• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk bekerja di kota pusat-pusat industri. Migrasi penduduk dapat dibagi menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk bekerja di kota pusat-pusat industri. Migrasi penduduk dapat dibagi menjadi"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

30 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Migrasi Penduduk

Gerak perpindahan penduduk muncul bersamaan dengan adanya revolusi industri di Eropa pada abad 18 dan 19 yaitu mengundang tenaga kerja dari desa untuk bekerja di kota pusat-pusat industri. Migrasi penduduk dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu migrasi permanen (migrasi) dan migrasi non-permanen atau migrasi sirkuler. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah tujuan dengan maksud menetap. Sedangkan migrasi sirkuler ialah gerak penduduk dari satu tempat ke tempat lain tanpa ada maksud untuk menetap. Migrasi sirkuler ini pun bermacam-macam jenisnya ada yang ulang-alik, periodik, musiman dan jangka panjang. Migrasi sirkuler dapat terjadi antara desa-desa, desa-kota, kota-desa dan kota-kota (Mantra, 1999). Definisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/negara /batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara. Migrasi sulit diukur karena migrasi ini dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya.

Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu. Sedangkan perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk menurut Prijono Tjiptoherijanto (1999)

(2)

mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II (Kabupaten/Kota), namun tidak berniat menetap di daerah yang baru, sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas admistratif tingkat II (Kabupaten/Kota) dan sekaligus berniat menetap di daaerah yang baru tersebut. Selanjutnya Mulyadi (2004) mendefinisikan penduduk migran dalam dua kategori yaitu pertama, penduduk yang pada saat pencacahan tempat tinggalnya berbeda dengan tempat lahir yang disebut migrasi semasa hidup (life time migration). Kedua, penduduk yang bertempat tinggal di tempat tujuan lima tahun lalu, dikategorikan sebagai migrasi risen (recent migration).

Masalah migrasi membawa permasalahan tersendiri bagi daerah perkotaan, karena migrasi merupakan gerak alamiah yang mengikuti perkembangan ekonomi. Selama kesenjangan desa-kota makin parah, maka arus migrasi sulit untuk dihentikan. Kegiatan perekonomian kita masih sangat terpusat di kota-kota besar akibatnya pola migrasi yang muncul selama ini lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Selain permasalahan di atas dampak migrasi dapat menyebabkan meningkatnya kebutuhan lapangan pekerjaan di kota dan dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan kurangnya tenaga kerja yang potensial tersedia di desa dan tentunya menghambat pembangunan di desa, juga menciptakan pemukiman kumuh dan gejolak sosial di kota.

2.1.2 Migran Nonpermanen

Perpindahan penduduk memiliki kaitan yang erat dengan pembangunan, sebab Perpindahan penduduk itu merupakan suatu bagian integral dari proses

(3)

pembangunan secara keseluruhan. Artinya, tidak ada pembangunan tanpa perpindahan penduduk dan begitu pula sebaliknya tidak akan terjadi perpindahan penduduk tanpa adanya pembangunan. Tinggi rendahnya migrasi penduduk di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap strategi pembangunan yang dipilih, sehingga pembangunan yang dilaksanakan betul-betul dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk atau masyarakat pendukung pembangunan tersebut (Sudibia, 2007).

Menurut Mantra (1999), migrasi penduduk didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pengambil keputusan untuk melakukan migrasi didasarkan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan yang harus terpenuhi, seperti kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi terjadilah tekanan (stres) dan tingkat (stres) ini berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Secara umum tinggi rendahnya stres yang dialami seseorang berbanding terbalik dengan proporsi pemenuhan kebutuhan tersebut. Akibat dari stres tersebut dapat dipilah menjadi dua, yaitu (1) apabila stres yang dialami seseorang masih dalam batas-batas kewajaran, maka orang tersebut akan memutuskan tidak akan pindah dan yang bersangkutan akan berusaha untuk menyesuaikan kebutuhannya dengan kondisi lingkungan yang ada dan (2) apabila stres yang dialami seseorang sudah di luar batas toleransinya, maka orang tersebut akan mulai memikirkan untuk mengambil keputusan pindah ke daerah lain tempat kebutuhannya dapat terpenuhi (Gambar 2.1).

