• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kelembagaan Partisipasi Masyarakat dalam Mitigasi Banjir di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kelembagaan Partisipasi Masyarakat dalam Mitigasi Banjir di Kota Medan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alternative Development Theory

Model pembangunan alternatif yang dikemukakan oleh Korten (1987) menyebutkan bahwa pembangunan alternatif yang berorientasi pada aspek manusia lebih efektif dibandingkan dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Model pembangunan alternatif ini yang dijadikan sebagai grand Theory. Model ini juga dikatakan sebagai people centered development yang salah satunya berbunyi manusia berusaha untuk menguasai dan mengendalikan alam lingkungan, berdasarkan pengetahuan mengenai teori positivisme, memanipulasi pemikiran rasional sebagai tema yang dominan. Model pembangunan alternatif menekankan pada pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainable development).

(2)

mengatasi dampak lingkungan yang salah satunya tingginya resiko banjir diperlukan adanya koordinasi kelembagaan antara pemerintah daerah dan masyarakat. Menurut Barros and Johnston (1998) agar pembangunan dapat berkelanjutan maka diperlukan berbagai kebijaksanaan yang salah satunya adalah pengembangan peran serta masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Wujud dari kelembagaan juga dapat terbangun dari kolaborasi peran pemerintah dan partisipasi masyarakat yang dapat dibentuk dalam konsep Co-management.

Co-management dinamakan pengelolaan kolaboratif, pengelolaan partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat Wells (1992). Semua pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mereka dalam pengelolaan. Pembagian peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa kasus, kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus yang lain kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah. Kerangka kerja pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis konservasi, melainkan juga mencakup tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kebutuhan mereka yang tergantung terhadap sumber daya, keseimbangan dan partisipasi.

(3)

(Computable Urban Economic). Model CUE memasukan unsur resiko banjir dan penggunaan lahan, model ini mampu memitigasi banjir dari sudut analisa kota dan sebagai pelengkap adanya koordinasi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat.

People Centered Development Sebagai Alternatif Pembangunan

Konsep ini menekankan pada pemberdayaan manusia dengan mengendalikan kehidupan mereka dan sumber dayanya, menciptakan sumber kehidupan rumah tangganya, dan secara langsung mereka dapat mengejar pembangunan sebagai suatu upaya mencapai kesejahteraan, yang merupakan tujuan akhir dari “people centered development” dan hal itu berarti pencapaian suatu pembangunan. Kompleksitas isu (masalah) demikian dikaitkan dengan lembaga modern saat ini, dari lembaga yang demokratis sampai kepada birokrasi di bidang bisnis, pemerintah, dan lembaga perburuhan, yang condong kepada ketidak berdayaan manusia, seringkali memindahkan mereka dengan mengendalikannya, tetapi hal itu hanya merupakan sedikit porsi dari hidup mereka. Justru yang sering terjadi adalah, tanggung jawab terhadap mereka menjadi suatu masalah yang serius, dengan menciptakan permintaan untuk mengontrol struktur yang ada untuk menyediakan layanan kepada masyarakat.

(4)

dengan mendasarkan pada premis tertentu, yakni produksi lebih (over production). Di dalam paradigma tersebut tekanannya pada sumbangan paradigma pertumbuhan secara absolut, dalam periode ini disebut dengan “periode transisi” bagi masyarakat manusia. Pada periode ini, adanya penekanan bentuk tranformasi, yakni suatu perspektif dunia ketiga, dengan mengusulkan kesempatan yang luas suatu bangsa tidak harus menuju suatu era industri, bisa suatu bangsa mendasarkan atau berlandaskan diri pada bidang pertanian.

Selain perubahan sosial secara evolusi, bisa juga terjadi perubahan sosial secara revolusi. Perubahan demikian akan berjalan dengan cepat dan tingkat kemajuannya (akselerasinya) sangat drastis. Namun, perubahan sosial yang revolusioner akan mengurangi dan menguras sumber daya alam yang tersedia, sehingga tidak sesuai dengan kebijakan sosial yang baik. Bila perubahan sosial revolusioner dilakukan secara sadar, yakni perubahan sosial melalui proses yang cepat, maka dampak negatif yang akan terjadi dapat dikendalikan.

Wells (1992) menyebutkan ciri-ciri dari perubahan sosial revolusioner yang bisa ditunjukkan dari paradigma di era pembangunan dewasa ini adalah:

1. Pembangunan dan penerapannya didasarkan atas ilmu pengetahuan ilmiah, perpaduan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Pembangunanmelalui organisasi dan pembagian pekerjaan, tenaga mesin menggantikan tenaga manusia dan binatang.

(5)

4. Manusia berusaha untuk menguasai dan mengendalikan alam lingkungan, berdasarkan pengetahuan mengenai teori positivisme, memanipulasi pemikiran rasional sebagai tema yang dominan.

5. Tanggung jawab bersifat individual untuk melawan takdirnya sendiri, kebebasan, dan kesamaan di dalam hak asasi dasar, perspektif ketidak beradaan nilai, faktor individual yang baik, masyarakat sebagai kumpulan individu yang mengejar kepentingannya.

Dalam perkembangannya di era pembangunan dewasa ini diperlukan nilai-nilai baru, yang bisa menjadi pendorong perkembangan pembangunan itu sendiri. Selain itu era pembangunan juga mengakibatkan terjadinya tragedi umum, misalnya tidak tersedianya lahan pertanian yang cukup, udara bersih, air minum, bahan bakar, dan mineral lainnya akibat pembangunan yang bersifat eksploitatif. Setelah perubahan sosial mengalami stagnasi, suatu peradaban baru telah muncul di dalam kehidupan kita, yakni suatu peradaban yang membawa perubahan sehingga mengubah kesadaran kita. Pada awalnya suatu peradaban baru merupakan satu kenyataan di dalam kehidupan kita. Hal itu merupakan pusat kejadian dan merupakan kunci di dalam memahami kejadian pada tahun yang akan datang. Munculnya peradaban baru yang bertentangan dengan peradaban industri tradisional lama. Hal itu, pada waktu yang sama, teknologi tinggi dan anti pembangunan muncul bersamaan.

(6)

manusia. Isu dasarnya menyangkut khususnya antara eksploitatif dan hubungan partnership. Pada awalnya kita tidak mengenal eksploitasi terhadap lingkungan – pertambangan terhadap berbagai sumber daya alam dan menggunakannya tanpa batas dan tidak menimbulkan sampah. Namun, akibat dari penggunaan sumber daya yang demikian telah menyumbangkan secara positif terhadap kesehatan ekonomi. Kemudian akhirnya para ahli memandang bahwa tingkah laku demikian merupakan bentuk kriminal atau kejahatan manusia terhadap lingkungan.

