• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia (1)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari

Millenium Development Goals (MDGs)2 yang harus tercapai pada tahun 2015,

yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.

Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.

Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003), menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar 44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki sumber air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap sumber air yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang bergantung pada utilitas publik3.

Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan

1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic use.”

(2)

Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar 41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan

kurang dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000, sedangkan dari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM pada tahun 2007, hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya berada dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan yang

masih rendah, beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di Indonesia adalah kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan untuk memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.

Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015, dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.

Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi pencapaian target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang mencakup perluasan akses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan, peningkatan kualitas layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas partisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).

Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak hanya terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis termasuk perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok pendukung PSP berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan privatisasi, karena PSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan publik kepada swasta. Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa dengan PSP akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih termasuk mengatasi keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah melalui investasi yang ditanamkan oleh sektor swasta.

4 Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007

5 Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi “Pembiayaan Air Minum” yang diadakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 2008

(3)

Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP merupakan bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi neoliberal. PSP dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat, pengambil alihan asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan pengalihan tanggung jawab penyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada sektor swasta. Para penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda dengan privatisasi dan pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan bahwa pengelolan air oleh swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan pengelolaan air oleh publik. Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap air.

Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidak bermaksud untuk mencari “siapa yang paling benar” dalam konteks perdebatan PSP tersebut.

(4)

BAB II

KONTROVERSI di SEPUTAR PSP

2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?

Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation at an affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has led to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing water as an economic good is an important way of achieving efficient and equitable use, and of encouraging conservation and protection of water resources”.

Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan oleh Budds dan McGranahan (2003), “…In the wake of Dublin, many international organizations realigned their position in the water sector, and the World Bank came to play a central role in developing and promoting new approaches consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in particular the treatment of water as an economic good. … Bilateral development agencies also started to promote private sector participation in their recipient countries, including DFID and USAID…”

(5)

Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalah dengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk, 2000).

Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok ini berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan hukum-hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan (2003) “In debating the appropriate role of the private and public sectors, recognizing water as an economic good can seem to support a strong private sector role. This is not strictly correct, and depends on how the term “economic good” – which is not widely used in economics – is interpreted. If “economic good” are taken to mean the sort of goods idealized in economic theories of perfect markets, then the case for private provision of economic goods is strong. But urban water services are not economic goods in this sense any more than they are “pure” public goods (and in any case, water utilities rarely operated in a competitive market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be goods that have an economic value, and to which economic principles apply, then this would also apply to public goods, and is largely irrelevant to the case for private provisioning”

Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:

(6)

daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama halnya dengan lahan, dan makanan.

Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang dapat dikonsumsi.

Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minum tetapi pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis sebagaimana sering disalahpahami.

Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik antar daerah.

Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.

Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit (pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani), bahkan lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan penduduk miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar. Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.  Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air

digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya menjadi rumit.

Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum. Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah ke monopoli alamiah.

Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai dengan uang.

(7)

generally a lack reliable information about the condition of existing dapat dibagi dalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air minum dilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya untuk sebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.

Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnya kualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadi pendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadap tanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang mendasar yang jika perlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan negara Eropa. Pada periode ini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun oleh perusahaan swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semua negara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan air milik swastanya dapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) dan Veolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie Generale des Eaux) yang sudah berdiri sejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar di Amerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah.

Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama dengan layanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasional negara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi dan investasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi dalam pengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melalui kebijakan redistribusi aset – dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipun manajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusat punya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai dibentuk berbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan sosial, ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.

(8)

8 Kotak 1.2

Structural Adjustment Program (SAP)

(9)

2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private Partnership (PPP)

Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belum terklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), ”one of the concepts in vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward efficiency in public organizations by subjecting them to the incentives of the private market. There are in fact several different concepts of privatization. Demikian juga menurut Kay dan Thompson (1986) “privatization is term which is used to cover several distinct, and possibly alternative means of changing the relationships between the government and private sector”.

(10)

yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer), (iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, serta (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha. Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan bahwa ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan ini dikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan publik; (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju kondisi masyarakat yang lebih baik.

Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets.

(11)

dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7.

Sedangkan menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya berasal dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen , khususnya berkompetisi dan tidak memberi subsidi8.

Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick menyatakan privatization in the water sector involves transferring some or all of the assets or operations of public water system into private hands.There are numeorus ways to privatize water, such as the transfer of the responsibility to operate a water delivery or treatment system, a more complete transfer of system ownership and operation responsibilities, or even the sale of publicly owned water rights to private companies. Alternatively, various combinations are possible, such as soliciting private investment in the development of new facilities, with transfer of those facilities to public ownership after investors have been repaid". Sedangkan Budds dan McGranahan (2003) menyatakan “Private-sector participation” is used in the literature to cover a wide range of arrangements between a government agency and a non-public institution, but usually refers to a contractual agreement involving a public agency and a formal (often multinational) private company. The term “privatization” is also widely used but can refer to two rather different things. It is sometimes used as a generic term to refer to increasing private sector involment, but also specifically to the model of divesture. “Public-private partnership” is common term but is rarely explicitly defined. In the water and sanitation sector, it tends to be used to refer to contractual agreements in which private companies assume greater responsibility and/or risk, especially through concession contracts. Lebih lanjut Budds and McGranahan mengatakan bahwa “There are several models of private sector involvement in water and sanitation utilities, with numerous variations, depending on the legal and regulatory frameworks, the nature of the company and the type of contract”.

Dalam Policy Brief yang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan bahwa “Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership) between public and private parties. They should not be misunderstood as privatization, where the management and ownership of the water infrastructure are transferred to the private sector”. Lebih lanjut, dinyatakan “Some options keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve private actors in the management, operation and/or the financing asset”. Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yang menyatakan bahwa “More properly known as “private sector participation” or as 7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, “Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence”, dalam CESifo Economics Studies, No.3, Vol.49, 2003

(12)

will be used in this chapter “public private partnerships”, these institutional arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer of crucial decision making responsibilities from the public to the private sector and an effective transfer of power over assets to a private company, with qualitatively and quantitatively different rules and regulations guiding the decision that are made and how citizens are able to access information”.

Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di sektor air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales dimana kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta. Kedua adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai badan pengatur independen, sedangkan di Perancis “economic regulator” diperankan oleh pemerintah daerah9.

Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum dapat berbentuk:

(i) Kontrak Jasa (service contracts).

Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).

(ii) Kontrak Manajemen.

Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di Mexico City, Trinidad, dan Tobago.

(iii) Kontrak Sewa-Beli (lease contracts).

Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada pemerintah. Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut memperoleh bagian dari pengumuman pendapatan yang berasal dari

9 Lihat, OECD Policy Brief, “Public-Private Partnerships in Urban Water Sector”, April 2003,

(13)

tagihan pembayaran. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di negara berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggungjawab operator dan investasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.

(iv) Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT).

BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk BOT. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut.

(v) Konsesi.

Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator swasta membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat rendah dengan mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi dengan target cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan yang baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan. Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.

(14)

pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja dan jaminan kepada konsesioner.

(vi) Divestiture.

Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).

Tabel 1.

Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta

Kontrak

(15)

15 Kotak 1.3

Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi

Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasar diperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnya maksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald and Ruiter,2005).

Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).

Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimana pelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dan dioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalu bagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?

1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan dengan fokus

pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek. Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayanan yang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebih komersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secara agresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsip pasar lainnya.

2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagai strategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasi yang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali) terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagai penyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakan layanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).

3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta, kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarik untuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidi silang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel dan terintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.

(16)

2.3 Pro-Kontra PSP

Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih. Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada pemerintah mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan swasta dalam penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.

Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda kebijakan air dan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai tingkat efisiensi lebih baik dan peningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat kesepakatan umum bahwa perusahaan publik menjadi lemban dalam meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi10.

10 Budds and McGranahan, 2003, “Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and Latin America”, Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October

16 impor meningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung pada defisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang, mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadi perhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagai kajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitas ekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumber ketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggris dan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) “dinobatkan” sebagai pelopor kebijakan “menolak negara”.

Kebijakan “menolak negara” atau “emoh negara” (meminjam istilah I. Wibowo) semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor, ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dan nepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi. Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.

(17)

Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan swasta daripada publik11.

Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan swasta cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal skala ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistem monopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan warga negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan dalam pelayanan

Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu, sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagi intervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif rendah tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen, pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi penyalahgunaan kewenangan.

(18)

Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya privatisasi air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan oleh swasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi yang tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh pihak ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Tidak ada indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal sebaliknya yang lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record keberhasilan. Yang dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan. Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun mengeksploitasi harga tanpa banyak menanggung konsekuensi.

Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagi kesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik. Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan kekuasaan sewenang-wenang oleh swasta.

Penentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke, 2003).

18 Kotak 1.5

Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia

Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individu mengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadi RUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukan serangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UU No.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yang disusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yang didanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapat bahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagai legitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.

Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolak permohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolak permohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonan penggugat.

(19)

2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum

Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di sektor air minum. Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat

524 proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58 negara.

Tabel 2. Indikator Penting

Indikator, 1990-2007 Value

Jumlah Negara dengan keterlibatan

swasta 60

Proyek yang terlaksana 584

Wilayah dengan porsi investasi terbesar Asia Timur dan Pasifik (48%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi

investasi terbesar konsesi (68%)

Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi

jenis proyek terbesar konsesi (40%)

Proyek dibatalkan atau dalam masalah 53 yang menunjukkan 29% dari totalinvestasi

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta dalam sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi. Namun, dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor air lebih banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai

investasi dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)

12 Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

13 Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants,

(20)

Tabel 3.

Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta

Tahun Anggaran

Konsesi Divestitur

e

Greenfield Project

Kontrak Manjemen

dan Lease Total

1991 1 0 0 1 2

1992 2 0 2 2 6

1993 6 0 3 2 11

1994 8 0 5 1 14

1995 9 1 3 5 18

1996 7 1 9 7 24

1997 16 2 9 12 39

1998 18 1 11 2 32

1999 13 7 8 10 38

2000 28 1 5 5 39

2001 12 1 13 14 40

2002 24 3 8 9 44

2003 12 1 21 10 44

2004 27 0 21 5 53

2005 18 0 32 11 61

2006 15 2 27 13 57

2007 20 5 30 7 62

Total 236 25 207 116 584

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

(21)

investment flows. But they limited their investment to selected developing countries and sought to exit underperforming contracts. RWE Thames announced that it would withdraw from most regions while focusing on Central and Eastern Europe, Veolia Environment that it would concentrate on selected Asian countries, and Suez that it would pull out of Asia and Latin America. The retrenchment by global sponsors in some cases facilitated greater activity by local and regional sponsors”. Selain itu Izzaguirre dan Hunt menyatakan “...local companies with little or no operational experience entered the water business. One example is the Russian investment conglomerate Interros, which won the lease contract for the water utility in Siberia’s Perm City. In Chile local investors (Grupo Solari, Consorcio Financiero, Grupo Luksic, and Icafal) won five of the six water contract in 2004...”

Tabel 4.

Lima Besar Perusahaan Air dan Air Limbah

Skema Partisipasi Swasta di Negara Berkembang

(2001-2004)

(22)

Situasi ini, coba dijelaskan oleh Ducci (2007)14 dengan mengambil kasus pada

negara-negara Amerika Latin, “Many of international water operators, which were operating water and sewerage services in Latin America, withdrew from the region during the first five years of the new millennium. The study examines the causes and consequences of the withdrawal international water operators in 14 cases in five countries (Argentina, Bolivia, Chile, Uruguay, and Venezuela) as well as in Brazil, Colombia, and Mexico. The study finds different reasons explained the departure. For some international water operators, the withdrawal was driven by their refocusing in their local and regional markets. In these cases, the exit was planned with investments sold to local investors. In other cases, the exit resulted from changes in sectoral policies or social and political conflicts caused by tariff increases, perception of lack of transparency in the biddings, among other problems. The study indicates that it is unlikely that international operators return to the region in the short term, but local and regional operators are emerging and filling the gap”.

Menurut Hall dan Lobina, satu alasan kunci untuk hal ini adalah karena negara-negara berkembang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang dibutuhkan oleh pemilik modal dari luar negeri. Sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk di air bersih, berada dibawah biaya modal.

Secara keseluruhan, penyediaan layanan air bersih oleh swasta jumlahnya kecil. Menurut Stephenson (2005) dalam Ouyahia (2006) menyatakan bahwa “Of the total of the world population of 6 billion, only about 5 percent are served by private companies. Of (these) 290 million people, 126 million are in Europe, 72 million in Asia and Oceania, 48 million in North America, 21 million in South America, and 22 million in other countries”. Lebih lanjut Stephenson mengatakan bahwa “ the water market represents about US$ 400 billion per year internationally, compared to US$ 1,000 billion per year for electricity “.

