• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI BAHASA AGAMA SEBUAH KAJIAN HERM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEMAHAMI BAHASA AGAMA SEBUAH KAJIAN HERM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MEMAHAMI BAHASA AGAMA;

SEBUAH KAJIAN HERMENEUTIKA

(Memahami Ta’wil dan Hermeneutika dalam

Penafsiran secara Komprehensif)

Mukhamad Saifunnuha (21514014) ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

IAIN SALATIGA

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Hermeneutika Dosen pengampu: Widyanto, Dr. Phil., M.A.

Pendahuluan

Perkembangan kelimuan yang ada tidak pernah berhenti. Iptek, sosiologi, sains, dan ilmu-ilmu lainnya tidak berhenti dalam suatu masa. Melainkan terus berkembang dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Hal itu tidak lain juga merupakan dampak daripada kemajuan zaman yang menuntut manusia untuk berpikir lebih daripada sebelumnya.

Begitu juga dengan khazanah keilmuan dalam Islam. Salah satu yang merupakan unsur utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an. Mendapatkan perhatian yang lebih daripada banyak kalangan masyarakat, khususnya para mufassir, cendekiawan dan para pemikir muslim. Al-Qur’an yang dipandang sebagai suatu kitab rujukan bagi manusia dituntut untuk bisa menjawab dan memberikan solusi atas problematika yang ada dalam masyarakat. Begitu pula para orientalis dan pemikir-pemikir barat turut menyumbangkan argumen-argumen mereka terkait hal itu.

(2)

al-Qur’an itu berlaku dimanapun dan kapanpun dia berada; apabila kita hanya melihat makna lahirnya saja. Karena berdasarkan fakta sejarah, al-Qur’an diturunkan beratus-ratus abad yang lalu, sesuai dengan kultur budaya yang melingkupinya.

Ta’wil merupakan sebuah jawaban atas hal itu. Bukan seperti tafsir yang lebih cenderung kepada makna lahir, ta’wil lebih menekankan kepada makna batin (inner interpretation). Mengenai definisi ta’wil, Al-Alusi berpendapat dalam pendahuluan kitabnya Ruh Al-Ma’ani “... Ta’wil merupakan sinyal suci, pengetahuan ketuhanan yang tersingkap dari pernyataan-pernyataan orang-orang yang berjalan menuju Allah (salikin) dan mengalir dari awan kegaiban kepada hati mereka yang ma’rifat”.1

Ta’wil, yang dalam hal ini disebut juga sebagai Hermeneutika merupakan sebuah seni memahami. Yang kemudian dalam khazanah ke-Islaman dipahami sebagai suatu model penafsiran. Menafsirkan merupakan jalan satu-satunya untuk memahami dan menyingkap makna yang ada didalam al-Qur’an. Maka hermeneutik hadir sebagai salah satu cara untuk menggali kandungan makna al-Qur’an tersebut.

(3)

seharusnya mengenal terlebih dahulu hal-hal yang ada didalam hermeneutika (barat) tersebut.2

Para ulama serta pemikir-pemikir barat pun tak kalah andil dalam menanggapi hal tersebut. satu diantara nya adalah Martin Heidegger dengan karya besarnya Sein and Zeit. Yang didalamnya dia melakukan pemahaman menyingkap makna ‘ada’ untuk ‘mengada’. Yang selanjutnya, melalui teorinya tersebut akan mengantarkan kita kepada sebuah topik, yaitu bahasa. Dimana bahasa merupakan salah satu properti dalam memahami sebuah teks, dimana teks tidak mungkin ada tanpa bahasa. Sehingga dalam memahami sebuah teks, kita tidak akan lepas daripada bahasa yang ada dalam teks itu sendiri.

Selanjutnya, meskipun belum bisa dikatakan sebuah ringkasan, tetapi paling tidak makalah ini banyak merujuk buku milik Komarudin Hidayat, yang berjudul

Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika, dan didukung dengan

buku-buku lain yang relevan dengan tema diatas. Dari tema tersebutlah nantinya akan kita bahas mengenai bahasa agama dalam kaitannya dengan kajian hermeneutika.

