• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”.(Studi Empiris pada KPP Pratama Binjai)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBENTUKAN HIPOTESIS

2.1.Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit) 2.1.1. Pengertian Pemeriksaan Pajak

Beberapa pengertian dan definisi yang perlu diketahui yang

berkaitan dengan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2013 : 1) adalah sebagai

berikut :

a. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah

data, keterangan, dan/bukti audit yang dilaksanakan secara objektif dan

profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan

lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan.

b. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat

kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal

Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jendral

Pajak.

c. Pemeriksaan kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor

Direktorat Jenderal Pajak.

d. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat

Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal

Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk

(2)

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan sesuatu yang sangat

penting untuk dilakukan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini

dapat dilihat dari segi kejujuran, kemauan untuk membayar pajak, dan

bahkan menjadikan bahan pertimbangan apa yang menyebabkan Wajib

Pajak tidak mau melakukan pembayaran pajak. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan Wajib Pajak sangat

sulit untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan. Beberapa ahli telah

meneliti dampak pada pelaporan SPT pada tahun setelah dilakukan

pemeriksaan dengan menggunakan sumber data pemeriksaan internal

Revenue Service di Amerika Serikat atas Wajib Pajak pada suatu tahun

yang selanjutnya akan menjadi obyek pemeriksaan selanjutnya di tahun

berikutnya.

Hasil penelitian menunjukkan adanya proporsi perbaikan

kepatuhan yang substansial dibandingkan hasil pemeriksaan pajak

sebelumnya.Namun, sangatlah sulit menentukan keefektifan ukuran

kinerja pemeriksaan. Pada tataran konsep, pengukuran hasil pemeriksaan

yang paling bernilai dan tajam adalah manakala pemeriksaan pajak

menghasilkan kewajiban pajak yang benar-benar harus dibayar dan juga

mampu mempengaruhi Wajib Pajak agar secara suka rela mematuhi dan

memenuhi kewajiban perpajakannya di masa mendatang. Tidak ada cara

empiris untuk memastikan apa yang telah dibayar Wajib Pajak sesuai

dengan seharusnya, sekaligus merupakan kemustahilan untuk mengetahui

apakah setelah diperiksa akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak

(3)

Berhubungan dengan etika penggelapan pajak, maka intensitas

pemeriksaan pajak memiliki hubungan yang sangat erat. Dimana,

dianalogikan ketika pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan sistem dan

disiplin yang baik, maka Wajib Pajak akan takut ataupun enggan untuk

melakukan penggelapan pajak. Hal ini dapat di pahami, karena Wajib

Pajak akan merasa lebih di kontrol, takut terhadap sanksi yang akan

diberikan jika mereka tidak mematuhi Undang-Undang Perpajakan, dan

bahkan mereka cenderung melaksanakan kewajibannya untuk membayar

pajak karena segala strategi yang mereka lakukan untuk menggelapkan

pajak, akan dapat diketahui dan diselidiki oleh pihak fiskus.

2.1.2. Pemeriksaan Pajak Yang Telah Di Terapkan

Penelitian mengenai kepatuhan Wajib Pajak sudah sangat sering

sekali dilakukan diantaranya adalah Penelitian dilakukan dengan memilih

Wajib Pajak yang telah mengalami pemeriksaan pajak oleh Karikpa

Mataram sebanyak tiga kali sejak tahun 1993 hingga 2005 baik WP Badan

maupun WP OP dan terkumpul sebanyak 52 Wajib Pajak. Kepatuhan

Wajib Pajak per jenis pajaknya diukur dari proporsi jumlah koreksi pajak

dengan jumlah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.Uji t digunakan

untuk mengetahui apakah hasil dari dua frekuensi pemeriksaan pajak yang

berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan.Uji F digunakan untuk

melihat perbedaan secara serentak pada ketiga frekuensi pemeriksaan yang

berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk jenis PPh Badan/Op,

PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 hanya sedikit sekali yang menunjukan

(4)

