• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDON (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDON (1)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA: Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa

Kim Geung Seob Pusat Studi Korea UGM

I. Pendahuluan

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar be-lakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar peri-laku nonverbalnya sendiri, yang diperi-lakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.

(2)

tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.

Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.

Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998).

Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Indonesia dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia dan Korea berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat.

(3)

Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.

2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan

Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.

(4)

Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.

2.2 Individualisme dan Kolektivisme

Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).

(5)

bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.

2.3 Feminin dan Maskulin

Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas feminin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada variasi yang cukup banyak dari negara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976).

(6)

Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Amerika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30 dan Korea di urutan ke-41.

2.4 Kesenjangan Kekuasaan

(7)

Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001). Senyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-IKK tinggi.

2.5 Konteks Tinggi dan Rendah

(8)

Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupa-kan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupamerupa-kan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eksplisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).

(9)

tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR.

3. Struktur Sosial dan Nilai Masyarakat Korea dan Indonesia

Korea dalam sepanjang sejarahnya sangat penting artinya dari sudut strategi. Hal tersebut dikarenakan semenanjung Korea itu terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Selain itu, sampai akhir masa abad ke-19 semenanjung Korea sudah lama menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi dari daratan Cina dengan kepulauan Jepang. Letak geopolitik kerajaan Korea sebagai sebuah semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan penghubung itu telah memberikan keuntungan dan kerugian. Di satu sisi kerajaan Korea dapat dengan mudah menyerap seni budaya dari negara tetangga, tetapi sebaliknya senantiasa menjadi sasaran dari negara-negara tetangga yang agresif

Salah satu yang berhasil diserap Korea adalah ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme yang berasal dari Cina ini disampaikan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Namun, anehnya justru ajaran konfusianisme ini tidak berkembang di Cina, namun sangat berkembang di Korea dan Jepang. Ajaran konfusianisme ini diajarkan oleh seorang bijak dari Cina, yang bernama Kong Zui. Beliau mengajarkan sistem etika moral yang ideal dengan membangun hubungan dalam keluarga dan negara dalam kesatuan yang harmonis. Kong Zui yang diperkirakan hidup pada abad 6 Sebelum Masehi mengungkapkan hubungan tersebut pada dasarnya adalah sebuah sistem subordinasi dari hubungan:

1. Ayah dan anak (orang tua dan anak) 2. Yang tua dan yang muda

(10)

4. Pertemanan

5. Penguasa dan Masyarakat

Ajaran konfusianisme sangat menitikberatkan kesetiaan kepada raja dan kerajaan (negara), moral, dan pembaktian kepada orang tua. Di samping itu menekankan pada perbuatan yang sepatutnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara bermasyarakat dan cara mendidik. Bahkan, untuk tata cara bermasyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat (bangsa) Cina memberi gelar masyarakat Korea dengan sebutan the country of eastern decorum atau orang ramah dari timur. Hal tersebut berkat ajaran konfusianisme yang merasuk kuat dalam tata nilai yang ada dalam masyarakat Korea.

(11)

senang ditanggung bersama. Yang dipentingkan di sini adalah rasa kebersamaan dalam menghadapi segala persoalan hidup.

Namun demikian, ada kesamaan nilai-nilai yang sekarang dipandang tidak menghargai harkat perempuan, yaitu hubungan keluarga pada masyarakat konfusianis Korea lebih berarti daripada hubungan suami istri. Dapat dikatakan bahwa suami lebih mendengar perkataan ibunya daripada istrinya sendiri. Bahkan ada peribahasa Korea yang khusus menyatakan hal tersebut adalah darah lebih kental daripada air. Jadi, untuk masyarakat Konfusianis Korea, istri masih dianggap sebagai orang lain. Begitupun masyarakat Jawa menganggap istri hanya sebagai kanca wingking atau teman belakang, sedangkan perbedaan nilai-nilai di antara masyarakat Konfusianis Korea dan masyarakat Jawa, yaitu:

1. Hubungan kekerabatan hanya dihitung dari garis ayah. Hal ini tidak terdapat dalam masyarakat Jawa, karena hubungan kekerabatan masyarakat Jawa dihitung dari pihak maternal dan paternal, atau dengan kata lain bersifat bilateral descend. Sedangkan hubungan kekerabatan masyarakat Korea bersifat paternal, dan begitu kuatnya prinsip konfusianisme ini sampai tercermin dalam “prefiks” bahasa Korea.