Untuk lebih memahami bagaimana bentuk dan rupa bahasa agama, ta’wil, maupun hermeneutika, maka penulis batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah pengertian Bahasa Agama?

2. Bagaimanakah peran penting hermeneutika dalam interpretasi? 3. Apakah persamaan dan perbedaan antara Ta’wil dan Hermeneutika?

Pembahasan

1. Definisi ‘Bahasa Agama’

Al-Qur’an merupakan kalam ilahi. Kalam berarti ‘bahasa tuhan’, yang tertulis dan terdokumentasi dalam sebuah kitab. Kitab itulah yang selanjutnya disebut sebagai kitab suci (sacred) karena berasal dari tuhan. Maka dengan bahasa yang tertulis didalamnya lah tuhan menyapa dan menemui makhluknya, yaitu manusia.3 Bukan lain juga

(4)

karena agama berisi ajaran-ajaran yang harus dipenuhi bagi setiap pemeluknya, maka kitab suci lah yang menjadi wadah semua ajaran itu.

Bahasa itu pula yang menjadi salah satu unsur penting dalam memahami sebuah teks. Karena bahasa tidak mungkin dipisahkan antara subjek (penafsir) dan objek (teks) dalam berinteraksi satu sama lain. Lebih jauh, teks, dengan bahasanya telah memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antar sesama manusia sendiri.

Heidegger4 mengungkapkan hal yang serupa dengan itu.

Dimana dia memahami bahwa bahasa merupakan sebagai rumah ‘ada’. Dalam pembahasan itu dia mengungkapkan secara rinci akan pentingnya bahasa. Dimulai dari interaksi antar sesama manusia sendiri yang memerlukan bahasa. Bahasa juga menjadi sarana dalam penamaan (becomes the naming or labeling). Namun di sisi lain bahasa bisa juga dilihat sebagai medium dalam pengertian kita tidak saja berbuat sesuatu dengan bahasa (with language), melainkan kita beraktifitas dalam bahasa (within languange).5

Dalam teorinya Heidegger juga mengatakan bahwa manusia tak bisa dipisahkan dari bahasa. Bahasa adalah rumah mengada bagi manusia. Berangkat dari proses mempertanyakan, berfikir dan menginterpretasi. Heidegger kemudian membahas bahasa sebagai satu yang amat signifikan dalam bangunan filsafatnya. Dia berpendapat, bahasa lah yang membuat manusia menjadi manusia. (Jakarta: Mizan Publika, 2004). Yang disampaikan oleh Alfi Qanita dalam makalahnya yang berjudul HERMENEUTIKA EKSISTENSIAL; Kajian Pemikiran Martin Heidegger dan Atha’ As-Shid.

4 Martin Heidegger merupakan seorang filususf kelahiran Messkirch Jerman. Terlahir dari keluarga katolik yang taat, sehingga mempunyai hubungan erat dengan gereja. Dari gereja pula dia dapat menempuh pendidikan tinggi. Sampai akhirnya conrad grober, seorang pastur paroki kontanz memberinya sebuah buku yang berjudul Franz Bentano von der Mannigfachen bedeutung des seinden nach aristoteles (tentang berbagai makna ‘ada’ menurut Aristoteles). Yang pada ahirnya buku itu merupakan awal dari semua pemikirannya tentang hermeneutik, terlepas dari konsentrasinya pada schhliermacher dan Dilthey.

