TUGAS 3 TEORI PERUNDANG-UNDANGAN
1.A. Analisis Pemaknaan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman dalam Konteks Uraian di Atas Uraian yang diberikan menghadirkan beberapa kontradiksi dan ketidaksesuaian dengan prinsip dasar pembagian kekuasaan. Mari kita uraikan satu per satu:
Pembagian Kekuasaan yang Tidak Habis:
Benar: Prinsip pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu lembaga. Kekuasaan dibagi menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing- masing dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda.
Namun, pembagian ini tidak berarti ada kekuasaan yang "tersisa" atau belum terbagi. Setiap aspek kekuasaan negara idealnya sudah terakomodasi dalam ketiga lembaga tersebut.
Kekuasaan Tertinggi yang Mengatur:
Tidak sepenuhnya benar: Dalam sistem pembagian kekuasaan yang seimbang, tidak ada lembaga yang secara mutlak memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur dan
mengendalikan lembaga lain.
Konstitusi sebagai hukum tertinggi menjadi acuan bagi seluruh lembaga negara, termasuk dalam membatasi kekuasaan masing-masing.
Supremasi Parlemen:
Tidak sesuai dengan UUD 1945: UUD 1945 menganut sistem check and balances di mana tidak ada satu pun lembaga yang memiliki supremasi mutlak.
Kekuasaan kehakiman memiliki kedudukan yang setara dan mandiri, dengan kewenangan untuk mengadili perkara, termasuk perkara yang melibatkan tindakan lembaga legislatif dan eksekutif.
Analisis Pemaknaan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman:
Kemandirian: Kekuasaan kehakiman bebas dari campur tangan lembaga lain dalam
menjalankan fungsinya. Hakim bebas memutus perkara berdasarkan hukum dan hati nurani tanpa tekanan dari pihak manapun.
Kewenangan penuh: Kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan penuh untuk memeriksa, membuktikan, dan memutus perkara sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tanggung jawab: Kebebasan kekuasaan kehakiman bukan berarti tanpa batas. Hakim bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil dan dapat dimintai
pertanggungjawaban secara hukum jika melakukan pelanggaran.
Dalam konteks UUD 1945, kebebasan kekuasaan kehakiman bertujuan untuk:
Menegakkan hukum dan keadilan: Hakim sebagai representasi dari kekuasaan kehakiman berperan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Menjaga keseimbangan kekuasaan: Kekuasaan kehakiman menjadi penyeimbang bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif, mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Melindungi hak asasi manusia: Keputusan-keputusan yang diambil oleh kekuasaan kehakiman harus selalu mengacu pada perlindungan hak asasi manusia.
B.Analisis Pengujian Perundang-undangan dalam Perspektif Pembagian Kekuasaan Pengujian perundang-undangan merupakan salah satu manifestasi penting dari prinsip pembagian kekuasaan, khususnya dalam konteks hubungan antara lembaga legislatif dan yudikatif. Mekanisme ini memungkinkan adanya pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif, memastikan bahwa undang-undang yang dibuat tidak bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
Dalam perspektif pembagian kekuasaan, pengujian perundang-undangan memiliki beberapa implikasi penting:
Menjaga Keseimbangan Kekuasaan:
Cek dan balances: Pengujian perundang-undangan merupakan salah satu mekanisme check and balances yang fundamental. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yudikatif, memiliki wewenang untuk membatalkan undang-undang yang dianggap inkonstitusional. Hal ini mencegah kekuasaan legislatif menjadi terlalu dominan dan memastikan bahwa semua lembaga negara tunduk pada hukum tertinggi, yaitu konstitusi.
Menegakkan Supremasi Konstitusi:
Uji materiil: Melalui pengujian materiil, Mahkamah Konstitusi memastikan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan norma-norma dasar yang tercantum dalam konstitusi. Dengan demikian, konstitusi senantiasa menjadi acuan tertinggi dalam pembentukan dan penerapan hukum di negara.
Melindungi Hak Asasi Manusia:
Uji formil: Pengujian formil memastikan bahwa proses pembentukan undang-undang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam konstitusi dan peraturan perundang- undangan lainnya. Selain itu, pengujian materiil juga memastikan bahwa undang-undang tidak melanggar hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi.
Menjamin Kepastian Hukum:
Kepastian hukum: Dengan adanya mekanisme pengujian perundang-undangan, maka hukum yang berlaku di suatu negara menjadi lebih pasti dan tidak mudah berubah-ubah. Hal
ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan pengujian perundang-undangan:
Beban kerja Mahkamah Konstitusi: Semakin banyak undang-undang yang dihasilkan, maka semakin berat pula beban kerja Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian.
Tekanan politik: Mahkamah Konstitusi seringkali menghadapi tekanan politik dalam mengambil keputusan, terutama dalam perkara yang bersifat sensitif.
Keterbatasan sumber daya: Mahkamah Konstitusi membutuhkan sumber daya yang memadai, baik dalam hal anggaran maupun SDM, untuk menjalankan fungsinya secara efektif.Pengujian perundang-undangan merupakan salah satu wujud nyata dari prinsip pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mekanisme ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, menegakkan supremasi konstitusi, melindungi hak asasi manusia, dan menjamin kepastian hukum.
Meskipun terdapat beberapa tantangan, namun keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas kekuasaan sangatlah krusial dalam membangun negara hukum yang demokratis.