2. Pernikahan/perkawinan diperbolehkan hanya bila di luar klan darahnya. Masyarakat Jawa tidak mengenal klan seperti Korea. Namun pada masyarakat Jawa kuno, perkawinan justru diharapkan terjadi di antara kerabat jauh mereka. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan “tulang” yang tercerai berai agar utuh kembali.

(12)

tujuan pokok, yaitu mempersembahkan anak lelaki sebagai penerus keluarga. Bahkan hal tersebut dijadikan dosa utama dalam ajaran konfusius, bila tidak melahirkan anak lelaki bagi suami dan keluarga suami. Pada masyarakat Jawa tidak ada ketentuan tentang hal ini karena masyarakat Jawa tidak mengenal marga atau klan seperti masyarakat konfusius Korea, namun memang sangat dihargai bila “si sulung” merupakan anak laki-laki, yang nantinya diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga.

4. Perceraian tidak hanya “dilakukan” oleh suami/isteri. Perceraian dapat disebabkan beberapa macam, namun yang berbeda bagi masyarakat Jawa adalah perceraian dapat “dilakukan” oleh selain suami/isteri. Yang dimaksudkan di sini adalah inisiatif perceraian dapat diberikan oleh ayah suami, bahkan kakek suami pada jaman Korea lama. Hal tersebut jarang terjadi pada masyarakat Jawa, itupun karena pihak mertua laki-laki merupakan pihak “yang sok berkuasa” . 5. Adanya upaya adopsi bila tidak mempunyai penerus klan. Bila mendambakan

seorang anak laki-laki untuk meneruskan usaha keluarga, biasanya yang terjadi pada masyarakat Jawa adalah “mengambil isteri baru”. Dengan adanya pernikahan baru tersebut diharapkan “isteri muda” dapat dipersembahkan “sang penerus keluarga”. Namun, berbeda dengan masyarakat Konfusius Korea yang melakukan upaya adopsi untuk mencari penerus keluarga. Namun, adopsi yang dilakukan pun berbeda, hanya dilakukan kepada saudara laki-laki yang terdekat yang mempunyai anak laki-laki pada zaman Korea lama pula.

4. Sopan Santun dan Kebiasaan di Korea dan Jawa

(13)

Jawa kerukunan dan kehormatan menjadi aspek penting dalam pergaulan. Seseorang diharapkan agar tidak memacu konflik dalam bersikap, dan dalam cara berbicara serta membawa diri dituntut untuk selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Orang Korea menjunjung tinggi senioritas, sedangkan di Jawa lebih menekankan status. Baik di Korea maupun di Jawa mengetahui secara rinci mengenai lawan bicara adalah hal yang wajar dalam pembicaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status lawan bicara dan bagaimana kita bersikap. Menolak untuk memberi jawaban juga bukan merupakan hal yang tidak sopan jika kita melakukannya dengan sikap sopan pula. Orang Korea dan orang Jawa pada dasarnya adalah orang yang ramah. Akan tetapi, orang Korea tidak begitu mudah mengekspresikan perasaan mereka dan sangat membatasi kontak fisik. Ketika bertemu dengan seseorang, orang Korea hanya mengangguk secara sopan atau berjabat tangan. Berjabat tangan dengan wanita bukanlah hal yang biasa sedangkan di Jawa hal ini biasa terjadi. Akan tetapi, bila seseorang telah mengenal orang Korea dengan dekat, rasa kekeluargaan akan lebih terasa, dan akan lebih sering terjadi kontak fisik antarteman atau antarkenalan.