(5)

Pertanyaan tentang hakikat manusia, pertama-tama seharusnya adalah pertanyaan tentang hakikat bahasa. Sebab bahasa lah yang memberi kemungkinan kepada manusia untuk menjadi manusia. Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa bukan alat, melainkan ia adalah sarana bagi pengungkapan Ada kepada manusia. Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.6

Al-Qur’an merupakan rekaman peritiwa eksistensial dalam sejarah yang dalam hal ini tersimpan dalam bahasa. Maka Bahasa dan realitas merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling mendukung. Di mana ada bahasa maka realitas pun akan hadir.7

Pengertian bahasa, sebagaimana kita diskusikan dimuka, memiliki cakupan makna dan telah melahirkan multiteori. Bahasa bukan saja sekedar ucapan (parole), tetapi di dalamnya terkandung perasaan, emosi, tata pikir, bahkan juga muatan adat-istiadat. Khazanah nilai-nilai kemanusiaan tersimpan dalam bahasa dan, melalui bahasa pula, kita mengekspresikan serta mendepositkan prestasi dan nilai-nilai kemanusiaan untuk disampaikan kepada masyarakat dan generasi mendatang.8

Sedangkan pengertian agama, didasarkan dari kata dalam bahasa inggris, yaitu

religion. Tercakup di dalamnya semua sistem nilai yang dijadikan pegangan atau pandangan hidup oleh suatu kelompok masyarakat.9 Jadi, dalam tradisi filsafat dan antropologi, pengertian “agama” tidak mesti memiliki kitab suci dan rasul seperti halnya dalam kelompok agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions).

Mengenai definisi Bahasa Agama, Komarudin menggunakan dua pendekatan yang menonjol dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan, yaitu: theo oriented

dan antropo-oriented. Mengenai yang pertama, apa yang disebut bahasa agama adalah

kalam Ilahi yang kemudian terabadikan kedalam kitab suci. Disini, Tuhan dan

kalam-6F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: KPG), hlm. 40.

7 Lihat. Muhammad Ata’ Sid, Sejarah Kalam Tuhan: Kaum Beriman Menalar al-Qur’an Masa Nabi, Klasik, dan Modern, Alih Bahasa Ilham B. Senong, (Jakarta: Mizan Publika, 2004), hlm.38.

(6)

Nya lebih ditekankan sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. Yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial.10

Dari dua objek diatas, yaitu Theo-oriented dan antropo-oriented kemudian diperluas cakupannya menjadi tiga pembahasan, yaitu:

Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran metafsis, terutama tentang Tuhan; kedua, bahasa kitab suci, terutama bahasa al-Qur’an; dan ketiga, bahasa ritual keagamaan. 11

Berkaitan mengenai objek yang pertama, yaitu bahasa metafsis, yang menjadi dasar dari kajian ini adalah dimulai dari sebuah pertanyaan, mampukah akal dan bahasa manusia membuat deskripsi dan atribusi yang tepat mengenai Tuhan dan persoalan-persoalan metafisika?. Sebagian menjawab pertanyaan itu dengan mengungkapkan bahwa apa yang diungkapkan oleh kitab suci tentang Tuhan hanya mampu dipahami oleh manusia sebagai ungkapan-ungkapan analogis dengan alam pikiran dan dunia empiris manusia. Yaitu dalam memikirkan, membahasakan, dan mengekspresikan pikiran tentang Tuhan dan objek abstrak, manusia tetap menggunakan ungkapan yang familiar dengan dunia indrawi. Hanya saja ia kemudian diberi muatan yang melewati realitas indrawi. Jadi bahasa agama secara historis-antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis didalamnya memuat kalam Ilahi yang bersifat transhistoris atau metahistoris.12

Kemudian Bahasa Agama; yaitu bahasa kitab suci. Adalah bagaimana manusia memahami bahasa Tuhan yang di transformasikan kedalam bahasa manusia yang tertuang dalam kitab suci. Dalam hal ini menurut komarudin, dalam memahami kitab suci terdapat tiga tingkatan pemahaman. Ada yang berpikir dalam lingkup kapasitas dan pengalaman sehari-hari, namun diarahkan untuk objek yang diimani yang berada diluar jangkauan nalar dan inderanya. Ada lagi yang berangkat dari sikap iman, lalu mencari dukungan dari pemikirannya. Ada yang memahami secara literal, verbal, menurut bunyi lahiriah ayat al-Qur’an, namun ada pula yang memahaminya dari sudut pandang spirit dan makna batin ayat.13

