• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Komparatif Kekuasaan Kehakiman Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Komparatif Kekuasaan Kehakiman Ind"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

ULASAN BUKU JUDICIAL

INDEPENDENCE: THE CONTEMPORARY

DEBATE

“Judicial Independence : The Contemporary Debate” adalah buku

magnumopus yang dibuat oleh Shimon Shetreet dan Jules Deschênes mengenai cabang kekuasaan kehakiman di berbagai belahan dunia pada tahun 1983. Pada kesempatan ini penulis memfokuskan penelitiannya pada Bab 26 mengenai negara Spanyol yang ditulis oleh Prof. A.Beltran Pelayo. Tulisan tersebut memuat ketentuan normatif dan dinamika cabang kekuasaan kehakiman di Negara Spanyol, dimana Prof. A. Beltran Pelayo sangatlah jujur mengenai kondisi kekuasaan kehakiman di Negaranya. Maka dari itu tidak jarang beliau berani mengkritisi kekurangan dinegaranya, tapi disatu sisi juga mengagungkannya. Salah satu poin yang diulas secara komprehensif dalam buku tersebut adalah konsep independensi peradilan, dimana Prof. A.Beltran Pelayo menjewantahkan konsep tersebut dengan menguraikan hubungan antara cabang yudikatif dengan cabang-cabang kekuasaan lain seperti eksekutif, legislatif, dan Pers. Tidak lupa beliau juga mengulas mengenai rekrutmen, masa jabatan dan pemberhentian hakim itu sendiri.

Makalah yang dibuat Penulis sejatinya bersandar pada pembahasan pada Bab tersebut semata, akan tetapi karena minimnya pembahasan yang lebih mendalam maka penulis tidak canggung untuk masuk lebih jauh ke dalam hukum-hukum positif yang ada di Negara Spanyol. Kemudian Penulis tidak lupa juga untuk membandingkan dengan Negara tempat dimana Penulis dilahirkan dan menimba ilmu, yakni Indonesia. Pada kesempatan ini penulis melakukan studi komparasi cabang kekuasan kehakiman antara Indonesia dengan Spanyol dengan unsur-unsur sebagai berikut : definisi, dasar hukum, prinsip, struktur, jenis, wewenang, pengangkatan hakim, serta hubungan kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan pers.

(2)

Selama beberapa tahun terakhir Negara Spanyol telah mengalami berbagai macam transisi politik, mulai dari negara yang bersifat institusional dan saat ini berubah menjadi negara yang demokratis dengan ciri sistem pemerintahan parlementer yang monarki. Berdasarkan konstitusinya yang baru pada tahun 1978, kekuasaan kehakiman kini menjadi cabang kekuasaan yang memegang peranan penting di negara Spanyol, dimana sebelumnya tidak ada ketentuan hukum positif yang mengaturnya, tapi saat ini sudah dituangkan dalam Organic Law di negara Spanyol.

Kemudian dalam perkembangnnya dibentuklah organ konstitusional yang diatur dalam Pasal 122 dari konstitusi yang kemudian diresmikan pada 10 Januari 1980 dengan nama Consejo General Del Poder Judicial (CGPJ), atau jika diartikan kedalam bahasa Indonesia berarti “Dewan Umum Kekuasaan Kehakiman”. Lembaga ini adalah badan konstitusional berdasarkan Pasal 122 Konstitusi Spanyol 1978 yang berfungsi untuk mengatur semua aktivitas Yudikatif dalam menegakan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman.

Kemudian berdasarkan Pasal 107 Act 1/1986 tanggal 22 April tentang (CGPJ), dinyatakan bahwa CGPJ mengusulkan pengangkatan dua hakim di sidang Mahkamah Konsitusi, selain itu juga CGPJ bertanggungjawab untuk memilih, melatih, menyediakan upgrade, promosi, status administratif dan penegakan disiplin hakim dan magistrates. Nantinya penunjukan Hakim-Hakim adalah atas perintah dan tunduk kepada keputusan Raja, serta ditandatangani oleh Menteri Kehakiman.

(3)

latar belakang sebagai hakim atau magistrates disuatu pengadilan, empat diantaranya diusulkan oleh kongres, dan empat diantaranya diusulkan oleh kongres yang akan bekerja dalam jangka waktu lima tahun. Berikut adalah struktur organisasi dari CGPJ :

Pada dasarnya CGPJ memiliki fungsi untuk menegakan kekuasaan kehakiman agar sesuai dengan konstitusi dan hukum. Akan tetapi ada fungsi-fungsi lain sebagaimana diatur dalam pasal 107 Undang-Udang Organik 6/1985 yakni :

1. Mengusulkan pengangkatan dari 2 (dua) hakim di siding Mahkamah Konstitusi dan mengusulkan pencalonan Jaksa Agung. Bertanggung jawab atas pengangkatan Sekretaris Jenderal dan staf CGPJ dalam pelayanan administrasi.

2. Bertanggung jawab untuk memilih, melatih, menyediakan upgrade,promosi, status administratif dan penegakan disiplin hakim dan magistrates. Penunjukan Hakim-hakim adalah atas perintah dan tunduk kepada Keputusan Raja, serta ditandatangani oleh Menteri Kehakiman. 3. Menginspeksi Pengadilan. Kemudian dalam Pasal 171 dinyatakan bahwa

(4)

efisien. Bahwa penafsiran dan penerapan hukum-hukum yang dibuat oleh hakim, atau apabila dalam pelaksanaan tugas pengadilan tidak mencerminkan keadilan dalam keadaan apapun, maka hal ini adalah merupakan bukan objek dari tindakan inspeksi yang dilakukan. Inspeksi adalah badan teknis di bawah CGPJ.Didalam melaksanakan kegiatan dan kunjungan perintah tersebut didasari oleh Dewan Umum Kekuasaan Kehakiman atau oleh Ketua Dewan Umum Kekuasaan Kehakiman. Layanan ini juga menerima dan memverifikasi laporan, pengaduan dan keluhan terhadap pelaksanaan tugas-tugas yudikatif, dimana pada sisi yang lain, pelaksaan tugas-tugas yudikatif juga tunduk kepada kepada Komite Disipliner .

4. CGPJ harus memberikan nasihat atas rancangan undang-undang dan ketentuan-ketentuan umum yang berhubungan dengan peradilan, yang diajukan oleh Negara dan Komunitas Otonom didalam hal-hal sebagai berikut: Identifikasi dan modifikasi peradilan di kabupaten, menyusun dan merubah organik hakim,magistrates, panitera dan staf yang melayani di Administrasi peradilan, peraturan Organik Hakim dan Magistrates, peraturan Organik sekretariat dan staf lainnya dalam melayani administrasi peradilan, prosedural aturan atau hukum dan konstitusional, Undang-Undang Pidana dan peraturan pada sistem penjara, serta fungsi lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang.

5. CGPJ membuat persiapan Laporan Tahunan kepada Parlemen.Laporan tersebut mengenai status, operasi dan aktivitas dari peradilan. Termasuk didalamnya kebutuhan dalam hal personil,fasilitas dan sumber daya manusia pada umumnya.

6. CGPJ membuat publikasi resmi dari koleksi Keputusan Mahkamah Agung.

7. CGPJ merencanakan, melaksanakan dan mengelola pelaksanaan anggaran sendiri.

8. CGPJ berhak membuat peraturan lain yang dibutuhkan dalam organisasinya sendiri, antara lain dapat mengeluarkan peraturan tentang stafnya, organisasi dan sistem operasi dalam pelaksanaan tugas.

