• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi pemanfaatan ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) untuk substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi pemanfaatan ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) untuk substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK SUBSTITUSI PARSIAL TEPUNG TERIGU

DALAM PEMBUATAN BISKUIT

Oleh :

NUGROHO J. S.

C34101021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

(Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi

Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh MITA WAHYUNI dan PIPIH SUPTIJAH.

Jumlah tangkapan ikan pepetek di Indonesia sangat melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Ikan pepetek memiliki kandungan gizi yang baik terutama protein, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk untuk dikombinasikan dengan ubi jalar sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar juga memiliki jumlah produksi yang tinggi dan belum dimanfaatkan dengan baik. Salah satu produk yang dapat dibuat adalah biskuit.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam pembuatan biskuit, untuk mengetahui karakteristik organoleptik dan fisiko-kimia biskuit. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan pepetek dan ubi jalar putih menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yaitu sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap antara lain: penelitian tahap I, yaitu mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih serta analisis fisiko-kimianya. Sedangkan penelitian tahap II, yaitu formulasi dan pembuatan biskuit serta uji organoleptik dan uji fisiko-kimia biskuit.

Formulasi biskuit yang digunakan, yaitu empat perlakuan kombinasi tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih dan satu kontrol (B0). Persentase tepung ikan pepetek yang digunakan adalah 5 % (B1), 10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4). Sedangkan persentase tepung ubi jalar putih adalah kebalikan dari persentase tepung ikan pepetek, yaitu 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4). Persentase tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tiap perlakuan adalah 25 % terhadap tepung terigu 75 %. Pada kontrol (B0) digunakan tepung terigu sejumlah 100 %.

Hasil uji organoleptik didapatkan bahwa formulasi biskuit B1 adalah yang terbaik dari formulasi lain pada semua parameter tetapi masih lebih kecil nilainya dari B0 pada penampakan, warna dan rasa. Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa rasa biskuit B0 dan B1 tidak berbeda nyata. Jadi, rasa biskuit B0 dan B1 dapat dianggap sama.

Hasil analisis kimia formulasi biskuit B1 memiliki kadar air 1,07 %,

kadar abu 2,72 %, kadar protein 8,38 %, kadar lemak 15,73 % dan kadar karbohidrat 72,10 %. Kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat sudah

(3)

DALAM PEMBUATAN BISKUIT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Nugroho J. S.

C34101021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN BISKUIT. Nama Mahasiswa : Nugroho J. S.

NRP : C34101021

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. Dra. Pipih Suptijah, M.BA.

NIP. 131 789 337 NIP. 131 478 638

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(5)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu

dalam Pembuatan Biskuit”. Pembuatan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, M.BA. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran yang sangat berarti, saat penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan masukan dan arahan yang sangat berarti.

3. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, M.S. yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi moderator dalam seminar hasil penelitian.

4. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, perhatian, pikiran, nasehat, tenaga dan dukungannya yang sangat berarti bagi penulis. 5. Dosen-dosen beserta seluruh staf di Departemen Teknologi Hasil Perairan

yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Emma, Kang Mail, Om Zacky, Om Ipul, Bapak Sobirin (TPG), Mbak Ririn (TPG) dan Bapak Mashudi (GMSK) atas saran dan bantuannya dalam penelitian.

7. Mbak Sri Nuzulaeni, Mbak Titik Nindiyati, Mbak Ninik Nuraeni, Mas Supono, Mas Agus dan Mas Giyanto yang telah mencurahkan kasih

sayang, doa, perhatian, nasehat dan dukungannya serta Novi, Yoga, Ilham, Meani, Hamam dan Raff yang sangat kusayangi.

(6)

10.Sahabat-sahabat THP 38 yang sangat berkesan atas kebersamaan, bantuan, nasehat, saran, pengertian dan dorongan semangatnya serta teman-teman THP 36, 37, 39, 40 dan 41 yang telah banyak membantu.

11.Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis guna perbaikan lebih lanjut.

Bogor, Mei 2006

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

Nugroho J. S.

(8)

Penulis bernama lengkap Nugroho Juni Susanto. Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada hari Rabu tanggal 1 Juni 1983, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Sukardi dan Ibu Partinah.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiah Pantirejo, Sukodono. Kemudian memulai pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Pantirejo, Sukodono dan lulus pada tahun 1995. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Sukodono dan mendapatkan kelulusan pada tahun 1998. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Sragen, hingga akhirnya dapat menyelesaikannya pada tahun 2001.

Setelah lulus dari sekolah menengah umum pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI), pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif

dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) periode 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis juga aktif sebagai pengurus komunitas fotografi Fish Eye IPB. Selain itu, selama studi penulis juga aktif di berbagai kegiatan kampus.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan dan menyusun skripsi dengan judul ”Optimalisasi

Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam

(9)

vii

2.3.3. Bahan-bahan dalam pembuatan biskuit ... 19

(10)

viii

3.2.1.3. Karakteristik tepung ubi jalar putih... 27

3.2.2. Penelitian tahap II ... 27

3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 39

(11)

UNTUK SUBSTITUSI PARSIAL TEPUNG TERIGU

DALAM PEMBUATAN BISKUIT

Oleh :

NUGROHO J. S.

C34101021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

(Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi

Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh MITA WAHYUNI dan PIPIH SUPTIJAH.

Jumlah tangkapan ikan pepetek di Indonesia sangat melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Ikan pepetek memiliki kandungan gizi yang baik terutama protein, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk untuk dikombinasikan dengan ubi jalar sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar juga memiliki jumlah produksi yang tinggi dan belum dimanfaatkan dengan baik. Salah satu produk yang dapat dibuat adalah biskuit.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih dalam pembuatan biskuit, untuk mengetahui karakteristik organoleptik dan fisiko-kimia biskuit. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan pepetek dan ubi jalar putih menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yaitu sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap antara lain: penelitian tahap I, yaitu mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih serta analisis fisiko-kimianya. Sedangkan penelitian tahap II, yaitu formulasi dan pembuatan biskuit serta uji organoleptik dan uji fisiko-kimia biskuit.

Formulasi biskuit yang digunakan, yaitu empat perlakuan kombinasi tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih dan satu kontrol (B0). Persentase tepung ikan pepetek yang digunakan adalah 5 % (B1), 10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4). Sedangkan persentase tepung ubi jalar putih adalah kebalikan dari persentase tepung ikan pepetek, yaitu 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4). Persentase tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih tiap perlakuan adalah 25 % terhadap tepung terigu 75 %. Pada kontrol (B0) digunakan tepung terigu sejumlah 100 %.

Hasil uji organoleptik didapatkan bahwa formulasi biskuit B1 adalah yang terbaik dari formulasi lain pada semua parameter tetapi masih lebih kecil nilainya dari B0 pada penampakan, warna dan rasa. Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa rasa biskuit B0 dan B1 tidak berbeda nyata. Jadi, rasa biskuit B0 dan B1 dapat dianggap sama.

Hasil analisis kimia formulasi biskuit B1 memiliki kadar air 1,07 %,

kadar abu 2,72 %, kadar protein 8,38 %, kadar lemak 15,73 % dan kadar karbohidrat 72,10 %. Kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat sudah

(13)

DALAM PEMBUATAN BISKUIT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Nugroho J. S.

