BAB III
TOLOK UKUR TUGAS KONSTITUSIONAL POLISI
TIMOR LESTE DALAM MEMBELA
DEMOCRATICLEGALITY
A. Polisi Nasional Timor Leste (PNTL).
Setelah Timor Leste secara dejure berpisah dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, melalui referendum pada tahun 1999. Secara yuridis kehadiran Pemerintah PBB di Timor Leste berdasarkan Resolusi DK-PBB Nomor 1272 (1999) tertanggal 25 Oktober 1999 berdasarkan mandat
DK-PBB, sesuai dengan Bab VII Piagam DK-PBB, telah mengambil keputusan tentang berdirinya United Nation Transitional Administration in East Timor
(UNTAET) dipimpin oleh Mr. Sergio Viera de Melo. Kehadiran lembaga Kepolisian Civilian Police (CIVPOL) atau United Nation Police (UNPOL) di Timor Leste, dari komponen Kepolisian Sipil yang disumbangkan oleh
negara-negara kepada Pemerintah Transisi UNTAET di Timor Leste untuk mengadakan keamanan dan untuk mempertahankan hukum dan ketertiban di
seluruh wilayah Timor Leste, sesuai dengan Resolusi DK-PBB No. 1272/1999. CIVPOL/UNPOL menjalankan tugas dan kewenangan langsung
Pada tahun 2000 UNPOL mulai melakukan perekrutan bagi para putra-putri Timor Leste, termasuk mantan Polisi Republik Indonesia
(POLRI) yang mengambil keputusan menetap di Timor Leste untuk dilatih menjadi Timor Leste Police Services (TLPS). Gelombang atau angkatan
pertama dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan oleh UNPOL tersebut dilantik menjadi anggota polisi pada tanggal 27 Maret 2000, sehingga tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadinya institusi PNTL
hingga saat ini.
Komunitas internasional melalui berbagai kerjasama bilateral
memainkan peran penting dalam pengembangan institusi dan juga pelatihan bagi PNTL.1 Peraturan yang menaungi PNTL adalah Decree-La w No. 8/2004 tentang The Organic La w of The National Police Of Timor -Leste
(PNTL). Pada tahun 2006 terjadi krisis politik di badan PNTL. Kehancuran institusi ini adalah puncak dari berbagai persoalan yang menimpa PNTL,
baik yang bersifat individual maupun institusional. Seperti yang diuraikan oleh Komisi Investigasi Internasional pada 2006, institusi PNTL sering
dipolitisir oleh para pemimpinnya.2 Perpecahan di dalam PNTL dikarenakan latar belakang politik, pendidikan, dan sejarah (antara mantan anggota POLRI dan mantan anggota resistensi). Selain itu, secara struktural, institusi
ini di bawah Kementerian Dalam Negeri, sehingga Menteri Dalam Negeri mudah mempolitisasi institusi PNTL dan melakukan intervensi dalam
berbagai operasional.3
Salah satu mandat terpenting pasukan PBB sejak 2006 adalah tugas
untuk mengorganisir ulang tubuh Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) yang kocar-kacir akibat sengketa internal dan pemberontakan dan berakhir dengan kerusuhan tahun 2006 lalu. Tugas ini dijalankan oleh sekitar 1500 personel
dari 40 negara yang dikirim PBB ke Timor Leste dan hasilnya, menurut Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Timor Leste Finn Riske-Nielsen cukup
'sukses'.4
Misi kepolisian Timor Leste diatur dalam Section 147 Constitution
of The Republic Democratic of Timor-Leste yang mengatur mengenai
Police dan security forces menyatakan bahwa:
1. The police shall defend the democratic legality and guarantee the internal security of the citizens, and shall be strictly non-partisan;
2. Prevention of crime shall be underta ken with due respect for human rights;
3. The la w shall determine the rules and regulations for the police and other security forces.5
3Ibid. 4
BBC Indonesia, PBB: Timor Leste siap mengambil alih, http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2012/10/121023_timorun, diakses pada tanggal 28 Agustus 2016.
5
Kemudian secara eksplisit mengenai “nature and mission”
kepolisian Timor Leste diatur dalam Article 1 Decree-La w No 9/2009
tentang Organic La w of Timor-Leste’s National Police (PNTL) yang menyatakan bahwa:
1. Timor-Leste’s National Police, hereinafter referred to in short a s PNTL, is a security force whose mission is to defend democratic legality, guarantee people’s security and property, and safeguard citizens’ rights in accordance with the Constitution and the La w.
2. Wherea s, with rega rd to its strategy and approach to policing, PNTL shall have the characteristics of a community police, its nature shall be identical to that of the military insofar as its organisation, discipline, training and personal status are concerned without however constituting a force of a military nature.
3. PNTL shall be strictly non-partisan and shall exercise its activities exclusively at the service of the State.
4. PNTL shall have its own legal personality, shall be directly
Struktur organisasi PNTL berdasarkan Article 9 Decree-Law No
9/2009 yang menggambarkan struktur organisasi hubungan antara Kepolisian dan Pemerintah tingkatan atau level, penjenjangan Kepolisian di
tingkat Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yaitu: Kepolisian Nasional Timor Leste (Comando Geral da PNTL) langsung
6
bertanggungjawab dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Ministeiro
Defesa e Seguranca), Kepolisian Distrik (Comando do Distrital da PNTL) setingkat dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota (Distrito) dan Kepolisian Polsek (Esquadra da PNTL) setingkat dengan Kecamatan (Sub Distrito).
