• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Terhadap Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Terhadap Hak dan Kewajiban Para Pihak pada Perjanjian Baku dalam Penjualan Perumahan di PT. Pangripta"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

A. Perjanjian Menurut Hukum Perdata

1. Pengaturan dan Sejarah Hukum Perjanjian

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum para penjajah memberlakukan

hukumnya di Indonesia, yang berlaku adalah hukum adat dari berbagai wilayah

hukum adat di Indonesia. Hukum kontrak merupakan 1 (satu) bagian dari hukum

adat tersebut.25 Kontrak yang paling meluas dari hukum adat adalah kontrak jual-beli, tetapi tempo dulu sebelum mata uang meluas dipakai, kontrak

tukar-menukarlah yang banyak dipakai. Pada prinsipnya hukum kontrak yang

berkembang baik dalam hukum adat adalah kontrak yang berhubungan dengan

tanah. Namun, seiring berjalannya waktu pengadilan maupun dalam praktik

sehari-hari sudah menggunakan kaidah-kaidah hukum kontrak dalam KUH

Perdata. Di Indonesia, KUH Perdata mulai berlaku sejak tahun 1848 berdasarkan

asas konkordansi.26

Buku III KUH Perdata mengatur tentang Verbintenis, dimana tercakup pula istilah Overeenkomst yang artinya perjanjian atau persetujuan.27 Perjanjian diatur dalam Bab II dan Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III KUH

Perdata.28

25

Munir Fuady, Op.cit, hal. 48-50

26

Ibid.

27

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2009) hal. 41.

28

Ibid, hal. 42

(2)

perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap seorang atau lebih. Perjanjian juga dapat diartikan suatu

peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika dua orang saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Para sarjana hukum pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian

yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terlalu luas,

tidak jelas dan tujuannya tidak jelas. Terlalu luas karena pada defenisi perjanjian

tersebut, terdapat kata perbuatan dimana pengertian perbuatan sangat luas yang

seharusnya perbuatan hukum. Tidak lengkap karena hanya 1 (satu) pihak saja

yang mengikatkan diri sehingga seperti perjanjian sepihak, yang seharusnya

saling mengikatkan diri. Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan sehingga apa

tujuan untuk mengadakan perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu

tidaknya jelas maksudnya untuk apa.

Penyempurnaan terhadap defenisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH

Perdata menurut beberapa sarjana hukum diantaranya “Perjanjian adalah

hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain

dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas

prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain yang berkewajiban untuk

melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”29

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang

didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di

antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya hingga

29

(3)

subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang

lain berkewajiban untuk melaksakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang

telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.”30

Praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara

rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah

merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama.31 Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah

overeenkomstrecht. Subekti32

Dari pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur perjanjian. Menurut

Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti

(naturalia dan accidentalia)

mempunyai pendapat yang berbeda mengenai

istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan kontrak. Menurut Subekti, istilah

kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian

atau persetujuan yang tertulis.

33

a. Unsur essensialia

.

Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat berkaitan erat dengan

syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata dan untuk mengetahui

ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya.

30

Handri Raharjo, Op.cit.

31

AgusYudha Hernoko,Op.cit., hal. 11

32

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Cet XVII (Rinika Cipta, Jakarta, 1996), hal.1.

33

(4)

b. Unsur naturalia

Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian , sehingga secara

diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya: menjamin terhadap cacat

tersembunyi

c. Unsur accidentalia

Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: pemilihan tempat

kedudukan.34

2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas- Asas Perjanjian

Suatu perjanjian dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum, apabila

telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu perjanjian yang ditentukan

undang-undang. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu

perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :35 a. Kesepakatan kedua belah pihak.

Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau

konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian

pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

Ada lima cara terjadinya persersuaian pernyataan kehendak menurut

Sudikno Mertokusumo yaitu dengan:

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

34

Handri Rahardjo, Op.cit, hal. 46

35

(5)

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5) Diam dan membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

b. Kecakapan bertindak.

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang

akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang

untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan

oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tak cakap

untuk membuat suatu perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (tidak berlaku

lagi). Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Pasal 31

dalam undang-undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan

suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk

(6)

c. Adanya objek perjanjian (Onderwerp der overeenskomst)

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek

perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Artinya apa yang

diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak.

Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yang terdiri dari :

1) memberikan sesuatu

2) berbuat sesuatu, dan

3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

d. Sebab yang halal

Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang

halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaark, bahasa latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada perjanjian. Di dalam Pasal 1337 KUH

Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah

terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum.36

Dalam hukum perjajian ada lima asas penting, yaitu asas kebebasan

berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, asas kepribadian. Kelima asas itu adalah sebagai

berikut:37

a. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara

36

Salim HS, Op.cit, hal. 33-34.