C34101021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(14)

TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN BISKUIT. Nama Mahasiswa : Nugroho J. S.

NRP : C34101021

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. Dra. Pipih Suptijah, M.BA.

NIP. 131 789 337 NIP. 131 478 638

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(15)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu

dalam Pembuatan Biskuit”. Pembuatan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S. dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, M.BA. selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran yang sangat berarti, saat penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan masukan dan arahan yang sangat berarti.

3. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, M.S. yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi moderator dalam seminar hasil penelitian.

4. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, perhatian, pikiran, nasehat, tenaga dan dukungannya yang sangat berarti bagi penulis. 5. Dosen-dosen beserta seluruh staf di Departemen Teknologi Hasil Perairan

yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Emma, Kang Mail, Om Zacky, Om Ipul, Bapak Sobirin (TPG), Mbak Ririn (TPG) dan Bapak Mashudi (GMSK) atas saran dan bantuannya dalam penelitian.

7. Mbak Sri Nuzulaeni, Mbak Titik Nindiyati, Mbak Ninik Nuraeni, Mas Supono, Mas Agus dan Mas Giyanto yang telah mencurahkan kasih

sayang, doa, perhatian, nasehat dan dukungannya serta Novi, Yoga, Ilham, Meani, Hamam dan Raff yang sangat kusayangi.

(16)

10.Sahabat-sahabat THP 38 yang sangat berkesan atas kebersamaan, bantuan, nasehat, saran, pengertian dan dorongan semangatnya serta teman-teman THP 36, 37, 39, 40 dan 41 yang telah banyak membantu.

11.Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis guna perbaikan lebih lanjut.

Bogor, Mei 2006

(17)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

Nugroho J. S.

(18)

Penulis bernama lengkap Nugroho Juni Susanto. Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada hari Rabu tanggal 1 Juni 1983, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Sukardi dan Ibu Partinah.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiah Pantirejo, Sukodono. Kemudian memulai pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Pantirejo, Sukodono dan lulus pada tahun 1995. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Sukodono dan mendapatkan kelulusan pada tahun 1998. Jenjang pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Sragen, hingga akhirnya dapat menyelesaikannya pada tahun 2001.

Setelah lulus dari sekolah menengah umum pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI), pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif

dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) periode 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis juga aktif sebagai pengurus komunitas fotografi Fish Eye IPB. Selain itu, selama studi penulis juga aktif di berbagai kegiatan kampus.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan dan menyusun skripsi dengan judul ”Optimalisasi

Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu dalam

(19)

vii

2.3.3. Bahan-bahan dalam pembuatan biskuit ... 19

(20)

viii

3.2.1.3. Karakteristik tepung ubi jalar putih... 27

3.2.2. Penelitian tahap II ... 27

3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 39

(21)

ix

4.2.5. Angka kecukupan gizi... 71

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1. Kesimpulan ... 73

5.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(22)

x

No Halaman

1. Kandungan kimia ikan pepetek ... 6 2. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan wilayah perairan ... 7 3. Produksi perikanan laut Indonesia jenis ikan pepetek berdasar tahun . 8 4. Kandungan nilai gizi ubi jalar segar dalam 100 g ... 11 5. Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 1991-2003... 12 6. Komposisi kimia tepung ubi jalar dua varietas... 13 7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992... 16 8. Komposisi kimia telur segar ... 22 9. Formulasi biskuit dari tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan

tepung terigu ... 28 10. Formula dasar yang digunakan dalam pembuatan biskuit ... 29 11. Kandungan kimia ikan pepetek... 41 12. Hasil analisis parameter fisik tepung ... 43 13. Hasil analisis parameter kimia tepung ... 44 14. Formulasi biskuit... 46 15. Hasil analisis fisiko-kimia biskuit dan kandungan kimia biskuit menurut

(23)

xi

No Halaman 1. Ikan pepetek ... 5 2. Morfologi ikan pepetek ... 6 3. Ubi jalar putih ... 10 4. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan pepetek ... 30 5. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih ... 31 6. Diagram alir proses pembuatan biskuit ... 32 7. Formulasi biskuit yang dihasilkan ... 47 8. Histogram nilai rata-rata organoleptik penampakan biskuit... 50 9. Histogram nilai rata-rata organoleptik warna biskuit... 51 10. Histogram nilai rata-rata organoleptik tekstur biskuit ... 53 11. Histogram nilai rata-rata organoleptik aroma biskuit ... 55 12. Histogram nilai rata-rata organoleptik rasa biskuit... 56 13. Histogram nilai rata-rata kekerasan biskuit... 58 14. Histogram nilai rata-rata kadar air biskuit ... 59 15. Histogram nilai rata-rata kadar abu biskuit... 61 16. Histogram nilai rata-rata kadar protein biskuit ... 62 17. Histogram nilai rata-rata kadar lemak biskuit... 63 18. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat biskuit by difference... 64 19. Histogram nilai rata-rata pH biskuit... 66 20. Histogram nilai rata-rata kadar kalsium biskuit ... 67 21. Histogram nilai rata-rata bioavailabilitas kalsium biskuit ... 69 22. Histogram nilai rata-rata daya cerna protein in vitro biskuit ... 70

(24)

xii

(25)

xiii

31. Data mentah perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada diet

manusia 2000 kkal... 102 32. Data mentah nilai analisis kekerasan... 103 33. Data analisis ekonomi kasar formulasi biskuit B1... 104 34. Peralatan dalam penelitian... 105 35. Tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih dan tepung terigu... 106 36. Ikan pepetek setelah dikeringkan... 107 37. Ikan pepetek sebagai ikan asin di Muara Angke... 107

(26)

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar yang perlu dimanfaatkan secara optimal. Potensi besar yang belum dimanfaatkan tersebut salah satunya adalah ikan hasil tangkapan samping (HTS) atau by catch. Ikan HTS adalah ikan yang ikut tertangkap dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu yang sebenarnya tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut.

Ikan hasil tangkapan samping banyak jenisnya dan biasanya memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil. Ikan hasil tangkapan samping berpotensi dimanfaatkan untuk memberikan nilai tambah ekonomi serta meningkatkan kebutuhan protein hewani dalam diet manusia maupun sebagai pemasok bahan baku industri-industri pengolahan hasil perikanan.

Salah satu ikan HTS yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah ikan pepetek (Leiognathus sp.). Ikan pepetek merupakan ikan yang habitatnya di dasar perairan dalam jumlah yang besar dan biasanya membentuk gerombolan.

Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (trawl), trammel net ataupun bagan bisa memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang besar.

Ikan ini memiliki ukuran yang kecil dan memiliki banyak duri sehingga di beberapa negara Asia Tenggara, ikan ini lebih banyak digunakan untuk tepung ikan, pupuk, ikan asin dan makanan bebek (ternak). Di Indonesia sendiri, ikan pepetek lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan ikan asin. Oleh karena itu, ikan pepetek merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis rendah.