KOMPOZISAUN.
ESTRUTURA ORGANIKU POLISIA NASIONAL TIMOR LESTE .
a). Komandante Jeral da PNTL
b).Vise Komandante Jeral da PNTL
c).Orgaun konselleiru no Inspesaun
d).Komandante Operasaun da PNTL
e).Komandante Adminstrasaun da PNTL
f).Komandante Unidade Polisia Especial Ministeiro Defesa e Seguranca
Pemkab/Kota
Comando Geral da PNTL
Pemkab/Kota Comando do Distrital da PNTL
g). Komandante Unidade Martimu
h).Komandante Unidade Patrolla Frontera
i).Xefe Intelijencia Polisia
j).Xefe Investigasaun Polisia
k).Komandante Sentru Formasaun Polisia
Konsellu Superior mak argaun konselleiru Komandante
Jeral Nian.
Komandante Jeral da PNTL
Vise Komandante Jeral da PNTL
Komandante
Adminstrasaunda PNTL
Inspetor Jeral da PNTL
Diektor Vinancas da PNTL
Komandante Logistika da PNTL
Komandante MTO da PNTL
Komandante Operasaun PNTL
Komandantes Distrital da PNTL
Komandante Especial Polisia da PNTL
Komandante Martima da PNTL
Komandante Patrolhamento Frontera da PNTL
Komandante Radio Komunikasaun da PNTL
Sekretario Interpol da PNTL
Komandante Departemento Justisa da PNTL
Bagan 2. Level PNTLPemerintahan
Pusat dan Daerah.
B. Konsep “Democratic Legality” Negara Republik Demokratis
Timor-Leste.
Republik Demokratis Timor-Leste adalah negara hukum untuk
mengatur, mengikat, membatasi kekuasaan pemerintah dan menentukan kedudukan lembaga kedaulatan negara yang berdemokrasi serta masyarakat
sebagai sarana pengontrol dalam sistem pemerintahan. Pembatasan badan-badan kedaualatan yang divaliditas dan legitimasikan oleh konstitusi Republik Demokratis Timor-Leste (RDTL) agar menjaga tidak terjadinya
perselisihan atau konflik dan tidak boleh turut ikut campur melakukan intervensi terhadap kegiatan organ lain dengan demikian indenpendensi
masing-masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik baiknya. Intelegencia da PNTL
Komandante Investigasaun da PNTL
Democratic dan legality (rule of la w) adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara RDTL.
Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan
mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain rule of la w memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.7
Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat Timor Leste. Sedangkan dalam negara yang berdasarkan atas rule of law,
dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.8 Hal tersebut sebagaimana cita
negara The Republic Democratic of Timor-Leste yang termaktub dalam Section 1 ayat (1) Constitution of The Democratic Republic of Timor-Leste
yang menyatakan:
“The Republic Democrat of East Timor is a democratic,
sovereign, independent and unitary State based on the rule of la w, the will of the people and the respect for the dignity of the
human person.”9
7
Muntoha, Op.cit, hal 379. 8
Ibid. 9
Berdasarkan konsep Brian Z. Tamanaha, maka bentuk rule of la w
dari Republik Demokratis Timor-Leste (RDTL) adalah Democracy and
Legality. Konsep Democratic Legality RDTL termasuk dalam kategori The Thin theory Rule of la w, lebih mendekati pengertian negara hukum dalam artian sempit, yang menekankan pada aspek formal atau instrumental dari
Rule of Law, dan ciri utamanya berfungsinya sistem hukum tertulis atau Undang-Undang secara efektif, dan netral dari aspek moralitas politik. Konsepsi Formal dari The Rule of la w ini adalah untuk mengatasi cara di
mana hukum harus diundangkan (oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal tersebut sudah dianggap cukup jelas untuk menuntun
perilaku seseorang, serta waktu kapan norma itu berlaku. Kemudian konsepsi formal dari The Rule of La w tidak berusaha untuk mendatangkan hukuman atas isi sebenarnya dari hukum itu sendiri. Teori formal RDTL fokus pada
sumber yang tepat dan bentuk legalitas. Konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip
kedaulatan rakyat, maka bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah sebagai landasan legitimasinya.10
Demokrasi Negara RDTL secara dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian hukum. Namun demikian, sebagai a procedural
mode of legitimation, demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan
10
yang serupa dengan formal legality, sehingga bisa juga memunculkan praktik-praktik buruk kekuasaan-otoritarian.11 Demokrasi adalah “majority
rule, minority right”.12 Dalam demokrasi, hubungan antara penguasa dan rakyat, termasuk di dalamnya kaum minoritas, bukanlah hubungan
kekuasaan, tetapi berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi HAM.13 Dalam beberapa hal, rule of la w Negara Republik Demokratis Timor-Leste sulit dibedakan dengan demokrasi sekalipun tidak dapat dipersamakan.
Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang sulit dipisahkan satu dengan yang lainnya. Rule of law tidak harus demokratis, pemerintahan
monarchis atau paternalistik sekalipun dapat saja taat kepada hukum tanpa tunduk kepada kaedah-kaedah demokrasi. Tetapi demokrasi yang bukan rule
of la w bukanlah demokrasi dalam arti sesungguhnya.14 Demokrasi dalam kerangka rule of la w juga dalam termaktub dalam Preambule Constitution of
The Republic Democratic of Timor-Leste yang menyatakan:Negara negara
dalam transisi ke Democra si berda sarkan perjanjian Ham.,polisi bukan alat
politik ,tapi membela Democratic Legality.
unquestionable foundation; Interpreting the profound sentiments, the aspirations and the faith in God of the People of East Timor;
Solemnly reaffirm their determination to fight all forms of tyranny, oppression, social, cultural or religious domination and segregation, to defend national independence, to respect and guarantee human rights and the fundamental rights of the citizen, to ensure the principle of the separation of powers in the organisation of the State, and to esta blish the essential rules of multi-party democracy, with a view to building a just and prosperous nation and developing a society of solidarity and fraternity.”15
Dalam Prea mbule dan Section 1 ayat (1) Constitution of The
Republic Democrati of Timor-Leste menekankan bahwa Timor Leste adalah
democratic state “based on the rule of law.” Konsep demokrasi dalam konstitusi Timor Leste merupakan konsep yang penting dalam kerangka rule
of la w, hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Erik Jensen dalam penelitiannya mengenai konstitusi di Timor Leste:
“The preamble and Section 1 of the Constitution say that Timor-Leste should be a democratic state “based on the rule of la w. This statement alone does not tell us very much about what the drafters meant by rule of la w. However, it is important to realize that every time the Constitution mentions the rule of la w, it appears near a reference to a “democratic State.” The idea that democracy and the rule of law go together is a feature of the thicker definitions of the rule of la w we discussed earlier. One of those thicker definitions wa s the idea of democratic rule of la w, which emphasized the importance of the consent of the people to the laws that the government makes.
Why might democracy be important to the rule of la w? Remember that the thinner definitions of the rule of la w told us
15
very little about what the la ws should actually say—the thinner will also help with some of the procedural aspects of the rule of la w. If people think the la ws are fair, they are more likely to want those la ws enforced more broadly. As a result, la ws will apply more uniformly and completely. Additionally, if everyone is represented in a democratic government, it seems more likely
that the laws will be applied equally to everyone.”16
Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.17 Oleh
sebab itu menurut penulis, dalam konstitusi di Timor Leste, kata “democratic” disandingkan dengan “legality”—yang dalam hal ini
berhubungan dengan rule of la w. Meskipun keduanya memiliki makna yang berbeda dan terpisah, namun dapat dikombinasikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Brian Z. Tamanaha.
“The rule of law is an ideal that relates to legality. Democracy is a system of governance. Human rights a re universal norms and standards, or at least norms that cla im universal application. Since each of these notions has meaning that is well understood, it invites confusion, in my view, to insist that the latter two are pa rt of the definition of the rule of la w. Each must be understood and argued for on its own terms. They are separate elements that focus on different aspects of a
political-legal system, which can exist separately or in combination.”18
Dalam konstitusi Timor Leste, kedua konsepsi tersebut saling
berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain rule of la w
memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, tetapi hukum.19 Kerangka democratic legality ini memandang bahwa rule of la w adalah untuk menjamin keberlangsungan demokrasi di Timor Leste. Selain itu, demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas rule of la w.
Dalam negara demokratis, sistem penyelenggaraan negara terfokus
pada tercapainya tujuan negara dalam rangka kesejahteraan masyarakat dengan menjunjung tinggi kemerdekaan/Hak Asasi Manusia, untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu sistem
negara demokratis Timor Leste yang terdiri dari sistem-sistem fungsi penyelenggaraan negara dan selalu berorientasi pada terjaminnya keamanan
dan ketertiban dalam dinamika sistem itu sendiri.
Adapun sebagai pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban dibentuk
sebuah sistem didasarkan pada konstitusi Timor Leste yang berlaku dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya. Hampir seluruh negara di dunia, dan juga Timor Leste melegitimasi sebuah struktur kepolisian yaitu PNTL
19
sebagai penanggungjawab terciptanya keamanan dan ketertiban itu sendiri untuk menjalankan peran dan fungsinya sesuai dasar hukum yang telah
ditentukan.
Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep
rule of la w, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.20 Oleh sebab itu PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality” haruslah bersandar
pada rule of la w yaitu Constitution of The Republic Democratic of
Timor-Leste.
Kaler Vasak dalam satu uraian yang berjudul : “ A30
years’Ttruggle” (The Sustainetd effort to give force of lawato the Universal
Declaration of HumanRights) anatar lain sebaga i berikut.Setelah perang
dunia ke II ,tugas utama PBB dalam bidang hak asasi manusia,ada 3 macam
tingkatan yaitu.
1. Memproklamasikan Declarasi Haka Asa si Manusian sebagai standar
utama untuk kemajuan umat manusia dan semua negara.
2. Menyusun beberapa trakta/perjanjianinterna siona l dalam bidang hak
asasi manusia yang mengikat nega ra negara yang
meratifikasikannya.
20
3. Mengusahkan suatu badan supervisi yang mengadakan observasi
terhadap perjanjian thktat tersebut.
Dengan demikian bicara tentang Hak Asasi Ma nusia meurut dasa r Hak Asasi Manusia bertumpu kepada “Don’t Speak merely of biological
needs when we talk about human rights.We mean we talk about conditions of
life which allow us fully to develop and use our human qualities of
intellegence and consciences and to satisfy our speritual meeds.