(5)

tugasnya bagi hakim dan magistrates ; 3. Independensi hakim dan magistrates

dari pengaruh politik; 4. Independensi disiplin hakim dan magistrates; 5. kemandirian dan kesejahteraan ekonomi para hakim dan magistrates; 6. Jaminan untuk para hakim dan magisrtaes agar tidak dikiriminalisasi; 7. status apolitis hakim dan magistrates; 8. Tanggung jawab secara perdata dan pidana kepada para hakim dan magistrates dalam menjalankan fungsinya; 9. dan pengenalan sistem kompetisi untuk masuk ke peradilan.

Kesatuan yurisdiksi membentuk dasar bagi organisasi dan fungsi pengadilan. Proses peradilan yang menjadi publik. Pengadilan mengontrol yurisdiksi dan legalitas dari proses administrasi. Isi dari undang-undang organik kekuasaan kehakiman ditetapkan oleh konstitusi. Dewan umum kekuasaan kehakiman adalah organ yang mengatur kekuasaan kehakiman. The Presedent Mahkamah Agung diangkat oleh raja setelah usulan oleh dewan umum kekuasaan kehakiman.

Berikut adalah tabel untuk mempermudah pemahaman mengenai bagian pendahuluan buku :

A. Definisi Kekuasaan Kehakiman di Spanyol

Dikenal sebagai The Judiciary of Spain yang terdiri dari court dan tribunals yang dilaksanakan oleh hakim dan magistrates yang memiliki kekuatan untuk menegakan keadilan atas nama Raja Spanyol.

B. Dasar Hukum Kekuasaan Kehakiman di Spanyol

Organic Law 6/1985 tentang Judiciary Power, Organic Law 2/1979 tentang Mahkamah Konstitusi, Law 1/2000 tentang Pengadilan Perdata, Law 14/1882 tentang Pengadilan Pidana, Law 29/1998 tentang Pengadilan Administrasi, Royal Legislative Decree 2/1995 tentang Perburuhan dan Law 2/1989 tentang Pengadilan Militer.

C. Struktur Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman di Spanyol terdiri dari (Constitusional Court) Mahkamah Konstitusi, (Supreme Courts) Mahkamah Agung, Audiencia Nasional, dan Appellate Courts.

 Mahkamah Konstitusi adalah badan tertinggi untuk menafsirkan konstitusi dan menguji konstitusionalitas Lembaga ini memiliki struktur terpisah dari Mahkamah Agung dan memiliki Yurisdiksi di seluruh wilayah Spanyol berdasarkan Pasal 161 Konstitusi Spanyol.

(6)

Perdata, Pidana, Administrasi, Buruh, dan Militer. Mahkamah Agung pula yang mengadili pada tingkat banding dari Audiencia Nasional, dan Appellate Courts.

 Audiencia Nasional terletak di kota Madrid yang mengadili perkara pidana, administrasi dan social yang melibatkan kejahatan yang dilakukan terhadap keluarga kerajaan, dan pejabat negara. Kemudian pula terkait perdagangan narkoba, pemalsuan dan pelanggaran serta tindak kejahatan internasional lain yang terjadi di wilayah Spanyol.

 Pengadilan Tinggi/ Banding memiliki 4 kamar yaitu Perdata, Pidana, Administrasi dan Buruh.

D. Prinsip Kekuasaan Kehakiman di Spanyol

Imparsialitas : Kekuasaan kehakiman harus netral dalam menjalani kasus yang sedang ditangani. Itu artinya tidak boleh ada tendensi kepada salah satu pihak. Selain itu juga hakim harus menjamin semua warga negara bahwa hak-hak mereka dijaga oleh konstitusi. Hakim harus tetap tidak memihak pada kasus-kasus yang mereka tangani, dan harus menjauhkan diri dari kasus yang seharusnya tidak boleh ditangani  Kemerdekaan : Dalam menjalankan wewenangnya terlepas dari segala

kepentingan otoritas atau pribadi.

Tidak dapat dipindahkan: Hakim tidak boleh dipecat, dipindahkan, ditangguhkan dan dipensiunkan tanpa sebab yang jelas.

(7)

secara pribadi atas pelanggaran disiplin dan kejahatan yang mereka lakukan ketika sedang melaksanakan tugas judicial. Namun tanggung jawab ini hanya dapat dituntut oleh tindakan hukum disiplin (legal disciplinary tract) yang sudah ada (tanpa adanya campur tangan dari Eksekutif atau Legislatif, atau tidak melalui proses hukum biasa)

Legalitas : Hakim harus tunduk pada konstitusi, dan undang-undang.

E. Jenis Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman di Spanyol terdiri dari Court dan Tribunals.

Court adalah sebuah cabang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa hukum antara para pihak dalam konteks administratif, perdata, pidana, dan lain lain.

Sedangkan Tribunals adalah istilah yang diberikan kepada setiap orang atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengadili dan memutus sengketa. Jadi Court sifatnya lebih permanen, sedangkan Tribunal sifatnya adalah Ad-Hoc yang diisi oleh Magistrates.

Dimana Prinsip Court dan Tribunals ini dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Spanyol

F. Wewenang Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi

Secara umum, Mahkamah Agung adalah puncak dari pengadilan di Spanyol maka dari itu lembaga ini bertanggungjawab atas keseragama penafsiran yurisprudensi di Spanyol. Dimana secara khusus, Mahkamah Agung berwenang sesuai kamar yang berada di bawahnya.

1. Menguji konstitusionalitas semua ketentuan hukum seperti undang-undang dan enactments

yang dikeluarkan oleh Negara atau Komunitas Otonom.

2. Banding konstitusional terhadap pelanggaran hak dan kebebasan . (recursos de amparo.

3. Mengadili Konflik antar lembaga negara, seperti antara komunitas otonom atau antara lembaga konsitutif.

4. Mengadili konflik mengenai otonomi pemerintah daerah.

5. Melakukan uji konstitusionalitas dengan cara pemeriksaan

pendahuluan terhadap perjanjian internasional yang mau diratifikasi.

(8)

SPANYOL

Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi

1. Raja dapat melaksanakan hak prerogratifnya untuk membatalkan putusan MA, dengan membahasnya melalui dewan menteri terlebih dahulu

2. Dalam membuat Sections dan Courts harus memperhatikan saran dari Pemerintah, Komunitas Otonom, dan CGPJ

3. Penyediaan fasilitas dan dukungan diberikan oleh negara melalui Departemen Kehakiman.

4. Hubungan antara kementrian keuangan dengan kekuasaan kehakiman diatur melalui UU dan Prosedur Hukum, dengan tidak mengintervensi lebih jauh.

5. Hubungan dengan Advokat juga diatur melalui UU dan prosedur hukum, tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

6. Hakim digaji oleh pemerintah melalui departemen kehakiman

1. Menguji konstitusionalitas perjanjian internasional yang diratifikasi jika diminta oleh Pemerintah.

2. Mahkamah Konstitusi sebagai penjewantahan konsep check and balances terhadap tindakan pemerintah yang diduga melanggar hak konstitusional warga negara Spanyol. (recursos de amparo)

3. Menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang yang dimohonkan oleh Pemerintah.

3. Menyelesaikan konflik yang terjadi antara lembaga negara pemerintahan khususnya terhadap Pemerintah Daerah

1.3 Hubungan Dengan Kekuasaan Legislatif

Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi

1. Total ada 12 hakim agung dimana 4 orang hakim agung dipilih kongres, dan 4 orang hakim agung lainnya dipilih oleh senat. 2. MA terbebas dari tindakan

pembahasan legislatif mengenai remunerasi perangkat pengadilan, proyek, status hakim, layanan konstitusional, dimana Legislatif menilai kompetensi masing-masing lembaga.

