A. Perjanjian Menurut Hukum Perdata
1. Pengaturan dan Sejarah Hukum Perjanjian
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum para penjajah memberlakukan
hukumnya di Indonesia, yang berlaku adalah hukum adat dari berbagai wilayah
hukum adat di Indonesia. Hukum kontrak merupakan 1 (satu) bagian dari hukum
adat tersebut.25 Kontrak yang paling meluas dari hukum adat adalah kontrak jual-beli, tetapi tempo dulu sebelum mata uang meluas dipakai, kontrak
tukar-menukarlah yang banyak dipakai. Pada prinsipnya hukum kontrak yang
berkembang baik dalam hukum adat adalah kontrak yang berhubungan dengan
tanah. Namun, seiring berjalannya waktu pengadilan maupun dalam praktik
sehari-hari sudah menggunakan kaidah-kaidah hukum kontrak dalam KUH
Perdata. Di Indonesia, KUH Perdata mulai berlaku sejak tahun 1848 berdasarkan
asas konkordansi.26
Buku III KUH Perdata mengatur tentang Verbintenis, dimana tercakup pula istilah Overeenkomst yang artinya perjanjian atau persetujuan.27 Perjanjian diatur dalam Bab II dan Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III KUH
Perdata.28
25
Munir Fuady, Op.cit, hal. 48-50
26
Ibid.
27
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2009) hal. 41.
28
Ibid, hal. 42
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap seorang atau lebih. Perjanjian juga dapat diartikan suatu
peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika dua orang saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Para sarjana hukum pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian
yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terlalu luas,
tidak jelas dan tujuannya tidak jelas. Terlalu luas karena pada defenisi perjanjian
tersebut, terdapat kata perbuatan dimana pengertian perbuatan sangat luas yang
seharusnya perbuatan hukum. Tidak lengkap karena hanya 1 (satu) pihak saja
yang mengikatkan diri sehingga seperti perjanjian sepihak, yang seharusnya
saling mengikatkan diri. Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan sehingga apa
tujuan untuk mengadakan perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu
tidaknya jelas maksudnya untuk apa.
Penyempurnaan terhadap defenisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH
Perdata menurut beberapa sarjana hukum diantaranya “Perjanjian adalah
hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain
dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain yang berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”29
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang
didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di
antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya hingga
29
subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang
lain berkewajiban untuk melaksakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang
telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.”30
Praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara
rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah
merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama.31 Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenkomstrecht. Subekti32
Dari pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur perjanjian. Menurut
Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti
(naturalia dan accidentalia)
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan kontrak. Menurut Subekti, istilah
kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian
atau persetujuan yang tertulis.
33
a. Unsur essensialia
.
Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat berkaitan erat dengan
syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata dan untuk mengetahui
ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya.
30
Handri Raharjo, Op.cit.
31
AgusYudha Hernoko,Op.cit., hal. 11
32
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Cet XVII (Rinika Cipta, Jakarta, 1996), hal.1.
33
b. Unsur naturalia
Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian , sehingga secara
diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya: menjamin terhadap cacat
tersembunyi
c. Unsur accidentalia
Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: pemilihan tempat
kedudukan.34
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas- Asas Perjanjian
Suatu perjanjian dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum, apabila
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu perjanjian yang ditentukan
undang-undang. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu
perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :35 a. Kesepakatan kedua belah pihak.
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Ada lima cara terjadinya persersuaian pernyataan kehendak menurut
Sudikno Mertokusumo yaitu dengan:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
34
Handri Rahardjo, Op.cit, hal. 46
35
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam dan membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
b. Kecakapan bertindak.
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (tidak berlaku
lagi). Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Pasal 31
dalam undang-undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan
suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk
c. Adanya objek perjanjian (Onderwerp der overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Artinya apa yang
diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak.
Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yang terdiri dari :
1) memberikan sesuatu
2) berbuat sesuatu, dan
3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
d. Sebab yang halal
Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang
halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaark, bahasa latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada perjanjian. Di dalam Pasal 1337 KUH
Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah
terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.36
Dalam hukum perjajian ada lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, asas kepribadian. Kelima asas itu adalah sebagai
berikut:37
a. Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara
36
Salim HS, Op.cit, hal. 33-34.
37
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.38 b. Asas konsensualisme.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas
konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu
perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan, ini sudah semestinya. Suatu
perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua belah pihak sudah
setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme ialah
pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang
pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
c. Asas iktikad baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas
38
bahwa para pihak, yaitu pihak pertama dan pihak kedua harus
melaksanakan isi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi
dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad
baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat
dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma objektif.
d. Asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum).
Asas pacta sun servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda
dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi
:” Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat oleh para pihak, menjadi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya sehingga harus dipatuhi secara
penuh.
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang yang
melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada Pasal 1315 KUH Perdata
berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian
hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata
berbunyi : “ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.39 3. Jenis-jenis perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu:40
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa
menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan
kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan
pihak pembeli berkewajiban membayar dan berhak menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam
hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu
memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak
mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima
39
Salim HS, Op.cit, hal. 9-12
40
barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang
menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil
adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus
diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata
dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian
formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk
tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris
atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual
beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan
akta notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan
ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan
bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan
khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian
keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
B. Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Inggris
yaitu “standart contract”. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan oleh salah satu pihak yang lebih kuat ekonominya dan dituangkan
dalam bentuk formulir.
Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah
satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering sekali kontrak tersebut sudah
tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang
dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya
mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya.41
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak
yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk menentukan atau
meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal,
misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, dan waktu serta
hal spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang
41
dibakukan dalam perjanjian tersebut bukanlah formulir perjanjian, melainkan
klausul-klausulnya.42
Memperhatikan rumusan pengertian perjanjian baku dalam Pasal 1 angka
10 UUPK ini, tampak penekanan lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang
dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.
