• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DYADIC COPING DAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PREMARITAL PREGNANCY COUPLE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN DYADIC COPING DAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PREMARITAL PREGNANCY COUPLE"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh :

Rizka Ariefia Rachmawati 12320395

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2017

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh :

Rizka Ariefia Rachmawati 12320395

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2017

(3)
(4)
(5)

iv

Alhamdulillahi Rabbil’alamin

Segala puji bagi Allah S.W.T Subhanahu wa Ta’ala atas takdir-Nya yang menciptakan saya terlahir di dunia ini dan atas seluruh petunjuk kepada hati ini untuk selalu senantiasa mengingat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kumpulan

goresan kecil ini dapat terselesaikan.

Karya ini kupersembahkan untuk orang-orang terbaik dalam hidup :

Bapak H. Deddy Moch Rianto dan Ibu Hj. Erlinawati

Jika ada kata yang lebih tinggi dari terima kasih dan maaf itu pasti hanyak untuk kalian. Terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan yang

tak akan pernah dapat aku balas. Semua hal yang terjadi di hidupku ini tidak terlepas dari doa dan restu kalian.

Aminnullah Achmad Muttaqin

Terimakasih atas segala bentuk doa, dukungan, dan nasihat selama ini. Aku menyayangimu.

(6)

v

knowing that you are the reason behind that smile”

تجَرَد َمْلِعْلااْوُ ت ْوُأ َنْيِذَّلاَو ْمُكْنِم اْوُ نَمآ َنْي ِذَّلا ُالله ِعَفْرَ ي

Artinya : “Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”

Q.S. Al Mujadallah : 11

“....Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya

dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...” (QS Al-Baqarah Ayat 286)

(7)

vi

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah subhanallahu wata’ala, Tuhan dari segala Tuhan. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam, beserta keluarga, para sahabat, dan pengikut-pengikutnya yang shaleh hingga hari kiamat. Alhamdulillahi rabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala rahmat dan karunia yang tercurah. Berkat segala petunjuk dan tuntunan dari Allah subhanahu wata’ala, penulis diberikan kekuatan, kesabaran, kegigihan, inspirasi dan juga kemudahan sehingga pada akhirnya karya sederhana ini dapat terselesaikan. Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari telah melibatkan banyak pihak yang dengan ikhlas membantu, baik berupa tenaga, motivasi, arahan, masukan, dan doa hingga skripsi ini tersusun. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Arief Fahmie, S.Psi., Psikolog., MA., Dr.rer.nat. Selaku Dekan FPSB. Semoga Bapak dan Keluarga selalu diberikan kesehatan. Aamiin

2. Ibu Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi. Selaku Wakil Dekan FPSB. Terimakasih atas ilmu-ilmu yang diajarkan kepada saya selama ini. Semoga Ibu dan Keluarga selalu dalam lindungan Allah subhanallahu wata’ala. Aamiin

3. Ibu Rina Mulyani, S.Psi., M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Akademik. Semoga Ibu dan keluarga senantiasa selalu dalam lindungan Allah subhnallahu wata’ala. Aamiin

4. Bapak Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi., M.Si. Lebih dari sekedar Dosen Pembimbing Skripsi, terima kasih untuk kesabarannya dalam menghadapi ke-bandelan saya dan terimakasih untuk energi positif yang selalu bapak tularkan

(8)

vii

bimbingan dan pengalaman-pengalaman berharga yang telah bersedia untuk di bagi.

6. Ibunda terkasih, Ibu Hj. Erlinawati yang dengan seluruh jiwa dan raganya selalu berjuang, yang selalu sabar dalam menghadapi Rizka yang sangat manja, yang selalu menjadi contoh Rizka untuk menjadi sosok istri sekaligus ibu yang luar biasa hebat, dan yang selalu bersedia menjadi tempat curhat bagaimanapun keadaannya. Semoga Allah subhanallahu wata’ala selalu memberikan kesehatan serta kebahagiaan untuk ibu. Aamiin

7. Ayahanda terhebat, Bapak H. Deddy Moch Rianto yang selalu bekerja kerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga rizka, yang selalu menjadikan rizka gadis kecil kesayangan bapak tidak peduli seberapapun rizka akan tumbuh. Jika ada kata yang lebih tinggi dari sekedar terimakasih, itu pasti hanya untuk bapak. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan senantiasa dalam lindungan Allah subhanallahu wata’ala. Aamiin

8. Aminnullah Achmad Muttaqin, kakak saya satu-satunya. Terimakasih sudah mengajarkan saya tentang arti menerima, ikhlas, dan patuh kepada orangtua. Semoga mas aqin selalu diberikan kebahagiaan dan dilindingi Allah subhanallahu wata’ala. Aamiin

9. Budhe-budhe serta semua saudara sepupu saya khususnya mbak Ardita Yani Kartika, yang selalu mengajarkan saya untuk selalu bersabar, yang senantiasa menjadi menjadi supporter terbaik dalam hidup saya.

10. Muhammad Rahmat Hidayat, terimakasih sudah menemani perjalanan saya selama di Jogja, mulai dari beberapa waktu setelah saya menginjakkan kaki di Jogja hingga saya mampu menyelesaikan karya sederhana ini, yang bisa membuat saya menangis dan tertawa dalam satu waktu, terimakasih atas kesabaran, pemahaman, pengalaman, bimbingan, serta pengorbanannya,

(9)

viii

wanita yang kuat, tangguh, dan tidak lemah dalam menghadapi kehidupan. Sukses terus buat kamu mbanill!!

12. Abang Ragil Triantoro, yang telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, terimakasih atas waktu yang pernah diberikan, terimakasih atas pelajaran-pelajaran berharga selama ini dan terimakasih sudah hadir. Semoga bang ragil selalu dalam lindungan Allah subhanallahu wata’ala. Aamiin. Sukses terus buat kamu bang!!

13. Astuti Dimy Asjari Kusuma, yang bisa menjadi teman, sahabat, sekaligus ibu selama di kos Amanah, yang tidak pernah meninggalkan saya bagaimanapun keadaannya. Ibu Ninik, terimakasih atas kebaikan dan perhatiannya selama saya tinggal di rumah ibu, semoga ibu dan keluarga selalu dalam lindungan Allah subhanallahu wata’ala. Aamiin

14. The Rempongers, ulfah, intan, dwika, mba frisca, marsilia, nabila, octa, tsuraya, tami, wilda, ida, dan mba arien. See you on top guys!

15. Terimakasih untuk Larry Page dan Sergey Brin, telah menciptakan mesin pencarian bernama Google, tanpanya mungkin tidak akan mudah menyelesaikan karya sederhana ini.

16. Teman-teman sejawat, Psikologi 2012. Terima kasih atas kebersamaannya selama menempuh S1 di Yogyakarta! Sukses selalu untuk kalian semua dimanapun berada!

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 2017

(10)

xiv

Irwan Nuryana Kurniawan

INTISARI

Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada pasangan hamil diluar nikah di Kabupaten Ponorogo. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah untuk melihat ada hubungan positif antara dyadic coping dan kepuasan pernikahan. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 52 subjek, 50% laki-laki dan 50% perempuan, berusia antara 15-50 tahun. Penelitian ini menggunakan dua skala. Pertama skala Dyadic Coping Inventory (DCI; Bodenmann, 2000) terdiri dari 37 aitem dengan α = 0.925. Skala kedua Kansas Marital Satisfaction scale (KMS; Schumm, dkk, 1986) bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pernikahan dengan α = 0.886. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan ada korelasi positif antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan hamil diluar nikah, semakin tinggi peran dyadic coping maka semakin tinggi pula kepuasan pernikahan. Begitupun sebaliknya, semakin rendah peran dyadic coping maka semakin rendah pula tingkat kepuasan pernikahan. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotsis penelitian diterima.