(9)

lain-lain.

4. Setiap tahun CGPJ wajib melaporkan kepada parlemen mengenai operasi dan kegiatan pengadilan yang telah dilaksanakan. Kemudian nantinya parlemen akan membahas laporan tersebut.

menguji konsitusionalitas

perjanjian internasional.

5. MK terbebas dari tindakan

kesewenang-wenangan dari

legislatif karena telah diatur mengenai penguatan dan jaminan terhadap MK

6. Sekretaris Jendral dapat mengajukan usulan dalam pembahasan legislatif mengenai remunerasi perangkat pengadilan, proyek, status hakim, layanan keadilan, demarkasi pengadilan, dan lain-lain.

1.4

Hubungan dengan Pers

Pers dapat mempublikasikan kalimat yang memiliki kepentingan publik dan memiliki dampak luas kepada masyarakat. Bahkan terdapat beberapa bagian dalam surat kabar yang secara periodik memuat komentator khusus meninjau dari sudut pandang yuridis atas suatu putusan. Sebagian besar hakim di Spanyol telah menerbitkan buku yuridis atau berkontribusi dalam bentuk jurnal yuridis.

Pers di Spanyol sangat menghormati hakim dan membatasi diri untuk menerbitkan wawancara yang diberikan oleh para hakim atau informasi umum mengenai tindakan yudisial tertentu yang penting dan bersifat rahasia. Apabila dilakukan pelanggaran, dalam beberapa kasus terdapat kritik terhadap pengadilan atau hakim tertentu yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana oleh Pers yang melakukannya.Pers juga sering membantu dalam mengungkap kasus-kasus di Spanyol, dimana terkadang terdapat beberapa pejabat yang melakukan konferensi pers atau klarifikasi atas perkara yang sedang menimpanya. Menurut KUHAP Spanyol sejatinya tidak diatur mengenai kesaksian diluar sidang, akan tetapi hal ini menjadi yurisprudensi bagi para hakim untuk memutus berdasarkan kesaksian yang dibuat oleh orang tersebut diluar sidang. Fungsi kesaksian tersebut menjadi salah satu pertimbangan bagi majelis hakim untuk memutus secara utuh dan komprehensif, agar putusan yang dikeluarkannya berlandaskan fakta-fakta yang tidak hanya di dalam sidang, tapi diluar sidang juga.

(10)

Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi

CGPJ berwenang mengusulkan calon hakim agung dari hakim karir yang nantinya di sahkan oleh Raja dan ditandatangin melalui Menteri Kehakiman. Ada pula jalur hakim non karir (magistrates) yang berasal dari akademisi, atau pengacara. Masa jabatannya habis ketika masuk usia pensiun yaitu 70 tahun, bisa ditambah 2 tahun.

Terdiri dari 12 orang Hakim Konstitusi yang ditunjuk oleh Raja Spanyol dengan masa jabatan 9 tahun. Dimana 4 hakim konstitusi diusulkan melalui Kongres, 4 hakim konstitusi dari Senat, 2 hakim konstitusi melalui Pemerintah, dan 2 hakim konstitusi melalui CGPJ. Masa jabatannya habis ketika masuk usia pensiun yaitu 70 tahun, bisa ditambah 2 tahun lagi.

Pengawasan Hakim

Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi

Dilakukan oleh CGPJ (Consejo General del Poder Judicial)

berdasarkan Pasal 107 Law 6/1985. Bagian yang diawasi adalah jalannya fungsi pengadilan dan kinerja personel peradilan. Apabila terjadi pelanggaran terdapat Divisi Inspeksi dari CGPJ yang menindak secara khusus.

Dilakukan oleh CGPJ (Consejo General del Poder Judicial) berdasarkan Pasal 107 Law 6/1985. Bagian yang diawasi adalah jalannya fungsi pengadilan dan kinerja personel peradilan. Apabila terjadi pelanggaran terdapat Divisi Inspeksi dari CGPJ yang menindak secara khusus.

(11)

PERBANDINGAN ANTARA KEKUASAAN

KEHAKIMAN DI INDONESIA DAN

SPANYOL

2.1 INDONESIA DAN SPANYOL

Baik Indonesia dan Spanyol adalah sama-sama negara yang mengatur tradisi civil law. Indonesia menganut tradisi civil law sejak kolonial belanda datang, sedangkan Spayol menganut civil law sejak dijajah oleh romawi.1 Awal

mula tradisi civil law di dalam gugusan Rechtsstaat pertama kali kemukakan oleh

Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep sistem hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok : 2

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asas manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politika;

3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur); dan

4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.3

Dari prinsip negara hukum yang dikemukakan oleh Stahl, salah satu unsur pokoknya adalah adanya pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang. Hal ini membuka peluang adanya tradisi civil law yang melandasi segala sesuatunya dengan peraturan perundang-undangan yang telah dipositifkan.

Secara umum, sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik utama yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undanglah yang menjadi sumber hukum utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial.4

1 Yesmil Anwar dand Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, (Jakarta : Gramedia Wdiasarana Indonesia, 2008), hlm.115

2 Mahfud MD, dkk, Prosiding Kongres Pancasila IV, (Yogyakarta : PSP UGM, 2012), hlm.234

3 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet.3, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.8

(12)

Pertama, kodifikasi atau codificatie adalah pengitaban undang-undang atau pengitaban hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Kodifikasi hukum menurut negara dengan tradisi civil law

merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena negara-negara yang menganut sistem hukum ini akan selalu berusaha menciptakan kodifikasi-kodifikasi hukum sebagai kebutuhan masyarakat. Kodifikasi pada tradisi hukum civil law bersumber pada kodifikasi Hukum yang berlaku di era Kekaisaran Romawi yaitu "Corpus Juries Civilize" pada pertengahan abad VI Masehi dari Kaisar justhinianus. Kemudian setelah revolusi Perancis (1789-1791) hal tersebut dijadikan sebagai

"Code Civil" yang berlaku sejak 21 Maret 1804. Code Civil Perancis tersebut digunakan oleh Belanda sebagai KUHPer di negara jajahannya, begitupun dengan

Code de Commerce Perancis yang dijadikan sebagai KUHD di Belanda dan negara jajahannya.

Selanjutnya beberapa contoh kodifikasi hukum adalah:

1) Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus luris Civilis (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justianus dari Kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527¬-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604.

2) Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

Kedua, sistem Civil Law tidak dapat dilepaskan dari ajaran pemisahan

kekuasaan yang mengilhami terjadinya Revolusi Perancis. Menurut Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya pengorganisasian organ-organ negara Belanda adalah adanya pemisahan antara kekuasaan pembuat undang-undang, kekuasaan peradilan, yang tidak memungkinkan kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakm terdahulu. Yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu undang-undang.5

(13)

Prinsip utama dari sistem hukum ini adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.6 Memformulasikan hukum dengan bentuk yang nyata

semata-mata bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( Doktrins Res Ajudicata ).7

Ketiga, pada sistem hukum Civil Law adalah apa yang oleh Lawrence

Friedman disebut sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.8 1. Penerapan konkret sistem

inqusitorial adalah hakim merupakan lulusan dari Fakultas Hukum, yang kemudian harus menempuh pendidikan hakim dan menjalani profesi hakim pemula (magistrates).