Perjanjian baku dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 UUPK, yang
menyatakan bahwa perjanjian baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
43
Penggunaan kontrak baku/klausula baku, kebebasan berkontrak serta
pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan
melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, dapat dikaitkan dengan syarat sahnya suatu perjanjian yakni
kesepakatan mereka untuk membuatnya dan mengikatkan dirinya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan berdasarkan asas konsensualisme.
44
2. Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia
Perjanjian standar (baku), sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani
Kuno. Plato (473-347), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan
42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993), hal.66
43
Persoalan tentang isi klausula baku baru akan dipersoalkan di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
44
mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara
sepihak oleh produsen/ penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar masalah
harga, tetapi menyangkut syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu,
bidang-bidang-bidang yang diatur dalam perjanjian standar pun makin bertambah luas.45 Sebuah laporan dalam harvard law review pada 1971, 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia,
perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang
secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkan sistem pembelian
rumah secara inden dalam bentuk perjanjian standar.46
Di dalam praktik, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis,
dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan yang selalu terjadi secara
berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk
mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu, dan kemudian dibakukan dan
seterusnya dicetak dalam jumlah banyak, sehingga mudah menyediakannya setiap
saat jika masyarakat membutuhkan.47
Kelahiran perjanjian baku, antara lain merupakan akibat dari perubahan
susunan masyarakat. Masyarakat sekarang merupakan kumpulan dari sejumlah
ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi
perusahaan.48
Tumbuh dan berkembangnya perjanjian baku khususnya di Indonesia
adalah karena keadaan sosial dan ekonomi. Perjanjian baku sangat banyak
45
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,2014), hal. 138.
46
Shidarta, Op.cit, hal. 119.
47
Mariam Darus Badrulzaman, Pidato Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya Di Indonesia, ( Rineka Cipta, Jakarta, 2001), hal. 6
48
dipraktikkan dalam dunia bisnis khususnya oleh pengusaha perumahan yang
umumnya lebih kuat ekonominya. Tujuan digunakannya perjanjian baku ini
adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang
bersangkutan, biaya yang murah, efektif dan efisien karena dapat ditandatangani
seketika oleh para pihak. Perjanjian baku juga merupakan kebutuhan dalam
praktik dan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.
C. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan
Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Unsur-unsur defenisi konsumen: 49 a. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen
itu tidak hanya sebatas pada orang-perseorangan. Namun, konsumen
harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada
badan hukum.
b. Pemakai
49
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata
“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate customer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam
rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau
jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.
Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya
dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa
itu.
Dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku
usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.50
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku
usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor dan lain-lain.51
Hak dan kewajiban konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak
dasar konsumen, yaitu :
52
1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
50
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media, Jakarta,2001), hal. 17.
51
Ibid.
52
2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3) Hak untuk memiliki (the right to choose);
4) Hak untuk didengar (the right to be heard).
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999
adalah sebagai berikut :
(a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa;
(b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
(c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
(d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
(e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
(f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
(g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
(h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian,
apakah barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Di samping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal
7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak
merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat
sebagai hak konsumen.
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari
akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan
bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam
hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.
Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK,
yakni :
1.1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
1.2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
1.3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
1.4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
2. Hak dan kewajiban pelaku usaha serta kewajibannya
Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang
membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh
konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila :
a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
b. Cacat timbul di kemudian hari;
c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan
produksi;
e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.
Pasal 6 UU No. 8 tahun 1999 produsen disebut sebagai pelaku usaha yang
mempunyai hak sebagai berikut :
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang/atau jasa yang
diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/atau jasa yang
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :
(a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
(c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
(d) Menjamin mutu barang/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang/atau jasa
yang berlaku.
(e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
(f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang/atau jasa yang
diperdagangkan.
(g) Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik lebih
kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna
penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan
oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang / diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen,
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan
transaksi dengan produsen.53
Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah
satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya
misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen
di Indonesia dalam kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebakan karena Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena
informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi
yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk
(cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai
suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat
berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
53
tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau
brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada
umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya
kelemahan produk tersebut ditutupi.54
3. Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku yang Mengandung
Klausul Eksonerasi
Perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya,
namun dari keuntungannya ada sisi lain yang menjadi kelemahan yang
dikuatirkan. Hal yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian baku adalah
karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut.
Klausula eksonerasi adalah suatu klausa dalam kontrak yang
membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak yakni pelaku
usaha jika terjadi wanprestasi, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersbut
mestinya dibebankan kepadanya.55
Secara yuridis-teknis, syarat klausul eksonerasi dalam suatu kontrak
biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:
Klausula eksonerasi ini mengakibatkan suatu
kontrak menjadi tidak seimbang karena hanya memberatkan pada salah satu pihak
saja.
56
a. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan kewajiban-kewajiban
hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya,
54
Ibid.
55
Munir Fuady, Op.cit., hal. 98
56
dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure (keadaan darurat).
b. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum
karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya, mengurangi
atau menghapus ganti kerugian jika terjadi wanprestasi salah satu
pihak dalam kontrak.
c. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu
pihak, tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian
kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak.
Disini terlihat, adanya ketidakseimbangan posisi tawar-menawar antara
pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena hal itu, diperlukan adanya campur
tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) merupakan salah satu prinsip hukum yang berlaku dalam
hubungan antara pihak pelaku usaha dan konsumen.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau
perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausul
eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan
satu-satunya baru ditemukan dalam UUPK. Walaupun dalam UUPK digunakan istilah
Dengan adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama
pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku. 57
57