Dodson (1996) melihat eksplorasi demikian haruslah terjadi saling menguntungkan dan memperkuat keberadaan antara manusia dengan lingkungannya. Sebagai kompetisi peningkatan sumberdaya, masalah klasiknya adalah mengelola sumber daya secara terbuka menjadi lebih tepat, sebagaimana dikemukakan oleh Garret Hardin. Hardin membahas tentang masalah dan berbagai pendekatan untuk suatu resolusi (pemecahan masalah). Hal itu semua menyangkut suatu pembatasan untuk akses, sebagai pembatasan kebebasan. Hardin mengemukakan bahwa batasan kebebasan sangat situasional dan selalu berubah sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar.

(7)

terkadang frustasi dengan usaha mereka untuk meningkatkan kemampuan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara total kegunaan kemampuan adalah sebagai harapan utama untuk mengembangkan usaha pembangunan di masa lalu. Kuncinya adalah mengurangi ketidak bebasan/keleluasaan (sebagai pembatas) bagi masyarakat dalam menghadapi kemampuan mereka guna memenuhi kepentingan hidupnya.

Kemudian Jeffery et-al (1983) menganalisis mengapa ada suatu mekanisme keseimbangan yang didasarkan pembangunan yang ortodoks dengan membahas hasil distribusi dari peningkatan produksi yang pernah mereka dapat yang merupakan tantangan pembangunan yang sedang dilaksanakan.

(8)

Di dalam waktu yang sama, permintaan akan pembangunan melalui perusahaan mendorong masyarakat untuk melakukan pengrusakan (eksploitasi) terhadap sumber daya alam dan membahayakan ekosistem secara keseluruhan bagi kehidupan di bumi.

Kesadaran tentang dehumanisasi (ketidak manusiawian) ini, ketidakadilan, dan lingkungan yang tidak lestari mengakibatkan model pembangunan konvensional memunculkan langkah alternatif. Banyak alternatif sangat meyakinkan yang dapat digunakan dan secara substansial dapat meningkatkan produktivitas hasil untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan jumlah penduduk dunia, tetapi harus merupakan langkah yang beriringan dengan kebutuhan dasar yakni, partisipasi, pemerataan dan kelestarian lingkungan.

Berbagai penjelasan di atas kemudian diperlukan suatu langkah yang tepat dengan menggunakan eksperimen, yakni dengan alat perencanaan baru yang mendukung definisi baru dari masalah pembangunan. Dengan usaha demikian diharapakan tercapai reorientasi kelembagaan melalui pengelolaan sumber daya alam dalam masyarakat secara produktif, yang pengendalilannya tergantung pada kehidupan masyarakat yang memerlukannya.

2.2 Sustainable Development Theory

a. Konsep Sustainable Development

(9)

sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak parsial dan instan. Maka, dengan adanya konsep Sustainable Development yang kemudian disebut (SD) akan berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam demi masa depan, generasi yang akan datang (Rafsanjani, 2008).

Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “…keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai

pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual” dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Network of Excellence “Sustainable Development in a Diverse World”SUS.DIV, sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan.

(10)

karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. Aspek sosial, maksudnya pembangunan yang berdimensi pada manusia dalam hal interaksi, interrelasi dan interdependesi. Yang erat kaitannya juga dengan aspek budaya. Tidak hanya pada permasalahan ekonomi, pembangunan berkelanjutan untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya sebuah masyarakat tetap bisa eksis untuk melayani kehidupan sampai masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang saling terkait, dimana pandangan yang luas berada di bawah naungannya. konsep ini memasukkan pemahaman keberlanjutan lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam. konsep yang berbeda juga menunjukkan tarik ulur yang kuat antara eko (lingkungan) sentrisme dan antropo (manusia) sentrisme.

Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena perhatian kepada lingkungan. Terutama sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sedang ekspoitasi terhadapnya dilakukan terus menerus.Pengertian dari tidak mengurangi dan mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang adalah pembangunan yang dilakukan dimasa sekarang itu jangan sampai merusak lingkungan, boros terhadap SDA dan juga memperhatikan generasi yang akan datang. Generasi yang akan datang juga jangan terlalu dimanjakan, tetapi mereka juga harus di beri kesempatan untuk berekspresi menuangkan ide kreatifnya untuk mengolah dan mengembangkan alam dan pembangunan.

(11)

Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Laporan PBB yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia pada tahun 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam.

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.

Gambar 2.1 Lingkup Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

(12)

konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan (Ningrum, 2012).

Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang terbatas.

Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa lingkungan merupakan kombinasi dari alam dan budaya. Network of Excellence "Sustainable Development in a Diverse World" SUS.DIV, sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan (Ningrum, 2012).

(13)

bagi perusahaan privat untuk menyediakan solusi inovatif dan kewirausahaan. Pandangan ini sekarang diajarkan pada beberapa sekolah bisnis yang salah satunya dilakukan di Center for Sustainable Global Enterprise at Cornell University.

Pembangunan berkelanjutan membutuhkan partisipasi dan perspektif dari berbagai pemangku kepentingan, dengan sasaran untuk melakukan merekonsiliasi berbagai nilai dan tujuan yang berbeda menuju sintesis baru untuk mencapai nilai-nilai yang sama dan sinergis. Akan tetapi faktanya yaitu bahwa untuk mencapai konsensus terkait dengan nilai, tujuan, dan aksi yang berkelanjutan seringkali menjadi hal yang sulit untuk dicapai, bahkan terkadang pemangku kepentingan individu melakukan penolakan terhadap hal dimaksud di atas karena merasa bahwa proses tersebut terlalu sulit dan terlalu mengancam nilai mereka sendiri (Kates, 2011).

(14)

b. Secara ideal berkelanjutannya pembangunan membutuhkan pencapaian :

1. Pertama, berkelanjutan ekologis, yakni akan menjamin berkelanjutan eksistensi bumi. Hal-hal yang perlu diupayakan antara lain, a. memelihara (mempertahankan) integrasi tatanan lingkungan, dan keanekaragaman hayati; b. memelihara integrasi tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan bumi ini tetap terjamin; c. memelihara keanekaragaman hayati, meliputi aspek keanekaragaman genetika, keanekaragaman species dan keanekaragaman tatanan lingkungan.

2) Kedua, berkelanjutan ekonomi; dalam perpektif ini pembangunan memiliki dua hal utama, yakni, berkelanjutan ekonomi makro dan ekonomi sektoral. Berkelanjutan ekonomi makro, menjamin ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efesiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Berkelanjutan ekonomi sektoral untuk mencapainya; a. sumber daya alam dimana nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang “tangible” dalam rangka akunting ekonomi; b. koreksi terhadap harga barang dan jasa perlu di introduksikan. Secara prinsip harga sumber daya alam harus merefleksikan biaya ekstraksi/pengiriman, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatan.