4.1 Sopan Santun di Muka Umum

(14)

Di Korea terdapat fenomena yang dianggap wajar jika laki-laki saling berangkulan atau wanita saling bergandengan tangan. Hal ini merupakan ekspresi keakraban atau bila melihat dua orang pria dewasa berjalan sambil berangkulan. Adapun wanita yang berjalan bersama sambil bergandengan tangan adalah hal yang biasa. Baik di Korea maupun di Jawa, bila ada sepasang kekasih berpelukan atau berciuman di depan umum dianggap tidak sopan.

4.2 Sopan Santun di Meja Makan

Pada umumnya sopan santun di meja makan antara orang Jawa dan Korea dapat dikatakan hampir sama. Ketika sedang makan, kita tidak boleh bercakap terlalu banyak, tidak boleh mengunyah hingga menimbulkan suara, dan berusaha jangan sampai ada makanan yang tercecer. Tunggulah orang yang lebih tua untuk duduk terlebih dahulu, dan orang muda tidak boleh mendahului orang tua ketika makan. Akan tetapi, di Jawa, tuan rumah biasanya mempersilahkan tamu untuk memulai hidangan terlebih dahulu. Apalagi, jika tamu adalah orang yang lebih tua atau dihormati.

(15)

yang menggunakan tangan. Aturan makan dengan sendok sama seperti kebiasaan orang barat, hanya saja peralatannya lebih sederhana, terbatas sendok nasi dan garpu saja.

4.3 Kebiasaan yang Berhubungan dengan Senior

Baik orang Jawa maupun Korea, sangat menghormati orang tua. Kita tidak boleh berbicara sambil membelakangi atau menatap mata mereka ketika berbicara, karena hal ini tidak sopan. Bila menerima atau memberikan sesuatu kepada orang tua, kita harus menggunakan kedua tangan kita. Di Korea, dalam hal berjabat tangan, orang muda harus menunggu ajakan orang yang lebih tua, sedangkan di Jawa kebalikannya, orang yang lebih mudalah yang mengajak berjabat tangan. Kemudinan, orang Jawa bila berjalan di hadapan orang yang lebih tua akan membungkukkan badan, sedangkan di Korea tidak perlu.

Saat minum, di Korea orang yang lebih muda harus memiringkan tubuhnya ketika minum agar tidak dilihat secara langsung oleh orang yang lebih tua. Akan tetapi, jika berhadapan dengan orang yang beda usianya tidak terlalu jauh, mereka tidak perlu melakukannya, sedangkan di Jawa, hal ini tidak perlu dilakukan.

4.4 Kebiasaan Bertamu dan Mengundang

(16)

Di Korea tidak ada kebiasaan “go Dutch” atau membayar sendiri-sendiri se-perti di Jepang tetangganya. Apabila kita berada di Korea, kita harus siap untuk menjamu atau dijamu. Akan tetapi, di sana ada kebiasaan bahwa orang yang lebih tua yang akan menjamu yang lebih muda karena mereka merasa bertanggung jawab kepada yang lebih muda dan merasa perlu untuk menjaga yang lebih muda. Di Jawa juga tidak dikenal budaya “go Dutch”, yang mengundang atau yang mengajak adalah yang berkewajiban untuk membayar atau menjamu.

4.5 Kebiasaan Lain

Di Korea, orang tidak menulis dengan tinta merah ketika memberikan alamat, atau pesan kepada seseorang. Tinta merah memiliki arti kemarahan atau ketidakramahan. Bagi orang Korea, angka 4 adalah angka sial. Angka ini berarti “mati”. Oleh karena itu, bila kita mengundang tamu orang Korea, jangan memesan kamar no 4 atau kamar yang berada di lantai 4. Bagi orang Jawa, tidak ada angka sial, tetapi mungkin karena adanya pengaruh barat, ada orang Jawa yang menganggap angka 13 sebagai angka sial. Akan tetapi, orang Jawa menganggap hari-hari tertentu sebagai hari keramat, seperti Jumat dan Selasa Kliwon, serta malam 1 Suro. 1 Suro dianggap sebagai hari para raja, karena itu biasanya pada hari-hari itu orang Jawa tidak mengadakan pesta pernikahan atau syukuran.