(4)

Gambar 2.1

Hubungan Antara Kebutuhan Dan Pola Mobilitas Penduduk

Sumber : Mantra (1999)

Sesuai dengan definisi migrasi, perpindahan penduduk antar provinsi maupun antar kabupaten juga mencakup dua gerak penduduk, baik permanen maupun nonpermanen. Apabila data perpindahan penduduk permanen cukup tersedia, data migrasi nonpermanen sangat sulit dilacak hal ini dikarenakan para pelaku migran nonpermanen umumnya tidak melapor ke kantor desa atau lurah mengenai kepergian dan kedatangan penduduk baik di daerah asal maupun daerah tujuan (Mantra, 1999). Batasan antara permanen dan non permanen dalam konsep

Kebutuhan dan aspirasi

Terpenuhi Tidak Terpenuhi Tidak Pindah Dalam batas toleransi Di luar batas toleransi Pindah Tidak pindah Mobilitas nonpermanen Komuter (ulang alik) Menginap/ mondok

(5)

migrasi penduduk ini terlihat dari belum adanya kesepakatan yang jelas baik menyangkut ruang maupun waktu. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pelaksanaan sensus penduduk maupun survei penduduk mengunakan batas waktu enam bulan untuk membedakan antara migran dan bukan migran. Seseorang disebut migran apabila orang tersebut bepergian melintasi batas provinsi dan lamanya meninggalkan provinsi daerah asal enam bulan atau lebih. Anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi dengan tujuan pindah atau akan meninggalkan rumah selama enam bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga didaerah asal. Tamu yang telah tinggal di rumah tangga selama enam bulan atau lebih dianggap sebagai rumah tangga. Orang yang memiliki rumah atau tempat tinggal lebih dari satu maka yang dicatat adalah dimana orang tersebut sering atau banyak bertempat tinggal (Mantra,1992 dalam Murjana Yasa, 1993).

2.1.3 Karakteristik Pekerja Migran Nonpermanen. 1) Umur dan Jenis Kelamin

Umumnya pelaku migran nonpermanen terdiri dari kelompok umur potensial yang kebanyakan berumur antara 20-40 tahun. Bahkan pada waktu mulai melakukan migrasi atau pergi dari daerahnya para migran berumur rata-rata dibawah 30 tahun. Hal ini antara lain dapat dilihat melalui berbagai penelitian yang menunjukkan, bahwa penduduk yang melakukan migrasi kebanyakan berusia muda yaitu di bawah 35 tahun (Todaro, 1998). Sudah menjadi ciri umum sebagian besar pelaku migrasi

(6)

terdiri atas penduduk laki-laki. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kehidupan sosial budaya menyangkut kebebasan perempuan berpergian. Selain itu agama merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh. Masyarakat Islam biasanya laki-laki merupakan tenaga kerja yang dominan dan kontrol masyarakat terhadap perpindahan kaum perempuan sangat ketat.

2) Status Kawin

Status perkawinan merupakan salah satu variabel sosial demografi yang mempunyai aktivitas seseorang di pasar kerja. Migran yang sudah menikah mau tidak mau harus masuk ke pasar kerja untuk menghidupi keluarga, apalagi migran yang berasal dari pekerja keluarga miskin. Terutama para laki-laki, berubahnya status dari pemuda lajang menjadi status menikah akan menentukan keikutsertaannya dalam pasar tenaga kerja. Pada laki-laki yang belum menikah, karena tidak ada tuntutan dari istri atau anak maka pada umumnya akan menunda masuk ke pasar tenaga kerja.

3) Berpendidikan relatif rendah, kelompok keluarga miskin dan bersifat hemat.

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut UUD 1945 pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan input bagi pengembangan sumber daya manusia, dimana kemampuan

(7)

ekonomi suatu bangsa dalam banyak hal tergantung pada keadaan sumber daya manusianya. Pelaku migrasi nonpermanen umumnya mempunyai pendidikan rendah, kiranya perlu dipahami bahwa pendidikan mempunyai korelasi dengan pekerjaan, baik di daerah asal maupun di daerah tujuan. Dalam keadaan normal, makin tinggi pendidikan seseorang makin besar kemungkinannya untuk memperoleh kesempatan kerja formal dengan tingkat pendidikan yang rendah, tidak heran apabila sebagian besar pelaku migrasi hanya menjadi tenaga-tenaga kasar atau buruh-buruh lepas, menjadi pedagang asongan, penjaja atau pedagang kaki lima.