37

(7)

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas

kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian,

2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.38 b. Asas konsensualisme.

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas

konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu

perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan, ini sudah semestinya. Suatu

perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua belah pihak sudah

setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal. Arti asas konsensualisme ialah

pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah

dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,

perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang

pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

c. Asas iktikad baik

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus

dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas

38

(8)

bahwa para pihak, yaitu pihak pertama dan pihak kedua harus

melaksanakan isi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang

teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi

dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad

baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari

subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat

dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan

(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma objektif.

d. Asas pacta sun servanda (asas kepastian hukum).

Asas pacta sun servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun servanda

dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi

:” Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat oleh para pihak, menjadi

undang-undang bagi mereka yang membuatnya sehingga harus dipatuhi secara

penuh.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang yang

melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada Pasal 1315 KUH Perdata

berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama

(9)

sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian

hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata

berbunyi : “ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak

hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.39 3. Jenis-jenis perjanjian

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

yaitu:40

a. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.

Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa

menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan

kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban

menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan

pihak pembeli berkewajiban membayar dan berhak menerima barangnya.

b. Perjanjian sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam

hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu

memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak

mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima

39

Salim HS, Op.cit, hal. 9-12

40

(10)

barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang

menghibahkan.

c. Perjanjian dengan percuma

Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.

d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah

terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil

adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus

diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata

dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian

formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk

tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris

atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual

beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan

akta notaris.

e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama

Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan

ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan

bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan

(11)

khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian

keagenan dan distributor, perjanjian kredit.

B. Perjanjian Baku

1. Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Inggris

yaitu “standart contract”. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan oleh salah satu pihak yang lebih kuat ekonominya dan dituangkan

dalam bentuk formulir.

Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah

satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering sekali kontrak tersebut sudah

tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang

dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya

mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya.41

Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian

yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak

yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk menentukan atau

meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal,

misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, dan waktu serta

hal spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang

41

(12)

dibakukan dalam perjanjian tersebut bukanlah formulir perjanjian, melainkan

klausul-klausulnya.42

Memperhatikan rumusan pengertian perjanjian baku dalam Pasal 1 angka

10 UUPK ini, tampak penekanan lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang

dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.

Perjanjian baku dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 UUPK, yang

menyatakan bahwa perjanjian baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

43

Penggunaan kontrak baku/klausula baku, kebebasan berkontrak serta

pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan

melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian.

Berdasarkan

ketentuan tersebut, dapat dikaitkan dengan syarat sahnya suatu perjanjian yakni

kesepakatan mereka untuk membuatnya dan mengikatkan dirinya, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan berdasarkan asas konsensualisme.

44

2. Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia

Perjanjian standar (baku), sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Yunani

Kuno. Plato (473-347), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan

yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan

42

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993), hal.66

43

Persoalan tentang isi klausula baku baru akan dipersoalkan di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

44

(13)

mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara

sepihak oleh produsen/ penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar masalah

harga, tetapi menyangkut syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu,

bidang-bidang-bidang yang diatur dalam perjanjian standar pun makin bertambah luas.45 Sebuah laporan dalam harvard law review pada 1971, 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia,

perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang

secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkan sistem pembelian

rumah secara inden dalam bentuk perjanjian standar.46

Di dalam praktik, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis,

dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan yang selalu terjadi secara

berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk

mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu, dan kemudian dibakukan dan

seterusnya dicetak dalam jumlah banyak, sehingga mudah menyediakannya setiap

saat jika masyarakat membutuhkan.47

Kelahiran perjanjian baku, antara lain merupakan akibat dari perubahan

susunan masyarakat. Masyarakat sekarang merupakan kumpulan dari sejumlah

ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi

perusahaan.48

Tumbuh dan berkembangnya perjanjian baku khususnya di Indonesia

adalah karena keadaan sosial dan ekonomi. Perjanjian baku sangat banyak

45

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika, Jakarta,2014), hal. 138.

46

Shidarta, Op.cit, hal. 119.

47

Mariam Darus Badrulzaman, Pidato Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya Di Indonesia, ( Rineka Cipta, Jakarta, 2001), hal. 6

48

(14)

dipraktikkan dalam dunia bisnis khususnya oleh pengusaha perumahan yang

umumnya lebih kuat ekonominya. Tujuan digunakannya perjanjian baku ini

adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang

bersangkutan, biaya yang murah, efektif dan efisien karena dapat ditandatangani

seketika oleh para pihak. Perjanjian baku juga merupakan kebutuhan dalam

praktik dan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.

C. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan

Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai

barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.

Unsur-unsur defenisi konsumen: 49 a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen

itu tidak hanya sebatas pada orang-perseorangan. Namun, konsumen

harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada

badan hukum.

b. Pemakai

49

(15)

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata

“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate customer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam

rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau

jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli.

Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya

dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa

itu.

Dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan pelaku

usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.50

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku

usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,

pedagang, distributor dan lain-lain.51

Hak dan kewajiban konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak

dasar konsumen, yaitu :

52

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

50

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Diadit Media, Jakarta,2001), hal. 17.

51

Ibid.

52

(16)

2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3) Hak untuk memiliki (the right to choose);

4) Hak untuk didengar (the right to be heard).

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999

adalah sebagai berikut :

(a) Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa;

(b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

(c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

(d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

(e) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

(f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

(g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

(h) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian,

apakah barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

(17)

(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Di samping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak

konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal

7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak

merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat

sebagai hak konsumen.

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari

akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam

hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.

Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK,

yakni :

1.1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

1.2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

1.3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

1.4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

(18)

2. Hak dan kewajiban pelaku usaha serta kewajibannya

Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang

membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh

konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila :

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

b. Cacat timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan

produksi;

e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh

penguasa.

Pasal 6 UU No. 8 tahun 1999 produsen disebut sebagai pelaku usaha yang

mempunyai hak sebagai berikut :

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang/atau jasa yang

diperdagangkan.

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik.

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang/atau jasa yang

(19)

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :

(a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

(b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

(c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

(d) Menjamin mutu barang/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang/atau jasa

yang berlaku.

(e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

(f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang/atau jasa yang

diperdagangkan.

(g) Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha

diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik lebih

(20)

kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk

beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna

penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan

oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang / diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen,

kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan

transaksi dengan produsen.53

Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah

satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya

misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen

di Indonesia dalam kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebakan karena Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena

informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi

yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk

(cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen

mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai

suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat

berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

53

(21)

tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau

brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada

umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya

kelemahan produk tersebut ditutupi.54

3. Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku yang Mengandung

Klausul Eksonerasi

Perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya,

namun dari keuntungannya ada sisi lain yang menjadi kelemahan yang

dikuatirkan. Hal yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian baku adalah

karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut.

Klausula eksonerasi adalah suatu klausa dalam kontrak yang

membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak yakni pelaku

usaha jika terjadi wanprestasi, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersbut

mestinya dibebankan kepadanya.55

Secara yuridis-teknis, syarat klausul eksonerasi dalam suatu kontrak

biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:

Klausula eksonerasi ini mengakibatkan suatu

kontrak menjadi tidak seimbang karena hanya memberatkan pada salah satu pihak

saja.

56

a. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan kewajiban-kewajiban

hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya,

54

Ibid.

55

Munir Fuady, Op.cit., hal. 98

56

(22)

dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure (keadaan darurat).

b. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum

karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya, mengurangi

atau menghapus ganti kerugian jika terjadi wanprestasi salah satu

pihak dalam kontrak.

c. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu

pihak, tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian

kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak.

Disini terlihat, adanya ketidakseimbangan posisi tawar-menawar antara

pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena hal itu, diperlukan adanya campur

tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) merupakan salah satu prinsip hukum yang berlaku dalam

hubungan antara pihak pelaku usaha dan konsumen.

Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam

menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang

membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau

perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausul

eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan

satu-satunya baru ditemukan dalam UUPK. Walaupun dalam UUPK digunakan istilah

(23)

Dengan adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama

pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit banyak menyadarkan

masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang

(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku. 57

57

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air sungai dilihat kualitas kimia air sungai, lama tinggal di aliran air Sungai Belumai, frekuensi kontak dengan air sungai serta

Penjelasan sistem secara umum, pada gambar 3.1 adalah seperti berikut, user dapat mengakses informasi sesuai dengan hak user, dalam hal ini user dapat

25 Karyawan Bengkel Sentosa Motor bersikap kurang ramah dan sopan dalam memberikan layanan kepada konsumen. 26 Karyawan Bengkel Sentosa Motor tidak memiliki keahilan

unrecognized jat. There is very little evidence pointing to strong negative attitudes among the Tharus in regard to each other’s speech. But if such attitudes were to surface, a

Kota Makassar merupakan kota perdangangan adalah wajar apabila para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor kewirausahaan, salah

pengembangan telah sesuai dengan urutan pencapaian indikator yang dijabarkan berdasarkan KI-KD yang terdiri dari bagian pembuka, bagian inti (terdiri dari 5 kegiatan), dan

Tujuan dari penelitian ini adalah adalah untuk melihat objektif atau tidak pemberitaan yang ditulis pada Surat Kabar Jawa Pos tentang pemberitaan Kebakaran Diskotek redboXX

Dengan ini penulis mengambil judul dalam penyusunan proposal penelitian yaitu Strategi Bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah Sektor Informal Di Gresik ( Studi kasus Usaha