5. Perilaku Nonverbal Indonesia dan Korea 5.1 Bentuk Ekspresi

(17)

Indonesia cenderung bergerak dari hal-hal yang khusus dan kecil ke hal-hal yang umum dan lebih besar. Mereka mulai dari masalah-masalah pribadi dan lokal dan berkembang ke masalah-masalah yang menyangkut negara dan bangsa. Namun orang Korea cenderung melakukan sebaliknya. Mereka merasa lebih enak untuk memulai dari bagian yang umum atau besar dan kemudian menyempit ke fakta-fakta yang khusus. Orang Korea menulis alamat mulai dari nama negara, propinsi, kabupaten, kota, nama jalan, dan akhirnya nomor rumah dan nama orang. Namun, di Indonesia, mulai dari nama orang, nomor rumah, kota, dan akhirnya baru nama negara. Dalam hal nama pun, orang Korea meletakkan nama keluarganya lebih dulu dan baru diikuti namanya sendiri, sedangkan di Indonesia sebaliknya.

Adapun baik orang Indonesia maupun orang Korea menjawab “ya”, ini tidak selalu berarti mengiyakan, tetapi hanya berarti “saya mengerti keadaanmu, silakan lanjutkan ...”, tidak berarti persetujuan atau niat untuk menuruti si pembicara. Jika seseorang menerima jawaban ‘ya’ dari anggota kedua masyarakat sebagai tanda persetujuan, sering timbul kesalahpahaman, dan tampak bahwa orang itu belum cukup mengerti pikiran lawan bicara. Ini sama halnya sewaktu seseorang mengatakan “Anda tidak perlu melakukan ini” atau “Silahkan terima hadiah ini” ketika ada orang lain yang membawakan hadiah atau benda berharga lainnya. Jika dia menerima begitu saja hadiah itu, dia dianggap tidak sopan.

(18)

itu bisa dipecahkan orang yang dimintai tolong dengan menggunakan “alfa”-nya. Dalam hal ini, orang berorientasi rasional mungkin menolak dengan mengatakan hal itu tidak sah atau mustahil, tetapi dalam masyarakat Indonesia dan Korea, seseorang mungkin berpikir bahwa satu perkecualian kecil tidak akan menjadi masalah, dan biasanya orang mengharapkan kesulitan itu akan dipecahkan dengan cara atau metode “alfa”-nya.

Orang Barat mencari keindahan yang ditemukan dalam diri manusia, sedangkan alam hanya merupakan latar belakang bagi umat manusia. Namun sebaliknya dengan orang Indonesia dan Korea. Sebagai contoh, dalam lukisan Renaissance sumber dari sebagian seni Barat, alam adalah latar belakang yang kabur bagi manusia di masa mudanya. Orang Barat memanusiakan alam, dan orang Korea atau Indonesia mengalamkan manusia. Hampir semua sampul majalah Time bergambar manusia, sedangkan sebagian besar sampul majalah Korea bergambar alam tanpa manusia di latar belakangnya.

(19)

5.2 Bentuk Perilaku Nonverbal

Perilaku nonverbal yang terdapat antara masyarakat Korea dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dirinci sebagai berikut.

• Orang Indonesia maupun orang Korea menganggap kontak mata sebagai tantangan dan tidak boleh dilakukan kepada orang yang dihormati atau lebih tua. • Di Indonesia, acungan jempol berarti ‘bagus’ atau ‘oke’ dan mengacungkan jempol ke arah bawah berarti ‘jelek’ atau ‘merendahkan’, sedangkan di Korea acungan jempol berarti ‘yang terbaik’, ‘nomor satu’ atau ‘bos’.

• Orang Korea menghitung dengan melipat jarinya dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan satu tangan, sedang orang Indonesia dengan cara membuka tangan dari ibu jari berurutan ke arah kelingking dengan dua tangan.

