• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan kadar pepsin dari saliva pada penderita Refluks laringofaring (LPR) dan non-LPR yang didiagnosis berdasarkan Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS)”"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring

Penyakit Refluks laringofaring (LPR) disebabkan adanya aliran balik asam lambung ke daerah laring dan faring yang menimbulkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas dan jejas pada laringofaring serta saluran napas bagian atas dengan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru. Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease. Diduga LPR berperan pada patogenesis sejumlah

kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik, karsinoma laring, laryngeal contact ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada pita suara

(Belafsky, 2007; Yunizaf, 2007; Andriani, 2011).

Berbeda dengan Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan satu terminologi klinis yang berarti aliran balik isi lambung kedalam esophagus. GERD bisa merupakan suatu proses fisiologis, dan dapat terjadi sampai 50 episode sehari, timbul hampir setiap selesai makan, dan dianggap satu proses normal, akan tetapi episode refluk laringo-faring 3 kali dalam seminggu dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Diamond, 2005; Franco, 2006; Postma, 2009; Makmun, 2011).

(2)

makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun, 2011).

Penderita LPR memiliki perbedaan gejala dan patofisiologi dari penderita GERD. Secara umum perbedaan yang signifikan pada LPR tidak adanya gejala esofagitis dan rasa terbakar didada. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa keluhan rasa terbakar di dada ditemukan kurang dari 40% pada kasus LPR sedangkan gejala esofagitis mencapai 25%. Pada LPR refluks bersifat intermiten dengan motilitas esofagus yang normal sedangkan GERD refluks bersifat lebih lama dengan gangguan motilitas esofagus sering ditemukan. Refluks pada LPR sering terjadi pada siang sedangkan kasus GERD, refluks biasanya malam hari. Defek sfingter esofagus bawah dijumpai pada GERD sedangkan pada LPR terjadi disfungsi sfingter atas esophagus, dari segi pengobatan kedua penyakit ini mirip namun medikamentosa LPR lebih lama dan agresif dibandingkan penanganan GERD (Koufman, 2002; Diamond, 2005; Postma, 2009).

2.1.1 Komponen refluks

(3)

dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring (Andersson, 2009).

2.1.2. Mekanisme Proteksi

Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah esofagus (Lower Esophageal Sphincter), acid clearance melalui fungsi motorik dan esofagus dan gaya gravitasi, resistensi mukosa esofagus, sfingter atas esofagus atau Upper Esophageal Sphincter yang disingkat dengan UES ( Ford, 2005).

Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa, lamina propria dan mukosa muskularis. Membran mukosa dilapisi oleh epitel berlapis gepeng non keratinisasi (non keratinizing stratified squamous epithelium) yang merupakan kelanjutan dari epitel di faring dan melapisi

seluruh permukaan esofagus bagian dalam kecuali pada daerah pertemuan esofagus dan lambung yang dibentuk oleh epitel skuamus dan kolumnar. Lamina propria merupakan jaringan ikat yang terdiri dari serat kolagen dan elastin serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis adalah lapisan tipis otot polos yang terdapat pada seluruh bagian esofagus, semakin ke proksimal semakin tipis dan semakin ke distal semakin tebal, seperti dijelaskan di gambar 2.1 tentang mukosa esofagus (Falerina, 2001;Dingra 2014).

(4)

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel. Esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka carbonic anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jaringan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus (Falerina, 2001; Ford, 2005; Koufman, 2006; Bulmer, 2010).

Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penurunan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Falerina, 2001; Ford, 2005; Koufman, 2006; Bulmer, 2010).

2.1.3 Epidemiologi

(5)

mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun dengan rata-rata nilai RSI 20,9± 9,6 dimana 56% adalah pria (Belafsky et al, 2002; Makmun, 2011).

