• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI. Descriptor untuk aksara Jawa tulisan tangan, yang meliputi aksara Jawa, Shape Context

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DASAR TEORI. Descriptor untuk aksara Jawa tulisan tangan, yang meliputi aksara Jawa, Shape Context"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

DASAR TEORI

Bab ini membahas tentang teori yang berkaitan dengan pengenalan Shape Context Descriptor untuk aksara Jawa tulisan tangan, yang meliputi aksara Jawa, Shape Context Descriptor, konversi citra RGB ke biner, pengubahan ukuran citra, edge detection, histogram log-polar, bipartite and hungarian method, dan matching-cost matrix.

2. 1. Aksara Jawa

Aksara Jawa merupakan merupakan warisan kebudayaan Indonesia, yang berkembang di Pulau Jawa. Aksara Jawa terdiri dari 20 aksara dasar yang disebut nglenggana atau lebih dikenal hanacaraka. Pengubahan bentuk vokal menjadi i, u, e, é, o, dilakukan dengan menambahkan sandhangan. Pembentukan huruf konsonan pada aksara Jawa dilakukan dengan menambahkan pangkon atau memberikan pasangan pada sebuah aksara. [14]

(2)

(a) (b)

(c)

Gambar 2.1. (a) Aksara Ngelenggana[14]. (b) Pasangan. (c) Sandhangan.

2. 2. Shape Context Descriptor

Shape Context Descriptor adalah suatu metode yang digunakan untuk mengenali kesamaan bentuk tulisan, simbol, maupun gambar, dengan menggunakan cara pencuplikan beberapa titik. Pencuplikan diambil dari hasil edge detection. Jumlah titik pencuplikan yang diambil satu dengan yang lain haruslah sama jumlahnya. Histogram menggunakan koordinat log-polar dalam menghitung jumlah titik dan mengenali letak koordinat titik tersebut.[15]

Setelah semua titik dalam aksara Jawa diketahui, lalu kecocokan masing-masing titik dicari dengan menggunakan pendekatan grafik bipartite, yang dapat memasukkan korespondensi titik yang memiliki bentuk yang sama.

(3)

Gambar 2.2 Shape Context Descriptor. Gambar 2.2 dijelaskan sebagai berikut.

• Gambar 2.2 (a) dan Gambar 2.2 (b) adalah citra asli dalam tulisan Jepang yang

akan dicuplik pada titik-titik di tepi citra.

• Gambar 2.2(c) adalah diagram histogram log-polar yang digunakan dalam

menghitung Shape Context Descriptor.

• Gambar 2.2(d) adalah tahap menemukan korespondensi antara titik-titik

dengan menggunakan bipartite antara gambar A dan B.

2. 3. Konversi Citra RGB ke Biner

Citra masukan RGB. RGB merupakan singkatan tiga warna yaitu merah (Red), hijau (Green), dan biru (Blue). Untuk melakukan proses komputasi, dilakukan pengubahan citra

(4)

dari RGB menjadi biner. Konversi ini diperlukan untuk menyederhanakan citra agar edge detection dapat diproses menjadi lebih cepat. Pengubahan citra RGB menjadi biner diawali dengan mengubah citra RGB menjadi bentuk grayscale.

Bentuk persamaan RGB ke grayscale sesuai dengan Persamaan (2.1) 𝑔𝑟𝑎𝑦𝑠𝑐𝑎𝑙𝑒 = 𝑎 × 𝑅𝑒𝑑 + 𝑏 × 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 + 𝑐 × 𝐵𝑙𝑢𝑒

(2.1) dengan a= konstanta citra red dengan nilai 0 hingga 1;

b= konstanta citra green dengan nilai 0 hingga 1; dan c= konstanta citra blue dengan nilai 0 hingga 1.

Konstanta a, b, c, memiliki nilai yang berbeda-beda tetapi jika dijumlahkan antar konstanta akan mengasilkan nilai mendekati 1.