Demikian juga ternyata hubungan/korelasi antara hasil dari ketiga

frekuensi pemeriksaan juga lemah.Kondisi yang lebih baik ditunjukkan

dari hasil pemeriksaan atas PPN.Banyak hal yang dapat diasumsikan

mengenai pemeriksaan pajak ini, karena mungkin saja sistem perpajakan

yang diterapkan di Indonesia juga sangat lemah.Kesimpulan yang dapat

diambil adalah ternyata sangat sedikit sekali jumlah Wajib Pajak yang

menunjukan peningkatankepatuhan sekalipun diiringi dengan

perbandingan frekuensi pemeriksaan pajak.Seluruh kepatuhan Wajib Pajak

pada berbagai perbandingan frekuensi yang berbeda, baik secara

berpasangan maupun serentak, atas seluruh jenis pajak tidak menunjukkan

perbedaan hasil yang signifikan.Keeratan korelasi antara berbagai

kepatuhan Wajib Pajak pada berbagai jenis pajak dalam setiap

perbandingan frekuensi pemeriksaan menunjukkan hasil yang lemah dan

tidak bermakna.

2.1.3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak

Beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak

adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terahir dengan UU No. 16

Tahun 2009.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan

(5)

Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tanggal 28 Desember 2007 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal

18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak

Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.

e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-201/PMK.03/2007 tanggal

28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban Merahasiakan.

f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.

g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka

Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.

h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal

28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan

Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01

Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan

(6)

2.1.4. Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak

Menurut Hidayat (2013 : 11), pedoman pelaksanaan pemeriksaan

pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan beberapa kebijakan

umum yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Setiap wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa.

b. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat

perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang

diperiksa.

c. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jenderal

Pajak, kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan

dan penyidikan pajak atau kantor pelayanan pajak.

d. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak

diperkenankan, kecuali dalam hal seperti berikut :

1. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak diduga telah atau sedang

melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;

2. Terdapat data baru dan atau data semula belum terungkap,

mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang atau

mengurangi kerugian yang dapat dikompensasikan.

e. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari

Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli,

dapat juga misalnya fotokopi yang sesuai dengan aslinya.

f. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk

pemeriksaan sederhana kantor) atau di tempat Wajib Pajak (untuk

(7)

g. Jangka waktu pemeriksaan terbatas.

h. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun

sebelumnya maupun tahun sesudahnya, yaitu dalam hal:

1. SPT tahunan, wajib pajak orang pribadi atau badan menyatakan

adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang

belum dilakukan pemeriksaan.

2. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi direktur pemeriksaan,

penyidikan, dan penagihan pajak.

i. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak

secara tertulis, yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara surat

pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dan hasil pemeriksaan, dan

selanjutnya untuk ditanggapi oleh Wajib Pajak.

2.2.Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance) 2.2.1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan

Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain,

2004) sebagai “Suatu iklimkepatuhan dan kesadaran pemenuhan

kewajibanperpajakan, tercermin dalam situasi dimana:

 WajibPajakpahamatauberusahauntukmemahamisemuaketentuan

Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan,  Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,  Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,  Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan

(8)

 Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak

dalam 2 tahun terakhir.

 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak,

kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda

pembayaran pajak.

 Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

 Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam

hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi

pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak

yang terutang paling banyak 5%.

 Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir

diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa

pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak

mempengaruhi laba rugi fiskal.

2.2.2. Kepatuhan Wajib Pajak Meningkatkan Penerimaan Pajak Setiap Negara mengharapkan bahwa setiap Wajib Pajak yang

terdaftar akan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Kepatuhan

Wajib Pajak tidak terlepas dari bagaimana setiap Wajib Pajak mampu

memperoleh ataupun menikmati berbagai fasilitas milik negara yang

merupakan hasil dari pengelolaan dana perpajakan. Maka dari itu

setiap Wajib Pajak akan mematuhi Undang-Undang Perpajakan dan

(9)

memahami bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah memiliki

tujuan yang sangat baik.

Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan

penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan

sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak

akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami

bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi

tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai

perpajakan.Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani

(2013), tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai

alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat

dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan

melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan

aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan.

2.2.3. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak

MasalahkepatuhanWajibPajakadalahmasalahpentingdiseluruhd

unia,baikbaginegaramajumaupundinegara sedang

berkembang.KarenajikaWajibPajaktidakpatuhmakaakanmenimbulkank

einginanuntukmelakukantindakanpenghindaran,pengelakan,penyelund

upandanpelalaian pajak.

Padaakhirnyatindakantersebutakanmenyebabkanpenerimaanpajaknegar

aakanberkurang.Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat

(10)

dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang

dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara.

Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebuah

negara yang memiliki rakyat yang mampu melakukan pembayaran

pajak secara teratur, maka penerimaan negaranya dari sektor

perpajakan akan sangat meningkat. Namun demikian, pemerintah juga

harus mampu menarik kepercayaan masyarakat ataupun Wajib Pajak

bahwa setiap pajak yang mereka setorkan akan dimanfaatkan

sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan bersama. Jadi, hal yang paling diharapkan oleh Wajib

Pajak adalah dana perpajakan tersebut dapat terealisasi dengan baik

sesuai dengan tujuan pemerintah untuk memakmurkan rakyat.

2.3.Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledge) 2.3.1.Pengertian Pengetahuan Wajib Pajak

Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan

merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono

(2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang

baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga

ditemukan oleh Kassipillai (2006), ia mengatakan pengetahuan tentang

pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS.

Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib

(11)

Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah

dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus,

walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan

sikap Wajib Pajak (dalam Palil, 2005), dikemukakan hasil penelitian

bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi

pula nilai etika terhadap pajak. Palil (2005) menyatakan bahwa

pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan

setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan

sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi

untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak.

Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang

sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini

menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman

kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan,

sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu

memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa

penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian,

pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax

evasion dan tax fraud juga akan di minimalisir.

2.3.2.Pengetahuan Wajib Pajak Sebagai Ukuran Kepatuhan

Berbagai sosialisasi mengenai perpajakan akan mampu

meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak di bidang perpajakan. Tidak

(12)

secara mutlak mulai dari penerapan Undang-Undang Perpajakan, tujuan

pemungutan pajak, dan pengalokasian dana perpajakan akan memiliki

pengetahuan yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhannya untuk

membayar pajak

Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak

mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara signifikan yang

dilakukan pada 107 Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan pada KPP

Surakarta.Penelitian – penelitian terdahulu tersebut telah dilakukan silih

berganti dengan populasi dan smapel yang berbeda-beda pula. Dapat

ditarik sebuah pemikiran sederhana bahwa ketika Wajib Pajak memiliki

pengetahuan tentang pajak dengan baik, maka etika penggelapan pajak

akan semakin rendah dan enggan untuk dilaksanakan. Tetapi, pada

kenyataannya pengetahuan pajak ini bukanlah sesuatu hal yang merata

untuk dapat diberikan kepada seluruh Wajib Pajak.

2.4.Sistem Perpajakan (Tax System)

2.4.1.Sistem Perpajakan Berkontribusi Terhadap Penerimaan Pajak Sebuah sistem perpajakan akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk

melakukan pembayaran pajak. Sistem perpajakan yang cenderung rumit,

akan membuat Wajib Pajak enggan melakukan pembayaran pajak.

Suryani (2013) telah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur

apakah sistem perpajakan memiliki hubungan yang erat dengan etika

penggelapan pajak.Hasilnya adalah sistem perpajakan memiliki

hubungan yang negatif dengan penggelapan pajak.Hasil penelitian ini

(13)

menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki korelasi negatif

signifikan terhadap penggelapan pajak.

Semakin baik, mudah dan terkendali prosedur sistem perpajakan

yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang

tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan

pajak. Hal ini dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak merupakan

pihak yang akan menyetorkan uang mereka maka dari itu pihak

pemerintah selaku pemungut pajak, harus membuat sebuah sistem

perpajakan yang cenderung praktis namun efektif dan efisien. Sistem

perpajakan memiliki kontribusi terhadap penerimaan pajak, dimana jika

sistem perpajakan yang diterapkan baik maka Wajib Pajak akan

melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Jika sistem

perpajakannya cenderung rumit, maka Wajib Pajak malas untuk

membayarkan pajak dan penerimaan pajak akan menurun karena

tingginya tingkat penggelapan pajak yang dilakukan.

2.4.2.Asas-Asas Pemungutan Pajak

Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh

Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of the

Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut :

a. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak

dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan

(14)

manfaat yang diterima.Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak

menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding

dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.

b. Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.Oleh karena

itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya

pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu

pembayaran.

c. Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai

dengan asas-asas yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai

contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem

pemungutan ini disebut pay as you earn.

d. Economy

Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban

pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian

pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.

