• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Adhesi Intra abdominal. pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang signifikan (Van goor.,2007).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Adhesi Intra abdominal. pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang signifikan (Van goor.,2007)."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Adhesi Intra abdominal . Pembentukan adhesi intra abdominal dan reformasi setelah tindakan pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang signifikan (Van goor.,2007). Dalam suatu studi baru-baru ini, didapatkan bahwa fenomena ini terjadi pada 33% pasien yang dahulunya pernah dilakukan tindakan pembedahan kembali masuk rumah sakit sedikitnya dua kali akibat dari komplikasi yang berhubungan dengan tindakan pembedahan sebelumnya. Adhesi congenital atau yang disebabkan oleh peradangan sangat jarang berkembang menjadi suatu obstruksi. Adhesi yang disebabkan pasca pembedahan terhitung sebesar 40% dari seluruh kasus obstruksi intestinal dan 60-70% kasus yang berhubungan dengan oobstruksi usus halus (Tulandi, 2006; Menzies, 2003).

Adanya adhesi pada saat pembedahan dapat mengakibatkan memanjangnya waktu pembedahan dan peningkatan komplikasi intraoperatif, termasuk kerusakan pada usus, kandung kemih, ureter, dan perdarahan. Penyebab lain terjadinya adhesi termasuk peritonitis bacterial, radiotherapy, peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, reaksi akibat benda asing, endometriosis, dan penyakit radang panggul.

Adhesi yang terjadi pada daerah pelvis dapat menyebabkan infertilitas dan nyeri (Rosenthal et al., 2004; Stout et al., 2005). Adhesi dapat menyebabkan infertilitas oleh karena dapat menyebabkan sumbatan secara mekanis pada tuba falopii sehingga mencegah pengambilan oocyte. Beberapa studi telah melaporkan efek menguntungkan dari salpingo-ovariolysis pada tingkat konsepsi (Tulandi et

(2)

al., 2000; Saravelos et al., 2005a). Distorsi dari anatomi pelvis yang disebabkan oleh adhesi dapat mempersulit interpretasi ultrasonograpfi dari panggul menjadi sulit. Untuk suatu prosedur invasive seperti pengambilan oocyte untuk IVF, akses terhadap ovarium menjadi sulit karena perubahan dalam anatomi panggul yang disebabkan perlekatan pada panggul. Nyeri panggul unilateral biasanya terkait dengan adhesi pada sisi yang sama sebagai gejala (Stout et al., 2005). Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pembagian adhesi pada bedah berguna dalam pengobatan nyeri panggul kronis (Sutton dan Mac Donald, 2000; Steege dan Stout, 2005; Mueller et al., 2005.; Saravelos et al., 2005b). Suatu randomized control trial dari adhesiolisis dengan cara laparotomi dibandingkan dengan tidak dilakukan tindakan pembedahan, bagaimanapun juga tidak menunjukkan perbedaan tingkat nyeri yang dirasakan 9 sampai dengan 12 bulan pasca pembedahan (Peters et al.,2002). Hasil ini tidaklah mengejutkan karena tindakan laprotomi diketahui dapat menyebabkan lebih banyak adhesi pasca pembedahan apabila dibandingkan dengan tindakan laparoscopy (Luciano et al., 2009; Lundorff et al., 2011). Sampai saat ini, tidak ada penelitian secara acak yang telah diterbitkan yang meneliti keuntungan adhesiolysis dengan cara laparoscopy pada nyeri panggul. Saat ini, tidak ada metode ideal untuk mencegah pembentukan adhesi atau reformasi. Dalam hal teknik pembedahan, penanganan jaringan secara gentle/lembut, teknik no-touch, hemostasis yang baik dan teliti, irigasi yang banyak, pencegahan infeksi, menghindari sarung tangan yang mengandung serbuk yang dapat membangkitkan respon benda asing di peritoneum dan pencegahan cedera termal yang luas digambarkan sebagai sarana pencegahan adhesi. Beberapa adjuvant untuk mencegah adhesi pasca pembedahan telah dievaluasi.

(3)

Termasuk zat yang mencegah inflamasi seperti obat anti inflamasi baik steroid maupun non steroid, zat yang mendegradasi fibrin seperti activator jaringan plasminogen rekombinan dan metode barrier atau penghalang termasuk seperti pemberian material yang tidak diserap/gel intraperitoneal untuk mencegah permukaan peritoneal melekat satu sama lain (Dizerega, 2009). Dua buah pelindung sintetis yang secara komersial dapat diberikan untuk pencegahan adhesi, masing-masing diberi nama, selulosa teroksidasi yang teregenerasi (intercede) dan polytetrafluoroethylene (PTFC), keduanya telah terbukti dan aman untuk mencegah insiden adhesi pasca pembedahan (Fraquhar et al.,2000). Interceed (TC-7) Pelindung adhesi yang dapat diabsorbsi (ethicon inc., Somerville, NJ, USA) TC-7 adalah zat yang dapat diabsorbsi dan dapat dipotong sesuai dengan kebutuhan untuk melapisi lapangan pembedahan tanpa memerlukan penjahitan. Interceed ini harus diletakkan pada area jaringan yang memerlukan setelah hemostasis yang adekuat tercapai. Pelindung lain yang secara komersil dapat digunakan yaitu Gore-Tex (WL Gore& associate, inc, Flagstaff, AZ, USA) dimana bahan ini tidak dapat diserap, dan memerlukan penjahitan, dan memiliki kerugian yaitu harus dibersihkan selama prosedur operasi selanjutnya. Meskipun meta-analisis menunjukkan bahwa pencegah adhesi ini mampu mengurangi adhesi setelah operasi, kedua bahan ini melakukan tidak sepenuhnya menghilangkan pembentukan dan reformasi adhesi dari semua pasien. Produk baru lainnya seperti Sepra lm ® (Hal-F, Bioresorbable Membran; Genzyme Kerjasama, Cambridge, MA, USA), Sepracoat (HAL-C; Genzyme Corporation), Intergel (Ethicon, Inc) dan Icodextrin solusi (ML Laboratories, Plc, Leicester, Inggris) masih dievaluasi pada saat ini. Pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis

(4)

pembentukan adhesi / reformasi pada tingkat seluler dan molekuler pasti akan membantu untuk mengembangkan strategi pengobatan yang lebih efektif. Pada bagian berikutnya, kita meninjau peristiwa seluler yang terlibat dalam penyembuhan peritoneal dan relevansinya dengan patogenesis pembentukan adhesi / reformasi.