𝑎 + 𝑏 + 𝑐 ≈ 1 (2.2)

Setelah citra dalam bentuk grayscale, selanjutnya dilakukan pengubahan menjadi citra biner. Citra biner hanya memiliki 2 nilai saja, yaitu nilai 0 dengan berwarna hitam dan nilai 1 berwarna putih. Untuk menghasilkan 2 nilai, diperlukan sebuah nilai ambang. Jika pixel grayscale di atas nilai ambang, maka bernilai 1, untuk pixel di bawah nilai ambang, maka bernilai 0.

(5)

Gambar 2.3 Batas Ambang.

2. 4. Pengubah Ukuran Citra

Citra masukan memiliki ukuran 1040 × 780, itu artinya citra memiliki lebar 1040 pixel dan tinggi 780 pixel. Jumlah pixel yang dimiliki citra tersebut sebesar 811200 pixel. Jika digunakan seluruh pixel dalam pengenalan, maka dibutuhkan titik cuplik yang banyak dan pemrosesan menjadi lama. Agar titik cuplik yang dibutuhkan dalam pengenalan citra dapat dikurangi, maka perlu mengubah ukuran citra menjadi lebih kecil. Dengan pengubah ukuran pixel menjadi lebih kecil maka mengakibatkan bagian detil pixel suatu citra berubah atau menghilang.

Pengubahan ukuran citra memiliki 2 tipe yaitu down sampling dan up sampling. Dalam pendeteksian Shape Context Descriptor dibutuhkan proses down sampling. Down sampling sendiri memanfaatkan proses low pas filter. Down sampling dapat dilihat pada Gambar 2.4. Proses down sampling dilakukan dengan mengambil pixel-pixel yang berwarna biru pada bagian kiri sehingga jumlah pixel menjadi berkurang sehingga resolusi citra juga berkurang 128 1 0 255 Batas ambang Nilai pixel Hasil pengolahan

(6)

Gambar 2.4 Down Sampling.

2. 5. Edge Detection

Deteksi tepi (edge detection) merupakan proses menghasilkan tepi pada objek suatu citra, tujuannya adalah untuk menandai bagian yang menjadi titik cuplik objek[16].

Suatu titik dikatakan sebagai tepi suatu citra bila titik tersebut mempunyai perbedaan frekuensi yang tinggi dengan tetangganya. Berdasarkan prinsip tapis pada citra, maka tepi suatu citra diperoleh dengan menggunakan High Pass Filter (HPF). Metode yang diterapkan dalam Shape Context Descriptor adalah boundary extraction.

Boundary extraction dalam hal ini menggunakan operasi erosi yang dilambangkan dengan 𝐴ɵ𝐵, erosi adalah proses pengurangan pixel pada batas dari suatu objek.

Nilai boundary extraction dicari menggunakan persamaan berikut.

𝛽(𝐴) = 𝐴 − (𝐴ɵ𝐵) (2.3)

dengan 𝛽(𝐴) = Hasil boundary extraction; A = Citra asli; dan

𝐴ɵ𝐵 = Citra yang telah dierosi.

8×8 pixel 4×4 pixel

(7)

(a) (b) (c)

Gambar 2.5 (a). Citra Asli, (b). Citra yang telah Dierosi, (c). Hasil Boundary Extraction.

2. 6. Histogram Log-polar

Hasil dari titik cuplik selanjutnya akan digunakan dalam proses histogram log-polar, setiap titik cuplik akan dibandingkan terhadap titik yang lain, dengan menggunakan 2 nilai yaitu nilai jarak dan nilai sudut. Titik cuplik yang memiliki nilai jarak dan sudut yang sama akan dihitung jumlahnya dan selanjutnya akan masuk ke dalam penghitungan matching-cost matrix. Pada Gambar 2.6 dapat dilihat cara menghitung jarak dan sudut tiap titik.

Gambar 2.6 Bintang 6 dengan 24 Titik Cuplik. 3020 13 1 2 3 4 24 5 6 7 8 9 10 11 12 14 15 16 17 19 18 20 21 22 23

Log-polar titik1 dan 2 Distance 4,8

(8)

Metode Shape Context Descriptor membandingkan setiap titik dengan titik yang lain, antara titik ke-1 dengan yang lainnya, titik ke-2 dengan yang lainnya, dan seterusnya hingga titik ke-24. Sehingga terdapat 24 bentuk histogram log-polar.