2.4.3.Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang

diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai

(15)

a. Official Assesment System

Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan

mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung).Jadi, dapat

dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif.Tahapan-tahapan dalam

menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan

oleh fiskus yang terutang dalam SKP.Selanjutnya Wajib Pajak baru

aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan

ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini

pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap

memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda

hingga tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak

Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh

sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System.

b. Self Assesment System

Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi

perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Dalam memori

penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat

Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan

kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan,

dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga

melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat

(16)

dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.Selain itu, Wajib

Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak

yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan

dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.Pemerintah,

dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya

berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan

terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan

ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan

Perpajakan.

c. Withholding Tax System

Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan

melalui pihak ketiga.Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin

pada pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak

Pertambahan Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak

Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain,

atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan

Nilai.

Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan

secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di

Indonesia.Self Assesment System berlaku ketika Wajib Pajak

melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya

(menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang).Pada saat

yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau

(17)

berwenang memungut pajak, maka Withholding Tax System juga

digunakan. Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus

melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP)

atas laporan Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia

menerapkan Self Assesment System dalam pemungutan pajak.

2.5.Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Fiscal Fraud) 2.5.1.Kecurangan Dalam Bidang Perpajakan

Berikut ini adalah beberapa pengertian kecurangan menurut para

ahli:

Pengertian fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2008:11) adalah sebagai berikut:

“Dalam istilah sehari-hari, fraud dimaknai sebagai

ketidakjujuran.Dalam terminologi awam fraud lebih ditekankan pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain”.

Adapun kecurangan didefinisakan oleh Hiro Tugiman (2006:63) adalah sebagai berikut:

“Fraud mencakup perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dilakukan dengan niat untuk berbuat curang.Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja demi keuntungan atau kerugian suatu organisasi oleh orang dalam atau juga oleh orang luar di luar organisasi tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan

merupakan suatu kesalahan yang disengaja, dilakukan oleh seseorang

untuk mendapatkan suatu manfaat keuangan secara tidak jujur sehingga

(18)

Kecurangan dalam bidang perpajakan dapat dilakukan dengan

cara penggelapan pajak, transfer pricing, tidak memiliki NPWP, tidak

melakukan penyetoran SPT, memanipulasi laba, memperbesar beban,

melakukan mark up terhadap aset, memindah bukukan beban, dan lain

sebagainya. Sangat banyak cara yang dilakukan untuk menerapkan

penggelapan pajak. Bahkan pihak Ditjen pajak terlalu sering kecolongan

untuk mengatasi penggelapan pajak yang sering dilakukan oleh Wajib

Pajak.Dengan demikian, kemungkinan terdeteksinya penggelapan pajak

dapat dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan pajak, tidak adanya

diskriminasi, menerapkan keadilan dan senantiasa memupuk

pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan.

Kecurangan dalam bidang perpajakan sebenarnya sangat mudah

dilakukan, dan setiap Wajib Pajak Badan terutama yang memiliki

kewajiban untuk membayar pajak dalam jumlah yang besar, sering

melakukan manipulasi dalam bidang perpajakan.Hal ini dikarenakan

selalu ada celah antara bidang perpajakan dengan penerapan pencatatan

ataupun pengakuan pendapatan dan beban yang diterapkan oleh bidang

akuntansi.Maka dari itu, Undang-Undang Perpajakan juga dapat menjadi

celah dalam penerapan manipulasi perpajakan ini.

2.5.2. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Akan Mengurangi Penggelapan Pajak

Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa ketika

kemungkinan terdeteksinya kecurangan di dalam bidang perpajakan

(19)

Penelitian ini dilakukan oleh seorang Mahasiswi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013 lalu.Dia melakukan sebuah

penelitian di beberapa KPP di Jakarta, dimana terdapat perbandingan

yang bersifat negatif di dalam hasil penelitiannya mengenai

kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak

mengenai etika penggelapan pajak.

Penelitian tersebut menjelaskan bahwa kemungkinan

terdeteksinya kecurangan akan menyebabkan Wajib Pajak semakin

patuh untuk membayar pajak. Dimana, kemungkinan terdeteksinya

kecurangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pemeriksaan pajak

yang dilakukan oleh pihak Ditjen pajak, kontrol yang tinggi, dan bahkan

penerapan sanksi yang membuat Wajib Pajak akan takut jika mereka

melakukan penggelapan pajak. Dengan demikian, mereka akan lebih

mematuhi dan lebih taat untuk membayar pajak, jika kemungkinan

terdeteksinya kecurangan tersebut semakin tinggi. Maka dari itu, hasil

penelitiannya menyatakan bahwa hubungan keduanya adalah berbanding

negatif.