Pelaku migrasi nonpermanen dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:

Pertama, kelompok pelaku migrasi keluarga kaya yang pergi untuk meningkatkan

kekayaannya atau mencari akumulasi modal usahanya. Kedua, pelaku keluarga miskin yang keluar dari desa untuk mencari upaya mengatasi kemiskinannya. Keluarga miskin umumnya hanya mampu mencapai lokasi-lokasi marginal dengan fasilitas kehidupan yang tertentu, seperti daerah-daerah kumuh. Di daerah tujuan, migran secara massal menginap dalam satu rumah kontrakan dengan fasilitas asal bisa tidur.

Murjana Yasa (1993), menyatakan bahwa pekerja migran di daerah wisata Kuta Bali terserap pada sektor formal dan sektor informal. Migran lebih banyak terserap pada sektor jasa khususnya jasa perhotelan dan perdagangan. Beberapa karakteristik sosial demografi pekerja migran pada sektor formal dan informal tersebut menunjukkan, migran laki-laki sebagian besar terserap pada sektor formal dan perempuan pada sektor informal. Pendidikan migran yang bekerja pada sektor

(8)

formal relatif tinggi, dibandingkan migran pada sektor informal yang kebanyakan pekerja migran informal berpendidikan SMP ke bawah.

2.1.4 Pengeluaran Konsumsi

Konsumsi dalam istilah sehari-hari sering diartikan sebagai pemenuhan akan makanan dan minuman. Konsumsi mempunyai pengertian yang lebih luas lagi yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Barang dan jasa akhir yang dimaksud adalah barang dan jasa yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen. Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali (Nopirin,1997).

Badan Pusat Statistik (2010) menyatakan pengeluaran rumah tangga dibedakan atas pengeluaran konsumsi makanan dan pengeluaran konsumsi non makanan. Pengeluaran untuk makanan yang dimaksud adalah pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi anggota rumah tangga tersebut selama seminggu yang lalu. Makanan yang dimaksud di sini adalah makanan yang betul-betul dikonsumsi oleh anggota rumah tangga baik berasal dari produksi sendiri, pembelian maupun pemberian. Pengeluaran untuk kelompok makanan terdiri dari pengeluaran untuk makanan meliputi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging (segar maupun yang diawetkan), susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu-bumbuan dan bahan makanan lainnya, makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih yang meliputi rokok putih, rokok kretek, cerutu dan tembakau. Pengeluaran non makanan adalah pengeluaran yang digunakan untuk

(9)

konsumsi non makanan anggota rumah tangga yang dihitung selama sebulan. Pengeluaran untuk kelompok bukan makanan terdiri dari pengeluaran untuk perumahan, bahan bakar, air dan penerangan, aneka barang dan jasa, pajak dan asuransi, keperluan untuk pesta dan upacara.

Pengeluaran untuk makanan dihitung menggunakan consumption

approach. Artinya, yang dihitung sebagai pengeluaran adalah yang benar-benar

dikonsumsi selama masa referensi (seminggu yang lalu). Pengeluaran untuk non makanan dihitung menggunakan delivery approach artinya yang dihitung sebagai konsumsi/pengeluaran adalah barang-barang yang sudah dibeli (meskipun belum lunas)/diperoleh/digunakan oleh anggota rumah tangga selama masa referensi (sebulan yang lalu).

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengeluaran Konsumsi Fungsi konsumsi menurut Keynes menunjukkan bahwa pengeluaran untuk konsumsi ditentukan oleh besarnya pendapatan disposibel (disposible income), yakni pendapatan rumah tangga yang siap untuk dibelanjakan (Nopirin, 1997). Selain pendapatan, ciri sosial demografis masyarakat (seperti umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga), faktor financial (perubahan pendapatan dan kepemilikan tanah), serta keinginan membeli berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran untuk konsumsi (Syahruddin, 1981).