Karena itu pada ga ris besa rnya a spek perlindungan individu ,tidak saja
aspek ekonomik,tetapi juga,malah yang penting aspek speritual/ mental.
Kemudian Maurice Cranston,mengusulkan membagi menjadi dua hak yaitu
Legal Ringhts dan Moral Rights.
Legal Rights dibedakan menjadi:
a) General positive legal rights yaitu hak dinikmati setiap orang yang
diberikan oleh Konstitusi dan Undang Undang ditegakkan oleh
pengadialn.
b) Traditional legal rights ,Hak ( asli ) anggota masyarakat yang diubah
atau ditiadakan oleh sebuah regim.
c) Nominal Legal Rights,yang dipampangkan oleh negara negara
demokrasi dan dituangkan dalam konstitusi dalam bentuk bebas
bergerak,bicara,berkumpul,dalam keyataannya penguasa menekankan
Hak hak tersebut hanya diatas kertas ,sehingga tidak dapat (negara
demokrasi yang bersangkutan) dimasukkan kedalam negara yang memiliki/
menghormati hak yang dilindungi oleh ( positive legal rights)hukum positif.
Moral Rights merupakan hak yang disusun terbalik.
a. The Moral Rights of one person only ,yang merupakan seperangkat hak
moral yang timbu dari lenyataan ( fakta yang ada) akibat
posisi,tugas,profesi,dari seseorang. Hak hak tersebut dapat bersifat
yuridik maupun moral.Didasari bahwa hak moral tidak mestiu
dihormati/ dimengerti oleh orang lain karena itu hak moral bersifat
tertutup.
b. The Moral Rights of specifik groups of people,seperangkat hak yang
dimiliki peran tertentu.Hak orang tua terhadap anak, Pengasuh bayi
atas bayi asuhnya. Hak moral tidak diberi ( disediakan) oleh hukum
positif.tetapi dikembangkan dari prinsip prinsip moral atau dari hukum
alam.
c. The Moral Rights of all people in all situation ,disinilah tempat hak asasi
manusia berada. Hak asa si manusia dimiliki semua orang tampa
kecuali. Hak asasi tak ada kaitan dengan
jabatan,kedudukan,posisi,kekayaan orang perora ng.Hak asasi dimiliki
C. Tolok Ukur Tugas Konstitusional PNTL Dalam Membela
Democratic- Legality.
Tugas pokok Kepolisian Timor Leste dapat dimaknai sebagai fungsi utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan Timor
Leste. Istilah pemerintah di sini mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta
menyelenggarakan kepentingan umum (public servant), sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari lembaga pemerintah yang dijalankan untuk
mendukung tujuan negara, karena pemerintah dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem ketatanegaraan.21
Sejalan dengan dinamika reformasi administasi umum pada tahun
2008 yang lalu, reformasi di sektor keamanan juga merupakan salah satu topik utama yang diperdebatkan di Timor Leste. Beberapa undang-undang
yang telah dibentuk oleh pemerintah akan memberikan legitimasi akan implementasi reformasi dan dari undang-udang tersebutlah yang akan
menunjukkan arah daripada refomasi institusi Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) ke depan.
Negara sebagai suatu organisasi memiliki alat perlengkapan untuk
merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill). Salah
satunya adalah Kepolisian. PNTL dapat disebut sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (la w-creating function) atau
fungsi yang menerapkan hukum (la w-applying function) yang dibentuk berdasarkan konstitusi dan UU. Republik Demokratis Timor-Leste (RDTL)
yang merupakan Negara demokrasi yang berasas hukum dan keadilan sangat penting untuk memberikan suatu konsep arah reformasi PNTL yang merefleksikan asas Negara Republik Demokratis Timor-Leste.
Konsep polisi yang dianut oleh Negara-negara demokrasi adalah konsep polisi sipil yang mengandung makna yang lebih luas serta
tugas-tugasnya lebih cenderung ke arah gua rdian of the civilian values, and la w
enforcement yang dimaksud dalam hal ini adalah polisi sipil yang orientasinya selalu mengawal nilai-nilai sipil dengan mengedepankan
pendekatan-pendekatan secara kemanusian, menghargai dan melindungi hak-hak sipil masyarakat, sopan santun dalam melaksnakan tugas dan fungsinya
di mana saja berada, serta selalu bertindak sebagai penegak hukum. Perlu diberikan batasan atau definisi yang lebih jelas kepada polisi serta
perbedaanya dengan pengertian atau batasan militer. Apapun batasan atau definisi yang diberikan kepada polisi Nasional Timor-Leste hendaknya tetap berpedoman pada definisi yang diangkat dalam perjanjian hukum
didesain untuk berperang. Selain berpedoman pada hukum internasional, juga tetap merefleksikan asas Republik Demokratis Timor-Leste.
Secara khusus, misi kepolisian tertuju pada terwujudnya keamanan dan ketertiban umum yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Hal
tersebut juga dinyatakan oleh Stephen Greenhalgh dan Blair Gibbs:
“The expectation of the core police role in the twenty-first century
should start with what only the police can do. Public order is a special duty that relies upon the police having a monopoly on the legitimate use of force, both as a deterrent and as a means to stop violence and quell civil unrest. It is hard to conceive of any sharing of this function beyond policing (and in a civil emergency, the armed forces), and so it has to remain a core
element of a rebalanced policing mission.”22
Setelah krisis politik yang terjadi di badan PNTL, Decree-La w No.