10 Ibid,. h. 149. 11 Ibid,. h. 67. 12 Ibid., h. 157.

(7)

Yang menjadi dasar adanya tingkat pemahaman diatas, ialah tidak lain berkaitan dengan bagaimana seorang individu mengapresiasi makna dan gaya bahasa kitab suci. Umat Islam Indonesia yang tidak paham bahasa arab, intensitas pemahamannya pasti berbeda dari masyarakat Arab dan para Sahabat Nabi Muhammad yang hidup sezaman dan paham bahasanya. Persoalan ini juga menimpa pemeluk agama lain. Bagi orang beriman, jarak pemahaman ini lalu dijembatani oleh iman, terjemahan kitab suci, dan penjelasan historis. Tetapi, begitu kitab suci diterjemahkan dan di tafsirkan, dua kemungkinan segera muncul. Positifnya, posisi dan dan pesan sebuah kitab suci menjadi terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal dimana ia diturunkan. Al-Qur’an misalnya, tidak lagi secara eksklusif hanya bisa dipahami oleh mereka yang ahli dalam bahasa Arab. Bertemunya teks dan terjemahan al-Qur’an dengan pembacanya diluar tradisi Arab akan memungkinkan proses pengayaan wawasan al-Qur’an sendiri. Tetapi negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu diikuti bahaya distorsi, deviasi, dan pengkhianatan pesan.14

Manusia selaku penafsir, dalam mengungkap makna al-Qur’an tidaklah menghasilkan suatu hasil final. Terbukti dari dinamika perjalanan zaman, setiap penafsir mempunyai penafsiran yang berbeda satu sama lain. Itu karena al-Qur’an merupakan dari Tuhan yang Maha Ghaib yang tidak bisa terjangkau oleh akal pikiran manusia. Dan lagipula dalam al-Qur’an adalah sifatnya dzu wujuh, yaitu yang mempunyai banyak aspek. Dan dari situlah salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan penafsiran diantara para penafsir.

Jika memang pada kenyataannya harus begitu, maka apakah yang menjadi standar dalam meraih kesepakatan makna dari kitab suci? Komarudin berpendapat bahwa, cara termudah tentu saja dengan jalan mengkaji secara objektif terhadap teks atau firman yang tertulis itu sendiri, sekalipun faktor konteks harus pula dipertimbangkan.15

Lalu bagaimana halnya dengan bahasa ritual?. Bahasa sebagai medium tidak selalu berupa ucapan, tetapi bisa juga gerakan tubuh (body language) yang bersifat isyarat atau sikap tubuh (performative language). Jadi, bahasa agama mencakup

(8)

ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu.16

Setiap gerakan sholat adalah bahasa ritual, sejak dari mengangkat tangan, membungkukkan badan, sampai menundukkan kepala sampai ke tanah. Semuanya itu kalo saja dihayati dengan mendalam, jauh lebih ekspresif ketimbang ucapan seribu kata. Ketika seorang muslim bersujud dengan khusuk menundukkan kepala dan menempelkan dahinya ke tanah, maka rangkaian kata-kata tidak cukup untuk mengungkapkan perasaan hatinya ketika bersimpuh menghadap Tuhan. Bisa jadi, hati seseorang dipenuhi gejolak rindu dan rasa syukur kepada Tuhannya, atau bisa juga penuh malu dan rasa takut. Begitu pun ketika memulai shalat dengan mengangkat tangan dan dibarengi ucapan takbir, untaian kata-kata tidak mampu mewakili peristiwa hati seseorang. Dengan demikian, bahasa agama tidak sekedar berhenti sebagai medium dan alat komunikasi, tetapi memiliki dimensi ontologis dan eskatologis.17

