• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Tuberkulosis paru, tingkat kepatuhan, konsumsi obat Tuberkulosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: Tuberkulosis paru, tingkat kepatuhan, konsumsi obat Tuberkulosis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MENGKONSUMSI OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU Factors Related to Consume The Level of Compliance in Patients Pulmonary

Tuberculosis Drug Sugiono

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kapuas Raya Abstrak

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Pengobatan TB diberikan kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya sering mengakibatkan pasien kurang patuh dan minum obat tidak teratur. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian descriptive correlational dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB dengan jumlah total 65 orang kemudian sampel diambil sebanyak 65 responden menggunakan metode total sampling. Analisis data menggunakan uji chi-square dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa yang patuh menkonsumsi obat TB sebanyak 34 responden dan yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB sebanyak 31 responden. Dari uji statistik chi-square didapatkan tingkat pendidikan (pvalue=0,317), tingkat pengetahuan (pvalue=0,009), jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan (pvalue=0,019), dukungan pengawas minum obat (pvalue=0,002), dan dukungan tenaga kesehatan (pvalue=0,000). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara tingkat pengetahuan, jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan, dukungan pengawas minum obat, dan dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB pada penderita TB paru.

Kata kunci: Tuberkulosis paru, tingkat kepatuhan, konsumsi obat Tuberkulosis Abstract

Pulmonary tuberculosis is a disease caused by infection with Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberculosis in Indonesia about 528 thousand or be in the top three in the world after India and China. Pulmonary tuberculosis treatment given to patients free of charge and guaranteed availability often result in poorly compliant patients and to take medication irregularly. This research uses descriptive correlational research with cross sectional approach. The population in this study are patients with pulmonary tuberculosis with a total of 65 people and then the samples were taken by 65 respondents used total sampling method. Data analysis using chi-square test with a significance level of 0.05. The results of this study showed that adherent Pulmonary tuberculosis drug consume as much as 34 respondents and non-adherent Pulmonary tuberculosis drugs as many as 31 respondents. From test chi-square statistic obtained level of education (p value = 0.317), knowledge (p value = 0.009), the distance or range (access) to health facilities (p value = 0.019), support supervisor taking medication (p value = 0.002), and support health workers (p value = 0.000). From this study it can be concluded that the relationship between the level of knowledge, distance or range (access) to health facilities, supervisors support taking medication, and support health workers with the level of compliance Pulmonary tuberculosis drugs in patients with pulmonary tuberculosis.

(2)

A. Pendahuluan

Hakikat Pembangunan Nasional adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya serta membangun seluruh masyarakat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Visi Indonesia sehat 2015 akan dicapai melalui program pembangunan kesehatan yaitu memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Pembangunan di bidang kesehatan perlu dilaksanakan dan terus ditingkatkan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional di bidang kesehatan pada dasarnya berkaitan erat dengan peningkatan mutu sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dalam melaksanakan pembangunan (Depkes, 2008).

Tuberkulosis paru (TB paru) menurut World Health Organization (WHO) merupakan masalah kesehatan penting di dunia saat ini. Tuberkulosis paru telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Sekitar 8 juta penduduk dunia diserang tuberkulosis paru dengan angka kematian 3 juta pertahun.

Tahun 2007 menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Peringkat Indonesia pada tahun 2009 berdasarkan laporan WHO menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (sumber WHO Global Tuberculosis Control 2010).

Kalimantan Barat pada tahun 2012 ditemukan sebanyak 5.539 orang penderita TB Paru dan 38 orang diantaranya meninggal dunia. Indikator cakupan Case Direction Rate (CDR) yang diharapkan adalah 70% penemuan jumlah penderita baru BTA (+) sebanyak 41,17% terjadi

penurunan dengan tahun 2011 sebanyak 50,7% (Dinkes Provinsi Kal-Bar, 2012).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang penemuan penderita BTA (+) tahun 2011-2013 terjadi penurunan dan peningkatan jumlah penderita TB Paru dengan BTA (+) pada tahun 2011 terdapat 451 kasus, dan pada tahun 2012 mengalami penurunan yaitu sebesar 418 kasus, dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan yaitu sebesar 424 kasus (Dinkes Kabupaten Sintang, 2013).