Berbeda dengan Carrau et al (2004) mendapatkan rerata umur penderita LPR adalah 48 tahun, dijumpai jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan (66,7%). Febriyanti (2014) di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan penderita dengan refluks laringofaring rata-rata umur 45-64 tahun, dimana (65%) adalah perempuan, rata-rata nilai RSI 18,2 ± 4,25 dan RFS 10,48±3,11 (Carau, 2004; Febriyanti, 2014).

2.1.4 Etiologi

Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa (Koufman, 2002; tokashiki, 2005).

2.1.5 Faktor risiko yang berhubungan dengan refluks laringofaring Beberapa faktor risiko yang potensial untuk terjadinya LPR antara lain usia, jenis kelamin, gaya hidup seperti kebiasaan mengkomsumsi teh, kopi, coklat dan riwayat merokok. Indeks massa tubuh (BMI), serta penggunaan rutin aspirin dan penggunaan obat anti-inflamasi non steroid merupakan bagian dari faktor risiko terjadinya LPR ( Nilson, 2004; Chen, 2012) .

(6)

negara Barat diduga disebabkan karena faktor diet dan meningkatnya obesitas (Nilson, 2004;Carau, 2004;Festi, 2009; Chen, 2012).

2.1.6 Fisiologi dan patofisiologi

Fisiologi LPR terjadi karena adanya tekanan antara intra-abdominal positif dan tekanan negatif didalam hipofaring. Koufman menunjukkan bahwa pharingolaryngeal dan gastroesophageal refluks berbeda dimana masing-masing tempat menunjukkan simtomatologi spesifik, Ia juga mengamati bahwa epitel laring lebih rentan terhadap cedera jaringan dari pada epitel esophagus (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).

Pada orang normal, upper esophageal sphincter (UES) dan lower esophageal sphincter (LES) bekerja secara bersama untuk mencegah terjadinya refluks laringofaring. Karenanya patologi utama penyebab LPR berhubungan dengan disfungsi sfingter esophagus terutama UES. Upper Esophageal Sphincter(UES) terdiri dari cricopharingeus, thyropharyngeus dan proksimal cervical esophagus dan menempel pada kartilago tiroid dan krikoid yang membentuk seperti huruf C (C-shape), yang membungkus daerah sekitar esophagus servikal dan mendapat persarafan dari pleksus farinngeal.Ketika upper esophageal sphincter (UES) lemah mengalami refluks dan menyebabkannya kontak dengan segmen laringofaringeal, asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat menyebabkan kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini mengakibatkan gangguan klirens mukosilier yang menyebabkan stasis lendir yang dapat memperburuk terjadinya iritasi mukosa dan berkontribusi terhadap gejala yang dialami pasien misalnya postnasal drip, throat clearing dan globus sensation (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).

(7)

percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. Pada penderita GERD, aliran balik cairan lambung kedalam esofagus menyebabkan kerusakan jaringan atau esofagitis dan rasa panas didada. Sedangkan penderita LPR aliran balik cairan lambung ketenggorok menyebabkan iritasi dan perubahan mukosa dilaring, seperti dijelaskan digambar 2.2 dibawah ini (Andersson, 2009; Negro, 2014 ).

Gambar 2.2. Kiri: Penderita dengan GERD, kanan: penderita dengan LPR (Anderson,2009)

Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari patofisiologi LPR yaitu adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic anhydrase, dimana enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks.

(8)

2.1.7 Diagnosis penyakit refluks laringofaring

Berdasarkan patofsiologinya, LPR terjadi akibat adanya refluks dari isi lambung ke daerah laringofaringeal maka untuk menegakkan LPR melalui anamnese tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan laringoskopi serta menentukan adanya refluks asam lambung kelaringofaring (Andriani, 2011).

a. Anamnese dan Gejala klinis

Manfestasi klinis LPR yang umum berupa suara serak (71%), batuk kronik (51%), sering mengeluarkan lendir dari tenggorok/ throat clearing/ berdehem (42%), sakit tenggorok (35%), sensasi globus faringeus (47%), dan granuloma pita suara. Keluhan lainnya dapat berupa rasa terbakar didaerah bukal, halitosis, otalgia, stridor dan kehilangan rasa pengecapan. Penderita LPR lebih sering mengalami refluk pada siang hari atau pada posisi berdiri, berbeda dengan pasien GERD biasanya menderita refluk pada malam dan posisi berbaring (Koufman, 2002).