2.A.Analisis Kedudukan Perkara dalam Putusan MA No. 05.G/HUM/2001
Putusan Mahkamah Agung Nomor 05.G/HUM/2001 merupakan sebuah putusan penting yang menguji konstitusionalitas suatu peraturan pemerintah (PP) dalam konteks pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam perkara ini, kita dapat
mengidentifikasi kedudukan para pihak sebagai berikut:
Pemohon
Identitas: Drs.Ec.H. Arwan Karsi MK, Ms dan para wakil ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat.
Status: Anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat yang secara kolektif mewakili lembaga DPRD.
Alasan mengajukan permohonan: Membela kewenangan DPRD yang diatur dalam undang- undang, khususnya terkait dengan penentuan anggaran DPRD. Mereka berpendapat bahwa PP No. 110 Tahun 2000 telah melanggar kewenangan DPRD yang telah diatur dalam
undang-undang.
Termohon
Identitas: Secara tidak langsung, termohon dalam perkara ini adalah pemerintah pusat, khususnya lembaga yang mengeluarkan PP No. 110 Tahun 2000.
Alasan menjadi termohon: PP No. 110 Tahun 2000 yang mengatur tentang kedudukan keuangan DPRD dianggap oleh pemohon telah melewati batas kewenangan pemerintah pusat dan mengintervensi kewenangan DPRD yang telah diatur dalam undang-undang.
Kedudukan Perkara dalam Perspektif Pembagian Kekuasaan
Perkara ini merupakan contoh klasik dari sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemohon, dalam hal ini DPRD, berargumen bahwa pemerintah pusat telah melakukan overregulasi dengan mengeluarkan PP yang mengatur hal-hal yang seharusnya menjadi kewenangan DPRD. Hal ini menyangkut prinsip dasar pembagian kekuasaan, di mana setiap lembaga negara memiliki kewenangan yang jelas dan tidak boleh saling mengintervensi.
Implikasi Putusan
Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan para pemohon menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menganggap PP No. 110 Tahun 2000 telah melanggar prinsip pembagian kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Putusan ini memiliki implikasi yang sangat penting, yaitu:
Penegasan prinsip otonomi daerah: Putusan ini menegaskan kembali pentingnya prinsip otonomi daerah, di mana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Perlindungan terhadap kewenangan DPRD: Putusan ini melindungi kewenangan DPRD sebagai representasi dari rakyat daerah dalam menentukan anggaran daerah.
Pentingnya peran Mahkamah Agung: Mahkamah Agung berperan sebagai penjaga konstitusi dan pembagi kekuasaan. Putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung siap untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan lembaga negara.
B. Analisis Dasar Permohonan Uji Materiil dalam Putusan MA No. 05.G/HUM/2001 Dasar permohonan uji materiil yang diajukan oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat dalam kasus ini adalah adanya dugaan pertentangan antara Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 dengan undang-undang yang lebih tinggi derajatnya.
Secara lebih spesifik, pemohon berargumen bahwa:
PP No. 110 Tahun 2000 telah mengintervensi kewenangan DPRD: PP tersebut mengatur tentang kedudukan keuangan DPRD, yang menurut pemohon seharusnya menjadi
kewenangan penuh DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD (UU Susduk MPR, DPR, DPRD) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah).
Pertentangan dengan prinsip otonomi daerah: Dengan mengatur secara detail tentang keuangan DPRD, PP tersebut dinilai telah mengurangi otonomi daerah, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
Pasal-pasal undang-undang yang dijadikan dasar oleh pemohon adalah:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999: Pasal 34 ayat (2), (3), dan (5) yang mengatur tentang kewenangan DPRD dalam menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999: Pasal 19 dan 21 yang juga mengatur tentang kewenangan DPRD dalam pengelolaan keuangan daerah.
Intinya, pemohon berpendapat bahwa PP No. 110 Tahun 2000 telah melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip otonomi daerah. Dengan demikian, PP tersebut dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Prinsip Supremasi Hukum: Permohonan ini menegaskan pentingnya prinsip supremasi hukum, di mana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pembagian Kekuasaan: Perkara ini juga menyoroti pentingnya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. DPRD sebagai representasi dari daerah memiliki kewenangan yang harus dihormati.
Otonomi Daerah: Putusan ini memperkuat prinsip otonomi daerah, di mana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.Dasar permohonan uji materiil dalam kasus ini adalah adanya dugaan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar dalam negara hukum, yaitu prinsip supremasi hukum, pembagian kekuasaan, dan otonomi daerah. Mahkamah Agung, dengan
mengabulkan permohonan tersebut, telah menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
C. Berdasarkan pokok perkara di atas, hal-hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
Mahkamah Agung diminta untuk memberikan putusan atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Secara spesifik, Mahkamah Agung diminta untuk memutuskan apakah:
Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945: Pemohon berpendapat bahwa PP tersebut telah melanggar prinsip-prinsip dasar dalam UUD 1945, seperti prinsip pembagian kekuasaan dan prinsip otonomi daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah: Pemohon berargumen bahwa PP tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut yang mengatur tentang kewenangan DPRD dalam menentukan anggaran.
Alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon untuk membatalkan PP tersebut adalah:
Pelanggaran Prinsip Pembagian Kekuasaan: PP tersebut dianggap telah mengambil alih kewenangan DPRD yang seharusnya menjadi wewenang legislatif.
Pelanggaran Prinsip Otonomi Daerah: Peraturan tersebut dinilai telah mengurangi otonomi daerah, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
SUMBER REFERENSI : MODUL TEORI PERUNDANG-UNDANGAN