2.2 Peritoneum

Membran serosa dari peritoneal, pleural dan perikardial rongga merupakan turunan embriologis yang sama dan dilapisi oleh lapisan sel mesothelial. Sel-sel mesothelial berikatan ke membran basalis. Lapisan submesothelial terdiri atas Extracelluler Matrix(ECM) yang terdiri dari berbagai jenis kolagen, glikoprotein (yaitu laminin dan fibronectin), glycosami- noglycans dan proteoglikan. Struktur pembuluh darah dan limfatik ditemukan di ruang subserosa. Difusi dan resorpsi cairan terjadi secara bebas melalui mesothelium dan stroma submesothelial. Sel mesothelial yang longgar melekat pada membran basalis dan dapat dengan mudah terpisah oleh trauma yang minimal (Raftery, 2003). Mereka memiliki mikrovili. Inti dari sel mesothelial sangat besar dan menonjol, menempati sebagian besar sitoplasma. Mereka memiliki pemerataan kromatin, kecuali pada pinggiran di mana bentuk kromatin sempit, band padat pada bagian dalam dari membran nuclear. Sel-sel mesothelial mensekresi interleukin (IL)-1, 6 dan 8 (Douvdevani et al., 2004.; Bachus et al., 2005.; Offner et al., 2006.; ARICI et al., 2006), tumor necrosis factor (TNF)-a (Bachus et al., 2005) dan transforming growth factor (TGF)-b (Offner et al., 2006) ketika dirangsang secara in vitro. Sel-sel mesothelial dapat berkontribusi pada proses fibrinolytic dengan mengeluarkan aktivator jaringan plasminogen (Berborowicz et al., 2007) dan plasminogen activator

(5)

inhibitor (PAI) (van Hinsburgh et al., 2000;Sitter et al., 2005; Berborowicz et al., 2007). Ekspresi intraseluler adhesi molekul-1 (ICAM-1) oleh sel-sel mesothelial ketika dirangsang in vitro telah dijelaskan (Liberek et al., 1996). Asam Hyaluronic (Yung et al., 2006) dan prostaglandin (Topley et al., 2004) juga dapat disintesis oleh sel-sel mesothelial in vitro.

2.3 Cairan Peritoneum

Peritoneum secara konstan mengalami kontak dengan cairan peritoneum. Cairan ini memfasilitasi fungsi normal dari saluran pencernaan, kandung kemih, dan pada organ wanita, memiliki peran penting pada motilitas tuba falopi dan pengambilan oocyte. Cairan peritoneum ini mengalami sirkulasi dalam rongga abdomen secara kontinyu, melalui system limfatik, bersama dengan cairan pleura pada rongga thorax dan system vaskuler. Molekul bisa masuk atau keluar dari rongga peritoneum oleh transudasi, eksudasi dan difasilitasi transportasi atau melalui sistem limfatik. Sangat mungkin bahwa aktivitas mediator seluler pada cairan peritoneum berperan aktif dalam penyembuhan peritoneum. Mediator seluler ini dihasilkan oleh komponen seluler dari cairan peritoneum seperti makrofag serta sel mesothelial. Dikarenakan sifat cairan peritoneum yang mobile, cairan peritoneum ini dapat memodulasi respon inflamasi pada permukaan yang luas.

Konsentrasi estrogen dan progesteron pada cairan peritoneum lebih tinggi pada fase luteal dibandingkan dengan fase folikuler ( Padilla et al.,2006). Wanita yang mengkonsumsi pil kontrasepsi dan wanita yang telah mengalami fase menopause memiliki volume cairan peritoneal yang lebih rendah. (4,2±2,3ml) dibandingkan dengan wanita yang mengalami siklus menstruasi yang regular. Cairan

(6)

peritoneum meningkat secara progresif pada saat fase folikuler, dan tertinggi saat fase luteal (20 ±6,3ml), dan menurun setelahnya. (Koninckx et al.,2000). Adanya patologi pada panggul seperti endometriosis, volume cairan peritoneum meningkat secara signifikan pada seluruh siklus menstruasi (Drake et al.,2010). Baru-baru ini, didapatkan bahwa inhibin A, suatu protein dimeric yang memodulasi produksi steriodogenesis pada ovarium dan produksi folicel stimulating hormon (FSH), meningkat secara signifikan pada fase luteal dibandingkan dengan fase folikuler. (Florio et al., 2008). Kandungan fibrinolitik pada cairan peritoneum juga bervariasi pada siklus menstruasi. Pada saat fase luteal, plasminogen dan PAI pada cairan peritoneum meningkat secara signifikan dibandingkan fase folikuler (Boukaert et al, 2004;. Padilla et al, 2006;. Dorr et al.,2003). Cairan peritoneum mengandung sejumlah besar leukosit dan sejumlah kecil makrofag, eosinofil dan basofil (Haney, 2009). Namun, populasi seluler di cairan peritoneum bisa bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan peritoneum. Pada awal fase folikuler, jumlah leukosit pada cairan peritoneum mengalami peningkatan. Pada kondisi patologis seperti endometriosis, jumlah makrofag pada cairan peritoneum mengalami peningkatan (Syrop and Halme, 2007). Pada keadaan infeksi, jumlah makrofag sangat meningkat ( Olive et al., 2007). Pada panggul wanita yang normal, volume dan komposisi dari cairan peritoneum sangat bergantung terhadap siklus menstruasi dan karena proses ovulasi. Selain itu kandungan cairan peritoneum dan jumlahnya dapat berubah dengan adanya kelainan pada panggul. Untuk mendalami pemahaman tentang peran komponen seluler dan sitokin dalam pembentukan adhesi / reformasi, sangatlah penting untuk menjaga mediator ini meningkat secara normal pada saat

(7)

siklus menstruasi, sebelum perbandingan dapat dibuat dengan studi status patologi dan penilaian pada individu yang beresiko mengalami pembentuan adhesi/ reformasi.