(11)

ix

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

INTISARI ... xiv

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 8

C. Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Kepuasan Pernikahan ... 15

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 15

2. Dimensi-dimensi Kepuasan Pernikahan ... 16

3. Faktor-faktor Kepuasan Pernikahan ... 22

B. Dyadic Coping ... 25

1. Definisis Dyadic Coping ... 25

(12)

x

BAB III METODE PENELITIAN... 35

A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 35

1. Kepuasan Pernikahan ... 35

2. Dyadic Coping ... 35

C. Responden Penelitian ... 37

D. Metode Pengumpulan Data ... 37

1. Skala Dyadic Coping... 37

2. Skala Kepuasan Pernikahan ... 38

3. Skala Social Desirability ... 39

E. Reliabilitas dan Validitas ... 39

1. Reliabilitas ... 39

2. Validitas ... 40

F. Metode Analisis Data ... 41

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 44

A. Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian ... 44

1. Orientasi Kancah ... 44

2. Persiapan Penelitian ... 45

B. Pelaksanaan Penelitian ... 49

C. Hasil Penelitian ... 50

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50

(13)

xi D. Pembahasan ... 60 BAB V PENUTUP ... 67 A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN ... 74

(14)

xii

Tabel 2. Blue Print Social Desirability Scale ... 39

Tabel 3. Kriteria Cohen untuk interpretasi korelasi dan koefisien determinasi ... 43

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Dyadic Coping ... 48

Tabel 5. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50

Tabel 6. Kategorisasi Norma Percentile ... 51

Tabel 7. Percentile ... 51

Tabel 8. Kategorisasi Variabel Dyadic Coping... 52

Tabel 9. Katergorisasi Variabel Kepuasan Pernikahan ... 52

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 53

Tabel 11. Hasil Uji Lineariatas ... 54

Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis Korelasi ... 55

Tabel 13. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Dimensi Dyadic Coping ... 55

Tabel 14. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

Tabel 15. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Usia ... 57

Tabel 16. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Usia Pernikahan ... 57

Tabel 17. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Jumlah Anak ... 58

Tabel 18. Hasil Uji Korelasi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 59

(15)

xiii

Lampiran 1 Skala Ukur Penelitian ... 75

Lampiran 2 Tabulasi Data Penelitian ... 86

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas ... 100

Lampiran 4 Uji Asumsi ... 114

Lampiran 5 Uji Hipotesis ... 116

Lampiran 6 Analisis Tambahan ... 118

Lampiran 7 Hasil Kategorisasi Skala Ukur ... 126

(16)

1

HA adalah remaja perempuan yang mau tidak mau harus menikah sebelum usia 18 tahun karena diketahui telah hamil sebelum adanya ikatan yang sah. Dengan segala keterpaksaan HA harus putus sekolah dan menikah sebelum memiliki kesiapan mental yang matang. HA mengaku belum siap menikah apalagi saat itu usia pasangannya juga masih sangat muda dan belum memiliki pekerjaan. HA juga mengaku merasa sangat stres bahkan ingin menggugurkan kandungannya, namun karena HA merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang telah diperbuat terbentuklah institusi rumah tangga dengan segala keterpaksaannya. HA mengaku pada awal pernikahan ia cukup sulit menyesuaikan diri dengan peran barunya yaitu sebagai istri maupun calon ibu. Dalam prosesnya yang cukup sulit menyesuaikan diri ini, ia dan suami sempat merasa marah, frustasi, tertekan, dan terisolasi. Pada masa itu pula ternyata suami HA juga merasakan hal yang sama sehingga adu argumen tidak terhindarkan, komunikasi dan dukungan pun menurun. HA merasa perlu ada waktu untuknya dan suami memahami kondisi ini dengan mata terbuka, menjaga hubungan pernikahan tetap kondusif, dan memikirkan langkah terbaik yang harus dilakukan untuk kedepannyanya. Setelah berdian sejenak, HA dan suami menyempatkan untuk membahas apa yang mereka rasakan dan bagaimana mereka dapat mengurangi stres ini bersama.

(17)

Cuplikan pengalaman di atas memberikan gambaran bagaimana secara otomatis banyak perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan pasangan premarital pregnancy, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan ini juga berdampak pada pasangan ataupun anggota keluarga lainnya. Dalam budaya timur yang menganut kolektivisme, termasuk di Indonesia, perubahan merupakan ancaman yang potensial terhadap stabiliyas dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari (Chun, Moos, dan Cronkite, 2006). Kehamilan bagi seorang perempuan adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan. Banyak perempuan menginginkan kehamilan dan memiliki keturunan untuk generasi penerusnya. Kehamilan setelah menikah merupakan harapan dari seorang perempuan karena memiliki kesiapan yang matang untuk merawat anaknya kelak. Berbeda halnya dengan kehamilan yang dialami perempuan sebelum adanya ikatan pernikahan, ini merupakan suatu masalah yang tidak diharapkan oleh mereka. Srijauhari (2008) mengungkapkan perempuan yang hamil di luar nikah belum memiliki kesiapan untuk melahirkan dan merawat anaknya dengan baik.

Fenomena kehamilan di luar nikah pada remaja perempuan saat ini sudah banyak kita jumpai di sekitar kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kehamilan di luar nikah pada remaja perempuan antara lain hubungan seks pada masa subur, renggangnya hubungan antara remaja dengan orang tuanya, rendahnya interaksi ditengah-tengah keluarga, keluarga yang tertutup terhadap informasi seks dan seksualitas, menabukan masalah seks dan seksualitas, pergaulan dan seks bebas (Surbakti, 2009).

(18)

Dewasa ini kasus seks bebas di kalangan remaja tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja seperti Jakarta, Bandung, Surabaya atau Yogyakarta. Namun, di Ponorogo, Jawa Timur kasus seks bebas juga sangat memprihatinkan. Tercatat hingga bulan Juni 2016 setidaknya ada 47 remaja SMA dan SMP yang hamil akibat seks bebas yang mereka lakukan. Data di Pengadilan Agama, Kabupaten Ponorogo, ada 47 pelajar SMA dan SMP yang hamil serta putus sekolah. Akhirnya orangtua yang bersangkutan mengajukan dispensasi ke pengadilan agama agar bisa menikah. Sebab, salah satu persyaratan nikah adalah berusia diatas 18 tahun jika masih berusia di bawah 18 tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan agama. Proses pernikahan dilakukan agar bayi yang dilahirkan bisa memiliki status siapa ayah kandungnya. "Kasus pelajar hamil di Ponorogo, mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya atau sepanjang tahun 2015. Ada 56 kasus sementara sampai Juni tahun 2016 atau 7 bulan sudah ada 47 kasus," ujar Sofwan, Humas Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo.

Dampak-dampak ini tidak dapat terhindarkan dan dapat memicu munculnya stres. Stres adalah suatu pengalaman emosional negatif disertai dengan perubahan biokimia, fisiologis, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk mengubah situasi stressful atau mengakomodasi dampak-dampaknya. Dengan berbagi dampak negatif dan stres yang terjadi pada pasangan akan mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan, maka perlu dilakukan coping yang tepat untuk memberikan dampak positif dalam kehidupan premarital pregnancy couple. Proses yang dilakukan individu dalam mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki pada situasi stressful disebut

(19)

sebagai coping (Sarafino, 2012) dan proses ini melibatkan upaya kognitif dan tingkah laku yang terus berubah untuk mengelola perbedaan tersebut (Lasarus dan Folkman, 1984). Bodenmann (2005) membagi tipe coping dalam suatu hubungan interpersonal (misalnya pernikahan) menjadi tiga tipe, yaitu : individual coping (menggunakan sumber daya personal, baik kognitif, tingkah laku, dan emosi untuk mengatasi masalah), dyadic coping (memungkinkan adanya mempengaruhi satu sama lain, baik suami maupun istri dalam proses coping), dan mencari dukungan sosial dari lingkungan sekitar, seperti teman, kerabat, anggota keluarga yang lain (Bodenmann, 2005; Meier, Bodenmann, Morgeli dan Jenewein, 2011).

Lazarus dan Folkman (1984) membagi coping menjadi dua menurut fungsinya, yaitu : problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping adalah usaha coping yang dilakukan langsung mengarah pada sumber stres dan menghilangkan stres dengan cara melakukan tindakan aktif yang berkaitan dengan situasi stres yang dihadapi. Sedangkan emotion-focused coping adalah usaha coping yang diarahkan pada emosi-emosi negatif yang berhubungan dengan sumber stres. Jenis coping ini ditujukan untuk mengurangi atau mengontrol tekanan emosi yang berhubungan dengan situasi stressful.

