BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaan otonomi daerah kemandirian daerah
merupakan hal yang sangat diperlukan, dengan adanya kemandirian
tersebut diharapkan daerah mampu mengatasi persoalan-persoalan yang
telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi
daerah adalah kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri terutama
berkaitan dengan pemerintahan umum maupun pembangunan, yang
sebelumnya diurus pemerintahan pusat. Perubahan mendasar yang terjadi
pada era otonomi ditandai dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 yang
kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan Dearah dan UU No. 25 tahun 1999 yang diperbaharui
dengan berlakunya UU No. 33 tahun 2004 mambawa perubahan yang
mendasar dalam pola pengelolaan pemerintahan di daerah. Tujuan utama
diberlakukannya kedua undang-undang ini adalah untuk mewujudkan
landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan
memberikan keleluasaan bagi daerah untuk membentuk daerah yang
otonom yang mandiri dengan sumber dana dan perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang jelas dan
Pengembangan otonomi daerah saat ini diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah (Mardiasmo, 2002).
Dalam Mardiasmo (2002) dijelaskan momentum otonomi daerah
saat ini hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pemerintah
daerah untuk mengoptimalkan pembangunan daerahnya. Untuk itu, hal
yang pertama kali perlu dilakukan oleh Pemerintah daerah adalah
melakukan perbaikan lembaga, perbaikan sistem manajemen keuangan
publik, dan reformasi manajemen publik. Oleh karena itu, untuk dapat
membangun landasan perubahan yang kuat, pemerintah perlu melakukan
perenungan kembali yang kemudian diikuti dengan pemerintahan
wirausaha untuk menciptakan pemerintah yang baru yang lebih baik.
2.1.2 Desentralisasi
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semakin besar suatu negara (dilihat
dari penduduk dan luas wilayah) maka biasanya semakin kompleks dan
“heterogen” pemerintahannya, yang tercermin dari tingkatan pemerintah
daerah. Desentralisasi adalah cara untuk melakukan penyesuaian tata
kelola pemerintahan dimana dilakukan distribusi fungsi pengambilan
Desentralisasi politik dan administrasi secara bersamaan diyakini
menjadi prasyarat awal bagi peningkatan kualitas layanan publik, terutama
untuk kelompok miskin. Sebab, partisipasi masyarakat (miskin) dalam
proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas pemerintah daerah hanya
dapat terjadi apabila desentralisasi politik sudah berlangsung.
Desentralisasi administrasi kemudian memperkuat kondisi tersebut lewat
pembentukan kelembagaan yang bertanggung jawab menjalankan proses
itu. Kemudian, desentralisasi fiskal menjadi bagian yang melengkapi
persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa semua program dan target
dapat dilaksanakan. Desentralisasi fiskal ini merupakan inti dari
desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik
maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal
merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk dapat melaksanakan
kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa
diberi wewenang di dalam penerimaan maupun pengeluaran desentralisasi
fiskal tidak akan efektif. Dengan demikian, desentralisasi fiskal akan
memberi keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan
memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal.
Terdapat beberapa alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan
yang terdesentralisai (Simanjuntak, 2001) :
1. Representasi demokrasi, untuk memastikan hak seluruh warga negara untuk berpartisipasi secara langsung pada keputusan yang akan mem-pengaruhi daerah atau wilayah.
rakyat seluruh negara, terutama pada negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia.
3. Pengetahuan lokal (lokal knowledge), mereka yang berada pada daerah lokal mempunyai pengetahuan yang lebih banyak mengenai kebutuhan lokal, prioritas, kondisi, dll.
4. Mobilitas sumber daya, mobilitas pada bantuan dan sumber daya dapat di fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di antara populasi dan pembuat kebijakan pada tingkat lokal.
