi biomassa kulit manggis, kadar derivat xanthone dan profilnya serta daya antioksidannya ditinjau dari aspek agronomi. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh agroekologi sentra, berbagai stadia perkembangan buah manggis dan setelah buah dipanen, berbagai kelompok kualitas buah, dan pengaruh input budidaya pemupukan N, P, K terhadap produksi biomassa kulit buah, kadar dan profil xanthone serta potensi antioksidannya.
Penelitian dimulai tahun 2006 hingga Januari 2009. Bahan tanaman berupa buah manggis yang berasal dari populasi pohon manggis di berbagai sentra yaitu Leuwiliang, Bogor; Wanayasa, Purwakarta; Puspahiang, Tasikmalaya; Kaligesing, Purworejo dan Watulomi, Trenggalek. Analisis dilakukan di berbagai Laboratorium di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB yaitu Laboratorium RGCI; Laboratorium Ekofisiologi; dan Laboratorium Terpadu, Faperta, IPB; serta analisis profil xanthone dengan Liquid Chromatography Mass Chromatography di Institute of Molecular Biology (IMB), University of Queensland.
Potensi kulit buah sangat ditentukan oleh bobot buah, biomassa kulit buah dari Leuwiliang tertinggi yaitu 70.77 %, diikuti buah dari Watulimo dan Kaligesing, serta buah dari Wanayasa dan Puspahiang. Bobot buah mengalami peningkatan hingga buah berumur 3 bulan setelah anthesis (BSA) dan kemudian tidak berubah ketika memasuki proses akhir pematangan, berkisar 74.99-75.51 g/buah. Tebal kulit buah tertinggi umur 2 BSA yaitu 1.01 cm dan memasuki pematangan buah menurun; bobot kulit meningkat dengan bertambahnya umur buah, bobot tertinggi saat umur 3 BSA yaitu 51.48 g/buah. Setelah buah dipanen dan disimpan terjadi kemundurun karakter fisik buah yaitu bobot buah dan biomassa kulit buah.
Pengkelasan kualitas buah menjadi kelompok kualitas buah mempengaruhi tebal kulit, bobot kulit basah dan bobot kulit kering serta karakter kimia buah yaitu padatan terlarut total dan vitamin C; tetapi tidak mempengaruhi kekerasan kulit buah. Input budidaya yaitu pemupukan N dan K tidak meningkatkan bobot buah. Hanya pemupukan posphor yang meningkatkan bobot buah secara nyata baik pada dosis 600 maupun 1200 g P205 per pohon, dengan kisaran bobot buah 70.22-73.63 g/pohon. Ketebalan dan bobot biomassa kulit buah meningkat dengan pemupukan P pada dosis 600 g P205/pohon dan 1200 g P205/pohon dengan peningkatan 20.7 dan 24.1%.
Derivat xanthone yang dominan adalah α-mangostin untuk semua buah dari berbagai tipe agroekologi sentra penanaman manggis, berbagai umur buah manggis dan setelah buah dipanen dan disimpan, berbagai kelompok kualitas manggis, dan buah dari pohon yang dipupuk N, P dan K. Kadar standar xanthone
dan α-mangostin kulit manggis dari umur buah 1 BSA hingga 4 BSA tidak berbeda, berturut-turut berkisar 14.67-16.21 mg/g dan 186.54-205.49 mg/g ekstrak kasar kulit. Kadar standar xanthone setelah buah dipanen meningkat, sedangkan kadar benzophenone dan α-mangostin tidak berubah. Kelompok kualitas buah yaitu buah burik memiliki kadar standar xanthone dan benzophenone nyata lebih tinggi dibandingkan buah bergetah, namun tidak berbeda dengan kelompok buah lainnya. Pemupukan P menurunkan secara nyata kadar xanthone dan benzophenone, baik pada dosis 600 maupun 1200 P205 per pohon; penurunan standar xanthone berturut-turut sebesar 28.2 dan 28.3%, sedangkan penurunan benzophenone berturut turut sebesar 45.3 dan 45.4%.
Kulit manggis sangat potensial sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenger). Buah dari Watulimo mempunyai kemampuan radical scavenger
terendah berbeda dengan Wanayasa, Kaligesing, Leuwiliang namun masih sama kuatnya dengan buah dari Tasikmalaya. Aktivitas radical scavenger berbeda antar umur buah, tertinggi pada umur 1-2 BSA berkisar 6.31-6.80 ppm dan menurun dengan peningkatan umur buah. Penyimpan buah selama 2 minggu menurunkan aktivitasnya radical scavenger. Pengkelasan buah berdasar karakter fisik tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan, dengan nilai IC50 berkisar 5.57-6.11 ppm untuk semua kelompok kualitas buah. Aktivitas radical scavenging tidak dipengaruhi oleh dosis pemupukan N, P dan K.
Profil xanthone sama dalam ekstrak kulit manggis baik antar tipe agroekologi sentra, stadia perkembangan buah dan setelah buah dipanen dan disimpan, berbagai kondisi kelompok kualitas buah, dan pemupukan hara N, P, maupun K. Dalam kromatogram HPLC terdapat 20 peak, dengan 6 senyawa yang diidentifikasi dengan LCMS sebagai xanthone berdasarkan karakteristik spektrum UV dan nilai m/z, yaitu isomangostin, gartanin, 8-deoxygartanin, α-mangostin 9-hydroxycalabanxanthone dan β-mangostin; serta 6 senyawa yang diidentifikasi hanya berdasarkan m/z yaitu peak dehydrasi dari 6-O-methylmangostanine (m/z 422.179) yang diduga kehilangan 4 atom H, mangostanol (m/z 426.17), mangoxanthone (m/z 396.16) yang diduga kehilangan 2H, mangostinone (m/z 380.1601), mangostenone B (m/z 462.21) yang diduga kelebihan 2 atom H, mangostenone A (m/z 460.19) yang diduga kehilangan 1H, Garciniafuran (m/z 380.127) yang diduga kehilangan 4H.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANTIOKSIDAN KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
PADA BERBAGAI ASPEK AGRONOMI
ANI KURNIAWATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Faperta, IPB)
Dr Ir Winarso Drajad Widodo, MS
(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Winny Dian Wibawa, MSc
(Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian)
Dr Ir Maya Melati, MS
(Garcinia Mangostana L.) pada Berbagai Aspek Agronomi
Nama : Ani Kurniawati
Nomor Pokok : A 361040021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc Ketua
Dr.Ir. Sobir, MS. Anggota
Dr.Ir. Darda Efendi, MS. Anggota
Dr.Ir.A. Herry Cahyana, MSc Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Dengan rahmat Allah SWT, penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) di Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
Penelitian ini merupakan suatu inisiasi dalam penelitian xanthone di Indonesia yang mengkaitkan kegiatan di bidang ‘on farm’ yaitu input budidaya dan faktor agroekologi dengan produksi biomassa, kandungan dan profil xanthone pada kulit manggis. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbangan yang berarti dalam agribisnis manggis di Indonesia dan pengembangan kulit manggis sebagai bahan baku produksi fitofarmaka.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr.Ir.Roedhy Poerwanto, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir.Sobir, MS, Dr Ir Darda Efendi dan Dr A. Herry Cahyana sebagai Anggota Komisi yang telah banyak membantu dalam membimbing dan mengarahkan penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada
Darobi (Alm) dan ibu Sri Lestari; suami tercinta Jurisman dan anak-anak terkasih Shavira Arisa Pravianti, Gemilang Arisa Primagasi, dan Grindita Arisa Prudentia atas segala pengertian dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor.
Semoga Allah SWT membalas budi baik yang telah diberikan dan semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam diversifikasi pemanfaatan buah-buahan lokal di Indonesia.
Bogor, Agustus 2011
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 November 1969 di Klaten sebagai anak pertama dari bapak Darobi dan ibu Sri Lestari. Tahun 1982 penulis lulus dari SD Negeri Plawikan II, Jogonalan, Klaten. Sekolah Menengah diselesaikan pada tahun 1985 dari SMP Negeri Jogonalan, Klaten, dan pada tahun 1988 dari SMA Negeri 2 Klaten. Sarjana Pertanian diperoleh penulis dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1993.