Ikan pepetek di Indonesia memiliki jumlah populasi yang sangat besar yang tersebar di berbagai perairan seperti Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2001), kapasitas total tangkapan ikan pepetek di Indonesia tahun 1999 mencapai 91.219 ton dengan daerah tangkapan terbesar terdapat di perairan Jawa.

(27)

ikan pepetek. Dalam rangka upaya tersebut, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mempelajari dan mencoba (kemungkinan) pengolahan ikan pepetek menjadi bahan pangan, seperti makanan ringan atau camilan.

Makanan ringan (camilan) yang dapat dibuat banyak jenisnya, salah satunya adalah biskuit. Biskuit merupakan makanan ringan yang telah dikenal dan disukai secara luas oleh masyarakat Indonesia dari anak-anak sampai dewasa. Biskuit juga memiliki harga yang relatif murah sehingga dapat terjangkau pada semua lapisan masyarakat.

Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Biskuit seringkali dikonsumsi sebagai makanan selingan disamping makanan pokok. Sebagai makanan selingan, diharapkan dapat menyumbangkan energi, sebagai pengganti energi yang telah dikeluarkan setelah melakukan aktivitas. Dalam hal ini, tentunya jumlah yang dikonsumsi tidak dalam porsi yang besar, karena sifatnya hanya sebagai penyumbang energi dan zat gizi, bukan sebagai pengganti menu utama. Biskuit juga memiliki kandungan protein, lemak dan beberapa mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga sangat baik untuk dikonsumsi bagi manusia.

Selama ini, kebanyakan biskuit dibuat dari bahan dasar tepung terigu yang berasal dari gandum yang kebutuhannya mayoritas masih diimpor. Padahal banyak sumber karbohidrat lokal yang belum dimanfaatkan secara baik, yang dapat dikombinasikan dengan tepung ikan sebagai sumber protein. Salah satu sumber karbohidrat lokal yang kurang dimanfaatkan secara baik adalah ubi jalar. Selama ini, ubi jalar dikenal masyarakat sebagai bahan pangan kelas dua karena kebanyakan hanya digoreng atau direbus.

(28)

(Anonimous, 2003). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar kedua di dunia setelah China.

Penggunaan tepung ubi jalar sudah lama sebagai pengganti terigu dalam pembuatan roti. Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan bahwa ubi jalar bisa dijadikan sebagai substitusi (pengganti) tepung terigu dalam produk makanan walaupun dengan kualitas yang relatif lebih rendah terutama dari segi reologis adonan maupun produknya (Kay, 1973), misalnya: substitusi tepung ubi jalar sebesar 30 % pada produk roti (Woolfe, 1999), substitusi tepung ubi jalar sebesar 40 % pada produk bihun (Widowati et al., 1994) dan lain-lain.

Untuk itu, kombinasi antara ikan pepetek dan ubi jalar dapat digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai substitusi tepung terigu. Dengan kombinasi ini, diharapkan didapatkan biskuit yang bernilai gizi yang memiliki sifat yang berbeda dengan biskuit-biskuit komersial yang ada di pasaran.

1.2.Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi parsial tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih terhadap tepung terigu dalam pembuatan biskuit, untuk mengetahui karakteristik organoleptik dan

fisiko-kimia biskuit. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan pepetek (Leiognathus sp.) dan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) menjadi

produk yang memiliki nilai tambah, yaitu sebagai substitusi parsial tepung terigu dalam pembuatan biskuit.

1.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Organoleptik dan Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Sedangkan analisis fisiko-kimia

(29)
(30)

2.1. Ikan Pepetek (Leiognathus sp.)

Ikan pepetek merupakan salah satu ikan laut yang memiliki habitat di dasar perairan (demersal). Ikan ini merupakan ikan hasil tangkapan samping (HTS) atau by cacth yang memiliki ukuran kecil. Di bawah ini akan disajikan klasifikasi dan morfologi ikan pepetek, komposisi kimia ikan pepetek, produksi ikan pepetek dan tepung ikan pepetek.

2.1.1. Klasifikasi dan ciri morfologi ikan pepetek (Leiognathus sp.)

Klasifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata

SubFilum : Vertebrata Kelas : Pisces

SubKelas : Teleostei Ordo : Percomorphi SubOrdo : Percoidea Divisi : Perciformes Famili : Leiognathidae

1. Genus : Leiognathus

Spesies: Leiognathus equulus Leiognathus splendens Leiognathus elongatus Leiognathus insidiator 2. Genus : Gazza

Spesies: Gazza minuta 3. Genus : Secutor

(31)

Gambar 1. Ikan Pepetek (Leiognathus sp.)

Ikan pepetek termasuk ke dalam suku atau famili Leiognathidae dengan ciri bentuk badan pipih, kecil dan panjangnya jarang melebihi 15 cm. Di kawasan Indo-Pasifik dapat dijumpai sekitar 30 spesies pepetek dan 20 diantaranya berada di perairan Indonesia. Ikan pepetek umumnya digolongkan ke dalam tiga marga (genus), yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Ketiga genus ini dapat dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza memiliki gigi taring sedangkan yang lain hanya gigi kecil dan mulut yang dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) atau mengarah ke bawah (Leiognathus) (Nontji, 1987 diacu dalam Allo, 1998).

Bentuk mulut dan gigi yang demikian disesuaikan dengan kebiasaan mencari makan. Leiognathus dengan mulut dan gigi yang dapat dijulurkan menghadap ke bawah cocok untuk kebiasaannya mencari makan di dasar perairan berupa detritus atau berbagai hewan dan tumbuhan kecil. Sedangkan Gazza sesuai dengan gigi taringnya untuk makanan berupa zooplankton atau anak-anak ikan (Nontji, 1987 diacu dalam Allo, 1998).

(32)

Gambar 2. Morfologi ikan pepetek (Leiognathus sp.)

Selain itu ikan pepetek memiliki ciri utama, yaitu dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan yang sering disebut bioluminescence. Bioluminescence dihasilkan dari bakteri yang bersimbiosis dengan ikan pepetek. Cahaya yang dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difuse yang cenderung mengubah bayangan dirinya menjadi tidak utuh. Akibatnya ikan pemangsa tidak dapat melihat ikan ini sehingga terhindar dari bahaya (Pauly, 1977 diacu dalam Allo, 1998).

2.1.2 Komposisi kimia ikan pepetek

Ikan pepetek memiliki kandungan kimia yang cukup baik. Kandungan protein ikan pepetek merupakan bagian yang terbesar setelah air. Menurut Anonimous (2005), kandungan protein ikan pepetek mencapai 17,22 %. Kandungan kimia ikan pepetek secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia ikan pepetek (Leiognathus splendens)

Parameter Kandungan (% bb)

Kadar air 74,54

Kadar protein kasar 17,12

Kadar lemak 3,30

Kadar abu 5,65

Kadar kalsium 1,58

Kadar fosfor 0,89

Sumber: Anonimous (2005) Mulut dapat

dijulurkan ke depan

Sirip anal, III, 13 - 14 Sirip dorsal tunggal

VII-IX, 14 - 17

Sirip ekor berbentuk cagak Sisik

(33)

2.1.3. Produksi dan penyebaran ikan pepetek

Ikan pepetek biasanya hidup di dasar perairan dangkal dan membentuk gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (trawl), trammel net atau bagan dapat memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang besar. Ikan pepetek hidup di dasar perairan dangkal berada pada kedalaman antara 5-60 m. Nilai tangkap tertinggi diperoleh pada kedalaman 10-20 m dengan rata-rata maksimum pada kedalaman 15 m di Pantai Utara Jawa (Beck dan Sudrajat, 1978 diacu dalam Allo, 1998).