3) Ketiga, berkelanjutan sosial budaya; berkelanjutan sosial budaya, meliputi: a. stabilitas penduduk, b. pemenuhan kebutuhan dasar manusia, c. Mempertahankan keanekaragaman budaya dan d. mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

(15)

bidang ekonomi, sosial dan politik, dan b. demokrasi, yakni memastikan proses demokrasi secara transparan dan bertanggung jawab.

5) Kelima, berkelanjutan pertahanan dan keamanan. Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung yang dapat membahayakan integrasi, identitas, kelangsungan bangsa dan negara. (Djajadiningrat, 2008).

Menurut (Djajadiningrat, 2008), agar proses pembangunan dapat berkelanjutan harus bertumpu pada beberapa faktor:

1) Pertama, kondisi sumber daya alam, agar dapat menopang proses pembangunan secara berkelanjutan perlu memiliki kemampuan agar dapat berfungsi secara berkesinambungan. Sumber daya alam tersebut perlu diolah dalam batas kemampuan pulihnya. Bila batas tersebut terlampaui, maka sumber daya alam tidak dapat memperbaharuhi dirinya, Karena itu pemanfaatanya perlu dilakukan secara efesien dan perlu dikembangkan teknologi yang mampu mensubsitusi bahan substansinya.

2) Kedua, kualitas lingkungan, semakin tinggi kualitas lingkungan maka akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya alam yang mampu menopang pembangunan yang berkualitas.

(16)

yang menambah beban menjadi faktor yang dapat menjadi modal pembangunan.

Menurut Elkinton (1997) pembangunan berkelanjutan berkonsentrasi pada tiga pilar yaitu pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep tersebut dengan P3 Concept, yaitu people, planet, and profits. John Elkington melalui konsep ”3p” (profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang di release pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan baik menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata.

Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan meliputi,

(17)

2. Kedua, menghargai keaneragaman (diversity). Perlu dijaga berupa keanegaragaman hayati dan keanegaraman budaya. Keaneragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang. Pemeliharaan keaneragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.

3. Ketiga, menggunakan pendekatan integratif. Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara bermanfaat dan merusak. Karena itu, pemanfaatan harus didasarkan pada pemahaman akan kompleknya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial dengan cara-cara yang lebih integratif dalam pelaksanaan pembangunan.

4. Keempat, perspektif jangka panjang, dalam hal ini pembangunan berkelanjutan seringkali diabaikan, karena masyarakat cenderung menilai masa kini lebih utama dari masa akan datang. Karena itu persepsi semacam itu perlu dirubah.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut Barros and Johnston (1998) erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan:

(18)

2. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan.

3. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa minyak bumi dari kapal tanker.

4. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik.

Dampak dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan dan menakutkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara lebih luas dapat berupa,

1. Pertama, pemanasan global, telah menjadi isu internasional yang merupakan topik hangat di berbagai negara. Dampak dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim secara global dan kenaikan permukaan laut.

(19)

oleh hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup

3. Ketiga, lubang ozon, ditemukan sejak tahun 1985 di berbagai tempat di belahan bumi, seperti diAmerika Serikat dan Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam kloraflur karbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.

(20)

1. Penegasan komitmen bagi pelaksanaan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan dan sejalan dengan komitmen global;

2. Perlunya keseimbangan yang proporsional dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) serta saling ketergantungan dan saling memperkuat;

3. Penanggulangan kemiskinan, perubahan pola produksi dan konsumsi, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.

4. Peningkatan kemandirian nasional.

5. Penegasan bahwa keragaman sumber daya alam dan budaya sebagai modal pembangunan dan perekat bangsa.

6. Perlunya melanjutkan proses reformasi sebagai prakondisi dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

7. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan sumber daya alam, pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dan pengembangan kelembagaan merupakan dimensi utama keberhasilan pembangunan berkelanjutan.

8. Perwujudan dalam pencapaian rencana pelaksanaan pembangunaan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat, khususnya kelompok perempuan, anak-anak, dan kaum rentan.

9. Perwujudan sumber daya manusia terdidik untuk dapat memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

(21)

Agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut,

1. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan (biogeofisik dan sosekbud) maka setiap daerah yang dibangun harus sesuai dengan zona peruntukannya, seperti zona perkebunan, pertanian dan lain-lain. Hal tersebut memerlukan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW), sehingga diharapkan akan dapat dihindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.

2. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan perlu dikendalikan melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL dapat diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan.

3. Penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan.

4. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.

5. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan. 6. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam

pengelolaan lingkungan hidup

7. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.

(22)

2.3 Alternatif Pendekatan Co-Management

(23)

a. Manfaat adanya Co-Management

Manfaat adanya co-management menurut Wiyanto (pada Workshop Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek, 2004) akan terwujud bila selaras dengan proses dan tujuannya, yaitu:

1) Untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang bertumpu pada prakarsa dan kemampuan masyarakat

2) Untuk mengalihkan kewenangan dalam menetapkan keputusan pengelolaan sumber daya/ruang terbuka hijau

3) Sebagai cara untuk mengurangi terjadinya perselisihan melalui keikutsertaan seluruh pihak yang terlibat secara demokratis.

Pemanfaat sumber daya menerima manfaat dengan ikut serta dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan. Pemerintah juga akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara dan mengalihkan sebagian kewenangannya.

b. Ciri-ciri dan Bentuk Co-Management

Menurut Wiyanto (2004) bahwa ciri-ciri dari Co-Management adalah: 1) Sebagai jalan tengah antara pengelolaan tanaman pantai secara terpusat

sepenuhnya oleh pemerintah dengan tujuan efisiensi dan pemerataan serta pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengeloladan mengatur diri sendiri dan ikut serta secara aktif.

(24)

pemberdayaan masyarakat, pengalihan kewenangan, pembagian kekuasaan dan kesetaraan (demokratisasi)

3) Sebagai strategi pengelolaan yang luwes, yang merupakan wahana untuk ikut serta, membuat aturan, mengatasi perselisihan, membagi kewenangan, kepemimpinan, dialog, membuat keputusan, menambah dan membagi pengetahuan, belajar serta pembinaan diantara para pemanfaat sumber daya pemangku kepentingan dan pemerintah.

Bentuk co-management menurut Pomeroy et al. (1994) adalah sebagai berikut : 1. Co–Management Instructive, pada bentuk ini, tidak begitu banyak

informasi yang saling di pertukarkan antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini, hanya mengimformasikan kepada masyarakat tentang rumusan pengelolaan sungai yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan.

2. Co–Management Consultative, menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah. Oleh karena itu, ada mekanisme yang membuat pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Meskipun masyarakat bisa memberikan berbagai masukan pada pemerintah, keputusan apakah masukan tersebut harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah.

(25)

4. Co–Management Advocative, pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi pada masyarakat tentang apa yang sedan mereka kerjakan.