• Terdapat konotasi seksual antara Indonesia dan Korea dalam menggunakan jari dan tangan. Di Indonesia, tabu untuk menunjuk dengan jari tengah. Di Korea, meletakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah pada tangan yang sama atau menggosokkan telapak tangan yang terbuka di atas kepalan tangan yang lain berarti hubungan seksual.

• Di Korea, membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk berarti ‘uang’, sedang di Indonesia, ini berarti ‘beres’. Adapun melambaikan tangan dengan telapak menghadap keluar dan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’.

• Di Indonesia untuk menunjukkan sesuatu dengan sopan (menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua) menggunakan ibu jari, sedangkan di Korea menunjuk sesuatu dilakukan dengan jari telunjuk.

(20)

• Orang Korea menunjuk pada dirinya sendiri, ia akan menunjuk dadanya dengan jari jempol, sedangkan orang Indonesia untuk menunjuk pada dirinya sendiri menepuk atau menunjuk pada dadanya.

• Untuk menyatakan tidak punya uang, orang Korea menyatukan jempol dan telunjuk kemudian digerakkan, sedangkan bagi orang Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan bahwa orang yang melakukan hal tersebut sedang menyepelekan sesuatu, atau menganggap sesuatu itu mudah sekali.

• Bagi orang Indonesia untuk memberitahu bahwa ia tidak punya uang, cukup de-ngan menggabungkan jempolnya dede-ngan telunjuk dan kemudian digerak-gerakkan.

• Melambaikan tangan dengan telapak menghadap ke luar dengan gerakan vertikal berarti ‘selamat jalan’ di Indonesia, sedang di Korea itu berarti mengundang orang untuk mendekat.

• Berbeda dengan Amerika, baik orang Korea maupun Indonesia menggunakan telapak tangannya untuk menulis.

• Orang Indonesia menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua dengan sedikit membungkukkan punggung ketika berjalan melewati orang yang lebih tua, sedangkan di Korea tidak terdapat hal seperti itu.

• Di Indonesia menggesek-gesek ibu jari telunjuk berarti ‘uang’, sedangkan di Korea ‘uang’ ditunjukkan dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk.

(21)

6. Penutup

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri, 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ayatrohaedi dkk, 1989, Tata Krama Di Beberapa Daerah Di Indonesia,. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bennet, Milton J. (editor). 1998. Basic Concepts of Intercultural Communication Selected Readings. Maine: Intercultural Press, Inc.

Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Books Doubleday

Hall, Edward T. 1984. The Dance of Life: The Other Dimension of Time. Garden City, N.Y.: Anchor Press

Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences International Differences in Work-Related Values. Abridged Edition. Newbury Park: Sage Publications

Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarge Dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pen-didikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Ray L. Birdwhistell, 1969. Kinesics and Context, Philadelphia: University of Penn-sylvania Press

Samovar, Larry A. and Richard E. Porter. 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company

Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani. 1998. Communication Be-tween Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Com-pany

Referensi

Dokumen terkait

Berat barang yang dimasukkan dan dimensi truk yang digunakan sama dengan yang terjadi pada simpul 2 dan fungsi pembatas tidak akan mematikan simpul tersebut

Junita Sitorus : Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Pakaian Bekas (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan ), 2008. Menurut Keputusan Menteri Perindustrian

Ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti pesongan dan

Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama,

Laporan Statistik Keputusan Penilaian Akhir ini disediakan adalah berdasarkan kepada keputusan yang telah disahkan dalam Mesyuarat Jawatankuasa Peperiksaan PTSS

Dengan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan, Sikap, Lingkungan Keluarga, dan Motivasi Terhadap Minat Berwirausaha” (Studi Kasus

Paparan di atas menunjukkan bahwa mahasiswa prodi PBA memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan mahasiswa yang dapat dimanfaatkan untuk membina dan mengembangkan

Orang Pribadi yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP Pratama Bekasi Utara. Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan pengujian maka kesimpulan yang