Hal ini relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Suryani (2013) Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak,

itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar Undang-Undang.

Jika Wajib Pajak menggelapkan pajak, maka Wajib Pajak mendapatkan

keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar

Undang-Undang tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang

(20)

mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan

diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran Undang-Undang Pajak,

tetapi juga Undang-Undang yang lainnya.

2.6.Etika

2.6.1.Pengertian Etika

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.Bentuk tunggal

kata “etika” yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha.Ethos

mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput,

kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara

berpikir.Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.Arti dari bentuk

jamak inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh

Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara

etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa

yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan(K.Bertens, 2004).

2.6.2.Jenis-jenis Etika

Untuk menganalisis arti etika, menurut Bertens etika dibedakan

menjadi dua, yaitu (Syopiansyah, 2009:4):

a. Etika Sebagai Praktis

1. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh yang dipraktekkan atau

justru tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.

2. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai

dan norma moral.

(21)

1. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan

khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh

dilakukan.

2. Berbicara tentang etika sebagai praktis atau mengambil praktis

etik sebagai objeknya.

3. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang.

Selain itu, kita menggunakan istilah akuntansi ketika mengacu

pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan professional

akuntan.Untuk makna yang kedua, etika adalah “kajian moralitas” Hal

ini berarti etika berkaitan dengan moralitas. Meskipun berkaitan, etika

tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalahsemacam penelaahan

(baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri),

sedangkan moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau

kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat

(Suminarsasi, 2011:4).

2.7.Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

2.7.1.Pengertian Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Masri(2012:5), menjelaskan pembahasan mengenaipenggelapan

pajak (tax evasion) adalah sebagai berikut:“Usaha-usaha memperkecil

jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang

(22)

Menurut Trihastuti (2009) penggelapan pajak (tax evasion) adalah:

Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku.Penggelapan pajak (tax evasion) secara umum bersifat melawan hukum (illegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara lengkap dan benar objek pajak atau perbuatan melanggar hukum (fraud) lainnya.Penggelapan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.

Penggelapan pajak, cenderung dilakukan oleh Wajib Pajak yang

memiliki penghasilan dalam jumlah yang tidak besar dan umumnya

adalah Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini dilakukan karena :

a. Tidak punya kemampuan untuk mencari celah Undang-Undang

Pajak.

b. Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian

pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus kerena

pencatatan penghasilannya dilakukan oleh pihak Wajib Pajak itu

sendiri.

c. Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiskus

karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak

mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut

dianggap sebagai konsumsi.

2.7.2.Dampak Melakukan Penggelapan Pajak

a. Dalam Bidang Keuangan

Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara

(23)

dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan

itu.Seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dan lain-lain.

b. Dalam bidang ekonomi

Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat

diantara para pengusaha, maksudnya pengusaha yang melakukan

penggelapan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak

wajar. Sehingga perusahaan yang mengelakkan pajak

memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan

pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas

yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih

besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur. Pengelakan

pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi

atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan

pengelakan pajak atau penggelapan pajak, maka mereka tidak

akan mampu meningkatkan produktivitas mereka. Untuk

memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan

pengelakan pajak. Langkanya modal karena Wajib Pajak

berusaha menyembunyikan penghasilan agar tidak diketahui

fiskus.Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil

pengelakan pajak tersebut ke pasar modal.

c. Dalam bidang psikologi

Jika Wajib Pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu

sama saja membiasakan untuk selalu melanggar

(24)

Pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika

perbuatannya melanggar Undang-Undang tidak diketahui oleh

fiskus, maka dia akan senang karena tidak dikenakan sanksi dan

menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi

pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada

pelanggaran Undang-Undang pajak, tetapi juga Undang-Undang

yang lainnya.

Dari berbagai dampak penggelapan pajak yang telah dijelaskan

diatas, maka dapat dipahmi bahwa penggelapan pajak pada dasarnya

(25)

2.8. Penelitian Terdahulu Persamaan Perbedaan

Irma

skala likert untuk pengukuran variable.

1.Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta dan lebih dari satu KPP. 2.Variabel

Penggelapan pajak merupakan sesuatu yang seharusnya dapat diatasi. Variabel

independen dari penelitian ini berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak, terkecuali sistem perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh

negatif.Penelitian ini memberikan banyak pertimbangan untuk mengatasi berbagai penggelapan pajak.