Dyadic coping dijelaskan oleh Bodenmann (2005) sebagai cara dari salah satu pasangan ketika berpikir mengenai masalah yang dihadapinya dan mencoba untuk memecahkan masalah tersebut, hal ini akan mempengaruhi pasangannya untuk melakukan hal yang sama juga. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa dyadic coping terdiri dari supportive dyadic coping (yaitu ketika salah satu pasangan membantu pasangannya dalam usaha coping yang dilakukan), common

(20)

dyadic coping (kedua pasangan berpartisipasi dalam proses coping yang sejalan atau saling melengkapi untuk mengatasi masalah), delegated dyadic coping (salah satu pasangan bertanya pada pasangannya untuk mengambil alih tugas dan kewajiban tertentu berkaitan dengan mengurangi pengalaman yang stressful), dan yang terakhir adalah negative dyadic coping (di mana pasangan mendukung pasangannya yang sedang stres dengan penolakan, ketidakseriusan, tidak menginspirasi, dan tidak ada keterlibatan aktif. Negative dyadic coping dibagi menjadi dua, yaitu : ambivalent dyadic coping dan superficial dyadic coping.

Bodenmann (2000) menjelaskan bahwa saat berhadapan dengan situasi stressful, pertama kali individu akan melakukan coping secara individual. Namun, jika proses individual coping dianggap kurang berhasil dalam mengatasi stres, maka kemudian dyadic coping akan berperan, di mana adanya keterlibatan pasangan dalam mengatasi stres yang dihadapi (Bodenmann, 2005). Dalam proses coping ini tidak menutup kemungkinan bahwa strategi coping yang dipakai individu terpengaruh oleh budaya di mana individu tersebut tinggal, baik individualisme maupun kolektivisme. Orang-orang dengan orientasi budaya individualisme (mayoritas di negara-negara barat, seperti Eropa dan Amerika), yang lebih memprioritaskan bertemunya tujuan coping yang memfokuskan pada diri individu dan motivasi untuk memaksimalkan kesenangan, memiliki upaya untuk mengatasi masalah yang diarahkan pada pengendalian lingkungan untuk menyesuaikan kebutuhan pribadi mereka (Wong dan Ujimoto, 1998).

Dalam penelitiannya Cole dkk (2002) menyatakan bahwa masyarakat Eropa-Amerika lebih menggunakan problem-focused coping untuk menyelesaikan

(21)

masalah. Sedangkan orang-orang dengan orientasi budaya kolektivisme (mayoritas negara-negara timur) lebih memprioritaskan bertemunya tujuan coping yang memfokuskan pada kesejahteraan orang lain maupun diri sendiri dan memiliki motivasi yang lebih untuk meminimalisasi perasaan kehilangan, memiliki upaya untuk mengatasi masalah yang diarahkan pada menjaga hubungan interpersonal dan sumber-sumber daya lainnya (Wong dan Ujimoto, 1998). Sedangkan dalam penelitian Eshun, Chang, dan Owusu (1998) menyatakan bahwa masyarakat Korea, Malaysia, Ghana, dan beberapa negara timur lainnya cenderung menggunakan emotion-focused coping dalam menyelesaikan masalah atau situasi stres mereka.

Selanjutnya, jika stres yang dialami premarital pregnancy couple dan coping yang dilakukan untuk mengatasi stres tersebut dikatikan dengan hubungan interpersonal, misalnya pernikahan, maka ada kemungkinan bahwa kedua hal ini berdampak pada puas atau tidaknya hubungan pernikahan yang dijalani bersama pasangan. Menurut Roach, Frazier, dan Bowden (1981), kepuasan pernikahan adalah persepsi seseorang mengenai pernikahannya, di mana hal-hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dapat muncul berbeda-beda tergantung pada waktu tertentu selama hubungan pernikahan berjalan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, antara lain : bertahan dari kerentanan, situasi yang memunculkan stres, dan proses adaptasi (Bradbury, 1995 dalam Aditya dan Magno, 2011). Selain itu, Larasati (2012) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa bagaiamana pasangan membagi peran dalam rumah tangga dan bagaimana peran suami dalam menghadapi tuntutan ekonomi.

(22)

Dikaitkan dengan coping pada pasangan dengan hamil di luar nikah, kepuasan pernikahan menjadi salah satu variabel menarik yang dapat ditelaah lebih lanjut, terutama di Indonesia.

Hasil penelitian dari Bodenmann (2005) yang berkaitan dengan coping mengungkapkan bahwa positive dyadic coping secara signifikan berhubungan dengan fungsi pernikahan yang baik dan tingginya tingkat kepuasan dalm hubungan, dengan dyadic coping menilai 30% - 40% yang termasuk dalam varians kepuasan pernikahan. semakin tinggi skor positive dyadic coping maka tingkat kepuasan pernikahan juga semakin tinggi. Sebaliknya, jika skor negative dyadic coping tinggi maka tingkat kepuasan pernikahan akan semakin rendah, yang menunjukkan adanya tingkat stres yang tinggi. Mereka juga mendapatkan hasil bahwa positive dyadic coping memiliki hubungan positif dengan kepuasan hubungan responden. Di negara-negara barat penelitian mengenai hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan ini mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini, baik dengan partisipan pasangan yang berpacaran atau pasangan menikah. Sebaliknya, di negara-negara timur, penelitian ini masih jarang dilakukan. Bahkan di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang membahas kedua hal ini, terutama jika dikaitkan dengan pasangan yang hamil di luar nikah. Padahal jumlah pasangan yang hamil di luar nikah semakin lama semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu.

Dengan melihat fenomena akan banyaknya premarital pregnancy couple di Indonesia, dampaknya ke berbagai dimensi kehidupan, pentingnya coping yang tepat pada premarital pregnancy couple, hasil positif yang hendak dicapai, berupa

(23)

kepuasan pernikahan, dan masih kurangnya pengembangan penelitian ini di Indonesia. Maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada premarital pregnancy couple. Pada penelitian kuantitatif ini, peneliti menggunakan dua alat ukur, yaitu Dyadic Coping Inventory dan Marital Satisfaction Scale.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menguji hubungan antara dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada premarital pregnancy couple di Kabupaten Ponorogo. Memperoleh gambaran umum dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada premarital pregnancy couple.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah penelitian yang bermanfaat sehingga berguna untuk menambah informasi dan wawasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu psikologi klinis. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman bagi masyarakat terutama bagi pasangan suami istri tentang hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi pasangan yang sudah menikah untuk bagaimana menggunakan teknik coping yang tepat

(24)

dalam menghadapi situasi stres agar dapat menjaga atau meningkatkan kualitas pernikahan, termasuk di dalamnya adalah kepuasan pernikahan.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kepuasan pernikahan sebelumnya pernah diteliti oleh Elvira (2015) yang berjudul Hubungan antara Dukungan Pasangan dengan Kepuasan Pernikahan. Penelitian ini menggnakan 176 responden yang berdomisili di Aceh Besar, Jambi, dan Brebes. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan skala dukungan pasangan dan skala kepuasan pernikahan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya dukungan pasangan secara signifikan. Sehingga, ada hbungan positif antara dukungan pasangan dengan kepuasan pernikahan.

Penelitian lainnya yang diteliti oleh Ardhani (2015), berjudul Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Suku Bugis, Jawa dan Banjar di Kecamatan Balikpapan Selatan Kota Balikpapan. Responden penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dengan suku Jawa, Bugis, dan Banjar di kecamatan Balikpapan Selatan, kota Balikpapan yang berjumlah 60 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan perkawinan pada wanita suku Bugis, Jawa dan Banjar di Kecamatan Balikpapan Selatan, kota Balikpapan.