Pendapatan merupakan faktor penting dan dominan berpengaruh terhadap pengeluaran untuk konsumsi. Hasil penelitian Arief di Kabupaten Bangkalan, Madura pada tahun 1991 menemukan bahwa sekitar 69 persen pengeluaran

(10)

konsumsi pangan ditentukan oleh pendapatan (Arief, 1991). Disamping faktor pendapatan beberapa faktor lain yang diperkirakan berpengaruh terhadap konsumsi adalah pendidikan. Murjana Yasa (1993) menemukan bahwa, adanya pengaruh postif antara pendidikan dengan pengeluaran konsumsi, baik konsumsi makanan maupun konsumsi non makanan.

Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai ukuran keeratan hubungan antara migran dengan masyarakat daerah asal adalah remitan. Remitan dapat berupa barang maupun uang yang dikirim oleh migran kepada keluarga di daerah asalnya. Hasil penelitian Sudibia, dkk. (1990) terhadap migran siskuler di Kota Denpasar menunjukkan bahwa remitan diberikan tidak hanya kepada keluarga inti (suami, istri dan anak) tetapi juga kepada keluarga luas (seperti orang tua, mertua, ipar dan lainnya). Menurut Bijlmer (Junaidi, 2007) adanya pengaruh yang negatif antara remitan dengan pengeluaran konsumsi, dimana untuk memperbesar remitan, ada kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama bekerja di kota.

2.1.6 Pendapatan

Pendapatan pada dasarnya merupakan balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi atas pengorbannya dalam proses produksi. Masing-masing faktor produksi seperti: tanah akan memperoleh balas jasa dalam bentuk sewa tanah, tenaga kerja akan memperoleh balas jasa berupa upah/gaji, modal akan

(11)

memperoleh balas jasa dalam bentuk bunga modal, serta keahlian termasuk para

enterpreneur akan memperoleh balas jasa dalam bentuk laba (Sukirno, 1995).

Sangat sering dijumpai, bahwa pemanfaatan dari masing-masing faktor produksi dalam proses produksi sering tidak menerima balas jasa dalam jumlah yang proporsional dengan nilai produksi, sehingga kondisi ini berakibat pada pembagian balas jasa yang tidak sama. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, keseluruhan balas jasa yang diterima oleh masing-masing pemilik faktor produksi akan menciptakan jumlah pendapatan keseluruhan (aggregate income) yang sering juga disebut sebagai pendapatan regional maupun pendapatan nasional dengan demikian peranan balas jasa atau pendapatan individu akan menjadi sangat besar dalam pembentukan pendapatan keseluruhan. Oleh karenanya keberhasilan suatu pembangunan ekonomi yang hanya diukur dari derajat pertumbuhannya semata-mata tidak akan menjadi berarti jika tidak memperhatikan pertumbuhan pendapatan para pekerja.

Pendekatan yang digunakan untuk menghitung Pendapatan Nasional (PN) ada tiga cara yaitu pertama, cara pengeluaran dimana pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan pengeluaran ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksi dalam negara tersebut. Kedua, cara produksi atau produk neto dimana pendapatan nasional dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi atau nilai tambah barang dan jasa yang diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian. Ketiga, cara pendapatan dimana perhitungan pendapatan nasional diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh

(12)

faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional (Sukirno,1995).

Menurut Sunuharyo (1982), dilihat dari pemanfaatan tenaga kerja, pendapatan yang berasal dari balas jasa berupa upah atau gaji disebut pendapatan tenaga kerja (Labour Income), sedangkan pendapatan dari selain tenaga kerja disebut dengan pendapatan bukan tenaga kerja (Non Labour Income). Dalam kenyataannya membedakan antara pendapatan tenaga kerja dan pendapatan bukan tenaga kerja tidaklah selalu mudah dilakukan. Ini disebabkan karena nilai output tertentu umumnya terjadi atas kerjasama dengan faktor produksi lain. Oleh karenanya dalam perhitungan pendapatan migran dipergunakan beberapa pendekatan tergantung pada lapangan pekerjaannya. Untuk yang bekerja dan menerima balas jasa berupa upah atau gaji dipergunakan pendekatan pendapatan (income approach), bagi yang bekerja sebagai pedagang, pendapatannya dihitung dengan melihat keuntungan yang diperolehnya. Untuk yang bekerja sebagai petani, pendapatannya dihitung dengan pendekatan produksi (Production

Approach), dengan demikian berdasarkan pendekatan di atas dalam pendapatan

pekerja migran telah terkandung balas jasa untuk skill yang dimilikinya.