Berdasarkan data tahun 2012 jumlah penduduk Kecamatan Sepauk sebanyak 49.719 jiwa dengan jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sepauk sebanyak 29.914 jiwa. Jumlah penderita Tuberkulosis paru dengan BTA (+) dari mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2013, yaitu pada tahun 2011 terdapat 65 pasien, tahun 2012 terdapat 58 pasien, dan tahun 2013 terdapat 94 pasien dengan 31 kasus belum sembuh, dan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2014 tercatat 65 kasus yaitu 31 kasus belum sembuh dan 34 kasus penderita baru (Profil Puskesmas Sepauk, 2013).

Masalah TB ini harus selalu dievaluasi untuk melihat keberhasilan pengobatan DOTS (Directly Observed Treatment Shourcourse) yang dianjurkan oleh WHO melalui pemantauan terhadap kasus-kasus baru (WHO, 2008 dalam Lailatushifah, 2012). Menurut Program Pemberantasan TB paru, tujuan pengobatan Tuberkulosis dengan Obat anti TB (OAT) jangka pendek adalah memutuskan rantai penularan dengan menyembuhkan penderita Tuberkulosis paling sedikit 85 % dari seluruh kasus Tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan mencegah resistensi (kuman yang kebal terhadap OAT).

Tujuan pemberian OAT antara lain membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui efek bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan

(3)

dengan kegiatan sterilisasi (kemampuan membunuh kuman khusus yang tumbuhnya lambat), menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis (kekebalan tubuh). Pemberian OAT dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, BP4 serta Praktek Dokter Swasta dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu. OAT diberikan kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya. Waktu yang di gunakan untuk terapi OAT adalah 6-9 bulan. Hal tersebut sering mengakibatkan pasien kurang patuh dan minum obat tidak teratur.

Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Seseorang dikatakan tidak patuh dalam pengobatan apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Kepatuhan berobat penderita TB paru adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan, sehingga dia benar-benar mematuhi segala ketentuan yang diberikan dengan tujuan agar cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Berdasarkan teori Green (1980), dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB Paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh tiga faktor meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi yaitu sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi individu dan kelompok, status sosial ekonomi, umur, tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan. Faktor pemungkin meliputi pelayanan kesehatan, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, dan ketrampilan petugas. Sedangkan faktor penguat berasal dari

tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan.

B. Metode

Jenis atau rancangan penelitian ini adalah descriptive correlational yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan korelatif antara variabel dependen dan variabel independen dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Metode penelitian dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yaitu rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB dan kemudian menganalisa hubungan faktor–faktor tersebut.

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Elfindri, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus yang menderita TB Paru pada tahun 2014 sebanyak 65 penderita yang tercatat di Puskesmas Sepauk Sintang Kabupaten Sintang. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling yaitu teknik penentuan sampel mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel (Sugiyono, 2009) yang memenuhi kriteria sampel untuk menjadi sampel dalam penelitian. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 65 responden.

C. Hasil

1. Analisis Univariat Tabel 1

Distribusi Frekuensi Responden menurut Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang Tingkat Kepatuhan Jumlah (%)

Patuh 34 52,3

(4)

Total 65 100 Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa tingkat kepatuhan responden mengkonsumsi obat TB hampir merata. Responden penderita TB

paru paling banyak patuh mengkonsumsi obat TB sebanyak 34 orang (52,3%) sedangkan yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB sebanyak 31 orang (47,7%).

2. Analisis Bivariat

Tabel 2

Distribusi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Mengkonsumsi Obat TB menurut Tingkat Pendidikan di Puskesmas Sepauk

Kabupaten Sintang Variabel

Tingkat Kepatuhan Total

OR 95%

P Value Patuh Tidak Patuh

n % n % n % Pendidikan Tinggi 15 62,5 9 37,5 24 100 1,930 0,317 Rendah 19 46,3 22 53,7 41 100 Pengetahuan Baik 23 69,7 10 30,3 33 100 4,391 0,009 Kurang 11 34,4 21 65,6 32 100 Jarak atau Jangkauan Dekat 27 64,3 15 35,7 42 100 4,114 0,019 Jauh 7 30,4 16 69,6 23 100 PMO Mendukung 19 79,2 5 20,8 33 100 6,587 0,002 T Mndukung 15 36,6 26 63,4 32 100 Tenaga Kesehatan Mendukung 19 90,5 2 9,5 21 100 18,367 0,000 T Mndukung 15 34,1 29 65,9 44 100

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan pendidikan rendah sebanyak 19 responden (46,3%) lebih tinggi dibandingkan responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan pendidikan tinggi sebanyak 15 responden (62,5%). Sedangkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan pendidikan rendah sebanyak 22 responden (53,7%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan pendidikan tinggi sebanyak 9 responden (37,5%).