5. Co–Management Informative, di satu pihak peran pemerintah makin berkurang dan di pihak lain peran masyarakat lebih besar. Pemerintah hanya memberikan informasi pada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kondisi yang lebih nyata, pemerintah menerapakan delegasi untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam.

c. Peran Pemerintah dalam Co-Management

Peran Pemerintah dalam Co-Management sangat besar sekali menurut Wiyanto (2004), bahwa peran tersebut antara lain:

1) Menyediakan peraturan/kebijakan seperti desentralisasi kekuasaan/ kewenangan,

2) Mendorong keikutsertaan dan melakukan dialog dengan masyarakat; 3) Mengakui/mengesahkan hak-hak masyarakat;

4) Melakukan prakarsa;

5) Melakukan penegakan hukum;

6) Mengatasi masalah yang berada di luar kewenangan masyarakat; 7) Memadukan kegiatan pada berbagai tingkatan pemerintah;

8) Menyediakan bantuan dan layanan teknis, adminstrasi dan keuangan untuk menunjang lembaga kemasyarakatan setempat.

(26)

yang dapat mewakili dan diakui oleh masyarakat. Badan Perwakilan Pantai bisa merupakan lembaga yang mewakili dan diakui oleh masyarakat. Setelah terbentuk lembaga pengelola, maka pemerintah daerah perlu membuat jalinan kerjasama dengan lembaga pengelola tersebut. Karena jalinan kerjasama ini dibatasi dalam hal pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pantai perlu pemerintah mengambil inisiatif untuk memungkinkan terjadinya pengelolaan partisipatif. White (1994) telah merinci dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai berikut:

1) Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.

2) Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat.

3) Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatanyang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder) dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.

4) Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang berhasil.

(27)

bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat.

6) Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan.

7) Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, partisipasi muncul dalam siklus perencanaan pembangunan meliputi beberapa tahap, yaitu:

1) Kemitraan. Merupakan suatu kegiatan awal, mengenai penjajakan dan pendekatan kepadamasyarakat sasaran. Melalui penjajakan dan pendekatan yang ada, dibangun kesadaran masyarakat terhadap masalah dan kondisi yang ada terhadap lingkungannya. Kesadaran tersebut akan menghasilkan visi komunitas, yang merupakan perumusan pandangan masyarakat yang menggambarkan masa depan masyarakat yang ideal.

2) Isu Analisis Berdasarkan Komunitas. Visi komunitas yang tercipta diikuti dengan usaha mengidentifikasi masalah masalah yang ada dan prioritas yang harus ditangani. Penyelesaian masalah tentumemerlukan bantuan dari pihak luar, baik dukungan pemerintah maupun pihak pihak yang menguasai dan berpengalaman terhadap suatu masalah.

(28)

4) Pelaksanaan dan Kontrol. Tahap pelaksanaan program dengan pemantauan masyarakat pada setiap pelaksanaan.

5) Evaluasi dan timbal balik. Hasil monitoring berguna untuk mengevaluasi pelaksanaan terhadap target yang telah disepakati. Informasi evaluasi juga sebagai bahan untuk melanjutkan rencana-rencana program selanjutnya.

d. Tingkat Peran serta Stakeholders

Hal ini dipertegas dalam pasal 9 ayat 2 UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah, masyarakat dan pelaku pembangunan. Kerjasama antar stake holder merupakan suatu jalinan berbagai pihak/actor (terkait dengan pengelolaan lingkungan yaitu: unsur pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam mewujudkan menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan kemampuannya dalam system kerjasama. Terdapat beberapa stategi pendekatan dalam partisipasi dan kemitraan menurut Schubeler (1966) antara lain:

1) Community-based Approach (partisipasi masyarakat) dalam hal ini masyarakat sebagai pihak yang terlibat langsung dalam manajemen proyek, sedangkan swasta dan pemerintah turut berpartisipasi tidak langsung (memberikan support/dorongan). Peran pemerintah juga dalam mengkoordinasikan/membantu dalam konsultasi. Basis strateginya dari kelompok masyarakat itu sendiri.

(29)

program pengembangan infrastruktur dapat berjalan efektif. Masyarakat sebagai pengguna dapat memberi masukan kepada pemerintah pada proses pembangunannya. Hal ini meliputi proses pada saat program dibuat Implementasi serta pengelolaannya.

3) Fuctoinally-based Approach (berdasar fungsi) disini pemerintah terlibat langsung/memanajemen masyarakat dan swasta dapat terlibat langsung namun dengan koordinasi dari pemerintah. Disini lebih kepada pelayanan fungsi serta kolaborasi antara pengguna dengan kelompok masyarakat dengan dasar yang jelas dan koordinasi antara pengguna tugas serta tanggung jawab yang jelas pula. Orientasi kemitraannya pada koordinasi intern dari masing-masing stake holder dalam manajemen aktifitasnya masing-masing. Cakupan manajemen partisipasinya mulai dari rencana, program, implementasi serta pengelolaan.

(30)

Ketika berhadapan dengan lingkungan alam (natural Environment) maka baik pemerintah, masyarakat umum dan masyarakat pelaku pembangunan (pihak pengusaha) sama-sana merupakan suatu stake holder. Sedangkan pelibatan masyarakat melalui kemitraan/bentuk-bentuk kerjasama yang diidentifikasikan oleh kementrian Sumber Daya Alam Ontario (1995) yaitu:

1) Contributori partnership (kemitraan melalui kontribusi) merupakan suatu kesepakatan yang mana sebuah organisasi swasta/publik setuju memberikan sponsor/dukungan. Umumnya berupa dana untuk beberapa kegiatan yang mempunyai sedikit pengaruh/sama sekali tidak terhadap proses partisipasi. Sementara kontribusi dana selalu mempunyai hal penting bagi suksesnya kegiatan. Jenis ini merupakan tipe yang lemah dari banyak kemitraan karena tidak semua peserta secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan.

2) Operational partnership (kemitraan operasional) merupakan jenis kemitraan dengan peserta/mitra melakukan pembangian kerja, tidak hanya pengambilan keputusan. Disini penekanannya untuk mencapai kesepakatan atas tujuan yang diinginkan bersama, kemudian bekerjasama untuk mencapainya. Kekuasaan dipegang oleh peserta yang mempunyai sumber dana dan ini biasanya lembaga lembaga pemerintah.

(31)

kebijakan khusus. Kontrol jelas masih dipegang instansi publik yang mempunyai kebebasan untuk memilih saran yang diberikan.

