• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. POSTPURCHASE DISSONANCE

A.1 Definisi Postpurchase

Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen, kepuasan, keraguan dan mekanisme umpan balik. Kepuasan merupakan emosi penting dari tahap ini dan merupakan penentu untuk perilaku membeli di masa yang akan datang (Loudon & Bitta, 1993).

Hanna & Wozniak, (2001) mendefinisikan postpurchase consideration adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan perasaan puas atau tidak puas pada konsumen yang akan mempengaruhi untuk membeli ulang suatu produk.

A.2 Definisi Postpurchase Dissonance

Postpurchase dissonance merupakan suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seseorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, Best (2007). Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut berada dalam suatu keadaan yang mengharuskan membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan lainnya yang tidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut.

(2)

Schiffman dan Kanuk, (1994) mendefinisikan postpurchase dissonance sebagai suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang terjadi setelah adanya proses pembelian, dimana setelah proses pembelian, konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung untuk memecahkannya dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka.

Loudon & Bitta (1993) berpendapat bahwa postpurchase dissonance terjadi sebagai hasil dari perbedaan antara keputusan konsumen dengan evaluasi sebelumnya. Loudon dan Bitta (1984) juga menambahkan bahwa postpurchase dissonance akan semakin tinggi ketika individu memiliki komitmen yang besar terhadap pembeliannya. Komitmen tersebut bukan hanya terhadap sejumlah uang yang telah ia gunakan, tetapi juga waktu, usaha dan ego. Selanjutnya, selama keputusan membeli dibuat, disonansi terjadi ketika konsumen menyadari bahwa produk alternatif tersebut memiliki karakteristik positif dan negatif.

Berdasarkan sejumlah uraian mengenai postpurchase dissonance maka dapat disimpulkan bahwa postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen terhadap suatu produk.

A.3 Dimensi Postpurchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) mengemukakan tiga dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu :

(3)

1. Emotional

Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli. Munculnya keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of Purchase

Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dia lakukan. Apabila individu merasa bahwa keputusan pembelian yang dia lakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern over deal

Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri terhadap produk yang dibeli. Individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada

(4)

informasi-informasi dari luar diri individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance.

A.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance

Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu:

1. The degree of commitment or irrevocability of the decision

Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.

2. The importance of the decision to the consumer

Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut.

(5)

3. The difficulty of choosing among alternatifs

Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seseorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.

4. The individual’s tendency to experience anxiety

Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance.

Halloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) dalam penelitiannya mengenai disonansi yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan postpurchase dissonance adalah :

(1). Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk yang tadinya ditolak oleh konsumen

(2). Munculnya faktor negatif dari produk alternatif yang menjadi pilihan utama

(6)

(4).Kekacauan kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan

(5). Keterlibatan kognitif pada produk

(6). Bujukan dan pujian

(7). Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat membeli

(8). Ketersediaan informasi

(9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi, dan

(10). Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk.

Dari sejumlah faktor yang dikemukakan (Hawkins, Mothersbaugh & Best; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka pada dasarnya faktor penyebab keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari diri individu. Eksternal adalah kondisi diluar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi. Sedangkan faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Hal inilah yang hendak diteliti oleh peneliti dimana variabel bebas dari penelitian ini adalah interdependent dan independent self concept.

(7)

B. Konsep Diri

B.1 Definisi Konsep Diri

Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas pikiran dan perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri sebagai sebuah objek. Dengan kata lain, konsep diri merupakan bagaimana seseorang berpikir atau melihat dirinya sendiri. Ada dua tipe konsep diri yaitu konsep diri interdependent dan konsep diri independent (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007)

Paik dan Micheal (2002) menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan yang dimiliki mengenai diri sendiri dan hubungannya dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu. Calhoun dan Acocella (1990) mendefiniskan konsep diri sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri.

Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik perepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Sejalan juga dengan definisi Kobal dan Musek (2002) mendefiniskan konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan, evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita sendiri. Loudon dan Della Bitta (1993), mengartikan konsep diri sebagai persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri, meliputi kondisi fisik, karakter, dan bahkan mencakup beberapa kepemilikan dan kreasi yang dihasilkan seseorang. Berdasarkan sejumlah uraian mengenai definisi konsep diri maka dapat disimpulakan bahwa konsep diri merupakan bagaimana cara

(8)

seseorang memiliki pandangan, penilaian, gambaran, kepercayaan, perasaan, dan pikiran terhadap dirinya sendiri.