(26)

Barry Scale Pertaining to Tax Evasion

Independen: dilakukan di enam Negara, yaitu Argentina,

Guatemala, Poland, Romania, United Kingdom dan USA.

penilaian di masing-masing Negara berbeda- beda. UK memiliki nilai rata-rata terendah sebesar 4.15 yang mengindikasikan rendahnya perlawanan terhadap tindak penggelapan pajak, USA memiliki skor rata- rata tertinggi sebesar 5.62.

Fadjar O.P. of Tax Fairness and 1.Tax Fairness 2.Communication 3.Trust

Variabel Dependen:

1. Tax Compliance

Terdapat variabel independen yang sama yaitu Tax Compliance.

1. Terdapat variabel independen yang berbeda yaitu Tax Fairness,

Communication, and Trust.

2. Lokasi penelitian berbeda.

Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen Tax fairness terhadap kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance), dan tidak terdapat pengaruh langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen

Communication terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.

1. Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta. 2. Variable

independen yaitu

Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan

(27)

Pajak Mengenai Etika

Penggelapan Pajak.

Pajak (Y) sampel dengan

metode

Persepsi Wajib Pajak: Dampak Pertentangan Diametral Pada Tax Evasion dan Teknologi Informasi Sistem Perpajakan 3. Data dianalisis

dengan Analisis Regresi Linier Berganda.

1.Ruang lingkup penelitian ini dilakukan Pada Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak se Jogjakarta.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan dengan regresiliner ditemukan bahwa kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap tax evasion mempunyai

koefisien negatif (-0.501 ) yang signifikan (.00), Hasil pengujian juga menunjukan bahwa pengaruh ketepatan pemanfaatan hasil pajak berpengaruh secara negatif (0.28 6) dan signifikan (.003) terhadap tax

evasion.Sedangkan persepsi terhadap keadilan, penggunaan teknologi dan kecenderungan tax evasion seseorang ternyata tidak

(28)

(Studi Pajak Terhadap Kecenderungan

1.Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai usaha, yang berlokasi di Semarang.

2.Metode penentuan sample dalam penelitian ini adalah quota sampling. 3. Anlisis data dengan

regresi linier sederhana.

Hasil pengujian dengan menggunakan regresi linear sederhana menunjukan hasil bahwa persepsi terhadap kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif terhadap tax evasion. Persentase kemungkinan suatu pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan aturan perpajakan dapat mendeteksi kecurangan yang

dilakukan Wajib Pajak sehingga berpengaruh pada Tax Evasion.

Mcgee, Simon S.M Ho, and Annie (2008)

A Comparative Study on

1.Ruang lingkup penelitian ini dilakukan

Hongkong dan US. 2.Populasi dalam

penelitian adalah 90 mahasiswa bisnis di Universitas Baptist

(29)

Tax Evasion

di Hongkong dan 273 mahasiswa yang dilakukan hingga 120 individu, dan dari 6 negara yang

berbeda. Penelitian ini juga dilakukan dengan kegiatan analisis, diskusi dan studi pustaka.

(30)

2.9. Keterkaitan Antar Variabel Dengan Hipotesis

2.9.1. Intensitas Pemeriksaan Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sering

dianggap sebagai momok bagi setiap Wajib Pajak, terutama WP

Badan. Dimana pemeriksaan pajak menurut Ditjen Pajak adalah

“serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,

dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional

berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kebutuhan perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam

rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan”.

Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan

penggelapan pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan

secara intensif ataupun dalam suatu periode yang teratur, maka

penggelapan pajak akan semakin kecil. Penggelapan pajak banyak

dilakukan oleh Wajib Pajak karena kurangnya pengawasan yang

dilakukan oleh Ditjen pajak, maka dari itu perlu adanya intensitas

pemeriksaan pajak yang lebih intensif.Pemeriksaan pajak dapat

dilakukan sebagai alat evaluasi penerapan berbagai Peraturan

Perundang-Undangan Perpajakan yang seharusnya dapat diaplikasikan

dengan baik.Untuk menghindari terjadinya penggelapan pajak, maka

(31)

kepatuhannya. Maka semakin tinggi tingkat intensitas pemeriksaan

pajak yang dilakukan oleh Ditjen pajak, maka akan semakin rendah

tingkat penggelapan pajak yang dilakukan. Hipotesis pertama adalah

sebagai berikut :

Ha1 : Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika

penggelapan pajak.