Penilaian atas gejala klinis pasien LPR berdasarkan Belafsky, terdapat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan Reflex Symptom index (RSI) atau indeks gejala refluks yang mudah dilaksanakan serta mempunyai reabilitas dan validitas yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5 (keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13 dicurigai sebagai penyakit refluks laringofaring ( tabel 1). Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer, stenosis subglottis, seperti dijelaskan pada tabel 2.1 tentang penilaian RSI dibawah ini ( Belafsky, 2002; Andersson, 2009).

(9)

Reflux Symptom Index (RSI)

Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita

0 = tidak, 5 = sangat berat

1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5

2

Clearing your throat (mendehem)

0 1 2 3 4 5

Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi asam

0 1 2 3 4 5

Tabel 2.1 Reflux Symptom Index (Belafsky et al,2002)

Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh penderita LPR diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan menurut skala Likert yakni :

0 : tidak ada keluhan

1 : ringan (keluhan minimal yang dirasakan dapat ditoleransi)

2: sedang (keluhan dirasakan mengganggu namun dapat ditoleransi)

3 : berat (keluhan dirasakan sangat menggangu aktifitas dan tidak dapat ditoleransi).

(10)

Sering tidak ditemukannya hubungan antara gejala dengan tanda klinis yang ada, dan adanya kelainan laring tidak selalu diperlukan dalam menegakkan diagnosis LPR (Belafsky, 2002).

Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring, Belafsky juga memperkenalkan skor refluks yaitu Reflux Finding Score (RFS) merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Nilai skala minimal 0 (tidak ada keluhan) dan nilai maksimal 26 (nilai terburuk). Kedelapan tanda klinis tersebut adalah edema subglotis, obliterasi ventrikular, eritema/hiperemis, edem pita suara, edem laring difus, hipertrofi komisura posterior, granuloma/jaringan granulasi, dan mukus endolaring seperti dijelaskan pada tabel 2.2 berikut ini (Belafsky, 2002).

Reflux Finding Score (RFS) Edema Subglotik / pseudosulcus

vokalis

0 = tidak ada 2 = ada

Ventrikular obliterasi 2 = parsial 4 = komplit

Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid 4 = difus

Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada 2 = ada

Mukus kental endolaring

0 = tidak ada

2 = ada

(11)

Nilai RFS >7 dianggap LPR dengan tingkat keyakinan 95%. Frekuensi yang tinggi pada gambaran RFS menurut penelitian Belafsky (2001) adalah hipertrofi komisura posterior sebesar 85%. Koufman (2000) yang dikutip oleh Belafsky (2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulcus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring (Belafsky, 2001). .

Obliterasi ventrikel ditemukan pada 80% kasus. Penilaiannya menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu memendek. Sedangkan pada keadaan komplit ditemukan pita suara asli dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel (Belafsky, 2001).

(12)

gambaran yang dijumpai dari RFS adalah granuloma/granulasi jaringan dan mukus kental endolaring (Belafsky, 2001).

Ackah (2002) dalam Journal of Singing menyatakan bahwa granuloma sering dihubungkan dengan LPR. Iritasi kronik dari laring oleh asam lambung menyebabkan inflamasi kronik dari posterior laring. Inflamasi yang terus menerus akan membentuk granuloma/ jaringan granulasi. Letak granulasi bisa dijumpai dibagian 2/3 posterior pita suara, regio supraglotic laring. Gambaran laring dapat dilihat dari gambar 2.3-2.10 dibawah ini (Belafsky, 2001; Ackah, 2002; Koufman, 2002).