B.2 Konsep Diri Interdependent

Konsep diri yang interdependent dibentuk terutama oleh hubungan keluarga, hubungan dengan kebudayaan, hubungan profesional, serta hubungan sosial. Individu yang memiliki konsep diri yang interdependent cenderung patuh, sociocentric, holistic, dan berorientasi pada hubungan dengan sesama individu. Mereka mendefinisikan dirinya dalam konteks peran sosial (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).

Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) mengatakan bahwa konsep diri yang interdependent terdapat pada budaya kolektif yang tidak menganggap adanya keterpisahan atau nilai terbuka. Sebaliknya, budaya ini menekankan apa yang mungkin disebut "keterikatan dasar manusia". Tugas normatif utama adalah untuk menyesuaikan diri dan mempertahankan saling ketergantungan antara individu satu dengan yang lain. Individu-individu dalam budaya ini disosialisasikan untuk mampu menyesuaikan diri untuk dapat membantu suatu hubungan atau kelompok dimana mereka berasal, bersikap simpatik, mampu menempati dan memainkan peran yang ditugaskan kepada mereka dan untuk terlibat pada tindakan yang tepat. Tugas budaya ini telah dirancang dan dipilih sepanjang sejarah untuk mendorong saling ketergantungan diri dengan orang lain.

(9)

Menurut Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) konsep diri interdependent dijelaskan pada gambar 1 dibawah ini. Orang yang interdependent ini tidak terbatas, fleksibel, dan bergantung pada konteks. Perhatikan substansial yg relevan bertumpang-tindih antara self dan orang lain. Aspek yang paling menonjol dari self didefinisikan pada hubungan yaitu, fitur-fitur dari self yang berkaitan dan tidak terpisahkan dari konteks sosial tertentu. Ini bukan berarti bahwa mereka dengan self yg interdependent tidak memiliki pengetahuan atribut internal mereka, seperti ciri-ciri kepribadian, kemampuan, dan sikap. Mereka jelas memilikinya. Namun, sifat-sifat internal relatif kurang menonjol pada kesadaran dan dengan demikian tidak menjadi perhatian utama pada pikiran, perasaan, dan tindakan

Mother Father

Sibling Friend

Coworker

Friend

Gambar 1 Interdependent Construal of self Self X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X

(10)

B.3 Konsep Diri Independent

Konsep diri independent dibentuk oleh tujuan, karakteristik, prestasi, dan hasrat pribadi. Individu dengan konsep diri ini cenderung menjadi individualistis, egosentris, autonomous, mengandalkan diri sendiri, dan mengacu kepada diri sendiri. Mereka mendefinisikan dirinya berdasarkan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik pribadi yang membuat mereka berbeda dengan individu lain (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007).

Markus dan Kitayama (dalam Millan dan Reynolds, 2011) menganggap konsep diri yang independent sebagai konsep diri yang dibatasi, kesatuan, stabil, mandiri, individualis, egosentris, terpisah, dan terlepas dari konteks sosial. konsep diri dianggap sebagai konfigurasi khas dari sifat, pikiran dan perasaan yang mengatur perilaku individu dan mendasari perjuangan individu terhadap pemenuhan tujuan pribadi seperti "mewujudkan diri".

Markus dan Kitayama (dalam Matsumoto & Juang, 2008) mengungkapkan bahwa konsep diri yang independent merupakan individu yang berfokus diri pribadi, kemampuan atribut-internal individu, karakter kepribadian, dan tujuan. Konsep diri yang independent ini digambarkan secara grafis pada gambar 2 dibawah ini. Self adalah entitas yg dibatasi, jelas terpisah dari orang lain yang relevan. Perhatikan bahwa tidak ada tumpang tindih antara self dan orang lain. Selanjutnya, informasi self yang relevan paling menonjol (ditunjukkan dengan Xs

(11)

huruf tebal) yg berhubungan dengan atribut yg dianggap stabil, konstan, dan intrinsik, seperti kemampuan, tujuan, dan hak-hak.

