• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Secara de facto, Daerah Istimewa Yogyakarta lahir sejak dalam kancah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Secara de facto, Daerah Istimewa Yogyakarta lahir sejak dalam kancah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara de facto, Daerah Istimewa Yogyakarta lahir sejak dalam kancah revolusi antara tanggal 5 September 1945 – tanggal 18 Mei 1946,1 secara de jure lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 3 Maret 1950. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa Urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain sebagaimana termasuk dalam pasal 23 dan 24 UU Nomor 22 Tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut; “….III. Urusan Agraria…”.2

Sebagai tindak lanjut dari UU No. 3 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950, kemudian diterbitkanlah Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 Tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peraturan Daerah tersebut dikeluarkan dalam rangka mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) sambil menunggu terbentuknya hukum tanah nasional,3 sesuai dengan ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) UU No. 3 Tahun 1950 yang berbunyi :4

1 Sarjita, Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah (Keppres No. 34

Tahun 2003), Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, Hlm.126

2

Ibid., Hlm. 127 3 Ibid.

(2)

“Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.”

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 mulai diberlakukan secara nasional sejak tanggal 24 September 1960. Kewenangan keagrariaan adalah ada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat.5 Dikeluarkannya UUPA ini dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme dalam peratuan perundang-undangan keagrariaan (adanya hukum agraria yang didasarkan pada hukum adat pada satu pihak dan hukum agraria yang didasarkan hukum barat pada pihak lain). Namun, bagi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dualisme tersebut tetap ada, bahkan waktu itu UU No. 5 Tahun 1960 belum dapat diberlakukan.6

Diktum ke - 4 dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan kemudian akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).7 Diktum ini sesuai dengan asas preferensi hukum “lex pesteriori derogat legi periori” (Undang-Undang yang belaku belakangan membatalkan/mengesampingkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu)8 khususnya substansi yang mengatur wewenang/urusan agraria sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1950.

5http://perpustakaan.uns.ac.id/jurnal /upload_file/44-fullteks.pdf, 5 Desember 2009. Jam 19.00 WIB

6

Ni’matul Huda, 7 Ibid.

(3)

Belum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta mengakibatkan dualisme hukum dalam hukum pertanahan, di satu pihak berlaku peraturan perundang-undangan daerah dan di pihak lain berlaku peratuaran pemerintah pusat. Dualisme dalam hukum agrarian di DIY tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta tidak memberikan dukungan terhadap terwujudnya pembenahan kesatuan (unifikasi) hukum nasional.9

R.Ay. Sri Retno Kusumo Dhewi berpendapat bahwa sejak tanggal 1 April 1984 telah terjadi dualisme hukum di bidang pertanahan yang mengatur tanah adat di Yogyakarta karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta masih tetap mengakui berlakunya

rijksblad-rijksblad maupun peraturan-peraturan daerah sehingga pengurusan

agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, namun dengan berlaku sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan aturan-aturan pelaksanaannya yang mengatur tentang konversi pertanahan mulai tanggal 1 April 1984, maka beralih menjadi wewenang dekonsentrasi dan diyatakan tidak berlakunya lagi segala

rijksblad-rijksblad, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan lainnya yang

mengatur tentang keagrariaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.10

Permasalahan status hukum hak atas tanah Paku Alaman Ground (PAG) dari Puro Pakualaman dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 tanggal 9 Mei 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah

9

Ni’matul Huda,

10 http://www.ibnurochimconnection.com/ 2009/2/kedudukan-hukum-tanah-adat-di-daerah.html, 5 Desember 2009, Jam 19.18 WIB

(4)

Istimewa Yogyakarta tanggal 1 April 1984 sampai saat ini masih menimbulkan fenomena menarik untuk dikaji.11 Karena secara yuridis keistimewaan Pakualaman Ground di bidang pertanahan belum mendapatkan legitimasi dalam peraturan perundang-undangan setelah dikeluarkan Keppres RI Nomor 33 Tahun 1984.12

Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan

Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama

Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka Sentono Ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah palungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.13

Kadipaten Pakualaman merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang menjadi Kabupaten Kulon Progo. Sebelum terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Perang Diponegoro di

11 Ibid. Hlm.116 12

Ibid.