4) Collaborative partnership (pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang sesungguhnya dilakukan dalam kemitraan kolaboratif) untuk mencapai tujuan yang diterima semua pihak dengan informasi, dana, tenaga saling dipertukarkan. Ini merupakan satu-satunya bentuk kemitraan dimana dari pendapat kedua sumber yaitu Schubeler dan Kementrian Sumber Daya Alam Ontario mengenai partisipasi masyarakat dalam kemitraan terdapat banyak kesamaan dimana masyarakat turut terlibat dalam suatu program dari tahap awal sampai akhir. Hal ini mengindikasikan pentingnya pelibatan masyarakat. Pada kondisi tertentu masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh dimana hal ini terkait dengan program yang secara langsung membawa dampak dan akibat pada masyarakat setempat dan umumnya tidak memerlukan dana yang cukup besar. Perbedaan dari kedua sumber ahli tersebut membagi partisipasi kedalam beberapa kondisi tertentu, sedangkan Kementrian Sumber Daya Alam membagi partisipasi pada tingkat keterlibatan para peserta/stakeholder yang terlibat setiap peserta mempunyai otonomi.

e. Model Logika yang Mendasari Strategi Partisipatif

(32)

Tabel 2.1 Logika Proses Partisipasi masyarakat

Strategi Efisiensi Pemberdayaan

Rumusan Dasar

Pembangunan melalui kemitraan ‘top down’ dengan masyarakat. (Jangkauan

ke bawah yang inklusif)

Pembangunan alternatif yang dirumuskan oleh masyarakat dan organisasi setempat (Jangkauan atas yang integratif)

Asumsi Norma

Masyarakat miskin harus dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti yang ditentukan oleh negara

Masyarakat miskin harus memperoleh proyek pembangunan yang mereka sendiri butuhkan.

Berarti bahwa masyarakat memilki kemampuan kemampuan dan hak untuk secara harmonis dan konflik diantara kelompok-kelompok sosial dapat diredam melalui pola demokrasi setempat. Karena itu partisipasi masyarakat setempat sumber sumber setempat (manusia dan alam) dengan tujuan melaksanakan program pembangunan tertentu

4. .a Kurangnya partisipasi merupakan suatu ekspresi dari ketidak mampuan untuk berpartisipasi berupa kurangnya dana pendidikan dan sumber-sumber lain, serta tingkat organisasinya rendah 4.b. Atau bisa juga berarti bahwa rancangan program kurang disesuaikan pada kebutuhan kelompok sasaran. Dalam hal ini perencanaan dan pelaksanaan prosedur yang menyimpang atau teknologi yang tidak tepat atau teknologi yang tidaktepat (hambatan operasional untuk berpartisi-pasi). Jadi hal itu menunjukan perlunya perbaikan pada pendidikan, teknik, administrasi dan keuangan

1.Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara kelompok kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi setempat. Karenaitu partisipasi masyarakat adalah mungkin.

2.Pembangunan menjadi positif bila ada partisipasi masyarakat

3.Pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu untuk mendapatkan partisipasinya, karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk pembangunan kesejahteraan yang ditetapkan oleh masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri memiliki untuk memaksa pemerintahnya

4.a Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti program penolakan (secara internal dikalangan anggota masyarakat itu dan secara eksterna lterhadap pemerintah atau pelaksana proyek)

b.Atau hal itu menunjukkan adanya struktur sosial yang tidak memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi (hambatan struktural untuk berpartisipasi). Jadi ini merupakan konflik sosial yang merupakan konflik sosial yang harus diatasimelalui musyawarah mufakat, kompromi atas kebijakan yang bertentangan itu tidak menghilangkan struktur yangtidak memungkinkan partisipasi melalui reformasi politik

(33)

2.4 Partisipasi Masyarakat Dalam Menghadapi Banjir

a. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Sastropoetro, 1986), sementara partisipasi masyarakat merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh perorangan maupun secara berkelompok dalam masyarakat, untuk menyatakan kepentingan atau keterikatan mereka terhadap organisasi atau masyarakat dimana mereka bergabung dalam rangka mencapai tujuan masyarakat tersebut (Handayani, 2011).

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mitigasi banjir. Menurut Haghebaert (2007) program pengurangan resiko bencana top-down sering gagal untuk mengatasi kerentanan khusus, kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang beresiko. Rencana pemerintah tanpa melibatkan masyarakat dalam mitigasi banjir sangat sulit tercapai, dimana sering kebijakan pemerintah dalam mitigasi banjir tidak diinginkan oleh masyarakat. PBB (2003) menggambarkan bencana sebagai gangguan dari fungsi komunitas masyarakat, yang menyebabkan kerugian kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan bencana secara efektif, yang melibatkan nilai masyarakat dan pemangku kepentingan. Menurut Tippet (2005) partisipasi masyarakat dalam mitigasi banjir telah semakin diakui ditingkat kebijakan dalam penanggulangan bencana banjir, menurut Wazir, et al. (1999), partisipasi masyarakat bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar kedalam interaksi sosial dalam situasi tertentu.

(34)

membangun hubungan dengan publik dan menyepakati pentingnya partisipasi masyarakat sebagai langkah pertama yang solid menuju keterlibatan.

Lebih lanjut Osti dan Nyarekan (2008) adalah penting membangun kapasitas masyarakat untuk memahami kerentanan, strategi, aktivitas dan peran mereka dalam mengelola resiko banjir tanpa mengandalkan entitas eksternal. Dalam hal ini diperlukan komunikasi yang efektif antara masyarakat dan instansi untuk terlibat secara bersama-sama dalam mitigasi banjir.

Partisipasi masyarakat bisa pula diartikan sebagai suatu proses keterlibatan masyarakat secara sadar dan nyata dalam serangkaian proses pembangunan mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengendalian. Partisipasi masyarakat menurut Daniel dkk (2005) disebutkan bahwa masyarakat terlibat langsung dalam setiap kegiatan. Partisipasi masyarakat menekankan pada “partisipasi” langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi masyarakat telah mengalihkan konsep partisipasi menuju suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikut-sertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan warga masyarakat (Astuti, 2011).

(35)

kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijakan hingga pelaksanaan program. Partisipasi masyarakat menurut Godschalk (2000) merupakan pengambilan keputusan secara bersama - sama antara masyarakat dan perencana.

Menurut Cohen dan Uphoff (1977), pengertian partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi. Berkaitan dengan partisipasi aktif masyarakat, sedangkan Sebastian (2008), peran serta masyarakat diperlukan dalam minimasi bencana banjir. Oleh karena itu diperlukan beberapa pendekatan, antara lain:

1). Peringatan bahaya banjir disebarkan di tingkat desa/kelurahan

2). Kerja bakti untuk memperbaiki dasar dan tebing sungai, membersihkan kotoran yang menyumbat saluran air, membangun tanggul dengan karung-karung pasir atau bebatuan, menanami bantaran sungai (penghijauan)

3). Rencana pemulihan pertanian pasca-banjir, antar lain dengan menyimpan benih dan persediaan lain di tempat yang paling aman dan ini dijadikan tradisi

4). Perencanaan pasokan air bersih dan pangan seandainya bencana memaksa pengungsian.

b. Bentuk partisipasi

(36)

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan. kegiatan merupakan program lanjutan dari rencana yang telah disepakati sebelumnya baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, maupun tujuan.