Gambar 2.3 Edema subglotik (Pham,2009) Gambar 2.4. Ventrikular obliterasi(Pham,2009)

(13)

Gambar 2.7. Edema laring difus(Pham,2009) Gambar 2.8. Hipertrofi komisura

posterior(Pham,2009)

Gambar 2.9. Granula/jaringan granulasi

(Isabel,2016)

Gambar 2.10. Mukus kental endolaring

(Isabel,2016)

Suara serak sangat berhubungan dengan edem pita suara, edem laring difus dan thick endolaryngeal mucus. Berdehem (throat clearing) berhubungan dengan thick endolaryngeal mucus dan edem pita suara. Rasa mengganjal ditenggorok berhubungan dengan eritema dan hipertrofi komisura posterior (Belafsky, 2007).

b. Pemeriksaan pH

Dengan pemeriksaan ambulatory 24 hour double-probe (pharyngeal and esophageal) pH monitoring yang merupakan gold standard untuk mendiagnosis LPR. Dimana dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esofagus dengan bantuan manometri (Andersson 2009; Andriani, 2011; Deganello, 2015).

(14)

biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua pusat pelayanan menyediakan alat ini (Andriani, 2011).

c. Tes PPI

Terapi empirik dengan proton pump inhibitor(PPI) disarankan sebagai tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam ( Vaezi, 2006;Tamin, 2008).

d. Deteksi pepsin pada laring

Penelitian terbaru untuk mendeteksi LPR adalah dengan menentukan ada tidaknya pepsin pada laring dengan metode immunoasssay (ELISA). Karena pepsin tidak disintesis oleh sel tipe apapun dalam saluran napas, maka adanya pepsin pada saluran napas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut berasal dari refluks isi lambung ke laringofaring, sehingga pengukuran pepsin pada sekret saluran napas dapat menjadi petanda diagnostik yang sensitif pada LPR (Belafsky, 2001; Jhonston, 2003; Knight, 2005; Printza, 2007).

(15)

dalam substrat, konsentrasi pepsin dalam saliva diukur dalam pg/ml (Belafsky, 2001; Jhonston, 2003; Knight, 2005; Bahar, 2015).

2.1.8 Penatalaksanaan

Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi (Belafsky,2001; Pham,2009).

a) Modifikasi diet dan gaya hidup

Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti makanan berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat menganjurkan pola diet bebas asam atau rendah asam (A strict low acid or acid free) dalam penelitiannya ada manfaat yang nyata pada perbaikan RSI dan RFS pada populasi yang diteliti. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10-20cm dan mengurangi stress(Koufman, 2001;Diamond, 2005;Pham, 2009).

b. Medikamentosa

(16)

Akan tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan pengobatan lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. (Koufman, 2002;Diamond, 2005;Pham, 2009).

c. Terapi Pembedahan

Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR (Koufman, 2002;Diamond, 2005;Pham, 2009).

2.1.9 Komplikasi

(17)

2.1.10 Prognosis

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laringitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat. Prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86% (Koufman, 2011; Ford, 2005).

2.2 Pepsin sebagai penanda diagnostik pada refluks laringofaring (LPR)

Pepsin merupakan enzim yang disintesa pertama kali oleh sel chief dilambung sebagai pepsinogen zimogen dan diubah menjadi pepsin yang aktif melalui autolysis asam lambung serta berperan penting dalam sistem pencernaan. Pepsin biasanya dijumpai dilambung, namun bila terjadi LPR pepsin dapat dideteksi didaerah laringopharingeal. Ekspresi pepsin pada mukosa laring dapat digunakan sebagai marker dari LPR dan juga sebagai monitor pada pasien yang diterapi dengan PPI (Samuel, 2010; Jiang, 2011).

(18)

Enzim-terkonjugasi antibodi sekunder dengan afinitas untuk wilayah dari antibodi primer yang dapat digunakan untuk mengkonversi substrat dan mendeteksi produk. Selama berlangsung ELISA, antibodi spesifik diserap ke peron kemudian antigen dicuci di atas piring dan diikuti oleh kedua antigen antibodi spesifik, terakhir terjadi pengikatan oleh enzim yang telah terkonjugasi antibodi, seperti dijelaskan digambar 2.11 (Samuel et al, 2010).

