• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan membawa sejumlah hak dasar

yang disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Jika ada hak yang bersifat fundamental,

tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani (hak atas rasa aman),

dan kebebasan. Ketiga hak ini pada dasarnya merupakan hak dasar yang tidak

dapat dihilangkan dan dikurangi dari setiap manusia dalam keadaan apapun dan

oleh siapapun.1

Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh

saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU

Perlindungan Saksi dan Korban).

1

Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara

pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan

menentukan kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki

kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini

memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang

sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun

oleh masyarakat pemerhati hukum. Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya

diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana

saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.

(2)

Jika dihubungkan dengan Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM, hak atas keamanan

pribadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan

hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses

peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30

UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan. Pada

dasarnya hak atas rasa aman memang berkaitan dengan tidak adanya gangguan

dan rasa takut. Singkatnya, hak tersebut berkaitan erat dengan ketentraman dan

ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani

kehidupannya dalam masyarakat.

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib

diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga

masyarakat. Berdasarkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) bahwa negara bertanggungjawab atas

perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting,

seperti diuraikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang - Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,

terutama pemerintah".

Penambahan Pasal 28G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang

dilakukan untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan

berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak

(3)

menyatakan bahwa kata “tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan

pribadi di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal ini menyiratkan

bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya, ketika kita membaca

rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang berbeda, yaitu fokus perhatian

tidak semata-mata tertuju pada kehidupan pribadi, tetapi pada tempat kediaman

dan rasa aman yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sebagai salah satu contoh

sebagai salah satu ketentuan hukum yang memberikan perlindungan pada hak ini

adalah Pasal 167 KUHP yang menjelaskan secara tegas mengancam dengan

hukuman penjara selama - lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya

Rp. 4500,-, bila orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang

tertutup dan tidak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas

nama orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut

dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat

diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empat bulan bila pelaku

mengeluarkan ancaman atau memakai daya upaya yang menakutkan.

Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31 ayat (2)

UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman atau

rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan oleh undang -

undang.

Apabila dikaji dari fungsi atau tujuan Hukum Pidana, fungsi dari Hukum

Pidana berkaitan dengan fungsi hukum pada umumnya yang merupakan bagian

dari hukum pada umumnya yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau

(4)

menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat serta memberikan rasa takut

untuk melakukan perbuatan pidana dan mendidik orang yang melakukan

perbuatan pidana sehingga menjadi orang yang lebih baik lagi. Untuk itu

perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat sangat penting dan apabila

perlindungan hukum ditiadakan maka kemungkinan dari perbuatan yang dilarang

akan menghambat atau menghalangi cita - cita bangsa Indonesia, yaitu masyarakat

adil dan makmur, sehingga akan menjadi bahaya bagi keselamatan masyarakat.

Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa

hukum pidana adalah hukum sanksi, sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah

hukum pidana difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan,

akan tetapi dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu

mengedepankan hak - hak tersangka/terdakwa, sementara hak - hak korban

diabaikan.

Pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP yang rumusannya

sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana,

dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,

(5)

Makna dari unsur-unsur pasal di atas tidak diterangkan secara jelas dalam

perundang-undangan. Mengenai unsur “dengan rencana lebih dahulu”, sejauh ini

yang menjadi perbincangan hanya terfokus pada tiga syarat yaitu:2

1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat suasana tidak

tergesa - gesa atau tiba - tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang

tinggi.

2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksanaan kehendak. Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya

hubungan pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan.

Ada waktu yang cukup untuk memikirkan cara dan alat yang digunakan

dalam pelaksanaannya.

3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Maksudnya

suasana hati saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang

tergesa - gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain

sebagainya

Keberadaan seorang saksi sangat mempengaruhi berjalannya sebuah

peradilan. Saksi akan menjadi jalan keluar untuk memecahkan masalah yang

sedang dihadapi. Dan seorang saksi juga merupakan seorang yang sentral karena

dari ia keterangan didapat. Dalam kenyataan seorang tersangka juga dapat

dijadikan seorang saksi, namun dengan syarat tersangka yang dijadikan saksi

bukan tersangka utama.3

2

. Adami Chazawi, 2010, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo, Jakarta, Halaman 82-84.