Dalam penelitian ini, pendapatan pekerja migran nonpermanen di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah balas jasa yang diterima migran nonpermanen atas keikut sertaan migran dalam proses produksi barang dan jasa. Pendapatan pekerja migran nonpermanen terdiri atas tiga bagian yaitu; (a) pendapatan hasil kerja adalah pendapatan pekerja migran nonpermanen dari hasil pekerjaannya selama satu bulan sebelum wawancara yang diukur dalam rupiah.

(13)

Dalam pendapatan ini sudah termasuk fringe benefit yaitu pendapatan yang dibayarkan dalam bentuk tunjangan seperti tunjangan makanan, kesehatan, perumahan, transport dan lainnya; (b) pendapatan non kerja adalah pendapatan pekerja migran nonpermanen di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung yang berasal dari bukan hasil kerja seperti bunga uang, pendapatan dari usaha yang di jalankan oleh orang lain, pemberian perseorangan dan lain-lain dalam sebulan diukur dalam rupiah; dan (c) pendapatan total adalah penjumlahan pendapatan pekerja migran nonpermanen dari pendapatan hasil kerja dan pendapat non kerja dalam sebulan yang diukur dalam rupiah.

2.1.7 Remitan

Pada mulanya istilah remitan (remittance) adalah uang atau barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan (Connell dkk., 1976). Namun kemudian definisi ini mengalami perluasan, tidak hanya uang dan barang, tetapi keterampilan dan ide juga digolongkan sebagai remitan bagi daerah asal (Connell, 1980). Keterampilan yang diperoleh dari pengalaman bermigrasi akan sangat bermanfaat bagi migran jika nanti kembali ke desanya. Ide-ide baru juga sangat menyumbang pembangunan desanya. Misalnya cara-cara bekerja, membangun rumah dan lingkungannya yang baik, serta hidup sehat.

Selanjutnya dalam mengaitkan antara remitan dengan migrasi penduduk Connell membagi menjadi dua tipe, yaitu; (1) tipe bebas (individual), dalam hal ini migran mengambil keputusan melakukan migrasi bebas dari kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban terhadap keluarga di daerah asal; dan (2) tipe terikat

(14)

(linked), dalam hal ini migran masih terikat akan kewajiban-kewajiban dan

kebutuhan-kebutuhan keluarganya di daerah asal. Harapan-harapan dari migrasi dengan tipe linked adalah memperoleh remitan yang lebih besar agar dapat membantu keluarganya di desa. Meskipun arus migrasi penduduk tersebut dibedakan menjadi dua tipe, hasil penelitian Connell di Pasific menunjukkan bahwa hampir semua tipe migrasi penduduk yang ada adalah tipe linked, baik ditinjau dari sudut mobilitas internasional maupun internal di kawasan tersebut.

Menurut Junaidi (2007), remitan dalam konteks migran di negara-negara berkembang merupakan bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan daerah asal, meskipun secara geografis para migran terpisah jauh. Migran mengirim remitan karena secara moral maupun sosial migran memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan lebih menghargai migran yang sacara rutin mengirim ke daerah asal dan sebaliknya akan merendahkan migran yang tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Sejak pertengahan tahun 1980an, seiring dengan meningkatnya keinginan migrasi pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan. Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga berpengaruh pada kemampuan membeli barang-barang konsumsi rumah tangga lainnya, seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio,

(15)

televisi dan sepeda motor. Permintaan akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor perdagangan dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor lainnya. Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi keluarga migran di daerah asal. Dalam rangka pemupukan remitan, migran berusaha melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan.

Para migran akan melakukan pengorbanan dalam hal makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal. Secara sederhana para migran akan memaksimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja tidak terampil, akan mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin di pusat-pusat kota. Menurut Bijlmer (Junaidi, 2007) mengemukakan, bahwa untuk memperbesar remitan, ada kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama bekerja di kota. Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (Junaidi, 2007) dalam penelitiannya di berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan tukang becak di

(16)

Yogyakarta yang berasal dari Klaten, pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari pengeluaran menyewakan pondokan.