2.9.2. Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak Definisi kepatuhan perpajakan menurut James (dalam

Anggraeni 2013 : 5) menyatakan bahwa:

Kepatuhan pajak (Tax Compliance) Berarti bahwa Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan.Investigasi sesama (obtrusive investigation), peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Menurut Nurmantu (dalam Anggraeni 2013 : 86), terdapat dua

macam kepatuhan yaitu kepatuhan materil dan kepatuhan formal.

Kepatuhan materil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara

substantif memenuhi semua ketentuan materil perpajakan, yakni sesuai

isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan.Sedangkan yang

dimaksudkan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib

Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.Kewajiban

perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun

(32)

Korelasi antara kepatuhan Wajib Pajak dengan etika

penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat

kepatuhan yang tinggi tidak akan melakukan penggelapan pajak.

Kepatuhan Wajib Pajak yang baik akan dapat dilihat dari

keteraturannya untuk menyetorkan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak di

dasarkan pada adanya kesadaran secara mutlak untuk turut serta dalam

pelaksanaan pembangunan nasional.Dengan demikian kepatuhan

Wajib Pajak sangat erat hubungannya dengan etika penggelapan pajak.

Hipotesis kedua adalah :

Ha2 : Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika

penggelapan pajak.

2.9.3. Pengetahuan Wajib Pajak Dengan Etika Penggelapan Pajak

Dalam penelitian Rahayu (2010) pengetahuan pajak dan

keadilan mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak secara

signifikan yang dilakukan pada 107 Wajib Pajak pribadi dan badan

pada KPP Surakarta.Setiap Wajib Pajak diharapkan mampu

memperoleh pengetahuan mengenai perpajakan secara baik. Menurut

Hidayat (2013 : 358), untuk meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak

maka harus dilakukan sosialisasi secara luas, yang diharapkan dapat

dijangkau oleh seluruh WP, sehingga WP tahu hak dan kewajibannya.

Dimana, analoginya sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak

(33)

butuh membayar pajak. Dengan demikian, melalui sosialisasi

perpajakan maka Wajib Pajak akan memiliki pengetahuan yang lebih

baik, mereka juga akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk

membayar pajak.

Korelasi antara pengetahuan Wajib Pajak dengan etika

penggelapan pajak adalah setiap Wajib Pajak yang memiliki

pengetahuan pajak yang sempurna dia akan menyadari posisinya

sebagai seorang Wajib Pajak. Maka, Wajib Pajak tersebut akan

melakukan pembayaran pajak dengan baik, dia tidak akan merasa

dirugikan dengan melakukan pembayaran pajak tersebut. Pengetahuan

Wajib Pajak yang baik, akan meminimalisir terjadinya penggelapan

pajak. Hal ini dikarenakan setiap Wajib Pajak akan melaksanakan

kewajibannya sebagaimana mestinya, setiap Wajib Pajak yang

merupakan para akademisi, ataupun praktisi akan lebih mampu

memahami kewajibannya tanpa harus memungkiri dengan cara

melakukan penggelapan pajak. Hipotesis ketigaadalah :

Ha3 : Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika

penggelapan pajak.

2.9.4. Sistem Perpajakan Dengan Etika Penggelapan Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan Self Assesment

System yaitu suatu sistem pemungutan yang Wajib Pajaknya boleh menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang

(34)

fiskus (pemerintah) hanya mengawasi.Oleh karena itu, Wajib Pajak

harus mengetahui kapan mulainya suatu kewajiban pajak dan kapan

berakhirnya kewajiban-kewajiban yang menyertainya.

Dalam penelitian Suryani (2013 : 96) menunjukkan sistem

perpajakan mempunyai tingkat pengaruh signifikasi sebesar 0,036 dan

nilai t sebesar - 2,115. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat

dikatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki

variabel sistem perpajakan < 0,05 (0,036 < 0,05) dan nilai t hitung >

1,97 (-2,115 > 1,97). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian

Suminarsasi (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan memiliki

korelasi negatif signifikan terhadap penggelapan pajak.

Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh

Nickerson (2009) yang menemukan dimensi skala etis dalam

penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan.

Peneliti berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat

dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak

korup, dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan

membuat Wajib Pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi,

apabila pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas

pajaknya justru mengkorupsi uang pajak, maka para Wajib Pajak

enggan untuk melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan

(35)

Ha4 : Sistem Perpajakan berpengaruh negatif terhadap etika

penggelapan pajak.