Penelitian berbeda lainnya yang diteliti oleh Pujiastuti dan Retnowati (2004), berjudul Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Responden dalam penelitian ini ada 118 wanita yang terdiri dari 61 bekerja dan 57 ibu rumah tangga yang berusia

(25)

antara 20 sampai dengan 50 tahun yang tinggal di perumahan Taman Banyugara, Bantargebang, Bekasi. Alat ukur yang digunakan adalah Beck’s Depression Inventory (BDI) dan Skala Kepuasan Pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepuasan pernikahan antara wanita bekerja dengan ibu rumah tangga. Penelitian Sukmawati (2014) dengan judul Hubungan Tingkat Kepuasan Pernikahan Istri dan Coping Strategy dengan kekerasan dalam rumah tangga. Responden dalam penelitian ini 150 orang ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Jember. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan DAS (dyadic adjudment scale), CSI (coping strategy inventory) dan PASNP (partner abuse scale: non-physical). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan dengan arah hubungan negatif antara tingkat kepuasan pernikahan istri dan kekerasan dalam rumah tangga dengan coping strategy yang dikontrol.

Penelitian mengenai dyadic coping sebelumnya Setyorini (2012) juga melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Individual Coping, Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan pada Penderita Penyakit Kronis. Responden penelitian sebanyak 60 orang dengan karakteristik menderita penyakit kronis. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Brief COPE, DCI (dyadic coping inventory), MSS (marital satisfaction scale). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara individual coping dan kepuasan pernikahan, dyadic coping dan kepuasan pernikahan, dan individual coping dan dyadic coping.

(26)

Penelitian yang termasuk baru dilakukan oleh Yuliana (2016) dengan judul Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan Pasangan Suami Istri Dengan Suami Diabetes Melitus Tipe II. Responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II, menikah dengan usia pernikahan minimal 5 tahun, dan tidak sedang terbaring sakit jumlah responden sebanyak 80 orang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II.

1. Keaslian Topik

Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Elvira (2015), yang berjudul Hubungan antara Dukungan Pasangan dengan Kepuasan Pernikahan. Sukmawati (2014) dengan judul Hubungan Tingkat Kepuasan Pernikahan Istri dan Coping Strategy dengan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu Setyorini (2012) melakukan penelitian terkait tentang dyadic coping dengan judul Hubungan Antara Individual Coping, Dyadic Coping, dan Kepuasan Pernikahan Pada Penderita Penyakit Kronis. Penelitian tentang hubungan dyadic coping dan kepuasan pernikahan juga dilakukan tidak hanya di dalam negeri, namun di luar negeri pun juga melakukan penelitian dengan judul Dyadic Coping, Relationship Satisfaction, and Parenting Stress Among Parents of Children With an Autism Spectrum Disoder: The Role of Couple Relationship oleh Brown (2012). Levesque, Lafontaine, Caron, Flesch, dan Bjornson (2014) dengan judul Dyadic Empathy, Dyadic Coping and Relationship Satisfaction: A Dyadic Model. Sedangkan penelitian ini akan

(27)

meneliti bagaimana hubungan dyadic coping dengan kepuasan pernikahan pada pasangan married by accident di Ponorogo, Jawa Timur.

2. Keaslian Teori

Yuliana (2016), dengan judul Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan Pasangan Suami Istri Dengan Suami Diabetes Melitus Tipe II. Penelitian ini menggunakan teori kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh (Olson dan Olson, 2000) dan teori dyadic coping yang dikemukakan oleh (Bodenmann, 2005). (Olson dan Olson, 2000) mengungkapkan kepuasan pernikahan merupakan evaluasi terhadap area- area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan ,hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak. (Bodenmann, 2005) menyatakan Dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan dalam hubungan pernikahan.

Sementara penelitian yang dilakukan Setyorini (2012), menggunakan teori kepuasan pernikahan dari Roach, Frazier, dan Bowden (1981) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan sebagai sikap sejauh mana seseorang menilai hubungan pernikahannya menyenangkan atau tidak. Sedangkan teori dyadic coping diukur dengan skala dyadic coping berdasarkan dimensi yang diungkapkan oleh Bodenmann (2005) yaitu: supportive dyadic coping, common dyadic coping, delegated dyadic coping, dan negative dyadic coping. Negative coping meliputi ambivalent dyadic coping dan superficial dyadic coping.

(28)

Penelitian ini menggunakan teori kepuasan pernikahan Roach, Frazier, dan Bowden (1981) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan sebagai sikap sejauh mana seseorang menilai hubungan pernikahannya menyenangkan atau tidak. Teori dyadic coping menggunakan Bodenmann (2005) mengemukakan bahwa dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan di dalam hubungan pernikahan.

3. Keaslian Alat Ukur

Penelitian yang dilakukan oleh Brown (2012) dengan judul Dyadic Coping, Relationship Satisfaction, and Parenting Stress Among Parents of Children With an Autism Spectrum Disoder: The Role of Couple Relationship. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif, menggunakan skala Dyadic Coping Inventory (DCI; Bodenmann, 2000) dan skala kepuasan pernikahan Kansas Marital Satisfaction (KMS; Schumm, Paff-Bergen, Hatch, Obiorah, Copeland, Meens dan Bugaighis, 1986). Penelitian lainnya dilakukan oleh Yuliana (2016) yang berjudul Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan Pasangan Suami Istri dengan Suami Diabetes Melitus Tipe II. Penelitian ini menggunakan skala dyadic coping (Bodenmann, 2005) dan skala kepuasan pernikahan (Olson dan Olson, 2000).

Sementara itu Lavesque, Lafontaine. Caron, Flesch, dan Bjornson (2014) dalam penelitiannya yang diberi judul Dyadic Empathy, Dyadic Coping and Relationship Satisfaction: A Dyadic Model. Penelitian ini menggunakan Dyadic Coping Inventory (DCI; Bodenmann, 2008) untuk mengukur dyadic coping dan Dyadic Adjusment Scale (DAS; Sabourin, Valois dan Lussier,

(29)

2005) untuk mengukur skala kepuasan pernikahan. Sedangkan penelitian ini sendiri menggunakan pengukuran yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya yaitu Brown (2012) dengan menggunakan Dyadic Coping Inventory (DCI; Bodenmann, 2000) untuk mengukur skala dyadic coping dan kepuasan pernikahan dalam penelitian ini menggunakan skala berdasarkan konstruk Schumm. Paff-Bergen, Hatch, Obiorah, Copeland, Meens, dan Bugaighis (1986).

4. Keaslian Responden Penelitian

Penelitian Brown (2012) yang berjudul Dyadic Coping, Relationship Satisfaction, and Parenting Stress Among Parents of Children With an Autism Spectrum Disoder: The Role of Couple Relationship responden yang digunakan adalah 38 pasangan menikah (laki-laki = 38, wanita = 38) yang memiliki anak satu anak, dan menjadi orang tua kandung anak penderita Autism Spectrum Disorder (ASD). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2016) juga melakukan penelitian dengan karakteristik responden adalah pasangan suami istri dengan suami diabetes melitus tipe II, menikah dengan usia pernikahan minimal 5 tahun, dan tidak sedang terbaring sakit jumlah responden sebanyak 80 orang. Sedangkan dalam penelitian ini responden yang akan digunakan adalah 100 orang (laki-laki = 50, wanita = 50) yang bertempat tinggal di Ponorogo, Jawa timur. Minimal usia pernikahan satu tahun baik yang bekerja maupun tidak bekerja. Memiliki minimal satu orang anak dan hamil di luar pernikahan.

(30)

15 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Gullota, Adams dan Alexander (1986) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Dalam penelitiannya, Roach, Frazier, dan Bowden (1981) menerangkan kepuasan pernikahan diartikan sebagai sebuah persepsi terhadap kehidupan pasangan yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan pasangan dari waktu ke waktu.

Dalam pengertian lain, menurut Fitzpatrick (1988, dalam Bird dan Melville, 1994) berpendapat bahwa kepuasan pernikahan adalah bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi kualitas dari pernikahan mereka tersebut; hal ini adalah deskripsi respondentif dari apakah suatu hubungan pernikahan itu baik , menyenangkan, dan memuaskan.