2.1.7.1 Faktor Penentu Remitan

Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat migrasi, lamanya di derah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat hubungan migran dengan keluarga yang tinggal di daerah asal. Berkaitan dengan sifat migrasi dari pekerja, menurut Connell (1980) terdapat kecenderungan pada migrasi pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingan dengan yang bersifat sementara (sirkuler). Hugo (1978) dalam penelitiannya di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan rumah tangga di daerah asal, sedangkan pada migran permanen hanya 8,00 persen. Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh lamanya migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas, dkk (Junaidi, 2007) mengemukakan, bahwa semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka semakin kecil remitan yang dikirimkan ke daerah asal.

Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran

(17)

yang telah menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan masyarakat atau lingkungan di daerah tujuannya.

Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh positif terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (Junaidi, 2007) mengemukakan, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan migran maka akan semakin besar remitan yang dikirim ke daerah asal. Pengaruh positif, menurut Wijono (1994), juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan. Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran yang disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal ,dengan demikian secara logis dapat dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian, yaitu keluarga inti yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.

2.1.7.2 Tujuan Utama Remitan

Tujuan pengiriman remitan oleh para migran akan menentukan dampak remitan terhadap pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil telah menemukan keragaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-tujuan sebagai berikut.

(18)

Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari-hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua.

2) Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia.

Di samping mempunyai tangung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar berhubungan dengan siklus hidup manusia, misalnya kelahiran, perkawinan dan kematian. Menurut Curson (1981) pada saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau dibawa lebih besar daripada hari-hari biasa. 3) Investasi

Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan perumahan, membeli tanah, mendirikan industri kecil dan lain-lainnya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise seseorang.

4) Jaminan hari tua.

Migran mempunyai keinginan, jika mempunyai cukup uang atau sudah pensiun, akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi, migran akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah

(19)

asal sebagai simbol kesejahteraan, prestisius dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (Junaidi, 2007) mengemukakan, bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali di tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan.

2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya

Beberapa studi terdahulu yang berhubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran migran nonpermanen atas permintaan konsumsi makanan dan non makanan seperti berikut :

1) Hasil penelitian Murjana Yasa (1993) yang berjudul Jam Kerja, Pendapatan, dan Pengeluaran Pekerja Migran Non Permanen di Daerah Wisata Kuta menyimpulkan, bahwa pengeluaran konsumsi makanan diantaranya dipengaruhi oleh pendapatan yang siap dibelanjakan, lama tinggal, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga dan pendidikan. Teknik analisa datanya menggunakan analisis regresi sederhana. Dimana hasil dari penelitian tersebut adalah, keempat variabel itu berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi makanan dari rumah tangga migran, artinya makin tinggi pendapatan maka pengeluaran konsumsi juga meningkat. Sedangkan konsumsi non makanan, selain ditentukan oleh keempat faktor itu juga ditentukan daerah asal migran dan jenis pekerjaan. Pada migran yang berasal dari Jawa Timur misalnya, rata-rata mengalokasikan pendapatan lebih sedikit untuk keperluan non makanan dibandingkan daerah asal provinsi lain di

(20)

Indonesia. Sebaliknya migran pada pekerjaan kantoran misalnya, rata-rata mengeluarkan lebih banyak untuk konsumsi non makanan dibandingkan dengan migran yang bekerja sebagai pekerja kasar. Perbedaan penelitian ini adalah pada penelitian terdahulu menggunakan variabel lama tinggal, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga sebagai variabel bebas sedangkan pada penelitian ini menggunakan pendapatan dan pendidikan sebagai variabel bebas.