2.4 Komponen Seluler Penyembuhan Peritoneum.

Leukosit peritoneum, sel mesothel dan makrofag merupakan komponen seluler penting dalam penyembuhan peritoneum. Penyembuhan peritoneum dikarakteristikan dengan infiltrasi seluler dan respon pertumbuhan dengan sel mesothel pada daerah yang rusak. Sebagai respon terhadap kerusakan awal, sel pada peritoneum seperti makrofag dan sel mesothel menghasilkan mediator seluler, yang berfungsi memodulasi dan mengatur respon berikutnya dari sel lain yang termasuk dalam respon inflamasi. Mekanisme dari infiltrasi sel sebagai respon terhadap inflamasi sebagai berikut (Dizerega, 2010): Sel paling awal yang muncul pada peritoneum yang mengalami cedera sebagian besar merupakan polymorphonuclear neutrophils (PMN), yang menetap selama 1-2 hari. Hal ini diikuti dengan masuknya monosit yang kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan menempel pada permukaan luka. Pada hari ke-3, sel mesothel mulai melapisi makrofag peritoneum pada permukaan luka dan makrofag ini tertanam lebih dalam pada luka (Raftery, 2003; Haney, 2000). Pada hari ke 4-7, sel yang dominan pada permukaan peritoneum adalah sel mesothel. Setelah hari ke-5 pasca pembedahan, tipe sel yang terdapat pada cairan peritoneum adalah makrofag. Sel mesothel ini kemudian berproliferasi melalui dasar luka dan membentuk beberapa pulau sel. Pertemuan dari pulau-pulau sel ini memungkinkan luka yang besar untuk sembuh dengan waktu yang sama dengan luka yang kecil. Bentuk penyembuhan luka ini sangatlah berbeda dengan

(8)

penyembuhan pada kulit dimana penyembuhan dimulai dari tepi luka, sehingga luka yang lebih besar memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh.

2.5 Cedera Jaringan dan Pembentukan Jaringan Ikat Fibrin.

Telah dikemukakan bahwa kerusakan peritoneum berujung kepada iskemia, baik oleh karena tidak adekuatnya pertumbuhan pembuluh darah ke dalam dasar luka, apabila pertumbuhan ke dalam tersebut tidak adekuat, iskemia terjadi oleh karena tidak adekuatnya aliran darah dari pembuluh darah ( Raftery, 2003). Jaringan ikat adhesi cenderung terjadi setelah pembedahan dimana terjadi kontak antara permukaan peritoneum yang terluka (Haney dan Doty, 2004). Setelah terjadi cedera pada peritoneum, terjadi peningkatan permeabilitas pada pembuluh darah yang mensuplai daerah yang mengalami cedera, diikuti dengan eksudasi dari sel inflamasi, pada akhirnya mengarah pada pembentukan fibrin matriks. Fibrin matriks ini secara bertahap terorganisir dan digantikan oleh jaringan yang mengandung fibroblast, makrofag dan giant sel. Fibrin matriks ini menghubungkan dua permukaan peritoneum yang cedera membentuk jaringan ikat fibrin. Jaringan ikat fibrin ini dapat dipecah oleh fibrinolisis menjadi molekul yang lebih kecil seperti fibrin degradation product (FDP). Dalam kondisi penyembuhan peritoneum yang menyimpang, iskemia merupakan akibat dari penurunan dari aktifitas fibrinolitik dan menyebabkan menetapnya jaringan ikat fibrin tersebut. Jaringan adhesi merupakan gabungan dari makrofag, eosinofil, sel darah merah, debris jaringan, sel mast dan fibroblast. Populasi sel berubah sesuai dengan maturitas jaringan adhesi, dengan tipe sel awal pada hari 1-3 terutama PMN dan pada hari ke 5-7 terutama fibroblast (Milligan dan Raftery, 2004). Jaringan adhesi juga mengandung serabut saraf (Kligman et al., 2003;Tulandi et

(9)

al., 2008) dan pembuluh darah kecil yang menghubungkan sel endothelial (Milligan dan Raftery, 2004).

2.6 Sistem Fibrinolitik

Peran fibrinolisis dalam pembentukan adhesi adalah dengan memecah bekuan fibrin yang terbentuk pada saat proses penyembuhan. Prekursor zymogen, yaitu plasminogen, diubah menjadi plasmin oleh aksi dari plasminogen activator (PA), yang dinamakan tissue plasminogen activator (tPA) dan urokinase-like plasminogen activator (uPA). Plasminogen activator merupakan proteinase serine, yang merupakan bagian dari keluarga endoproteinase. Endoproteinase lainnya termasuk cystein proteinase, aspartyl proteinase dan metalloproteinase. Plasmin dapat diproduksi oleh makrofag atau sel mesothel melapisi rongga peritoneum ((Jones dan Werb, 2000; van de Poll et al., 2001). Peran utama plasmin adalah untuk degradasi fibrin. Untuk membalikkan proses ini, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan PAI-2, keduanya merupakan suatu glycoprotein, menghambat tPA dan uPA ke derajat yang berbeda, sehingga memberikan kontribusi dalam interaksi aktif antara aktivator dan inhibitor dari sistem ini. Pada proses patologi dari pembentukan adhesi, proses fibrinolitik ini

terhambat, menyebabkan pembentukan dan menetapnya adhesi. Porter et al., (2006) pertama kali mendeskripsikan adanya aktifitas plasminogen

activator pada peritoneum manusia, kemudian bekerja secara lokal berupa aktivitas plasminogen-activating pada mesothelium (Raftery, 2009). Aktifitas fibrinolitik juga telah terdeteksi pada cairan peritoneum (Pattinson et al., 2011; Batzofin et al.,2005) pada contoh manusia dan hewan. Aktifitas PAI telah teridentifikasi pada sel peritoneum manusia normal. (Holmdahl et al., 2007). Pada

(10)