2. Peran Penting Hermeneutika dalam Penafsiran

Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan, sebab manusia memahami dalam bahasa.18 Kata-kata sebagai satuan unit bahasa terkecil yang memiliki makna, selalu merupakan penanda-penanda yang kita berikan pada realitas. Pemberian penanda itu sendiri sudah selalu berupa penafsiran. Masalah pemahaman adalah masalah tekstualitas, artinya begitu kita mau memahami realitas, ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”: “teks” itu sendiri seluas realitas. Bahkan Derrida secara radikal menyatakan bahwa “everything is text and there is nothing beyond the text”.19

Hermeneutika adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Jika “mengerti” selalu dikaitkan dengan bahasa, dengan berbagai kompleksitasnya, maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Namun semua buah pikiran orang harus diungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai dengan tata bahasa yang berlaku. Maka jika pengalaman manusia yang diungkapkan dalam bentuk bahasa tersebut tampak asing bagi pembaca

16 Ibid,. h. 150. 17 Ibid., h. 73.

18 Lihat. Heidegger: Language Is The House Of Being

(9)

(audience), maka perlu untuk ditafsirkan secara benar. Disinilah hermeneutika memiliki peran yang sangat besar.20

Hermeneutika dalam pengertiannya adalah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Qur’an dan al-Sunah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah hanya makna lahiriah dari kata-kata teks suci itu, tetapi lebih-lebih “makna batin” (inward meaning).21

Salah satu pokok perselisihan dikalangan umat Islam yang terkait erat dengan hermeneutika ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur’an yang “bermakna jelas atau pasti” (muhkamat) dan “yang bermakna samar atau tidak pasti” (mutasyabihat, yakni

interpretable).22

Masalah hermeneutika mengenai muhkamat dan mutasyabihat ini setidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan:

Pertama¸ perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat¸ namun bagi kelompok lain bersifat

mutasyabihat.

Kedua, adanya juga perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan hermeneutika terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu harus dilakukan hermeneutika dibalik ungkapan-ungkapan lahiriahnya; sebagian yang tidak membolehkannya, berpendapat bahwa dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan oleh ungkapan-ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya.

Ketiga, bagi mereka yang membolehkan hermeneutika, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan hermeneutika itu. Karena melakukan pekerjaan hermeneutika itu bukanlah pekerjaan gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya kepada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain syarat pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam.23

Disamping persoalan muhakamat dan mutasyabihat, yang menjadikan kehadiran hermeneutika menjadi sangat penting adalah karena terdapat jarak (distance) antara sabda Tuhan dan kehadiran kitab suci dihadapan manusia sebagai ‘teks’, maka terbentuk

20 Ibid., h. 19.

21 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama... hlm. 36

22 Adanya kedua jenis itu disebutkan dalam kitab suci sendiri, yaitu dalam Q.S. Ali Imran ayat 7

(10)

sebuah ‘ruang interpretasi’ dimana sabda Tuhan itu harus di interpretasikan kedalam bahasa-bahasa manusia, dalam konteks kehidupan sehari-hari manusia itu sendiri.

Hal selanjutnya yang menjadi dasar keharusan adanya hermeneutika adalah banyaknya penggunaan metafor dalam kitab suci itu sendiri. Istilah “metafor” berasal dari bahasa yunani: “Meta” berarti berada di seberang atau dibalik, dan “pherein” artinya “jembatan” atau “penyebrangan”. Dengan demikian, ketika kita menemui ungkapan metaforis, kiasan dan narasi kitab suci dalam bentuk cerita, kita diajak untuk menyebrang, melampaui ungkapan skripturalnya untuk menangkap pesan yang tersembunyi.24