Tabel 2.1 Histogram Log-Polar Titik ke-1 dengan Titik Lainnya.

Titik titik Jarak Sudut

1 dan 2 4,8 302 1 dan 3 8,2 302 1 dan 4 11,4 322 1 dan 5 15,5 333 1 dan 6 15,8 317 1 dan 7 17,0 303 1 dan 8 21,1 303 1 dan 9 25,6 303 1 dan 10 23,5 294 1 dan 11 21,9 282 1 dan 12 24,8 302 1 dan 13 28,3 270 1 dan 14 25,0 265 1 dan 15 21,9 258 1 dan 16 23,1 248 1 dan 17 25,5 237 1 dan 18 21,1 237 1 dan 19 26,9 237 1 dan 20 15,7 223 1 dan 21 15,4 207 1 dan 22 11,4 218 1 dan 23 8,2 238 1 dan 24 4,8 238

(9)

Legenda warna histogram log-polar: = 1 = 3 =2 =0

Gambar 2.7. Histogram Log-Polar Titik ke-1 dengan Titik yang Lainnya.

2. 7. Bipartite and Hungarian Method

Bipartite merupakan proses pencocokan antara titik satu dengan titik yang lain. Suatu titik dikatakan cocok atau mirip jika memiliki nilai dan jarak yang mendekati sama. Dalam Shape Context Descriptor, proses bipartite digunakan untuk mencari kecocokan titik cuplik satu dengan yang lain, lalu dihubungkan dengan garis untuk melihat kecocokan pasangan tersebut. Satu pasangan yang dihubungkan dengan garis hanya terdapat 2 titik saja [17]. Pencocokan bipartite yang sempurna adalah ketika seluruh titik pada Gambar A merupakan pasangan seluruh titik pada Gambar B. Dalam proses bipartite diperlukan metode hungarian method untuk menentukan pasangan yang paling cocok.

1 2 3 3 2 1 2 2 1 2 2 1 1 0 30o 60o 90o 120o 150o 180o 210o 240o 270o 300o 330o 360o 0,4 0,8 1,2 1,6 2,0 0 S u d u t J a r a k T i t i k

(10)

(a) (b)

Gambar 2.8 (a). Nilai antara Titik Satu dengan yang lain, (b). Pasangan Titik yang Mendapat Nilai Paling Cocok.

Setiap titik cuplik memiliki koordinat yang digunakan untuk menghitung jarak antar pasangan titik. Dalam metode Shape Context Descriptor, nilai tersebut dimasukkan ke dalam diagram log-polar yang memiliki nilai jari-jari dan sudut yang dikuantisasi.

Hungarian method merupakan metode untuk mencari kombinasi pasangan yang paling optimal. Metode bipartite mencari nilai-nilai yang akan dipasangkan oleh titik satu dengan yang lain, sedangkan hungarian method sebagai penentu pasangan yang memiliki nilai terkecil. Caranya adalah hungarian method meranking semua nilai perbandingan titik cuplik citra data uji dan data latih, kemudian memasukkan ke sebuah matriks untuk melakukan proses pencocokan nilai yang paling kecil[18].

5 10 10 10 25 3 12 20 9 3 6 5 10 10 3 3

(11)

Berikut langkah-langkah Hungarian Method [19][20]. Langkah 1: Mengurangi baris minimum

Untuk setiap baris, cari elemen terendah dan kurangi dari setiap elemen di baris itu. Langkah 2: Mengurangi kolom minimum

Untuk setiap kolom, cari elemen terendah dan kurangi dari setiap elemen di kolom itu. Langkah 3: Menutup semua nol dengan jumlah garis minimum

Tutup semua nol dalam matriks yang dihasilkan menggunakan jumlah minimum garis horisontal dan vertikal. Jika “n” baris terpenuhi, secara optimal oleh nilai nol, maka proses berhenti.

Jika belum terpenuhi dari “n” baris, maka lanjutkan ke Langkah 4. Langkah 4: Membuat nol tambahan

Temukan elemen terkecil (sebut saja “k”) yang tidak tercakup oleh garis pada Langkah 3. Kurangi “k” dari semua elemen yang tidak tertutup, dan tambahkan “k” ke semua elemen yang tercakup dua kali.

Mengulangi Langkah 1.

(12)

Tabel 2.2.(a) Hasil Sebelum Hungarian Method (b). Hasil Hungarian Method.

(a) (b)

Hasil pencocokannya adalah sebagai berikut. Titik A dengan Titik 2.

Titik B dengan Titik 1. Titik C dengan Titik 3. 2. 8. Matching-cost Matrix

Di dalam proses bipartite untuk memasangkan antara histogram log-polar citra A dan citra B terdapat nilai cost [21]. Perolehan nilai cost dapat dilihat dari Persamaan(2.4).

∁𝑖𝑗 ≡ ∁(pi, qj) =1 2∑ [hi(k)−hj(k)]2 hi(k)+hj(k) K k=1 (2.4) dengan ∁𝑖𝑗 = Cost;

hi(k) dan hj(k) = nilai histogram log-polar dari masing-masing bentuk citra A dan citra B;

K = jumlah banyaknya data dalam histogram; dan

k = menunjukkan posisi spesifik dari data dalam histogram. Nilai

pencocokan Titik1 Titik 2 Titik 3

Titik A 10 5 25

Titik B 3 9 12

Titik C 20 6 3

Nilai

pencocokan Titik1 Titik 2 Titik 3

Titik A 5 0 20

Titik B 0 6 9

(13)

Contoh penghitungan matching-cost matrix dari histogram polar A dan histogram log-polar B adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3. Contoh Nilai Histogram Log-Polar Gambar A dan Gambar B.

𝐶𝑜𝑠𝑡 = 1 2( (0−4)2 0+4 + (2−3)2 2+3 + (5−9)2 5+9 + (4−7)2 4+7 + (7−1)2 7+1 + (5−0)2 5+0 + (8−6)2 8+6 + (4−4)2 4+4 + (2−7)2 2+7 ) 𝐶𝑜𝑠𝑡 =1 2(4 + 0,2 + 1,14 + 0,81 + 4,5 + 5 + 0,285 + 0 + 2,77) = 10,25 Cost tersebut lalu dimasukan kedalam proses hungarian method.

Gambar

Gambar 2.1. (a) Aksara Ngelenggana[14]. (b) Pasangan. (c) Sandhangan.
Gambar 2.2 Shape Context Descriptor.
Gambar 2.3 Batas Ambang.
Gambar 2.4 Down Sampling.
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Melalui kegiatan mencari tahu tentang pantun, siswa dapat membuat pantun dengan tema tertentu, lalu menunjukkan unsur-unsur pantun yang dibuat dengan benar.. Apa isi pantun yang

Computer Based Information System (CBIS) atau Sistem Informasi Berbasis Komputer merupakan suatu sistem pengolah data menjadi sebuah informasi yang berkualitas dan dipergunakan

Hasil investasi yang diperoleh dari saham TLKM selama tahun 2015 dengan menggunakan metode RSI dapat dilihat dalam tabel berikut ini;..

Pada ruangan dan slot yang sama, tidak boleh ada mata kuliah yang berbeda karena akan beradu jadwal. Jika tidak, maka jadwal akan beradu dan ruang tidak dapat digunakan. Contoh

195 yang menarik dalam setiap kegiatan bermain peran yang akan dilakukan oleh anak sehingga anak juga semangat dalam melakukan kegiatan bermain peran dan tidak mudah

(1) Dalam rangka menjamin terlaksananya prinsip transparansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, maka TPK berkewajiban mensosialisasikan perihal pembiayaan dan

Untuk divisi FWMon, wahana melakukan pengambilan data video pada area misi secara autonomous serta mengirimkan dan menayangkan secara langsung video yang diperoleh tersebut

Hasil studi analisis korelasi dan lintasan pada karakter agronomi kacang tanah menunjukkan bahwa karakter bobot polong kering total memiliki pengaruh langsung dan