jaringan peritoneum yang mengalami inflamasi, aktivitas dari plasminogen activator pada peritoneum berkurang secara signifikan. (Porter et al., 1999; Hau et al, 2009.; Raftery, 2011; Thompson et al, 2009.; Holmdahl et al., 2009), oleh karena peningkatan konsentrasi PAI (Vipond et al, 2009; Holmdahl et al, 2009). Holmdahl et al., (2007) memperoleh sampel jaringan peritoneum selama laparotomi dari pasien dengan dan tanpa peritonitis. Mereka mengerjakan imunohistokimia untuk menentukan ekspresi dari protein PA dan PAI pada dua lapisan berbeda (mesothelium dan submesothelium) dari peritoneum. Pada lapisan mesothelium normal, terdapat adanya protein tPA, uPA, dan PAI-1, dibandingkan dengan lapisan submesothelial dimana hanya terdapat protein PAI-1 dan uPA tanpa adanya tPA. Pada peritoneum yang mengalami inflamasi, ekspresi tPA pada mesothelium mengalami penurunan, dimana ekspresi dari PAI-1 pada lapisan submesothelium mengalami peningkatan. Ekspresi dari tPA pada mesothelium bukan pada submesothelium menyiratkan bahwa tPA memiliki peran dalam pembersihan fibrin dalam rongga peritoneum berjalan dengan baik. Penulis selanjutnya menyimpulkan bahwa, cedera pada mesothelium oleh karena pembedahan atau trauma mungkin menghilangkan sumber tPA dan mengekspose PAI-1, hal ini menyebabkan terdekteksinya peningkatan PAI-1 pada contoh jaringan peritoneum yang diambil. Biopsi jaringan adhesi dan jaringan peritoneum dari pasien yang telah menjalani pembedahan laparotomi telah dilakukan (Ivarsson et al., 2008). Pasien-pasien ini memiliki berbagai derajat adhesi dan keparahan perlengketan yang dinilai selama pembedahan. Dibandingkan dengan individu yang membentuk adhesi ringan atau sedang, individu yang membentuk adhesi berat memiliki overekspresi dari PAI-1 dan mengalami penurunan aktivitas

(11)

tPA, tidak hanya terdapat pada jaringan adhesi, tetapi yang lebih penting, juga di jaringan peritoneum berdekatan dengan area yang mengalami adhesi. Penemuan ini menyarankan bahwa jaringan adhesi pasca-operasi memiliki penurunan kemampuan untuk mendegradasi fibrin. Mereka juga menyimpulkan bahwa individu yang mengalami over ekspresi PAI-1 pada peritoneum memiliki resiko yang lebih tinggi untuk pembentukan adhesi/reformasi. Penelitian lainnya juga berkorelasi positif dengan tingkat keparahan pembentukan adhesi terhadap penurunan aktivitas fibrinolitik pada peritoneum (Buckman et al, 2006;. Raftery, 2001a;. Vipond et al, 2004a). Dengan adanya perlengketan, aktivitas fibrinolitik pada mesothelium berkurang, namun data pada aktivitas fibrinolitik pada cairan peritoneal masih terdapat konflik; beberapa melaporkan penurunan pada aktivitas PA dengan perlengketan pada endometriosis (Otsuka, 2000; Malick, 2002), beberapa melaporkan tidak ada perbedaan dalam aktivitas PA atau inhibitornya,yaitu PAI (Pattinson et al, 2001; Batzo ® n et al, 2005), dan yang lain mengalami peningkatan aktivitas PA (Edelstam et al., 2008). Sistem fibrinolytic jelas memainkan peran signifikan dalam pembentukan adhesi / reformasi. Ada juga interaksi antara system fibrinolitik dan proteinase lain, khususnya matrixmetaloproteinase (MMP) dan inhibitor mereka: tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP). MMP dan TIMP adalah kedua hal penting yang berperan dalam remodelling ECM .

2.7 Protease dan Inhibitor Protease.

MMP adalah keluarga enzim yang dapat mendegradasi berbagai komponen ECM, mereka membutuhkan seng untuk mengkatalitik dan tindakan mereka dihambat oleh inhibitor jaringan yang disebut TIMP. Lebih dari 17 MMP

(12)

berbeda yang telah diketahui. Lima kelompok MMP memiliki peran diakui dalam penyembuhan luka : kolagenase (MMP-1, - 8 dan - 13), gelatinase (MMP-2 dan - 9), stromelysin (MMP-3, - 7, - 10 dan - 11), jenis membrane metaloproteinase (MMP-14 - 17) dan matriks metalloproteinase lainnya. Secara kolektif, MMP adalah mampu menurunkan semua komponen ECM. Sampai saat ini, empat TIMP telah ditandai; TIMP-1 dan TIMP-4. Konsentrasi relative MMP dan TIMP dan proteolitik yang dihasilkan sangatlah penting dalam berbagai kondisi baik normal maupun kondisi patologis. MMP berperan dalam proses reproduksi termasuk menstruasi, ovulasi, implantasi dan rahim, payudara dan involusi prostat (Hulboy et al., 2007). Pentingnya proteinase ini dan inhibitor mereka juga telah dijelaskan dengan baik di proses penyembuhan luka (Saarialho-Kere et al., 2003; Cooper et al., 2004.; Bullen et al., 2005; Wlaschek et al., 2007.; Yager et al., 2007). MMP yang menyimpang dan ekspresi TIMP telah dikaitkan dengan berbagai kondisi ginekologi termasuk endometriosis (Sharpe-Timms et al, 2008a;.. Carolien et al., 2000), dan pembentukan adhesi / reformasi (Chegini et al., 1998; Sharpe-Timms et al., 1998b). Sel mesothel kurang mengekspresikan MMP-1, MMP-3 dan tingkat TIMP pada mitokcondria rebo nuclease acid (mRNA) dibandingkan dengan makrofag (Chunfeng et al., 1999). Manipulasi pembedahan mengakibatkan pembentukan adhesi telah terbukti mengubah keseimbangan kedua PA / PAI dan MMP / TIMP dalam cairan peritoneum (Sharpe-Timms et al., 1998b). Pemberian gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis sebelum pembedahan telah terbukti mengurangi pembentukan adhesi setelah operasi (Wright dan Sharpe-Timms, 2005) dan ini berhubungan dengan penurunan PA dan aktivitas MMP dan peningkatan aktivitas PAI dan TIMP pada cairan

(13)

peritoneum. Perubahan dalam keseimbangan PA / PAI dan Sistem MMP / TIMP ini mengendalikan untuk mendorong pergeseran ke fenotip kurang invasif yang menghambat fibrinolysis dan remodelling ECM, Hal ini terhitung sebagai mekanisme yang mungkin untuk mengurangi pembentukan adhesi setelah tindakan pembedahan setelah pemberian terapi GnRH agonis.

2.8 Peran Transforming Growth Factor-β (TGF)-β

Dalam penyembuhan peritoneum dan pembentukan adhesi, TGF-β laten diaktifkan oleh plasmin (Sato dan Rifkin, 2009). Dalam bentuk aktifnya, TGF-β tidak hanya berinteraksi dengan sistem fibrinolytic dan ECM tetapi juga dengan banyak mediator seluler lain yang terlibat dalam proses pembentukan adhesi. Hal ini biasanya ditemukan pada trombosit, makrofag dan cairan luka (Assoian et al., 2003; Cromack et al., 2007). Ini merupakan faktor kunci dalam penyembuhan luka yang normal dan juga merupakan inducer kuat dari jaringan fibrosis pada penyembuhan luka peritoneum (Border dan Noble, 2004). Selama fase akut dari respon inflamasi, makrofag peritoneum dan/atau sel mesothelieum menghasilkan TGF-β ( Offner et al., 2006). Hal ini memberikan kontribusi terhadap sintesis dari ECM dengan menstimulasi produksi sel fibroblastic dari kolagen dan fibronectin. (Ignotz dan Massaque, 2006).TGF-β berlebih oleh peritoneum parietal dan permukaan serosal organ panggul serta peningkatan konsentrasi TGF-β pada cairan peritoneum telah terkait dengan peningkatan insiden pembentukan adhesi dalam manusia dan hewan (Williams et al., 2002; Chegini et al. 1999). Menggunakan pewarnaan immunohistokimia, Chegini et al. (2004) menunjukkan adanya berbagai macam isoform TGF-β yang terdapat pada tikus yang diinduksi pembentukan jaringan adhesi melalui pembedahan. Selain

(14)

itu tikus yang diberikan intraperitoneal TGF-β sehari selama 5 hari mengalami pembentukan adhesi lebih besar daripada kelompok kontrol. (Chegini, 2007). Dalam model in-vitro, menggunakan sel/ bekuan fibrin, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan TGF-β dan penurunan PAI-1 mRNA dan penurunan ekspresi mRNA tPA dalam sel mesothelial (Tietze et al., 2008), mengakibatkan penurunan aktivitas fibrinolitik. Pemberian TGF-β pada sel mesothelial manusia menurunkan MMP-1 namun meningkat ekspresi mRNA TIMP-1 in vitro (Chunfeng et al., 1999). Namun, rendahnya produksi TGF-β in vivo dikaitkan dengan peningkatan pembentukan adhesi pada tikus transgenik yang membawa heterozigot TGF-β alel dibandingkan dengan kontrol homozigot (Krause et al., 1999). Literatur menunjukkan bahwa TGF- β dapat mengatur MMP dan TIMP, PAI dan PA ditingkat transkripsi dan bahwa hal itu dapat meningkatkan produksi ECM. Oleh karena itu TGF- β memiliki pengaruh besar terhadap outcome dari penyembuhan peritoneum dan pembentukan adhesi.

2.9 Molekul Adhesi dan Mediator Seluler Chemotactic.

Sel mesothel yang melapisi rongga peritoneum berperan penting dalam proses pembentukan adhesi melalui ekspresi cell adhesion molecule (CAM) dan produksi chemotactic cytokines.Cell adhesion molecule berperan dalam respon inflamasi. Selectin, integrin dan immunoglobulin (Ig) keluarga gen reseptor adhesi selektif diekspresikan oleh sel jaringan dan dapat membantu untuk memediasi langkah-langkah yang berbeda dari perlekatan leukosit dan migrasinya ke dalam focus inflamasi.

(15)

2.9.1 Cell adhesion molecule

Sel mesothel mengekspresikan molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular adhesion molecule-1 (VCAM-1) (Liberek et al., 2006). Kelompok integrin dari reseptor adhesi juga penting dalam proses pembentukan adhesi. Pada orang dewasa, berbagai jenis sel diekspresikan reseptor adhesi integrin (Damjanovich et al., 2002). Integrin berinteraksi dengan protein terutama melalui urutan tripeptide Arg-Gly-Asp (RAK). Urutan tripeptide ini berfungsi sebagai inti sel pengikat urutan di banyak protein dan sel termasuk fibrobronectin, reseptor platelet glikoprotein IIb / IIIa, laminin dan leukosit (kelompok reseptor antigen leukosit). Pengaktifan molekul reseptor adhesi integrin juga memiliki efek mendalam pada ekspresi genetik dari MMP dan berbagai sitokin (Werb et al., 2009; Miyakes et al., 2009). Integrin selanjutnya dapat meningkatkan proses pembentukan adhesi dengan cara: (i) mengaktifkan agregasi platelet, proses koagulasi dan deposisi fibrin; (ii) mempercepat dalam proses inflamasi; dan (iii) meningkatkan perlekatan sel mesothel ke fibrin dan ECM.

2.9.2 Chemotactic cytokines

Sel mesothelial juga mensekresi Chemotactic Cytokines, seperti IL-8, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) dan Regulated on Activation and Normally T cell Expressed and presumably Secreted, untuk membuat gradien kimia untuk merekrut lebih banyak sel-sel inflamasi. (Zeillemakerm et al., 2005; Fear et al, 2007). Interleukin-8, sebuah chemoattractant ampuh yang meningkat dalam cairan peritoneum pada kasus endometriosis (Arici et al., 2006). Konsentrasi IL-8 lebih tinggi pada awal (tahap 1) penyakit dibandingkan dengan

(16)

stadium akhir endometriosis (Gazvani et al., 2008), meskipun adhesi umumnya lebih parah pada tahap akhir dari penyakit ini. Hal ini dapat dijelaskan pada fakta bahwa peran IL-8 adalah merekrut sel-sel dan dengan demikian berperan lebih penting pada fase awal daripada fase selanjutnya dalam respon inflamasi. Sel mesothelial mampu mengendalikan fenotip perekrutan leukosit dengan meningkatkan regulasi sekresi sitokin chemotactic dan ekspresi molekul adhesi pada permukaannya, (Robson et al., 2007).

2.10 Pro-dan Anti-Inflammatory Cytokines(TNF-α, IL-1, - 6, - 8 dan 10 dan IFN-γ)

Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa ada perubahan profil sitokin dalam cairan peritoneum pada terbentuknya adhesi. Dalam rangka untuk lebih tepat menggambarkan peran sitokin dalam proses pembentukan adhesi, penting untuk mempertimbangkan perubahan profil sitokin dalam kondisi-kondisi berikut: (i) dalam inflamasi akut, kondisi yang dapat mempengaruhi pembentukan adhesi; (ii) selama proses pembentukan adhesi; dan (iii) adhesi yang sudah pernah terbentuk beberapa waktu lalu.