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,317 > α = 0,05 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang tahun 2014. Hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 1,930 (0,68-5,40), artinya

penderita TB yang berpendidikan rendah mempunyai peluang 1 – 2 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi obat TB dibanding penderita TB yang berpendidikan tinggi.

Responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan pengetahuan baik sebanyak 23 responden (69,7%) lebih tinggi dibandingkan responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan pengetahuan kurang sebanyak 11 responden (34,4%). Sedangkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan pengetahuan kurang sebanyak 21 responden (65,6%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan pengetahuan baik sebanyak 10 responden (30,3%).

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,009 < α = 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi

(5)

obat TB pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang tahun 2014. Hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 4,391 (1,55-12,43), artinya penderita TB yang berpengetahuan kurang mempunyai peluang 4 - 5 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi obat TB dibanding penderita TB yang berpengetahuan baik.

Responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan dekat sebanyak 27 responden (64,3%) lebih tinggi dibandingkan responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan jauh sebanyak 7 responden (30,4%). Sedangkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan tidak terjangkau sebanyak 16 responden (69,6%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan terjangkau sebanyak 15 responden (35,7%)

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,019 < α = 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang tahun 2014. Hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 4,114 (1,38-12,23), artinya penderita TB yang jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan jauh mempunyai peluang 4 - 5 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi obat TB dibanding penderita TB yang jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan dekat.

Responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan mendapat dukungan pengawas minum obat sebanyak 19 responden (79,2%) lebih tinggi dibandingkan responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan tidak mendapat dukungan pengawas minum obat

sebanyak 15 responden (36,6%). Sedangkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan tidak mendapat dukungan pengawas minum obat sebanyak 26 responden (63,4%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan mendapat dukungan pengawas minum obat sebanyak 5 responden (20,8%).

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,009 < α = 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang tahun 2014. Hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 6,587 (2,04-21,27), artinya penderita TB yang tidak mendapat dukungan pengawas minum obat mempunyai peluang 6 - 7 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi obat TB dibanding penderita TB yang mendapat dukungan pengawas minum obat.

Responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan mendapat dukungan tenaga kesehatan sebanyak 19 responden (90,5%) lebih tinggi dibandingkan responden yang patuh mengkonsumsi obat TB dengan tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan sebanyak 15 responden (34,1%). Sedangkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan sebanyak 29 responden (65,9%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB dengan mendapat dukungan tenaga kesehatan sebanyak 2 responden (9,5%).

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,000 < α = 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang tahun 2014.

Hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 18,367 (3,76-89,59), artinya

(6)

penderita TB yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan mempunyai peluang 18 – 19 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi obat TB dibanding penderita TB yang mendapat dukungan tenaga kesehatan.

D. Pembahasan

1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB

Hasil analisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan penderita TB paru mengkonsumsi obat TB diperoleh bahwa ada sebanyak 9 (37,5%) penderita TB yang berpendidikan tinggi tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Sedangkan diantara penderita TB yang berpendidikan rendah, ada 22 (53,7%) yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,317 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Widagdo (2002) yang menyatakan tidak ada hubungan pendidikan dengan kepatuhan penderita dalam pengobatan tuberkulosis paru. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eka (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara responden yang berpendidikan tinggi dengan responden yang berpendidikan rendah dengan kepatuhan minum obat tuberkulosis paru.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusnita (2008) didapatkan adanya perbedaan yang signifikan (p = 0,000) antara kepatuhan pada masing-masing tingkat pendidikan. Dan dari analisis correlations Spearman test didapat adanya korelasi positif rendah yang signifikan (p = 0,000) antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada penderita tuberkulosis paru. Hal yang sama juga dari hasil penelitian Sutarji (2008)

bahwa pendidikan (p=0,000) berkaitan secara signifikan dengan kepatuhan penderita tuberkulosis paru untuk minum obat anti tuberkulosis pada pengobatan tahap intensif.

Tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat disebabkan karena pendidikan formal tidak mengajarkan bagaimana seseorang menyikapi penyakitnya, pendidikan hanya membentuk pola pikir seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang seharusnya bisa membuat seseorang menjadi lebih kritis, namun yang tergambar dalam penelitian ini menunjukan hal sebaliknya karena itu data yang ada menegaskan bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu pengetahuan tentang penyakit tuberkulosisnya juga baik.

Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha dan tindakan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan manusia. Pendidikan diperoleh melalui proses belajar yang khusus diselenggarakan dalam waktu tertentu, tempat tertentu dan kurikulum tertentu, namun dapat diperoleh dari bimbingan yang diselenggarakan sewaktu-waktu dengan maksud mempertinggi kemampuan. Pendidikan yang cukup merupakan dasar dalam pengembangan daya nalar serta sarana untuk menerima pengetahuan.

Pengetahuan yang diterima selain diperoleh dari jalur pendidikan juga dapat diperoleh informasi dari petugas kesehatan agar masyarakat dapat berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Informasi tersebut dapat diberikan melalui media komunikasi meliputi media elektronik (televisi, radio), media papan yang di pasang di tempat-tempat umum disampaikan kepada masyarakat (Notoatmojo, 2010). Dengan demikian pengetahuan seseorang tentang kesehatan khususnya penyakit Tuberkulosis tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan.

(7)

Hasil penelitian menunjukan bahwa penderita TB paru yang berpendidikan tinggi kecenderungan untuk patuh lebih tinggi dibandingkan dengan penderita TB paru yang berpendidikan rendah. Hal ini dapat dibuktikan dari teori yang dikemukan oleh Notoatmojo (2010) bahwa pendidikan adalah suatu usaha menanamkan pengertian dan tujuan agar pada diri manusia (masyarakat) tumbuh pengertian, sikap dan perbuatan positif. Tingkat pendidikan yang rendah akan susah mencerna pesan atau informasi yang disampaikan.

2. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB

Hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan penderita TB paru mengkonsumsi obat TB diperoleh bahwa ada sebanyak 10 (30,3%) penderita TB yang berpengetahuan baik tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Sedangkan diantara penderita TB yang berpengetahuan kurang ada 21 (65,6%) yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,009 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sholikhah dan Listyorini (2011) didapatkan p value 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat penderita TB. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani dan Isnanda (2013) mengemukakan berdasarkan analisa statistik korelasi Spearman pada derajat kebebasan dengan α = 0.05 diperoleh ρ value = 0.337 dan p value = 0.059 untuk hubungan pengetahuan dengan kepatuhan, ini terdapat hubungan positif sedang dengan interpretasi memadai antara pengetahuan

dengan kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam program pengobatan TB paru. Hasil yang sama juga pada penelitian yang dilakukan oleh Eka (2009) mengemukakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB paru (p value =0,028 < α = 0.05).

Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmojo (2010) bahwa pengetahuan merupakan seluruh hasil tahu yang ada pada seseorang dari hasil penginderaan terhadap sesuatu objek yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek tersebut. Sumber pengetahuan sebagian besar didapat dari penginderaan menggunakan telinga dan mata. Pengetahuan yang baik merupakan dasar seseorang melakukan perilaku yang baik.

Tindakan seseorang menghadapi masalah kesehatan pada dasarnya dipengaruhi pengetahuan. Jadi semakin tinggi pengetahuan maka akan semakin patuh penderita TB paru dalam berobat (Notoatmojo, 2010). Erawatiningsih (2009) menyatakan semakin tinggi pengetahuan maka akan semakin patuh berobat. Informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan tentang TB paru, bahaya akibat ketidakteraturan berobat dan pencegahannya.