13http://www.kulonprogo.go.id/main.php?what=hmtl/profil/sejarah, 17 Januari 2009, Jam 15.45 WIB

(5)

daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:14

1. Kabupaten Pengasih, tahun 1831 2. Kabupaten Sentolo, tahun 1831 3. Kabupaten Nanggulan, tahun 1851 4. Kabupaten Kalibawang, tahun 1855

Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan

Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka

Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 ibukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.

Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu

(6)

Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarta dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Sejarah diatas yang dijadikan dasar pihak keraton Pakualaman menyebut wilayah kekuasaanya sebagai Pakualaman Ground (PAG).15

Diatas tanah tersebut sekarang sedang berjalan rencana pendirian tambang biji besi. Rencana penambangan pasir besi yang akan dilakukan oleh PT. Jogja Magasa Mining Yogyakarta dan Indo Mines Limited Australia di sepanjang pesisir pantai selatan Kulon Progo dengan luas kurang lebih 39.600.000 meter persegi, panjang sekitar 22 Km dan lebar sekitar 1,8 Km dari bibir pantai, terdiri dari lahan pertanian dan rumah penduduk yang dihuni oleh penduduk kurang lebih 30.000 Jiwa. Rencana penambangan ini menimbulkan sengketa kepentingan hak atas tanah dan konflik sosial penolakan pendirian tambang pasir besi oleh ribuan

15Ibid.

(7)

warga beberapa desa yang sampai hari ini terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya.16

Lahan pantai sepanjang 22 km itu dalam sejarahnya diklaim sebagai tanah

Paku Alam Ground (PAG), sementara petani 30 tahun yang lalu mengenalnya

sebagai tanah oro-oro tandus yang terlantar dan tak bertuan, dan tidak mungkin dapat ditanami apapun. Para petani dengan uji cobanya berhasil merubah lahan pantai yang dulunya pasir tandus telah berubah menjadi lahan pertanian yang subur dan dapat ditanami berbagai macam tanaman seperti cabe, semangka dan lain-lain, sekarang daerah ini adalah penghasil cabe dan semangka terbesar di DIY. Persolannya adalah, setelah hamparan pasir yang subur dan menjadi mata pencaharian warga sekitar itu, kini, lahan pantai akan dirubah menjadi pertambangan besi yang bernilai triliuan rupiah.17

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan warga masyarakat berdasarkan peta wilayah desa jika dihitung lebar 1,8 km dari bibir pantai dan panjang 22 km maka bukan hanya lahan pertanian namun perumahan warga juga akan tergusur, padahal sebagian besar warga sudah memiliki sertifikat hak milik yang secara hukum seharusnya diberikan perlindungan oleh negara bukan malah diserahkan kepada asing dalam hal ini Australia untuk di eksploitasi sumber daya alamnya tanpa memperhatikan dampak dampak negatif yang timbul sementara itu mereka tidak mendapatkan kejelasan bila mereka digusur nanti apakah akan mendapat

16 Hasil wawancara awal dengan Pak Tukijo, Koordinator Lapangan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Desa Karang Sewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, tanggal 15 Januari 2009, Jam 15.30 WIB.

(8)

ganti rugi atau akan direlokasi ketempat yang tentu saja tak sama dengan yang mereka tempati sekarang.18

Berdasar latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka Penulisan dan Penelitian Karya Ilmiah ini akan memfokuskan pembahasan pada

”Kedudukan Tanah Pakualaman (Paku Alaman Ground) Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Studi Kasus Rencana Penambangan Pasir Besi Di Pesisir Selatan Pantai Di Kabupaten Kulonprogo”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan tanah-tanah Paku Alaman Ground sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria.

2. Apakah masalah-masalah yang timbul dalam rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan pantai di Kabupaten Kulonprogo dan alternatif penyelesaian.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kedudukan tanah-tanah Paku Alaman Ground sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria.

2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan pantai di Kabupaten Kulonprogo dan alternatif penyelesaian.

D. Tinjauan Pustaka

18 Ibid.

(9)

Negara Republik Indonesia telah meletakan dasar politik hukum Agraria Nasional, sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebelum amandemen

dinyatakan bahwa: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa : “Seluruh wilayah Indonesia adalah

kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.”