Tabel 2. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan wilayah perairan tahun 1999.

Wilayah Perairan Jenis Ikan

(ton) Sumatera Jawa

Bali-(Pony fishes) 22.895 41.271 5.620 8.896 11.266 1.271 91.219

Manyung

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2001)

Penyebaran ikan pepetek kebanyakan terdapat di Pantai Utara Jawa. Ikan ini juga tersebar di bagian timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, Teluk Benggala, pantai India, Laut Cina Selatan, Philipina sampai ke pantai Utara Australia. Sebaran ikan pepetek pada

(34)

Tabel 3. Produksi perikanan laut Indonesia jenis ikan pepetek pada tahun 1990-1999.

Tahun Jumlah (ton)

1990 41.768 1991 43.353 1992 45.537 1993 52.800 1994 57.462 1995 66.220 1996 71.402 1997 89.403 1998 79.532 1999 91.219 Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2001)

Jumlah produksi ikan pepetek tiap tahunnya hampir selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 jumlah tangkapannya hanya sebesar 41.768 ton, sedangkan pada tahun 1999 jumlahnya mencapai 91.219 ton (DKP, 2001).

2.1.4. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala, isi perut atau

jeroan dan lain-lain) (Ilyas, 1977). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering.

Tepung ikan yang dikonsumsi manusia sebaiknya diolah dengan cara yang tepat. Bahan baku yang baik dan pengolahan yang tepat, diharapkan tepung ikan yang dihasilkan dapat memenuhi selera konsumen sehingga dapat digunakan sebagai salah satu sumber pangan. Pengolahan tepung ikan harus memperhatikan kondisi kebersihan, standar mutu tepung ikan dan cara pengepakan yang baik sehingga terhindar dari kontaminasi yang mengakibatkan oksidasi maupun dari serangan serangga (Ilyas, 1977).

(35)

menurunkan kadar dan mutu gluten dari tepung yang disubstitusi, karena gluten merupakan suatu massa yang sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet dan dapat diperoleh dari tepung gandum, dengan cara membuat adonan dan mencucinya dengan air mengalir (Winarno, 1993).

2.2. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Di bawah ini akan disajikan mengenai botani ubi jalar, komposisi kimia ubi jalar, produksi ubi jalar dan tepung ubi jalar.

2.2.1. Botani ubi jalar

Klasifikasi ubi jalar menurut Rukmana (1997) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas L.

Ubi jalar termasuk famili Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan) dan mempunyai nama botani Ipomoea batatas (L.) Lam (Rukmana, 1997). Ubi jalar memiliki jenis yang cukup beragam, terdiri dari jenis lokal, varietas unggul dan klon harapan (calon varietas unggul). Familinya mencakup 1000 spesies, namun baru sekitar 142 spesies yang telah diidentifikasi para ahli.

(36)

cadangan makanan bagi tanaman dengan bentuk antara lonjong sampai bulat. Ubi jalar memiliki warna kulit putih kecoklatan, kuning, jingga dan ungu tua. Sedangkan warna dagingnya putih, krem, kuning, merah muda dan jingga, tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang terkandung (Lingga et al., 1986).

Gambar 3. Ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.)

Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang tinggi daya penyesuaiannya terhadap kondisi lingkungan yang buruk seperti angin kencang, kemarau panjang serta terbukti peranannya dalam musim paceklik. Ubi jalar merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program pengembangan pangan berdasarkan kandungan nutrisi, umur yang relatif pendek dan produksi yang tinggi, sehingga apabila ditangani dengan sungguh-sungguh, ubi jalar dapat menjadi sumber devisa yang potensial (Widodo, 1989).

2.2.2. Komposisi kimia ubi jalar

Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam. Pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi daripada musim hujan (Soenarjo, 1984).

(37)

Kandungan kimia ubi jalar cukup baik untuk bahan pangan. Ubi jalar merupakan bahan pangan dengan gizi cukup tinggi karena merupakan sumber energi dalam bentuk gula dan karbohidrat. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C (Huang, 1982).

Tabel 4. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar

No Komposisi Jumlah

1 Kalori (kal) 123,00

2 Protein (%) 1,80

3 Lemak (%) 0,70

4 Karbohidrat (%) 27,90

5 Kalsium (mg) 30,00

6 Fosfor (mg) 49,00

7 Zat Besi (mg) 0,70

8 Natrium (mg) -

9 Kalium (mg) -

10 Niacin (mg) -

11 Vitamin A (SI) 60-7700

12 Vitamin B1 (mg) 0,90

13 Vitamin B2 (mg) -

14 Vitamin C (mg) 22,0

15 Air (%) 68,50

16 Bagian yang dapat dimakan (%) 86,00 Sumber : Direktorat Gizi Departemen kesehatan RI (1992)

Kandungan protein ubi jalar umumnya berada dalam bentuk globulin. Kandungan protein ini sangat rendah pada ubi jalar. Apabila ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok, kemungkinan terjadinya defisiensi protein sangat besar. Untuk itu, konsumsi ubi jalar perlu dikombinasikan dengan makanan lain yang kaya protein, misalnya ikan, seperti yang dilakukan oleh suku Lan Yu di Taiwan (Huang, 1982).

(38)

Karbohidrat pada ubi jalar terdiri dari gula sebesar 13,2 %, pati 4,1 %, pektin 0,9 %, hemiselulosa 0,7 % dan selulosa 1,5 %. Pektin, selulosa dan hemiselulosa merupakan golongan dietary fiber yang dapat berfungsi untuk mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung dan penyakit saluran pencernaan. Sedangkan komposisi gula pada ubi jalar terdiri dari maltosa sebesar 5,5 %, sukrosa 4,4 %, fruktosa 0,9 %, glukosa 0,8 % dan rafinosa sebesar 0,5 % (Sistrunk, 1977).

Pada ubi jalar terdapat komponen antinutrisi yang merugikan karena dapat mengurangi daya cerna protein. Komponen antinutrisi yang terdapat pada ubi jalar adalah antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa (oligosakarida). Pada ubi jalar terdapat antitripsin sebanyak 2,2-25,4 TIU/g dan antikimotripsin sebanyak 0,99 TIU/g serta sebanyak 0,5 % rafinosa terdapat pada ubi jalar yang telah dimasak (Bradbury dan Holloway, 1988).

2.2.3. Produksi ubi jalar

Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia menunjukkan angka yang kurang menggembirakan karena kurangnya dukungan dari industri pengolahan ubi jalar menjadi produk yang lebih disukai oleh masyarakat.