8/2004 direvisi dan digantikan dengan Decree-La w No 9/2009 tentang
Organic La w of Timor-Leste’s National Police (PNTL). Berdasarkan ketentuan baru ini PNTL merupakan: a) kekuatan keamanan yang bertujuan
membela democratic legality, b) menjamin keamanan dan kepemilikan rakyat, c) melindungi hak-hak warga negara. Dalam hal ini PNTL dalam
melaksanakan tugasnya tersebut haruslah sesuai dengan Konstitusi dan Hukum, sebagaimana dinyatakan pada Article 1 ayat (1) Decree-La w No
9/2009:
“Timor-Leste’s National Police, hereinafter referred to in short
as PNTL, is a security force whose mission is to defend democratic legality, guarantee people’s security and property,
22
and safeguard citizens’ rights in accordance with the
Constitution and the Law.”23
Oleh sebab itu berdasarkan Article 1 ayat (1) Decree-La w No 9/2009 itu, maka penulis berpendapat bahwa PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality” harus bersandar pada tolok ukur yang
diamanatkan oleh Constitution of The Republic Democratic of Timor-Leste
sebagai berikut:
1. Menjamin Keamanan Warga Negara dan Berprinsip Non-Partisan.
Dalam Section 147 ayat (1) Constitution of The Republic Democratic
of Timor-Leste yang mengatur mengenai Police dan security forces
dinyatakan bahwa: “The police shall guarantee the internal security of the
citizens, and shall be strictly non-partisan”. Dalam negara manapun secara umum keamanan dapat diciptakan dengan memperhatikan aspirasi wilayah bersangkutan. Berdasarkan konstitusi Republik Demokratis Timor-Leste
bahwa jaminan keamanan internal adalah tugas kepolisian sehingga terciptanya rasa aman dalam masyarakat adalah termasuk bagian dari tugas
kepolisian. Keamanan tidak hanya terbatas pengertiannya pada keamanan negara (state security) yang cenderung syarat dengan dimensi militer, tapi
sudah meluas kepada kebutuhan-kebutuhan yang lainnya seperti interna l
23
security of the citizens. Sehingga dibutuhkan penanganan dan pengelolaan yang melibatkan lebih dari satu lembaga atau institusi, namun tetap
bersumber pada kebijakan yang berasal dari pemerintahan sipil demokratis. Secara umum sektor keamanan (security sector) didefinisikan sebagai
seluruh organisasi yang mempunyai otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan penggunaan kekerasaan fisik atau ancaman penggunaan kekerasan fisik dalam rangka melindungi negara dan warganegara maupun
segenap institusi sipil yang bertanggung jawab tentang pengelolaannya dan pengawasannya. Dalam definisi tersebut terkandung supremasi sipil atas
institusi keamanan, karena dalam konteks negara demokratik, pengelolaan dan pengawasan sektor keamanan ada pada pemerintahan sipil.24 Berdasarkan hal itulah penulis berpendapat bahwa PNTL sebagai Aparatur
Sipil Negara harus non-partisan, sehingga dapat menjalankan perannya secara efektif, legitimate, dan bertanggung jawab dalam memberikan
jaminan keamanan kepada warga negaranya.Dengan adanya payung hukum konstitusi, maka posisi dan keberadaan PNTL sebagai Aparatur Sipil Negara
akan kuat dan lebih independen.
Konstitusi section 147 Republika Demoratika De Timor Leste secara tega s
dan jelas tugas dan tanggung jawab Polisi Na sional Timor Leste harus
melaksanakan tugas dan fungsinya ,yaitu harus berdasa rkan ( Democratic
24
Legality),yaitu harus menjujung tinggi hak asasi manusia, tidak sama
dengan kepolisian dari Negara lain .Kepoilisian dari negara lain pada
umumnya melaksanakan tugas dan fungsinya yaitu, keamanan,ketertiban
umum terhadap masyarakat .Namun tidak mencamtumkan tugas da n
tanggung ja wabnya kepolisian dalam undang undang dasar maupun
konstitusi.
Konsep filosofis non-partisan Aparatur Sipil Negara sebenarnya
bukan pemikiran yang baru. Tema ini sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhada filsafat Hegel tentang negara
sedikitnya menggambarkan bahwa non-partisan birokrasi itu penting, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masyarakat; yaitu kelompok kepentingan
khusus (particula r interest) yang diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara,
dan kelompok birokrasi.25
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di
atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel,
harus netral. Sedangkan menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga
25
pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi
hanya terkait dengan persoalan administrasi dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).26 Dari sini kemudian lahir
konsep Woodrow Wilson yang dalam studi administrasi negara dikenal sebagai Dikotomi Politik-Administrasi. Politik dan administrasi adalah dua wilayah yang berbeda. Politik menyangkut bagaimana membuat kebijakan
publik sedang administrasi berkenaan dengan implementasi kebijakan publik. Woodrow Wilson dalam artikelnya “The Study of Administration”
menyatakan: stages as but a prelude to a fuller administrative reform. We are now rectifying methods of appointment; we must go on to adjust executive functions more fitly and to prescribe better methods of executive organization and action. Civil-service reform is thus but a moral preparation for what is to follow . It is clearing the moral atmosphere of official life by establishing the sanctity of public office as a public trust, and, by making the service unpartisan, it is opening the way for making it businesslike. By sweetening its motives it is rendering it capable of improving its methods of work.27
26
Matthew Holden Jr., Continuity and Disruption: Essays in Public Administration, University of Pittsburgh Press , 1996, hal 27.