3

. Bakhri Syaiful, 2009, HukumPembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana, Total Media, Yogyakarta, Halaman 60.

(6)

yang bukan sasaran yang telah direncanakan lebih dahulu maka pembunuhan

terhadap korban tersebut tidak dapat dikatakan sebagai rangkaian dari

pembunuhan berencana.4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak

pidana pembunuhan berencana?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak

pidana pembunuhan berencana?

3. Bagaimanakah hambatan dan upaya pemberian perlindungan hukum

terhadap saksi dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Suatu penulisan harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian

tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada

prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh si penulis

sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi. 5

4

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Halaman 189.

5

(7)

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi

dalam tindak pidana pembunuhan berencana.

b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam

tindak pidana pembunuhan berencana.

c. Untuk mengetahui hambatan dan upaya pemberian perlindungan

hukum terhadap saksi dalam perkara tindak pidana pembunuhan

berencana.

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum

pidana, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana

berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak

pidana pembunuhan berencana.

b. Manfaat praktik

Dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi

perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi dalam

melakukan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan

perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana pembunuhan

(8)

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui oleh penulis, di lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan

Berencana belum pernah dilakukan sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di Perpustakaan Departemen Hukum

Pidana, dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari

permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat

dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.

Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori - teori hukum yang berlaku

maupun doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan

permasalahan yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap

skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Peraturan perlindungan hukum

Perlindungan merupakan suatu aspek yang penting yang harus dimiliki

oleh setiap warga masyarakat. Dalam Pasal 1 butir 6 UU Perlindungan Saksi dan

Korban menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak

(9)

Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan

ketentuan undang - undang ini. Perlindungan yang diberikan pada korban atau

saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau

pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum,

aparat keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.6

2. Bentuk perlindungan hukum

Dengan adanya perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK), penjaminan atas rasa aman terhadap saksi dan korban pun

menjadi semakin kuat. Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan

kepada korban adalah melalui pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008

tentang Pemberian Kompensasi, Retribusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban.

Saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, rentan sekali

mendapatkan acaman yang membahayakan diri, keluarga maupun harta bendanya

yang bisa saja mempengaruhi keterangan di persidangan. Dengan adaya ancaman

yang ditujukan terhadap saksi dan korban, maka sudah sepatutnya saksi dan

korban mendapatakan perlindungan.

Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi sebagaimana yang diatur

diluar KUHAP dalam Bab II Pasal 5 Undang – Undang RI Nomor 31 Tahun 2014

menyebutkan :

6

(10)

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Memberikan Keterangan tanpa Tekanan

3. Mendapat Penerjemah

4. Bebas dari Pertanyaan yang Menjerat

5. Informasi Perkembangan Kasus

6. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan

7. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan

8. Dirahasiakan identitasnya

9. Mendapat identitas baru

10. Mendapat tempat kediaman sementara

11. Mendapat tempat kediaman baru

12. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

13. Mendapat nasihat hukum

14. Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu

perlindungan berakhir

15. Mendapat pendampingan

3. Hambatan dan upaya perlindungan hukum

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai sebuah

lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dalam menjalankan tugas

dan kewenangannya menemui hambatan - hambatan yang dapat membuat kerja

(11)

dari LPSK yaitu minimnya mandate dan kewenangan dari LPSK, termasuk

kewenangan anggota LPSK dan tidak adanya aturan yang mengatur masalah

delegasi kewenangan antar pemimpin dan anggota lembaga. Selain itu LPSK juga

terbentur dengan masalah “conflict of interest” dengan instansi-instansi terkait

karena belum adanya pola kerjasama antar lembaga. Kemudian terkait dengan

permasalahan internal yang terjadi di tubuh LPSK ini dapat terjadi karena syarat

keanggotaan didasarkan pada keterwakilan (representasi) lembaga lainnya

sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemandirian dan keprofesionalan

LPSK.

Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum

pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem

peradilan pidana untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tujuan - tujuan tersebut,

dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku

tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam

jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai

kesejahteraan sosial.7

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan

pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum

kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani factor - faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

7

(12)

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini penulis

menggunakan metode - metode sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Peneliti menggunakan penelitian hukum normatif atau doktriner yang juga

disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak

dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

Pelaksanaan penelitian normatif pada penulisan ini menggunakan penelitian

terhadap sinkronisasi hukum yaitu penyelarasan dan penyerasian berbagai

peraturan berbagai peraturan perundang – undangan yang terkait dengan peraturan

perundang – undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur

suatu bidang tertentu.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan ini menggunakan jenis metode huku m normatif

dengan cara melalukan penelitian terhadap pustaka yang menggunakan sumber

data sekunder. Selain itu untuk mendukung data penulis juga menggunakan

metode penelitian hukum empiris. Metode ini dilakukan dengan melalukan

wawancara kepada advokat yang pernah menangani kasus yang berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap saksi. 8

3. Alat Pengumpul Data

Alat Pengumpul data ini terdiri dari 2 yaitu bahan data primer dan bahan

data sekunder. Penulisan skripsi ini menggunakan jenis data sekunder yaitu bahan

8

. Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan

(13)

pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. Sumber data sekunder ini

mencakup data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan

studi dokumentasi yang terdiri atas :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan tulisan yang berisikan peraturan

perundangan yang terdiri dari :

1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.

3) Undang – Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor

13 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang – Undang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh dari

buku, jurnal hukum, artikel, koran, seminar, dokumen yang diperoleh dari

internet serta literatur-literatur hukum pidana terutama yang berkaitan

dengan saksi dan juga makalah – makalah terdahulu yang berkaitan

dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana

pembunuhan berencana.

c. Bahan Hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep – konsep

dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain lain.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan prosedur pengambilan dan

(14)

didukung oleh penelitian empiris.9

5. Analisis Data

Metode library research yaitu mempelajari

dan menganalisa secara sistematis buku-buku, surat kabar, internet, peraturan

perundang-undangan dan bahan - bahan lain yang berhubungan dengan materi

yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bertujuan

bahwa peneliti ingin menganalisis memberikan gambaran atau pemaparan atas

subjek dan objek penelitian yang dilakukan.10

Disini peneliti tidak melakukan

justifikasi terhadap penelitian tersebut.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan

menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir

dengan hal - hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan

perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya

penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan

perbandingan penelitian data-data sekunder.

9

Ibid, Halaman 126. 10

Referensi

Dokumen terkait

Menambah informasi kepada fisioterapi pada khususnya dan pada tenaga kesehatan lain umumnya, bahwa pemberian Short Wave Diathermy (SWD) dan terapi latihan pada kasus

Chlorophyta umumnya hidup di air tawar (90%) dan di laut (10%). Pigmen memiliki klorofil a, b, karotin dan xantofil, kloroplas mempunyai bentukseperti spiral, mangkuk, lembaran,

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa metode yang paling efektif dari ketiga metode yang telah diaplikasikan adalah metode pembentukan tim oleh dosen

Intensitas anda menonton tayangan berita tentang “ Demo Ahok di

Hasil penelitian berkaitan dengan intraday information / volatility spillover menunjukkan bahwa adanya intraday volatility spillover yang signifikan dari pasar saham Hong

[r]

Setelah mengamati, siswa dapat mendata kegiatan berkaitan dengan aturan tentang benda-benda yang ada di rumah dengan benar.. Setelah mengamati, siswa dapat mengidentifikasi

yang akan dianalisis adalah alumni dari Universitas Atma Jaya