2.1.3 Teori Transfer
Definisi transfer menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 24
Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu : “Transfer adalah penerimaan atau
pengeluaran uang dari satu entitas pelapor dari atau kepada entitas
pelaporan lain, termasuk dana perimbangan”. Transfer dana perimbangan
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat
kepada daerah dan antar pemerintah daerah. Dana perimbangan
merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas
Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK). Transfer menurut Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan (BPPK) dapat dikelompokan menjadi dua kategori besar, yaitu
transfer tanpa syarat (Unconditional grant) dan Transfer dengan syarat
(conditional grant). Transfer tanpa syarat (unconditional grants), merupakan bantuan kepada pemerintah daerah yang tidak disertai ikatan
atau syarat tertentu dalam arti daerah dapat menggunakannya sesuai
dengan yang dikehendaki oleh daerah yang bersangkutan. Ciri utama dari
transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan penuh dalam
sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerahnya.
Pemerintah pusat tidak terlibat langsung dalam menentukan pengalokasian
bantuan tersebut.
Transfer dengan syarat (conditional grant), merupakan bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menyediakan pelayanaan atau
jasa-jasa publik yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Transfer ini
digunakan untuk membiayai program-program yang dianggap penting
oleh pemerintah pusat. Program-program pemerintah pusat tersebut
misalnya program KB, imunisasi dan lain sebagainya. Transfer ini
dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh pusat
kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan
pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Pemerintah daerah telah
mengalokasikan sejumlah dana pendapatan daerahnya untuk
penyelenggaraann urusan tersebut dengan baik. Transfer dari
pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu
mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer penimbang ini juga
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer penimbang tidak
terbatas dan transfer penimbang terbatas.
2. Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh
pusat kepada daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu
daerah sendiri akan menglokasikan dananya dalam jumlah besar
atau kecil.
2.1.4 Dana Perimbangan
Menurut (Halim, 2002) dijelaskan bahwa Dana Perimbangan
merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah. Dana Perimbangan dipisahkan menjadi lima
jenis, yaitu:
1. Bagi Hasil Pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan pasal 21.
2. Bagi Hasil Bukan Pajak, terdiri atas Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH), pemberian hak atas tanah negara, landrent, dan penerimaan dari iuran eksplorasi.
3. Dana Alokasi Umum
DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Estimasi untuk perhitungan anggaran DAU dihitung berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 dan PP No. 104 Tahun 2000.
4. Dana Alokasi Khusus
DAK adalah dana yang bersal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Berdasarkan pasal 19 ayat 1 PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
5. Dana Darurat, terdiri atas Dana Kontingensi. Dana Kontingensi
yaitu dana yang disisihkan dari pendapatan bersih untuk menutup biaya tidak terduga atau tidak diharapkan.
2.1.4.1 Dana Bagi Hasil
Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 33
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.
Menurut Widarnarto (2015) dana bagi hasil yang selanjutnya
disebut DBH merupakan penerimaan yang diperoleh oleh
pemerintah daerah bagi hasil pajak dan non pajak yang berasal dari
hasil pembagian penerimaan pusat dan provinsi yang
diperuntukkan bagi pemerintah kabupaten/kota. Dana Bagi Hasil
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah dengan angka presentase tertentu
didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH dilakukan
berdasarkan prinsip by origin atau daerah penghasil yang
disalurkan berdasarkan bagian daerah pada realisasi penerimaan
tahun anggaran berjalan. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang dana
perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi
Hasil Sumber Daya Alam. Dana Bagi Hasil Pajak terdiri dari Dana
Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan, Dana Bagi Hasil Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Dana Bagi Hasil Pajak
Penghasilan. Sedangkan Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam
terdiri dari Dana Bagi Hasil Kehutanan, Dana Bagi Hasil
Hasil Pertambangan Minyak Bumi, Dana Bagi Hasil Pertambangan
Gas Bumi, Dana Bagi Hasil Pertambangan Panas Bumi
2.1.4.2 Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum merupakan komponen dari dana
perimbangan yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan
bahwa “Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.
Definisi dari DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003) :
1. Salah satu komponen dana perimbangan pada APDN yang pengalokasikannya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal yaitu selisih antar kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal
2. instrument untuk mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan peningkatan kemampuan keuangan antara daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
3. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil SDA yang diperoleh daerah otonomi dan pembangunan daerah.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dana alokasi
umum yang selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
a. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
b. PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan
Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil
berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan
ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan
dan potensi daerah. Dana alokasi umum bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar namun kebutuhannya fiskalnya kecil akan
memperoleh Dana alokasi umum yang relatisf kecil. Sebaliknya
daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan
fiskalnya besar akan memperoleh dana alokasi umum relative
besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah
yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan
belanja pegawai (Halim,2009).