Sedangkan secara khusus apabila kita membahas sistem peradilan pada konsep civil law, maka setidaknya ada beberapa ciri khas, yakni:

6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, cet.6, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm. 22.

7Russell, Peter H., and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of Democracy, Critical perspectives from around the world, (Toronto: Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, 1985), hlm.12

(14)

1. Tidak menggunakan juri sehingga tanggung jawab hakim adalah memeriksa kasus, menentukan kesalahan, serta menerapkan hukumnya sekaligus menjatuhkan putusan.

2. Hakim tidak terikat dan tidak wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya.

3. Hakim menerapkan hukum, bukan membuat hukum.

4. Hanya dalam perkara perdata yang melihat adanya dua belah pihak yang bertentangan (penggugat dan tergugat)dan perkara pidana keberadaan terdakwa bukan sebagai pihak penentang.9

5. Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum;

6. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang.10

7. Didalam sistem ini hakim tidak leluasa untuk menemukan dan menciptakan hukum (rechtvinding dan rechtvorming) karena segala sesuatunya harus didasari pada ketentuan prosedural yang ada. 8. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang

berperkara saja (doktris Res Ajudicata].

9. Perkara-perkara serius selalu diputuskan melalui persidangan dengan minimal tiga orang hakim (full trial judges), sedangkan untuk perkara-perkara ringan diputus oleh hakim tunggal (single trial judge). Bahkan dalam beberapa kasus digunakan juga hakim yang non hukum.

Meskipun terdapat kesamaan antara Indonesia dan Spanyol sebagai negara yang sama sama menganut tradisi civil law, akan tetapi terdapat hal-hal mendasar yang membedakan kedua negara ini, seperti bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan Spanyol bersifat monarki parlementer hal ini tentunya membuat negara tersebut dikuasai oleh seorang raja dengan menempatkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam negara Spanyol, kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri dan

9Ibid.,hlm. 23.

(15)

bertanggungjawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya sebagai kepala negara atau simbol negara yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Selain itu sistem kedaerahan di Spanyol menerapkan konsep otonomi, dimana terdapat 17 komunitas otonom dan terdiri dari 50 kota, dimana secara kesuluruhan terdapat 8.098 municipalities. Dimana masing-masing komunitas otonom memiliki kekuasaan dibidang fiskal dan legislatif.

Sedangkan di Indonesia bentuk negara yang dianut adalah negara kesatuan, yang mana dalam bentuk negara tersebut sifatnya adalah tunggal artinya tidak tersusun dari beberapa negara yang memiliki kedaulatan, tidak terbagi, dan kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Pernyataan yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya bentuk pemerintahan yang Indonesia anut adalah republik yang mana konsekuensi logisnya bahwa negara Indonesia dipimpin oleh seorang presiden bukan seorang raja. Kemudian Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensil dengan ciri-ciri sebagai berikut: 11

a. Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

b. Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasirakyat dan dipilih langsung oleh rakyat.

c. Presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.

d. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif bukan kepada kekuasaan legislatif.

e. Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh

2.2 KONSEP DAN DEFINISI KEKUASAAN

KEHAKIMAN

Menurut Montesquieu, dalam bukunya “ L’Esprit des Lois” (1748), kekuasaan negara harus dipisah dalam tiga cabang kekuasaan yaitu (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, (ii) kekuasaan eksekutif yang

11 Hanta Yuda A. R., Presidensialisme Setengah Hati :Dari Dilema Ke Kompromi,

(16)

melaksanakan undang-undang, dan (iii) kekuasaan yudikatif untuk menghakimi pelanggaran terhadap undang-undang. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executieve or administrative function), dan yudisial (the judicial function).12

Gagasan tersebut lahir untuk menyempurnakan teori sebelumnya yang dibuat oleh John Locke. Dimana Montesquiue menghapuskan kekuasaan federatif, dan menghidupkan kembali kekuasaan yudikatif yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan eksekutif.

John Locke Montesqiue

Cabang Kekuasaan

Federatif, Legislatif, Eksekutif

Eksekutif, Legislatif, Yudikatif

Pembagian fungsi-fungsi

kekuasaan

Fungsi yudikatif tergabung dalam kekuasaan eksekutif

Kekuasaan Yudikatif berdiri sendiri

Latar Belakang Sosial-Politik

Adanya kekuasaan absolut yang dilakukan oleh Raja

Inggris. Sehingga perlu memecah kekuasaan tersebut

menjadi beberapa cabang. Kekuasaan legislatif dijewantahkan dengan

perwakilan dari para bangsawan, sedangkan

kekuasaan federatif bertujuan untuk hubungan

terhadap elemen di luar kerajaan.

Sebagai seorang hakim di prancis yang juga dipengaruhi oleh situasi revolusi prancis yang

menekankan pentingnya kekuasaan hukum atas suatu

sistem politik. Kekuasaan yudikatif lahir sebagai organ yang

mengadili penguasa yang sewenang-wenang.

(17)

Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The principle of separation of powers is particuarly important for the judiciary”.13 Itu artinya, baik di negara-negara yang menganut

tradisi civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan parlementer maupun presidensil, baik yang negara kesatuan maupun federal, lembaga kekuasaan kehakiman selalu bersifat tersendiri dan independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.14

Nampaknya Montesquieu benar benar memberikan fokus yang lebih terhadap kekuasaan yudikatif, karena menurutnya kemerdekaan dan keadilan itu hanya dapat di jamin jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan

(separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.15

Konsep pemisahan kekuasaan milik Montesquie juga erat kaitanya dengan prinsip independensi peradilan dan prinsip pemisahan kekuasaan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara bebas dari bayang-bayang pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan kehendak politik para perumus undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan.16

Terhadap ide tersebut, Jimly Asshidiqie pun sepakat bahwa pada sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman harus diorganisasikan secara tersendiri.

13 John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, (London: Macmillan, 1989), hlm. 267.

14 Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm 45.

15 Montesquieu, Charles de Secondat, The Spirit of laws,ed and terjemehan Anne M. Cohler, Basia C. Miller dan Harold S. Stone (Cambridge, U.K : Cambridge University Press,1989)

(18)

Untuk mendukung argumentasinya beliau pun mengutip pendapat dari John Alder bahwa “The Principle of separation of powers is particularly important for the judiciary”.17

Meskipun pada dasarnya anggota parlemen dan Presiden adalah cerminan dari kedaulatan rakyat, akan tetapi penafsir akhir dalam memahami maksud dari suatu produk perundang-undangan tetap berada ditangan para hakim. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratic rechstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).

Jika dilihat dari perspektif historis, lembaga peradilan sudah tumbuh sejak adanya umat manusia. Pada awalnya sistem peradilan memiliki bentuk yang amat sederhana, akan tetapi terus mengalami perubahan hingga menjadi kompleks dan modern. Seperti yang dikemukakan oleh Djokoesoetono, terdapat empat tahap dan sekaligus empat macam rechstpraak yang dikenal dalam sejarah yaitu:18

1) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilanyang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;

2) Rechtspraak naar precendenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip presedent atau putusan putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;

3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama Islam yang mengguakan kompedium atau kitab-kitab ulama ahlussunnnah wal jamaah atau kitab-kitab ulama syi ah; ‟ ‟

17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012),hlm 310.

(19)

4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau

moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).

Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut sebagai cabang kekuasaan “yudikatif . Istilah ini berasal dari‟

bahasa Belanda yakni judicatief. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, disamping istilah legislative dan executieve, tidak dikenal istilah judicatieve, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, ataupun

judiciature.19

Kekuasaan kehakiman berasal dari istilah dan terjemahan bahasa Belanda “Rechtspreken de macht” artinya hak untuk menyelesaikan suatu sengketa oleh pihak ketiga yang tidak memihak yaitu hakim. Secara teknis yuridis hakim berarti orang yang diberi tugas untuk menentukan hukumnya dalam suatu sengketa.

Di Indonesia sendiri pengertian kekuasaan kehakiman termaktub dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Sedangkan di Spanyol sendiri definisi kekuasaan kehakiman diatur dengan Organic Law 6 /1985 yang di perbarui dengan Organic Law 19/2003 bahwa kekuasaan kehakiman adalah umum dan dapat di akses oleh semua orang, semua wilayah termasuk administrasi umum, dan pengecualiannya adalah raja yang mendapatkan hak imunitas khusus yang tidak dapat di ganggugugat, dan dimintai pertanggungjawaban. Hakim haruslah independen dan hanya mengacu pada hukum yang berlaku. Itu artinya hakim tidak boleh diperintah atau diinstruksikan oleh kekuasaan lain di negara ini.

(20)

Spanyol Indonesia Dikenal sebagai The Judiciary of

Spain yang terdiri dari court dan tribunals yang dilaksanakan oleh hakim dan magistrates yang memiliki kekuatan untuk menegakan keadilan atas nama Raja Spanyol.

Kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Selain itu menurut Mr Santiago Revuelto Beltranilla bahwa peradilan spanyol merupakan kombinasi dari courts dan tribunals, yang memilki kewenangan untuk melaksanakan keadilan atas nama raja. Perbedaan yang mendasar antara court dengan tribunal adalah court bersifat tetap dan permanen, sedangkan tribunal lebih bersifat sementara dan ad hoc.20 Itu artinya, di Spanyol

lembaga peradilan merupakan kombinasi antara permanen dan sementara dalam kasus-kasus tertentu.

Di Spanyol sendiri memiliki sistem peradilan yang berbeda dengan Indonesia. Spanyol membagi menjadi lima perintah yurisdiksi, yaitu yurisdiksi sipil, pidana, administratif, buruh atau social, dan yurisdiksi militer. Masing-masing yurisdiksi terdiri dari beberapa tingkat peradilan yang berbeda. Adapun wilayah yurisdiksi berdasar pada berbagai tingkat teritorial, yaitu : wilayah distrik sebagai uniat dasar yang mencakup satu atau beberapa kotamadya, dan dilayani oleh setidaknya satu pengadilan tingkat pertama, propinsi, daerah otonomi dan nasional. Dimana total secara keseluruhan hakim agung terdiri dari 90 orang.

Dalam prakteknya kekuasaan kehakiman itu dijalankan dengan tidak memandang kedudukan dalam masyarakat dari pihak yang berperkara, itu artinya hakim memiliki kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaannya itu, dan hanya tunduk pada Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar, di samping itu pemegang kekuasaan Pemerintahan dilarang campur tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar.

Pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan memang sudah selayaknya diberikan, karena perbuatan mengadili adalah perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap sesuatu perkara yang semata-mata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan

(21)

keadilan. Maka dari itu institusi pengadilan harus dijauhkan dari tekanan atau pengaruh dari pihak manapun, baik oknum, golongan dalam masyarakat.21

2.3 DASAR HUKUM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI

INDONESIA DAN SPANYOL

Di Indonesia ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman di atur dalam beberapa undang-undang. Diantaranya adalah (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan, (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, kemudia diubah lagi dengan Undang No. 48 Tahun 2009, (5) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, (6) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan dirubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2004, (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan dir,bah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, (8) Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan dirubah denan Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 ,(9) Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, (10) Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan dirubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.

Sedangkan di Spanyol, ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman di atur dalam Undang-Undan berikut : (1) Undang-Undang Organik 6 / 1985 tentang Kekuasaan Kehakiman; (2) Undang-Undang 1 / 2000 tentang Pengadilan Sipil; (3) Hukum 14 September 1882 tentang Pengadilan Pidana (4) Hukum Administrasi 29/1998 tentang Yurisdiksi Administrasi; (5) Keputusan Royal Legislatif 2 / 1995 yang menulis ulang Prosedur Hukum Perburuhan; dan (6) Undang-Undang Organik 2 / 1989 yang mengatur Hukum Acara Pidana Militer.

Spanyol Indonesia

(22)

Organic Law 6/1985 tentang Judiciary Power, Organic Law 2/1979 tentang Mahkamah Konstitusi, Law 1/2000 tentang Pengadilan Perdata, Law 14/1882 tentang Pengadilan Pidana, Law 29/1998 tentang Pengadilan Administrasi, Royal Legislative Decree 2/1995 tentang Perburuhan dan Law 2/1989 tentang Pengadilan Militer.

UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, UU 8/2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 9/2004 tentang PTUN, UU No.3 Tahun 2005 tentang Peradilan Agama, dan UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer.

2.4 PERKEMBANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

DI INDONESIA

Di Indonesia sendiri fenomena “pengadilan jalanan” akhir-akhir ini kembali mencuat ke publiK sebagai sarana pengadilan informil untuk menuangkan amarah masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus pembakaran hidup-hidup pelaku begal yang terjadi di Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan. Alasan warga melakukan tindakan pembakaran adalah sebagai bentuk ketidakpercayaan pada sistem penegakan hukum dan pengadian yang di nilai bobrok dan jauh dari nilai-nilai keadilan.22 Bagaimanapun bentuk pelanggaran

hukum, baik berupa perampasan hak seseorang maupun pelanggaran kepentingan umum, sejatinya tidak boleh dihakimi secara sporadis begitu saja. Perbuatan “menghakimi sendiri” atau “eigenrichting” ini sangatlah tercela, tidak tertib dan harus dicegah. Tidak hanya cukup dengan suatu pencegahan tetapi diperlukan suatu perlindungan dan penyelesaian. Adapun yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian itu adalah Negara. Untuk itu, Negara menyerahkannya kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya yaitu hakim.23

Paradigma yang ada di Indonesia saat ini menilai kekuasaan kehakiman hanya sebatas peran hakim semata. Sejatinya kekuasaan kehakiman berbicara lebih luas dari itu, sebab kekuasaan kehakiman merupakan suatu sistem yang terbagi ke dalam beberapa bagian atau unsur-unsur yang saling terkait dan menjamin

22Glery Lazuardi, “Kriminolog : Penghakiman Oleh Massa Terjadi karena Warga Tidak Percaya Polisi” http://m.tribunnews.com/metropolitan/2015/02/26/kriminolog-penghakiman-oleh-massa-terjadi-karena-warga-tidak-percaya-polisi, diunduh pada 8 Maret 2015

(23)

kebebasan dalam menyelenggarakan fungsi peradilan. Di dalam kekuasaan kehakiman juga terdapat organisasi, tata kerja aktivitas, proses-proses yang dijalankan, fungsionaris, serta keseluruhan bagian dari lembaga pengadilan.24

Gagasan mengenai independensi kekuasaan kehakiman tampaknya tidak berjalan mulus dan mudah di Indonesia. Beberapa rezim sebelum reformasi 1998 menjadi awan kelabu bagi dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pertama pada era Soekarno terdapat Manipol (Manifestasi Politik) yang memiliki tujuan untuk mewujudkan dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Maka dibidang peradilan pun dikehendaki suatu peradilan yang terpimpin pula.25 Peradilan terpimpin yang

dimaksud adalah “peradilan yang tidak bebas”, karena dengan mudahnya dapat di intervensi oleh kebijakan pemerintah. Hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No.19 tahun 1964. Salah satu bentuk ketidakbebasan tersebut dapat dilihat dari pasal 19 UU No.19 tahun 1964 yang menyatakan bahwa

Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turun atau

campur tangan dalam soal-soal pengadilan”

Di era Orde Baru pun tidak jauh berbeda, meski terdapat perubahan ke arah independensi kekuasaan kehakiman, akan tetapi dalam prakteknya masih saja terdapat kekuasan lain yang mampu mengintervensi. Salah satu contohnya adalah kasus Peradilan Syahrir. Di dalam kasus itu terdapat indikasi intervensi yang terlihat pada proses awal pembuatan Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan di kantor intelijen militer. Pemeriksaan oleh aparat militer seharusnya hanya dilakukan terhadap tersangka dengan status militer, bukan warga sipil seperti Sjahrir.26 Selain itu terdapat pula kasus gugatan perdata di Pengadilan Tata Usaha

Negara oleh Goenawan Mohammad melawan Menteri Penerangan Harmoko. Awalnya Goenawan menang, akan tetapi kemenangan tersebut sirna setelah

24 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta : PT.RajaGrafindo, 2006), hlm V

25 K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm.18

(24)

Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi melalui kasasi tanpa alasan yang jelas.27

Setelah reformasi bergulir banyak agenda-agenda ketatanegaraan yang di usung untuk memperbaiki sistem yang telah ada. Salah satunya adalah mewujudkan independensi hakim di cabang kekuasaan kehakiman.

Independensi hakim tidak sekadar berarti imparsialitas hakim dari pengaruh eksekutif, legislatif, bahkan dari internal lembaga yudikatif itu sendiri. Independensi tidak sekadar bermakna “merdeka, bebas, imparsial, atau tidak memihak” dengan individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau tidak tergantung atau dipengaruhi oleh kekuatan apapun. Lebih dari itu, independensi bermakna pula sebagai kekuatan/power, paradigma, etika, dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakan hukum demi kepastian dan keadilan.28

Langkah nyata dari agenda reformasi tersebut diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang menuntut adanya pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan yudikatif dan eksekutif. TAP tersebut secara koheren juga diikuti dengan perubahan Undang Nomor 14 Tahun 1970 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang intinya segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen.

Tidak hanya dalam tataran Undang-Undang saja yang di revisi, bahkan pada tingkat konstitusi pun juga mengalami hal yang sama. Bab IX yang semula hanya terdiri dari dari 1 Pasal dan 2 ayat, kini berubah menjadi 5 Pasal yaitu 24, 24 A, 24 B, 24 C , dan 25. Undang- Undang tentang Kekuasaaan Kehakiman pun telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berlaku hingga sampai saat ini.

Saat ini secara normatif kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara

27 John MacDougall, “Kasus Tempo : Putusan PTUN” http://www.library.ohiou.edu/ indopubs/1995/11/22/0034.html , diunduh pada 8 Maret 2015

(25)

Hukum Republik Indonesia.29 Dari definisi tersebut menurut penulis sudah

sempurna dan telah menutup celah adanya intervensi kepada kekuasaan kehakiman.

Akan tetapi, pada prakteknya, adanya jaminan kekuasaan kehakiman justru membuat beberapa oknum Hakim menjadi lupa diri. Salah satunya adalah mantan hakim konstitusi yaitu Akil Mochtar yang tersandung kasus korupsi pada 2 Oktober 2013 silam. Publik yang awalnya percaya pada lembaga peradilan (khususnya Mahkamah Konstitusi), kini kembali kecewa atas peristiwa tersebut. Bahkan beberapa orang menjadi skeptis terhadap kondisi ketatanegaraan di Indonesia karena tidak ada lagi instansi yang bersih dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

Peristiwa tersebut mengakibatkan banyaknya pernyataan kritis kepada cabang kekuasaan kehakiman itu sendiri. Salah satunya adalah “jangan-jangan independensi peradilan hanya kedok agar Hakim tidak bisa diawasi, karena terdapat deal-dealan politik di belakang meja dalam membuat putusan”. Kondisi seperti ini tentunya akan membuat citra peradilan semakin buruk jika tidak dilakukan upaya yang serius.

2.5 Prinsip Kekuasaan Kehakiman

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang dipandang sangat pokok dalam kekuasaan yudikatif di negara manapun, yaitu (i) principle of judiciary independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality.30 Kedua

prinsip inidiakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang menganut paham constitutional state. Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam pelbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim.31

Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality). Bahkan oleh O. Hood Phillips

29 Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No.157 tahun 2009, TLN. 5076, Ps.1

30 Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003, hlm.1.

(26)

dan kawan-kawan mengatakan, “The impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not the most important element, in the administration of justice”.32

Dalam praktik, ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to dbe impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial).33

Prinsip mengenai Independensi pun tidak berlaku hanya kepada pribadi hakim namun juga harus terinternalisasi dalam suatu lembaga pengadilan. Secara kelembagaan independensi kekuasaan kehakiman dapat di jewantahkan dengan cara pengelolaan secara otonom dalam hal pegawai administratif, menyiapkan anggaran pengadilan, pemeliharaan gedung-gedung pengadilan, dan lain sebagainya (hal non yustisi kepegawaian, administrasi,anggaran).34 Sebenarnya

tidak ada paksaan keseragaman ditingkat internasional tentang pengelolaan atau administrasi pengadilan itu, akan tetapi terdapat berbagai model berikut yang menjadi role model pengadilan pada umumnya : dikelola sepenuhnya oleh yudikatif, dikelola oleh suatu organ independen, dikelola bersama oleh beberapa organ negara, dikelola bersama oleh yudikatif-eksekutif, atau dikelola sepenuhnya oleh eksekutif.35

Di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga dianggap penting. Dalam Forum International Judicial Conference di Bangalore, India (2001) berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft. Setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali, draft ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Didalamnya tercantum enam prinsip penting yang di adopsi oleh Indonesia sebagai prinsip utama kekuasaan

32 Phillips, Jackson, and Leopold, Op.Cit, hlm. 437.

33 Lihat kasus Mc Gonnel V United Kingdom (2000), 30 E.H.R. 241, http://hudoc.echr.coe.int/sites/eng/pages/search.aspx?i=001-58461 , diakses pada 21 Mei 2015.

34 P.H. Lane menyebut empat komponen independensi sebagai berikut: Non-political appointments to a court; Guaranteed tenure and salary for judges; Executive and legislative non-interference with court proceedings and or office holders; Budgetary and administrative autonomy. Dalam Helen Cunningham, 1999. Fragile Bastion: Judicial Independence in the Nineties and Beyond, hlm. 4.

(27)

kehakiman, yaitu independence, impartiality, integrity, propriety, equality, dan

competence and diligence.36

Pertama, Independensi. Independensi hakim dan pengadilan terwujud

dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

Kedua, Imparsialitas. Ketidakberpihakan mencakup sifat netral, menjaga

jarak yang sama dengan semua pihak yang terait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai pengahayatan yang mendalam mengenai keseimbangan antarkepentingan yang terkait dengan perkara.

Ketiga, Integritas. Integritas hakim merupakan sikap batin yang

mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulis dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.

Keempat, Kepantasan dan Kesopanan. Kepantasan dan kesopanan

merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam prilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.

Kelima, kesetaraan. Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin

perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar

(28)

perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial-ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa.