Sobirin, dkk (2009) menyebutkan beberapa bentuk partisipasi yaitu: a. Spontan; masyarakat berinisiatif secara spontan melakukan aksi bersama. b. Fasilitasi; partisipasi masyarakat yang disengaja, dirancang, didorong. c. Induksi; masyarakat dibujuk melalui propaganda, emosi patriotisme. d. Koptasi; masyarakat dimotivasi dengan keuntungan materi.

e. Paksaan; masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan dan sangsi. Tingkat partisipasi masyarakat menurut (Sobirin, Erman dkk 2009):

a. Anggota masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan dari program pemerintah.

b. Anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan – pertemuan perencanaan, pelaksanaan dan pengkajian ulang proyek walaupun sebatas sebagai pendengar semata.

c. Anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek.

d. Anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan pengawasan dan monitoring.

(37)

Sementara itu, menurut Yunanto (2013), terdapat program yang dapat digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya banjir, meliputi:

1). Penjelasan tentang fungsi bantaran sungai dan jalur banjir, lokasinyaserta pola siklus hidrologi.

2). Identifikasi bahaya rawan banjir.

3). Mendorong perorangan untuk memperbaiki daya tahan bangunan dan harta mereka agar potensi kerusakan/kerusakan dapat ditekan.

4). Menggugah rasa kesadaraan masyarakat tentang arti penting nya rencana dan latihan penanggulangan serta pengungsian.

c. Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengendalian banjir

Menurut Sherry Arnstein pada makalahnya yang termuat di Journal of the American Institute of Planners dengan judul “A Ladder of Citizen Participation”, (1999), terdapat delapan tangga tingkat partisipasi berdasarkan kadar kekuatan masyarakat dalam memberikan pengaruh perencanaan, seperti berikut:

1. Manipulasi (Manipulation)

Pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah dan tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan “persetujuan” dari

masyarakat yang dijadikan kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan.

2. Terapi (Therapy)

Untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit.

(38)

distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi (kaya dan miskin) tidak pernah seimbang.

3. Pemberian Informasi (Informing)

Pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju partisipasi masyarakat.

4. Konsultasi (Consultation)

Konsultasi dan mengundang pendapat masyarakat merupakan langkah selanjutnya setelah pemberian informasi, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap buatan (artificial) karena tidak ada jaminan perhatian masyarakat dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan.

5. Penentraman (Placation)

Strategi ini menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan urusan masyarakat atau pada badan pemerintah dan umumnya mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan, masyarakat dengan mudah dapat dikalahkan dalam pemilihan, pemegang kekuasaan tetap berhak untuk menentukan legitimasi.

6. Kemitraan (Partnership)

Pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan.

7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power)

(39)

8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control)

Pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah tingkat kekuasaan (atau pengawasan) yang menjamin partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan maupun dan dimungkinkan untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka.

d. Faktor – faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat

Menurut Slamet (1993), faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian. Faktor internal berasal dari individu itu sendiri. Secara teoritis, tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh:

Sementara itu faktor eksternal dapat dikatakan sebagai petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program (Sunarti dan Suciati 2007). Adapun faktor eksternal dalam pengendalian banjir adalah pemerintah dan swasta (LSM).

e. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir

(40)

1. Tenaga

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kurangnya partisipasi tenaga dalam menanggulangi banjir di kota pekanbaru, ini membuktikan bahwa kurangnya kesadaran warga terhadap lingkungan setempat. Hal ini di buktikan dengan masih adanya warga yang tidak ikut gotong royong, membuang sampah sembarangan dan selokan air yang tersumbat.

2. Buah pikir

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam bentuk buah pikir sudah ada dan respon dari warga pun cukup baik. Walaupun masih ada warga yang tidak memberikan idenya dikarnakan tidak paham terhadap upaya atau cara dalam penanggulangan banjir.

3. Harta benda

Dari hasil penelitian dilapangan dapat kita ketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam bentuk harta benda berupa iuran uang dari warga dan berupa konsumsi yang disediakan oleh warga perempuan. Kemudian yang terakhir adalah penyediaan alat-alat dari warga yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan gotong royong.

f. Usaha – usaha dalam peningkatan partisipasi masyarakat

Untuk mendapatkan tingkat partisipasi yang diharapkan dalam pelaksanaan keputusan, maka tujuan dan pelaksanaan keputusan itu diarahkan pada perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan (Handayani, 2011). Dalam hal ini, (Ndraha, 1990 : 104) mengemukakan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat itu, adalah: 1. Sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need)

(41)

timbulnya jawaban (respon yang dikehendaki).

3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior) yang dikehendaki secara berlanjut.

f. Indikator Partisipasi Masyarakat Dalam Mitigasi Banjir

Partisipasi merupakan kemampuan dari masyarakat untuk bertindak dalam keberhasilan (keterpaduan) yang teratur untuk menanggapi kondisi lingkungan sehingga masyarakat tersebut dapat bertindak sesuai dengan logika dari yang dikandung oleh kondisi lingkungan tersebut (Adjid 1985). Menurut Cohen dan Uphoff (1977), pengertian partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi. Pengertian partisipasi lainnya didefinisikan oleh Sajogyo (1998) sebagai peluang untuk ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan serta peluang ikut menilai hasil pembangunan, sementara menurut Lindell dan Perry (2000) partisipasi masyrakat tergantung pada karakteristik individu nya dan faktor – faktor lainnya yang berhubungan dengan tindakan kesiapan dalam menghadapi bencana.

Dari berbagai pendapat tersebut, secara umum partisipasi merupakan keterlibatan seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan. Menurut Cernea (1988), Partisipasi juga diartikan dengan memberi manusia lebih banyak peluang untuk berperan secara efektif dalam kegiatan pembangunan.

Cohen dan Uphoff (1977) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

(42)

2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

2.5 Koordinasi Kelembagaan Partisipatif Masyarakat Dalam Mitigasi Banjir

(43)

semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situa tertentu yang berulang.

Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North (1990) membagi kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain. Kesepakatan yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal. Terkadang kelembagaan formal merupakan hasil evolusi dari kelembagaan informal. Perubahan tersebut merupakan reaksi atas perubahan kehidupan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Bisa juga dikatakan sebagai tuntutan atas terjadinya perubahan zaman dan dinamika kehidupan.

(44)

dilakukan dengan memberikan pertukaran informasi antara masyarakat lokal dengan pemerintah, dan dilibatkan masyarakat dalam perencanaan.