27
Sumber daya dan status birokrasi sebagai sumber kekuasaan jelas
menarik bagi kelompok-kelompok kepentingan di dalam maupun di luar birokrasi. Wajar apabila kemudian birokrasi menjadi perebutan kekuatan
partai politik melalui politisinya yang menduduki posisi strategis birokrasi. Dengan demikian, secara politis subordinasi birokrasi selain untuk menekan
kemungkinan tumbuhnya kekuasaan birokrasi (bureucratic polity) juga dimaksudkan untuk mengendalikan birokrasi agar mudah dimanfaatkan untuk memudahkan upaya mempertahankan status quo rezim politik yang
berkuasa. Dalam hal ini non-partisan merupakan asas dari dikotomi politik-administrasi.
Menurut S.F. Marbun28, makna non-partisan Aparatur Sipil Negara dapat diartikan dua hal. Pertama, bebasnya Aparatur Sipil Negara dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu atau tidak memihak untuk
kepentingan partai tertentu atau tidak berperan dalam proses politik. Namun Aparatur Sipil Negara masih tetap mempunyai hak politik untuk memilih,
dan berhak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Namun tidak diperkenankan aktif menjadi anggota dan pengurus partai politik; kedua,
maksud netralitas yang lain adalah jika seorang Aparatur Sipil Negara aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus
28
mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung serta merealisasikan kebijakan atau kehendak
politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.
Diskursus tentang bagaimana seharusnya hubungan birokrasi dan politik selalu bergerak antara konsep „dikotomi politik-administrasi‟ dan „kontinum politik-administrasi‟. Apakah birokrasi akan menjadi birokrasi
yang netral dan profesional ataukah menjadi sekedar alat kekuasaan sedikit
banyak tergantung pada tatanan politik yang menopangnya. Tatanan politik yang mengarah pada nilai-nilai demokrasi akan cenderung memandang
birokrasi dari kacamata teori liberal yang memandang subordinasi birokrasi sebagai tatanan normatif ideal bagi aparat birokrasi. Proposisi dikotomi politik-administrasi meletakkan dasar etika bagi birokrasi sebagai „public
servant’ atau implementor kebijakan publik yang tunduk pada otoritas
pemimpin politik.
Polisi yang non-partisan adalah polisi yang tidak dapat dipolitisir oleh kekuatan eksternal, polisi yang menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
tidak memihak, tetapi bertujuan menegakkan hukum secara keseluruhan. PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality”
hendaknya harus berdasar pada jaminan keamanan warga negara dan prinsip
non-partisan.
Dalam Section 147 ayat (2) Constitution of The Republic Democratic
of Timor-Leste yang mengatur mengenai Police dan security forces
dinyatakan bahwa: “Prevention of crime shall be underta ken with due
respect for human rights”. Pencegahan kejahatan merupakan penyelenggaraan fungsi kepolisian pada tataran preemtif dan preventif. Yang menonjol dalam kegiatan ini adalah kehadiran polisi berseragam baik secara perorangan maupun satuan dan wujud peran polisi selaku pengayom dan
memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. 29
Pencegahan kejahatan dan pengendalian kejahatan tidaklah sama.
Pencegahan kejahatan secara jelas merupakan sebuah tindakan untuk menghilangkan kejahatan sebelum kejadian dan sebelum tindak kejahatan berkembang lebih jauh. Di sisi lain, pengendalian kejahatan berkenaan
dengan pemeliharaan atau pengkondisian dari sebuah tingkat atau keberadaan dan pengelolaan jumlah kejahatan. Pengendalian ini tidak cukup
untuk menemukan permasalahan ketakutan akan kejahatan.30 Dengan demikian pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama dari misi
kepolisian Republik Demokratis Timor-Leste, karena ukuran keberhasilan dari kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban yang merupakan domain
29
Moh. Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 1994, hal 42.
30
dari polisi adalah tidak adanya peristiwa kejahatan bukan pada apa yang telah dilakukan atas suatu peristiwa kejahatan.
Kunarto mengartikan tugas preventif sebagai tugas yang bermakna pembinaan kepada masyarakat agar sadar dan taat pada hukum dan memiliki
daya lawan terhadap praktek melanggar hukum atau kejahatan. Pelaksanaan tugas preventif ini dibagi dalam dua kelompok besar :31
a) Pencegahan yang bersifat fisik dengan melakukan empat kegiatan
pokok, antara lain mengatur, menjaga, mengawal dan patroli.
b) Pencegahan yang bersifat pembinaan dengan melakukan kegiatan
penyuluhan, bimbingan, arahan, sambung, anjang sana untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat hukum serta memiliki daya cegah-tangkal atas kejahatan.
Pendekatan perpolisian masyarakat di Timor-Leste pada PNTL didasari pada asumsi yang terbukti bahwa PNTL tidak dapat secara efektif
mengendalikan kejahatan atau menangani penyebab kejahatan sendirian. Karakteristik perpolisian masyarakat pada PNTL telah diamanatkan dalam
Article 1 ayat (2) Decree-La w No 9/2009 tentang Organic La w of
Timor-Leste’s National Police (PNTL) yang menyatakan bahwa:
Wherea s, with regard to its strategy and approa ch to policing, PNTL shall have the characteristics of a community police, its nature shall be identical to that of the military insofar as its organisation, discipline, training and persona l status a re
31
concerned without however constituting a force of a milita ry nature.