Komarudin menegaskan dalam bukunya, bahwa proses pemahaman dan interpretasi tidak terlepas daripada tiga subjek yang saling terlibat, yaitu: dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca. Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu, tempat, dan kebudayaan antara pembaca dan dua yang lain, yaitu pengarang dan teks, demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di Timur Tengah, ketika hadir ditengah masyarakat Indonesia kontemporer tentu saja merupakan sesuatu yang asing. Persoalan keterasingan inilah yang menjadi persoalan hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi. Jadi, peran hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali agar menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. 25

Memahami sebuah teks asing sama halnya dengan melakukan “interogasi” terhadap orang asing yang tidak kita kenal. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna se-objektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang. Sebagaimana metodologi ilmiah pada umumnya, hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks.26

Berdasarkan proses penafsiran yang menjelaskan berdasarkan asumsi, maka pra-konsepsi pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran penting yang besar dalam membangun makna. Maka hermeneutika sebagai sebuah metodologi penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap “curiga” kepada setiap teks dari faktor-faktor subjektif, baik pembaca maupun pengarang. Subjektifitas tersebut mestinya bisa ditekan sekuat-kuatnya, sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran objektif bisa muncul ke permukaan. Hanya saja, karena pengarang, teks, dan pembaca 24 Ibid., h. 154.

(11)

ketiganya tidak berada dalam ruang kosong, tetapi terpengaruh oleh konteks sosial psikologis, maka tidak mudah untuk memperoleh kebenaran mutlak dan objektif.27

3. Ta’wil dan Hermeneutika

Dalam lintasan sejarah islam, muncul segolongan umat Islam yang disebut dengan istilah “orang sufi” yang mengembangkan ajaran tasawuf. Mereka menjadi golongan tersendiri yang tidak terpisahkan dalam dunia Islam. Mereka yang mengamalkan ajaran tasawuf biasanya menawarkan suatu pola ta’abudiyah, perilaku dan pola pikir yang unik yang berbeda dengan yang lainnya. Karakternya yang khas membuat tasawuf menjadi salah satu formula yang terbentuk didalam umat Islam.

Pola yang demikian pada akhirnya berdampak sistematik pada pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tidak sedikit dari para sufi telah memberikan pemaknaan terhadap ayat suci al-Qur’an, baik yang terformulasikan dalam kitab tafsir tersendiri atau hanya disampaikan melalui majlis-majlis pengajian.28

Dalam perjalanannya, para sufi dalam memaknai al-Qur’an adalah dengan menggunakan ta’wil sebagai alatnya, dengan maksud menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang simbolik dan mengandung kias (ayat-ayat mutasyabihat), sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam. Misalnya seperti terlihat pada ikhitar Sahl al-Tustari, seorang sufi Persia yang hidup pada akhir abad ke-10 dan merupakan salah seorang pengasas kaidah ta’wil. Baginya ta’wil tidak lain adalah kaidah penafsiran secara spiritual untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu al-Qur’an. 29

Secara bahasa, Ta’wil berasal dari kata awwal, pertama atau yang pertama, sebutan yang juga diberikan kepada sang pencipta. Sebagai yang pertama, Tuhan merupakan tempat kembalinya segala ciptaan. Berdasarkan hal ini lantas perkataan ta’wil diberi arti ‘Kembali atau menyebabkan kita kembali (kepada yang pertama atau

27 Ibid., h. 87.

28 Kurdi, dkk., HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN HADIS (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 36.

(12)

yang asal) serta menemukan sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi, yaitu sang makna atau hakikat yang terakhir. 30

Sebagaimana ahli hermeneutika secara umnum, ahli ta’wil meyakini bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi dan ekspresi manusia merupakan ‘wadah makna-makna’ (the locus of meaning), sekaligus sistem penandaaan (dilal) dan pelambangan atau simbolisasi (mitsal). Berdasarkan penekanannya pada simbol atau unsur-unsur simbolik dari rasa’il atau wacana, maka ta’wil sering diartikan sebagai tafsir atau pemahaman simbolik. Dilihat dari arti khususnya ini ta’wil dapat diartikan sebagai perjalanan jiwa dalam memahami teks melalui cara-cara seperti mentransformasikan ungkapan-ungkapan zahir tertentu dalam teks menjadi kias, tamsil atau mitsal. Dengan cara demikian maka dunia makna yang dikandung teks menjadi lebih luas dan kaya.31