Penulis diterima menjadi pegawai negeri sipil pada bulan Maret tahun 1994 dan sampai saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada Tahun 1994 penulis menikah dengan Jurisman dan telah dikaruniai tiga anak; Shavira Arisa Pravianti, Gemilang Arisa Primagasi dan Grindita Arisa Prudentia. Tahun 1998 penulis mengikuti program pendidikan pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor pada program Master dan memperoleh gelar Magister Sains dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000. Tahun 2004 penulis mengikuti program pendidikan doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis yang telah disajikan dalam Seminar ialah :
1. Evaluasi potensi xanthone pada Beberapa Kondisi Fisik Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.). Kongres dan Pertemuan Tahunan pada Publikasi dan Desiminasi Hasil Penelitian Hortikultura Indonesia. Bogor, 21-22 Oktober 2009.
2. Akumulasi Xanthone pada Berbagai Stadia Umur Buah Manggis. Kongres dan Pertemuan Tahunan pada Publikasi dan Desiminasi Hasil Penelitian Hortikultura Indonesia. Bogor, 21-22 Oktober 2009.
Sedangkan yang telah dan sedang diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah adalah :
1. Evaluation of Fruit Characters, Xanthone Content, an Antioxidant Properties of Various Qualities of Mangosteens (Garcinia manostana L.) Jurnal Agronomi Indonesia Vol. XXXVIII No.3 Desember 2010.
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Kerangka Berpikir dan Garis Besar Disertasi ... 6
Tujuan Penelitian ... 8
Hipotesis.. ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 10
Botani Manggis... 10
Budidaya Manggis ... 10
Xanthone dan Hipotetik Biosintesisnya ………. 12
Faktor-Faktor yang Berperan dalam Pembentukan Kimia Tanaman... 17
Antioksidan……… ……….25
Profilling dengan Liquid Chromatography.……….32
EVALUASI BIOMASSA, KADAR DAN PROFIL DERIVAT XANTHONE SERTA POTENSI ANTIOKSIDAN KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) DARI BERBAGAI SENTRA PENANAMAN Abstrak ... 35
Abstract ... 36
Pendahuluan ... 36
Bahan dan Metode ... 38
Hasil dan Pembahasan ... 41
Simpulan ... 62
KARAKTER BIOMASSA, KADAR DAN PROFIL DERIVAT XANTHONE SERTA POTENSI ANTIOKSIDAN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) PADA BEBERAPA STADIA PERKEMBANGAN DAN SETELAH BUAH PANEN Abstrak ... 63
Hasil dan Pembahasan ... 69
Simpulan ... 87
EVALUASI KARAKTER BIOMASSA, KADAR DAN PROFIL DERIVAT XANTHONE SERTA POTENSI ANTIOKSIDAN KULIT MANGGIS DARI BERBAGAI KELOMPOK KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Abstrak ... 88
Abstract ... 88
Pendahuluan ... 89
Bahan dan Metode ... 91
Hasil dan Pembahasan ... 94
Simpulan ... 105
KAJIAN PENGARUH HARA N, P, DAN K TERHADAP KARAKTER BIOMASSA, KADAR DAN PROFIL DERIVAT XANTHONE SERTA POTENSI ANTIOKSIDAN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) Abstrak ... 106
Abstract ... 107
Pendahuluan ... 107
Bahan dan Metode ... 109
Hasil dan Pembahasan ... 114
Simpulan ... 130
PEMBAHASAN UMUM ... 132
KESIMPULAN UMUM ... 148
Simpulan Umum ... 148
Saran ... 149
1 Karakter kulit buah manggis dari berbagai sentra produksi………. 42
2 Kadar bioaktif xanthone dari beberapa tipe agroekologi sentra….. 45
3 Kandungan makro dan keasaman tanah sentra produksi………….. 46
4 Prediksi potensi produksi derivat xanthone pada lima sentra
produksi manggis………..………..……….. 48
5 Potensi antioksidan kulit manggis dari beberapa tipe
agroekologi……… 49
6 Aktivitas antioksidan α-tocoferol dengan metode ferric thiocyanate
dan DPPH………..………..………..……… 49
7 Profil xanthone kulit buah dan identifikas derivat xanthone dari
beberapa sentra………..………..………..………… 56
8 Karakter fisik kulit manggis pada berbagai stadia umur buah…….. 70
9 Kondisi karakter kulit buah pada berbagai waktu disimpan……… 73
10 Kadar derivate xanthone dan senyawa antara xanthone pada
ekstrak kulit manggis dari beberapa umur buah………..… 75
11 Kadar xanthone pada berbagai waktu simpan………..……… 76
12 Potensi antioksidan ekstrak kulit manggis dari berbagai umur
buah………..………..………..………..…….. 78
13 Potensi antioksidan kulit manggis dari buah yang telah disimpan… 79
14 Profil xanthone pada berbagai umur buah dari hasil identifikasi
dengan LC-MS………..………..………..………… 81
15 Identifikasi profil xanthone kulit buah pada perlakuan
penyimpanan dengan LC-MS………..………..………… 85
16 Persentase Bobot Kulit terhadap Bobot Buah, Bobot Aril+Biji terhadap Bobot Buah dan Persentase Bobot Kulit Kering (KK)
terhadap Bobot Kulit Basah (KB)………..………..…… 95
18 Kualitas kimia buah manggis pada berbagai kondisi kualitas
buah... 97
19 Kadar benzophenone dan derivat xanthone berbagai kualitas buah... 99
20 Potensi antioksidan ekstrak kulit manggis………..………….. 100
21 Profil xanthone dari berbagai kualitas buah manggis……… 103
22 Dosis perlakuan pupuk N dan tahapan aplikasi pupuk……….. 110
23 Dosis perlakuan pupuk P dan tahapan aplikasi pupuk……….. 111
24 Dosis perlakuan pupuk K dan tahapan aplikasi pupuk……….. 111
25 Karakter kulit buah manggis dari perlakuan pupuk N... 114
26 Karakter fisik kulit buah manggis yang dipupuk Phosphor……….. 115 27 Pengaruh pemupukan kalium terhadap karakter kulit buah manggis... ... ... 117
28 Kadar xanthone kulit manggis dari berbagai perlakuan N... 118
29 Kandungan bioaktif xanthone dan kadar P jaringan kulit buah dari berbagai perlakuan pupuk P... ... 120
30 Pengaruh pemupukan kalium kadar bioaktif dan kadar K jaringan... ... ... 121
31 Aktivitas antioksidan pada beberapa perlakuan pemupukan N……. 122
32 Aktivitas antioksidan pada beberapa perlakuan pemupukan phosphor... 122
33 Pengaruh pemupukan kalium terhadap karakter kulit buah manggis... ... ... 122
34 Profil xanthone hasil identifikasi dengan LC-MS berdasar kromatogram HPLC pada perlakuan pupuk N... 125
35 Profil xanthone hasil identifikasi dengan LC-MS dari kromatogram HPLC pada perlakuan pupuk P... 126
37 Korelasi karakter fisik buah ... ... ... .... 144
38 Korelasi antara benzophenone dengan derivat xanthone... 145
39 Korelasi kapasitas antioksidan dengan derivat xanthone... 146
40 Korelasi antar derivat xanthone dalam profil xanthone kulit
No Judul Halaman
1 Kerangka pemikiran kajian biomassa, kadar dan profil derivat xanthone, serta potensi antioksidan kulit buah manggis (Garcinia
mangostana)……… 7
2 Alur kerangka berpikir penelitian……… 8
3 Struktur Xanthone : 1 = 11-hydroxy-1-isomangostin, 2 = garcinone
C, 3 = garcinone D, 4 = γ-mangostin, 5, 8-deoxygartanin, 6 =
gartanin, 7 = α-mangostin, 8 = garcinone E, 9 =
demethylcalabaxanthone, 10 = 1,6-dihydroxy-7-methoxy-8-(3-methylbut-2-enyl)-6’,6’ dimethylpyrano(2’,3’:3,2)xanthone, 11 = b-mangostin, 12 = mangostenone A, 13 = calabaxanthone, 14 =
tovophyllin B ……….. 13
4 Usulan skema biosinthesis xanthone pada kultur sel Hypericum
androsaenum (Schmidt dan Beerhues,1997)……... 17 5 Pusat alur lintasan pembentukan berbagai phenylpropanoid,