Perkembangan kemajuan masyarakat Timor-Leste yang cukup pesat seiring dengan merebaknya fenomena Hak Asasi Manusia (HAM), maka gaya perpolisian tradisional yang selama ini dijalankan kemudian diubah
dengan gaya perpolisian yang lebih modern dan demokratis yakni perpolisian yang berorientasi kepada masyarakat. Dasar universal pemolisian
modern adalah penghargaan pada hak asasi manusia.32 Dengan dasar ini paradigma kepolisian Republik Demokratis Timor-Leste sebaiknya semakin meninggalkan pendekatan kekerasan menuju ke pendekatan yang
berdasarkan hukum. Aspek universal atas hak asasi manusia merupakan indikator dari paradigma kepolisian.
Tindakan pendisiplinan yang cepat dan sesuai dan pengadilan terhadap para petugas polisi yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran kewenangan merupakan
indikator-indikator yang penting dari komitmen pemerintah Timor-Leste untuk menciptakan angkatan kepolisian yang profesional. Hal tersebut juga
merupakan sebuah indikator mengenai bagaimana keseriusan pemerintah dalam menangani kewajiban-kewajiban (pemenuhan) Hak Asasi Manusia di
32
bawah undang-undang Negara tersebut dan berbagai perjanjian-perjanjian Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh Timor-Leste.33
Penggunaan kekerasan oleh polisi merupakan perlengkapan atau sebagian dari perlengkapan untuk dapat menjalankan pekerjaannya, yaitu
membina dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.34 Batasan kekerasan yang kabur dan samar-samar inilah yang berpotensi mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran HAM oleh PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality”.
Article 2 Decree-La w No 9/2009 tentang Orga nic La w of
Timor-Leste’s National Police (PNTL) menegaskan bahwa:
Within the framework of the Permanent Objectives as defined in the La w on National Security and within the framework of the internal security policy, and without prejudice to the legal powers resulting from other legislation, the fundamental objectives of PNTL shall be to promote security conditions that will ensure the normal functioning of democratic institutions and the exercise of rights, liberties and guarantees by citizens.
HAM sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin
mempunyai martabat sebagai manusia (inherent dignity). Dan karena itu pula dikatakan bahwa hak-hak tersebut adalah tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable). Mukadimah UDHR mulai dengan
33
Human Rights Watch, Op.cit. 34
kata-kata ini, yaitu: “… recognition of the inherent dignity and of the equal
and inalienable rights of all members of the human family…” Kata “equal”
disini menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam perlindungan negara atau jaminan negara atas hak-hak individu tersebut.35
PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality”
hendaknya harus berdasar pada jaminan pencegahan kejahatan dengan menjunjung tinggi HAM. HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada
pemerintah/negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat
pemerintah sendiri.36 Dalam rangka menjamin implementasi dari amanat konstitusi, maka adanya pengawasan yang ketat dan optimal agar betul-betul dipatuhi dan ada sanksi yang tegas jika dilanggar. Terkait ketentuan
pengawasan terhadap PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the
democratic legality” perlu diatur bahwa setiap pejabat PNTL wajib:
a. melakukan pengawasan penerapan HAM, terutama di lingkungan anggotanya;
b. memberikan penilaian bagi anggota PNTL dalam menerapan prinsip HAM dengan memberikan penghargaan bagi yang berprestasi;
35
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum dan Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Edisi 1 Cetakan ke-3, 1999, hal 7.
c. memberikan tindakan koreksi terjadap tindakan anggotanya yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan HAM; Dan
d. menjatuhkan sanksi terhadap anggota PNTL yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM dalam
pelaksanaan tugas. Sanksi dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.
3. Bertindak dalam Koridor Hukum.
Dalam Section 147 ayat (3) Constitution of The Republic Democratic
of Timor-Leste yang mengatur mengenai Police dan security forces
dinyatakan bahwa: “The la w shall determine the rules and regulations for
the police and other security forces”. Kepolisian pada hakikatnya adalah
suatu lembaga dan fungsi pemerintahan yang bergerak di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai suatu lembaga atau organisasi kepolisian memiliki tugas dan wewenang yakni memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, lembaga atau
organisasi Kepolisian ini mencakup personil kepolisian. Dimana dalam menjalankan tugasnya, personil kepolisian ini harus patuh terhadap norma atau kaidah yang mengatur tentang bagaimana seharusnya sikap yang
Personil PNTL wajib paham hukum sebagai norma. Memahami hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang
seharusnya (das Sollen). Memahami hukum sebagai das Sollen berarti juga menginsyafi bahwa hukum merupakan bagian dari kehidupan kita yang
berfungsi sebagai pedoman yang harus diikuti dengan maksud supaya kehidupan kita diatur sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi sebagaimana mestinya.37 Hukum sebagai dasar
aturan terhadap negara demokrasi merupakan bagian terpenting yang tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya mempunyai peran penting dalam
berbagai tindakan yang dilakukan oleh warga negara dengan ketentuan-ketentuan hukum yang legal.38
Perkembangan paradigma hukum semakin tinggi dalam konteks
negara demokrasi Timor Leste dengan tingkat kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan terbuka. Nilai-nilai hukum menjadi tumpuan utama
dalam komposisi demokratisasi sistem pemerintahan negara Timor Leste, sehingga dibutuhkan pola-pola penegakan hukum yang menuntut kebutuhan
hukum saat ini sebagai sandaran terhadap paradigma yang berkembang. Timor Leste Sebagai negara hukum yang menganut sistem negara
37
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2009, hal. 45.