Halim (2009) mengatakan bahwa ketimpangan ekonomi
antara satu Provinsi dengan Provinsi lain tidak dapat dihindari
dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh minimnya
sumber pajak dan sumber daya alam yang kurang dapat digali oleh
pemerintah daerah. Untuk menanggulani ketimpangan tersebut,
pemerintah pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa
tinggi, akan diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang
kaya begitu juga sebaliknya.
Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah
sebagai berikut (Prakosa, 2004):
a. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. DAU untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10 % dan 90 % dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas.
c. DAU untuk suatu kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
2.1.4.3 Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk
membantu membiayai kebutuhan tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Berdasarkan pasal 19
ayat 1 PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan,
disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari
APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Yang dimaksudkan sebagai daerah tertentu adalah
daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus.
dana dalam APBN berarti bahwa besaran Dana Alokasi Khusus
tidak dapat dipastikan setiap tahun. DAK disalurkan dengan cara
pemindah bukuan dari rekening kas umum Negara ke rekening kas
umum daerah, oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD
(Listiorini, 2011). DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai
administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian,
pelatihan dan perjalanan dinas. DAK ini digunakan untuk
meningkatkan pelayanan publik antara lain seperti pembangunan
rumah sakit, jalan, irigasi, dan air bersih. Menurut Ndadari dan Adi
(2008) DAK ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan
karena digunakan untuk mendanai peningkatan kuliatas pelayanan
publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik.
Dana Alokasi Khusus digunakan khusus untuk membiayai
investasi pengadaan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik
dengan umur ekonomis yang panjang. Dalam keadaan tertentu
Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan
pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas,
tidak melebihi 3 tahun. DAK digunakan sepenuhnya sebagai
belanja modal oleh pemerintah daerah. Belanja modal kemudian
digunakan untuk menyediakan aset tetap. Menurut Abdullah dan
halim (2004) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja
modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan
2.1.5 Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri
diberikan sumber-sumber pedapatan atau penerimaan keuangan daerah
untuk membiayai seluruh aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil
dan makmur. Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana
masing-rnasing pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab
untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan
melaksanakan pembangunan disegala bidang sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
pasal 10 yang menyatakan bahwa Pemerintah daerah berhak dan
berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
Kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
merupakan suatu upaya untuk meningkatkan peran pemerintah daerah
dalam mengembangkan potensi daerahnya dengan mengelola
sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien dan efektif khususnya pada
Pendapatan asli daerah. Hal tersebut tercantum pada UU No. 33 Tahun
2004 Pasal 3 No. 1 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah yang menyatakan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah
Menurut Mardiasmo (2002), pendapatan asli daerah adalah
penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah hasil
perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Yani
(2008), pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Widarnarto (2015:19)
pendapatan asli daerah merupakan penerimaan yang di peroleh oleh
pemerintah daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
dipunggut dengan menerbitkan peraturan daerah dengan mendasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang berlaku.
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) yaitu:
a. Pajak Daerah;
Menurut Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah pengertian Pajak Daerah, yang selanjutnya
disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerahbagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Retribusi Daerah;
Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan. Retribusi dapat tidak
dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas
kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut
secara cuma-cuma. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun
2009 pasal 108 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Objek
Retribusi terbagi atas:
Jasa Umum;
Jasa Usaha; dan
Perizinan Tertentu.