diantaranya benzophenone sebagai prekursor xanthone (Stark,
1997)……… 18
6 Struktur umum flavonoid dan sistem penomeran……… 24
7 Oksidan dari metabolisme normal. Pembentukan O2, H2O2 dan – OH terjadi oleh kelebihan penambahan elektron terhadap O2.
cytochrome oxidase menambah 4 elektron selama pembentukan energi dalam mitokondria, tetapi beberapa produk intermediat
toksik ini tidak bisa dihindari (Ames et al., 1993)……….. 25
8 Kromatogram HPLC benzophenone, benzophenone dan standar
xanthone (1) benzophenone, (2) α-mangostin, (3) standar xanthone.. 43
9 Contoh Kromatogram HPLC sampel bersama standar: (1) benzo+sampel, (2) α-mangostin+sampel, (3) standar
xanthone+sampel phenone... 44
10 Kromatogram HPLC ekstrak kulit manggis dari beberapa sentra…... 50
11 Karakteristik UV dari senyawa xanthone (Ji et al, 2007) yang digunakan sebagai pembanding dalam identifikasi peak dari
manggis, tiap peak yang akan diidentifikasi nilai m/z diberi identitas
abjad dari a hingga u……… 52
13 Kromatogram MS peak (a) hingga (f) dari ekstrak kulit manggis….. 53
14 Kromatogram MS peak (g) hingga (m) dari ekstrak kulit manggis… 54
15 Kromatogram MS peak (o) hingga (t) dari ekstrak kulit manggis…. 55
16 Kromatogram MS peak (u) dari ekstrak kulit manggis……….. 56
17 Rumus bangun 6 jenis xanthone yang yang digunakan untuk
mengidentifikasi derivate xanthone berdasarkan spectrum UV…….. 59
18 Rumus bangun 6 jenis xanthone yang muncul pada kromatogram
dan diidentifikasi berdasar nilai m/z……….. 61
19 Proporsi bagian-bagian buah manggis selama perkembangan dari
umur 1-4 bulan setelah anthesis ……….. 72
20 Kromatogram HPLC ekstrak kulit manggis berbagai umur buah manggis selama perkembangan buah, berturut-turut dari atas ke
bawah umur 1, 2, 3 dan 4 BSA……… 80
21 Profil xanthone kulit manggis dari buah yang mengalami perlakuan
penyimpanan, hasil identifikasi dengan LCMS………... 84
22 Profil xanthone hasil LC-MS dari berbagai kualitas buah... 102
23 Kromatogram HPLC ekstrak kulit manggis dari perlakukan pupuk,
dari atas ke bawah yaitu pemupukan N(a), P(b) & K (c)………... 124
24 Metabolisme dasar dalam tanaman……….. 133
No Judul Halaman
1 Karakteristik fisik dan kelas tanah serta tinggi tempat sentra
produksi manggis……… 165
2 Karakteristik iklim di sentra produksi manggis ……….. 165
3 Prosedur Penetapan Kadar K dalam Jaringan Tanaman
(Metode Pengabuan Kering)………... 166
4 Prosedur Penetapan Kadar P dalam Jaringan Tanaman (Metode Pengabuan Kering)………
167
5 Prosedur Penetapan Kadar K dalam Jaringan Tanaman (Metode Pengabuan Kering………
168
6 Hasil Analisis Tanah Setelah Penelitian* dan Kriteria
Penilaian Sifat Kimia Tanah………
Latar Belakang
Tanaman merupakan sumber berbagai senyawa kimia alam yang telah
banyak dimanfaatkan bagi kehidupan manusia, baik untuk bahan obat, kosmetik,
maupun flavour. Penemuan suatu senyawa alam dari tanaman yang bermanfaat
untuk kehidupan merupakan daya penggerak untuk meningkatkan nilai ekonomi
suatu komoditas pertanian, yang berpeluang menjadi produk utama dari suatu
komoditas.
Laporan penelitian tentang adanya senyawa xanthone dalam berbagai bagian
tanaman manggis telah menginspirasi banyak orang dari berbagai negara, bahkan
bukan negara-negara yang mempunyai tanaman manggis, untuk mengembangkan
produk berbahan baku manggis. ’Xango’ merupakan salah satu produk turunan manggis yang telah dipasarkan luas sebagai suplemen kesehatan, dan dilaporkan
mempunyai berbagai efek yang menguntungkan untuk pemeliharaan kesehatan
atau pengobatan penyakit. Selain itu, terdapat permintaan kulit manggis di
beberapa sentra manggis untuk diekspor dengan harga yang lebih tinggi
dibandingkan nilai jual buahnya (komunikasi dengan petani manggis di
Leuwiliang dan Dr. Darda Efendi1).
Manggis diperbanyak secara vegetatif dengan biji apomiktik, karena
proses perkembangbiakan ini maka keragaman tanaman manggis sempit bahkan
semula dianggap tidak ada keragaman sehingga tidak ada pelepasan varietas
manggis. Saat ini telah dilepas beberapa varietas manggis setelah dilaporkan ada
perbedaan diantara populasi manggis dari berbagai sentra produksi di Indonesia,
meskipun perbedaan diantara populasi manggis tersebut adalah perbedaan minor.
Sentra produksi manggis Indonesia di Pulau Jawa terdapat di Jawa Barat
antara lain Bogor, Subang, Purwakarta, Sukabumi; di Jawa Tengah antara lain
Cilacap, Banjarnegara, dan Purworejo; di Jawa Timur diantaranya Banyuwangi,
Trenggalek, dan Blitar (Kuntarsih, 2006). Sentra produksi yang tersebar ini juga
mengakibatkan variasi agroekologi, yang selanjutnya mempengaruhi karakter
produksi dan kualitas buah. Menurut Gunawan (2007) variasi agroekologi ini
berbuah dan panen, produktivitas dan kualitas buah. Ditinjau dari sisi agribisnis
penyebaran ini menguntungkan, karena perbedaan agroklimat mengakibatkan
musim buah manggis tidak serempak dari tiap sentra produksi di Indonesia.
Kondisi ini juga berdampak positif dalam hal ketersediaan manggis di pasar yaitu
buah manggis tersedia hampir sepanjang bulan dalam setahun meskipun pohon
manggis termasuk buah musiman. Namun demikian belum ada informasi apakah
keragaman agroekologi juga mempengaruhi sintesis xanthone dalam manggis dan
aktivitasnya.
Selain hal itu, hingga saat ini belum diketahui pola akumulasi xanthone
selama perkembangan buah di pohon dan setelah buah dipanen. Banyak
dilaporkan bahwa pembentukan kualitas buah, baik karakter fisik maupun
kimiawi sangat ditentukan oleh proses dalam tubuh tanaman selama
perkembangan buah di pohon. Upaya perbaikan setelah panen hanya bisa
menunda laju kemunduran kualitas namun tidak dapat meningkatkan kualitas
buah. Agar dapat ditentukan stadia perkembangan buah manggis yang
mengakumulasi xanthone maksimum atau periode umur buah yang mulai dapat
dimanfaatkan untuk sumber xanthone, maka diperlukan pengetahuan tentang
waktu dimulainya akumulasi xanthone dalam buah manggis.
Berbagai kendala dihadapi dalam budidaya maupun pemasaran manggis.