Lebih jauh, Ibnu Arabi menamakan ta’wil sebagai kaidah penafsiran teks dengan cara mencipta kemiripan makna baru secara terus menerus (tajdid al-mutsul) atau mencipta sesuatu yang baru melalui kegiatan menafsir (tajdid al-khalq). Tujuan ta’wil ialah membina kesadaran rohani, pengetahuan dan gagasan yang bermakna tentang hidup, serta kesadaran diri yang membuat pemahaman terhadap teks menjadi hidup, baik secara spiritual maupun secara rasional, secara estetis maupun intelektual. 32

Mengenai hermeneutika sendiri, telah dijelaskan dalam pembahasan yang kedua diatas, yaitu mengenai peran hermeneutika dalam penafsiran. Meskipun penjelasannya relatif singkat, namun saya kira sudah bisa mewakili mengenai apa pengertian dan objek kajiannya.

Sehingga dari pemaparan mengenai Ta’wil dan hermeneutika diatas, dapat disimpulkan ada beberapa persamaan dan perbedaan diantara keduanya.

(13)

Persamaan:

a. Ta’wil maupun hermeneutika sama dalam hal mencipta makna yang ingin dicapai, dalam hubungannya dengan teks. Yaitu ingin melampaui skriptualitas dan makna dzahir nya menuju makna tersembunyi yang lebih luas dan mapan guna menghasilkan makna yang baru secara terus menerus. Ini didasarkan pada pandangan ahli hermeneutika terkemuka seperti Paul Ricour , Hans Goerge Gadamer, dsb. Yaitu bahwa bahasa pertama adalah the locus of meanings (wadah makna-makna), dan setiap makna yang terdapat dalam wacana tertulis mempunyai kaitan atau konteks dengan kehidupan diluar bahasa.33

b. Ta’wil dalam perkembangaanya tidak hanya digunakan untuk memahami dan menafsirkan ayat mutasyabihat al-Qur’an, tetapi juga ungkapan puisi-puisi keagamaan dan sufistik. Misalnya dalam karya-karya Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi, dsb.34

Begitu juga hermeneutika selain sebagai metode dalam menafsirkan kitab suci, secara nyata hermeneutika merupakan sebuah seni memahami. Yang juga bukan hanya sekedar memahami teks suci, melainkan teks-teks lainnya termasuk sastra.

c. Ta’wil maupun hermenutika sama-sama berangkat dari konsep yang sama yaitu bahwasanya al-Qur’an mengandung makna zahir dan makna batin. Sebagaimana seorang sufi al-Kasyani menghubungkan ta’wil dengan sabda Nabi yang bermaksud “Tidak ada ayat yang al-Qur’an yang tidak mempunyai makna zahir dan sekaligus makna batin, batasan (hadd) dan sekaligus tempat ke mana kita melakukan pendakian”.35

d. Menurut ahli ta’wil adanya teks tidak lah berangkat dari ruang hampa. Tetapi, kelahiran sebuah teks bisa terjadi 33 Ibid., h. 89.

(14)

setelah melalui sebuah proses kejiwaan dan pengalaman batin yang rumit.

Ini senada dengan apa yang dikatakan ahli hermeneutika terkenal yaitu schliermacher dan ahli hemeneutika lainnya, bahwa makna batin dari teks berkaitan dengan gambaran dunia dan keadan jiwa penulis pada waktu melahirkan karyanya.36

Perbedaan:

a. Seorang pena’wil, bukan hanya menggunakan akal atau rasio untuk mengungkap makna ayat, melainkan harus menggunakan intuisi dan imajinasi kreatifnya. Juga dalam tingkatan keilmuan, orang yang bisa melakukan ta’wil adalah orang yang dikarunai daya khayal/burhani, dimana daya ruhani bisa melampaui indera dan akal (rasio).