Mother Father Sibling Friend Cowoker Friend

Gambar 2 Independent Construal of self

C. DINAMIKA INTERDEPENDENT DAN INDEPENDENT SELF CONCEPT TERHADAP POSTPURCHASE DISSONANCE

Postpurchase dissonance merupakan suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seseorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen (Hawkins, Mothersbaugh, Best (2007). Keraguan atau kecemasan ini dialami oleh seorang konsumen yang harus membuat keputusan di antara banyak pilihan alternatif. Karena banyaknya pilihan yang dihadapkan pada konsumen sehingga menimbulkan kebingungan untuk memutuskan alternatif mana yang hendak dipilih.

XSelf

X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X

(12)

Konsumen yang memiliki konsep diri yang interdependent lebih mudah dipengaruhi oleh orang lain ketika membeli suatu produk dibandingkan konsumen yang independent. Konsumen dengan konsep diri interdependent, memiliki kepercayaan diri untuk melakukan keputusan membeli suatu barang jika mendapat dukungan serta informasi-informasi yang jelas dari lingkungan sosial seperti keluarga, teman, maupun orang lain yang berhubungan dengan barang yang hendak dibeli. Hal ini karena konsumen yang konsep dirinya interdependent tidak bisa lepas dari konteks sosial (Markus dan Kitayama dalam Matsumoto & Juang, 2008). Semakin banyak dukungan dan dorongan dari keluarga atau kerabat untuk membeli suatu produk maka semakin mudah dan yakin konsumen untuk mengambil keputusan membeli.

Jika ditinjau dari aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000), yaitu concern of deal, individu menyadari setelah proses pembelian dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri terhadap produk yang dibeli. Konsumen dengan konsep diri yang interdependent sadar setelah pembelian dilakukan itu dipengaruhi oleh orang lain atau agen penjual sebagai dukungan yang membantu konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli yang dapat mengurangi terjadinya postpurchase dissonance. Hal tersebut karena konsumen interdependent dibentuk terutama oleh hubungan sosial dan selalu bergantung dengan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri yang bergantungan cenderung patuh, sociocentric, holistic, dan berorientasi pada

(13)

hubungan dengan sesama individu (Hirschman dalam Hawkins, Mothersbaugh

dan Best, 2007) .

Berdasarkan aspek wisdom of purchase, yaitu individu menyadari setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat, benar dan berguna atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut maka mereka cenderung tidak mengalami postpurchase dissonance (Sweeney, Hausknecht & Soutar, 2000). Ketika konsumen yang interdependent sadar setelah pembelian dilakukan bahwa konsumen merasa keputusan pembelian tidak benar, tidak tepat dan tidak berguna karena tidak mendapatkan informasi ataupun dukungan sosial dari orang lain juga dapat mengalami kecemasan dan keraguan. Sebaliknya pada saat keputusan membeli yang dilakukan tepat, benar dan berguna karena adanya dukungan sosial dan melibatkan orang lain maka konsumen interdependent tidak mengalami postpurchase dissonance

Berdasarkan aspek emotional yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000), Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis setelah individu membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya sehingga mengalami postpurchase dissonance. Konsumen yang interdependent akan mengalami anxiety atau ketidaknyamanan psikologis setelah produk yang dibeli oleh konsumen yang interdependent tidak mendapat dukungan yang besar atau informasi dari orang lain. Hal ini didukung oleh faktor penyebab postpurchase dissonance, yaitu faktor eksternal yang merupakan kondisi di luar individu yang memiliki sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi yang menyebabkan kosumen merasa cemas

(14)

(Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993). Konsumen interdependent juga tidak percaya diri dalam mengambil keputusan untuk membeli jika tidak melihat konsumen lain menggunakan produk yang sama atau mendapat informasi dari orang lain (Heine dan Lehman, dalam Wong, 2009)

Berdasarkan penjelasan aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) bahwa konsumen yang konsep dirinya interdependent tampak pada aspek concern of deal dan emotional, tetapi tidak begitu kelihatan pada aspek wisdom of purchase.

Konsumen dengan konsep diri yang independent berbeda dari konsep diri yang interdependent. Konsumen yang independent mendefinisikan dirinya berdasarkan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik pribadi yang membuat mereka berbeda dengan individu lain (Hirschman dalam

Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). Konsep diri independent memiliki self

esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsep diri interdependent sehingga konsep diri independent mampu melakukan strategi pengurangan disonansi (Steele dkk, dalam Wong, 2009).