c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan;
Penganggaran yang dihasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan memperhatikan rasionalitas dengan memperhitungkan
nilai kekayaan daerah yang dipisahkan dan memperhatikan
perolehan manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya dalam
jangka waktu tertentu, dengan berpedoman pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pengelolaan Investasi Daerah. Pengertian rasionalitas dalam
Bagi perusahaan daerah yang menjalankan fungsi pemupukan
laba adalah mampu menghasilkan keuntungan atau deviden
dalam rangka meningkatkan PAD; dan
Bagi perusahaan daerah yang menjalankan fungsi kemanfaatan
umum adalah mampu meningkatkan baik kualitas mau pun
cakupan layanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Lain-lain PAD yang sah;
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah pasal 26, Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak
termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut
obyek pendapatan yang mencakup:
Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
Jasa giro
Pendapatan bunga
Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah
Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan
Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing
Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
Pendapatan denda pajak
Pendapatan denda retribusi
Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan
Pendapatan dari pengembalian
Fasilitas sosial dan fasilitas umum
Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
dan
Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan
Penganggaran Lain-lain PAD Yang Sah meliputi (Pemendagri No.37
tahun 2014 tentang APBD untuk tahun 2015):
a) Pendapatan hasil pengelolaan dana bergulir sebagai salah satu bentuk investasi jangka panjang non permanen, dianggarkan pada akun pendapatan, kelompok PAD, jenis Lain - lain PAD Yang Sah, obyek Hasil Pengelolaan Dana Bergulir, rincian obyek Hasil Pengelolaan Dana Bergulir dari Kelompok Masyarakat Penerima. b) Pendapatan bunga atau jasa giro dari dana cadangan, dianggarkan
2.1.6 Belanja Daerah
Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah
yang dialokasikan secara adil dan merata agar relative dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa deskriminasi, khususnya dalam
pemberian pelayanan umum (Rofiq, 2007). Belanja daerah meliputi semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas
dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak
akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah
dirinci menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, program, kegiatan,
kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja. Menurut leonard (2011)
Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam
upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu
belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja
langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak
langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk
gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
b. Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah
dan jangka panjang.
c. Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya
produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu yang menghasilkan
produk atau jasa pelayanan umum masyarakat agar harga jual
produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat
banyak.
d. Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah
dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau
organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah dietapkan
peruntukannya.
e. Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk menganggarkan
pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam
bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota
masyarakat dan partai politik.
f. Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah
desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada
pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
g. Belanja Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarkan
bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah
daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada
pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka
pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.
h. Belanja Tidak terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai, digunakan untuk pengeluaran honorarium/upah
dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
b. Belanja barang dan jasa, digunakan untuk pengeluaran
pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12
bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah.
c. Belanja Modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan (Warsito, dkk 2008).
2.1.7 Flypaper Effect
flypaper effect disebut sebagai suatu kondisi yang terjadi saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih banyak menggunakan
dana transfer dari pada menggunakan pendapatan sendiri.
Menurut Maimunah (2006), flypaper effect merupakan suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon belanja lebih banyak/boros
dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU (dana alokasi umum) dari pada menggunakan kemampuan sendiri,
diproksikan dengan PAD (pendapatan asli daerah). Variabel terikat dalam
pekerjaan umum. Selanjutnya variabel-variabel bebasnya adalah Dana
Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Kemampuan
Daerah. Oates (1999) menyatakan fenomena flaypaper effect dapat
dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya
rata-rata penyediaan barang publik (bukan biaya marginalnya). Namun
masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang yang terjadi adalah
pada biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya
harga barang publik akan menurun. Bila harga permintaan barang publik
tidak elastis, maka transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi
masyarakat. Ini berarti Flypaper effect merupakan akibat dari
ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah daerah. Lebih jauh,
ilusi fiskal diartikan sebagi kesalahan persepsi masyarakat baik mengenai
pembiayaan maupun alokasi anggaran dan keputusan mengenai kedua hal
tersebut dihasilkan justru dari kesalahan persepsi semacam ini. Sedangkan
menurut Kuncoro (2007) fenomena flaypaper effect mengarah pada
elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi dari pada
elastissitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah.