2.9.5. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan Dengan Etika Penggelapan Pajak

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Suryani (2013 : 133), dapat dinyatakan bahwa “variabel kemungkinan

terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif terhadap etika

penggelapan pajak”. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian

variabel kemungkinan terdeteksi kecurangan mempunyai tingkat

signifikasi sebesar 0,000 dan nilai t sebasar -4,490. Hal ini berarti Ha4

diterima sehingga dapat dikatakan bahwa kemungkinan terdeteksi

kecurangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan

pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel kemungkinan

terjadinya kecurangan < 0,05 (0,000 < 0,05) dan nilai thitung> 1,97

(-4,490 > 1,97).

Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa persentase terhadap

kemungkinan terdeteksinya kecurangan adalah tinggi yaitu dengan

dilakukannya pemeriksaan pajak. Hal ini berarti bahwa adanya rasa

khawatir yang dimiliki Wajib Pajak bahwa kemungkinan terdeteksinya

kecurangan akan menyebabkan mereka lebih mematuhi peraturan

perpajakan dan bahkan penggelapan pajak akan menjadi lebih rendah.

Analoginya, Wajib Pajak akan sangat takut terjerat hukum, jika mereka

(36)

sanksi atau bahkan denda yang lebih besar. Hal ini tentunya akan

meminimalisir penggelapan pajak yang mungkin terjadi. Hipotesis

kelima dan keenamadalah :

Ha5 : Kemungkinan terdeteksinya kecurangan berpengaruh negatif

terhadap etika penggelapan pajak.

Ha6: Intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), kepatuhan Wajib Pajak

(tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge),

sistem perpajakan (tax system) dan kemungkinan

terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) berpengaruh secara

simultan terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika

(37)

2.10. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual ini memaparkan keterkaitan antara

variabel-variabel independen terhadap variabel-variabel dependen.

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax

Evasion) (Y) Kepatuhan Wajib Pajak (tax

compliance) (X2)

Intensitas Pemeriksaan Pajak (tax audit)

(X1)

Pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge)

(X3)

Sistem Perpajakan (tax system) (X4)

Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (fiscal fraud)

(X5)

Ha1

Ha2

Ha3

Ha4

Ha5

(38)

2.11. Kerangka Operasional Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka secara

skematis dapat dipaparkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai

Persepsi Etika Penggelapan Pajak (Y)

Intensitas Pemeriksaan

Pajak (X1)

Pengetahuan Wajib Pajak

(X3) Kepatuhan Wajib

Pajak (X2)

Sistem Perpajakan

(X4)

Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan

(X5)

Statistik Deskriptif

(39)

Lanjutan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian

Gambar 2.2

Kerangka Operasional Penelitian Uji Asumsi Klasik : 1. Normalitas

2. Multikolonieritas 3. Heteroskedastisitas

Uji Regresi Berganda

Adjusted R2 Uji F Uji t

Gambar

Table 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Kerangka Konseptual
Gambar 2.2 Kerangka Operasional Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

3 AISA Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk 55 KAEF Kimia Farma Tbk 4 AKKU Alam Karya Unggul Tbk 56 KARW Karwell Indonesia Tbk 5 AKPI Argha Karya Prima Industry Tbk 57 KBLI KMI Wire and

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas ditandai dengan keluarga klien mengatankan klien sesak napas, pasien tampak penurunan kesadaran, dengan nilai GCS

Batas maksimum cemaran bakteri Coliform pada teh kering dalam kemasan. Universitas

Hasil percobaan tersebut sesuai dengan teori, dimana dengan adanya penambahan suatu zat terlarut yang non volatil pada pelarut murni, maka titik beku dari larutan akan lebih rendah

disimpulkan bahwa masih tingginya impor bahan baku dan barang modal di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh masih besarnya ketergantungan proses produksi dalam

bakteri golongan coli dapat dilihat dengan menghitung tabung yang menunjukkan. reaksi positif terbentuk asam dan gas dan dibandingkan dengan

Penilaian harus dilakukan dengan pendekatan proses mulai dari penilaian diskusi, presentasi ide, dan usulan solusi yang dilakukan oleh mahasiswa, serta pelaporan kegiatan

Sekarang ini perkembangan pelaku usaha dalam mendirikan jasa depot air isi ulang terus meningkat dikarenakan air isi ulang memudahkan konsumen dalam hal penyiapan