2.10.1 Inflamasi akut

Dalam inflamasi akut, cairan peritoneum menunjukkan peningkatan konsentrasi sitokin pro-inflamasi IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Brauner et al, 2003, 2006; Zemel et al, 2006). Inflamasi akut di peritoneum diikuti banyaknya sel yang masuk, terutama makrofag, melalui mekanisme kemotaktik. IL-1 dan TNF-α, keduanya merupakan sitokin pro-inflamasi yang penting pada fase awal penyembuhan luka (Lowry, 2003), dan diproduksi oleh makrofag yang teraktivasi dalam ucairan peritoneum (Halme, 1996;. Mori et al., 2001). IL-6 diekspresikan

(17)

oleh makrofag dan produksinya ditingkatkan oleh IL-1 selama dalam proses inflamasi (Hirano, 1998). Keduanya, IL 1 dan TNF-α adalah induser ampuh dari IL-6 (Bauer et al., 1988). Telah diketahui bahwa TNF-α, IL-1 dan IL-6 berinteraksi dengan sistem fibrinolisis; yang merupakan komponen penting terakhir dari proses pembentukan adhesi. Plasmin telah terbukti memobilisasi dan melepaskan TNF-α, IL-1 dan IL-6 (Whawell et al., 2004.; Ivarsson et al., 2008). TNF-α dan IL-1b pada gilirannya dapat menurunkan regulasi dari ekspresi tPA baik di protein dan tingkat mRNA (Sitter et al., 2006.; Tietze et al., 2008), sehingga membantu regulasi dalam proses inflamasi dan memperluas juga memperparah pembentukan adhesi dan reformasi selanjutnya. Namun, tidak ada studi yang berusaha mengkorelasikan perubahan profil sitokin ini dengan luas dan parahnya pembentukan adhesi / reformasi

2.10.2 Infeksi kronis

Dibandingkan dengan pasien yang tanpa adhesi, profil sitokin yang berubah ditemukan pada pasien, dengan perlengketan yang sudah ada selama operasi hal ini bisa menjadi konsekuensi dari adanya adhesi, atau bisa mewakili suatu keadaan lingkungan yang berubah yang merupakan predisposisi terbentuknya adhesi dalam kejadian pertama kali. Meskipun terdapat kesulitan dalam menginterpretasi profil sitokin yang berubah, terdapat adanya kontroversi yang signifikan mengenai konsentrasi sitokin dalam cairan peritoneum pada subjek dengan adhesi. Meskipun beberapa studi menunjukkan peningkatan konsentrasi TNF-α dalam serum (Saba et al., 2008) dan cairan peritoneum (Guerra-Infante et al., 2009) pasien dengan adhesi selama operasi, yang lain tidak (Mori et al, 2001.; Chegini et al., 2009). Demikian pula, meskipun pemberian

(18)

IL-1 ke dalam rongga peritoneum tikus percobaan telah terbukti berkontribusi terhadap pembentukan adhesi (Hershlag et al., 2001), konsentrasi IL-1 dalam cairan peritoneum pasien dengan adhesi tidak meningkat (Mori et al, 2001;. Chegini et al., 2009). Kemungkinan alasan untuk perbedaan akan lebih dibahas kemudian. Interleukin-6 secara konsisten telah dilaporkan menjadi adhesiogenic. Interleukin-6 di dalam rongga peritoneum tikus juga ditemukan untuk meningkatkan pembentukan adhesi secara signifikan (Saba et al., 2006). Demikian pula, peningkatan konsentrasi IL-6 telah ditemukan berkorelasi dengan terbetuknya adhesi pelvis non-endometriosis (Buyalos et al., 2002). Adapun sitokin anti-inflamasi, konsentrasi yang rendah dari IL-10 dan INF-γ dilaporkan dalam cairan peritoneum pasien dengan adhesi atau endometriosis (Chegini et al., 1999), pada tikus, cairan peritoneum pasca operasi mengandung konsentrasi IL-10 yang rendah (Holschneider et al., 2002). Kadar dari IL-10 pada peritoneum juga telah ditujukan untuk mengurangi adhesi pada tikus (Holschneider et al., 2002). Tidak satu pun dari studi di atas menunjukkan sumber sitokin yang sebenarnya, yang dapat berasal dari dalam sel-sel inflamasi seperti makrofag, sel-sel mesothelial, organ panggul lainnya seperti uterus dan ovarium.

Konsentrasi setiap zat, termasuk sitokin, dalam cairan peritoneum dipengaruhi oleh tingkat produksi, dan degradasi, serta pengenceran. Dengan demikian konsentrasi mediator seluler dalam cairan peritoneum akan dipengaruhi oleh jumlah cairan yang hadir. Untuk menganalisis data sitokin dalam cara yang berarti, volume cairan yang hadir dalam rongga peritoneum seharusnya diukur sehingga dampak pengenceran dapat dievaluasi. Sayangnya, tidak ada studi biokimia peritoneum dan sitokin yang memperhitungkan pentingnya volume

(19)

cairan peritoneum dalam hasil mereka. Tentu saja ada banyak faktor yang berpotensi dalam mempengaruhi cairan peritoneum, misalnya, ovulasi dapat melepaskan 5ml cairan folikel ke dalam rongga peritoneum. Volume cairan peritoneum umumnya kecil, dan dengan demikian dampak pada hasil mungkin akan signifikan. Selain cairan yang dilepaskan selama ovulasi, ada beberapa sumber potensial lainnya dari cairan peritoneum, termasuk transudasi atau eksudasi langsung melalui membran peritoneum dan sekresi dari rongga endometrium dan tuba fallopi. Tidak diketahui apakah sekresi dari rongga endometrium dan saluran telur ke dalam rongga dipengaruhi oleh hormone steroid dan mengikuti pola siklus. Variasi volume cairan peritoneum selama siklus berarti bahwa waktu dari pengumpulan cairan dalam kaitannya dengan peristiwa fisiologis adalah sangat penting. Dalam kasus pembentukan adhesi / reformasi, waktu yang paling penting dari jaringan yang cedera untuk mengumpulkan cairan adalah dalam 7 hari, ketika proses deposisi fibrin dan resorpsi (fibrinolisis) secara aktif berlangsung. Pengumpulan satu contoh cairan peritoneum dari individu dengan adhesi intra-abdominal memberikan sedikit informasi tentang proses pembentukan adhesi yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Bahkan jika konsentrasi sitokin cairan peritoneum pada pasien dengan adhesi secara signifikan berbeda dari yang kontrol, kita tidak tahu apakah itu adalah penyebab atau efek dari proses penyakit. Sementara ada beberapa penelitian pada hewan yang telah meneliti konsentrasi sitokin cairan peritoneum dalam waktu seminggu setelah tindakan pembedahan, tidak ada studi prospektif manusia dalam hubungan antara konsentrasi sitokin cairan peritoneum dan pembentukan adhesi/reformasi berikutnya. Selain itu, proses pembentukan adhesi dan reformasi adalah dinamis,