Flypaper effect dapat terkendali dalam dua versi (Kuncoro, 2007) yaitu : Pertama merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran
belanja pemerintahan yang berlebihan, dan kedua mengarah pada
elastisitas pegeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi dari pada
elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah. Pada penelitian
perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang Pendapatan Asli Daerahnya tinggi maupun pada daerah yang Pendapatan Asli
Daerahnya rendah.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Hasil dari beberapa peneliti akan digunakan sebagai bahan referensi dan
perbandingan dalam penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut : Maimunah
(2006) melakukan penelitian tentang Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum
dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di
sumatera dan menemukan besarnya nilai Dana Alokasi Umum dan Pendapatan
Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah dan ada pengaruh
Flypapaer Effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan.
Leonard (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Fenomena Flypaper
Effect pada Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kapasitas fiskal mempunyai pengaruh yang lebih
signifikan terhadap belanja daerah dari pada dana alokasi umum, hal ini
menunjukkan bahwa pemerintahan kabupaten/kota di provinsi Riau lebih
bertumpu pada kapasitas fiskal daerah dari pada bantuan dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah juga tidak bertupu pada dana alokasi umum dalam menyusun
belanja daerah periode selanjutnya.
Listiorini (2011) dengan judul Fenomena Flypaper Effect pada Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadapa Belanja Daerah
pemerintah pusat yang diberikan kepada pemerintah daerah. Penelitian ini
menunjukkan bahwa secara simultan terjadi fenomena Flypaper Effect pada DAU, DAK, DBH dan PAD berpengaruh terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara dan secara parsial, terjadi fenomena Flypaper Effect dimana nilai
koefisien DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar dari nilai koefisien PAD dan
keduanya berpengaruh signifikan terhdap Belanja Daerah di Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara, sedangkan variabel DAK dan DBH tidak berpengaruh signifikan
terhadap Belanja Daerah, dan riset ini menunjukkan bahwa variabel DAK dan
DBH tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan Belanja Daerah.
Fitri (2012) yang meneliti tentang Flypaper Effect pada Unconditional
Grant dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitiannya menunjukan dana alokasi umum,
dana bagi hasil dan pendapatan asli daerah secara simultan berpengaruh terhadap
belanja daerah kabupaten/kota di provinsi sumatera utara. Dana alokasi umum,
dana bagi hasil dan pendapatan asli daerah berpengaruh secara parsial terhadap
belanja daerah kabupaten/kota di provinsi sumatera utara dan terjadi Flypaper
Effect pada dana alokasi umum, dana bagi hasil terhadap belanja daerah.
Tabel 2.1 memperlihatkan jurnal-jurnal dan penelitian yang penulis
jadikan sebagai referensi dan pedoman dalam penelitian flypaper effect pada Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus dan pendapatan asli
daerah terhadap belanja daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Adapun penelitian yang sejenis yang sebelumnya telah dilakukan untuk
Tabel 2.1
Sumber : Dioalah Penulis
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka penelitian menunjukan hubungan atau keterkaitan antara
variabel yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan landasan teori dan
masalah penelitian, maka dapat dikembangkan kerangka penelitian yang diuji
secara simultan sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini. 4 Fitri yani
panggabean (2012)
Variabel Independen : - Unconditional
Grant, - Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Variabel Dependen:
- Belanja Daerah
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Peneliti mengidentifikasi 5 variabel penelitian yaitu dana alokasi umum
(X1), dana bagi hasil (X2), dana alokasi khusus (X3), pendapatan asli daerah (X4)
dan belanja daerah (Y). Dari gambar 2.1 kerangka konseptual dapat diuraikan
bahwa dana alokasi umum, dana bagi hasil, dana alokasi khusus, pendapatan asli
daerah mempengaruhi belanja daerah.
2.4 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2008), Hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan
dengan maksud untuk diuji secara empiris. “Proposisi merupakan ungkapan atau
pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal, atau di uji kebenarannya mengenai
fenomena. Hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena
atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi” (Erlina, 2011).