38
demokrasi, tentunya berbagai elemen pokok kebebasan menuntut prinsip hukum untuk disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada
dengan tidak menghilangkan nilai-nilai substantif hukum itu sendiri. Hal ini penting sebagai perlakuan yang adil terhadap masyarakat demokrasi dengan
transparansi yang menjadi tonggak keterbukaan hukum. Tentunya hal itu juga dilihat dari asas-asas hukum yang diharapkan secara bersama, asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Melalui adanya kebijakan Negara melalui politik pemerintah sebagai lembaga atau komponen yang telah merancang Decree-La w No 9/2009
tentang Organic La w of Timor-Leste’s National Police (PNTL) sebagai peraturan atau kaidah dalam institusi Kepolisian yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum di Leste. Pemerintah
Timor-Leste masih perlu kerja keras membangun hukum dan unsur aparat penegak hukum yang sekaligus sebagai perangkat hukum demi mewujudkan
kepastian hukum yang dapat menyesuaikan dinamika hukum Nasional dan Internasional. Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial
dan di lain pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta
Dalam Article 17 ayat (1) Decree-La w No 43/2011 tentang Legal
Regime On The Use of Force ditegaskan bahwa:
“Law enforcement officers shall be criminally liable, under the terms of the provisions set out in the Timorese Penal Code, for violations to that established in the present la w and other complementary legislation.”
Keabsahan tindakan PNTL diukur berdasarkan wewenang yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan asas legalitas (legaliteits beginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur). Asas
legalitas sebagai prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam setiap negara hukum, berarti bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan
pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.39 Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan PNTL yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, baik pada pemerintahan
pusat maupun daerah dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan PNTL termaktub dalam Constitution of The Republic
Democratic of Timor-Leste, Decree-La w No. 13/2004 tentang Disciplinary
Regulation of The National Police Of Timor-Leste, Decree-La w No 9/2009 tentang Organic La w of Timor-Leste’s National Police (PNTL), Decree-La w No 43/2011 tentang Legal Regime On The Use of Force. Oleh sebab itu
39
PNTL dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality” harus
bersandar pada rule of law.
Adanya landasan hukum dalam pembentukan PNTL dimaksudkan agar PNTL memiliki kewenangan dalam menjalankan misi organisasi
berdasarkan koridor hukum yang telah ditetapkan. Kewenangan ini diperlukan sebagai upaya untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat demi tercapainya tujuan negara. Landasan hukum ini juga
memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengetahui sejauh mana kewenangan yang dimiliki oleh PNTL dalam menjalankan pemerintahan dan
memenuhi kepentingan publik. Dengan demikian PNTL dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya benar-benar profesional dan akuntabel.
Dalam Article 3 Decree-La w No 9/2009 tentang Organic La w of
Timor-Leste’s National Police (PNTL) ditegaskan bahwa:
1. Within the framework of its powers, PNTL shall make exclusive use of police measures established by la w and applicable under the terms of the Constitution and the la w, namely:
a) to demand the identification of any person finding himself or herself, or circulating, in a public place or that is under police surveillance;
b) to keep watch over people, buildings and establishments for defined periods of time;
c) to temporarily seize weapons, ammunition and explosives.
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of la w), yaitu bahwa segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus
ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan PNTL sebagai pejabat administrasi negara. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau „rules and
procedures‟ (regels). Namun, menurut penulis, prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi
lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip „diskresi‟ yang memungkinkan
PNTL mengembangkan dan menetapkan sendiri „beleid-regels‟ („policy
rules‟) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
Meskipun pemerintah telah mengambil inisiatif untuk memulai proses penyaringan terhadap PNTL dengan nasihat dari Polisi Internasional dan UNPOL, namun Resolusi PBB No.3/2006 terbatas pada penyaringan
2006 dan lainnya, PNTL mempunyai masalah institusional sebagai tambahan dari masalah personel dan kedisiplinan.40 Jika PNTL bersikap konstitusional
atau konsisten dengan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam penegakan hukum (la w enforcement) tidak akan terjadi konflik antar
lembaga penegak hukum karena kekuasaan atau kewenangan (power or authority) masing-masing lembaga penegak hukum diatur dalam undang-undang.
Prinsip konsistensi menjelaskan bahwa konsistensi dalam hukum
menjadi kewajiban terhadap implementasi dan penerapan hukum seca ra adil
dan bijaksana.41 Begitupun sanksi yang mengikutinya harus berlaku sama
sesuai dengan tingkat perilaku hukumnya. Perlakuan yang sama dan serupa
terhadap setiap individu mempunyai korela si tersendiri terhadap peraturan
hukum beserta sanksinya, terma suk didalamnya prinsip-prinsip yang
digunakan untuk menafsirkannya. Pengambilan keputusan peradilan dalam
hukum merupakan otoritas dari penegak hukum untuk memutuska n denga n
prinsip keadilan dan kebaikan bagi semua orang dengan tidak menimbulkan
belenggu problematika, sehingga seca ra prinsip keputusan itu berlaku
konsisten dan baik.
40La‟o Hamutuk , Op.cit. 41