Dari aspek budidaya diketahui kualitas buah manggis yang dihasilkan sebagian
besar berkualitas rendah karena minimnya input budidaya dalam pengelolaan
usahatani manggis. Deptan (2010) menyatakan bahwa volume produksi buah
manggis pada tahun 2007 sebesar 122 722 ribu ton dengan dengan volume ekspor
hanya 7 898 ribu ton, ini berarti buah layak ekspor hanya sekita 7 % dari total
produksi. Menurut Poerwanto et al.(2010), volume ekspor buah manggis yang rendah diantaranya diakibatkan oleh rendahnya mutu sebagian besar buah. Secara
garis besar permasalahan mutu buah manggis Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi 3 yaitu (1) adanya getah kuning pada daging buah, (2) burik pada kulit
buah, dan (3) rendahnya selflife buah. Buah yang terserang burik dan getah kuning diperkirakan mencapai 25 % sedangkan buah yang terserang getah kuning
1
Komunikasi pribadi, 2009
Fruitset pohon manggis relatif baik, ialah 91.14 % di kebun Leuwiliang, namun sebagian besar buah gugur setelah menjadi pentil buah dengan persentase
gugur buah sebesar 41.05 % (Kartika, 2004). Buah muda yang gugur dan kulit
buah manggis yang mencapai 64.93 % dari bobot buah (Sidik, 2004) hingga kini
belum dimanfaatkan. Buah dengan berbagai kondisi tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai sumber xanthone jika telah diketahui bahwa semua kondisi buah tersebut
mengandung xanthone dan diketahui potensi aktivitas antioksidannya. Masalah
lainnya terjadi setelah panen manggis yaitu tingkat harga dan penerimaan
konsumen buah manggis ditentukan terutama oleh penampilan fisik buah sehingga
buah dengan penampilan fisik kurang baik akan mempunyai nilai ekonomi dan
tingkat penerimaan yang rendah. Berdasar ini pula maka pengkelasan kualitas
buah baik untuk pasar domestik maupun untuk ekspor didasarkan pada kriteria
fisik buah yaitu ukuran buah dan tingkat kemulusan permukaan luar buah. Buah
tertutup burik dan tercemar getah kuning di permukaan luar buah dikelompokkan
dalam kelas buah dengan tingkat penerimaan konsumen dan bernilai ekonomi
rendah dan sebaliknya dengan buah berukuran besar dan penampilan kulitnya
mulus.
Pola pembuahan manggis yang musiman dan tidak teratur (on/off season) juga mengakibatkan suatu massa saat ’on season’ terjadi pasokan yang tinggi di pasaran yang berakibat buah tidak terserap. Selain itu, tidak semua sentra produksi
manggis mempunyai infrastruktur jalan yang memadai yang mengakibatkan
tersendatnya pasokan buah ke pasar. Untuk sentra produksi dengan kondisi
tersebut maka sangat potensial untuk melakukan pengalengan buah. Jika hal ini
dilakukan maka akan terdapat kulit buah manggis yang memerlukan pengelolaan
lanjut agar tidak menjadi limbah. Semua permasalahan ini dapat menjadi peluang
jika ada upaya untuk meningkatkan nilai buah manggis diantaranya dengan
peragaman produk berbahan buah manggis. Pemanfaatan kulit manggis sebagai
sumber xanthone merupakan upaya untuk meragamkan dan memanfaatkan buah
manggis.
Upaya pengembangan manggis dan penelitian manggis sedang dilakukan
dengan tujuan terutama meningkatkan produktivitas dan kualitas manggis sebagai
pemupukan, studi getah kuning, induksi pembungaan, perbaikan bibit manggis,
studi agroekologi terhadap kualitas buah manggis, studi keragaman manggis
hingga studi molekuler untuk memperbaiki pola pembungaan. Hingga saat ini
belum ada informasi apakah penerapan teknologi budidaya atau bentuk rekayasa
budidaya tanaman lainnya juga mempengaruhi biosintesis xanthone. Penelitian
yang bertujuan mengembangkan diversifikasi pemanfaatan manggis sebagai
sumber xanthone, terutama di sektor hulu ”on farm” masih jarang dilakukan bahkan belum tersentuh.
Informasi tentang pemanfaatan buah manggis sebagai bahan obat (Yaacob
dan Tindall, 1995; Verheij, 1992) merupakan harapan untuk meragamkan produk
manggis. Xanthone merupakan salah satu senyawa yang telah diteliti dan
dilaporkan terdapat pada daun, kulit batang, biji, aril, dan kulit buah manggis.
Aktivitas farmakologi xanthone telah diuji yaitu sebagai antibakteri (Suksamrarn
et al., 2003), antiinflamasi, antioksidan, antikanker (Moongkarndi et al.,2004). Hasil penelitian xanthone ini menjadikan salah satu faktor pendorong bagi
Indonesia sebagai negara penghasil manggis untuk meneliti dan mengembangkan
potensi xanthone.
Pemanfaatan manggis sebagai sumber senyawa antioksidan mempunyai
prospek dalam pengembangannya sebagai bahan fitofarmaka atau bahan yang
diperlukan dalam indutsri lain. Saat ini banyak penelitian yang memfokuskan
pencarian antioksidan alami karena beberapa antioksidan buatan yang biasa
digunakan, seperti butylated hydroxyl toluene (BHT) dan butylated hydroxyanisole (BHA), dilaporkan mempunyai efek negatif bagi kesehatan. Senyawa antioksidan terbukti bermanfaat dalam bidang kesehatan maupun
industri pangan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa asupan pangan
yang kaya antioksidan berasosiasi dengan penurunan resiko terserang penyakit
degeneratif. Selain itu, senyawa antioksidan juga merupakan bahan yang
diperlukan dalam industri pangan untuk menunda kemunduran kualitas bahan
pangan. Dengan demikian pemanfaatan kulit manggis sebagai sumber antioksidan
mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan.
Usaha penerapan teknologi budidaya tanaman penghasil bahan baku
1
Komunikasi pribadi, 2009
pertumbuhan dan produksi biomassa namun juga keterkaitannya dengan kadar
bioaktif atau indikasi potensi terapinya. Sampai sejauh ini belum ada penelitian
atau laporan tentang peranan hara atau input budidaya lainnya terkait dengan
akumulasi xanthone. Namun demikian, beberapa teknologi produksi tanaman
telah diteliti dan dilaporkan dapat digunakan untuk mendapatkan produk tanaman
obat dengan kandungan bahan aktif maksimum, yang merupakan hal penting
untuk industri farmasi dan kosmetik.
Upaya untuk mengkaji teknologi produksi pada manggis yang mengkaitkan
faktor-faktor budidaya dengan akumulasi bahan kimia tanaman, khususnya
xanthone dalam kulit manggis, sangat diperlukan untuk pengembangan manggis
sebagai penghasil senyawa alam. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan
pengetahuan dan teknologi budidaya untuk memaksimalkan kadar xanthone. Bila
pengetahuan didapat maka dalam aplikasinya kulit manggis bisa dimanfaatkan
sebagai produk samping dalam usaha tani manggis atau yang menjanjikan.
Tanaman menghasilkan dan mengakumulasi sejumlah besar senyawa alam,
senyawa sekunder. Sejumlah 10 000 senyawa sekunder telah diisolasi, namun
regulasi biologis senyawa tersebut dalam tanaman sebagian besar belum diketahui
dengan pasti (Lewinsohn dan Gijzen, 2009). Demikian halnya dengan senyawa
sekunder xanthone, terutama regulasinya sintesisnya dalam tubuh tanaman
manggis. Hingga saat ini, penelitian xanthone manggis masih terbatas pada
isolasi, identifikasi struktur dan efikasinya (Chairungsrilerd et al., 1996; Parveen dan Ud-Din Khan, 1988; Gopalakrishnan dan Balaganesan, 2000). Penelitian yang
bertujuan mempelajari faktor-faktor lingkungan di lapang yang mempengaruhi
kandungan xanthone manggis serta aspek pasca panennya masih belum dilakukan.
Upaya memaksimalkan kadar bioaktif dengan memanipulasi lingkungan tumbuh
maupun input budidaya memberikan harapan dalam pemanfaatan kulit manggis
sebagai sumber senyawa alam. Informasi sangat singkat dinyatakan oleh Strack
(1997) bahwa xanthone merupakan kelompok phenol yang dibentuk melalui
lintasan shikimate. Senyawa sekunder yang dihasilkan dalam lintasan ini
umumnya berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap stres biotik
Kerangka Pemikiran
Laporan penelitian tentang adanya senyawa xanthone dalam kulit manggis
dan bioaktivitasnya memberikan harapan besar bagi Indonesia sebagai negara
penghasil manggis dan merupakan centre of origin dari tanaman manggis untuk menggali potensi pemanfaatannya. Xanthone merupakan bahan bioaktif yang
terdapat pada beberapa bagian pohon manggis, yaitu kulit batang manggis, akar,
daun, aril, biji dan kulit buah manggis. Identifikasi jenis xanthone dari berbagai
bagian pohon manggis dan efikasi khasiatnya telah banyak dilaporkan.