Sedangkan hermeneutika tidak membutuhkan hal itu, namun lebih membutuhkan metodologi dalam menerapkan hermeneutika tersebut, khususnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.

b. Objek kajian ta’wil atas al-Qur’an adalah ayat-ayat yang mutasyabihat, yang kemutasyabihatan itu menurut pena’wil itu sendiri. Dikarenakan antara satu yang lainnya menganggap beda antara mana yang muhkam dan mutasyabihat.

Sedangkan objek hermeneutika adalah selain dari ayat yang mutasyabihat adalah juga dari ayat-ayat yang muhakam sekalipun, apabila yang muhkam itu bertubrukan dengan problematika sosial.

Namun demikian, menurut ahli hermeneutika, ayat yang dianggap muhkam bisa jadi menurut mereka mutasyabihat, dan sebaliknya.

(15)

Kesimpulan

Teks dan bahasa merupakan dua yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga dalam memahami sebuah teks, kita juga tidak terlepas dari bahasa teks itu sendiri. Terlebih lagi adalah bahasa agama. Yang bukan hanya mencakup teks kitab suci, melainkan juga bahasa mancakup ungkapan dan ekspresi keagamaan, yang dalam hal ini merupakan bahasa agama dilihat dalam ritual keagamaan.

Dalam kaitanya dengan interpretasi, kita tidak terlepas dari tiga bagian, yaitu pengarang, pembaca, dan teks itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah jarak(distance) antara ketiganya sehingga sulit untuk memahami hanya dari skriptual teks nya saaja. Melainkan harus memahami makna batin nya juga, apa pesan moral nya, dsb. Sehingga disitulah hermeneutika berperan.

(16)

Daftar Pustaka

Hadi, Abdul W.M., 2004. HERMENEUTIKA, ESTETIKA, DAN RELIGIUSITAS; Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa (Yogyakarta: MAHATARI)

Hardiman, F. Budi,. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: KPG)

Hidayat, Komaruddin, 2011. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,

(Bandung:Mizan)

Kurdi, dkk., 2010. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN HADIS (Yogyakarta: Elsaq Press)

Mulyono, Edi, dkk., 2013. BELAJAR HERMENEUTIKA; Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD)

Syamsuddin, Sahiron dkk., 2011. PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI

ISLAM: READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta)

Syamsuddin, Sahiron dkk., 2011. PEMIKIRAN HERMENEUTIKA DALAM TRADISI

BARAT: READER (Yogyakarta: LEMBAGA PENELITIAN UIN Sunan Kalijaga

Referensi

Dokumen terkait

Tiga variabel bauran pemasaran, yaitu harga, promosi dan kualitas pelayananakan berpengaruh pada pengambilan keputusan oleh konsumen, dengan berbagai pilihan harga

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan

Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan, pemberian catatan gejala sakit perut berulang dan kuesioner untuk mengetahui anak yang

Kemampuan foto udara dalam merekam obyek di muka bumi, khususnya situs arkeologi, tentunya dapat dimanfaatkan untuk digunakan dalam kegiatan pelindungan dan pelestarian

Karakteristik utama anak-anak autistik adalah: (1) Tidak dapat membangun hubungan sosial; sulit untuk berteman, kadang berteman dengan cara yang “aneh”; (2)

Ritual merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan suatu mitos yang bertujuan untuk mensakralkan diri dan dilakukan secara rutin, tetap, berkala yang dapat

dan eigen-vector melalui suatu vektor tak nol yang telah ditentukan sebelumnya secara sebarang. Dalam Tugas Akhir ini, akan diturunkan suatu teorema secara

Berdasarkan hasil obsevasi terhadap kader Posyandu dan hasil identifikasi yang dilakukan oleh tenaga ahli maka diperoleh hasil bahwa kader Posyandu beriatar belakang pendidikan