(20)

pengukuran serial konsentrasi sitokin dalam cairan peritoneum selama proses pembentukan adhesi lebih mungkin untuk memberikan informasi penting fisiologis daripada pengukuran tunggal. Studi pada pembentukan adhesi dan reformasi pada manusia perlu untuk mempertimbangkan sifat heterogen adhesi. Sebagai contoh, masih belum jelas apakah adhesi dari operasi sebelumnya berbeda dari yang terkait dengan infeksi panggul atau endometriosis. Berbeda dengan adhesi pasca bedah yang sering dianggap menjadi non-progresif, endometriosis telah dianggap sebagai penyakit yang progresif (Leyendecker et al., 2008). Analog GnRH yang menekan deposit endometriosis, diharapkan dapat mengurangi pembentukan adhesi yang terkait dengan endometriosis. Menariknya, menggunakan model tikus, Sharpe-Timms et al. (2008), menunjukkan bahwa pengobatan dengan analog GnRH menyebabkan penurunan yang sama dalam pembentukan adhesi pada tikus dengan adhesi pasca operasi serta tikus dengan endometriosis dengan mengubah keseimbangan dari PA/PAI dan sistem MMP/TIMP. Penting untuk menguji kelompok tersebut secara terpisah, sampai kita memahami patogenesis adhesi di kedua penyakit tersebut lebih lanjut.Selain itu, proses pengumpulan aktual dan tes yang digunakan untuk analisis cairan peritoneum berbeda antara peneliti. Akhirnya, sebagian besar studi yang dilaporkan pada manusia adalah dari ukuran sampel yang kecil, umumnya kurang dari subyek. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa ada banyak kontroversi dalam literatur mengenai konsentrasi sitokin dalam cairan peritoneum dan hubungannya dengan pembentukan adhesi / reformasi. Penelitian selanjutnya pada biokimia cairan peritoneum harus mempertimbangkan sumber potensial dari variabilitas / eror yang telah disebutkan di atas.

(21)

2.11 Pencegahan Pembentukan Adhesi / Reformasi : Pendekatan seluler Peningkatan pemahaman mekanisme seluler pembentukan adhesi dan reformasi harus mengarah pada peningkatan pencegahan yang berarti. Dalam model hewan, pembentukan adhesi dapat dikurangi dengan tiga strategi berbeda: (i) peningkatan proses fibrinolitik menggunakan tPA; (ii) immunomodulation; (iii) mengganggu interaksi sel dengan ECM.

2.11.1 Mengubah jalur fibrinolitik untuk mengurangi pembentukan adhesi Sejumlah penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa tPA adalah efektif dalam mengurangi pembentukan adhesi. tPA rekombinan dapat diberikan sebagai gel untuk menunda pelepasan dan penyerapan dimana tPA cepat diabsorbdi ke dalam rongga peritoneum (Doody et al, 2009.; Dorr et al., 2010). Kemungkinan efek samping tPA meliputi risiko perdarahan pasca operasi dan keterlambatan dalam penyembuhan luka. Namun demikian, penelitian eksperimental belum melaporkan komplikasi dengan penyembuhan luka. Sejauh ini, hanya satu studi yang dilaporkan terkait komplikasi perdarahan (Gehlbach et al., 2004). Satu-satunya studi klinis yang dilakukan sampai saat ini terdiri dari 15 pasien yang menerima rekombinan tPA pasca operasi. Para peneliti menemukan penurunan pembentukan adhesi secara signifikan tanpa perubahan hasil laboratorium pasca operasi dan melaporkan tidak adanya komplikasi seperti perdarahan atau perubahan dalam proses penyembuhan (Dunn dan Mohler, 2004). Jalur fibrinolitik juga dapat diubah dengan pemberian analog GnRH (Sharpe-Timms et al., 2008b). Penulis menunjukkan bahwa pemberian analog GnRH merubah Rasio tPA/PAI, yang menyebabkan berkurangnya pembentukan adhesi

(22)

dalam perempuan. Mekanisme tepatnya oleh analog GnRH mana yang dengan efek anti-adhesi belum diketahui. Dalam penelitian ini, lagi-lagi penulis tidak bisa menemukan secara signifikan komplikasi pasca operasi seperti perdarahan atau penyembuhan yang abnormal.

2.11.2 Immunomodulation

Imunosupresi selektif telah digunakan untuk mengurangi pembentukan adhesi / reformasi. Tikus yang terinjeksi antibodi TGF-b 1 ke dalam rongga abdomennya relatif timbul lebih sedikit adhesi dibandingkan dengan kontrol (Lucas et al., 2006). Kelompok lain menunjukkan bahwa adhesi yang secara signifikan berkurang pada Tikus yang diberikan antibody IL-1 atau TNF-α dan adhesi terbentuk paling sedikit pada kelompok yang diberikan antibodi IL-1 dan TNF-α bersama-sama (Kaidi et al., 2005). Mereka kemudian menunjukkan bahwa antibodi IL-6 juga mengurangi pembentukan adhesi pada tikus bila diberikan sebelum operasi (pre-operatif). Selain itu, mereka tidak menemukan adanya perubahan dalam kandungan kolagen pada luka, atau efek samping pengobatan pada penyembuhan luka. Pemberian antibodi anti-MCP-1 untuk menghambat kemotaksis juga telah berhasil digunakan pada tikus untuk mencegah pembentukan adhesi (Zeyneloglu et al., 2008a). Montz et al.,(2010), menunjukkan bahwa pemberian IL-10 adalah efektif membatasi pembentukan adhesi pasca operasi intraperitoneum tanpa efek sistemik yang signifikan pada tikus. Kemudian diobservasi bahwa pengobatan dengan IL-10 dan / atau ketorolac (obat anti inflamasi non-steroid) menyebabkan menurunnya pembentukan adhesi dan juga menipiskan dan filmier adhesi (Holschneider et al., 2009). Anehnya, imunosupresi sistemik tampaknya tidak mengurangi adhesi formation/reforma-

(23)

tion, seperti yang ditunjukkan oleh pemakaian cyclosporin pada tikus (Leondires et al., 2005).