Tabel 5. Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia tahun 1991-2003 Tahun Luas panen (Ha) Hasil (Ton/Ha) Produksi (ton)

1991 214.316 95 2.036.212 1992 229.786 94 2.171.036 1993 224.098 93 2.088.205 1994 197.170 94 1.845.178 1995 228.673 95 2.171.027 1996 211.681 95 2.017.516 1997 195.436 95 1.847.492 1998 199.041 97 1.923.055 1999 171.563 97 1.660.311 2000 197.262 94 1.827.687 2001 181.026 97 1.749.070 2002 177.276 100 1.771.642 2003 197.455 101 1.991.478 Sumber: Anonimous (2003)

(39)

benua lain. Negara-negara berkembang merupakan produsen utama dari tanaman ini. China merupakan negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia dengan hasil produksi sekitar 90 juta ton per tahun. Sementara Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dengan jumlah produksi hampir dua juta ton per tahun.

2.2.4. Tepung ubi jalar

Salah satu bentuk hasil olahan dari ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan adalah tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode pengeringan, diantaranya dengan menggunakan bantuan sinar matahari, menggunakan alat pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar, oven dan drum dryer (Koswara et al., 2003).

Tabel 6. Komposisi kimia tepung ubi jalar dua varietas Parameter Ubi jalar SQ-27

(% bb)

Ubi jalar ceret (% bb)

Air 6,31 8,91

Abu 1,70 2,33

Protein 3,63 3,76

Lemak 1,01 1,26

Karbohidrat (by difference) 82,36 77,84

Sumber : Koswara et al. (2003)

Metode pengeringan yang digunakan mempengaruhi mutu tepung yang dihasilkan. Umumnya pengeringan dengan alat pengering berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan (Marliyati et al., 1992).

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengurangi jumlah kandungan air di dalam suatu bahan pangan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Penurunan kadar air biasanya dilakukan sampai batas tertentu sehingga enzim dan mikroba penyebab kerusakan bahan pangan menjadi tidak aktif atau mati. Pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah pengangkutan, menghemat

biaya dan ruang pengangkutan, pengepakan maupun penyimpanan (Marliyati et al., 1992).

(40)

meliputi: pembersihan, pengupasan, penghancuran (pengirisan) dan pengeringan sampai kadar air tertentu (Koswara et al., 2003).

Penggunaan tepung ubi jalar sudah lama sebagai pengganti terigu dalam pembuatan roti. Hal ini dapat terjadi karena pati dari tepung ubi jalar diuraikan dan difermentasi oleh mikroba menjadi gas karbondioksida yang dapat memperbesar pengembangan roti. Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan bahwa ubi jalar bisa dijadikan sebagai substitusi (pengganti) tepung terigu dalam biskuit, cookies dan mi walaupun dengan kualitas yang relatif lebih rendah terutama dari segi reologis adonan maupun produknya (Kay, 1973), misalnya: substitusi tepung ubi jalar sebesar 30 % pada produk roti (Woolfe, 1999), substitusi tepung ubi jalar sebesar 40 % pada produk bihun (Widowati et al., 1994) dan lain-lain.

2.3. Biskuit

Biskuit merupakan makanan ringan (camilan) yang telah dikenal dan disukai secara luas oleh masyarakat Indonesia. Di bawah ini akan disajikan tentang definisi dan mutu biskuit, proses pembuatan biskuit serta bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit.

2.3.1. Definisi dan mutu biskuit

Produk-produk bakery dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu bread (roti), cake dan cookies (biskuit). Bread adalah suatu produk dari adonan tepung dan bahan lain yang mengalami fermentasi karena adanya ragi (yeast) (Matz dan Matz, 1978). Bread dapat dibedakan menjadi berbagai jenis, tergantung dari bahan yang digunakan, metode dan negara asal resep. Namun demikian, secara umum bread dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bread yang mengembang dan bread yang tidak mengembang (Matz dan Matz, 1978).

(41)

fase diskontinyu (udara) dan fase kontinyu cairan yang menyangga dan memberi bentuk struktur. Perbedaan yang paling utama antara cake dengan produk bakery lain adalah pada tekstur adonan, adonan cake bertekstur kental (Sunaryo, 1985).

Sedangkan menurut Bogasari (2002), cake adalah jenis produk bakery yang dibuat dengan cara mengocok telur dan gula sampai mengembang kemudian dimasukkan tepung terigu dan terakhir margarin atau mentega yang telah dilelehkan. Cake ada beberapa macam dibedakan berdasarkan penggunaan komposisi bahan-bahan dan cara pengolahannya, antaralain: Angel food cake, Sponge cake, Chiffon cake dan Pound cake.

Secara umum pengertian biskuit (cookies) adalah jenis makanan kering atau makanan panggang yang terbuat dari serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya yang mengandung kadar air lebih kecil dari 5 % dan jika diisi, didekorasi atau ditambahkan dengan bahan lain seperti krim, icing (krim gula), jam, jelly dan sebagainya maka kadar airnya dapat melebihi 5 % (Manley, 1998).

Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang

adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain

yang diizinkan (Departemen Perindustrian, 1990).

Berdasarkan SII 0177-90, biskuit digolongkan menjadi empat jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. (Departemen Perindustrian, 1990).

Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman. Bentuk crackers pipih yang rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis (Departemen Perindustrian, 1990).

(42)

berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga (Departemen Perindustrian, 1990).

Sedangkan biskuit atau cookies digolongkan menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek dan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi (Sunaryo, 1985). Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Contoh biskuit yang menggunakan adonan lunak adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe dan biskuit kacang (Departemen Perindustrian, 1990).

Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Selama adonan tersebut terjadi ikatan pati dan protein, larutan gula, garam serta pengembangan dan dispersi lemak ke seluruh bagian adonan. Contoh dari jenis ini adalah biskuit marie dan biskuit rich tea (Departemen Perindustrian, 1990).

Sedangkan pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh dari biskuit ini adalah biskuit crackers (Departemen Perindustrian, 1990).

Tabel 7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992

Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992).

Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti disajikan pada Tabel 7 di atas.

No Karakteristik Syarat Mutu

1

(43)

2.3.2. Proses pembuatan biskuit

Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim (creaming methode) dan metode all in. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens, dimasukkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Sedangkan pada metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang (Whiteley, 1971).

Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari

gula, lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food processor berkecepatan tinggi sampai mengembang. Setelah mengembang

ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan akan sedikit menyerap air sehingga membuat adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo, 1985).

Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat penting (kritis) dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya. Lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40 oC (Manley, 1998).

(44)

Vertical spindle mixers, High speed mixers, Weigh mixers, Continuous mixers, Small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis biskuit yang akan dibuat (Manley, 1998).

Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan segera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo, 1985).

Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan. Kondisi pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1 % (Whiteley, 1971).

Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang antara 2,5 menit sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204 oC). Pemanggangan biskuit dapat juga dilakukan pada suhu 220 oC dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan, 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak (Sunaryo, 1985).

Selama pemanggangan berlangsung terjadi perubahan-perubahan, seperti pengurangan densitas produk biskuit karena pengembangan tekstur berpori (perubahan tekstur), pengurangan kadar air menjadi 1-4 % dan perubahan warna permukaan biskuit. Perubahan yang terjadi pada awal pemanggangan adalah peningkatan volume biskuit yang disebabkan oleh gelatinisasi akibat air terbatas, pengembangan komplek pati-protein-air membentuk struktur biskuit, terlepasnya CO2 dari dalam ke permukaan dan menguapnya air, maka struktur biskuit menjadi

keras (Manley, 1998).