Dialog diperlukan untuk pertukaran pendapat antara masyarakat, pemerintah dan pemangku amanat. Pertemuan masyarakat tentang pengelolaan banjir dan analisis potensi resiko memberikan kesempatan masyarakat untuk memberdayakan mereka (Tran, 2009). Langkah penting lainnya untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendekatan ini yaitu meningkatkan prediksi yang berkaitan dengan dampak banjir.

a. Penyebab Banjir

(45)

1. Penyebab Banjir Secara Alami

a. Curah Hujan

Oleh karena beriklim tropis, Indonesia mempunyai dua musim sepanjang tahun, yakni musim penghujan umumnya terjadi antara bulan Oktober–Maret dan musim kemarau terjadi antara bulan April- September. Pada musim hujan, curah hujan yang tinggi berakibat banjir di sungai dan bila melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan.

b. Pengaruh Fisiografi

Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah aliran sungai (DAS), kemiringan sungai, geometric hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dan lain-lain merupakan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir. c. Erosi dan Sedimentasi

Erosi di DAS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Erosi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran sehingga timbul genangan dan banjir di sungai. Sedimentasi juga merupakan masalah besar pada sungai-sungai di Indonesia, diantaranya erosi tanah longsor (landslide) dan erosi pinggir sungai (stream bankerosion) memberikan sumbangan sangat besar terhadap sedimentasi di sungai-sungai, bendungan dan akhirnya ke laut.

d. Kapasitas Sungai

(46)

penggunaan lahan yang tidak tepat, sedimentasi ini menyebabkan terjadinya agradasi dan pendangkalan pada sungai, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas tampungan sungai.

e. Kapasitas Drainasi yang tidak memadai

Sebagian besar kota-kota di Indonesia mempunyai drainasi daerah genanga yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi langganan banjir di musim hujan.

f. Pengaruh air pasang

Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Fenomena genangan air pasang (Rob) juga rentan terjadi di daerah pesisir sepanjang tahun baik di musim hujan dan maupun di musim kemarau.

2. Penyebab Banjir Akibat Aktifitas Manusia

a. Perubahan kondisi DAS

Perubahan kondisi DAS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tataguna lainnya dapat memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran banjir. Dari persamaan yang ada, perubahan tata guna lahan berkontribusi besar terhadap naiknya kuantitas dan kualitas banjir. b. Kawasan kumuh dan Sampah

(47)

langsung ke alur sungai, hal ini biasa dijumpai di kota-kota besar. Sehingga dapat meninggikan muka air banjir disebabkan karena aliran air terhalang.

c. Drainasi lahan

Drainasi perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah bantaran banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air yang tinggi.

d. Kerusakan bangunan pengendali air

Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.

e. Perencanaan sistim pengendalian banjir tidak tepat

Beberapa sistim pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir yang besar. Semisal, bangunan tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada tanggul ketika terjadi banjir yang melebihi banjir rencana dapat menyebabkan keruntuhan tanggul. Hal ini mengakibatkan kecepatan aliran yang sangat besar melalui tanggul yang bobol sehingga menimbulkan banjir yang besar.

f. Rusaknya hutan (hilangnya vegetasi alami)

Penebangan pohon dan tanaman oleh masyarakat secara liar (Illegal logging), tani berpindah-pindah dan permainan rebiosasi hutan untuk bisnis dan sebagainya menjadi salah satu sumber penyebab terganggunya siklus hidrologi dan terjadinya banjir.

b. Pengurangan Dampak Resiko Banjir

(48)

meluapnya air dari sungai atau saluran drainase karena tidak mampu menampung besarnya debit air (Dirjen SDA DPU, 2009), sedangkan kawasan rawan bencana banjir adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir. Banjir akan muncul bila jumlah air yang masuk tidak sama dengan air yang terserap oleh tanah. Untuk memahami dampak dari risiko banjir diperlukan suatu langkah penting dalam mengelolanya dengan pembuatan keputusan yang dilakukan melalui pendekatan secara bertahap (Guidelines for Planning Authorities, 2009).

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil tidak seimbangnya siklus hidrologi antara lain : (a) pembuatan drainase yakni menyimpan kelebihan air dalam saluran-saluran yang bermuara ke dam-dam secara komprihensif, (b) menata kota dengan pola keseimbangan alam, tersedianya ruang terbuka hijau kota yang proporsional, tempat penampungan air, perbandingan koefisien dasar bangunan tidak lebih dari 30 %, (c) menjalin koordinasi dengan wilayah hulu sebagai tempat daerah aliran sungai (DAS) dan memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di masing-masing wilayahnya.

Menurut Waryono (2002), kota-kota di Indonesia pada umumnya terletak pada wilayah dataran banjir, baik di pinggir sungai maupun di tepi pantai. Pembangunan pemukiman pada wilayah-wilayah dataran banjir, secara ekonomis cukup memberikan rangsangan peminatan bagi penghunianya. Namun demikian lokasi pemukiman yang cukup strategis serta secara ekonomis memiliki resiko besar terhadap genangan (banjir).

(49)

dari bencana banjir adalah dengan meningkatkan sistem perlindungan dan sistem peringatan yang lebih baik. Dasar dari sistem peringatan harus menjadi sistem peramalan yang efektif, yang memungkinkan identifikasi awal untuk mengantisipasi resiko banjir dalam jumlah besar (Plate, 2002).

Mitigasi (mitigation) adalah upaya sistematik untuk menurunkan resiko bencana baik secara struktural melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik maupun non strukutral melalui peraturan perundangan kelembagaan maupun pelatihan (Sebastian, 2008).

Mislan pada tahun 2011 mengungkapkan bahwa upaya mitigasi dalam menghadapi bencana banjir dapat dilakukan dengan prinsip:

(1) Bencana banjir adalah titik awal upaya mitigasi bagi bencana serupa berikutnya.

(2) Upaya mitigasi itu sangat kompleks, saling ketergantungan dan melibatkan banyak pihak.

(3) Upaya mitigasi aktif lebih efektif dibanding upaya mitigasi pasif

(4) Jika sumberdaya terbatas, maka prioritas harus diberikan kepada kelompok Rentan

(5) Upaya mitigasi memerlukan pemantauan dan evaluasi yang terus menerus untuk mengetahui perubahan situasi.

Sedangkan strategi mitigasi bencana banjir dapat dilakukan antara lain dengan: (1) Mengintegrasikan mitigasi bencana dalam program pembangunan yang lebih

besar.

(50)

tampak

(4) Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah bencana

(5) Mitigasi dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan lokal dalam manajemen dan perencanaan.