3. Hubungan Jarak atau Jangkauan (Akses) ke Fasilitas Kesehatan dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB

Hasil analisis hubungan antara jarak atau jangkauan (akses) fasilitas kesehatan dengan tingkat kepatuhan penderita TB paru mengkonsumsi obat TB diperoleh bahwa ada sebanyak 15 (35,7%) penderita TB yang jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan terjangkau tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Sedangkan diantara penderita TB yang jarak atau jangkauan

(8)

(akses) ke fasilitas kesehatan tidak terjangkau ada 16 (69,6%) tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,019 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara jarak atau jangkauan (akses) fasilitas kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ulfi (2014) menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal pasien dengan pusat pengobatan (p value = 0,004 < α = 0,05) mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengobatan TB paru. Hal yang sama juga pada penelitian Sutarji (2008) yang menyatakan, jarak pelayanan (p value =0,049) berkaitan secara signifikan dengan kepatuhan penderita TB paru untuk minum obat anti TB pada pengobatan tahap insentif. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Pohan (2004) bahwa akses pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan itu harus dapat dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. Salah satunya yaitu keadaan/ geografis yang dapat diukur dengan jarak, lama perjalanan, jenis transportasi dan atau hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini sependapat Goni (1981, dalam Widagdo, 2002) menyebutkan bahwa faktor jarak adalah suatu faktor penghambat untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Green (1980) dan Andersen (1968, dalam Notoatmojo, 2010) dalam teori yang menyatakan bahwa transportasi termasuk faktor pendukung untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, tersedianya sarana transportasi akan memberi kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini menimbulkan bahwa adanya kemauan memanfaatkan pelayanan

kesehatan karena faktor kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan yang ditujukan oleh adanya rasa sakit baik secara fisik maupun psikis yang dirasakan untuk upaya penyembuhan.

4. Hubungan Dukungan Pengawas Minum Obat dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB

Hasil analisis hubungan antara dukungan pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan penderita TB paru mengkonsumsi obat TB diperoleh bahwa ada sebanyak 5 (20,8%) penderita TB yang mendapat dukungan pengawas minum obat tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Sedangkan diantara penderita TB yang tidak mendapat dukungan pengawas minum obat ada 26 (63,4%) yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,002 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Paramani (2013) menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan pengawas minum obat dengan kepatuhan berobat pasien TB paru (p value =0,001 < α =0,05). Hasil yang sama juga dari penelitian yang dilakukan oleh Abdurahim (2006) menunjukan berdasarkan analisis statistik ketidakpatuhan penderita TB paru dalam menyelesaikan pengobatan berhubungan dengan ketidak keaktifan dari pengawas minum obat (p value = 0,009 < α = 0,05). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Zuliana (2009) yang menunjukkan bahwa peran pengawas minum obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru (p value = 0,000 < α =0,05)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

(9)

PMO untuk menjamin penderita TB paru menyelesaikan pengobatannya dengan minum obat secara teratur di depan PMO, oleh sebab itu, PMO perlu mendapatkan penyuluhan bersama dengan penderita sehingga pengobatan dapat mencapai target yang ditetapkan (Depkes RI, 2007). PMO dapat meningkatkan kepatuhan berobat sehingga penderita cenderung akan mengkonsumsi obat dengan teratur (Zuliana, 2009).

PMO bertugas untuk mengawasi dan memberikan dukungan kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur dengan dosis yang tepat selama enam bulan. Jika penderita TB tidak patuh untuk melaksanakan pengobatan TB secara teratur selama perjalanan enam bulan, maka pengobatan yang telah dijalankan dapat dikatakan gagal dan pengobatan dimulai kembali dari awal.

5. Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Tingkat Kepatuhan Mengkonsumsi Obat TB

Hasil analisis hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan penderita TB paru mengkonsumsi obat TB diperoleh bahwa ada sebanyak 2 (9,5%) penderita TB yang mendapat dukungan tenaga kesehatan tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Sedangkan diantara penderita TB yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan ada 29 (65,9%) yang tidak patuh mengkonsumsi obat TB. Hasil uji statistik diperoleh p value =0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat TB.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2010) yang menunjukan adanya hubungan yang bermakna dukungan tenaga kesehatan dalam kepatuhan penatalaksanaan pengobatan pada penderita TB paru (p value = 0,002 < α =0,05). Hasil yang sama juga

didapatkan pada penelitian Zuliana (2009) yang menunjukkan bahwa peran pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru (p value = 0,000 < α =0,05)

Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku penderita dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari penderita, dan secara terus menerus memberikan yang positif bagi penderita yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatanya.

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Tidak seorang dapat mematuhi intruksi jika salah paham tentang intruksi yang diberikan padanya. Namun kadang-kadang hal ini bisa juga disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah medis dan memberikan banyak intruksi yang harus iingat oleh pasien (Niven, 2008).

Pengawasan yang dilakukan penuh selama jangka waktu pengobatan antara lain melalui kunjungan rumah oleh petugas kesehatan maka diharapkan penderita TB paru akan teratur berobat. Kualitas interaksi antara professional kesehatan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Zuliana, 2009).

E. Kesimpulan

Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB paru, ada hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat

(10)

kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB paru, ada hubungan jarak atau jangkauan (akses) ke fasilitas kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB paru, ada hubungan dukungan pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB paru, ada hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat pada penderita TB paru di Puskesmas Sepauk Kabupaten Sintang. DAFTAR PUSTAKA

Abdurahim. 2006. Hubungan Keaktifan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Tingkat Kepatuhan Penderita TB-Paru dalam Menyelesaikan Pengobatan di Puskesmas Kalijaga Kota Cirebon. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro: Semarang

Ariani, Y dan Isnanda, C.D. 2013. Hubungan Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan dalam Program Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Teladan Medan. Skripsi tidak diterbitkan. USU: Medan Departemen Kesehatan. 2008.Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Jakarta

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. 2012. Profil Kesehatan: Kasus TB Paru. Dinas Kabupaten Sintang. 2013. Profil

Kesehatan: Kasus TB Paru.

Eka K.A. 2009. Hubungan antara Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kayen Kabupaten Pati. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Semarang: Semarang.

Elfindri dkk, 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media Jakarta

Erawatiningsih, E.dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberculosis

Paru. Berita Kedokteran Masyarakat, 25, 117-124.

Lailatushifah, S.N.F. 2012. Kepatuhan Pasien yang Menderita Penyakit Kronis dalam Mengkonsumsi Obat Harian, Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Mercubuana: Yogyakarta

Niven, N. 2008. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional. Jakarta : EGC

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, PT Rineka Cipta.

_____________. 2010. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Pohan, I.S. 2004. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan: Dasar-dasar Pengertian dan Penerapan,Jakarta ; EGC

Puskesmas Sepauk. 2013. Profil Puskesmas: Kasus TB Paru

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV. Alfabeta: Bandung

Sutarji. 2008. Faktor yang Berkaitan dengan Kepatuhan Penderita Tuberkulosis Paru untuk Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pengobatan Tahap Intensif di Puskesmas Selomerto Wonosobo. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Pembangunan Nasional: Yogyakarta Ulfi, M. 2014. Faktor-Faktor yang

Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Pasien Pengobatan TB paru di Rumah Sakit dr. Soebandi Jember. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Jember: Jember

Widagdo, W. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita Mengenai Pengobatan Tuberkulosis dalam Konteks Keperawatan Komunitas di Wilayah Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan Tahun 2002. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Indonesia: Jakarta

(11)

World Health Organization. 2010. Global

Tuberculosis Report 2012.

Geneva:Global Tuberculosis Programme WHO, 1998: p 46.

Yusnita, D. 2008. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Penderita Tuberkulosis Paru Studi Korelasional di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan.

Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro: Semarang.

Zuliana, I. 2009. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan, dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dalam Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan. Skripsi tidak diterbitkan. USU: Medan

Referensi

Dokumen terkait

Suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar di kelas menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh seorang guru, selain membangun suasana yang

Diharapkan dari penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah atau instansi kesehatan dalam mencanangkan program pemanfaatan starter tape, nasi basi

Dari hasil ujicoba program simulasi dan shorewall asli dengan konfigurasi. jaringan dan data yang sama diperoleh hasil

puluh lima bulan Juli tahun dua ribu sebelas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa ATIM.. mengumumkan pemenang Penyedia Barang untuk Pengadaan Alat

Kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran yaitu anak mengalami kesulitan melakukan penulisan angka angka ( penulisan angka sering terbalik). IfMat Lisa yang

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Kedua definisi ini hanya berlaku pada fungsi yang terdefinisi pada subset konveks � pada ruang linear bernorm dan akan dilihat hubungan antara fungsi konveks dan fungsi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pemikiran (17 data) dan tindakan (19 data) tokoh Helen yang merepresentasikan perspektif feminisme radikal-libertarian