Taylor, Peplau, dan Sears (1997) menjelaskan kepuasan pasangan dalam pernikahan muncul saat mereka cenderung menghabiskan waktu bersama-sama dalam berbagai aktivitas, menggunakan selera humor masing-masing serta mengurangi kritik dan adu argumen yang berkepanjangan antar pasangan. Hendrick dan Hendrick (1997) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman

(31)

respondentif seseorang akan kebahagiaan dan kesenangan seseorang dalam pernikahan.

Menurut Duval dan Miller (1985), menyatakan kepuasan pernikahan memiliki arti berbeda bagi suami dan istri. Bagi suami umumnya kepuasan pernikahan akan tercapai ketika terpenuhinya perasaan dihargai, sedangkan bagi istri kepuasan pernikahan akan tercapai ketika dipenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terjalinnya intimasi. Sejalan dengan pendapat Bradbury, Finchman dan Beach (2000) yang mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah refleksi dari perasaan positif yang dirasakan pasangan lebih banyak dari perasaan negatif terhadap hubungan mereka sehingga pernikahan terus bertahan. Wahyuningsih (2013) juga berpendapat bahwa kepuasan pernikahan adalah penilaian respondentif dari seorang suami dan istri terhadap pernikahan yang sedang dijalani berupa suatu komitmen.

Berdasarkan pengertian mengenai kepuasan pernikahan di atas, maka peneliti mengacu pada pengertian dari Roach, Frazier, dan Bowden (1981) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan sebagai sikap sejauh mana seseorang menilai hubungan pernikahannya menyenangkan atau tidak.

2. Dimensi-dimensi Kepuasan Pernikahan

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1993) dimensi yang terdapat dalam kepuasan pernikahan menurut Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) adalah sebagai berikut :

(32)

a. Komunikasi

Dimensi ini berfokus pada perasaan dan perilaku seseorang dalam hal komunikasi dengan pasangan dalam pernikahan. Hal ini mencakup tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan ketika bertukar pikiran dan menerima informasi. Komunikasi yang baik antar pasangan akan meningkatkan kepuasan dalam pernikahan. Hal ini didukung oleh pendapat Laswell (1991) yang membagi komunikasi dalam pernikahan menjadi lima elemen, yaitu : keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (emphaty) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). b. Kegiatan Waktu Luang

Dimensi ini meliputi ketertarikan seseorang dalam menggunakan waktu luangnya. Kegiatan yang dilakukan dalam hal ini dapat berupa kegiatan sosial, kegiatan pribadi dan harapan untuk dapat menghabiskan waktu luang bersama pasangan.

c. Orientasi Agama

Dimensi ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam pernikahan. Pentingnya orientasi keagamaan dalam sebuah hubungan pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh besar dalm pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan.

(33)

Pernikahan yang dilandasi keagamaan maka akan meningkatkan kualitas pernikahan.

d. Penyelesaian Konflik

Dimensi ini mengukur presepsi pasangan mengenai eksistensi dan penyelesaian terhadap konflik dalam hubungan pernikahan. Hal ini mencakup keterbukaan pasangan untuk mengetahui dan menangani masalah-masalah dan kemampuan serta strategi-strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Selain itu juga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain. Pemecahan masalah yang baik akan meningkatkan kualitas pernikahan.

e. Manajemen Keuangan

Dimensi ini menggambarkan perilaku dan perhatian tentang bagaimana mengelola keuangan dengan baik. Dimensi ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial pasangan. Hal ini mencakup bagaimana cara mengelola keluar masuknya uang dengan ketentuan yang telah dibuat. Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

f. Orientasi Seksual

Dimensi ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan seksual pasangan. Dalam dimensi ini merupakan perasaan seseorang

(34)

tentang kasih sayang, cinta dan hubungan seksual yang di dapatkan dari pasangan. Hal ini mencakup masalah seksual, perilaku seksual, kesetiaan secara seksual kepada pasangannya dan cara mengontrol kelahiran. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Keluarga dan Teman

Dalam dimensi ini keluarga dan teman merupakan perasaan dan perilaku tentang hubungan dengan mertua, saudara, ipar, dan teman-teman. Hal ini mencakup harapan untuk dapat menghabiskan waktu bersama dengan keluarga dan teman di waktu luang.

h. Anak dan Pengasuhan

Dimensi ini menitikberatkan pada perasaan dan perilaku suami istri ketika memiliki dan membesarkan anak. Hal ini mencakup masalah disiplin, tujuan yang ditentukan untuk anak. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Perkembangan anak yang sesuai dengan yang diharapkan orangtua akan meningkatkan kualitas perkawinan.

(35)

i. Persoalan Kepribadian

Kepribadian pasangan merupakan persepsi seseorang tentang pasangannya didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan pasangan dan tingakat kepuasan yang dirasakan oleh pasangan.

j. Peran dan Tugas

Dimensi ini memiliki pengertian tentang perasaan seseorang dan perilakunya berkaitan dengan peran dan tugasnya dalam perkawinan, mencakup peran dan pekerjaan rumah tangga, peran seks dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai dimensi tersebut maka menunjukkan bahwa pasangan memilih peran-peran egaliterian.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa Fowers dan Olson (1993), mengukur tingkat kepuasan pernikahan berdasarkan 10 dimensi yang menurut Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) adalah sebagai berikut : persoalan kepribadian, kesamaan dan kesetaraan peran dan tugas, komunikasi, penyelesaian konflik, pengaturan keuangan, kegiatan di waktu luang, hubungan seksual, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman, orientasi keagamaan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2012) mengungkapkan ada 3 dimensi dalam mencapai kepuasan pernikahan, yaitu : a. Persahabatan

Kepuasan pernikahan yang tinggi ditandai dengan tingkat konflik yang rendah dan adanya suasana tenang dalam rumah tangga. Tingkat

(36)

konflik yang rendah tercermin dari jarang bertengkar, bila bertengkar tidak sampai besar atau diketahui orang luar maupun anak, senantiasa rukun, dan tidak ada gejolak rumah tangga yang berarti. Tingkat konflik yang rendah ini menyebabkan pasangan suami istri merasakan ketenangan dalam rumah tangga, merasakan ketentraman dan kenyamanan.

b. Kepuasan terhadap anak

Kualitas perkawinan yang tinggi juga ditandai dengan perasaan puas terhadap prestasi anak. Baik suami maupun istri merasa puas ketika anak berperilaku baik, tidak banyak menimbilkan masalah, anak memiliki agama yang baik dan anak taat beribadah. Suami maupun istri juga puas ketika anaknya berhasil dan berprestasi baik di sekolah maupun di luar sekolah.

c. Keharmonisan

Kerharmonisan perkawinan ini dapat diukur dari 2 indikator, yang pertama yaitu kegiatan bersama dan memiliki konsensus atau kesepakatan dengan pasangan. kebersamaan pasangan suami istri antara lain saling membantu dalam mendidik anak, memecahkan masalah bersama, dan melakukan musyawarah. Kesepakatan pasangan suami istri antara lain meliputi kesepakatan mengenai cara mengasuh anak dan kesepakatan mengelola keuangan.

Berdasarkan dimensi-dimensi kepuasan pernikahan menurut Wahyuningsih (2013) di atas dapat disimpulkan terdapat 3 dimensi kepuasan pernikahan, yaitu persahabatan, kepuasan terhadap anak dan keharmonisan.

(37)

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti sepakat mengacu pada dimensi dari Fowers dan Olson, yaitu: persoalan kepribadian, kesamaan dan kesetaraan peran dan tugas, komunikasi, penyelesaian konflik, pengaturan keuangan, kegiatan di waktu luang, hubungan seksual, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman, orientasi keagamaan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Duval dan Miller (1985) membagi dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu background characteristics (sebelum pernikahan) dan current characteristics (selama pernikahan). Sedangkan current characteristics adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kepuasan pernikahan setelah terjadinya pernikahan itu sendiri.

a. Background Characteristics

1) Kebahagiaan Pernikahan Orang tua

Kebahagiaan pada pernikahan orang tua merupakan salah satu karakteristik yang mendukung terciptanya kepuasan pernikahan yang tinggi. Pernikahan orang tua dapat menjadi model dalam menjalani pernikahan anak.

2) Masa Kanak-kanak

Kebahagiaan yang diperoleh pada masa kanak-kanak memiliki peran dalam kepuasan pernikahannya kelak. Rasa bahagia di masa kanak-kanak diperoleh melalui hubungan anak dengan orang tua dan juga lingkungan sosialnya. Hubungan anak dengan orang tua yang berjalan harmonis menimbulkan kelekatan antara orang tua dengan

(38)

anak, hal ini dapat mempermudah proses penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.

3) Pembentukan disiplin oleh orang tua

Kedisiplinan yang diterapkan oleh orang tua sejak kecil berada pada tahap yang baik (adanya pemberian hukuman yang sesuai untuk setiap kesalahan yang diperbuat, namun tidak membuat anak merasa terancam).

4) Pendidikan

Terpenuhinya kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Untuk pendidikan formal minimal sampai pada tahap sekolah menengah atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan psangan dalam suatu pernikahan akan semakin mempermudah proses penyesuaian diri mereka dalam kehidupan pernikahan.

5) Pendidikan seksual dari orang tua

Adanya pendidikan seksual yang memadai yang diberikan oleh orang tua, pendidikan seksual diberikan dalam porsi yang benar, dalam waktu yang tepat, serta sesuai dengan kebutuhan yang ada. 6) Masa perkenalan sebelum menikah

Adanya waktu yang cukup dan memadai untuk melakukan pendekatan (saling mengenal antara pasangan) sebelum memasuki pernikahan.

(39)

b. Current Characteristics

1) Ekspresi kasih sayang atau afeksi

Adanya ekspresi kasih sayang yang nyata dari suami maupun istri. 2) Cara menghadapi masalah atau situasi stres

Hasil penelitian Olson dan Olson (2000; Olson dan DeFrain, 2006) menyatakan bahwa dimensi yang paling membedakan antara adanya kepuasan dalam pernikahan atau tidak adalah bagaimana masing-masing pasangan dapat saling memahami perasaan ketika menghadapi masalah.

Menurut Atwater dan Duffy (1999:240), kesuksesan atau kepuasan pernikahan dilihat dari aspek hubungan dalam pernikahan termasuk kematangan cinta, keintiman, dan kebersamaan. Menurutnya, karakteristik pernikahan yang memuaskan adalah

1) Mampu memecahkan masalah bersama-sama

2) Bersenang-senang bersama dan saling berbagi pengalaman

3) Adanya kualitas yang baik dalam komunikasi pasangan sebelum menikah. Hal ini untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan masalah yang muncul dapat diatasi, terutama pada awal pernikahan.

4) Affective-affirmative, komunikasi dengan cinta, dan adanya penerimaan tanpa syarat kepada pasangan.

Menurut berbagai faktor di atas peneliti mengacu pada faktor dari Atwater dan Duffy, yaitu: mampu memecahkan masalah bersama-sama,

(40)

bersenang-senang bersama, adanya kualitas yang baik dalam komunikasi sebelum menikah, dan affective-affirmative.

B. Dyadic Coping 1. Pengertian Dyadic Coping

Teori mengenai dyadic coping dikemukakan oleh Bodenmann (1995) yang didasarkan pada Transactional Stress Theory dari Lazaruz dan Folkman (1984). Selanjutnya, Bodenmann (1997) melihat dan mengembangkan dyadic coping ini menjadi suatu model yang sistematik dan erat kaitannya dengan proses, yang dinamakan Systematic-Transactional Model. Model ini melihat bagaimana menghadapi stres yang dialami bersama dan bagaimana pasangan mengatasi masalah, baik secara individual maupun kolektif sebagai suatu unit. Proses komunikasi stres muncul dimana setiap pasangan mengomunikasikan stres mereka masing-masing dengan harapan menerima dukungan atau umpan balik mengenai coping yang dilakukan. Pasangan dapat merespon hal ini secara suppotive (memberi saran dan membantu dalam tugas sehari-hari, menunjukkan empati, mengekspresikan rasa solidaritas, dan berpandangan positif) maupun unsupportive (banyak mengkritik, mengambil jarak dari pasangan, menunjukkan ketidaktertarikan). Selanjutnya dalam level pasangan, kesejahteraan dalam berelasi dipengaruhi oleh kebiasaan pasangan untuk bekerja satu tim untuk mengatur dimensi-dimensi dari pemicu stres yang mempengaruhi, baik suami maupun istri (Bard, Kashy, Carmark, dan Cristofanilli, 2010). Dari pengembangan model tersebut, Bodenmann (1995;

(41)

dalam Setyorini 2012) mengemukakan bahwa dyadic coping adalah upaya yang digunakan oleh salah satu atau kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres, dimana tersebut merupakan pola interaksional yang terdiri dari ketegangan di antara kedua pasangan.

Bodenmann (2005) mengemukakan bahwa dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan di dalam hubungan pernikahan. Penelitian yang dilakukan oleh Meier, Bodenmann, Morgeli, dan Jenewin (2011) menyebutkan bahwa dyadic coping bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau dengan pasangan. Pasangan yang memiliki hubungan dyadic coping yang baik, akan memperoleh keuntungan dalam suatu hubungan. Dyadic coping juga dapat meningkatkan rasa percaya diri, rasa aman, dan kedekatan antar pasangan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres dimana upaya tersebut merupakan pola interaksional yang memberikan keuntungan dalam suatu hubungan yang bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau ketika dengan pasangan. 2. Dimensi-dimensi Dyadic Coping

Dalam teori dan penelitiannya, Bodenmann (2005) mengemukakan bahwa dyadic coping terdiri dari empat dimensi, yaitu :

a. Stress Communication

Berkaitan dengan bagaimana individu dalam mengkomunikasikan kondisi sters yang dirasakan kepada pasangan, seperti dukungan emosional

(42)

terhadap pasangan, berbagai kondisi stres membatu pasangan menghadapi situasi stres, mengkomunikasikan stres yang sedang dihadapi kepada pasangan. Sarwono (1997) menyatakan komunikasi merupakan salah satu faktor penentu positif dan negatif dari hubungan interpersonal. Menurut Wijayanti (2013; dalam Yuliana 2016) komunikasi dapat mempererat hubungan keluarga damn menciptakan perasaan nyaman, apabila terjadi komunikasi yang tidak baik akan berdampak bagi keharmonisan dalam keluarga sehingga permasalahan dalam keluarga tidak dapat terselesaikan. b. Supportive dyadic coping

Bodenmann menjelaskan bahwa supportive dyadic coping terjadi saat salah satu pasangan membantu pasangannya dalam usaha mengatasi masalah. Coping ini diekspresikan melalui berbagai aktivitas seperti: membantu tugas sehari-hari atau memberikan saran-saran praktis, berempati, mengkomunikasikan keyakinan akan kemampuan atau kapabilitas pasangan atau mengekspresikan solidaritas dengan pasangan. Menurut Thoits (1986; dalam Yuliana 2016) ketika individu sedang dalam masalah, pasangan dapat membantu dengan memberikan saran dan relaksasi serta mampu memberikan perasaan positif seperti perasaan cinta, empati, dan kebersamaan.

c. Common dyadic coping

Dimensi ini menjelaskan bahwa common dyadic coping adalah ketika kedua pasangan berpartisipasi dalam proses coping, sejalan atau sebagai pelengkap untuk mengatasi masalah yang ada atau emosi yang

(43)

muncul dari masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara, antara lain: bersama-sama menyelesaikan masalah, bersama-sama mencari informasi yang diperlukan, berbagi persaan, memunculkan komitmen yang timbal balik atau melakukan relaksasi bersama-sama. Dalam common dyadic coping pasangan mengaplikasikan strategi yang dibuat untuk menyelesaikan masalah atau membantu satu sama lain untuk mengurangi dampak emosional yang muncul. Contohnya, bersama-sama dengan pasangan saling menceritakan apa yang dirasakan, melakukan pencarian informasi dari internet atau membaca buku bersama.

d. Delegated dyadic coping

Dimensi ini terjadi ketika salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab secara seutuhnya untuk mengurangi stres pasangannya. Selama proses delegated dyadic coping ini berlangsung, pasangan secara tegas bertanya untuk memberikan dukungan dan kontribusi yang baru selama selama proses coping dibentuk. Jenis coping ini biasa digunakan untuk menghadapi pemicu stres yang berorientasi pada masalah (problem-oriented). Misalnya ketika tiba-tiba istri sedang jatuh sakit dan tidak dapat menjalankan tugasnya, maka suami yang mengambil alih tugas istri seperti menyiapkan makanan dan menggantikan pekerjaan istri dirumah.

e. Negative dyadic coping

Tidak menutup kemungkinan bahwa individu menampilkan bentuk negatif dari dyadic coping dalam menghadapi situasi stres ini. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa negative dyadic coping terdiri dari hostile

(44)

dyadic coping yaitu dukungan yang disertai dengan penghinaan, menjauh, mengejek, menampilkan ketidaktertarikan atau meminimalkan keseriusan stres yang dihadapi oleh pasangan. Pasangan memberikan dukungan (misal: memberi saran) tetapi dalam cara yang negatif, ada unsur kekerasan di dalamnya, baik secara verbal maupun non-verbal. Berikutnya adalah ambivalent dyadic coping, terjadi ketika salah satu pasangan mendukung pasangannya dengan tidak baik atau dengan sikap bahwa kontribusi yang diberikan seharusnya tidak perlu. Terakhir adalah superficial dyadic coping meliputi dukungan yang tidak tulus, contohnya menanyakan tentang perasaan pasangan tetapi tanpa adanya empati.

Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa dyadic coping dapat dilihat berdasarkan lima dimensi yaitu : a) communication dyadic coping yang mencakup cara individu mengkomunikasikan stres dengan pasangan, b) supportive dyadic coping yang mencakup segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam situasi stres, c) common dyadic coping mencakup kedua pasangan berpartisipasi untuk menyelesaikan masalah dalam menghadapi situasi stres, d) delegated dyadic coping mencakup usaha salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab pasangan untuk mengurangi stres, e) negative dyadic coping yang merupakan dukungan yang disertai oleh penghinaan dan ejekan.

(45)

C. Kehamil di Luar Nikah

Hamil merupakan sebuah proses diawali dengan keluarnya sel telur yang telah matang dari indung telur. Ketika telur yang matang itu berada pada saluran telur dan pada saat itu ada sperma yang masuk dan bertemu dengan sel telur maka keduanya akan menyatu membentuk sel yang akan bertumbuh (Hasmi dkk, 2003). Sedangkan dalam kamus Oxford (1995), kehamilan atau pregnant diartikan sebagai having a baby or young animal in the womb yaitu mempunyai bayi atau hewan kecil di dalam kandungan (rahim). Menurut Sulistyana (dalam Husaeni, 2007) hamil di luar nikah adalah sesuatu yang bagi masyarakat sulit untuk diterima, dan tentunya hal itu selain juga menimbulkan dan memunculkan rasa malu bagi keluarga juga akan mencoreng nama besar keluarga, dan dari sisi agama dan keyakinan apapun tentunya juga tidak dibenarkan. Supramono (1998) berpendapat bahwa perkawinan merupakan hubungan laki-laki dengan perempuan yang didasarkan pada perikatan yang suci atas dasar hukum agamanya. Kehamilan di luar nikah adalah kondisi mengandung anak dengan ditandai adanya beberapa perubahan dalam tubuh tanpa adanya suatu ikatan perkawinan atau hukum agama yang sah antara wanita dan laki-laki.

Sesuai dengan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan karena hamil di luar nikah merupakan suatu bentuk ikatan hubungan, baik lahir maupun batin antara seorang pria dan wanita yang disahkan oleh lembaga perkawinan dan disaksikan oleh beberapa orang saksi untuk membentuk rumah tangga dengan kondisi wanita telah hamil sebelum pernikahan tersebut dilakukan.

(46)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan di luar nikah yaitu: renggangnya hubungan antara remaja dengan orang tuanya, rendahnya interaksi ditengah-tengah keluarga, keluarga yang tertutup terhadap informasi seks dan seksualitas, menabukan masalah seks dan seksualitas, kesibukan orang tua (Surbakti, 2009). Supriadi (2012) juga melakukan penelitian tentang beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kehamilan di luar nikah di antaranya tekanan dari pacar, adanya rasa penasaran, nikmatnya melakukan hubungan seks, adanya tekanan dari teman, adanya kebutuhan badaniah, kurangnya pengetauan remaja tentang kehamilan dan melampiaskan diri. Faktor lain yang menyebabkan kehamilan di luar nikah adalah pergaulan bebas tanpa kendali orang tua menyebabkan remaja merasa bebas untuk melakukan apa saja yang diinginkan, perkembangan teknologi media komunikasi yang semakin canggih yang memperbesar kemungkinan remaja mengakses apa saja termasuk hal-hal negatif (Kusmiran, 2014).

Luthfiyati (2009) menjabarkan dampak negatif yang mungkin muncul pada remaja perempuan yang hamil di luar nikah, antara lain : putus sekolah, kemungkinan pengangguran yang mempunyai resiko tinggi bagi jiwa, kemungkinan mempunyai masalah dengan calon pasangan hidup yang masih mengagungkan keperawanan. Dampak negatif pada remaja perempuan yang hamil di luar nikah lainnya adalah aborsi, ada dua hal yang bisa dilakukan oleh remaja perempuan, yaitu mempertahankan kehamilan dan megakhiri kehamilan (aborsi). Semua tindakan tersebut membawa dampak negatif baik fisik, psikis, sosial, dan ekonomi (Marmi, 2013). Pernikahan pada masa remaja, hal ini terjadi karena

(47)

untuk menutup aib karena sudah melakukan hubungan seksual pranikah. Masa depan remaja dan bayi, salah satu resikonya adalah berhenti/putus sekolah atau kemauan sendiri dikarenakan rasa malu atau cuti melahirkan. Komplikasi, komplikasi meliputi persalinan belum cukup umur atau biasa disebut prematuritas. Psikososial, Remaja akan mengalami ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah karena terjadi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Akibatnya remaja akan dikucilkan dari masyarakat dan hilang kepercayaan diri (Kusmiran, 2014). Yang terakhir adalah dampak psikologis, kehamilan di luar nikah pada remaja perempuan menimbulkan posisi remaja dalam situasi yang serba salah dan memberikan tekanan batin atau stress (Manuaba dkk, 2009). Dampak negatif ini tidak hanya muncul pada remaja perempuan saja, namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada remaja laki-laki.

D. Hubungan Dyadic Coping dan Kepuasan Pernikahan pada Premarital Pregnancy Couple

Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat terlepas dari peran satu sama lain, begitu pula dengan hubungan pernikahan. Setiap pasangan tentunya tidak dapat terlepas dari peran suami maupun istri, namun apa jadinya ketika hubungan pernikahan yang diawali dengan ketidaksengajaan, seperti sang wanita telah hamil terlebih dahulu. Tidak menutup kemungkinan pernikahan yang terjadi karena hamil di luar nikah, akan menyebabkan beberapa masalah pada pasangan

(48)

tersebut, baik bagi suami maupun istri. Masalah tersebutlah yang nantinya akan menimbulkan stres yang mana akan mempengaruhi kepuasan pada pernikahan, maka perlu dilakukan coping yang tepat untuk memberikan dampak positif dalam kehidupan premarital pregnancy couple.

Menurut Karney dan Bradbury (1995) stres yang dihadapi oleh pasangan dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan, seperti perubahan perilaku salah satu pasangn. Perubahan perilaku yang dimaksud adalah ketika pasangan suami istri menyalahkan satu sama lain atas apa yang terjadi dalam rumah tangga yang terbentuk atas keterpaksaan. Peran pasangan menjadi sangat penting bagi premarital pregnancy couple ketika menghadapi masa-masa penyesuaian dirinya (Ayers, 2007). Dengan adanya keterlibatan pasangan dalam dyadic coping ini, maka kualitas dalam suatu hubungan pernikahan, terutama kepuasan pernikahan patut dipertimbangkan. Bodenmann (2005) dalam studi meta-analisis yang berkaitan dengan coping mengungkapkan bahwa positive dyadic coping secara signifikan berhubungan dengan fungsi pernikahan yang baik dan tingginya tingkat kepuasan dalam hubungan, dengan dyadic coping menilai 30% - 40% yang termasuk dalam varians kepuasan pernikahan. Semakin tinggi skor positive dyadic coping maka tinfkat kepuasan pernikahan juga semakin tinggi. Sebaliknya, jika skor negative dyadic coping tinggi maka tingkat kepuasan pernikahan akan semakin rendah, yang menunjukkan adanya tingkat stres yang tinggi.