Berdasarkan perumusan masalah dalam kerangka konseptual diatas, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah : Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja
Daerah baik secara simultan maupun parsial pada Kabupaten/Kota Provinsi
Sumatera Utara. Adapun hipotesis yang akan dikemukakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
2.4.1 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Daerah
Dana Alokasi Umum menunjukkan jika Pendapatan Asli Daerah
berpengaruh terhadap Belanja Daerah maka kemungkinan besar Dana
Alokasi Umum ikut berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi Dana Alokasi Umum yang diterima oleh pemerintah
daerah maka semakin meningkat nilai pemerintah daerah tersebut,
disebabkan peran Dana Alokasi Umum sangat signifikan, karena Belanja
Daerah lebih di dominasi dari jumlah Dana Alokasi Umum. Dana Alokasi
Umum yang diterima pemerintah daerah akan ditunjukkan untuk belanja
pemerintah daerah, salah satunya adalah untuk belanja modal, hal ini tidak
jauh beda dari peran Pendapatan Asli Daerah yaitu dengan pembangunan
infrastruktur dan sarana prasarana oleh pemerintah daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah. Dari uraian diatas, diturunkan
� : Dana alokasi umum berpengaruh terhadap belanja
daerah.
2.4.2 Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Belanja Daerah
Dana Bagi Hasil merupakan salah satu dari Transfer tanpa syarat
(unconditional grant) yang ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap daerah dapat
melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak.
Kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa
mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan
melepaskan ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat.
Maimunah (2006) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat
antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah,
dalam hal ini pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan
perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan
pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Dari uraian diatas,
diturunkan hipotesis penelitian sebagai berikut :
� : Dana bagi hasil berpengaruh terhadap belanja daerah.
2.4.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Daerah
Dana Alokasi Khusus menunjukkan apabila Pendapatan Asli
Daerah berpengaruh terhadap Belanja Daerah maka dana alokasi khusus
kememungkinan ikut berpengaruh terhadap belanja daerah, hal ini
disebabkan karena nilai Dana Alokasi Khusus yang diterima pemerintah
urusan daerah. Kegiatan khusus yang dimaksud adalah sesuai dengan
fungsi yang telah ditetapkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara
misalnya untuk layanan umum, pendidikan dan lain-lain. Yang berarti
tidak boleh disalahgunakan yang digunakan untuk kegiatan diluar
ketentuan. Dari uraian diatas, diturunkan hipotesis penelitian sebagai
berikut :
� : Dana alokasi khusus berpengaruh terhadap belanja
daerah
2.4.4 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah menunjukan kemampuan
daerah dalam memperoleh dana yang dialokasikan untuk tujuan
pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kenaikan
Pendapatan Asli Daerah akan memicu, mencerminkan serta kecukupan
dalam membiayai belanja daerah. Semakin besar kemampuan pemerintah
daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah maka semakin besar
pula kemampuan pemerintah daerah dalam menanggung beban dan
membiayai kewajiban belanja daerah. Meningkatnya pendapatan asli
daerah, sangat membantu dalam belanja pemerintah daerah terutama
dalam pembangunan daerah menjadi lebih baik serta membantu
pertumbuhan ekonomi daerah. (Maimunah, 2006) menyatakan bahwa
belanjalah yang mempengaruhi pendapatan daerah. Hipotesis yang
menyatakan bahwa pendapatan daerah (terutama pajak) akan
tax spend hypothesis (Maimunah, 2006). Dalam hal ini, pengeluaran pemerintahan daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam
pendapatan pemerintahan daerah atau perubahan pendapatan terjadi
sebelum perubahan pengeluaran. Menurut Iskandar (2012) menyatakan
bahwa tingkat pendapatan akan berpengaruh positif pada belanja publik.
Bahwa pertumbuhan pendapatan asli daerah secara berkelanjutan akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan belanja daerah. Dari uraian
diatas, diturunkan hipotesis penelitian sebagai berikut :
� : Pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja
daerah.
2.4.5 Pengaruh Dana Alokasi umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah.
Keempat variabel independen dalam penelitian ini memiliki
hubungan yang langsung dengan variabel dependennya yaitu belanja
daerah. Menurut Darwanto dan Yulia (2007) menyatakan bahwa terdapat
keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan
belanja pemerintah daerah. Secara lebih spesifik ditegaskan bahwa
variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek
disesuiakan dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan
terjadinya respon yang non-linear dan asymmetric. Dari uraian diatas,
� : Dana Alokasi umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi