BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur segala kehidupan masyarakat
Indonesia. Hukum di sini mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek
kehidupan sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain.4
Hukum merupakan sarana untuk mengatur masyarakat sebagai sarana
kontrol sosial, maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat dapat tetap
berada dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Hukum bertugas
untuk mengatur masyarakat yang dimaksudkan bahwa kehadiran hukum dalam
masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan untuk mengkoordinasikan
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Sehingga diharapkan
kepentingan-kepentingan yang satu dengan yang lain tidak saling berlawanan.
Untuk mencapai ini dapat dilakukan dengan membatasi dan melindungi
kepentingan tersebut.5
Sebagai Negara hukum yang menganut falsafah Pancasila dan berdasarkan
UUD 1945, Indonesia memiliki cita-cita, ingin mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera, secara menyeluruh bagi seluruh rakyat. Dalam
mencapai cita-cita bangsa diatas tidaklah merupakan suatu hal yang mudah.
4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi ke-3, Liberty: Yogyakarta, 2007, hal 13.
5
Kenyataan menunjukkan bahwa didalam masyarakat banyak terjadi tindakan
melawan hukum dan merugikan keuangan negara maupun merugikan kepentingan
masyarakat sendiri yang disebut tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial, ekonomi masyarakat, politik bahkan dapat pula merusak
nilai-nilai demokrasi serta moralitas karena semakin lama tindak pidana ini sudah
menjadi budaya dan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan
makmur.6
Korupsi di Indonesia merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh
pemerintah bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan milik negara. Korupsi
berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu dapat melakukan
penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroninya. Dapat
ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang di sektor
pemerintahan (publik) dan perusahaan-perusahaan milik negara. Dengan
bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan milik Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang sedang dihadapi
negara kita saat ini. Korupsi sudah seperti membudaya karena dalam praktiknya
telah begitu erat dengan prilaku dan kebiasaan hidup para pejabat dan
penyelenggara negara di Indonesia. Bukan hanya menjadi wabah penyakit yang
dapat membawa kehancuran bagi perekonomian negara, korupsi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
6
negara dapat menekan atau memeras orang-orang yang memerlukan jasa
pelayanan dari pemerintah maupun badan usaha milik negara.7
Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,
dan tertib berdasarkan Pancaasila dan Undang-Undang Dasar 1995. Untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut,
perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada
khususnya.8
Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya
semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat
berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat.9
Maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia maka pemerintah
mengeluarkan suatu produk hukum yang berbentuk Undang-Undang. Adapun
Undang-Undang yang pertama kali dikeluarkan yaitu Undang-Undang Nomor 3
7
Romli Atmasasmita, Sekitar Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, CV. Mandar Maju: Bandung, 2004, hal 1.
8
Penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, hal 18.
9
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya
disebut PTPK.
Undang-Undang PTPK tahun 1971 ini tidak lagi digunakan karena, dalam
undang-undang ini semua jenis delik baik yang bobotnya lebih ringan termasuk
delik yang berkualifikasi diancam dengan pidana yang sama, yaitu pidana penjara
maksimum seumur hidup dan/atau denda maksimum 30 juta rupiah.10
Dalam Undang-Undang PTPK 1999 diadakan pembedaan ancaman pidana
baik penjaraa maupun denda sesuai dengan bobot delik termasuk kualifikasinya.
Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara lebih ringan karena
bervariasi dari pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda maksimum
satu milyar rupiah
Undang-Undang ini tidak lagi dipakai karena kurang efesien dalam menjatuhkan hukuman
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Maka dari itu Undang-Undang tahun 1971
diganti dengan Undang-Undang PTPK Nomor 31 tahun 1999.
11
. Tetapi undang-undang ini juga kurang efesien karena
menetapkan ancaman pidana minimum khusus yang berlawanan dengan KUHP.
Undang-Undang PTPK tahun 1999 menilai satu tahun pidana penjara setara 50
juta rupiah denda.12
Undang-Undang PTPK tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang PTPK
Nomor 20 tahun 2001, undang-undang ini menghapus minimum khusus baik
penjara maupun denda delik yang berasal dari KUHP karena tidak logis dan adil,
misalnya orang menggelapkan uang hanya sepuluh ribu rupiah tidak boleh
10
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2015, hal 98.
11
Ibid., hal 99.
12
dipidana kurang dari tiga tahun penjara dan/atau denda tidak boleh kurang dari
150 juta rupiah.13
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang PTPK bukan
berarti korupsi hilang begitu saja, korupsi terus terjadi seiring berjalannya waktu
karena meningkatnya kebutuhan hidup manusia dan gaya hidup yang
mordenisasi.Menurut mantan Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Kofi Annan menyatakan bahwa tindak pidana korupsi telah melukai dan meyakiti
kaum miskin melalui ketidakproporsionalan atau ketimpangan alokasi pendanaan,
menurunkan kemampuan pemerintah untuk melakukan pelayanan mendasar
terhadap warga negaranya, menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan,
serta berpengaruh buruk terhadap investasi dan dana bantuan luar negeri. Selain
menghambat investasi, tindak pidana korupsi itu sendiri adalah hambatan terbesar
untuk merealisasikan keseimbangan pendapatan, kesejahteraan, akses pendidikan,
bahkan pemberantasan kemiskinan. 14
13
Ibid., hal 101.
14
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC), Refika Aditama: Bandung, 2015, hal 7.
Penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional untuk memberantas
tindak pidana korupsi terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum yang luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan yang luas, serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan
Indonesia Coruption Watch (ICW) melakukan pemetaan kasus korupsi di
Indonesia periode Januari 2016 hingga Juni 2016. Sepanjang Januari 2016 sampai
Juni 2016 aparat penegak hukum berhasil menaikkan status kasus dari
penyelidikan ke penyidikan sebanyak 210 kasus dimana kerugian negara
mencapai Rp 890,5 milyar dan suap Rp 28 milyar, SGD 1,6 juta, dan USD 72
ribu.15
Terbukti dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
kasus-kasus korupsi semakin banyak yang terkuak, misalnya saja kasus korupsi
Suap Proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
dengan ditangkapnya tersangka pertama Damayanti Wisnu Putranti pada tanggal
13 Januari kemarin kasus ini mengalami perkembangan. Sekarang KPK sudah
menetapkan setidaknya 10 tersangka terkait kasus ini, salah satunya adalah Musa
Zainuddin anggota komisi V DPR RI dari fraksi PKB yang diduga menerima
hadiah atau janji dari Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT WTU. Sebelumnya
4 tersangka termasuk di dalamnya Damayanti Wisnu Putranti yang telah
ditetapkan oleh KPK telah divonis oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta pusat Pemerintah sangat serius dalam memberantas tindak pidana korupsi yang
semakin hari semakin merajalela di negara ini, dan dikarenakan korupsi
merupakan tindak pidana luar biasa maka dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang dibentuk pada tahun 2002 dengan dasar hukum pendirian
yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
15
dengan vonis masing-masing 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500.000.000
(lima ratus juta rupiah).16
Lebih parahnya lagi korupsi juga dilakukan oleh penegak hukum, contoh
kasusnya yaitu korupsi yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama Padang
Panjang Syamri Adnan. Syamri di dihukum 10 tahun penjara, ditambah pidana
denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh Mahkamah Agung (MA).
Syamri dihukum karena melakukan penggelembungan harga (mark up) pembelian
tanah bangunan baru Kantor Pengadilan Agama meninjau dari harga Rp 150 ribu
per meter persegi menjadi Rp 204.778 per meter persegi.17
Contoh kasus lainnya adalah tindak pidana korupsi pada penyaluran dana
(bansos) dan hibah Pemprov Sumut pada 2012 dan 2013 yang dilakukan oleh
kepala daerah yaitu Mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho.
Perbuatan Gatot ini melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Gatot dijatuhi hukuman oleh
Pengadilan Tipikor Medan dengan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 200
juta.18
Korupsi tidak hanya terjadi ditingkat daerah kota, kabupaten, propinsi,
tetapi juga terjadi di lembaga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kerugian
16
KPK: Ada Perkembangan Terbaru di Kasus Suap di Kementrian PUPR
17
Korupsi, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Divonis 10 Tahun Panjara,
18
negara tertinggi berdasarkan tempat terjadinya korupsi atau berdasarkan lembaga
yakni berasal dari seluruh lembaga dalam jajaran Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) dengan jumlah 264 kasus. Diikuti oleh kelembagaan dalam naungan
Pemerintah Kota (Pemkot) dengan jumlah 5 kasus kasus dan terakhir dalam
jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) dengan jumlah 23 kasus. Kerugian negara
akibat korupsi di lingkungan Pemkab mencapai 657,7miliar rupiah. Diikuti oleh
lembaga BUMN yang mencapai 249,4 miliar rupiah, kemudian Pemkot yang
mencapai 88,1 miliar rupiah.19
19
Berdasarkan data tersebut, timbullah ketertarikan Penulis untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI P.T POS INDONESIA (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 67/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn).
Adapun kasus yang akan penulis teliti adalah kasus yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Medan atas nama terdakwa Ardin Sayur Nasution yang
melakukan tindak pidana korupsi pada saat ia menjabat sebagai Kepala Cabang
Kantor Pos Sipiongot.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah :
1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana
Korupsi di P.T Pos Indonesia (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri
No.67/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi
persyaratan tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun berdasarkan permasalahan yang
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku Tindak Pidadna Korupsi
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Sebagai bahan informasi bagi Mahasiswa Fakultas Hukum pada khususnya
dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak
hukum dalam upaya memberikan proses peradulan yang baik dan tepat,
sehingga tidak dapat mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang
mencari keadilan dan dapat memberikan rasa keadilan yang
sebesar-besarnya di tengah masyarakat.
D. Keaslian Penulisan
Mengenai keaslian penulisan skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan
melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun pengumpulan
data-data yang dihimpun melalui berbagai sumber seperti buku-buku, peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini serta melalui media
elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.
Sepanjang penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis belum terdapat judul yang sama
dengan judul yang ditulis oleh penulis dalam skripsi ini. Dengan kata lain, skripsi
berbeda, sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang berbeda dengan
tulisan lain. Dengan demikian, keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. a. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar
feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”
tersebut. Menurut Profesor Pompe, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.20
Dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian
dari kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dihukum, sehingga secara harafiah
perkataan strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.21
20
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1997, hal 181-182.
21
Ibid
Menurut hukum positif kita, suatu strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain
daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah
Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai terjemahan dari
strafbaarfeit dan mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan penghukuman.22
5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.
Simons mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling)
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum
(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht sependapat dengan Simons karena
rumusan tindak pidana tersebut lengkap. Van Hamel juga sependapat dengan
Simons tetapi menambahkan dengan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai
sifat dapat dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut Van Hemel meliputi
lima unsur, yaitu:
1. Diancam dengan pidana oleh hukum;
2. Bertentangan dengan hukum;
3. Dilakukan dengan seseorang dengan kesalahan (schuld);
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya;
23
22
Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek,Pustaka Pena: Yogyakarta, 2010, hal 5.
23
Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, CV Mandar Maju: Bandung 2012,hal 160-161.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan tindak pidana itu adalah
suatu rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat
dipidananya seseorang atas perbuatannya yang telah ditentukan oleh peraturan
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Suatu perbatan dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana, abapibla
perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang dirumuskan sebagai tindak
pidana. Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas
perbuatannya, apabila perbuatan itu telah memenuhi semua usur tindak pidana
bagaimana yang dirumuskan di dalam pasal-pasal undang-undang pidana.
Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana, maka
harus memenuhi lima unsur, yaitu:
1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);
2. kelakuan itu harus sesuai dengan undang-undang (wetterlijke omschrijving);
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum);
4. Kelakuan itu dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada pelaku;
5. Kelakuan itu diancam dengan pidana.24
24
Ibid, hal 163-164.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan
unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk segala sesuatu yang ada di
dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu da dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pooging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3. Macam-macam makasud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,
dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas diri si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.25
c. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang itu
adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang dilakukannya.
25
Pertanggungjawaban pidana atau criminal liability artinya adalah bahwa orang
yang telah melakukan suatu tundak pidana itu belum berarti ia harus dipidana,
melainkan ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah
dilakukan, jika ditemukan unsur-unsur kesalahan padanya, karena suatu tindak
pidana itu sendiri atas dua unsur, a criminal act (actus reus) dan a criminal intent
(mens rea).26
Suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan
sebagai tindak pidana, belumlah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana
kepada si pelakunya, kecuali si pelaku telah memenuhi syarat-syarat tertentu
untuk disebut mempunyai kesalahan. Oleh karenanya, bilamana si pelaku dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dialukannya terlebih dahulu harus
dikoreksi keadaan jiwanya, apabila dirinya dapat disalahkan, maka dirinya harus
mempertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Sebaliknya, apabila
orang itu tidak ada kesalahan, maka dirinyapun tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, artinya meskipun melakukan tindak pidana abapila
dirinya tidak dapat disalahkan karena keadaan jiwanya, maka dirinya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakuka.27
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio” dari kata kerja
“corrumpere” yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,
menyogok
2. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi
28
26
Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Kencana: Jakarta, 2015, hal 10.
27
Roni Wijayanto, Op.Cit., hal 180.
28
H.Juni Sjafrein, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012, hal 7.
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu
pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and
accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David
M. Calmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain
meyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi bidang
ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.29
“suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan
beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan
kebenaran-kebenaran lainnya”
Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S
Poerwadaminta), diartikan sebagai perbuatan curang, dapat disuap dan tidak
bermoral. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya
untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Di dunia internasional pengertian
korupsi menurut Black Law adalah:
30
a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran
Arti harafiah dari korupsi dapat berupa:
29
H, Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011, hal 3.
30
b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya
c) Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi (perbuatan busuk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Koruptor ( orang yang korupsi).
Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam yang di atas karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat
dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewangan kekuasaan dalam jabatab karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.31
31
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua,Sinar Grafika: Jakarta, 2005, hal 8-9.
Istilah korupsi sesungguhnya sangat luas mengikuti perkembangan
kehidupan masyarakat yang semakin komlpeks dan semakin canggihnya
teknologi, sehingga mempengarusi pola pikir dan stuktur masyarakat dimana
bentuk-bentuk kejahatan yang dulunya berbentuk tradisional berkembang menjadi
inkonvensional. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
juga menjelaskan bahwa korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi
juga penyuapan penggelapan, pemalsuan, pemerasan dalam jabatan, gratifikasi,
Ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi: penyuapan
(ibribery), pemerasan (exortion), dan nepotisme. Ketiga tipe itu berbeda namun
terdapat benang merah yang menghubungkan ketiga tipe korupsi itu, yaitu
penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan pribadi
dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan
keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian atas kepentingan
publik.32
Mochtar Mas’oed mendefinisikan tindak pidana korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak
untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, dan
keluarga dekat. Tindak pidana korupsi umumnya merupakan transaksi dua pihak,
yaitu pihak yang menduduki jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai
pribadi swasta. James C. Scoot memiliki pendirian bahwa tindak pidana korupsi
meliputi penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan standar, yaitu melanggar
atau bertentangan dengan hukum untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karenanya,
dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, diperlukan kontrol sosial.33
1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk
kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
Sebelum keluarnya undang-undang yang mengatur secara resmi dan
tersendiri tentang korupsi di Indonesia, pengertian korupsi itu yang pertama kali
dirumuskan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9
April 1957 yang dikelompokkan menjadi dua pengertian, yaitu :
32
Chaerul Amir, Kejaksaan Memberantas Korupsi (Suatu Analisis Historis, Sosiologis, dan Yuridis), Deleader: Jakarta, 2014, hal 91.
33
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji
atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekuasaan yang diberi kepadanya oleh jabatan
langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau
materill baginya.34
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten
untuk memperoleh gambaran data keterangan suatu objek yang diteliti.
Metode penelitan yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian
sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem niorma. Sistem norma
yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).35
34
Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti: Bandung, hal 86-87.
35
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitan terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. 36
2. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder yang diperoleh
dari :
a. Bahan Hukum Primer:
Bahan hukum primer dalam tulisan ini terdiri atas peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, dan perjanjian
internasional (traktat). Dalam penelitian ini, adapun jenis bahan hukum
primer yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang Hukum Acara Pidana,
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan masalah
yang dibahas dalam penulisan ini.
36
b. Bahan Hukum Skunder:
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan bahan hukum
skunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum
primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan
hukum primer yang ada. Bahan hukum skunder adalah bahan hukum
yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian,
buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamflet, brosur dan berita
internet.37
c. Bahan Hukum Tertier:
Bahan Hukum Tertier merupakan bahan hukum yang dapat
menjelaskan dengan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
skunder, yang berupa kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Metode Pengumpul Data
Dalam menulis skripsi ini metode yang dipakai dalam pengumpulan data
adalah dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan
adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap
buku-buku literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang akan dipecahkan.
4. Analisis Penulisan
Berdassarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan
37
kualitatif terhadap data primer dan data skunder. Deskriptif tersebut meliputi isi
dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis
untuk menentukan isi atau makna dari aturan hukum yang dijadikan rujukan
dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.38
Pada bagian pertama bab ini dikemukakan bagaimana
perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.Pada bagian G. Sistematika Penulisan
Pembahassan dan penyajian suatu penelitian harus teratur agar tercipta
karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang saling
berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berhubungan antara bab yang
satu dengan bab yang lain.
Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis untuk
menguraukan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,
Tujuan Pustaka, Metode Penulisan, dan sistematika Penulisan.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
38
kedua bab ini apa saja perbuatan yang termasuk Tindak Pidana
Korupai Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada bagian ketiga bab ini akan dikemukakan bagaimana
perumusan sanksi pidana dalam Tindak Pidana Korupsi.Pada
bagian keempat bab ini akan dikemukakan tentang bagaimana
Penyidikan, Penuntutan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB IIIPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI DI PT. POS INDONESIA (Studi
Putusan Pengadilan Negeri No. 67/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn)
Pada bagian pertama bab ini akan dikemukakan tentang bagaimana
kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, fakta hukum, pertimbangan
hakim, dan putusan.
Pada bagian kedua bab ini akan dibahas tentang bagaimana analisis
kasus dari putusan Pengadilan Negeri No.
TPK/2016/PN.Mdn
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan pembahasan
dari bab pertama hingga bab terakhir penulisan yang merupakan
ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Paling akhir adalah