Martlin (2008; Yuliana 2016) mengungkapkan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia saling memahami, dan menghargai. Menurut Fower dan Olson (1993) pernikahan dikatakan puas

(49)

ketika pasangan mampu memenuhi dimensi-dimensi dari kepuasan pernikahan yaitu komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, keyakinan spiritual, resolusi konflik, pengelolaan keuangan, relasi seksual, keluarga dan teman, serta kecocokan pribadi.

Menurut Bodenmann (2005) coping yang tepat pada premarital pregnancy couple adalah dyadic coping . Dyadic Coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan didalam hubungan pernikahan (Bodenmann, 2005). Apabila pasangan mampu melakukan dyadic coping diharapkan pasangan dapat mencapai kepuasan pernikahan. Dyadic coping terdiri dari lima dimensi yaitu stress communication, supportive dyadic coping, delegated dyadic coping, common dyadic coping, dan negative dyadic coping.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dyadic coping dan kepuasan pernikahan pada premarital pregnancy couple. Semakin tinggi dyadic coping, maka semakin tinggi kepuasan pernikahan. Sebaliknya semakin rendah dyadic coping, maka semakin rendah kepuasan pernikahan.

(50)

35

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Tergantung : Kepuasan Pernikahan 2. Variabel Bebas : Dyadic Coping 3. Variabel Kontrol : Social Desirability

B. Definisi Operasional Penelitian 1. Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan adalah refleksi dan evaluasi subjektif tentang seberapa puas individu terhadap pernikahannya, yang memiliki satu dimensi kesatuan yang bersifat umum (Unidimensional). Kepuasan pernikahan merupakan skor total yang diperoleh responden setelah menjawab Skala Kepuasan Pernikahan Kansas Marital Satistafactian scale yang disusun oleh Schumm (1986). Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula kepuasan pernikahan yang dirasakan responden, berlaku sebaliknya jika semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah kepuasan pernikahannya.

2. Dyadic Coping

Dyadic coping adalah upaya yang digunakan oleh salah satu atau kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres, dimana upaya tersebut merupakan

(51)

pola interaksional yang terdiri dari ketegangan di antara kedua pasangan (Bodenmann, 1995 dalam Setyorini 2012). Dyadic coping terdiri dari empat dimensi, yaitu: supportive dyadic coping, common dyadic coping delegated dyadic coping, dan negative dyadic coping. Dyadic Coping adalah skor responden pada Dyadic Coping Inventory scale. Skala ini terdiri dari 37 aitem, meliputi dimensi supportive dyadic coping, common dyadic coping, delegated dyadic coping, dan negative dyadic coping. Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu berarti mempresentasikan semakin tinggi pula individu menggunakan dyadic coping ketika menghadapi situasi stres yang dihadapi.

3. Social Desirability

Social Desirability adalah skor responden pada Reynolds Short-Form of Marlowe-Crowne Social Desirability Scale (Reynold & Gerbasi, 1982). Skala ini terdiri dari 11 aitem, meliputi dimensi menyetujui yang disukai dan menolak yang tidak disukai, bertujuan untuk mengungkap tinggi rendahnya kecenderungan responden untuk menyetujui hal-hal yang disukai dan tidak menyetujui hal-hal yang tidak disukai (menjawab berdasarkan harapan sosial). Semakin tinggi skor, semakin tinggi responden untuk menjawab menurut norma sosial. Semakin rendah skor, semakin rendah responden untuk menjawab berdasarkan norma sosial.

(52)

C. Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang menikah karena hamil diluar nikah dari berbagai kalangan dengan usia berkisar dari 15-50 tahun. Kriteria responden selanjutnya adalah memiliki minimal satu orang anak, dan beragama Islam. Teknik pengambilan sample dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria khusus yang telah ditentukan untuk sampel (Prasetyo & Jannah, 2005).

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode angket atau kuesioner untuk mendapatkan jenis data kuantitatif. Kuesioner penelitian ini terdiri atas data skala psikologis, meliputi :

1. Skala Dyadic Coping

Skala dyadic coping yang digunakan merupakan skala yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan dimensi dari Bodenmann (2005) yang mengacu pada Dyadic Coping Inventory (DCI) yang kemudian membagi dyadic coping ke dalam dua bagian besar, yaitu positive dyadic coping, dan negative dyadic coping. Positive dyadic coping meliputi supportive dyadic coping, common dyadic coping dan delegated dyadic coping.

Masing-masing aitem dalam skala ini menggunakan model skala likert. Penyekoran pertanyaan bergerak dari 1-5. Semua aitem dalam skala ini berupa aitem favourable yang terdiri dari 37 aitem pertanyaan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alternatif jawaban sebagai

(53)

berikut: 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), 5 (hampir selalu).

Tabel 1

Blue Print Dyadic Coping Inventory Scale Dimensi

Butir Favourable

Nomor Butir Jumlah

Butir

Stress Communication 2,4,17, 3

Positive Dyadic Coping 1,5,6,9,16,19,20,21,24,36,37 11

Delegated Dyadic Coping 12,14,27,29 4

Negative Dyadic Coping 3,7,10,11,15,18,22,25,26,30 10 Common Dyadic Coping 8,13,23,28,31,32,33,34,35 9

Jumlah 37

2. Skala Kepuasan Pernikahan

Skala kepuasan pernikahan yang digunakan merupakan skala yang diadaptasi berdasarkan Kansas Marital Satisfaction (KMS) oleh Schumm, dkk (1986). Masing-masing aitem dalam skala ini menggunakan model skala likert. Penyekoran pertanyaan bergerak dari 1-7. Semua aitem dalam skala ini berupa aitem favourable yang terdiri dari 3 aitem pertanyaan. Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alternatif jawaban sebagai berikut: 1 (sangat tidak memuaskan sama sekali), 2 (sangat tidak memuaskan), 3 (sampai tingkatan tertentu tidak memuaskan), 4 (campur-campur), 5 (sampai tingkatan tertentu memuaskan), 6 (sangat memuaskan), 7 (sangat memuaskan sekali). Berikut adalah aitem-aitem yang berada dalam Kansas Marital Satisfaction:

 Sebagai pasangan, apakah anda merasa puas terhadap pasangan anda ?

 Apakah anda merasa puas dengan pernikahan anda ?

Gambar

Tabel Kategorisasi Berdasarkan Persentil  Statistics  Kepuasan_Pernikah an_KMS  Dyadic_Coping_DCS  N  Valid  104  104  Missing  0  0  Mean  5.8077  3.5704  Std

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitia n menunjukkan bahwa untuk produksi kultur campuran, media LB memberikan hasil berupa aktivitas enzim yang relatif lebih besar dibandingkan dengan

Dari analisa data yang diperoleh (r) = 0,501 dan p = 0,000 artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara percaya diri dengan efektifitas komunikasi pada pasangan

Makalah tersebut tersimpan di salah satu web- site di Univer- Ini adalah penggalan Daftar Isi makalah yang terbit dalam Physical.. Review B Volume 80 nomor 13, 1

Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan alat tugas akhir ini adalah:.  Merancang suatu sistem alat hitung obyek dalam suatu

Materi formal content merupakan materi yang ada dalam kurikulum, sedangkan materi informal content merupakan materi yang tidak ada dalam kurikulum PPKn tetapi termasuk

In order to efficiently retrieve the nearest neighbor information, we proposed a spatial access method known as clustered hierarchical structure.. This structure is

Bagi orang yang memiliki keterbatasan dalam membayar segera utangnya, akad hawalah pada perbankan syariah dapat menjadi solusi yaitu akad pengalihan utang dari satu pihak