• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABDI DALEM PENGHULU PADA MASAPEMERINTAHAN PAKU BUWANA X KERATON KASUNANAN SURAKARTA (1893-1939)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ABDI DALEM PENGHULU PADA MASAPEMERINTAHAN PAKU BUWANA X KERATON KASUNANAN SURAKARTA (1893-1939)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

ABDI DALEM PENGHULU PADA MASAPEMERINTAHAN

PAKU BUWANA X KERATON KASUNANAN SURAKARTA

(1893-1939)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

YENI DWI AYU PARAMITA

C.0507053

JURUSAN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(3)

commit to user

(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(5)

commit to user

v MOTTO

“ Inna maal usri yusraa”

(sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan)

(Q.S. Al- Insyirah: 6)

“ Bisa o rumangsa, aja rumangsa bisa ”

(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan untuk :

 Ayah dan Ibu tercinta

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dorongan, bimbingan, maupun pengarahan yang diberikan. Untuk itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa beserta jajarannya yang telah memperlancar dan mempermudah studi penulis sampai selesainya skripsi ini.

2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan sebagai Pembimbing Akademis yang telah mencurahkan segenap pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis.

3. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan sebagai pembimbing Skripsi yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Segenap Dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

5. Kepala beserta staf Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Sasana Pustoko Kasunanan dan Rekso Pustoko Mangkunegaran.

(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

7. Buat Belda teman seperjuanganku, terima kasih atas nasehat dan saran-sarannya. 8. Sahabat-sahabat Historia 2007, Yanuar, Lita, Dian, Dewi, Lilik, Ike, Siti, Eko, Herfi,

Nico, Efendi, Hasan, Anggawan, Dalhar, Fuad, Joyo, Seno, Akbar, Wisnu, Langgeng, Agung, Drajat, Bendi, terima kasih untuk persahabatan dan kekeluargaan kita. 9. Buat mas Doni, mbak Sinta, mas Taufiq, dan kakak-kakak tingkat yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu terimakasih untuk dukungan dan do’a-nya.

10. Teman-teman kost Gedung Putih, Icha untuk pelajaran make up nya, Loli buat kopi Lampungnya, Rosika, Nastiti, Agnes, Indri dan Ratna terima kasih atas dukungan kalian semua.

11. Semua pihak yang telah membantu, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran maupun kritik yang membangun, guna menyempurnakan penulisan-penulisan serupa di masa yang akan datang.

Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.

Surakarta, September 2012

(9)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN... ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II STRUKTUR BIROKRASI DI KASUNANAN PADA MASA PAKU BUWANA X (1893-1939) A. Gambaran Umum Keraton Kasunanan Surakarta ... ... 15

B. Struktur Sosial Masyarakat Surakarta……… ... 18

C. Struktur Birokrasi Keraton Kasunanan ... 19

1. Sistem Peradilan ... 29

2. Gelar Jabatan atau Kepangkatan ... 30

D. Raja Sebagai Kepala Urusan Keagamaan Kerajaan ... 34

BAB III KEHIDUPAN KE-ISLAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU BUWANA X (1893-1939) A. Interaksi Antara Islam dan Jawa…………. ... 39

B. Organisasi-organisasi Islam di Surakarta pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) ... 41

1.Sarekat Islam (SI) ... 43

2.Muhammadiyah ... 50

3.Sarekat Ngrukti Sawa ... 57

(11)

commit to user

xi

BAB IV DINAMIKA KEHIDUPAN ABDI DALEM PENGHULU

A. Awal Munculnya Ulama dalam Kekuasaan Tradisional Jawa ... 69

B. Peran Ulama dalam Kekuasaan Tradisional Jawa…………. ... 71

C. Kehidupan Abdi Dalem Penghulu ... 75

1. Jabatan Penghulu Bagi Landraad ... 79

2. Penghulu Sebagai Simbol Kerajaan Islam ... 84

D. Tugas Abdi Dalem Penghulu ... 88

E. Peran Abdi Dalem Penghulu ... 96

1. Abdi Dalem Penghulu Sebagai Kepala Keagamaan ... 96

2. Penghulu Sebagai Pemimpin Masjid ... 101

BAB V KESIMPULAN ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Struktur Birokrasi masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939)………. 25

Bagan 2 Struktur Birokrasi Raja Sebagai Kepala Urusan Keagamaan di Kasunanan Masa Paku Buwana X (1893-1939)………. 35

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Abangan : Penganut Islam yang bercampur unsur Hindu-budha

Afdeling : wilayah bagian

AMS : Algemene Meidelbare School

Anggaduh : Tanah pinjaman sementara

Centraal comite : Komite Sentral/ pusat

District : Daerah pemerintahan kota

ELS : Europeesche Lagere School

Fasakh : Pembatalan nikah sesuai syariat

Gouvernment besluit : Keputusan Pemerintah

HBS : Hooger Burger School

Kejawen : Mengandung unsur Jawa

Khuluk : Tebus talak

Krobongan : Kamar pribadi raja

Landraad : Pengadilan agama

Mu’adzin : Orang yang mengumandangkan adzan

MULO : Meer Uitgebreit Lagere Onderwijs

(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

Mutangalim : Siswa Mamba’ul Ulum

Normal school : Sekolah latihan guru bumiputera

Onderdistrict : Daerah yang sudah tidak termasuk dalam pemerintahan kota

Pangulu : Ulama abdi dalem

Prabasuyasa :Sebuah bangunan terletak di belakang Sasana Sewaka

Priesterraad : Dewan Imam,

Recht persoon : Korporasi, badan hukum

Rijksbestuurder : yang memerintah negara

Sahadah : Setingkat Diploma

Sitinggil : Pendhopo besar

Staatsblad van : Lembaran Negara Hindia Belanda

Nederlandsh-Indie

Surambi : Pengadilan pada masa PB X

Suwita : mengabdi, menghamba

Talak : Pernyataan cerai secara lisan

Tapsiranom : Penghulu Tertinggi

(15)

commit to user

xv Voorzitter : Ketua, pemimpin

Vorstenlanden : Tanah raja-raja

Vrijtmetselari : Freemasonry, Gerakan Freemason

(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pembukaan Konggres Muhammadiyah yang diselenggarakan di Alun-alun Selatan

Solo tahun 1935 ……… 56

Gambar 2 Paku Buwana X bersama Permaisuri Ratu Emas, menghadiri peringatan Maulud Nabi tahun 1924 M

di Masjid Agung Surakarta ... ... 62

Gambar 3 Foto Masjid Cipto Mulyo di Kecamatan Pengging

Kabupaten Boyolali... 67

Gambar 4 Foto Masjid Hastana di Kartasura sebagai

peninggalan PB X... 68

Gambar 5 KKP Tabsir Anam V, diangkat menjadi Penghulu Landraad tanggal 7 Januari 1903... 96

Gambar 6 Para pendiri dan staf pengajar Mamba’ul Ulum

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xviii

ABSTRAK

Yeni Dwi Ayu Paramita. C.0507053. 2012. Abdi Dalem Penghulu Pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939). Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul Abdi Dalem Penghulu Pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Struktur birokrasi di Keraton Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939), (2) Kehidupan ke-Islaman di Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939), dan (3) Tugas dan peran Abdi Dalem Penghulu Keraton Kasunanan Surakarta pada masa Paku Buwana X.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan teknik pengumpulan data dengan metode studi dokumen atau arsip dan studi pustaka. Data yang diperoleh dikritik baik secara intern maupun ekstern sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut kemudiaan diinterpretasikan dan disusun dalam sebuah historiografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Surakarta yang merupakan bagian dari Vorstenlanden dimana memiliki karakter plural memberikan konsekuansi sosial budaya, ekonomi, politik dan agama bagi para penghuninya. Adanya tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda salah satunya melalui Kristenisasi ini mendorong para pemuka agama untuk menggalang persatuan di kalangan masyarakat Islam yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah dan Sarekat Ngruktisawa.

Kasunanan sebagai kerajaan yang bernafaskan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan Penghulu pada birokrasi kerajaan. Penghulu yang merupakan kepanjangan lidah dan tangan raja, diberi kekuasaan untuk mengatur segala tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, agar sesuai dengan ajaran hidup Islam yang baik dan benar. Mendidik para generasi penerusnya agar lebih baik secara Islami melalui pesantren atau sekolah-sekolah Islam yang didirikan di lingkungan sekitar Keraton.

(19)

commit to user

xix

(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Pebruari 1755,

kerajaan Mataram dipecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat

dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Hal ini menjadikan Kasunanan Surakarta

mengalami penurunan kewibawaan karena munculnya kerajaan baru, karena

menurut konsep kerajaan tradisional Jawa, keraton ditempatkan sebagai pusat

peradaban. Munculnya keraton baru akan menjadi ancaman bagi keraton lama.

Walaupun secara resmi tetap berstatus “Vorstenlanden” (Wilayah Raja, nama

yang resmi diberikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda), namun dengan adanya

perjanjian kerajaan-kerajaan ini terikat pada yang dipertuannya.1 Hal itu

menunjukkan bahwa penetrasi dari pemerintahan Hindia Belanda sedemikian

kuatnya terhadap permasalahan intern keraton yang juga menjadi penyebab

turunnya kewibawaan keraton. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya

Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 yang pada intinya berisi tentang “Mataram

terpecah lagi menjadi empat kerajaan kecil: Surakarta, Yogyakarta,

Mangkunegaran dan kemudian Pakualaman (1813)”.2

1

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina- Negara di Jawa Masa

Lampau: Studi tentang masa Mataram II, abad XVI sampai XIX, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm.10.

2

(21)

commit to user

Masyarakat atau komunitas di keraton Surakarta tersusun secara hierarki

dan secara tradisional dalam tiga kelompok sosial, yaitu:

1. Raja dan keluarga raja (sentana dalem);

2. Pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem);

3. Rakyat biasa (rakyat dalem).

Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu, diperlukan

dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan

darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang hierarki birokrasi.

Seseorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan

elite. Mereka yang diluar golongan itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan. Para

pejabat pemerintahan dari tingkatan tertinggi sampai ke tingkat terendah oleh raja

diberlakukan sesuatu aturan yang dapat membedakan tinggi rendahnya status

seseorang, yaitu digunakannya lambang-lambang status dari masing-masing

kelompok sosial tersebut seperti: rumah tempat tinggal, pakaian, tanda

kehormatan, gelar (kebangsawanan dan jabatan), lingkungan tempat tinggal,

pekerjaan, bahasa yang digunakan dan penghasilan yang bersangkutan. Latar

belakang penggunaan lambang status tersebut ialah tuntutan kesetiaan dari raja.3

Pemakaian gelar susuhunan dipakai oleh raja-raja Surakarta, ditambah

dengan predikat panatagama di belakang nama, sedangkan raja-raja Yogyakarta

memakai gelar sultan, ditambah dengan predikat kalifatullah. Demikian sebutan

bagi raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng

Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdur Rahman Sayidin

3

(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Panatagama. Dari nama gelar atau sebutan yang disandang raja tampak bahwa

kekuatan raja mencakup unsur pemerintahan, militer dan agama. Sehingga

menempatkan kedudukan seorang raja dalam status sosial yang tinggi dalam

kerajaan.4

Kasunanan Surakarta sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram telah

menggunkan hukum Islam sebagai dasar hukum dalam bermasyarakat dan

bernegara. Ideologi dan agama merupakan aspek penting yang tidak dapat

dipisahkan dari kerajaan tradisional. Pada kerajaan tradisional, ideologi berfungsi

khusus sebagai sesuatu yang datang dari atas untuk masyarakat. Ideologi dalam

kerajaan tradisional mempunyai aspek mengikat lapisan “bawah” (masyarakat dan

golongan-golongannya) dengan lapisan “atas” (raja) dan berkisar pada raja, tahta,

dan kraton.5

Faham mistik yang berintikan konsep manunggaling kawulo-gusti

memang dapat dimanfaatkan bagi pembinaan wibawa raja dan keluarga istana.

Norma-norma kesetiaan rakyat kepada sang raja dan pengagungan keluarga istana

amat ditekankan. Maka hasil-hasil kesusastraan dan kebudayaan istana merupakan

jembatan rohani untuk memelihara wibawa dan pengaruh istana kepada

rakyatnya, sesudah kekuasaan politik diramapas oleh Belanda.6

Dasar pemerintahan raja-raja Jawa, khususnya mulai abad 16 walaupun

tidak mutlak selalu menggunakan sistem pemerintahan Islam, model

(23)

commit to user

kepemimpinan raja-raja tersebut selalu memakai kaidah-kaidah Islam sebagai visi

pokok dasar pemerintahannya.

Dalam proses perkembangan Islam di Jawa, sebenarnya tidak lepas dari

peranan kerajaan-kerajaan Jawa mulai dari periode kerajaan Demak, Mataram dan

Kartasura. Model pemerintahan yang dianut adalah monarki, namun dari sisi lain

praktek-praktek pemerintahannya justru memakai sistem politik Islam.

Sebagai suatu negara kerajaan, keraton Kasunanan Surakarta memiliki

stuktur birokrasi yang tersusun atas beberapa lembaga diantaranya adalah lembaga

peradilan keraton. Secara kelembagaan, peradilan keraton yang merupakan bagian

dari struktur birokrasi memberikan kontribusi dalam upaya menegakkan hukum,

menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkungan keraton. Selain itu, peradilan

keraton adalah lembaga penegak hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran

dan kejahatan.7 Semua penduduk di wilayah Kasunanan Surakarta, dalam masalah

peradilan apabila diketahui melanggar undang-undang yang berlaku, akan diadili

oleh pengadilan Kasunanan sendiri.8

Terdapat dua pengadilan tertua di Kasunanan yaitu pengadilan Pradata dan

pengadilan Surambi. Pengadilan Pradata sebelum masa Kartasura, Pengadilan

Pradata Kerajaan Mataram hanya berwenang menyelesaikan dan memutuskan

perkara kriminil, misalnya pembunuhan dan kejahatan yang sejenis. Dalam

perkembangan selanjutnya, akibat pengaruh sistem administrasi Kolonial Belanda,

7

Dwi Ratna, Op.cit,hlm. 164.

8

(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

beberapa perkara sipil dijadikan perkara kriminal misalnya: menyamun,

membakar rumah, mencuri dan sebagainya.

Pengadilan Surambi, lembaga ini sudah ada sejak jaman Kartasura.

Kekuasaan Pengadilan Surambi yang dipimpin oleh Penghulu ini sangat besar.

Selain menangani masalah persengketaan keluarga, masalah warisan, pernikahan,

perceraian, gana-gini, wasiyat dan juga diberi tugas memutuskan segala perkara

dari pengadilan Pradata dan Pengadilan Bale Mangu yang tidak dapat

diselesaikan.

Ibadah dan keyakinan Islam menurut alur tradisional yaitu penekanannya

pada ibadah ritual yang telah ditentukan pada tingkah laku eksternal yang sejalan

dengan kewajiban agama yang sifatnya elementar.9 Dalam sejarah Indonesia

Islam memang telah menciptakan masyarakat-masyarakat dengan cara tradisi

Islam yang berbeda-beda dan bentuk struktur sosial yang tidak sama. Proses

perkembangan Islam di Indonesia tidak terlepas dari peranan kalangan pemuka

agama (ulama) dengan karismanya yang mampu memobilisasi umat melalui

organisasi-organisasi keagamaan.

Dikarenakan sebagian besar pemimpin keraton beragama Islam maka

proses Islamisasi melalui kerajaan menjadi sebuah landasan bahwa penerimaan

Islam melalui golongan raja-raja atau bangsawan telah memungkinkan proses

Islamisasi lebih cepat melalui golongan bawah, karena masyarakat Indonesia

khususnya Jawa, menganggap raja sebagai golongan yang karismatik. Raja

sebagai penguasa atau pemimpin negara memiliki wewenang untuk melakukan

9

(25)

commit to user

tindakan-tindakan demi kepentingan pribadi dan rakyatnya. Kekuasaan raja

mencakup semua aspek kehidupan, ibaratnya hanya raja yang memberi anugerah

kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran. Oleh karenanya, pejabat dan

rakyatnya harus patuh tanpa syarat bila ingin mendapatkan kemuliaan hidup.

Masyarakat lebih percaya dan mengikuti beberapa kebijakan yang dikeluarkan

raja, berkaitan dengan hal ini bahwa untuk mengeluarkan suatu kebijakan tentang

urusan keagamaan raja selalu meminta nasehat dan dibantu oleh seorang

penghulu, dimana peranan seorang penghulu sebagai penasehat raja yang

mengatur urusan keagamaan.

Di lingkungan masyarakat agraris terdapat hubungan yang erat antara

masyarakat dan para ulama, golongan ulama sebagai alat birokrasi kerajaan atau

tradisional. Ulama birokrasi mempunyai sebuah peranan yang bertugas pada

upacara dan kegiatan urusan keagamaan di dalam keraton, seperti pernikahan

keluarga raja,urusan tempat ibadah dan makam, di samping itu sebagai pemberi

fatwa tentang hukum-hukum agama. Ulama juga disebut abdi dalem pemerintah

di bawah kepemimpinan penghulu keraton.

Penghulu mempunyai arti sebagai kepanjangan tangan dan lidah raja.

Pemimpin panatagama dan sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan

dengan syariat agama Islam yang patut ditiru dan ditauladani bagi seluruh rakyat

kerajaan. Dalam urusan agama penghulu memegang peranan penting saat itu, hal

ini dikarenakan untuk membangkitkan dan mengembangkan kehidupan beragama

(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Penelitian ini berusaha mengkaji “Peran Abdi Dalem Penghulu Pada

Masa Pemerintahan Paku Buwana X”. Abdi dalem penghulu sebagai ulama di

dalam Keraton Kasunanan Surakarta memiliki tugas dan peran yang penting di

dalam Keraton Kasunanan. Dari permasalahan tersebut maka banyak yang harus

diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah:

1. Bagaimana struktur birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta masa

Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939)?

2. Bagaimana kehidupan ke-Islaman pada masa pemerintahan Paku Buwana

X (1893-1939)?

3. Bagaimana dinamika kehidupan abdi dalem Penghulu Keraton Kasunanan

Surakarta masa Paku Buwana X (1893-1939)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui struktur birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta masa

Paku Buwana X (1893-1939).

2. Untuk mengetahui kehidupan ke-Islaman pada masa pemerintahan Paku

Buwana X (1893-1939).

3. Untuk mengetahui dinamika abdi dalem Penghulu Keraton Kasunanan

(27)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai tugas dan peran abdi dalem penghulu masa Paku Buwana X di Keraton

Kasunanan Surakarta. Selain itu juga diharapkan mampu menjadi sebuah

referensi, dapat menjadi sumber pertimbangan bagi institusi yang bersangkutan

dan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat pada umumnya.

E. Kajian Pustaka

Dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini memerlukan beberapa

sumber-sumber yang berupa buku atau hasil penulisan sejarah yang sejenis.

Soemarsaid Moertono dalam bukunya yang berjudul Negara dan Usaha

Bina-Negara di Jawa Masa Lampau (1985), buku ini menjelaskan mengenai

kedudukan raja dan seni bina negara dari segi magis-religius (identifikasi

dewa-raja). Dalam salah satu babnya menjelaskan mengenai siapa dan bagaimana abdi

dalem raja itu. Kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan keraton diisi oleh para

pejabat yang dikenal dengan sebutan abdi dalem atau abdi raja. Mereka adalah

para birokrat kerajaan yang bertugas melaksanakan jalannya pemerintahan atas

perintah raja atau Sunan. Sejak dahulu para pejabat kerajaan ini mulai yang paling

rendah tingkatannya sampai yang paling tinggi pelan-pelan menjadi satu lapisan

sosial yang mempunyai seperangkat keyakinan dan nilai tersendiri. Dalam

masyarkat kerajaan, elite penguasa digolongkan dalam dua kelompok, yaitu

golongan yan memang berdarah bangsawan dan kaum bangsawan karena

jabatannya dalam pemerintahan. Jadi dapat dikatakan bahwa kelompok elite

(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Darsiti Soeratman dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia

Kraton Surakarta 1830-1939 (2000), menjelaskan aktifitas kehidupan dan tradisi

lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta yang nampak lekat dengan pandangan

hidup masyarakat Jawa. Selain itu juga menguraikan tentang aspek religius dari

keraton yang pada dasarnya menganut ajaran islam kejawen, proses ataupun tata

cara penobatan raja, pembagian warisan antar kerabat keraton, sistem pendidikan

yang lebih menampakkan budaya Jawa dan berbagai macam upacara adat yang

bernuansa sakral magis.

Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula:

Surakarta 1900-1915 (2004) menjelaskan bagaimana kesetiaan priyayi pada

rajanya. Kepriyayian dimulai dengan suwita pada priyayi tinggi kemudian

magang pada salah satu profesi. Kemudian baru diwisuda menjadi priyayi

sungguhan yang merupakan kehormatan bagi seseorang. Maka mata rantai

kepriyayian yang bergerak di bawah ke atas itu menjadikan politik bagi priyayi

adalah patron-client-politics. Politik ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja

dalam pemerintahan maupun priyayi yang berkerja sebagai karyawan keraton.

Stratifikasi priyayi yang diungkapkan dalam berbagai simbol seperti jumlah

sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk waktu menghadap raja. Priyayi

mempunyai pandangan dunia yang disebut dengan political mysticism. Bagi

seorang priyayi menunggu perintah raja dengan berjaga di keraton sama

kualitasnya dengan bertapa, dan mati di bawah kaki raja adalah mati mulia yang

(29)

commit to user

Ma’mun Pusponegoro dalam bukunya Kauman: Religi, Tradisi dan Seni

(2007), menggambarkan adanya kelompok kampng Mutihan yang merupakan

tempat tinggal para Ulama keraton, serta memberi pengaruh pada lingkungan

masyarakat disekitar keraton mulai dari religi, tradisi dan seni.

Skripsi dari Sugiarti yang berjudul Pengadilan Surambi di Kasunanan

Surakarta Pasca Palihan Nagari (2004), menjelaskan tentang sistem peradilan di

Kasunanan Surakarta yang banyak mengalami perubahan sejak menguatnya

penetrasi sistem kompeni yang semakin intensif. Adanya reorganisasi sistem

pengadilan yang dilakukan secara bertahap oleh Kumpeni. Hal itu menyebabkan

kebijaksanaan Sunan banyak dipengaruhi oleh Kumpeni. Namun demikian

legitimasi Sunan masih tetap terjaga di mata rakyatnya. Meskipun sistem

peradilan di Kasunanan sudah menggunakan sistem peradilan barat, bukan berarti

seluruh sistem dan tata cara peradilan mengalami perubahan total.

Nur Lufika Muhiba Fatatik dalam skripsinya yang berjudul Peranan

Penghulu Mangkunegaran pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII Tahun

1916-1944 (2008) menjelaskan mengenai jabatan penghulu yang sudah ada sejak

berabad-abad, tetapi perkembangannya yang sempurna baru terjadi pada abad 19

dan 20. Jabatan keagamaan pada kekuasaan tradisional, jabatan yang tertinggi

yang mengurus soal-soal keagamaan adalah penghulu. Tugas utama seorang

penghulu yaitu mengadili soal-soal agama menurut hukum islam, selain itu juga

bertugas sebagai mufti (orang yang memberi penerangan tentang hukum agama),

sebagai kepala masjid, mengatur masalah peribadatan, mengurus dan mencatat

(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau.10 Penelitian yang

dilakukan adalah dengan menggunakan metode sejarah kritis. Langkah-langkah

itu dibagi dalam beberapa tahapan. Pertama dengan heuristik, yaitu pengumpulan

data-data yang diperlukan dalam penelitian. Data-data yang digunakan berupa

sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer berupa arsip. Studi

Dokumen diperoleh dari Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran dan

Perpustakaan Yogyakarta. Dokumen ataupun arsip yang diperoleh dari kedua

tempat tersebut adalah beberapa arsip tentang tugas dan peran abdi dalem

penghulu dan birokrasi pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta pada masa

pemerintah Paku Buwana X (1893-1939), seperti : Bundel tentang Kenaiban No.

2 L, Staatblad tahun 1905 No. 550 koleksi Reksapustaka Mangkunegaran

mengenai tugas penghulu sebagai pengawas dalam pendidikan agama, arsip

pranatan-prananatan bab pangulu (211 Ca SMP-KS/247) koleksi Sasana

Pustaka Kasunanan Surakarta, Susunan dan pembatasan kekuasaan Raad Agama

1938 No. 4729/48, wewaton wawarah shalat No. DI.44 yang berisi tentang

tatacara shalat, waktu shalat dan do’a serta salawat yang digunakan.

Studi Pustaka dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur

untuk dijadikan referensi dalam pembuatan skripsi ini. Studi Pustaka dilakukan di

Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan FSSR UNS, Monumen Pers Surakarta,

10

(31)

commit to user

Perpustakaan Yogyakarta, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran dan dari

situs-situs internet yang berkaitan.

Tahapan kedua adalah tahap kritik sumber yaitu tahapan pengolahan data

yang telah berhasil dikumpulkan, baik dengan kritik intern maupun kritik ekstern.

Kritik Intern dilakukan untuk mencari keaslian isi data, sedangkan kritik ekstern

bertujuan untuk mencari keaslian sumber. Kritik sumber ini dimaksudkan untuk

mencari keotentikan sumber sehingga akan diperoleh data yang benar-benar

valid.11

Proses selanjutnya adalah tahap interpretasi atau tahapan penafsiran

terhadap data yang telah dianalisis dalam tahap kritik. Dalam tahap ini dilakukan

penafsiran-penafsiran terhadap data-data yang sudah terseleksi dengan

disesuaikan pada tema yang dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk berusaha

menguraikan setiap kejadian dan mendeskripsikannya dalam jalinan kausalitas

atau sebab akibat peristiwa itu secara kronologis. Data-data yang tersedia akan

menjadi valid dan hidup apabila analisis terhadap sumber yang ada sangat kritis.

Sumber tersebut akan menentukan seberapa bermutunya tulisan yang dihasilkan

Tahapan yang terakhir adalah tahap yang disebut dengan historiografi,

yaitu penulisan sejarah berdasarkan pada data-data yang telah melewati tiga tahap

tadi. Dalam penelitian ini historiografi diwujudkan di dalam bentuk penulisan

skripsi.

2. Teknik Analisis Data

11

(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis. Deskriptif artinya memaparkan ataupun menggambarkan suatu fenomena

tentang ciri-ciri khusus yang terdapat dalam suatu peristiwa. Analisis adalah usaha

untuk menganalisa ataupun mengintepretasikan data-data yang berhubungan

dengan kajian permasalahan, dengan demikian studi ini bukan hanya

mempersoalkan masalah apa, dimana, dan kapan peristiwa tersebut dapat terjadi,

namun lebih dari itu mencoba untuk mengupas bagaimana dan mengapa peristiwa

tersebut terjadi, sehingga studi ini pada dasarnya tidak akan mengabaikan prinsip

kausalitas ataupun hubungan sebab akibat serta aspek ruang dan waktu.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dimaksudkan membantu pembaca untuk mempermudah dalam

memahami penulisan skripsi ini. Serta membantu memberikan sedikit gambaran

mengenai tema yang di bicarakan di dalamnya.

Bab I merupakan bab pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang gambaran umum keraton Kasunanan

Surakarta, struktur sosial masyarakat Surakarta, administrasi wilayah, struktur

birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta masa Paku Buwana X, sistem peradilan,

gelar jabatan yang ada serta srtruktur administrasi abdi dalem Penghulu.

Bab III berisi gambaran mengenai kondisi kehidupan ke-Islaman di

Surakarta masa sebelum Paku Buwana X dan pada masa Paku Buwana X

(33)

commit to user

organisasi yang bergerak di bidang sosial keagamaan seperti SI, Muhammadiyah

dan Sarekat Ngrukti Sawa.

Bab IV membahas mengenai awal munculnya ulama dalam kekuasaan

tradisional Jawa beserta peranannya, kehidupan abdi dalem penghulu , mencakup

jabatan Penghulu bagi Landraad, Penghulu sebagai simbol kerajaan Islam, tugas

dan peranan abdi dalem penghulu di Keraton Kasunanan Surakarta masa Paku

Buwana X.

(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15 BAB II

STRUKTUR BIROKRASI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

MASA PEMERINTAHAN PAKU BUWANA X (1893-1939)

A. Gambaran Umum Keraton Kasunanan Surakarta

Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani, dan Karta berarti

sejahtera. Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan Sunan

Pakubuwana II (1726-1749), sebagai pengganti keraton Kartasura yang telah

rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina dibawah pimpinan Sunan Kuning,

juga oleh pasukan Madura yang dipimpin oleh Cakraningrat IV.

Luas ibukota kerajaan Surakarta (kota Sala) adalah 24 km2 dengan ukuran

6 km, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 km dari utara ke selatan. Kota

ini berada di tanah dataran rendah di tepi sebelah barat Sungai Bengawan Sala.

Sementara luas wilayah kerajaan Surakarta ( eks Karesidenan Surakarta) adalah

6.215 km2. Separuh daerah tersebut adalah milik Kasunanan, sedang separuh

lainnya adalah daerah Mangkunegaran. Penduduk Surakarta dapat dikatakan

homogen, artinya masing-masing etnik terkumpul dan menempati daerah-daerah

tertentu secara terpisah dengan etnik yang lainnya. Beberapa etnik yang mendiami

di sekitar wilayah ibukota kerajaan, yaitu Jawa sebagai etnik mayoritas, Cina,

Arab, dan Eropa.

Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa keraton terdiri

dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman raja,

(35)

commit to user

bangunan tembok yang tinggi, dengan pintu gerbang yang tebal dan kuat. Diluar

daerah inti terdapat kompleks yang lebih besar, 700 x 500 m, yang juga dikelilingi

tembok. Di tempat ini terdapat pemukiman para pegawai, pejabat, anggota istana,

dan berbagai tukang serta pekerja, yang semuanya mempunyai kaitan langsung

dengan kegiatan dalam istana.

Di sebelah Utara dan Selatan dari kompleks tersebut terhampar dua

lapangan luas, disebut alun-alun, masing-masing dengan dua pohon beringin

raksasa sebagai simbol kekuasaan raja. Alun-alun Utara berperan sebagai forum

keraton, tempat berlangsungnya upacara-upacara besar. Di sebelah alun-alun ini

terdapat pagelaran, sebuah pendhopo besar tempat menerima dan menunggu

tamu. Agak ke Selatan terletak sitinggil, pendhopo luar yang besar untuk

audiensi raja menampakkan dirinya kepada rakyat sewaktu ada peristiwa

kenegaraan.1

Kepatihan sebagai tempat kediaman pepatih dalem terletak di sebelah

Utara keraton, sekaligus berfungsi sebgai pusat administrasi pemerintahan. Istana

mangkunegaran terletak disebelah selatan Sungai Pepe, demikian pula

perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantor-kantor,

gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko dan benteng

Vastenburg sebagai pusatnya. Perkampungan di luar benteng itu disebut Loji

Wetan, karena bangunannya berbentuk loji yang menggunakan bahan batu bata.

1

(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Istana atau Pura Mangkunegaran yang dikelilingi oleh bangunan tembok

seluas lebih kurang 10.000 m2, terletak di sebelah Barat Laut Keraton Surakarta.

Di dalamnya terdapat halaman untuk tempat latihan legiun (pamedan) dan sebuah

kompleks yang terdiri dari bangunan yang menarik dan terpelihara dengan baik

berupa kantor, pendopo untuk pertemuan umum, dan tempat kediaman pengeran

beserta keluarga. Di luar kompleks adalah perkampungan dan rumah-rumah

pegawai termasuk anggota legiun.2

Letak Keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah residen, dan

kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun dekat dengan keraton

dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana Mangkunegaran yang

menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan

besar. Jarak dari kepatihan ke rumah residen lebih dekat daripada jarak dari

kepatihan ke keraton. Untuk mencapai keraton, pepatih dalem harus melewati

rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan

keamanan pemerintah kolonial Belanda di Surakarta.3

Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat. Hal ini dihubungkan

dengan terdapatnya Prabasuyasa, tempat penyimpanan benda-benda dan

tanda-tanda kebesaran kerajaan. Prabasuyasa adalah sebuah bangunan dalem ageng

(rumah besar) yang terletak di belakang pendapa sasana sewaka. Di Prabasuyasa

terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta ranjang kebesarannya

(krobongan). Salah satu dari empat kamar tersebut khusus dipakai untuk

2

Ibid, hlm. 9-10.

3

(37)

commit to user

menyimpan benda-benda pusaka kerajaan. Tempat yang dibangun pada tahun

1694 tahun Jawa. Selain merupakan tempat pribadi raja, juga sebagai tempat

untuk menghadap para putra raja.

B. Struktur Sosial Masyarakat Surakarta

Struktur sosial masyarakat Surakarta secara garis besar terdiri dari dua

golongan sosial yang berbeda yaitu golongan atas atau golongan yang

memerintah terdiri dari golongan bangsawan ( sentana dalem ) dan narapraja

(abdi dalem) serta golongan bawah atau golongan yang diperintah ( kawula

dalem) yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, pengrajin, dan kawula alit

lainnya.4 Kedua golongan sosial tersebut menempati wadah budaya, sosial dan

politik yang berbeda. Disatu pihak golongan atas dipandang sebagai pengembang

satu sikap budaya yang alus, agung, dan adiluhung, di pihak lain golongan bawah

yang sebagian besar hidup di pedesaan mengembangkan sikap budaya sendiri

yang oleh golongan atas dipandang sebagai budaya kasar, polos, berselera rendah

namun juga mempunyai sikap terbuka.

Golongan atas yang terdiri dari bangsawan dan priyayi jumlahnya sangat

kecil jika dibandngkan dengan golongan bawah (wong cilik). Golongan atas

meskipun jumlahnya kecil, namun memiliki kedudukan lebih menyolok

dibandingkan dengan wong cilik. Pada pihak golongan atas ada legitimasi untuk

menjalankan kekuasaan serta mempunyai hak istimewa atas pelayanan dan

4

(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

pengabdian wong cilik, sedangkan di pihak lain wong cilik memiliki perasaan

menerima segala macam kewajiban serta situasi kehidupan. Dengan demikian

para bangsawan dan priyayi dapat dipandang sebagai patron, sedang wong cilik

sebagai klien. Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang seimbang, yaitu

wong cilik melayani dan setia pada patron, sebaliknya patron mempunyai

kewajiban untuk melindungi kehidupan kliennya.5

Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian dalam struktur masyarakat

Surakarta adalah kyai, yaitu orang yang memiliki pengetahuan agama Islam

(ulama). Kyai biasanya berperan sebagai sebagai guru agama Islam (pesantren).

Kyai juga mempunyai kedudukan sosila yang tinggi dalam masyarakat, sehingga

mereka dapat dimasukkan dalam kelompok elite.

C.Struktur Birokrasi Keraton Kasunanan

Kasunanan Surakarta membagi wilayah kerajaannya menjadi empat, yaitu

kuthagara, negaragung, mancanagara, dan pasisiran.6Kuthagara merupakan inti

atau pusat dari wilayah kerajaan dan sebagai tempat tinggal Sunan beserta

keluarga, bangsawan, pejabat tinggi kerajaan, dan abdi dalem terdekat. Daerah ini

juga disebut daerah Narawito7 yang merupakan tanah milik raja. Negaragung

yaitu daerah yang ada di sekitar Kuthagara. Daerah ini masih termasuk daerah inti

kerajaan karena di daerah inilah terutama terdapat tanah lungguh (apanage) dari

para bangsawan keluarga kerajaan. Mancanagara adalah daerah di luar daerah

(39)

commit to user

Negaragung (tidak termasuk daerah pasisiran), kira-kira Panaraga ke Timur dan

Purworejo ke Barat. Daerah ini dapat dikatakan tidak ada tanah-tanah lungguh

dari bangsawan-bangsawan keraton, tetapi tiap waktu tertentu harus menyerahkan

pajak ke keraton. Pasisiran, daerah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran

Kulon mulai Demak ke barat dan Pasisiran Wetan dari Jepara ke timur.

Kerajaan tradisional Jawa, baik pada zaman Hindu-Budha maupun Islam

selalu menempatkan kekuasaan tertinggi ditangan raja. Dalam konsep Jawa

tentang organisasi Negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos.

Raja merupakan penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan yang begitu besar

tetapi juga menuntut tanggung jawab yang begitu berat.

Kedudukan dan kekuasaan raja yang begitu besar dikenal dengan doktrin

Keagungbinataraan. Maksud dari konsep ini adalah bahwa Raja memiliki

segalanya baik harta maupun manusia, oleh karena itu dikalangan rakyat berlaku

prinsip nderek kersa dalem. Namun hal ini tidak berarti raja sebagai penguasa

tunggal berhak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sebab dalam

konsep Keagungbinataraan itu juga dirangkai dengan sikap berbudi laksana,

ambeg adil para marta8, dan hal tersebut masih ditambah lagi dengan kalimat

wenang wisesa sangari9. Ini menunjukkan adanya keseimbangan antar

8

berbudi laksana, ambeg adil para marta dalam bahasa Indonesia berarti

budi luhur yang begitu luas/ meluap serta sifat adil dan penuh kasih sayang.

9

(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

kewenangan yang luar biasa dengan kewajiban dan tanggung jawab yang luhur,

yakni melindungi, mengasihi dan mensejahterakan rakyatnya.10

Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan warisan menurut

tradisi pengangkatan raja baru atas dasar keturunan. Seseorang yang menjadi raja

harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing kusuma rembesing madu wijining

atapa, tedaking andana warih. Artinya, turunan bunga, titisan madu, benih

pertapa, turunan mulia.11 Sehingga raja adalah orang yang terpilih Karena

kesuciannya dan masih keturunan raja.

Hubungan raja dengan rakyatnya merupakan suatu ikatan antara

kawula-gusti (hamba-tuan) yang merupakan ikatan yang erat, akrab, saling menghormati

dan bertanggung jawab. Rakyat sebagai kawula menyerahkan segalanya termasuk

jiwanya jika raja menginginkannya. Demikian tingginya kuasa raja terhadap

kawulanya, hingga menyejajarkan kedudukan antara dewa dan raja.

Raja secara tradisional dianggap sebagai pusat dunia, pusat kehidupan

masyarakat, maka tanggung jawab baik buruknya kerajaan terletak di tangan raja.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi raja berhak mengangkat dan

memberhentikan pejabat-pejabat dalam pemerintahan yang dipegangnya. Para

pejabat tersebut turut serta menjalankan kekuasaan raja. Dalam hal ini Pepatih

Dalem (patih) sebagai orang nomor dua setelah raja, berkedudukan di pusat

kerajaan dan sebagai tangan pertama raja dalam melaksanakan aktivitas

10

G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh

Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 87.

11

Soemarsaid moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa

Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX,(Jakarta:

(41)

commit to user

pemerintahan Kasunanan Surakarta dibagi dalam tiga bagian administrasi

pemerintahan yang terdiri atas :

a. Reh Kepatihan, yaitu lembaga administrasi pemerintahan yang dipimpin

seorang patih, dimana dalam hierarki birokrasi patih berfungsi sebagai

pejabat tertinggi. Patih berfungsi sebagai wakil raja dalam bidang

pemerintahan dan patih disebut sebagai rijksbestuurder artinya yang

memerintah Negara atau mangreh negara. Jabatan fungsionaris langsung

dibawah reh kepatihan di pegang oleh Bupati Nayaka.

b. Reh Kadipaten Anom, berkedudukan sebagai kepala administrasi, mengurusi

kebutuhan para sentana dalem, lembaga ini dipimpin oleh seorang Pangeran

Adipati Anom.

c. Reh Pengulon, mengurusi administrasi keagamaan yang secara integrativ di

bawah pimpinan Penghulu Tafsir Anom. Penghulu Keraton berfungsi

sebagai penasehat raja, khususnya ketika raja mengambil keputusan

hukuman di pengadilan, dalam kedudukannya sebagai anggota lembaga

peradilan Surambi.12

Kekuasaan seorang raja, sebagai diatur dalam struktur birokrasi tradisional

memiliki kekuasan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan

raja diperoleh berdasarkan warisan menurut tradisi pengangkatan raja baru atas

dasar keturunan Raja yang memerintah. Raja-Raja Surakarta memakai gelar dan

sebutan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana

12

(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Senapati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Atas

dasar gelar ini, maka Raja mengepalai urusan politik pemerintahan, keagamaan

dan sebagai primus interpares di wilayah kekuasaannya.

Pola demikian merupakan pola Caesar-papisme, yaitu raja sebagai orang

pertama dan terhormat di negaranya (Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng

Susuhunan), dia juga sebagai pusat kehidupan masyarakat dan dunia (Paku

Buwana). Selain itu raja adalah kepala pemerintahan dan juga sebagai panglima

tertinggi angkatan perang (Senapati Ingalaga), serta sebagai kepala bidang

keagamaan (Ngabdurahman Sayidin Panatagama). Sebagai penguasa tertinggi

Raja harus adil dalam memerintah dengan hukum yang seadil-adilnya, hal ini

karena Raja dianggap sebagai wakil Allah di dunia yang tampak pada gelar

Khalifatulah.13 Oleh karena itu raja duduk sebagai wali hakim bagi kawula dalem

wanita yang akan menikah, sebagaimana dalam kutipan “Asma Dalem mawi

jejuluk Panatagama punika tegesipun dados panuntun tuwin pangayomanipun

para Kawula Dalem ingatasipun Agami Islam, jumeneng Wali Khakim Kawula

Dalem estri ingkang emah-emah miturut Agami Islam. 14

Raja sebagai pemimpin atau penguasa negara mempunyai wewenang

untuk melakukan tindakan-tindakan demi kepentingan pribadinya. Kekuasaan raja

mencakup semua aspek kehidupan, hanya raja yang dapat memberi anugerah

kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran. Oleh karena itu, pejabat dan

rakyatnya harus patuh tanpa syarat bila ingin mendapat kemuliaan hidup.

13

Ibid.hlm. 124-125.

14

Pawarti Surakarta 1939, hlm. 69. Koleksi Sanapustaka Kasunanan

(43)

commit to user

Tradisi istana yang berlaku dalam pergantian tahta kerajaan adalah hanya

putra laki-laki tertua dari permaisuri ataupun yang ditunjuk langsung oleh raja

yang berhak menggantikan raja.15 Hal ini berdasarkan hukum Islam bahwa yang

berhak menjadi wali adalah seorang laki-laki atau ayah atau saudara laki-laki dari

ayah. Maka menurut adat kerajaan yang berhak menjadi raja adalah putera

laki-laki.

Raja secara tradisional dianggap sebagai poros dunia, pusat kehidupan

masyarakat sehingga tanggung jawab baik buruknya kerajaan di tangan raja.

Dengan demiakian sunan menempatkan diri pada puncak kekuasaan yang

tertinggi dalam struktur birokrasi tradisional Surakarta. Raja berhak mengangkat

dan memberhentikan pejabat kerajaan yang turut serta dalam menjalankan

kekuasaan kerajaan. Hubungan antara raja dengan abdi dalem berbentuk

hubungan ikatan antara seorang penguasa politik dengan orang yang dikuasainya.

Mereka diberi kekuasaan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan dan

kewenangan raja. Oleh Karena itu, loyalitas para pejabat terhadap pribadi raja

harus dijamin. Ada berbagai cara ditempuh untuk menjaga loyalitas pejabat antara

lain melalui dongeng-dongeng, ajaran-ajaran, lakon-lakon, seperti wayang tentang

nilai loyalitas dan akibat kemarahan raja terhadap para pengkhianat. Dikatakan,

bahwa para pengkhianat yang durhaka akan ditimpa malapetaka, kalau tidak dari

raja tentu akan datang dari Tuhan.16

15

Soemarsaid Moertono, op.cit., hlm. 123.

16

(44)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Bagan 1

Struktur birokrasi masa penerintahan Paku Buwana X (1893-1939).17

Keterangan:

Struktur pemerintahan pada masa Paku Buwana X, dalam hal ini raja

(Sunan) menduduki jabatan dan kekuasaan tertinggi. Untuk melaksanakan roda

17

Sri Wulandari, “Sejarah Kampung Kauman Surakarta Tahun 1900-1945

(45)

commit to user

pemerintahan, Sunan dibantu para Sentana Dalem dan Abdi Dalem, mereka

menerima pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dari Sunan di dalam

melaksanakan roda pemerintahan, berdasarkan kebijakan Sunan.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, terdapat pemisah antara

Pemerintahan Istana (lebet) dengan Pemerintahan Kerajaan (Nagari=jawi).

Pemerintahan Istana diserahkan kepada Reh Kasentanan, sedang pemerintahan

Kerajaan (Nagari) dilimpahkan kepada Reh kepatihan.

Pemerintahan istana yang diserahkan kepada Putra Sentana Dalem, Reh

Kasentanan mempunyai struktur lembaga sebagai berikut:

I. Reh Kasentanan, lembaga ini mengurusi tentang raja, permaisuri,

garwa ampeyan (priyantun dalem) serta putra-putra raja. Lembag ini

dipimpin oleh seorang Pangeran Sentana, kantornya berada di Sasana

Wilapa.

II. Lembaga yang mengurusi para abdi dalem yang bekerja di dalam

istana (abdi dalem lebet). Lembaga ini tergabung di dalam Reh

Kanayakan yang dipimpin oleh seorang Wedana Bupati Nayaka.

Termasuk dalam Reh Kanayakan ini adalah kantor kapilihan mengurus

pekerjaan di istana, kantor kaniten jawi mengurus kebutuhan pangan

dan sandang istana, kantor pangranbe mengurus tentang tanah dusun

dan menerima pajaknya.

III.Lembaga yang mengurus keuangan istana. Mereka tergabung dalam

(46)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

IV.Lembaga yang mengurus adanya yayasan, rumah tangga istana,

perlengkapaan istana dan kegiatan istana yang lain. Misalnya, wisudan,

manten, dan sebagainya. Lembaga ini tergabung dalam Reh Parentah

Keraton yang dipimpin oleh seorang Wedana (Nayaka).

V. Lembaga yang mengurus usaha-usaha dibidang perkebunan, dipimpin

seorang Bupati Pangrembe.

VI.Lembaga yang mengurus tanah pamijen kerton dan pembangunan di

lingkungan istana. Lembaga ini bergabung dalam lembaga harta benda

yang dipimpin oleh seorang abdi dalem Bupati Pangrembe.

Pemerintahan Nagari (Kerajaan) yang diserahkan kepada Patih, dalam struktur

Reh kepatihan mempunyai lembaga sebagai berikut:

I. Golongan Sekretariat, mengurusi masalah kegiatan kerajaan,

pengangkatan dan pemberhentian abdi dalem Patih yaitu abdi dalem yang

menangani kegiatan ekonomi kerajaan, serta memimpin abdi dalem Kantor

Agraria.

II. Golongan pengelola keuangan, tugasnya meliputi kegiatan administrasi

keuangan kerajaan, yayasan-yayasan yang ada, mengangkat dan

memberhentikan abdi dalem keuangan dan kartipraja.

III.Golongan pengadilan dan pemerintahan, mengurusi masalah ketentraman,

kesehatan, pendidikan dan bidang ekonomi, perundang-undangan,

mengangkat dan memberhentikan abdi dalem Pangreh Praja dan

(47)

commit to user

Di bawah Bupati Nayaka terdapat para Mantri, Panewu, dan seterusnya ke

bawah, yang termasuk dalam abdi dalem Garap Nagari.18

Pegawai-pegawai pada lembaga Reh Kasentanan yang bertugas mengurusi

keraton dan seluruh keluarga raja disebut Abdi Dalem Lebet, sedang yang

mengurusi lembaga di luar istana disebut Abdi Dalem Jawi yang bertugas

mengelola pemerintahan. Abdi Dalem Lebet dan Abdi Dalem Jawi dibagi ke

dalam dua kelompok, yaitu Abdi Dalem Damel dan Abdi Dalem Anon-anon.19

Abdi Dalem Damel pada pokoknya terbagi dalam 8 golongan, dan tiap

golongan dikepalai oleh seorang Bupati Nayaka. Sebagai Kondang (Wakil) adalah

Abdi Dalem Damel Bupati Anom. Kedelapan golongan tersebut adalah sebagai

berikut:20

a) Abdi Dalem Lebet, dibagi dalam empat kelompok menurut tugasnya yaitu:

abdi dalem keparak kiwo dan tengen, abdi dalem gedong kiwo dan tengen.

Abdi Dalem Keparak bertugas menangani urusan raja dan keluarganya,

sedangkan Abdi Dalem Gedong mengurusi masalah pemerintah keraton

yang berpusat di Keraton.

b) Abdi Dalem Jawi menurut tugasnya dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

Penumping, Bumi, Bumi Gede dan Sewu. Bawahan dari mereka ini ialah

Abdi Dalem Garap Nagari. Pusatnya di Kantor Kepatihan. Kepalanya

berpangkat Bupati dan sebagainya Kondangnya adalah Bupati Anom.

18

Ibid.

19

Radjiman, Sejarah mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat (Surakarta: Krida, 1984), hlm. 213-214.

20

(48)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

1. Sistem Peradilan

Pada awal pemerintahan Paku Buwana IV, Kasunanan Surakarta mengenal

tiga sistem peradilan yaitu pengadilan balemangu, pengadilan surambi, dan

pengadilan pradata. Pengadilan balemangu berpusat di Kepatihan dan pepatih

dalem bertindak sebagai hakim kepala sehingga pengadilan ini disebut juga

pengadilan balemangu kepatihan.

Pengadilan Balemangu mengurus masalah pelanggaran hukum orang

Jawa, menangani masalah yang berhubungan dengan tanah lungguh, tanah

sanggan, dan tanah anggadhuh. Pengadilan Balemangu dipimpin langsung oleh

pepatih dalem dan dibantu oleh delapan bupati nayaka serta bupati patih kadipaten

anom sehingga jumlahnya menjadi sepuluh. Sepuluh pejabat ini dikenal dengan

mantri sadasa. Sidang pengadilan ini dilaksanakan setiap Rabu dan Sabtu.21

Sistem peradilan kedua adalah pengadilan Surambi, lembaga peradilan ini

bertugas menangani masalah persengketaan keluarga seperti warisan, perceraian,

wasiyat, gana-gini, dan persoalan keluarga lainnya. Pengadilan Surambi juga

diberi tugas untuk memutuskan perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan

oleh pengadilan balemangu dan pengadilan pradata. Pengadilan Surambi

mengalami perluasan tugas dan wewenangnya dengan menangani masalah

pembunuhan dan penganiayaan.

21

(49)

commit to user

Sistem peradilan ketiga adalah pengadilan pradata. Tugas lembaga

peradilan ini adalah menyelesaikan perkara criminal seperti pencurian,

penggelapan, jambret (nyeler) dan perkara-perkara perdata yaitu utang-piutang,

gadai dan berbagai penipuan lainnya.