Pada dasarnya mitigasi penanggulangan bencana meliputi empat aspek : a. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian, langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan berarti mencegah dan mengurangi bencana, mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana dan memastikan semua orang siap siaga jika bencana terjadi.

b. Tanggap darurat : apa yang dilakukan saat dan setelah bencana terjadi untuk menyelamatkan korban jiwa, mengurangi dampak penderitaan dan berhadapan dengan dampak langsung dengan bencana.

c. Pemulihan setelah bencana, upaya mengembalikan situasi seperti semula atau mungkin menjadi lebih baik sebelum bencana terjadi dengan cara membangun kembali masyarakat melalui cara yang sesuai dan memperkirakan resiko bencana di masa mendatang.

(51)

2.6 Penggunaan Lahan

Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerah yang akan digunakan bagi berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan, misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan berbagai kebutuhan umum. Tata guna lahan sangat terkait dengan khususnya pada lahan yang berfungsi sebagai penyangga air.

Menurut (Chow, Maidment, 1988; Yeow, Koung Tung, and Mays, 1992) jenis dan peruntukan lahan serta luasan lahan akan berpengaruh terhadap koefisien pengaliran. Sedangkan koefisien pengaliran merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap debit limpasan air (run off) yang bisa mengakibatkan banjir, dimana debit limpasan juga dipengaruhi oleh variabel curah hujan dan variabel luasnya kawasan. Di dalam suatu rencana tata guna lahan biasanya tercantum naskah uraian dan beberapa peta, dalam uraiannya terdapat berbagai kebijaksanaan, sedangkan peta menggambarkan penerapan rencana pada ruang yang tersedia, baik secara umum maupun terperinci, dengan menetapkan jenis penggunaan tertentu untuk daerah tertentu pula. Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu rencana menyeluruh. Dalam bagian lain dibahas persoalan transportasi, utilitas umum; seperti listrik, gas dan air; berbagai macam prasarana masyarakat dan masalah-masalah khusus yang membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

(52)

kotamadya atau kabupaten yang mengatur soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan untuk sebuah dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota industri yang besar. Sebuah rencana tata guna lahan di daerah pemukiman sekitar pusat kota mungkin berorientasi lain dari pada rencana tata guna lahan di daerah pusat kota.

(53)

perkotaan hendaknya dilengkapi dengan unsur fungsional dan hasil penelitian yang bersifat mendukungnya.

Berdasarkan keterangan dari The Role of Land-Use Planning in Flood Management – A Tool for Integrated Flood Management (2007), dengan melihat lebih dekat pada masalah banjir, ada dua aspek utama yang menghubungkan penggunaan lahan dan banjir: (1) Lokasi nilai dan komponen kunci dari perekonomian pada dataran banjir memberi manfaat ekonomi (yaitu alasan utama untuk perkembangan yang ditempatkan di sana) dan pada saat yang sama menciptakan risiko bagi masyarakat dalam hal potensi kerugian banjir dan (2) Pengembangan lahan memiliki konsekuensi pada aliran air di satu sisi, baik dengan mempercepat aliran melalui pengurangan kapasitas infiltrasi tanah atau menghalangi sistem alam drainase, serta sedimen dan polutan di sisi lain.

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah dinyatakan bahwa Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan system untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang pertama dan kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk lebih dari 50.000 jiwa:

a. Perjalanan Masal (Mass Transit)

(54)

d. Parkir halaman

e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait f. Pola kemasyarakatan

g. Pembangunan kembali daerah-daerah secara umum h. Keselamatan

i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan pemandangan indah

j. Pembangunan ekonomi

k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah itu Di samping merupakan unsur tunggal dalam suatu rencana menyeluruh, rencana tata guna lahan menjadi titik pusat semua rencana menyeluruh itu dan merupakan semacam tali pengikat yang menyatukan unsur-unsur lain. Bagi suatu lingkungan masyarakat, rencana tata guna lahan ibarat sebuah rencana dasar bagi pembuatan sebuah gedung: di dalamnya tercantum ketentuan mengenai kapan, bagaimana, berapa banyak dan mengapa kegiatan tersebut harus dilakukan. Rencana tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang memadai, di samping memberikan perlindungan bagi daerah serta sumber daya lingkungan yang menentukan.

(55)

diinginkan. Pemberian insentif untuk pengembangan yang akan dilakukan di tempat lain mungkin lebih efektif daripada hanya mencoba untuk menghentikan pembangunan di dataran banjir (APFM Land use planning for IFM, 2008).

Dengan cara demikianlah rencana tata guna lahan meletakkan kerangka dasar bagi hal-hal terperinci yang dicantumkan pada banyak segi lain di dalam rencana menyeluruh, seperti transportasi, tenaga listrik, air bersih dan gas, fasilitas dan pelayanan masyarakat rekreasi dan ruang terbuka, perumahan serta pelestarian tempat dan benda bersejarah serta kawasan yang berpemandangan indah. Hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan suatu pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola pengembangan dan penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak mantap dan mahal yang akan terjadi jika tidak diciptakan pola pengembangan yang masuk akal, melainkan konfigurasi khusus yang logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan yang sudah disahkan.

(56)

penelitian yang biasanya mendahului persiapan penyusunan rencana tata guna lahan, yaitu:

1. Penelitian kependudukan 2. Penelitian ekonomi 3. Analisis lingkungan

4. Identifikasi masalah, sasaran dan tujuan masyarakat

2.7 Pemodelan CUE (Computable Urban Economic)

Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Model adalah suatu abstraksi dari keadaan yang sesungguhnya atau merupakan penyederhanaan sistem nyata. Menurut Simarmata (1994) model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.

Gambar

Gambar 2.1 Lingkup Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Tabel 2.1 Logika Proses Partisipasi masyarakat
Gambar 2.2 Struktur Model
Gambar 2.3 Bentuk DAS

Referensi

Dokumen terkait

 Menurut Keynes, situasi makro suatu perekonomian ditentukan oleh apa yang terjadi dengan permintaan agregat masyarakat apabila permintaan agregat melebihi penawaran agregat (atau

kemampuan daya ingat dan daya pikir lainnya sehingga dapat menyebabkan masalah tingkah laku misalnya menjadi gaduh gelisah, pencuriga dan emosi yg meledak - ledak.  Dua

[r]

Medan melalui facebook atau twitter nya, pernahkah Saudara memanfaatkan fasilitas yang disediakan Perpustakaan ?.. Oke, itu saja yang ingin

Meningkatkan Kesadaran Hukum Berlalu Lintas Siswa SMA Negeri 3 Cirebon”. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui 1) Peran sekolah dalam. meningkatkan kesadaran

Dalam bagian ini akan dikemukakan secara eksplisit rencana program dan kegiatan prioritas daerah yang disusun berdasarkan evaluasi pembangunan tahunan, kedudukan

Adrian Hartanto, Skripsi Sarjana “Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Foto Selfie Ole h Pihak lain dalam Jejaring

(2015), juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu wanita dengan usia pertama kali berhubungan seksual < 20 tahun memiliki peningkatan risiko menderita