2.11.3 Gangguan interaksi sel dengan ECM

Seperti telah dibahas sebelumnya, molekul adhesi berperan dalam penyembuhan peritoneum. Kelompok integrin dikenal untuk berinteraksi dengan ECM juga terutama melalui tripeptida Arg-Gly-Asp (RGD). Sehingga efek inhibitor RGD yang mengandung peptida telah diselidiki karena kemampuannya untuk mengurangi pembentukan adhesi pada Tikus. Peptida RGD diberikan melalui pompa selama 7 hari atau dalam bentuk gel kental pada akhir operasi. Dalam kedua model eksperimental, skor adhesi secara signifikan kurang dibandingkan dengan yang kontrol (Rodgers, 2009).

2.12 Benang Bedah (suture).

Benang adalah bahan yang digunakan untuk mengikat pembuluh darah atau mendekatkan jaringan yang luka. Pada awalnya benang yang dipakai adalah berasal dari binatang seperti rambut kuda, tendon dan usus binatang. Sesuai dengan perkembangan teknologi kedokteran, benangpun mengalami perkembangan yang sangat pesat yang awalnya hanya dibuat dari bahan natural berkembang menggunakan benang sintetis. Benang ini tidak hanya bertujuan memudahkan ahli bedah saat menjahit, juga yang terpenting adalah untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka yang dijahit.

Benang diklasifikasikan menurut jumlah filament (strands) yang membentuk benang tersebut: (1) Benang monofilament adalah benang yang hanya terdiri dari satu filament, karena strukturnya yang simple, benang ini mudah masuk menembus jaringan, dapat mencegah masuknya organisme yang bisa

(24)

menimbulkan infeksi. Karakteristik ini membuat benang monofilament baik dipakai untuk kasus-kasus bedah vaskuler. (2). Benang multifilament adalah benang yang terdiri dari banyak filament, benang ini mempunyai kekuatan yang lebih kuat, flexible dan lebih lentur dibandingkan benang monofilament.

Benang juga diklasifikasikan menjadi absorbable (diserap) dan non absorbable (tidak diserap). Benang absorbable dibuat dari bahan yang diserap oleh jaringan tubuh setelah beberapa waktu pemakaian, tergantung dari bahannya ada yang delapan hari sampai delapan minggu. Pada umunya dipakai pada penjahitan organ/jaringan yang di dalam tubuh. Pada kebanyakan kasus, tiga minggu ada waktu yang cukup untuk penutupan jaringan. Benang nonabsorbable dipakai untuk mendekatkan tepi-tepi jaringan yang sifatnya temporer sampai jaringan tersebut sembuh secara normal. Benang ini biasanya dibuat dari usus domba, disebut catgut. Tetapi sekarang kebanyakan benang nonabsorbable dibuat dari serat-serat polymer synthetic, bisa yang monofilament ataupun braided. Ada beberapa keunggulan dari pada benang yang terbuat dari usus antara lain: mudah dipegang, harganya murah, reaksi jaringan rendah,kekuatannya terjamin dan tidak toksik.

Dari segi bahannya benang absorbable ada dua jenis:

1. Natural/alami: benang catgut (plain catgut dan chromic catgut) 2. Synthetic:

- Polyglycolic acid - Polyglactin 910 - Polyglecaprone - polydioxanone

(25)

Benang absorbable sintetis, benang ini dibuat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada pada benang natural seperti: suture antigenecity, reaksi jaringan dan ketidakpastian waktu diserap. Benang sintetis adalah merupakan benang pilihan untuk penutupan dinding abdomen dan thoraks serta bedah mata. Ada beberapa jenis benang sintetis absorbable: vicryl, vicryl coated , vicryl coated rapide, monocryl, PDS II, panacryl.

Benang non absorbable adalah benang yang dibuat dari bahan yang tidak dimetabolisme/diserap oleh tubuh,umumnya digunakan untuk menutup luka pada kulit,jahitan ini dibuka setelah beberapa minggu,atau pada beberapa jaringan di dalam tubuh dimana benang yang absorbable tidak adekuat. Hal ini dikerjakan pada beberapa kasus, contoh: pada operasi jantung atau pembuluh darah, karena terjadi denyutan dari jantung atau pembuluh darah maka diperlukan benang yang bisa bertahan lebih lama yaitu lebih dari tiga minggu guna memberikan waktu yang cukup bagi luka untuk menutup. Organ-organ lain seperti kandung kemih, mengandung cairan/urine yang membuat benang absorbable cepat hilang hanya dalam beberapa hari. Ada beberapa bahan yang dipakai untuk membuat benang non absorbable, kebanyakan terbuat dari bahan yang natural, silk, dibuat dengan tehnik yang khusus sehingga kuat digunakan untuk menjahit luka operasi. Ada juga benang nonabsorbable yang dibuat dari serat-serat buatan,seperti polypropylene,polyester atau nylon.

Benang nonabsorbable ada beberapa jenis: - benang sutera (silk)

- polypropylene (prolene) - nylon

(26)

- polyester

Ukuran benang juga berperan penting didalam menentukan kekuatannya untuk menjaga penutupan luka. Ukuran benang ditentukan oleh diameter atau lebarnya benang itu sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Momen inersia / kelembaman untuk beberapa penampang : a.. Untuk hal ini momen inersia yang digunakan dalam perhitungan adalah momen inersia/kelembaman polar.. Hitunglah

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak

Menurut Hurlock (2005), pengetahuan yang kurang baik terhadap menstruasi yang selalu kuat pada remaja putri akan terus berlangsung sepanjang hidup, akibatnya,

Definisi lain mengenai citra merupakan manifestasi dari pengalaman dan harapan sehingga ia mampu memengaruhi kepuasan konsumen akan suatu barang atau jasa

Pada komponen utama ke-11 varian yang dapat dijelaskan sudah lebih dari 80 persen dari total varian sampel.. Dengan demikian, menurut kriteria ini dibutuhkan 11 komponen utama

Pengertian respirasi secara umum merupakan salah satu gejala fisiologis makhluk hidup untuk memperoleh energi dengan cara pembongkaran sari makanan

mengusulkan kepada PA/KPA agar Peyedia barang/jasa yang melakukan perbuatan dan tindakan seperti penipuan, pemalsuan dan pelanggaran lainnya untuk dikenakan

Telah selesai melaksanakan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika :Klas II A Yogyakarta sesuai dengan Surat Izin Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi