• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Pasar dalam Kebijakan Penetapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mekanisme Pasar dalam Kebijakan Penetapa"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PASAR DAN KEBIJAKAN PENETAPAN

HARGA ADIL DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Euis Amalia1

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Artikel ini dimaksudkan untuk menganalisis tentang persoalan mekanisme pasar, harga dan peranan negara dalam hal penetapan harga. Berbeda dengan konvensional,konsep Ekonomi Islam menegaskan bahwa mekanisme pasar dan penetapan harga perlu dilakukan dalam upaya untuk menegakkan keseimbangan pasar dan keadilan ekonomi dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak yang terlibat di pasar. Harga wajar dan adil (fair price) adalah harga yang diperoleh berdasarkan kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Akan tetapi, manakala terjadi tindakan-tindakan yang bersifat dzulm sehingga terjadi distorsi pasar atau harga tidak berada pada titik keseimbangannya maka pemerintah sangat berperan untuk mengambil kebijakan berupa penetapan harga dengan melihat faktor-faktor penyebab terjadinya distorsi tersebut dan mengembalikan harga pada titik keseimbangannya semula.

Kata Kunci: mekanisme pasar, penetapan harga, harga adil, distorsi pasar, kebijakan pemerintah.

Pendahuluan

Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit kegiatan atau aktivitas ekonomi dengan mendasarkan pada tata aturan moral dan etika syariah. Tujuan akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syariah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (maslahah al ’ibad). Menurut as-Syatibi1tujuan utama syariat Islam

adalah mencapai kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap lima ke-maslahatan, yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (al-maal), dan kelangsungan keturunan (an-nasl). Jika salah satu dari lima kebutuhan ini tidak tercukupi, niscaya manusia tidak mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya.

Untuk itu dalam Ekonomi Islam pilar utama adalah aspek etika dan moral Islam itu sendiri. Setiap muslim perlu berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memiliki perilaku homo islamicus. Artinya, moral (akhlaq) Islam menjadi pegangan pokok dari perilaku ekonomi yang menjadi panduan mereka untuk menentukan suatu kegiatan adalah baik atau buruk sehingga perlu dilaksanakan atau tidak.

Masalahnya adalah saat ini kondisi aktual pasar global sudah bebas dimana perdagangan antar negara menjadi sesuatu yang niscaya sehingga diperlukan

(2)

kearifan tersendiri dalam menyikapinya. Termasuk Indonesia, tepat pada tanggal 1 Januari 2010, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini secara resmi masuk dalam pelaksanaan kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area

(ACFTA). Banyak kalangan dalam negeri khawatir dengan diberlakukannya ACFTA ini karena melihat kondisi perekonomian Indonesia, baik dalam tataran makro maupun mikro yang tidak sebanding dengan dominasi ekonomi China.

Terlepas dari pro dan kontra soal ACFTA yang merupakan warisan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan tidak pernah diratifikasi melalui lembaga perwakilan rakyat, tetapi hanya melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004; sedikit banyak mendatangkan kerugian dibandingkan dengan manfaatnya, khususnya terhadap industri manufaktur dan tenaga kerja jika tidak segera diantisipasi pemerintah. ACFTA lebih mengarah pada implementasi zona baru prinsip liberalisme perdagangan yang akan mengganggu pasar domestik dan mengancam konsumsi barang-barang produksi dalam negeri.

Pasar bebas yang terjadi saat ini telah menjadi segala-galanya seperti “tuhan” sekaligus “hantu” karena makanisme pasar yang ada sangat dipengaruhi oleh adanya kekuatan superpower yang berwajah kapitalisme dengan konsep “neo liberalism”. Pemahaman in tentu sangat bertentangan dengan keadilan pasar yang dikonsepkan oleh para pemikir muslim. Pemikiran yang dikembangkan tentu diambil dari para tokoh muslim dalam hal ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah2, tokoh utama yang layak dijadikan rujukan mengingat

konsepnya sangat mendalam dan rasional tentang harga yang wajar dan peran pemerintah dalam pengaturannya.

Pengertian Pasar

Pasar dalam pengetian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran3. Pertemuan antara permintaan (demand)

dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga keseimbangan). Semua literatur tentang ekonomi yang tersebar di berbagai perpustakaan menganggap bahwa ide hukum pasar supply dan demand adalah hasil perkembangan dari sejarah pemikiran ekonomi. Sayangnya, sangat minim literatur yang mengungkapkan bahwa teori mekanisme pasar sudah dikenal sebelum pertengahan abad 18. Bahkan Schumpeter4 dengan thesisnya yang

sangat terkenal “Great Gap atau Blank Centuries” betul-betul berusaha menafikan keberadaan dan kontribusi ilmuwan Arab Islam (Arab-Muslim Scholars) dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu ekonomi.

Banyak ilmuwan muslim yang sudah mengemukakan berbagai pemikiran ekonomi sebelum berkembang menjadi teori ekonomi modern saat ini namun tidak ditemukan dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan Barat. Salah satu ilmuwan muslim yang pemikirannya

2 Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, Riyad: Matbi’ Riyad, 1993, vol. 29. Lihat juga Ibnu

Taimiyyah al Hisbah fi al Islam, Libanon: dar al Kitab al Islamiyah, 1996. Cet ke-1.

3 Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar, Jakarta,

LPFEUI, 1999, Cet. Ke-4, h. 26

4 Joseph A Schumpeter, History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press,

(3)

berusaha dinafikan oleh Schumpeter dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu ekonomi adalah Ibnu Taimiyah. Dia adalah salah satu ilmuwan muslim yang secara mendetail membahas tentang mekanisme harga pasar dan jenis-jenis pasar. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri dan mengangkat kembali pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah khususnya tentang konsep harga pasar yang adil.

Ilmu ekonomi berasal dari ide, gagasan, dan pemikiran yang kemudian dieksperimentasi dan dikembangkan menjadi teori dan model. Pada tataran ide, gagasan dan pemikiran kontribusi para ilmuwan Arab muslim khususnya Ibnu Taimiyah dalam proses metamorfosis pemikiran ekonomi menjadi ilmu ekonomi. Adam Smith5 yang disebut oleh kalangan ilmuwan Barat sebagai “the father of economic science” hanya mengemukakan konsep dasar ekonomi dalam bentuk pemikiran sebagaimana dalam bukunya The Wealth of Nation yang melahirkan istilah “invisible hand” yang kemudian dikembangkan ilmuwan-ilmuwan ekonomi berikutnya menjadi konsep pasar bebas dan hukum pasar supply-demand. Sedangkan ide tentang pasar supply dan demand sudah dikemukakan oleh ilmuwan muslim jauh sebelum Adam Smith dilahirkan. Antara Adam Smith dan Ibnu Taimiyah hanya ada satu perbedaan yaitu, Adam Smith diakui sebagai “bapak ilmu ekonomi” oleh para ilmuwan ekonomi Barat sedangkan Ibnu Taimiyah yang ilmuwan muslim tidak dianggap pernah memiliki pemikiran ekonomi oleh mereka.

Ibnu Taimiyah memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan; “Naik turunya harga tidak selalu berkait dengan kezhaliman (zulm) yang dilakukan oleh seseorang.” “Sesekali alasannya adalah adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika dibutuhkan peningkatan jumlah barang, sementara kemampuannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaannya menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali, bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia”.6

Dari pernyataan di atas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidaksempurnaan pasar. Tetapi penyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar.

Ungkapan Ibnu Taimiyah tersebut juga menggambarkan secara eksplisit bahwa penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedang permintaan sangat ditentukan oleh selera

5 Filsafat kebebasan dan invisible hand yang diajarkan oleh Adam Smith menjadi karakter

utama dalam sejarah ekonomi modern ketika revolusi industri dan kebebasan politik muncl ke panggung sejarah. Lihat Charles Hession, “The Development of Economics Ideas” dalam Arthur L Grey dan Jhon E. Elliot (eds.), Economic Issues and Policies: Reading in Introductory Economics, USA: Houghton Mifflin Company, 1961, Edisi Kedua, h. 21.

(4)

dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga tergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak natural (ilahiyah)7.

Dalam bukunya, Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa faktor yang memengaruhi fluktuasi permintaaan dan konsekuensinya terhadap harga:

1. Jenis kebutuhan manusia sangat bervariasi

satu sama lain. Tingkat kebutuhan tersebut berbeda-beda tergantung pada kelimpahan atau kelangkaan barang-barang yang dibutuhkan itu. Suatu barang akan lebih dibutuhkan pada saat terjadinya kelangkaan daripada saat melimpahnya persediaan.

2. Harga sebuah barang beragam tergantung

pada tingginya jumlah permintaan. Jika jumlah permintaan semakin tinggi karena jumlah manusia yang membutuhkan sebuah barang semakin banyak, maka hargapun akan bergerak naik terutama jika jumlah barang hanya sedikit atau tidak mencukupi.

3. Harga barang juga dipengaruhi oleh besar

atau kecilnya kebutuhan terhadap barang dan tingkat ukurannya. Jika kebutuhan sangat besar dan kuat, maka hargapun akan melambung hingga tingkat yang paling maksimal, daripada jika kebutuhan itu kecil dan lemah.

4. Harga barang berfluktuasi juga tergantung

pada siapa yang melakukan transaksi pertukaran barang itu. Jika ia adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam hal pembayaran hutang, harga yang murah niscaya akan diterimanya.

5. Harga juga dipengaruhi oleh bentuk alat

pembayaran yang digunakan dalam bentuk jual-beli; jika yang digunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah daripada jika membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran.

6. Disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya

timbal-balik kepemilikan oleh kedua pihak yang melakukan transaksi. Jika sipembayar mampu melakukan pembayaran dan mampu memenuhi janjinya, tujuan dari transaksi itu mampu diwujudkan dengannya.

7. Aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang

yang meminjam atau menyewa.

Keterangan di atas menunjukkan betapa Ibnu Taimiyah menghargai mekanisme harga. Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah sangat setuju apabila pemerintah tidak mengintervensi harga selama mekanisme pasar itu terjadi dimana kurva supply dan demand bertemu tanpa ada campur tangan atau dengan kata lain terjadi perubahan harga karena perubahan genuine supply dan genuine demand.

Mekanisme Harga Adil

Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input

7 Ibnu Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam, Libanon, Dar al Kitab al Islamiyah, 1996, Cet. Ke-1,

(5)

(faktor-faktor produksi).8 Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang

menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu. Harga yang adil merupakan harga (nilai barang) yang dibayar untuk objek yang sama diberikan, pada waktu dan tempat yang diserahkan barang tersebut9. Definisi harga yang adil juga bisa

diambil dari konsep Aquinas yang mendefinisikannya dengan harga kompetitif normal. 10 Yaitu harga yang berada dalam persaingan sempurna yang disebabkan

oleh supply dan demand, tidak ada unsur spekulasi. Harga yang adil menurut Ibnu Taimiyah adalah :

رعسسلا

Nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu”.

Dalam al-Hisbah Ibnu Taimiyah lebih memperjelas apa yang dimaksud

Apabila orang-orang memperjualbelikan barang dagangannya dengan cara-cara yang biasa dilakukan, tanpa ada pihak yang dizalimi kemudian harga mengalami kenaikan karena berkurangnya persediaan barang ataupun karena bertambahnya jumlah penduduk (permintaan), maka itu semata-mata karena Allah SWT. Dalam hal demikian, memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangannya pada harga tertentu merupakan tindakan pemaksaan yang tak dapat dibenarkan”.

Ada dua terma yang seringkali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘Iwad al-Mitsl) dan harga yang setara/adil (Tsaman al-Mitsl). Dia berkata: “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (Nafs al-‘Adl)”.

Iwadh al-Mitsl adalah penggantian yang sepadan yang merupakan nilai harga yang sepadan dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, inilah esensi dari keadilan13.

8Adi Kuswanto, Pengantar Ekonomi, Depok, Gunadarma, 1993, Cet. Ke-3, h.6 9 Ibnu Taimiyah, Ibid, h.522.

10 Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan: “Konsep tentang justumpretium (harga yang

adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menempatkan aturan khusus untuk memberikan petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, dimana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa”. Tetapi ia tak menjelaskan dasar apapun dari pendapatnya. (Kaulla, R., Theory of the Just Price, terjemahan bahasa Inggris oleh Robert D. Hogg (London: George Allen, 1940), hlm. 22.)

11 Ibnu Taimiyah, Ibid, h. 345

(6)

Adapun Tsaman al-Mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu. Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip La Dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain, maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya tindakan kezaliman.

Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda. Permasalahan tentang kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar masalah moral atau kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:

a. Ketika seseorang bertanggungjawab menyebabkan terluka atau rusaknya orang lain (nufus), hak milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi).

b. Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya.

c. Ketika seseorang dipertanyakan telah membuat kontrak tidak sah (al-‘Uqud al-Fasidah) ataupun kontrak yang sah (al-Uqud al-Shalihah) pada peristiwa yang menyimpang (arsh) dalam kehidupan maupun hak milik14.

Kasus-kasus ini tidak merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi atau pelaksanaan sebuah kewajiban. Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud dengan kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf) dan berkaitan dengan nilai dasar (rate/si’r) serta kebiasaan”. Lebih dari itu Ia menambahkan, “Evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuivalen). Inilah yang benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.

Tentang kompensasi yang setara dan harga yang setara ia menguraikan jumlah kuantitas yang tercatat dalam kontrak ada dua macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim (nadir), sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemauan (raghabah) atau faktor lainnya. Ini menyatakan harga yang setara, agaknya menjadi jelas, bagi Ibnu Timiyah kompensasi yang setara itu relatif merupakan fenomena yang lebih bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan. Sedang harga yang setara itu bervariasi, dipengaruhi oleh pertimbangan kekuatan penawaran dan permintaan.

Dalam analisis ekonomi dianggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya. Dalam hukum permintaan diuraikan sifat hubungan antara permintaan barang dengan tingkat harganya. Hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan: “makin rendah

14 Umarudin, M, Ibnu Taimiyah:Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu

(7)

harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang tersebut”. Begitu juga sebaliknya, hukum penawaran yang menjelaskan tentang hubungan antara harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan para penjual.

Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber penyediaan barang (supply) yaitu produksi lokal dan impor yang diminta. Kata al-Mathlub yang dipakai Ibnu Taimiyah merupakan sinonim dari demand, untuk menyatakan permintaan atas barang-barang tertentu ia menggunakan raghabat fi al-shai’i misalnya keinginan atas suatu barang15.

Konsep harga yang adil menurut Ibnu Taimiyah hanya terjadi pada pasar kompetitif, tidak ada pengaturan yang mengganggu keseimbangan harga kecuali jika terjadi suatu usaha-usaha yang mengganggu terjadinya keseimbangan, yaitu kondisi dimana semua faktor produksi digunakan secara optimal dan tidak ada

idle, sebab harga pasar kompetitif merupakan kecenderungan yang wajar. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa jika masyarakat menjual barang dagangannya dengan harga normal (kenaikan harga dipengaruhi oleh kurangnya persediaan barang karena menurunnya supply barang), maka hal seperti ini tidak mengharuskan adanya regulasi terhadap harga. Karena kenaikan harga tersebut merupakan kenaikan harga yang adil dan berada dalam persaingan sempurna, tanpa unsur spekulasi.

Perbuatan monopoli terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia, menjadi hal yang ditentang oleh Ibnu Taimiyah. Jika ada sekelompok masyarakat melakukan monopoli, maka wajib bagi pemerintah untuk melakukan pengaturan (regulasi) terhadap harga. Hal ini dilakukan untuk menerapkan harga yang adil. Monopoli merupakan perbuatan yang tidak adil dan sangat merugikan orang lain, dan perbuatan tersebut adalah zalim, monopoli sama saja dengan menzalimi orang yang membutuhkan barang-barang kebutuhan yang dimonopoli16.

Konsep Ibnu Taimiyah tentang harga yang setara/adil memiliki kesamaan dengan konsep harga yang adil yang disampaikan oleh pemikir skolastik, terutama Aquinas. Akan tetapi Ibnu Taimiyah memberikan makna yang lebih luas. Ia menganjurkan bahwa dalam menetapkan harga yang adil itu dengan pertimbangan apabila suatu barang tersebut tidak ada di suatu tempat. Secara eksplisit, ia mengajukan pertimbangan untuk mempertemukan antara nilai subjektif dari pembeli dengan nilai subjektif dari penjual.

Tujuan utama dari harga yang adil adalah memelihara keadilan dalam mengadakan transaksi timbal-balik dan hubungan-hubunan lain di antara anggota masyarakat. Pada konsep harga yang adil pihak penjual dan pembeli sama-sama merasakan adanya keadilan.

Keadilan bagi pihak pembeli, Ibnu Taimiyah menggunakan contoh apabila seseorang yang diperintahkan oleh agama untuk membeli barang-barang tertentu, seperti membeli peralatan untuk ibadah haji, pembeli harus harus membelinya namun dengan harga yang setara. Ia tidak boleh membelinya hanya karena mahal

15 A.A. Islahi, Konsepsi Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.

h. 105.

(8)

harganya. Karena penjual menjual barangnya dengan harga yang adil, dan dengan harga yang sudah umum atau sesuai dengan harga pasar. Oleh karena itu, pembeli harus dengan lapang dada membeli barang tersebut jika suatu barang mahal harganya (naik) disebabkan oleh pengaruh supply dan demand maka pihak pembeli tidak merasa dirugikan dan pemerintah pun tidak boleh melakukan intervensi terhadap harga tersebut17.

Sedangkan keadilan bagi pihak penjual adalah barang-barang itu dikenakan harga paksa, sehingga kehilangan keuntungan normal diatasnya. Sebab, “Setiap orang memiliki wewenang atas hak miliknya, tidak boleh seorang pun mengambilnya, seluruh atau sebagian, tanpa persetujuan penuh darinya dan ia pun menyetujui. Dan memaksa seseorang untuk menjual apapun yang ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menjualnya atau melarang melakukan apa yang secara legal ia boleh melakukan adalah keadilan”. Tetapi jika alasan yang memaksa seorang penjual dan bila tanpa paksaan ia tidak mau melaksanakan kewajibannya, ia bisa dipaksa untuk menjual barang-barangnya pada harga yang ekuivalen untuk melindungi kepentingan lain.

Faktor-faktor Penyebab Distorsi Pasar

Beberapa tindakan yang bersifat kedzaliman (zulm) di pasar dapat menyebabkan kondisi terjadinya distorsi baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Kondisi ini mengakibatkan harga berada dalam kondisi ketidakseimbangan dimana pertemuan supply dan demand terjadi karena ada faktor-faktor kejahatan bukan disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah yang tidak dapat dihindari oleh manusia seperti cuaca, bencana alam dan lainnya. Beberapa tindakan bukan alamiah tetapi karena tindakan kejahatan seseorang atau sekolompok orang di pasar yang menjadi pemicu terjadinya distorsi pasar antara lain:

1. Rekayasa Permintaan (Bai’ Najasy)

Transaksi najasy diharamkan karena penjual bekerjasama dengan orang lain agar memuji barangnya atau menawar barangnya dengan harga tinggi sehingga orang lain tertarik pula untuk membeli18. Temannya yang merupakan penawar

harga barang itu sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk menipu. Akibatnya terjadi “permintaan palsu” (false demand).

17 A.A. Islahi, Ibid, h.102

18 Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: IIT-Indonesia, 2002), h. 152

Gambar 1.

Ba’i Najasy (Distorsi Permintaan)

0 P

0

Q1 Q0

P1 P

Q S

D0

(9)

Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara alamiah. Penjelasan grafis bai’ najasy diperlihatkan pada gambar 1. Pada awalnya, permintaan terhadap barang X digambarkan dengan kurva D0. Titik

keseimbangan terjadi pada saat Q sebesar Q0 dan P sebesar P0. Kemudian, pelaku bai’ najasy sengaja menciptakan isu yang tidak berdasar atau melakukan tindakan-tidakan tertentu (misalnya menyuruh temannya untuk pura-pura ingin membeli barang X dengan harga di atas P0 sehingga orang-orang tertarik untuk

membeli barang X tersebut). Akibatnya permintan terhadap barang X meningkat secara tidak alamiah. Kurva permintaan bergeser ke arah kanan atas, dari D0

menjadi D1. Peningkatan permintaan ini menyebabkan peningkatkan harga yang

tidak alamiah pula, dari P0 menjadi P1. Akibatnya, pelaku bai’ najasy dapat

menikmati tambahan keuntungan yang juga tidak alamiah. Revenue (penerimaan) sebelum najasy dilakukan adalah sebesar P0Q0. Setelah najasy dilakukan,

penerimaan bertambah menjadi P1Q1. Tambahan penerimaan ini merupakan

penerimaan haram.

2. Rekayasa Penawaran (Ikhtikar)

Bersumber dari Said bin al-Musayyab dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidaklah orang yang melakukan Ikhtikar itu kecuali ia berdosa.”19 Ikhtikar ini seringkali diterjemahkan sebagai monopoli

dan atau penimbunan. Padahal sebenarnya ikhtikar tidak selalu identik dengan monopoli dan atau penimbunan20. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa

peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang. Yang dilarang adalah ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut monopoly’s rent.

Ketika seorang produsen menimbun barang bukan untuk persediaan melainkan hanya untuk permainan agar harga semakin meningkat, kemudian produsen akan menjual setelah harga tinggi untuk memperoleh keuntungan yang berlipat, hal ini tidak diperbolehkan sebab akan menimbulkan kesengsaraan bagi konsumen. Namun, apabila produsen menimbun barang untuk persediaan, misalkan dikarenakan cuaca yang tidak menentu yang dapat menyebabkan

19 HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud

(10)

tersendatnya distribusi barang, sehingga ketika barang tersedia cukup banyak, maka produsen langsung menimbun barang agar memiliki persediaan cukup untuk jangka waktu yang lebih lama. Hal ini diperbolehkan dalam Islam, sebab menimbun barang yang dilakukan bukan bertujuan mencari keuntungan berlipat melainkan untuk persediaan barang.

Suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar, apabila salah satu dari tiga hal di bawah ini terpenuhi: 21

1. Mengupayakan adanya kelangkan barang baik dengan cara menimbun barang atau mengenakan hambatan masuk (entry-barriers), agar barang tersebut langka di pasaran.

2. Menjual dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.

3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum tindakan (1) dan (2) dilakukan.

Pada gambar 2 di atas, bila produsen berperilaku sebagai monopolis (melakukan ikhtikar), maka ia akan memilih tingkat produksinya ketika MR = MC, dengan jumlah Q sebesar Qm, dan P sebesar Pm. Dengan demikian ia

memproduksi barang lebih sedikit, dan menjual pada harga yang lebih tinggi. keuntungan yang dinikmati adalah sebesar kotak PmXYZ. Hal inilah yang

dilarang, sebab produsen tersebut sebenarnya dapat berproduksi pada tingkat dimana permintaan sama dengan penawaran, atau ketika MC = AR. Pada tingkat ini, jumlah barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Qi, dan harganya

pun lebih murah, yakni sebesar Pi. Tentu saja keuntungan yang dihasilkan lebih

21 Ibid, h. 154

X

MC

AC

Y Pm

Z

0 Rp

Q Qm

AR = D Gambar 2

Ikhtikar

MR A

B

Qi Pi

(11)

sedikit, yakni sebesar kotak ABCD. Selisih keuntungan antara kotak PmXYZ

dengan kotak ABCD inilah yang merupakan monopoly’s rent yang diharamkan. 3. Tadlis (Penipuan)

Kondisi ideal dalam pasar adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang sama tentang barang yang akan diperjualbelikan. Apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain (assymetric information) maka, salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan/penipuan22. Al-Qur’an dengan tegas telah melarang semua

transaksi bisnis yang mengandung unsur penipuan dalam segala bentuk terhadap pihak lain. Seperti dalam surat Al-An’aam: 152

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikul beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”.

Dalam sistem Ekonomi Islam hal ini (ketimpangan informasi tentang barang yang akan diperjualbelikan) juga dilarang karena dengan adanya informasi yang tidak sama antara kedua belah pihak maka, unsur “an Tarradi Minkum” (kerelaan bersama) dilanggar. Untuk menghindari penipuan, masing-masing pihak harus mempelajari strategi pihak lain. Dalam ekonomi konvensional hal ini dikenal dengan Zero Some Game Theory.

Dalam aplikasinya Tadlis ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk yaitu: a. Tadlis kuantitas

Tadlis (penipuan) kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Misalnya menjual baju sebanyak satu kontainer. Karena jumlah banyak dan tidak mungkin untuk menghitung satu per satu, penjual berusaha melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada pembeli. Dengan menggunakan matriks, kita bisa melihat strategi kedua belah pihak:

Pembeli

Curiga Tidak curiga

Penjual Jujur 3 , -3 5 , 5

Tidak jujur 0 , -5 1 , 3

Dari matriks di atas dapat diketahui adanya strategi dominan. Apabila penjual berlaku jujur, ia akan memperoleh utilitas/kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan berlaku tidak jujur. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pilihan terbaik bagi penjual adalah bersikap “jujur”. Di sisi lain, apabila pembeli menaruh curiga kepada penjual, maka pembeli tersebut akan memperoleh utilitas negatif. Pembeli akan memperoleh utilitas positif bila tidak menaruh curiga terhadap penjual. Dengan demikian hasil akhir yang terbaik adalah penjual “jujur” dan pembeli “tidak curiga” (kanan atas).

Prilaku penjual yang tidak jujur di samping merugikan dirinya juga merugikan pihak pembeli. Apapun tindakan pembeli, penjual yang tidak jujur akan mengalami penurunan utilitas, begitu pula pembeli akan mengalami penurunan utilitas. Praktek mengurangi timbangan dan mengurangi takaran merupakan contoh klasik yang selalu digunakan untuk menerangkan penipuan kuantitas ini.

(12)

b. Tadlis kualitas

Termasuk dalam tadlis kualitas adalah menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contohnya dalam penjualan mobil bekas. Pedagang menjual mobil bekas – misalnya Toyota Kijang LGX tahun 2001, dengan harga jual sebesar Rp 108.000.000,-. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual mobil bekas dengan kondisi yang sama. Sebagian penjual menjual mobil bekas dengan kondisi yang lebih rendah tetapi menjualnya dengan harga yang sama yaitu Rp 108.000.000,-. Pembeli tidak dapat membedakan mana mobil bekas dengan kondisi rendah dan mana mobil bekas dengan kondisi yang lebih baik, hanya penjual saja yang mengetahui dengan pasti kondisi mobil bekas yang dijualnya.

Tindakan-tindakan tersebut jelas merupakan kondisi yang dilakukan salah satu atau sekelompok pihak yang melakukan transaksi sehingga harga yang diperoleh adalah bukan harga wajar melainkan adanya suatu proses pendzaliman kepada pihak lain. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam sudut pandang ekonomi Islam manakala terjadinya distorsi pasar. Apakah dapat dibenarkan adanya kebijakan tentang regulasi harga oleh pemerintah dan seperti apa regulasi itu dilakukan?

3. Regulasi Harga

Regulasi harga adalah pengaturan tehadap harga-harga barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk memenuhi kebutuhan pokoknya serta keadilan antara berbagai pihak yang melakukan transaksi.

Dalam sejarah Islam, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Sebagian orang berpendapat bahwa negara dalam Islam tidak boleh mencampuri masalah ekonomi dengan mengharuskan nilai-nilai dan moralitas atau menjatuhkan sanksi kepada orang yang melanggarnya. Mereka mempunyai pandangan seperti ini berdasarkan pada hadits Nabi SAW yang tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat itu harga melambung tinggi, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA23:

“Dari Anas bin Malik RA beliau berkata :

harga barang-barang pernah mahal pada masa Rasulullah SAW, lalu orang-orang berkata: ya Rasulullah, harga-harga menjadi mahal,

(13)

tetapkanlah standar harga untuk kami, lalu Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, yang menahan dan membagikan rizqi, dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan tidak seorangpun di antara kamu sekalian yang menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpahan darah (pembunuh) dan harta”. (Diriwayatkan oleh perawi yang lima kecuali an-Nasa’i (Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan ibnu Majah)

Berkaitan dengan hadits di atas, beberapa ulama mengemukakan pendapatnya, antara lain Ibnu Qudamah24 yang menyatakan bahwa penetapan

harga dari pandangan ekonomis mengindikasikan tidak berjalannya bentuk pengawasan atas harga. Ia berkata: “ini sangat nyata bahwa penetapan harga akan mendorongnya menjadi lebih mahal. Sebab jika para pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah dimana dia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan, para pedagang lokal akan menyembunyikan barang dagangannya dan konsumen tidak merasa puas dengan menghilangnya barang komoditi kebutuhan mereka, atau tidak mampu membeli karena harganya yang tinggi”.

Beberapa ulama yang memiliki pendapat serupa antara lain; Imam Hambali dan Imam Syafi’i. Tetapi, sejumlah ahli fiqih Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan menekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Ibnu Taimiyah menafsirkan hadits tentang penolakan regulasi harga, bahwa kasus tersebut merupakan kondisi atau kejadian yang bersifat khusus bukan merupakan kasus umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut.

Menurut Ibnu Taimiyah hadits tersebut mengungkapkan betapa Nabi SAW tidak mau ikut campur tangan dalam masalah regulasi harga-harga barang. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan harga yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan belaka. Pada saat itu pasar Madinah kekurangan

supply impor atau karena menurunnya produksi, dan hal itu terjadi bukan karena ada pedagang yang sengaja menimbun barang di pasar. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi SAW dikarenakan oleh bekerjanya mekanisme harga secara alamiah bukan karena sebab-sebab kedzaliman.

Pada kasus yang lain, dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan harga secara adil saat terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, bila dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, ia menetapkan bahwa harga yang adil dari budak itu harus dipertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan.

Kondisi kedua, terjadi saat perselisihan antara dua orang, dimana pihak pertama sebagai pemilik pohon yang sebagian pohonnya tumbuh di tanah orang

24 Ibnu Qudamah, al Mughniy ‘ala Mukhtashar al Kharqiy, Libanon-Beirut: Dar al Maktab al

(14)

lain. Pihak kedua adalah pemilik tanah yang merasa terganggu oleh pihak pertama yang keluar masuk tanpa izin ke areal tanahnya. Kemudian pemilik tanah melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul memutuskan agar pemilik pohon memilih diantara dua hal, yaitu menyerahkan pohon tersebut kepada pemilik tanah secara sukarela atau menjual pohonnya kepada pemilik tanah dengan menerima ganti rugi atau kompensasi yang adil.

Pada kasus ini tampak jelas bahwa dalam hal penyerahan barang secara sukarela sulit untuk dilaksanakan, maka penjualan barang kepada pembeli yang sangat membutuhkan bisa dilakukan dengan cara dipaksa oleh pihak yang berwenang. Intervensi yang dilakukan Rasulullah SAW merupakan tindakan yang perlu diambil untuk menghindari timbulnya resistensi bagi pemilik tanah. Pemilik tanah adalah pihak yang akan menanggung kerugian jika intervensi itu tidak dilakukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam berbagai situasi dan kondisi Rasulullah SAW pernah melakukan penetapan harga.

Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe pengaturan (regulasi) harga, yaitu regulasi harga yang tidak adil diantaranya pengaturan yang termasuk kezaliman, dan regulasi yang adil dan dibolehkan. Jika pengaturan/penetapan harga yang dilakukan pemerintah terdapat unsur kezaliman (ketidakadilan) terhadap manusia dan bersifat memaksa tanpa hak untuk menjual barang yang disukainya atau melarang mereka dari yang Allah telah bolehkan, maka haram hukumnya. Namun jika penetapan harga tersebut mengandung keadilan antar manusia untuk bertransaksi jual-beli dengan harga standar yang normal dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan Allah untuk mengambil tambahan di atas harga normal maka hal ini diperbolehkan25.

Pada kondisi terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi, perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.

Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan, tentang hal ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, ”pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual-beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya.” Jadi keseluruhannya harus sepakat tentang hal itu.

Dalam kitabnya al-Hisbah penetapan harga diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu dengan harga yang detetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam menghadapi manipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar. Kebijakan ini

25 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dalam Perekonomian Islam, Didin Hafidudin (Penterjemah),

(15)

sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha mikro dari kehancuran.

Kritik Islam terhadap Konsep Pasar dalam Pandangan Kapitalisme Sistem pasar bebas yang bertumpu pada doktrin laissez-faires dengan paradigma invisible hand yang berprinsip bahwa ekonomi dalam jangka panjang akan selalu ada pada kondisi keseimbangan, telah banyak dikritik karena tidak menciptakan suasana pasar yang seimbang dan adil, bukan saja oleh pakar Ekonomi Islam tapi juga pakar konvensional. Kritik yang sangat terkenal adalah kritik yang berasal dari Jhon Maynard Keynes yang dikutip dalam buku Ali Sakti, mempertanyakan apa yang dimaksud “jangka panjang” itu, dengan menegaskan (atas asumsi dan definisinya sendiri tentang jangka panjang) bahwa "In the long run we are all dead".26 Bahkan para penyokong pemikir klasik (yang mengusung

prinsip invisible hand/laissez-faires), Samuelson dan Nordhaus (1992) mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia senantiasa jatuh ke tangan orang yang paling mampu membelinya, bukan ke tangan orang yang paling

membutuhkannya. Ini merupakan konsekuensi dari pasar bebas, sehingga diperlukan campur tangan eksternal (kebijakan ekonomi) dalam menekan kecenderungan yang disebabkan oleh laissez- faires.27

Pendapat Sri Edi Swasono dalam bukunya Daulat Rakyat versus Daulat Pasar dinyatakan bahwa pasar adalah suatu mekanisme lelangan belaka, yang kuat (memiliki dana) akan memenangkan lelang. Bagi yang tidak memiliki kekuatan dana akan dikalahkan atau hanya akan menjadi penonton dan berada di luar pagar transaksi ekonomi.28 Lebih lanjut dikatakannya, teori pasar dibangun

oleh Adam Smith melalui hubungan silogisme sebagai berikut: bahwa

perekonomian akan efisien bila ada persaingan bebas, selanjutnya persaingan-bebas akan menuntut pasar-persaingan-bebas sebagai wadah-nya. Dengan asumsi logis bahwa ada informasi sepenuhnya tentang pasar (perfect information)29. Pasar,

26 Ali Sakti, Analitis Teoritis Ekonomi Islam, h. 328. Lihat juga Heilbroner, The Wordly Philosophers, (New York: A Touchstone Book, 1980). lihat Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, h. 42.

27 Heilbroner, The Wordly Philosophers, (New York: A Touchstone Book, 1980). Lihat

Deliarnov, Perkembangan PemikiranEkonomi (Jakarta: Rajawali Pers, 1995) h. 42.

28 Sri Edi Swasono, Menegakan Ideologi Pancasila: Daulat Rakyat versus Daulat Pasar

(Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2005), h. 15.

29 Menurut Swasono, asumsi logis perfect information ini sama sekali tidak realistis. Secara

teoretikal (bukan empirikal) pasar-bebas global bisa mendorong efisiensi ekonomi global, tetapi mengapa Selatan harus membayar lebih tinggi dan berkorban lebih banyak bagi efisiensi Utara? Persaingan-bebas yang sempurna tidak akan pernah ada, sehingga pasar-bebas pun tidak akan pernah ada. Yang ada justru distorsi-distorsi pasar yang dilakukan demi kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik, mengandung insting-insting predatori dan hegemonic, baik yang bersifat laten maupun yang poten, penuh firqoh. Contoh-contoh konkret seperti peperangan (dengan segala bentuk dan derivatnya), pertarungan, clash of civilizations (secara terbuka atau terselubung), egoisme nasional dll, tidak akan memungkinkan adanya persaingan yang bebas dan

(16)

menurut Adam Smith diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan ajaib (an invisible hand). Ini

merupakan penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia. Liberalisme dan individualisme adalah ruh dari sistem ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme.

Persaingan-bebas (perfect information) dan pasar-bebas (free-market) menurut Smithian akan menjamin optimasi manfaat, yakni efisiensi ekonomi. Oleh karena itu menurut kaum fundamentalis pasar30 kebebasan individual

haruslah sepenuh-penuhnya (perfect individual liberty) untuk dapat mengoptimalkan pamrih pribadi (self-interest) yang menjadi dasar akhlak

manusia ekonomi (konvensional, pent.). Itulah sebabnya ideologi ekonomi pasar-bebas yang berdasarkan stelsel laissez faire menolak subsidi dan proteksi. Subsidi dan proteksi dalam kebebasan berkompetisi oleh kaum fundamentalis pasar (market fundamentalism)/kaum Smithian diposisikan sebagai pemborosan atau

inefficiency, yang tentu ditentang sehebat-hebatnya oleh kaum strukturalis. Ideologi pasar-bebas menempatkan subsidi dan proteksi sebagai filantropi, bukan sebagai hak sosial dan hak demokrasi ekonomi masyarakat. Ideologi ini tidak mampu melihat subsidi dan proteksi sebagai human investment bagi yang menerimanya, atau sebagai empowerment insani bagi si lemah, apalagi sebagai tuntutan moral dalam berkehidupan ekonomi. Kaum fundamentalis pasar kampus secara langsung atau instingtif “terlibat” dalam academic moral irresponsibility,

menghidupkan penyanjung materialisme.31 Tuntutan ekonomi tidak saja tentang

keadilan sosial, tetapi juga kesejahteraan bagi generasi mendatang32. Terlebih lagi

ketika sistem pasar harus menanggung beban yang disebabkan oleh mekanisme bunga (interest rate), dimana terjadi kecenderungan yang kuat penumpukan harta khususnya uang (money concentration) pada sekelompok pelaku ekonomi. Kecenderungan ini kemudian tentu mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara keseluruhan. Jurang ketimpangan antara sektor riil dan moneter semakin

membuktikan kekacauan teori yang menjadi asumsi dalam model ekonomi konvensional. Ekonomi konvensional mendefinisikan keseimbangan ekonomi (General Equilibrium) dengan mengasumsikan tingkat bunga dan output sebagai variabel parameternya, sehingga bunga ditempatkan sebagai variabel sentral dalam penentuan kebijakan-kebijakan ekonomi menuju pada kondisi

30 Kaum neoliberalis fundamentalis pasar Indonesia secara sadar atau tidak berusaha

menjual kedaulatan dan ideologi Negara demi kepentingan ekonomi sempit ala pasar-bebas. Caranya antara lain dengan mempersiapkan berbagai RUU untuk menolak Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan basis paham demokrasi ekonomi, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, yang dikandung dalam Pancasila. Bahkan ada yang berhasil menjadi UU (yakni UU Ketenagalistrikan dan UU Migas). Kedua UU ini sarat memangku neoliberalisme, alat pelaksanaan liberalisasi dan privatisasi (dan “asingisasi”), jelas secara sistematis akan meminggirkan dan meruntuhkan perekonomian nasional.

31 Thurow, Lester C., The Dangerous Currents: The State of Economics (New York:

Random House, 1983).

32 Stiglizt, Joseph E., The Roaring Nineties: Seeds of Destruction (London: Allen Lane,

(17)

keseimbangan.33 Meskipun dari perspektif kebijakan ada sebagian kelompok

(madzhab) pakar ekonomi konvensional mengungkapkan bahwa keseimbangan dan kemajuan ekonomi yang efektif akan dapat dilakukan melalui pengelolaan variabel uang beredar secara tepat, namun tetap saja mereka sepakat bahwa bunga memiliki kekuatan dominan dalam perekonomian.

Diakui bahwa keseimbangan pasar direfleksikan oleh pergerakan harga dari semua obyek yang ditransaksikan dalam pasar tersebut. Hal ini berarti harga merepresentasikan keseimbangan tersebut. Namun dalam Islam, lebih dari itu juga memperhatikan aspek lainnya, yakni jenis transaksi yang dilakukan dan barang yang ditransaksikan. Ada berbagai bentuk transaksi yang tidak

diperkenankan dalam Islam, yaitu transaksi yang berunsur riba (termasuk bunga bank), melakukan spekulasi, dan transaksi terhadap sesuatu yang diharamkan seperti daging babi (atau binatang yang disembelih tidak atas nama Allah), khamar dan lain-lain. Struktur pasar ditentukan oleh kerja sama yang adil.

Keterlibatan pemerintah dalam pasar hanyalah pada saat tertentu atau bersifat temporer. Sistem ekonomi Islam menganggap Islam sebagai sesuatu yang ada di pasar bersama-sama dengan unit-unit elektronik lainnya berdasarkan landasan yang tetap dan stabil. Ia dianggap sebagai perencana, pengawas, produsen dan juga sebagai konsumen.34Yang dimaksud “aturan-aturan

permainan” ekonomi Islam adalah perangkat perintah dan aturan sosial, politik, agama, moral dan hukum yang mengikat masyarakat. Lembaga-lembaga sosial disusun sedemikian rupa untuk mengarahkan individu-individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan ini dan mengontrol serta mengawasi penampilan ini. Berlakunya aturan-aturan ini membentuk lingkungan di mana para individu melakukan kegiatan ekonomik. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungan dengan Kekuatan

Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia.35

Dengan karakteristik tersebut di atas keseimbangan ekonomi Islam memiliki sesuatu yang berbeda dengan keseimbangan ekonomi yang dikenal dalam dunia ekonomi konvensional. Absensi barang-barang yang diharamkan oleh Islam mungkin tidak mengubah wajah perekonomian Islam secara

siginifikan namun, pelarangan riba dalam perekonomian dan transaksi-transaksi yang mengandung judi dan spekulasi serta kewajiban menjalankan sistem zakat, menjadikan mekanisme pasar dalam Islam termasuk indikator-indikator

keseimbangannya menjadi berbeda dengan apa yang ada dalam ekonomi konvensional.

Kesimpulan

33 Ali Sakti, Analitis Teoritis Ekonomi Islam, h. 329.

34 Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic

Economic System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978), h. 22. Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, Gramata, 2008.

35Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic

(18)

Gambar

Gambar 1.Ba’i Najasy (Distorsi Permintaan)
Gambar 2Ikhtikar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil prediksi nilai erosi dan sedimentasi DTA Cipopokol dengan menggunakan model hidrologi ANSWERS dari kejadian hujan tanggal 8 Januari 2005 dengan intensitas 46,70

Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal

Dengan mengambil kasus pada masyarakat Kelurahan Paccerakkang, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sampel, serta melalui penggunaan

Pada sampel BG I, BG II, dan BG IV merupakan matriks bioactive glass dengan fasa yang sama yaitu amorf dan variasi massa yang berbeda maka semakin banyak massa

mana yang lebih baik antara latihan mengoper bola ke tembok dan berpasangan terhadap keterampilan chest pass bola basket pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 1

Kesulitan melihat adalah seseorang walaupun sudah menggunakan kacamata masih mengalami kesulitan atau gangguan melihat apabila jarak minimal 30 cm dan dengan

22  Menjelaskan tentang konsep kerentanan ekonomi, faktor-faktor yang diperhitungkan dalam kerentanan erkonomi  Memahami kerentanan ekonomi dalam kaitannya dengan

Pak Parji, selaku Kepala Personalia Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, dan Bu Sapti, selaku Kepala Bank Darah Rumah Sakit di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, penulis