Jika ditinjau dari aspek-aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar, (2000), yaitu berdasarkan aspek wisdom of purchase, ketika konsumen menyadari bahwa keputusan membeli yang telah dilakukannya adalah benar, tepat dan berguna maka konsumen cenderung tidak mengalami postpurchase dissonance (Sweeney, Hausknecht & Soutar, 2000). Hal ini dapat terjadi pada konsumen dengan konsep diri independent karena konsumen

(15)

dengan konsep diri independent mampu mengambil keputusan yang mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain, individual, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain, dan lebih mengandalkan pemikirannya sendiri dalam mengambil keputusan untuk membeli sesuai dengan kebutuhannya sendiri (Markus dan Kitayama, dalam Millan dan Reynolds, 2011).

Berdasarkan aspek concern of deal, individu menyadari setelah proses pembelian dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) terhadap keyakinan mereka sendiri terhadap produk yang dibeli (Sweeney, Hausknecht & Soutar, 2000), konsumen dengan konsep diri independent pada saat dihadapkan pada informasi-informasi dari luar diri individu untuk melakukan keputusan membeli dapat membuat konsumen mengalami postpurchase dissonance. Hal ini karena konsumen dengan konsep diri independent melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) dan cenderung tidak melibatkan kehadiran dan pendapat orang lain tetapi sangat individual dan mandiri dalam mengambil keputusan membeli (Markus dan Kitayama, dalam Millan dan Reynolds, 2011).

Berdasarkan aspek emotional yang diungkapkan Sweeney, Hausknecht & Soutar, (2000), Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis setelah individu membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya sehingga mengalami postpurchase dissonance. Konsumen yang memiliki konsep diri independent akan mengalami ketidaknyamanan psikologis ketika terbatasnya pengetahuan dan informasi tentang produk yang hendak dibeli. Hal ini juga

(16)

didukung oleh faktor penyebab keraguan pasca pembelian yaitu faktor internal yang merupakan kondisi kepribadian individu yang menyebabkan kecemasan, sulit berkomitmen pada produk yang dipilih, keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993).

Berdasarkan penjelasan aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar, (2000) bahwa konsumen yang konsep dirinya independent kelihatan pada aspek wisdom of purchase dan emotional , tetapi kurang terlihat pada aspek concern of deal.

Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa konsumen dengan konsep diri interdependent maupun independent memiliki karakteristik yang memperkuat munculnya pada aspek-aspek postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney, Hausknecht & Soutar, (2000). Konsumen interdependent dan independent memiliki kesesuaian pada aspek postpurchase dissonance yaitu aspek emotional, dan berbeda pada aspek concern of deal dan wisdom of purchase. Masing-masing kategori konsep diri (Interdependent dan independent) memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda yang melibatkan munculnya respon negatif ketika keputusan membeli akan diambil yang disebut postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, dan Best, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan postpurchase dissonance yang dialami oleh seorang konsumen yang interdependent dan independent self concept.

(17)

Concern of Deal Interdependent

Postpurchase Emotional

Dissonance

Independent

Wisdom of purchase

Gambar 3. Skema dinamika interdependent/independent terhadap postpurchase dissonance

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan postpurchase dissonance antara konsumen yang interdependent self concept dan independent self concept”

Referensi

Dokumen terkait

Draf 1 Renstra UPI 2016-2020 15 penyelenggaraan PPG yang sudah terakomodasi dalam dokumen akademik “Re- Desain Pendidikan Profesional Guru” yang telah dijadikan

Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari.. situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah

Sebagai pengantar untuk memahami wajah Gereja Indonesia yang gembira dan berbelaskasih di masa lampau, kini dan esok, berikut uraian singkat untuk mengenal Anjuran Apostolik dan

Berdasarkan rumusan masalah maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share(TPS) dapat berpengaruh dalam

Rencana Kerja Kecamatan Ranah Pesisir Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016 merupakan agenda tahunan Kecamatan Ranah Pesisir yang akan dilaksanakan pada Tahun 2016 dalam

Untuk itu dibutuhkan suatu rumus untuk menghitung tingkat positif yang salah dari suatu cascade classifier, menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Viola & Jones (2011)

Algoritma yang disajikan dalam makalah ini yang didasari oleh clonal selection dengan mekanisme seleksi positif dan seleksi negatif, terbukti berhasil menggantikan

Hasil uji sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa, umur, letak ruas pada batang dan tingkat kekeringan berpengaruh sangat nyata terhadap penyusutan,