Pernyataan tersebut merumuskan isi konsepsi khas Hukum Agraria Nasional Indonesia, yang di kenal sebagai konsepsi komunalistik-religius, yang menegaskan hubungan kepunyaan bersama rakyat/bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang bersifat perdata, tetapi bukan hubungan kepemilikan. Sekaligus mengandung unsur hubungan publik dalam rangka mewujudkan amanat dalam Pembukaan UUD RI 1945 sebagaimana dikemukakan diatas. Dalam rangka mewujudkan amanah itulah, maka dilimpahkan kepada negara Republik Indonesia serangkaian kewenangan, yang dirumuskan Pasal 2, yang menegaskan sifat publik

(10)

dan sekaligus lingkup Hak Menguasai dari negara yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945.19

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA dinyatakan, bahwa Hak Menguasai dari negara meliputi kewenangan untuk:20

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini menunjukan sifat imperatif, karena mengandung perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.21

Dipilihnya kata “dikuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan suatu kebetulan melainkan merupakan suatu hasil pengolahan rasional dan emosional terhadap pandangan filosofis dan politik atas masalah-masalah kenegaraan, sosial,

19 Boedi Harsono, Kata Pengantar Cetakan ke-10 dalam buku Boedi Harsono, Hukum

Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan. Kesepuluh, Djembatan, Jakarta, 2005, Hlm. XXXVIII

20 Ibid.

21 Muchsin dkk, Hukum Agraria Indonesian Dalam Perspektif Sejarah, Cetakan. Pertama, PT Refika Aditama, Bandung. 2006, Hlm.39

(11)

budaya, ekonomi, dan sejarah pertumbuhan bangsa sendiri, oleh karena itu mengandung unsur kejiwan yang mendasar.22

Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hukum ulayat. Hak ulayat merupakan hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut. Jadi hak ulayat itu bukan hak untuk memiliki, akan tetapi hanya merupakan hak menguasai. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam menentukan hubungan negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Konsep ini kemudian dimuat dalam Pasal 2 UUPA.23

Di dalam konsep hukum adat di samping ada hak masyarakat hukum adat yaitu hak ulayat, juga hak perorangan atas tanah di akui. Artinya masing-masing individu mempunyai kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsep ini kemudian dimuat dalam Pasal 4 dan Pasal 16 UUPA.24

Oleh karena hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah beraneka ragam dan memiliki kekurangan masing-masing, maka hukum adat yang dijadikan dasar hukum agrarian nasional ialah hukum adat yang telah disaring. Yang berate hukum adat yang telah dibersihkan dari cela-celanya serta di tambah kekurangan-kekurangannya agar supaya dapat berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia (Depend an Dirjen Agraria Depdagri, 29). Selain itu, ketentuan-ketentuan hukum

22 Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, UI Press, Jakarta. 1986. Hlm. 10

23 Muchsin dkk Hukum Agraria…. Op. Cit. Hlm. 68 24 Ibid.

(12)

adat yang diangkat menjadi hukum agraria nasional di saring melalui syarat-syarat tertentu.25

Syarat-syarat tertentu tersebut, seperti yang dimuat dalam pasal 5 UUPA, adalah hukum adat yang:26

1. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. 2. Tidak bertentangan sosialisme Indonesia.

3. Tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri.

Menurut pasal 6 dari UUPA semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Terkuat dan terpenuh disini tidak berati bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat di ganggu gugat. Ini di maksudkan untuk membedakannya dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu.27

Bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat di benarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak di pergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidaklah berate, bahwa

25 Ibid., hlm 70

26 Ibid.

27 Eddy Ruchiat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, ctk. Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hlm 44.

(13)

kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).28

Namun dalam pelaksanaannya, ada beberapa wilayah dikecualikan untuk sementara (ditunda berlakunya) antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengecualian/penundaan pelaksanaan UUPA menyangkut keberadaan tanah di suatu wilayah, dalam hal ini tanah – tanah di Keraton Yogyakarta. Setelah UUPA diberlakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 24 September 1983, terjadi perubahan mengenai hubungan tanah dan subyek hak.29 Ditandai dengan munculnya Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 Tentang Pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

28 Muchsin dkk Hukum Agraria…. Op. Cit. Hlm. 57.

(14)

E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian.

Kedudukan Tanah Pakualaman (Paku Alaman Ground) Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Studi Kasus Rencana Penamabangan Pasir Besi Di Pesisir Selatan Pantai Kulonprogo.

2. Subjek Penelitian

a. Puro Pakualaman

b. Kepala Badan Pertanahan Nasional Propinsi Yogyakarta c. Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo

d. Kepala Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo

3. Sumber Data.

a. Sumber data Primer berupa data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Sumber data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, perundang-undangan, karangan ilmiah, brosur, makalah, surat kabar, dokumen dan bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data.

a. Penelitian Kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, perundang-undangan, karangan ilmiah, brosur, makalah, surat kabar, dokumen dan bahan hukum lainnya.

b. Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada nara sumber baik secara bebas maupun terpimpin.

(15)

5. Metode Pendekatan

a. Pendekatan Yuridis, yaitu pendekatan dalam menjelaskan masalah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau menggunakan teori-teori hukum yang berkembang.

b. Pendekatan Sosiologis, yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana kasus ini terjadi. 6. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan mengorganisasikan data penelitian sedemikian rupa sehingga dapat dibaca dan diinterprestasikan. Untuk jenis data kualitatif proses pengolahan data dapat meliputi kegiatan editing,

coding, dan penyajian dalam bentuk narasi. Untuk jenis data kuantitatif

proses pengolahan data dapat meliputi kegiatan editing, coding, dan

tabulating.

Data yang dihimpun dengan cara dihimpun, kemudian diolah dengan cara data diseleksi, diklarifikasikan secara sistematis, logis dan yuridis, guna mendapatkan gambaran umum untuk mendukung materi penelitian, melalui analisis data secara kualitatif.

F. Kerangka Skripsi

(16)

Pada bagian pendahuluan yaitu Bab I, penulis pendahuluan memuat dan menguraikan tentang permasalahan yang berhubungan dengan Kedudukan Tanah

Pakualaman (Paku Alaman Ground) Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria Studi Kasus Rencana Penamabangan Pasir Besi Di Pesisir Selatan Pantai Kulonprogo. Penulis juga menuangkan tujuan, metode serta sedikit gagasan– gagasan secara sederhana tentang analisis permasalahan yang melatar belakanginya berdasar pada sumber data dan berita aktual yang berkembang, teori-teori hukum serta peraturan perundang-undangan.

Pada bagian berikutnya yaitu Bab II penulis memuat dan mengemukakan dasar-dasar teori yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan. Pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh penulis dikaji secara ilmiah dengan mengacu pada nilai-nilai, asas, pendapat-pendapat para pakar atau ahli di dalam bidang yang menjadi kajian penulis serta wacana-wacana aktual yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

Pada bagian berikutnya yaitu Bab III berisi tentang penyajian data dan analisa hasil penelitian. Pada bab ini penulis akan menjabarkan pokok permasalahan dengan menyertai data-data yang telah dikumpulkan dan terlebih dulu dianalisa. Pada bagian berikutnya yaitu Bab IV merupakan bab penutup dari penelitian. Pada bab ini memuat tentang kesimpulan yang didapatkan oleh penulis dari hasil penelitian serta saran-saran atas permaslahan yang yang diteliti dan telah penulis simpulkan dan melengkapi kesimpulan atau jawaban dari permasalahan yang diajukan.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terlihat jelas dari usaha petani dalam pengolahan dan persiapan lahan serta pembuatan lubang tanam, kemudian dengan aktifnya petani mengikuti seluruh kegiatan yang

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik dijelaskan dalam UUD 1945 [Pasal 1 (1), berbunyi : Negara Indonesia adalah negara hukum Pasal 1

Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil dari kuesioner dari pertanyaan 1 “Apakah aplikasi sistem pakar diagnosis penyakit gastritis ini membantu anda dalam mengidentifikasi

  peserta didik dapat Mempersiapkan pertunjukkan tari Nusantara di sekolah  memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik . dengan

Data yang diperoleh akan dimodelkan secara 3D menggunakan software Maxsurf Modeller. Permodelan yang pertama dilakukan adalah kapal pelat datar, hal tersebut

Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 11 Denmark Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili 12 Egypt Negara Domisili Negara Domisili Negara Domisili/ Sumber 13 Finland

Dalam hal ini yang divisualisasikan adalah model basis data spasial yang menggambarkan lokasi kabel utama listrik dan jalur yang dilewatinya serta informasi- informasi lainnya