Selama pemanggangan juga terjadi proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati terjadi ketika pemanggangan antara suhu 52-99 oC. Sedangkan denaturasi dan koagulasi protein terjadi pada suhu di atas 70 oC dan gas CO2 terlepas jika suhu

(45)

segera membentuk komplek dengan bahan lainnya, serta selama pemanggangan terjadi distribusi (dispersi) lemak ke seluruh struktur biskuit (Manley, 1998).

Peningkatan suhu dan uap air pada biskuit selama pemanggangan menyebabkan gelembung udara pecah meninggalkan bekas pori-pori. Keadaan ini diikuti oleh menguapnya uap air, struktur komplek pati-protein menjadi keras, sehingga struktur biskuit menjadi keras dan berpori. Meningkatnya suhu menyebabkan perpindahan uap air dari adonan keluar melalui proses kapiler dan difusi (Manley, 1998).

Setelah proses pemanggangan selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pendinginan. Pendinginan ini bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Selain itu, pendinginan dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley, 1998).

2.3.3. Bahan-bahan dalam Pembuatan Biskuit

Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah tepung terigu, susu, air dan putih telur. Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula, margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

2.3.3.1. Tepung terigu

Tepung terigu adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji-biji gandum yang sehat dan telah dibersihkan. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan biskuit dan jumlahnya paling banyak. Tepung terigu berfungsi sebagai pembentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya dalam adonan. Tepung terigu merupakan tepung yang sering digunakan dalam pembuatan berbagai bahan pangan rumah tangga maupun industri pangan.

(46)

Kandungan proteinnya sekitar 12-13 %. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi; (2) Soft wheat, terigu dengan kandungan protein sebesar 7-8,5 %. Penggunaannya cocok untuk bahan pembuatan kue dan biskuit; (3) Medium hard flour, yaitu terigu dengan kandungan protein 9,5-11 %. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta biskuit (Manley, 1998).

Gandum merupakan bahan dasar dari tepung terigu. Sampai sekarang tidak ada bahan dasar lain sebagai pengganti gandum untuk membuat tepung terigu karena gandum adalah satu-satunya jenis biji-bijian yang mengandung gluten (Marliyati et al., 1992).

Terigu mengandung protein sebesar 7-22 %. Minimal terigu tersusun dari lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang larut dalam alkohol 70-90 % dan glutenin yang larut dalam asam atau basa tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema, 1996). Glutenin dan gliadin bila dicampur dengan air akan membentuk gluten (Winarno, 1997).

Adanya air di dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno, 1993).

Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang maka dipilih tepung terigu yang berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang lebih baik, elastis tetapi lengket (Fennema, 1996).

2.3.3.2. Gula

(47)

Meningkatnya kadar gula di dalam adonan biskuit akan membuat biskuit semakin keras. Dengan adanya gula, maka waktu pembakaran harus sesingkat mungkin, agar tidak hangus karena sisa gula yang masih terdapat dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna.

2.3.3.3. Lemak

Lemak dan minyak termasuk komponen ketiga terpenting dalam industri biskuit (Manley, 1998). Fungsi lemak dalam pembuatan biskuit antara lain, (1) memperbaiki cita rasa dan tekstur dalam bahan pangan (Winarno, 1997), (2) pada adonan memberi shortening effect, elastis dan melunakkan tekstur, sehingga setelah proses pemanggangan tekstur biskuit tidak terlalu keras dan mudah lumat di dalam mulut (Manley, 1998), (3) pada krim dan pelapis, lemak memberikan rasa flavor yang unik serta memberikan lapisan mengkilap pada permukaan biskuit (Manley, 1998).

Jumlah lemak yang ditambahkan tergantung dari jenis adonan dan jenis biskuit. Beberapa contoh lemak yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain mentega, margarin, lemak hewan, minyak nabati dan krim susu (Manley, 1998).

2.3.3.4. Susu

Penggunaan susu untuk produk-produk bakery berfungsi membentuk flavor, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk struktur yang kuat karena adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya laktosa. Alasan utama pemakaian susu dalam pembuatan biskuit adalah untuk meningkatkan nilai gizi. Susu mengandung protein (kasein), gula laktosa dan mineral kalsium. Susu juga memberikan efek terhadap warna biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya (Matz dan Matz, 1978).

2.3.3.5. Telur

(48)

tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz , 1978).

Tabel 8. Komposisi kimia telur segar

Komposisi Persentase

Air 74,8 Lemak 10,9 Lesitin 1,5 Protein 12,3 Sumber : Manley (1998)

Lesitin dalam adonan biskuit dapat menambah shortening effect dari lemak dan akan meningkatkan kecenderungan lemak menutupi atau menyebar diantara sejumlah kecil partikel gula yang basah, tepung dan sebagainya yang tidak akan menolak adanya lemak. Adanya emulsifikasi lesitin, membuat adonan yang manis terlihat lebih kering. Selain itu, lesitin juga akan mempercepat dispersi lemak dan meratakan komponen-komponen dalam adonan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengadonan dapat diperpendek (Matz dan Matz, 1978).

2.3.3.6. Garam

Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formulasi biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz, 1978).

Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang lebih rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak.

2.3.3.7. Bahan pengembang

Bahan pengembang adalah zat anorganik yang ditambahkan ke dalam adonan (bisa tunggal atau campuran) untuk menghasilkan gas CO2 membentuk

(49)

digunakan dalam biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat. Baking powder adalah campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam, seperti

sitrat atau tartarat. Baking powder memiliki sifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978).

2.3.3.8. Air

(50)

3.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi alat dan bahan

pada pembuatan tepung ikan pepetek (Leiognathus Sp.) dan tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) serta alat dan bahan pada pembuatan biskuit.

3.1.1. Alat

Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini meliputi peralatan

pengolahan dan peralatan analisis. Peralatan pengolahan terdiri dari peralatan

untuk membuat tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih antara lain alat

penggiling tepung (Hammer Mill), oven, kompor listrik, dandang, baskom, pengaduk, pengayak, timbangan dan pisau. Sedangkan peralatan untuk membuat

biskuit antara lain baskom, oven, food processor merk Philips dengan kecepatan tinggi, loyang, talenan, cetakan biskuit dan pengaduk.

Sedangkan untuk keperluan analisis, baik untuk analisis kimia maupun

analisis fisik, peralatan yang diperlukan antara lain neraca analitik, gegep, oven,

cawan porselen, desikator, alat destilasi, kertas saring, soxhlet, kapas bebas lemak,

labu lemak, pH meter, tanur, penangas air, labu takar, gelas ukur, erlenmeyer,

gelas piala, labu Kjeldahl, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Whitenessmeter dan Rheoner RE-3305.

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan pepetek

(Leiognathus Sp.), ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) dan tepung terigu. Ketiga tepung ini merupakan bahan baku dalam pembuatan biskuit. Ikan pepetek

diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing, Jakarta Utara.

Ikan pepetek dibeli langsung setelah turun dari kapal dan ditangani dengan

menggunakan es. Pengangkutan ikan pepetek dari tempat pelelangan ikan sampai

di laboratorium dilakukan secara rantai dingin dengan menggunakan steroform yang diberi es curai. Sedangkan ubi jalar putih didapatkan dari Pasar Bogor.

(51)

margarin, kuning telur, gula halus, baking powder, vanili, susu full cream dan garam halus.

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis fisiko-kimia antara lain:

H2SO4, NaOH, HCl, H3BO3, Na2CO3, HNO3, NaHCO3, aquades, petroleum eter,

larutan heksan, tablet kjeltab, kertas saring Whatman 42, pepsin dan pankreatin.

3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap I dan

penelitian tahap II. Penelitian tahap I meliputi analisis kimia ikan pepetek,

mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek dan mempelajari karakteristik

tepung ubi jalar putih dengan melakukan analisis fisiko-kimia tepung ikan pepetek

dan tepung ubi jalar putih yang meliputi analisis proksimat, analisis kalsium,

derajat putih dan rendemen.

Penelitian tahap II, yaitu pembuatan biskuit dengan formulasi yang telah

ditentukan (modifikasi Artama, 2003), uji organoleptik untuk mengetahui tingkat

kesukaan panelis dan analisis fisiko-kimia biskuit meliputi analisis proksimat,

analisis kalsium, bioavailabilitas kalsium, daya cerna protein in vitro, pH dan kekerasan.

3.2.1. Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan sebelum dilakukan

pembuatan biskuit. Pada tahap I ini terdiri dari analisis kandungan kimia ikan

pepetek, karakteristik tepung ikan pepetek dan karakteristik tepung ubi jalar putih.

3.2.1.1. Analisis kandungan kimia ikan pepetek

Sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan

analisis kandungan kimia ikan pepetek (Ipomoea batatas L.), untuk mengetahui kondisi ikan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Analisis kimia yang

dilakukan, yaitu analisis proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar abu,

kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat (by difference).

3.2.1.2. Karakteristik tepung ikan pepetek

Karakteristik tepung ikan pepetek yang dipelajari adalah karakteristik

(52)

rendeman. Sebelum mempelajari karakteristik tepung ikan pepetek terlebih dahulu

dilakukan persiapan bahan berupa pembuatan tepung ikan pepetek.

Pada proses pembuatan tepung ikan pepetek, dimulai dengan pembuangan

jeroan dan pencucian dengan air mengalir. Hampir semua bagian tubuh

ikan pepetek digunakan dalam proses pembuatan tepung ikan, seperti bagian

daging, tulang, kulit, sirip dan kepala. Hal ini dilakukan karena ikan pepetek

memiliki ukuran yang kecil dan banyak durinya sehingga sulit untuk memisahkan

bagian daging dari tulangnya. Selain itu, agar diperoleh rendemen tepung ikan

yang lebih besar sehingga lebih bernilai ekonomis. Tulang ikan pepetek juga

dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium pada tepung ikan.

Tubuh ikan dipotong kecil-kecil dengan ukuran sekitar 2 x 2 cm. Hal ini

dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan

menggunakan oven pada suhu 50–55 oC selama 8 jam (Juwono, 1989).

Pengeringan merupakan suatu metode untuk mengurangi jumlah kandungan air di

dalam suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan

energi panas (Marliyati et al., 1992).

Sebelum dioven, ikan dikukus dengan air mendidih selama 10 menit. Hal

ini dimaksudkan untuk menginaktifkan enzim dan mikroba pada ikan sehingga

dapat mencegah pembusukan pada waktu pengeringan (Marliyati et al., 1992). Selain itu, juga bertujuan untuk memperlunak tekstur daging dan tulang ikan

untuk memudahkan dalam proses penggilingan.

Setelah ikan dikukus, dilakukan pengepresan bahan dengan tujuan untuk

mengurangi kadar air pada ikan sehingga mempercepat proses pengeringan ikan.

Jika proses pengepresan ini dihilangkan maka ikan akan sulit kering dan ikan

dapat mengalami proses pembusukan sebelum terjadi pengeringan karena

kandungan air yang cukup tinggi.

Ikan yang sudah kering dihaluskan dengan Hammer Mill dan disaring dengan ukuran 60 mesh. Tepung dengan ukuran 60 mesh merupakan tepung yang

cukup halus untuk digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan biskuit.

(53)

3.2.1.3. Karakteristik tepung ubi jalar putih

Karakteristik tepung ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang dianalisis

adalah karakteristik fisiko-kimia yang meliputi analisis proksimat,

analisis kalsium, derajat putih dan rendemen. Sebelum mempelajari karakteristik

tepung ubi jalar putih terlebih dahulu dilakukan persiapan bahan berupa

pembuatan tepung ubi jalar putih.

Proses pembuatan tepung ubi jalar putih melibatkan beberapa tahap

penting, yaitu tahap pengeringan dan tahap penggilingan. Proses pembuatan

tepung ubi jalar putih antara lain: pemilihan ubi jalar yang bagus dan segar,

kemudian dibersihkan dengan air bersih. Ubi jalar yang telah bersih dikupas

kulitnya dan dipotong tipis-tipis dengan tebal sekitar 3-5 mm. Proses pemotongan

ini dilakukan untuk mempercepat waktu pengeringan dan mencegah timbulnya

case hardenning pada ubi jalar. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50–55 oC selama 8 jam. Penggunaan oven dilakukan agar kondisi

suhu pengeringan dapat lebih dikontrol dan pada umumnya proses

pengeringannya dapat dilakukan lebih cepat dari pengeringan dengan

menggunakan sinar matahari (Koswara et al., 2003).

Pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu sehingga enzim atau

mikroba penyebab kerusakan bahan pangan menjadi tidak aktif atau mati. Selain

itu, pengeringan juga bertujuan agar volume bahan pangan menjadi lebih kecil

sehinga mempermudah pengangkutan, penghematan biaya pengangkutan dan

menghemat ruang pengangkutan, pengepakan maupun penyimpanan

(Marliyati et al., 1992).

Proses penggilingan dilakukan untuk memperhalus ukuran ubi jalar putih

untuk mendapatkan tepung. Proses penggilingan ini dilakukan dengan

menggunakan Hammer Mill dengan ukuran saringan 60 mesh. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih dapat dilihat pada Gambar 5.

3.2.2. Penelitian Tahap II

Setelah penelitian tahap I selesai dilakukan, dilanjutkan dengan penelitian

tahap II. Penelitian tahap II terdiri dari formulasi dan pembuatan biskuit,

(54)

analisis fisiko-kimia biskuit yang meliputi analisis proksimat, pH, kalsium,

bioavailabilitas kalsium, daya cerna protein in vitro dan kekerasan.