2) Hasil penelitian Giri (2003), yang berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Pekerja Migran Non Permanen di Kota Denpasar. Penelitian ini menggunakan Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier sederhana, regresi linier berganda, uji asumsi klasik, uji F, uji t dan analisis variabel yang dominan. Hasil dari penelitian ini dapat disiimpulkan bahwa hasrat konsumsi marginal pekerja migran nonpermanen di Kota Denpasar tergolong rendah. Dilihat dari daerah asal hasrat konsumsi marginal para pekerja migran nonpermanen asal Bali lebih tinggi dibandingkan dengan hasrat mengkonsumsi tambahan para pekerja migran nonpermanen asal luar Bali. Secara parsial besarnya pengeluaran konsumsi pekerja migran nonpermanen di Kota Denpasar dipengaruhi oleh pendapatan, sedangkan variabel lain dalam model yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, umur, jenis kelamin dan daerah asal para migran tidak berpengaruh secara signifikan. Namun apabila dilihat dari daerah asal apabila pengeluaran konsumsi rumah tangga para pekerja migran nonpermanen asal Bali hanya dipengaruhi oleh pendapatan, sedangkan untuk migran asal luar

(21)

Bali selain pendapatan, jumlah anggota keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap variabel dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga migran. Secara simultan keseluruhan variabel yang diestimasi seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, umur, jenis kelamin dan daerah asal migran berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran konsumsi pekerja migran asal Bali maupun dari luar Bali. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dimana pada penelitian terdahulu menggunakan pengeluaran konsumsi pekerja migran nonpermanen sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini adalah pada variabel bebas yang digunakan dan pada lokasi penelitiannya.

3) Hasil penelitian Mulyadi (2004), Dampak Mobilitas Penduduk Terhadap Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Masyarakat Di Daerah Asal Migran (Studi Kasus Pada Dua Desa di Kabupaten Karangasem), tenik analisa data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik analisis Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier sederhana, regresi linier berganda, uji asumsi klasik, uji F dan uji t, yang menyimpulkan nilai remitan terhadap pendapatan rumah tangga migran di desa lebih besar dibandingkan di kota. Berdasarkan hasil analisis uji beda dengan t-test pendapatan rumah tangga migran dengan non migran berbeda secara signifikan baik di desa, di kota maupun secara total. Pendapatan rumah tangga migran relatif lebih tinggi dari pada non migran baik di desa, di kota maupun secara total. Rata- rata pendapatan rumah tangga migran di desa lebih besar dibandingkan non migran di desa. Rata-rata pendapatan rumah tangga migran di kota lebih besar

(22)

dibandingkan nonmigran di kota. Kemudian pendapatan rumah tangga migran total juga lebih besar dibandingkan dengan non migran total. Adanya remitan memberi dampak yang positif terhadap pemerataan distribusi pendapatan rumah tangga migran di daerah asal. Pemanfaatan remitan di desa kebanyakan dipergunakan untuk merawat orang tua, iuran pembangunan di banjar/desa, kebutuhan sehari-hari, lainnya, membangun rumah dan biaya sekolah. Pemanfaatan remitan oleh rumah tangga di kota sebagian besar dipergunakan untuk membayar iuran bangunan di banjar/desa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, merawat orang tua dan lainnya, membantu saudara dan membangun rumah. Adanya migrasi penduduk memberi dampak yang positif berupa meningkatnya pendapatan rumah tangga migran yang dibarengi dengan distribusi pendapatan rumah tangga migran yang semakin merata. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menggunakan remitan dan pendapatan sebagai variabel penelitian. Perbedaan adalah penelitian terdahulu dilakukan di daerah asal migran sedangkan pada penelitian ini penelitian dilakukan di daerah tujuan migran.

Referensi

Dokumen terkait

Empat variabel ethical culture yaitu kejelasan, kesesuaian, dukungan, dan berdampak, menjadi variabel independen yang memengaruhi variabel dependen berupa tindakan yang

Secara tersirat, perlakuan guru tersebut bertujuan untuk membentuk murid-murid menjadi insan yang berakhlak mulia sesuai dengan amalan masyarakat Melayu yang

Kemudian penerapan sebuah aplikasi business to customer berbasis e-commerce ini diharapkan akan dapat membantu pihak importir laptop mampu mengoptimalkan kegiatan

Isi modul ini : Ketakbebasan Linier Himpunan Fungsi, Determinan Wronski, Prinsip Superposisi, PD Linier Homogen Koefisien Konstanta, Persamaan Diferensial Linier Homogen

TIA VERA TANJUNG SARI 7.. GINA YULI ANDINI

Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat, terdiri dari dua atau lebih orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, pernikahan atau adopsi, dan tinggal bersama,

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Akuntansi

Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang berasal dari fosil yaitu minyak bumi dan batubara. Jawaban