Pemanfaatan kulit manggis sebagai bahan penghasil xanthone perlu
dibarengi dengan upaya mendapatkan pengetahuan atau informasi dari bidang
agronomi untuk mendapatkan kulit manggis yang berkualitas dan terstandar
sebagai bahan untuk produksi xanthone. Namun demikian saat ini terdapat
kesenjangan penelitian antara bidang kimia/farmakologi dengan bidang agronomi
sehingga belum didapatkan pengetahuan/informasi yang memadai.
Pengembangan xanthone sebagai bahan baku industri fitofarmaka atau
industri bahan alam lainnya memerlukan standar budidaya untuk menghasilkan
bahan baku kulit manggis yang berkualitas sesuai standar industri yang
ditentukan. Banyak studi melaporkan bahwa faktor-faktor budidaya yang
diterapkan dalam produksi tanaman mempengaruhi hasil, baik berupa biomassa
maupun komposisi serta jumlah senyawa kimia tanaman. Dengan alasan ini pula
maka diperlukan pengukuran kadar dan aktivitas xanthone untuk setiap tindakan
budidaya yang diterapkan.
Standar operasional prosedur budidaya manggis yang telah dan sedang
diteliti hanya menitik beratkan pada upaya peningkatan produktivitas dan kualitas
buah manggis dan belum mendapat perhatian pengaruhnya terhadap kadar
xanthone. Untuk pemanfaatan kulit manggis sebagai penghasil senyawa bioaktif
dan pengembangannya sebagai bahan industri, diperlukan upaya untuk
mempelajari faktor-faktor budidaya yang mempengaruhi biosintesis xanthone
dalam tanaman. Pengetahuan ini diperlukan untuk menghasilkan kulit manggis
kualitas yang ditetapkan, baik biomassa kulit buah maupun kadar xanthone-nya.
Bagan alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar 1, sedangkan alur
1
Komunikasi pribadi, 2009
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian biomassa, kadar dan profil derivat xanthone, serta potensi antioksidan kulit buah manggis (Garcinia mangostana)
Laporan isolasi xanthone pada buah manggis dan khasiatnya
Diperlukan kajian agronomi untuk menghasilkan kulit manggis yang berkualitas dan
terstandar kadar bioaktifnya
Terdapat kesenjangan informasi/pengetahuan antara bidang kimia/farmakognosi dengan bidang agronomi terkait biosintesis senyawa
xanthone dalam kulit manggis Potensial sebagai sumber
senyawa antioksidan
Indonesia berpotensi sebagai penghasil produk berbahan dasar
buah manggis
Faktor lingkungan
Internal tanaman
Input budidaya
Informasi kadar derivate dan profil, kapasitas
antioksidan
Gambar 2. Alur kerangka berpikir penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mempelajari pengaruh agroekologi, stadia perkembangan buah, kualitas
buah dan pemupukan tanaman manggis terhadap potensi produksi
biomassa dan kadar derivate xanthone
2. Mempelajari profil derivate xanthone dari manggis Indonesia
3. Mempelajari potensi antioksidan dari kulit manggis Indonesia Aspek Agronomi
Lokasi Kebun Fase
Perkembangan
Pasca Panen Input
Pupuk
Potensi Antioksidan
Derivat Xanthone
Profil Xanthone Karakter
Biomassa Kulit
1
Komunikasi pribadi, 2009
Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah
1. Terdapat variasi potensi produksi biomassa kulit dan kadar derivat
xanthone akibat keragaman tipe agroekologi, kualitas buah manggis, stadia
perkembangan buah dan pemupukan tanaman manggis
2. Terdapat varisasi profil derivat xanthone kulit manggis Indonesia
Botani Manggis
Manggis tergolong famili Guttiferae, diduga hybrid allotetraploid dari G.
hombroniana dan G. malaccensis. Pohon manggis termasuk pohon dioecious
dengan tinggi 6-25 meter, tegak lurus dengan percabangan simetri membentuk
tajuk pyramid. Semua bagian tanaman mengeluarkan latex kuning jika saluran
latex rusak (Verheij, 1992).
Daun manggis tunggal, berpasangan di sisi ranting, helai daun berbentuk
oblong atau elips dengan ukuran 15-25 cm x 7-13 cm. Permukaan atas daun
berwarna hijau tua, bagian bawah hijau kekuningan. Bunga tunggal atau
berpasangan dengan tangkai bunga pendek dan gemuk dengan diameter 5.5 cm;
sepal 4, tersusun 2 pasang, petal 4 tebal dan fleshy. Benang sari jumlahnya
banyak, panjang 0.5 cm tersusun dalam 2 seri; ovary melekat di dasar bunga,
hampir bulat dengan 4-8 ruang. Stigma menonjol dan tebal melekat dan terbentuk
dengan jumlah yang sama dengan jumlah ruang dalam ovary.
Buah berbentuk bulat atau agak pipih, berat bervariasi 75-150 g, diameter
3.5-8 cm. Perikarp atau kulit buah halus dengan tebal 4-8 mm, keras, berwarna
ungu. Kulit membungkus daging buah terdiri dari 4-8 segmen, dengan beberapa
diantaranya mengandung biji (2-3 biji). Biji berbentuk pipih berwarna ungu gelap
atau coklat (Verheij, 1992;Yaacob dan Tindall, 1995).
Budidaya manggis
Tanaman manggis dapat tumbuh dalam kisaran tanah yang luas, dapat
toleran pada tanah berat dan tahan terhadap air tergenang. Tanaman ini
memerlukan musim kering pendek 15-30 hari untuk menstimulasi pembungaan.
Manggis memerlukan distribusi hujan yang baik dan curah hujan tahunan diatas
1 270 mm/tahun. Pertumbuhan sangat lambat bila suhu dibawah 20 oC dan
tanaman akan mati pada suhu 3-5 oC, suhu diatas 38-40 oC mengakibatkan daun
terbakar. Laju fotosintesis terjadi pada suhu 27-36 oC, dengan 20-50% naungan
Temperature diatas 38-40 oC mengakibatkan daun dan buah terbakar (Nakasone
Bubidaya manggis awalnya terbatas di Asia Tenggara, selanjutnya ke
menyebar ke daerah tropika lainnya, termasuk Srilangka, Amerika Tengah, Brazil,
Queensland. Perbanyakan tanaman secara tradisional menggunakan biji apomiktif
yang telah diseleksi. Biji disemai dalam media dengan kondisi media berdrainase
baik, bibit hasil semaian dapat dipindahtanamkan setelah umur 1-2 tahun atau
tingginya sekitar 45-60 cm. Beberapa pengembangan perbanyakan vegetatif juga
dilakukan untuk memperbaiki sistem perakaran, misalnya dengan grafting
menggunakan batang bawah dari genus yang sama (Nakasone dan Paul, 1998).
Manggis ditanam dengan populasi tanaman per ha antara 110-140 pohon,
dengan jarak tanam bervariasi tergantung kesuburan tanah. Penanaman umumnya
polikultur bersama tanaman buah lainnya misalnya durian, kelapa, rambutan dan
jarang ditanam monokultur. Pada budidaya yang intensif irigasi diperlukan bila
curah hujan kurang dari 127 cm per bulan. Pemangkasan disarankan dilakukan
tetapi harus sangat hati-hati mengingat pertumbuhan tanaman ini secara umum
sangat lambat. Pemangkasan ditujukan untuk memudahkan pemanenan, dan tidak
disarankan dilakukan saat pembentukan flush baru, pembungaan dan pembuahan
(Nakasone dan Paul, 1998).
Terdapat beberapa rekomendasi pemupukan dalam budidaya manggis,
Nakasone dan Paull (1998) merekomendasikan pupuk 2-7 kg NPK (10:10:19) per
tahun untuk tanaman dewasa, lebih dari 15 tahun; disarankan pula pemberiaan
dolomit 0.2 kg per tahun. Pemupukan untuk tanaman muda dengan rekomendasi
N:P: K=15 : 15 : 15 sebanyak 0.5-1 kg/pohon. Aplikasi pupuk disarankan 2 kali
yaitu setengah dosis saat pertumbuhan vegetatif dan setengah dosis lainnya
setelah panen. Sedangkan Husin dan Chinta dalam Yaacob dan Tindall (1997)
merekomendasikan NPKMg 12:12:17 dengan dosis 2.5 kg/pohon/tahun untuk
tanaman dewasa.
Buah dipanen ketika telah berwarna ungu muda sampai ungu tua dengan
tangkai buah masih melekat. Indeks panen didasarkan pada perkembangan
intensitas warna ungu pada pericarp. Umumnya buah yang dipanen dengan
perkembangan warna yang kurang akan mempunyai lateks yang banyak pada
tangkai buah dan mempunyai aroma yang kurang baik dibandingkan stadia ungu
terlarut meningkat dan keasaman konstan (Nakasone dan Paul, 1998). Menurut
Sosrodiharjo dalam Yaacob dan Tindall (1995) perkembangan fisik maksimum
103 hari dari pembungaan, sedangkan Verheij (1992) menyatakan bahwa buah
masak terjadi pada periode 6-12 minggu. Apresiasi yang beragam memungkinkan
petani panen pada umur buah bervariasi tergantung tujuan pemasarannya.
Getah yang berwarna kuning atau gamboge sering dijumpai pada
permukaan kulit buah maupun dalam daging buah. Getah yang berwarna kuning
merupakan eksudat resin yang banyak terdapat pada berbagai tanaman yang
termasuk famili Guttiferae dan eksudat ini berasal dari saluran resin yang rusak
(Asano et al., 1996; Pankasemsuk et al.,1996). Apabila saluran resin rusak maka
getah mengucur dari saluran getah dan menembus ke dalam segmen buah yang
akan menyebabkan daging buah menjadi bening dan rasanya pahit. Gamboge juga
bisa dijumpai pada kulit buah dengan bentuk bintik kuning pada kulit manggis
(Verheij, 1995). Buah yang terserang getah kuning digolongkan buah yang tidak
layak jual. Kerusakan saluran resin pada kulit buah dapat disebabkan faktor
lingkungan misalnya angin dan hujan berlebihan, penanganan yang tidak hati-hati
yang menyebabkan kerusakan kulit buah, dan juga serangan hama (Yaacob dan
Tindall, 1995).
Xanthone dan Hipotetik Biosintesisnya
Xanthone adalah kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai struktur
cincin 6 karbon dengan kerangka karbon rangkap. Struktur ini membuat xanthone
sangat stabil dan serbaguna. Semua xanthone memiliki struktur kerangka yang
sama, kekhasannya adalah pada rantai samping yang ditandai karbon 1 hingga 8
(Gambar 3).
Xanthone telah diteliti dan dilaporkan terdapat pada daun, kulit batang,
biji, aril, dan kulit buah manggis. Aktivitas farmakologi xanthone telah diuji dan
dilaporkan yaitu sebagai antibakteri (Suksamrarn et al., 2003), antiinflamasi,
antioksidan, antikanker (Moongkarndi et al., 2004). Han et al., (2008)
menyatakan telah mengisolasi delapan senyawa prenylated xanthone dari
Gambar 3. Struktur Xanthone : 1 = 11-hydroxy-1-isomangostin, 2 = garcinone C, 3 = garcinone D, 4 = -mangostin, 5, 8-deoxygartanin, 6 = gartanin, 7
= α-mangostin, 8 = garcinone E, 9 = demethylcalabaxanthone, 10 =
1,6-dihydroxy-7-methoxy-8-(3-methylbut-2-enyl)-6’,6’
dimethylpyrano(2’,3’:3,2)xanthone, 11 = b-mangostin, 12 = mangostenone A, 13 = calabaxanthone, 14 = tovophyllin B
(Chaivisuthangkura et al., 2009).
Aktivitas sitotoksisitas dari kedelapan senyawa tersebut telah diuji dan
menunjukkan bahwa xanthone dengan prenyl grup tidak jenuh mempunyai daya
toksisitas yang lebih kuat. Chin et al.,2008 menyatakan telah mengisolasi 5 jenis
xanthone dari buah manggis (Garcinia mangostana) dan melakukan pengujian
dengan quinine reductase assay menggunakan murine hepatoma cell dan hydroxyl
radical antioxidant assay. Hasil dari pengujian tersebut dilaporkan bahwa
Penelitian untuk mempelajari aspek fisiologi dan biosinthesis xanthone
dan kaitannya dengan teknologi budidaya yang diterapkan masih sangat jarang
bahkan bisa dikatakan belum ada. Hasil penelitian yang banyak dilaporkan
tentang xanthone lebih banyak pada isolasi, identifikasi struktur dan efikasinya
(Chairungsrilerd et al., 1996; Parveen dan dan Ud-Din Khan, 1988;
Gopalakrishnan dan Balaganesan, 2000; Cahyana, 2006).
Chairungsrilerd et al. (1996) melaporkan bahwa dari kulit buah manggis
telah diisolasi senyawa bioaktif sebagai sumber senyawa alam yaitu xanthones,
α-mangostin, -mangostin, gartanin, 8-deoxygartin,
5,9-dyhroxy-2,2-dymethyl-8-methoxy-7-(3-methylbut-2-enyl)-2H,6H-pyranol [3,2-b] xanthen-6-one, garcinone
E dan 2-(y,y-dymethylallyl)-1,7-dyhroxy-3-methoxyxanthone dan epicathecin.
Senyawa utama pada kulit yaitu α-mangostin, -mangostin dan xanthones.
Demikian juga senyawa yang diisolasi dari kristal kuning yang merupakan eksresi
dari kulit buah manggis yang utama adalah α-mangostin, -mangostin.
Suksamrarn et al., (2002) mengisolasi 3 xanthone baru dari kulit manggis yang
berwarna hijau yaitu mangostenol, mangostenone A, dan mangostenone B.
Parveen dan Ud-Din Khan (1988) telah mengisolasi senyawa xanthone
dari daun G.mangostana yaitu 1,5,8-trihydroxy-3-methoxy-2 [methyl-2-butenyl]
xanthone dan 1,6-hydroxy-3-methoxy-2[3-methyl-2-butenyl} xanthone. Parveen
et al., (1991) mengisolasi sebuah triterpene yang berasal dari ekstrak petrol dari
daun G.mangostana yaitu 3β-hydsroxy-26-nor-9-19-cyclolanost-23-en-25-one.
Gopalakrishnan dan Balaganesan (2000) telah berhasil mengisolasi 2 senyawa
xanthone dari kulit G.mangostana yaitu
2,7-Di-(methylbut-2enyl)-1,3,8-tryhdroxy-4-methyl-xanthone dan
2,8-di-(3-methylbut-2-enyl)-7-carboxy-1,3-dihydroxyxanthone. Komguem (2005) telah mengisolasi dua senyawa xanthone
baru yaitu smeathxanthone A (1)
(2-(3,7-dimethyl-2,6-octadienyl)-1,3,5,8-tetrahydroxyxanthone) dan smeathxanthone B (2)
(5,7,10-trihydroxy-2-methyl-2-(4-methylpent-3-enyl)[2H, 6H]pyrano[3,2-b]xanthen-6-one) dari kulit batang
Garcinia smeathmannii. Kedua senyawa tersebut mempunyai aktivitas antibakteri
dan jamur. Penelitian xanthone di Indonesia juga telah berhasil mengisolasi
xanthon manggis (G.mangostana) dan Garcinia sp dari kulit buah manggis
Penelitian yang mempelajari faktor yang menginduksi akumulasi xanthone
dilaporkan oleh Conceicao et al., (2006) pada kultur sel Hypericum perforatum,
bahwa terjadi perubahan metabolisme pada sel setelah elisitasi dengan
Colletotrichum gloeosporioides yaitu peningkatan nyata kandungan xanthone.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa kadar xanthone meningkat hingga 12 kali ketika
sel diperlakukan dengan methyl-jasmonate (MeJ) atau salicyclic acid (SA)
sebelum elisitasi. Jika kultur hanya diekpos terhadap MeJ maka hanya membentuk
flavonoid, dengan flavones sebagai komponen utama (40%) dari total akumulasi
dalam sel. Dari hasil ini dinyatakan bahwa kemungkinan xanthone merupakan
komponen dari mekanisme pertahanan Hypericum perforatum melawan stres
biotik.
Biosintesis xanthone manggis dan enzim yang terkait dengan
pembentukannya belum diketahui secara jelas. Starck (1997) hanya menyatakan
bahwa xanthone merupakan kelas utama phenol dalam tanaman. Struktur polymer
dari xanthone terdiri dari 13 karbon dengan kerangka C: C6-C1-C6 dengan
contoh 1,3,6,7 hydroxyxanthone pada mangiferin dalam Mangifera indica. Sejauh
ini belum ada laporan fungsi senyawa tersebut dalam tubuh tanaman manggis.
Phenol adalah senyawa kimia dengan ciri paling sedikit satu cincin aromatic (C6)
dengan satu atau lebih gugus hydroxyl. Terdapat tiga rute biogenetik yang
menghasilkan phenol, yaitu (1) Lintasan shikimate/arogenate melalui
phenylalanine, beberapa senyawa phenol dibentuk dari intermediate lintasan ini;
(2) Lintasan acetae/malonate menghasilkan beberapa quinones tanaman,
contohnya sebagian besar grup flavonoid; (3) Lintasan acetate/mevalonate yang
menghasilkan reaksi dehydrogenasi menjadi aromatic terpenoid (Starck, 1997).
Biosintesis xanthone dalam tubuh tanaman manggis dan aspek biokimia
pembentukannya belum banyak dilaporkan. Xanthones dibentuk paling sedikit
dalam 30 tanaman tinggi, misalnya pada famili Gentianaceae dan Guttiferae.
Senyawa xanthone yaitu 1,2,5,8-Tetrahydroxyxanthone ditemukan dalam akar
Swertia chirata. Studi awal pada biosinthesis xanthone menyimpulkan bahwa
cincin aromatik A dibuat dari lintasan polyketida (polyketide-type pathway),
dimana Ring B dan C berasal dari C6-C1 benzoic acid sama dengan cara
hydroxybenzoyl-CoA dan 3 molekul malonyl Co-A. Enzim yang mengkatalisis
kondensasi 3-hydroxybenzoyl-CoA dan malonyl-CoA menjadi intermediate
benzophenone telah diisolasi dari Hyperycum androsaemum, yaitu benzophenone
synthase (Wang et al., 2003).
Sebuah pusat lintasan dalam biosintesis xanthone adalah pembentukan
kerangka C13, yaitu sebuah intermediate benzophenone. Pembentukan 2,3’, 4,
6-tetrahydroxybenzophenone dari m-hydroxybenzoyl-CoA dan malonyl-CoA
ditunjukkan dalam ekstrak sel dari kultur sel Centaurium erythraea. Enzim yang
mengkatalisis reaksi ini dinamakan benzophenone synthase (Beerhues, 1996).
Biosinthesis xanthones juga dipelajari dari kultur sel Hyperycumandrosaemum L
(Schmidt dan Beerhues, 1997), dari penelitian tersebut dilaporkan bahwa di
deteksi substrat baru dari benzophenone synthase yaitu benzoyl-CoA. Kondensasi
benzoyl Co-A dengan 3 molekul malonyl-CoA, di katalisis oleh benzophenone
synthase menghasilkan 2, 4, 6-trihydroksibenzophenone. Intermediate ini akan
diubah oleh benzophenone 3’-hydroxilase membentuk
2.3’,4,6-tetrahydroxybenzophenone. Jalur ini merupakan alternative biosintesis yang telah
dipelajari dariCentarium erythrtraea(Gambar 4).
Berdasar pada Starck (1997) dan beberapa studi awal tentang xanthone
maka xanthone berasal dari lintasan phenylalanine/hydroxinamate pathway yang
dianggap sebagai metabolisme phenylpropanoid secara umum. Reaksi ini berasal
dari L-phenylalanine menjadi hydroxinamate dan bentuk teraktivasi, coenzyme A
(Co_A) dan 1-O-acylglucosida. Produk akhir pada banyak tanaman adalah
hydroxinamate conjugate, yang dalam reaksinya melibatkan 7 enzim.
Phenylalanine amino lyase (PAL) adalah enzim antara phenylalanine dan
metabolisme phenylpropanoid sekunder. Enzim ini mengkatalisis non-oxidatif
deaminasi phenylalanine menjadi struktur phenylpropane sekunder yang pertama,
yaitu E-cinnamate. PAL isozyme disintesis sebagai response dari radiasi UV,
Gambar 4. Usulan skema biosinthesis xanthone pada kultur sel Hypericum androsaenum (Schmidt dan Beerhues, 1997)
Produk akhir dari lintasan ini adalah hydroxinamate yang merupakan pusat
pembentukan berbagai phenylpropanoid. Hydroxcinnamate merupakan unit awal
dalam pembentukan benzophenone (produk antara), dengan siklisasi
benzophenone diubah menjadi senyawa xanthone. Walaupun demikian belum
diketahui dengan jelas aktivitas enzim PAL dalam proses produksi xanthone
(Gambar 5).
Faktor-Faktor yang berperan dalam pembentukan kimia tanaman
Usaha penerapan teknologi produksi penghasil bahan baku obat
seharusnya menjadi perhatian tidak saja pada parameter pertumbuhan dan
produksi biomassa namun juga keterkaitannya dengan kadar bioaktif atau indikasi
potensi therapinya. Sampai sejauh ini belum ada penelitian atau laporan tentang
Gambar 5. Pusat alur lintasan pembentukan berbagai phenylpropanoid, diantaranya benzophenone sebagai prekursor xanthone (Stark, 1997)
Namun demikian, beberapa teknologi produksi tanaman telah diteliti dan
dilaporkan dapat digunakan untuk mendapatkan produk tanaman obat dengan
kandungan bahan aktif maksimum, yang merupakan hal penting untuk industri
farmasi dan kosmetik. Dari laporan penelitian tersebut umumnya belum
terjelaskan secara rinci mekanisme yang mengakibatkan peningkatan atau
penurunan suatu bioaktif maupun aktivitasnya, bahkan seringkali tidak konsisten
pengaruhnya dan bersifat sangat spesifik.
Penelitian pada Chrysanthemum balsamita menunjukkan bahwa teknologi
produksi antara lain jarak tanam, waktu tanam, pemupukan dan perlakuan zat
pengatur tumbuh mempengaruhi biosintesis dan akumulasi kadar minyak atsiri
(Marculescu et al., 2001). Abreu et al. (2004) melaporkan bahwa terdapat
perbedaan distribusi kadar bioaktif organ tanaman Hypericum brasiliense dan
stadia pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengelompokan klas senyawa, bahwa
senyawa phenol, diantaranya 1,5-dyhydroxyxanthone, ditemukan selama fase
pembungaan sedangkan terpene selama fase pembuahan.
Biosintesis proanthocyanidin pada kulit vitis vinifera ’Cabernet Sauvigon”
menurun secara signifikan selama pertumbuhan pada kondisi ternaungi. Kondisi
ini diikuti oleh penurunan transkripsi gen ANR dan LAR Bery yang mengkode
anthocyanidin reductase (ANR) dan leucoanthocyanidine reductase (LAR),
enzim yang berperan dalam pembentukan Flavan-3-ols (Fujita et al., 2007). Shu et
al. (2001) melaporkan bahwa cahaya dapat meningkatkan pembentukan
antosianin, sub klas flavonoid, pada wax apple sedangkan kenaikan suhu akan
menurunkan kadar antosianin. Beberapa penelitian melaporkan bahwa akumulasi
flavonoid diinduksi oleh cekaman lingkungan, karena peranan flavonoid sebagai
senyawa pertahanan. Radiasi sinar UV dilaporkan dapat menginduksi akumulasi
flavonoid pada gandum (Rathore et al.,2003), dan pada blueberry (Oulu, 2003).
Wright dan Ladiges (1997) melaporkan bahwa terdapat variasi flavonoid pada
Eucalyptus diversifolia (Myrtaceae) terkait dengan variasi geografis. Kadar CO2
udara juga dilaporkan mempengaruhi sintesis flavonoid. Estiarte et al., (1999)
melaporkan bahwa pengayaan udara dengan CO2 akan meningkatkan konsentrasi
senyawa sekunder yang berdasar karbon (carbon-based secondary
compound/CBSC).
Pengaruh hara kalium pada tanaman Pyrethrum (Tanacetum cinerariifolium)
dilaporkan oleh Salardini et al. (2007), pupuk kalium meningkatkan kadar
pyrethrin yang berkorelasi dengan konsentrasi K dalam jaringan apical,
pengaruhnya berlangsung selama 2 musim tanam; sedangkan pupuk P
meningkatkan bioaktif pyrethrum dan berkorelasi dengan peningkatan
konsentrasi P dalam tanah, dalam jaringan daun, produksi biomassa dan
konsentrasi pyrethrin (Salardini et al., 2006).
Peran Nitrogen dalam pertumbuhan dan produksi tanaman obat Datura
meningkat dengan meningkatnya pemberian nitrogen dari 150 mg N/l hingga 450
mg/l, dan akan menurun dengan kenaikan dosis 600 mg/l. Dalam penelitian tidak
didapatkan hubungan antara persentase N dalam organ tanaman dan konsentrasi
alkaiod. Selain itu pemberian N dalam bentuk NH4 atau urea lebih memacu
pertumbuhan dibandingkan dalam bentuk NO3. Sedangkan pemupukan N pada
medicinal pumkin (Cucurbita pepo convar. pepo var. styriaca) meningkatkan
jumlah klorofil dan kandungan N daun dibandingkan tanaman tanpa pemupukan
N. Peningkatan klorofil dan N daun tertinggi pada dosis 300 dan 225 kg N/ha,
sedangkan kandungan B-sitosterol tertinggi didapat pada dosis 75 kg N /ha
(Aroiee dan Omidbaigi, 2004).
Pemupukan lengkap NPK pada peppermint (Mentha piperita L.)
meningkatkan tinggi dan bobot biomassa sebesar 18-79 % sedangkan kadar
minyak atsiri meningkat 23-86%. Pemupukan tanaman mentha juga
meningkatkan kadar mentol dalam minyak mentha (Jeliazkova et al., 1999).
Respon pemupukan yang berbeda ditunjukkan senyawa antioksidan dari Teucrium
polium dan Eryngium creticum, pemupukan pada T. polium meningkatkan
aktivitas antioksidan sedangkan E. creticum sebaliknya.
Lillo et al., (2008) melaporkan bahwa kandungan flavonoid meningkat
sebagai respon kekurangan nitrogen dan phosphor pada tanaman. Manipulasi
senyawa ini kemungkinan dapat digunakan untuk mengontrol tingkat senyawa
yang diinginkan dan memperbaiki kualitas tanaman. Enzim kunci dalam shikimate
pathway, yang merupakan penghasil prekusor untuk lintasan flavonoid, diatur
transkripsinya sebagai umpan balik asam amino aromatik dan mungkin dikontrol
redox melalui fotosintesis. Analisis transkripsi pada Arabidosis menyimpulkan
bahwa level transkripsi pada shikimate pathway yang dipengaruhi oleh hara lebih
kecil dibandingkan dengan flavonoid pathway. Cyanidin dan turunan flavonol
meningkat sebagai respon terhadap kekurangan nitrogen. Kaemferols merupakan
flavanols dominan dalam daun Arabidopsis pada kondisi normal, tetapi akumulasi
quercetin dapat ditriger oleh kekurangan nitrogen dengan kombinasi factor-faktor
abiotik.
Keinanen et al., (1999) melaporkan bahwa pemupukan menurunkan kadar
apel pemupukan N berkorelasi negatif dengan akumulasi flavonoid pada kulit apel
sedangkan hara K sebaliknya (Awad, 2001). Amor et al. (2008) melaporkan
bahwa aplikasi pupuk urea pada tanaman yang ditumbuhkan pada larutan hara
dengan N terbatas, akan meningkatkan konsentrasi total N dalam buah paprika
dan meningkatkan kadar anthocyanin dibandingkan kontrol sedangkan kadar
flavonoid dipengaruhi pada frekuensi aplikasi. Defisiensi N menginduksi stres
oxidative namun aplikasi urea melalui daun dapat menekan pengaruhnya dengan
meningkatkan enzyme antioksidan. Razzaque dan Hanafi (2001) menyatakan
pemupukan pada nanas memperbaiki produksi dan karakteristik buah nanas yang
baik, namun tidak mempengaruhi kadar gula dan asam.
Pada sayuran brassica dan cruciferae, glucosinolates ditemukan berbeda
tingkat konsentrasinya pada tanaman tergantung varietas, tipe jaringan, umur
fisiologis, musim, dan kesehatan tanaman. Glucosinolates adalah senyawa yang
bertanggungjawab terhadap rasa khas dari sejumlah bahan pangan diantaranya
brokoli, tingkat glucoraphanin mempengaruhi kekuatan rasa pahit (Trenerry et al.,
2006). Pada Rosemary (Rosmarinus officinalis) kandungan bioaktif Carnosic acid
(CA) dan carnosol, abietanes diterpenes, dan rosmarinic acid adalah ester
hydroxycinnamic acid, merupakan senyawa antioksidan utama dalam rosemery.
Jumlah relatif dari senyawa bioktif pada rosemary bervariasi tergantung kondisi
lingkungan, seperti air atau stres temperatur, yang dapat mengurangi fiksasi CO2
dan meningkatkan ROS. Pada kondisi ini kandungan antioksidan tanaman
meningkat melawan oksidasi yang diakibatkan oleh radical single oxygen,
peroksida atau superoksida. Ekstrak rosemary dari tanaman yang dibudidayakan
menunjukkan aktivitas penangkapan terhadap radikal bebas lebih rendah
dibandingkan dengan rosemery liar, nilai EC50 0.46, 0.071 and 0.32 mg untuk
yang segar, kering matahari dan kering oven. Laporan ini sesuai teori bahwa
akumulasi phenol merupakan respon dari iradasi matahari, stes air dan suhu.
Kondisi lingkungan yang membatasi asimilasi karbon dan kelebihan elektron
meningkatkan oksigen yang teraktivasi yang memungkinakan menginduksi
kerusakan sel (Almela et al., 2006).
Penelitian terhadap kandungan antioksidan beberapa jenis sayur
masih segar dengan yang telah mengalami perebusan. Aktivitas antioksidan sayur
yang masih segar lebih tinggi dibandingkan sayur yang telah direbus (Rahmat, et
al., 2003). Rosenthal and Jansky (2008) melaporkan pengaruh lingkungan
terhadap kapasitas antioksidan umbi kentang, aktivitas antioksidan naik dengan
penyimpanan pada suhu 40oC, namun belum didapatkan pengaruh yang konsisten
dari sistem produksi terhadap kapasitas antioksidan. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa kentang dengan nilai nutrisi tinggi, dalam arti kadar
antioksidan tinggi, dapat dihasilkan dari sistem produksi konvensional dan dengan
sistem penyimpanan.
Hargreaves et al. (2008) menyatakan bahwa terdapat pengaruh sistem
produksi pada strawberry, penggunaan pupuk organik maupun inorganik dalam
budidaya strawberry tidak mempengaruhi kadar gula dan kapasitas antioksidan
buah strawberry yang dihasilkan. Pemberian pupuk inorganik hanya
meningkatkan kadar S dan Mn buah pada tahun kedua setelah perlakuan
dibandingkan pupuk organik. Mun˜oz-Bertomeu (2007) melaporkan bahawa
komposisi minyak atsiri Lavandula latifolia dari populasi alam bervariasi terkait
dengan daerah ekologinya, sumbangan variasi antar individu lebih besar secara
significant dari variasi antar populasi. Analisis komponen dan analisis kluster
mengelompokkan populasi tersebut menjadi tiga kluster yang dibedakan berdasar
kadar linalool tinggi, sedang dan rendah. Tipe minyak atsiri ini berkorelasi dengan
bioklimat dimana populasi alam tersebut berada.
Coelho et al. (2007) melaporkan pengaruh intesitas cahaya terhadap kadar
senyawa sekunder methylxanthines pada tanaman “Mate´”(Ilex paraguariensis A.
St. Hil.), suatu spesies tanaman yang toleran terhadap naungan dan umumnya
ditanaman dalam sistem agroforestry; kandungan methylxanthines meningkat
dengan pengurangan cahaya dan hanya pada intensitas rendah kadarnya
meningkat. Selain itu, terdapat korelasi negatif antara akumulasi biomassa dengan
kandungan methyxanthine, namun total methyxanthine per tanaman tidak
berubah.
Baraldi et al. (2008) melaporkan bahwa terdapat perbedaan distribusi
senyawa bioaktif artemisin pada tanaman Artemisia annua L. selama fase