Gambar 2.11. Pemeriksaan ELISA secara indirect dan direct (Samuel et al, 2010).

Analisa pepsin dapat diambil melalui saliva dan sputum, pemeriksaan pepsin mempunyai keuntungan karena dapat dideteksi langsung dari bagian refluks. Pepsin juga dijumpai ditrakea, paru, sinus, telinga tengah (Samuel et al, 2010).

2.2 Kadar pepsin pada penderita refluks laringofaring (LPR) yang didiagnosis berdasarkan reflux symptom index (RSI) dan reflux finding score (RFS)

(19)

menyatakan bahwa pepsin dapat digunakan sebagai penanda diagnostik, dimana saliva dikumpulkan sekali, dan dapat diketahui bahwa pepsin berperan penting dalam kerusakan jaringan di LPR yaitu kerusakan mukosa (Ocak, 2015).

Pemeriksaan pepsin sendiri meskipun merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 89% untuk LPR, namun karena pepsin mudah mengalami kerusakan dan pemeriksaannya masih terbatas pada sarana laboratorium tertentu serta biaya pemeriksaan yang mahal sehingga masih sulit diaplikasikan di semua daerah selain di daerah yang maju dan lengkap sarana kesehatannya. Pepsin juga bukan merupakan satu satunya enzim yang terdapat pada refluksat yang dapat mengakibatkan kerusakan mukosa laring namun adanya pepsin pada saliva menunjukkan adanya refluks asam lambung ke laringofaring (Andriani, 2011).

(20)

2.4 Kerangka Teori

Upper eshopageal Sphinter (UES) Lower eshopageal Sphinter (LES)

Mencegah terjadinya Refluks

Kontak dengan cairan lambung: asam, pepsin,asam empedu,tripsin

Kerusakan langsung pada mukosa laring

Stasis lendir lemah

Teraktivasi

(21)

2.5 Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah: ada perbedaan kadar pepsin pada penderita LPR dan Non LPR di RSUP Haji Adam Malik Medan

Refluks laringofaring

Gejala Klinis (RSI):

1. Suara serak 2. Throat clearing

3. Mucus berlebih / post nasal drip 4. Kesukaran menelan

5. Batuk setelah makan/ berbaring 6. Kesukaran bernafas/ chocking 7. Batuk yang mengganggu 8. Rasa mengganjal di tenggorok 9. Heartburn, rasa nyeri didada,

gangguan pencernaan, regurgitasi asam

Tanda patologis laring (RFS) :

1. Edema subglotik/ pseusdosulcus vocalis 2. Ventricular obliterasi 3. Eritemia / hyperemia 4. Edema pita suara 5. Edema laring difus

6. Hipertrofi komisura posterior 7. Granuloma/ jaringan granulasi 8. Mukus kental endolaring

Penyakit Refluks laringofaring • pH metry

• Deteksi pepsin dari saliva

Gambar

Gambar 2.1. Mukosa Esofagus (Falerina, 2001)
Gambar 2.2. Kiri: Penderita dengan GERD, kanan: penderita dengan LPR (Anderson,2009)
Tabel 2.1       Berdasarkan
tabel 2.2 2 = ada Reflux Finding Score (RFS) (Belafsky, 2002)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui korelasi antara Reflux Symptom Index yang berdasarkan atas keluhan yang dirasakan oleh pasien dan

Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan refluks symptom index (RSI) dan

Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan refluks symptom index (RSI) dan

Untuk keakuratan data dan informasi yang saya kumpulkan maka saya sangat berharap agar bapak/ibu bersedia memberikan jawaban yang sejelas- jelasnya sesuai dengan

Patofisiologi refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan

Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL

Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan refluks symptom index (RSI) dan reflux