3.2.2.1. Formulasi dan pembuatan biskuit

Dalam penelitian ini dilakukan penentuan tingkat substitusi

tepung ikan pepetek dan tepung ubi jalar putih untuk mensubstitusi tepung terigu

dalam pembuatan biskuit. Perlakuan diberikan dengan formulasi kombinasi

tepung ikan pepetek dengan tepung ubi jalar putih terhadap kandungan

tepung terigu tetap yaitu 75 %, kecuali pada kontrol (B0) yang menggunakan

kandungan tepung terigu 100 % (modifikasi Artama, 2003). Perlakuan yang

diberikan adalah penambahan tepung ikan pepetek sebesar 0 % (B0), 5 % (B1),

10 % (B2), 15 % (B3) dan 20 % (B4) (modifikasi Wahyuni, 2005). Sedangkan

penambahan tepung ubi jalar putih adalah kebalikan dari tepung ikan pepetek,

yaitu 0 % (B0), 20 % (B1), 15 % (B2), 10 % (B3) dan 5 % (B4) (modifikasi

Sunandar, 2004). Untuk lebih jelasnya, formulasi pembuatan biskuit dapat dilihat

pada Tabel 9.

Tabel 9. Formulasi biskuit dari tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar dan tepung terigu.

Tepung pensubstitusi Formulasi Tepung terigu

Tepung ikan pepetek Tepung ubi jalar putih

B0 100 0 0

B1 75 5 20

B2 75 10 15

B3 75 15 10

B4 75 20 5

Untuk pembuatan biskuit dalam penelitian ini ditetapkan urutan proses

pembuatan biskuit sebagai berikut: tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih,

tepung terigu dan bahan-bahan lain ditimbang sesuai formulasi yang telah

ditentukan. Margarin, gula halus dan telur dicampur dan dikocok sampai

mengembang sekitar 15 menit. Setelah mengembang dan bercampur merata,

(55)

powder dan vanili sambil diaduk. Ditambahkan tepung terigu, tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih (sesuai formulasi) sedikit demi sedikit dan

ditambahkan air diaduk dalam Food processor merk Philips dengan kecepatan tinggi (tombol no. 2) sampai adonan kalis. Alat pengaduk pada food processor berbentuk seperti pisau yang terletak secara horisontal.

Setelah terbentuk adonan kemudian dicetak pada loyang. Pencetakan

biskuit dilakukan dengan membuat lembaran adonan kemudian dilakukan

pelebaran, penipisan dan penghalusan lembaran adonan. Sebelum dicetak,

lembaran adonan perlu dibiarkan sejenak agar lembaran sedikit mengkerut.

Kemudian adonan yang telah dicetak tersebut dipanggang dalam oven dengan

suhu 120 oC selama 30 menit. Diagram alir proses pembuatan biskuit menurut

Sunaryo (1985) dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan komposisi bahan-bahan

pembuatan biskuit dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Formula dasar yang digunakan dalam pembuatan biskuit dalam100 gram tepung (modifikasi Manley, 1998).

No Komposisi Jumlah

1 Tepung terigu (gram) X

2 Tepung ikan pepetek (gram) Y

3 Tepung ubi jalar putih (gram) Z

4 Gula halus (gram) 20,8

5 Margarin (gram) 16,1

6 Air (ml) 17,8

7 Garam halus (gram) 0,80

8 Kuning telur (gram) 0,6

9 Susu full cream (gram) 2,4

10 Baking powder (gram) 1

11 Vanili (gram) 1

Keterangan : X, Y, Z adalah formulasi tepung pada Tabel 9.

3.2.2.2. Uji organoleptik (Soekarto, 1985)

Berdasarkan perlakuan tersebut akan dipilih konsentrasi terbaik yang dapat

(56)

menggunakan score sheet. Pada tahap ini dilakukan uji subyektif untuk mengukur tingkat kesukaan panelis (hedonik), yaitu berupa uji organoleptik yang dilakukan

terhadap 30 orang panelis semi terlatih dari mahaisiswa Teknologi Hasil Perairan.

Uji hedonik dilakukan berdasarkan parameter penampakan, tekstur, aroma,

rasa dan warna. Parameter uji hedonik berupa angka skala 1-7, dimana 1 = sangat

tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = biasa, 5 = agak suka, 6 = suka,

7 = sangat suka. Pengolahan data untuk uji organoleptik dilakukan dengan

menggunakan software (perangkat lunak) Stastical Package for Social Science (SPSS) dan menggunakan uji beda nyata jujur (BNJ) sebagai uji lanjutan.

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan pepetek (modifikasi Juwono, 1989).

Pengeringan dengan oven suhu 50 oC-55 oC selama 8 jam

Pengepresan / pemerasan Penyiangan (dibuang jeroan) dan

pencucian dengan air mengalir

Pemotongan kecil-kecil dengan ukuran sekitar 2 x 2 cm

Penghalusan / penggilingan dengan Hammer mill

Penyaringan (60 mesh) Pengukusan dengan air mendidih

selama 10 menit Ikan pepetek segar

(57)

Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar putih (modifikasi Koswara et al., 2003).

Penghalusan / penggilingan dengan Hammer mill Pengeringan dengan oven

suhu 50 oC selama 8 jam Pencucian sampai bersih

Penyaringan (60 mesh) Pemotongan tipis, dengan ketebalan

sekitar 3-5 mm Pengupasan kulit

Ubi jalar putih

(58)

Gambar 6. Diagram alir pembuatan biskuit ( modifikasi Sunaryo, 1985)

3.3. Analisis Fisiko-Kimia

Analisis fisiko-kimia yang dilakukan meliputi analisis pada ikan pepetek,

tepung ikan pepetek, tepung ubi jalar putih, tepung terigu dan biskuit. Analisis

yang dilakukan pada ikan pepetek adalah analisis proksimat yang meliputi

kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat Mixing II

selama 10 menit

Pemanggangan dalam oven suhu 120 oC Tepung ubi jalar putih

Gambar

Gambar 1. Ikan Pepetek (Leiognathus sp.)
Gambar 2. Morfologi ikan pepetek (Leiognathus sp.)
Tabel 4. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar
Tabel 7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan tepung ubi jalar ungu menjadi spreads dapat meningkatkan nilai ekonomis ubi jalar, serta menghasilkan produk dengan tampilan warna yang menarik

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung kacang hijau terhadap nilai gizi (serat dan karbohidrat) serta daya terima cookies ubi jalar

Dari hasil uji pengamatan narasumber terhadap kue lapis dengan penambahan tepung ubi jalar ungu menunjukkan bahwa, penilaian tertinggi adalah pada perlakuan Kl 3 ,

46 Seperti halnya analisis protein, bahan baku pembuatan kerupuk ubi jalar ungu yang memiliki kandungan lemak paling tinggi adalah tepung terigu, yaitu sebesar

Penentuan kadar protein, lemak dan karbohidrat pada pembuatan brownies kukus dengan perbandingan tepung ubi ungu dengan tepung terigu telah dilakukan. Kadar protein ditentukan

Penentuan kadar protein, lemak dan karbohidrat pada pembuatan brownies kukus dengan perbandingan tepung ubi ungu dengan tepung terigu telah dilakukan.. Kadar protein ditentukan

Gambar 8 menunjukan bahwa kenaikan analisis tekstur pada cookies ubi jalar ungu dikarenakan substitusi ubi jalar ungu dibandingkan tepung terigu protein sedang

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.: Studi Karakteristik Gizi Ubi Jalar Ungu Ipomoea Batatas L Pada Beberapa Umur