Meskipun mengalami peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1990-an, namun keterlibatan sektor swasta di sektor air tetap kecil jika dibandingkan dengan sektor publik. Only 3 percent of the population in poor or emerging countries is supplied through fully or partially private operators (Winpenny, 2003). Hall dan Lobina (2006) menyatakan bahwa kota-kota besar yang berada di negara-negara berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya didominasi oleh sektor publik. Lebih dari 90% layanan air di kota-kota tersebut dilakukan oleh sektor publik – yang populasinya lebih dari 1 juta jiwa –

(23)

Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD (dalam % dari penduduk yang terlayani

)

Negara Manajemen Publik Manajemen Swasta

Jerman 96 4

Perancis 20 80

Inggris 12 88

Belanda 100

-Amerika Serikat

85 15

Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief OECD, April 2003

Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan oleh sektor publik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Perancis dan Inggris merupakan negara dengan sebagian besar penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor swasta. Cukup menarik adalah Belanda yang 100% penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor publik, namun pada sisi lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta dalam penyediaan air terutama di negara-negara berkembang.

Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor air menunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi yang telah dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont (2004) menyatakan bahwa studi-studi yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain dan Zardkoohi; 1978) menunjukkan bahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yang lebih rendah. Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples dan Glyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan swasta atau utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.

(24)

menggunakan indikator tenaga kerja dan total factor productivity. Keduanya menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerja meningkat namun total factor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkan pengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.

Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa

secara rata-rata perusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi dibanding publik baik di Perancis maupun California. Studi yang dilakukan oleh Ballance dan Taylor (2005)16 yang melakukan survei terhadap 5000 municipal

dan mencakup 68% penduduk di Perancis, menunjukkan bahwa “...on average, water delivered by private companies is 27% more expensive than that delivered by public operators...”.

Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan kesuksesan dan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan Chile, menyimpulkan bahwa kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya pemahaman terhadap sistem privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untuk memastikan swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya, keberhasilan di Chile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi independen. Pada kasus Meksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan keterlibatan industri swasta dalam penyediaan air dan sekaligus mempertahankan ketersediaan air bagi kebutuhan industri masing-masing

Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk miskin akan mengalami kesulitan.

Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta menyatakan “One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two years after the implementation of the PSP, the majority of the respondents perceive the flow and the quality of drinking water to be the same as before privatisation...These data indicate that expectation of the improvement of flow of the drinking quality of the water is still high but has yet to be fulfilled”. Pada studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara

15 Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey”. Toronto: Environment Probe dan Houstma, J. 2003. “Water Supply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization.” Mimeo, Mount Allison University.

(25)

berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien (Estache, 1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkan bahwa “The results show that efficiency is not significantly different in private companies than in public ones”17.

Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003) menyatakan bahwa “Financial difficulties and low level of service delivery as a motives to privatise Jakarta water utility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact had a status of self reliance. The Jakarta water privatisation is related to IFIs involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provide loans on water sector reformation that give limited room for domestic policy choices.”. Ouyahia menyatakan “In Latin America, privatization was launched mainly because of heavy political control of public utilities in more countries and goverment corruption. Privatization and decentralization have been at the centre of the structural reform process over the last 20 years”. Sedangkan Finger dan Allouche (2002) menyatakan “Because of financial pressure, more than 30 African countries have decided to let the private sector operate and invest in their water infrastructure”.

2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP

2.5.1 PSP dan Kemiskinan

Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan dengan pengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang paling pantas atas keterbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan perluasan akses layanan, termasuk memberikan layanan terhadap kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan air.

Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara privatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi infrastruktur merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utama bagi pengurangan kemiskinan. Kedua, pengurangan pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan membiayai pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai kegiatan lain.

(26)

Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro, privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:

(i) Akses.

Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:

a. Peningkatan biaya sambungan.

Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang sewajarnya setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh karena itu, biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh penduduk miskin kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.

b. Pengurangan insentif.

Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin.

(ii) Keterjangkauan.

Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.

a. Peningkatan tarif.

Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.

b. Pembayaran diformalkan.

Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya, banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil, bahkan membayar lebih mahal pada ‘mafia air’.

c. Peningkatan kualitas.

Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada konsumen, yang kemungkinan membebani penduduk miskin.