Keenam, kecakapan dan kesaksamaan. Kecakapan tercermin dalam

kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sementara itu, kesaksamaan merupakan pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesioanal hakim.

Kemudian di Indonesia terdapat prinsip-prinsip derifativ dari kekuasaan kehakiman yakni :

a. Persidangan terbuka untuk umum (Pasal 17-18 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman);

b. Peradilan dilaksanakan secara imparsial (tidak memihak dan obyektif). c. Hakim aktif memimpin sidang (persidangan bersifat akusatorial) tetapi

harus imparsial dengan tidak memihak serta bersikap obyektif dengan mendengar berbagai pihak (audi et alteram partem);

d. Putusan dijatuhkan dalam sidang yang terbuka untuk umum; e. Pelaksanaan peradilan bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan; f. Independensi hakim (yang mencakup berbagai kategori) diimbangi

dengan akuntabilitas: Hakim dapat diberhentikan (Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945) dan Komisi Yudisial dibentuk untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim”

Terdapat beberapa model akuntabilitas kekuasaan kehakiman:37

1. Political, constitutional accountability: peradilan bertanggung jawab Kepada lembaga politik, termasuk dimakzulkan (impeachment) oleh parlemen, dan tunduk kepada konstitusi;

2. Societal accountability: kontrol masyarakat melalui media massa, eksaminasi putusan hakim, kritik terhadap putusan yang dipublikasikan, kemungkinan dissenting opinion dalam putusan (ini juga merupakan

(29)

bentuk akuntabilitas profesional);

3. Legal (personal) accountability: hakim dapat diberhentikan dari jabatannya melalui majelis kehormatan hakim; hakim bertanggung jawab atas kesalahan putusannya. Untuk itu tersedia upaya hukum terhadap putusan hakim (Indonesia: dari banding hingga kasasi dan peninjauan kembali).

4. Legal (vicarious) accountability: negara bertanggung jawab (state liability) atas kekeliruan atau kesalahan putusan hakim; negara dapat meminta hakim untuk ikut bertanggung jawab bersama negara (concurrentliability).

Berbeda dari Indonesia yang memiliki enam prinsip kekuasaan kehakiman, di Spanyol hanya memiliki 5 prinsip, yang terdiri dari :

Impartiality : Hakim harus bersikap netral dalam kasus yang mereka tangani

dan harus menjauhkan diri dari kasus yang tidak mereka tangani. Hal ini guna menjamin peradilan yang efektif bagi semua warga negara sesuai dengan cita konstitusi.

Kemerdekaan : Lembaga pengadilan haruslah independen dari semua

otoritas atau pribadi dalam menjalankan yurisdiksinya.

Tidak dapat dipindahkan : Para hakim dan “magistrates” tidak dapat di

pindahkan, dipecat, ditangguhkan, atau di pensiunkan tanpa sebab yang telah diatur oleh hukum

Tanggung Jawab : Para hakim secara pribadi bertanggung jawab atas

pelanggaran disiplin dan kejahatan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya. Tanggungjawab ini hanya diperlukan oleh saluran disiplin hukum yang didirikan, tanpa campur tangan oleh cabang eksekutif atau legislatif

Legalitas : Dalam melaksanakan yurisdiksinya, para hakim harus tunduk

pada konstitusi, undang-undang seperti halnya cabang pemerintahan lainnya dan warga masyarakat.

Spanyol Indonesia

Imparsialitas : Netral dalam menjalani kasus yang sedang ditangani.

(30)

Kemerdekaan : Dalam menjalankan wewenangnya terlepas dari segala kepentingan otoritas atau pribadi.

Tidak dapat dipindahkan: Hakim tidak boleh dipecat, dipindahkan, ditangguhkan dan dipensiunkan tanpa sebab yang jelas.

Tanggungjawab : Hakim

bertanggungjawab atas pelanggaran disipilin dan kejahatan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya.

Legalitas : Hakim harus tunduk pada konstitusi, dan undang-undang.

oknum-oknum tertentu.

Imparsialitas : Bersifat netral, dan menjaga jarak dengan para pihak yang berperkara.

Integritas : Pribadi hakim yang jujur, setia dan tulus dalam menjalankan profesinya.

Kepantasan dan KesopananKesetaraan : Memperlakukan

sama kepada setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, dan lain-lain.

Kecakapan dan Kesaksamaan : Diisi oleh oran-orang yang memiliki pendidikan, pelatihan, dan pengalaman.

2.6 Kewenangan Kekuasaan Kehakiman di Spanyol dan

Indonesia

Kekuasaan Kehakiman di Spanyol terdiri dari (Constitusional Court) Mahkamah Konstitusi, (Supreme Courts) Mahkamah Agung, Audiencia Nasional, dan Appellate Courts.

• Mahkamah Konstitusi adalah badan tertinggi untuk menafsirkan konstitusi dan menguji konstitusionalitas. Lembaga ini memiliki struktur terpisah dari Mahkamah Agung dan memiliki Yurisdiksi di seluruh wilayah Spanyol berdasarkan Pasal 161 Konstitusi Spanyol.

• Mahkamah Agung adalah badan tertinggi di Spanyol yang membidangi masalah pengadilan dan hukum. Mahkamah Agung memiliki 4 kamar yaitu Perdata, Pidana, Administrasi, Buruh, dan Militer. Mahkamah Agung pula yang mengadili pada tingkat banding dari Audiencia Nasional, dan Appellate Courts. Di dalam ruang lingkup yurisdiksi Spanyol, menempatkan bahwa Mahkamag Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Spanyol, yang terdiri dari lima halls. Uniknya, putusan Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum atau final and binding, akan tetapi dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, jika salah satu pihak merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar.

(31)

terhadap keluarga kerajaan, dan pejabat negara. Kemudian pula terkait perdagangan narkoba, pemalsuan dan pelanggaran serta tindak kejahatan internasional lain yang terjadi di wilayah Spanyol.dan mencakup 3(tiga) bidang / halls, yaitu:38

1. Yurisdiksi pidana dalam kasus-kasus yang menyangkut kejahatan terhadap Kerajaan Spanyol, terorisme, kejahatan terorganisir, pemalsuan dan kasus-kasus yang telah dilakukan di lebih dari satu yurisdiksi.

2. Yurisdiksi perdebatan administratif, dalam kasus naik banding terhadap keputusan Menteri, sekretaris, negara, Dewan Menteri dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

3. Yurisdiksi Sosial untuk kasus-kasus yang menyangkut perjanjian tawar-menawar kolektif yang mencakup lebih dari satu wilayah komunitas otonom.

• Pengadilan Tinggi adalah pengadilan dengan kewenangan lebih dari satu Komunitas Otonomi, dan merupakan yurisdiksi maksimum tubuh atau komunitas otonom. Pengadilan Tinggi terbagi menjadi 3 (tiga) bidang / halls, yang mencakup 4 (empat) perintah yurisdiksi, yaitu:

1. Bidang / Hall Pertama, atau Hall Perdata dan Pidana: Dalam kasus yurisdiksi sipil bertanggung jawab dalam kasus perdata untuk tindakan yang mana daripada kompetensi mereka oleh Presiden Komunitas Otonomi, Anggota Dewan Pemerintahan atau Badan Legislatif, dan dalam Masyarakat kasus dengan hukum sipil mereka sendiri untuk mengetahui banding terhadap putusan-putusan pengadilan lebih rendah. 2. Hall Kedua atau Hall perdebatan Administrasi: adalah yang bertanggung

jawab untuk mengetahui banding terhadap keputusan Lembaga Negara yang tidak ditetapkan pengadilan lain, banding terhadap keputusan dari pemerintah Otonomi masyarakat atau anggotanya, banding terhadap resolusi dari badan-badan Badan Legislatif, yang berkaitan dengan

(32)

administrasi, naik banding terhadap Pemilihan Boards dan banding terhadap putusan tingkat pertama-perdebatan Administrasi pengadilan. 3. Hall Ketiga atau Hall Sosial: adalah bertanggung jawab atas banding

terhadap putusan-putusan pertama pengadilan sosial dan kasus-kasus yang menyangkut perjanjian tawar-menawar kolektif yang mempengaruhi satu wilayah komunitas otonom. Pada tingkatan provinsi, Audiencia Provinsial adalah pengadilan yang mencakup satu wilayah provinsi dan bertanggung jawab untuk dua order yurisdiksi, yaitu: Perdata dan Pidana.