(27)

seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsi air per kapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun terdapat dalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu memenuhi kewajiban kontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342), kecuali jika terdapat insentif yang cukup besar seperti dalam bentuk pembayaran kompensasi, pemberian subsidi dari pemerintah, pengurangan atau pembebasan pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68). Estache sendiri, memahami ini dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi mikro dengan menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin. Situasi ini juga digambarkan oleh Kessler (2004), yang menyatakan ...government services sometimes lose money because they subsidize prices for a large number of poor people. Because privatization inevitably commercialized prices through user fees, government maybe forced to keep subsidies for those who can’t afford market prices. In other words, private provision may still require public subsidies.

Dalam studinya, Guiterez (2003) berpendapat bahwa untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat (terutama masyarakat miskin), PSP membutuhkan peningkatan kapasitas, partisipasi masyarakat, dan peran serta aturan baru diantara stakeholders. Sedangkan menurut Esteban Castro (2005), kebijakan neo-liberalisme yang diterapkan di sektor air dan sanitasi (WSS) sejak awal 1980-an tidaklah bertujuan untuk memperluas layanan terhadap masyarakat miskin. Retorika pro-poor baru dimasukkan dalam kebijakan WSS pada tahun 1990-an, sebagai hasil dari meningkatnya protes dari masyarakat di negara berkembang dan gagalnya proyek-proyek privatisasi WSS di Eropa dan Amerika. Kebijakan PSP tidak hanya gagal dalam memberikan pelayanan atas air dan sanitasi terhadap masyarakat miskin, akan tetapi juga memperdalam kesenjangan kekuasaan yang berasal dari melemahnya kontrol negara, pemerintah lokal, dan kapasitas dari masyarakat sipil untuk melakukan kontrol demokrasi terhadap monopoli sektor swasta terhadap air, terutama di negara-negara berkembang.

(28)

supposed to bring to the poor”. Dalam kajiannya, Global Water Intelligence (2005), menyatakan bahwa Multi-National Companies (MNCs) tidak tertarik terhadap negara-negara berpendapatan rendah dimana terdapat ketiadaan kesinambungan secara komersial dalam penyediaan air. Dengan kata lain, dalam perspektif sektor swasta, negara-negara berpendapatan rendah dan masyarakat miskin tidak menarik dan memiliki tingkat resiko yang tinggi.

2.5.2 Pembiayaan Air dan PSP

Pembiayaan menjadi salah isu penting dalam penyediaan layanan air, terlebih setelah akses terhadap air dan sanitasi menjadi salah satu target yang harus dicapai dalam MDGs. Untuk mencapai target 10 MDGs, sekitar 1,6 milyar orang harus memperoleh sambungan terhadap air bersih antara tahun 2006-2015 dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi18. Dalam kerangka tersebut, investasi

yang dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar sampai dengan US$ 102 milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42 milyar untuk sanitasi19.

Tabel 6.

Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015

Wilayah

Asia Selatan 243 201 444 263 451 714

Asia Timur dan

18 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 2006

(29)

Wilayah

Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 2006

Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya bahwa partisipasi swasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air. Menurut Braadbaart (2001) “There are two arguments for privatizations: the fiscal argument that privatization will relieve government of the burden of investment financing and the efficiency argument taht performance will improve under private ownership”. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003), “why do we need the private sector to be involved at all ? Government and government-controlled para-statals rarely deliver services cost-efectively for the reasons noted earlier. Nor can governments usually raise the finance needed to expand the service provision. Involvement of the international water companies (on an appropriate basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of services. It can also facilitate mobilising long-term finance. Participation on a risk sharing basis of the international water companies enhances the confidence of the providers of finance that investment programmes will be implemented eficiently”.

(30)

Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air minum dalam kurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan puncaknya terjadi pada tahun 1997 (tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997, investasi swasta terus menurun (ditandai dengan banyaknya perusahaan swasta terutama MNCs yang menarik diri), namun menurut Izaguirre dan Marin (2006), situasi ini tidak berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir. Masuknya pemain baru yang berasal dari perusahaan nasional dan regional dipandang sebagai kecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam layanan air bersih. Lebih lanjut Izaguirre dan Marin, mengatakan “ So what we are seeing today is not a backlash but a natural maturation of the market following an initial boom. Now more aware of the benefits and risks involved, stakeholders are looking for contractual arrangements best suited to each country’s situation”.

Tabel 7.

Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta)

Tahun

Investasi Konsesi

Jual Penuh (Divestiture)

Greenfield project

Pengelolaan dan Kontrak

Sewa-Beli Total

1991 75 0 0 0 75

1992 284 0 0 0 284

1993 6.465 0 164 0 6.629

1994 966 0 380 0 1.346

1995 1.563 20 228 13 1.823

1996 122 36 1.125 20 1.304

1997 9.164 499 333 166 10.161

1998 1.676 266 385 0 2.327

1999 1.684 4.313 347 27 6.372

2000 7.134 456 633 7 8,229

2001 1.138 51 937 17 2.143

(31)

Tahun

Investasi Konsesi

Jual Penuh (Divestiture)

Greenfield project

Pengelolaan dan Kontrak

Sewa-Beli Total

2003 804 43 554 92 1.494

2004 3.341 210 1.041 180 4.772

2005 697 0 974 331 2.001

2006 1.152 383 405 737 2.677

2007 1.323 498 1.422 2 3.245

Grand Total 38.618 7.099 9.161 1.593 56.471

Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam publikasinya yang diterbitkan oleh PSI dan World Development Movement (WDM)20, dimana:

1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air bersih.

2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan jaringan. Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami perubahan, dibatalkan atau tidak mencapai target.

3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan dari pemerintah atau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk mendatangkan investasi swasta yang nyata, khususnya menyambung jaringan air bersih untuk komunitas miskin.

4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan investasi tetapi mereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama dengan sektor publik.

Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnya juga menggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini terjadi karena sektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk berinvestasi di negara berkembang dengan tingkat pendapatan masyarakat

(32)
(33)

BAB III

Fakta Sekitar PSP di Indonesia

3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia

Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di Indonesia kebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota Semarang yang didirikan pada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun 1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakal PDAM ini menjadi bagian dari Dinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan 70-an berubah menjadi PDAM.

Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya selama Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat memegang peran aktif dalam pembangunan infrastruktur bidang air minum secara luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalah memenuhi kebutuhan dasar air minum 60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% di daerah perkotaan. Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagai modal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan oleh PDAM dan Pemerintah Daerah setempat .

Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan investasi di sektor air minum perkotaan. Model pendekatan pembangunan dan standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pembangunan prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwa pengelolaannya dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air Minum) yang bersama-sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat dikembangkan menjadi PDAM.

(34)

Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu kerangka hukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih belum mencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur keterlibataan swasta pada saat itu hanyalah UU Penanaman Modal Asing dalam Pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967i jo Undang-Undang No. 11/1970 yang

mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain termasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 96 tahun 200021 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal, dimana dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak termasuk air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham dari perusahaan tersebut - dalam perkembangannya Keppres No.96 tahun 2000 ini dirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000.

Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia (lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini, keterlibatan swasta di sektor air semakin dipertegas.

21 Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain termasuk modal asing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000 dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham dari perusahaan tersebut.

Kotak 3.1.

Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air

Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektor sumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibat ketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakan sumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga pada tahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpa sebab yang jelas, draft rencana aksi ini ”menguap” begitu saja, sampai kemudian pembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai kembali pada sekitar tahun 1997.

Gambar

Tabel 2.Indikator Penting
Tabel 3.Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta
Tabel  4.
Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Taylor (2015) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki dukungan sosial tinggi akan memiliki tingkat stress yang rendah, serta dapat menjalani hidup dengan lebih

Kata Kunci : Minat belajar, Gaya belajar, dan Kompetensi menjahit luka.. The Relationship Of Self Esteem And Learning Style To Hecting Competence Of Students Of Nursing Of

Bagi subjek yang berprofesi sebagai perias pengantin, mengingat hasil penelitian untuk sikap profesional termasuk kategori sedang, maka saran yang dapat diberikan

Tugas akhir ini membahas tentang implementasi sistem head up display yang terintregasi dengan mikrokontroler pada sepeda motor yang akan mengirimkan informasi

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba, profitabilitas memberikan gambaran kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba yang

Dari hasH percobaan yang dilakukan pada tanah Aluvial Kelabu yang diberi tambahan jerami padi bertanda 15N dapat diambil kesimpulan bahwa, laju minera- lisasi 15N asal jerami padi

The objective of the research was to find out whether there was influence of Using Think-Talk-Write (TTW) strategy towards students’ announcement text writing

Tema desain yang diterapkan pada projek “ Rental Office Berbasis.. Coworking Space di Semarang” ini adalah arsitektur