1. Halls Sipil: adalah bertanggung jawab atas Banding terhadap pengadilan tingkat pertama.

2. Halls Pidana: adalah yang bertanggung jawab untuk menilai Kasus Pidana yang berat.

Sedangkan kekuasaan Kehakiman di Indonesia terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 UUD 1945.

• Mahkamah Agung adalah cabang kekuasaan kehakiman tertinggi terhadap badan-badan peradilan dibawahnya seperti pengadilan tingkat pertama, dan pengadilan tingkat banding. Dimana Mahkamah Agung memiliki 4 badan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan PTUN

• Mahkamah Konstitusi adalah salah atu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Berikut adalah masing-masing kewenangan cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia dan Spanyol :

(33)
(34)

3. tidak lagi

2.7 Kekuasaan Kehakiman dengan cabang kekuasaan lain

2.7.1. Hubungan dengan Kekuasaan Eksekutif

SPANYOL Indonesia

Mahkamah

(35)

Kehakiman.

2.7.2 Hubungan dengan Kekuasaan Legislatif

SPANYOL Indonesia

Mahkamah

(36)
(37)

hakim, layanan keadilan,

demarkasi

pengadilan, dan lain-lain.

2.7.3 Hubungan dengan Kekuasaan Pers

SPANYOL Indonesia

Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi Pers memiliki peran yang penting

karena mempublikasikan inform1. asi-informasi yang menyinggung kepentingan publik dalam rubriknya, bahkan terkadang ada komentar yuridis yang patut untuk ditindaklanjuti. Dalam beberapa kasus ada kritik terhadap pengadilan yang berujung pada pidana.

Kekuasaan Pers khususnya televisi, berita elektronik dan koran memiliki peran yang sangat signifikan dengan

kekuasaan kehakiman dalam

memahami keadilan mayoritas di masyarakat dan mempublikasikan suatu putusan. Tidak jarang hakim harus melihat nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat atas perkara yang sedang diproses, dan itu bisa terlihat dari komentar nitizen di media-media sosial atas penyikapan suatu perkara. Dengan adanya tekanan dari Pers seharusnya jangan dijadikan sebagai suatu ancaman, akan tetapi dijadikan sebuah peluang agar Hakim lebih berhati-hati dan adil dalam memutus suatu perkara, terlebih lagi terhadap kasus-kasus yang bersinggungan langsung dengan politik

2.8 Mekanisme pengisian jabatan Hakim

Pengisian jabatan hakim yang selanjutnya disebut sebagai rekrutmen adalah proses mencari dan menarik orang yang diinginkan oleh organisasi untuk mengisi lowongan pekerjaan tertentu.39 Rekrutmen merupakan proses paling awal yang

penting dalam pengelolaan sumber daya manusia. Melalui rekrutmen, suatu organisasi dapet memastikan sumber daya manusia yang bekerja di dalamnya memenuhi kualifikasi tertentu yang sesuai dengan tujuan berdirinya organisasi, sehingga melalui kapasitasnya masing-masing secara personal, SDPM yang

(38)

direkrut dapat menjalankan tugasnya secara kolektif untuk mencapai visi dan misi organisasi tersebut secara baik.40

Peran penting rekrutmen di rasakan pula bagi profesi hakim. Kritik masyarakat internasional terhadap kualitas sebagian hakim tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pembinaan sumber daya manusia hakim, termasuk sistem rekrutmen. Maka dari itu ada tiga prinsip umum yang setidaknya harus dipenuhi dalam melakukan proses rekrutmen hakim, yaitu objektivitas, transparansi dan akuntabilitas, dan kompetensi.

Prinsip objektivitas berarti menghendaki pelaksanaan rekrutmen dilakukan secara obyektif dan karenanya harus ada parameter yang objektif dalam pelaksanaan rekrutmen akan membuka pintuk bagi masuknya pertimbangan di luar merit system dalam merekrut calon hakim. Prinsip kedua adalah adanya transparansi dan akuntabilitas, prinsip ini menghendaki agar sebisa mungkin seluruh proses rekrutmen, mulai dari tahap awal sampai dengan penentuan kelulusan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip yang terakhir adalahnya adalah adanya kompetensi. Salah satu syarat utama bagi seseorang hakim adalah memiliki kompetensi yang munpuni di bidang hukum. Karena itu, seluruh proses rekrutmen harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk mengukur hal tersebut, dengan didukung oleh metode pengujian dan materi-materi ujian yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat kompetensi hukum calon hakim.41

Di Indonesia perekrutan hakim memiliki karakterisik yang berbeda dengan beberapa negara lain, khususnya di negara-negara yang menganut tradisi common law.Secara umum, pelaksanaan rekrutmen calon hakim terdiri dari beberapa tahap yaitu :

a. Pengumuman kepada khalayak ramai adanya proses perekrutan hakim

b. Pendaftaran Administratif

c. Seleksi Administratif

d. Uji akademis

e. Uji kepribadian dan wawancara

f. Pemeriksaan hasil akhir

g. Pengumuman hasil akhir

h. Pengangkatan menjadi PNS dan calon hakim

i. Pendidikan dan pelatihan calon hakim

j. Evaluasi calon

40 Mahkamah Agung, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, (Jakarta :MARI, 2003) hlm.93

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pertolongan, penyertaan dan kasih-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Pengetahuan Pasien Tentang Obat

Untuk mengambil sampel pada penelitian ini digunakan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil oleh peneliti merupakan data yang telah dinilai oleh

wirausaha adalah seorang yang berani berusaha secara mandiri dengan mengerahkan segala sumber daya dan upaya meliputi kepandaian mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru,

pengetahuan dengan metode demonstrasi menjadi mengetahui tentang jajanan yang sehat, ciri-ciri yang sehat, cara memilih jajanan sehat dan tidak sehat, mengetahui

Pada metode aritmetik dianggap bahwa data curah hujan dari suatu tempat pengamatan dapat dipakai untuk daerah pengaliran di sekitar tempat itu dengan merata-rata

Disisi lain perkembangan pinjaman, simpanan masyarakat serta nisbah pinjaman terhadap masyarakat pada BRI Udes, LDKP dan Bank pasar dalam kurun waktu terakhir menunjukkan

EFEK LAKSATIF INFUSA DAUN KETEPENG CINA ( Cassia Alata Linn ) PADA TIKUS JANTAN ( Rattus norvegicus ) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI GAMBIR.. INFUSA EFFECTS OF KETEPENG CINA

Dari beberapa jurnal atau penelitian terdahulu yang saya baca, seperti halnya penelitihan yang dilakukan Dedy Gunawan yang berjudul “Pengaruh Pengembangan