2. Gelar Jabatan atau Kepangkatan

Gelar jabatan atau kepangkatan berdasarkan pada resolusi tanggal 24

Pebruari 1824 tahun Jawa adalah sebutan yang dikenakan para abdi raja, yakni

orang-orang yang hidupnya mengabdi pada raja atau kerajaan. Berikut gelar

jabatan menurut Serat Wadu Aji.22

a) Patih

Sebutan patih berarti parentah, yaitu yang berhak memerintah para

prajurit serta memiliki kekuasaan untuk menyempurnakan perintah raja

maupun menguasai segala peraturan negara. Peraturan itu akan

disosialisasikan kepada aparat bawahannya. Patih yang kedudukan atau

kekuasaannya sebagai pemimpin para punggawa sehingga mendapat sembah

berulang kali karena merupakan mangkubumi seorang raja. Secara tatanan

istana pun dianggap orang tua yang dihormati; maka juga mendapat sebutan

raja diluar istana. Gelar jabatan atau pangkat patih dapat disandang oleh

keluarga raja atau orang biasa. Jika dijabat keluarga raja (misalnya cucu raja)

gelarnya Kangjeng Raden Adipati jika dijabat perempuan gelarnya Kangjeng

Raden Ayu Adipati. Masa jabatran patih antara 5 sampai 8 tahun dan

22

(50)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

sesudahnya berhenti. Tentang penggantinya mendasarkan pada perilaku patih

dan pengabdiannya bukan karena keturunan.

b) Adipati

Sebutan adipati juga berarti pangagenging parentah, yaitu yang

mendapatkan kekuasaan atas perintah patih yang lebih menilai dan

menerapkan peraturan negara kepada bawahannya. Demikian pula menerima

segala perintah raja yang berhubungan dengan istana atau pemerintahan

maupun kehendak atasannya. Kekuasaan wewenang serta pekerjaannya

menjalankan semua pengadilan dengan benar, berbuat baik dengan bawahan

istana. Kehormatannya disembah oleh Pangeran, Hariya, dan saudara dekat

yang lebih muda usia-usianya kebawah, sedangkan adipati merupakan gelar

dibawah patih yang berhak menerima perintahnya serta menyebarkan kepada

bawahannya seperti bupati, wadana dan seterusnya.23

c) Senapati

Sebutan bagi orang yang atas kehendak raja dapat menerima kuasa atas

segala perintah atau kekuasaan raja, lebih menggeluti dalam keprajuritan,

taktik strategi perang maupun cerdik dalam melihat musuh negara, sehingga

dapat disebut pula bayangan dari seorang patih. Kewajiban senapati mengajar

perang, melatih para prajurit, menugaskan petugas sandi, waspada terhadap

peristiwa-peristiwa yang mengancam negara termasuk keselamatan diri raja,

serta menjaga prajuritnya.

d) Bupati

23

(51)

commit to user

Sebutan bupati berarti bawahaning parentah, yang memiliki otonomi

bawahannya sendiri. Bupati berhak menerima perintah dari patih untuk

disebarkan pada lingkungan bawahannya. Dalam melancarkan tugasnya

bupati berpedoman pada perintah raja maupun patih, baik peraturan istana

maupun dalam menjaga keselamatan dan keluhuran kerajaan, bertanggung

jawab kepada raja atas kelancaran pemerintah di tingkat daerah maupun

keberhasilan mengerahkan hasil upeti kepada istana, menyelesaikan segala

persoalan yang dapat mengancam kewibawaan raja. Bupati dapat di jabat

oleh sentana dalem atau orang biasa.24

e) Tumenggung

Sebutan tumenggung yang berarti dhenggung atau tertindhih, yairu orang

yang berhak memeriksa segala tindakan raja dan berkewajiban memeilhara

senjata milik raja.

f) Wadana

Wadana berarti pemuka atau pemimpin; yaitu yang berhak menjadi

perantara pekerjaan. Perantara pekerjaan yang dimaksud adalah antar pejabat

di lingkungan istana, seperti tumenggung dengan nayaka dan segala perintah

atasan yang dianggap perlu disampaikan kepada seluruh aparat istana. Di

bawahnya masih terdapat nayaka, hariya serta pejabat lainnya.

g) Nayaka

Nayaka berarti panunggul atau pangirit, yang berhak menjadi pimpinan

tentara, identik dengan pertahanan dan keamanan negara. Tugas lainnya

24

(52)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

mengajar perang, melatih prajurit, mengarahkan dan member tugas kepada

para prajurit serta waspada terhadap peristiwa-peristiwa yang mengancam

dan merugikan negara25.

Terdapat juga gelar khusus atau sebutan golongan lain, kekhususan ini

didasarkan pada pengertian dan stratifikasi sosial istana yang mencirikan

pada pembedaan gelar kebangsawanan dan gelar jabatan. Gelar khusus itu

dapat dibedakan menjadi gelar yang bersifat keagamaan (sebutan golongan

keagamaan) dan keprajuritan ataupun keprajuritan di tingkat bawah istana.

Gelar khusus yang bersifat keagamaan seperti; kiyai, pangulu, ngulama,

kaum dan santri, sedangkan gelar khusus yang bersifat kemiliteran atau

keprajuritan adalah panji, pakathik, pagundhal dan jajar. 26

Gelar jabatan atau kepangkatan tersebut tidak hanya dijabat oleh priyayi

atau orang yang masih memiliki darah keturunan atau kerabat raja, melainkan

dapat pula dijabat oleh rakyat biasa. Rakyat kecil yang ingin masuk menjadi

priyayi harus melewati proses suwita27 dan magang.28 Suwita dimulai ketika anak

berusia sekitar dua belas tahun, dan dilaksanakan di rumah kerabat yang tela

menjadi priyayi. Anak yang sedang suwita tersebut harus mau melakukan

pekerjaan baik yang kasar maupun yang menggunakan pikiran, selain itu harus

membiasakan diri dengan keadaan setempat, belajar sopan santun yang berlaku

dalam keluarga tempatnya mengabdi, harus banyak menimba macam-macam

Suwita atau ngenger, ngawula berarti mengabdi, menghamba.

28

Magang berarti calon; calon abdi dalem mengerjakan suatu pekerjaan,

(53)

commit to user

pengetahuan dan ketrampilan dengan tujuan agar mengenal kebudayaan priyayi,

seperti pengetahuan tentang hal kuda, menunggang kuda, penggunaan senjata, hal

pusaka, pengetahuaan dalam bidang artistic, terutama kesusastraan, tari dan

gamelan29

3. Raja Sebagai Kepala Urusan Keagamaan Kerajaan

Kasunanan Surakarta sebagai sebuah kerajaan yang bercirikan Islam, dapat

dilihat dari penggunaan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah oleh Sunan dan

berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton juga upacara-upacara yang

mencerminkan sifat Islami dan menjadi bukti yang kuat. Raja sebagai Sayidin

Panatagama Khalifatullah dapat di lihat ketika pelaksanaan upacara-upacara adat

seperti Sadranan, yaitu upacara yang memperingati akan datangnya bulan

Ramadhan (puasa). Pada acara tersebut Raja berlaku sebagai kepala Agama yang

meminpin jalannya prosesi acara Sadranan hingga selesai. Disamping itu adanya

jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, serta

diberlakukannya peradilan Surambi yang didasarkan pada ajaran dan hukum Islam

29

(54)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Bagan 2

Struktur Birokrasi Raja Sebagai Kepala Urusan Keagamaan Di Kasunanan

Masa Paku Buwana X Tahun 1893-1939. 30

Raja

Panitra Dalem (Sekretaris)

Penghulu

Kotib Modin Naib Suranata

Keterangan:

Kekuasaan raja dalam bidang keagamaan dilimpahkan kepada Penghulu dalam

struktur Reh Kapanghuluan.

1. Di bidang keagamaan Keraton Surakarta, jabatan tertinggi adalah

Penghulu. Di dalam istana Penghulu diberi tugas memimpin

upacara-upacara keagamaan, berdoa untuk keselamatan kerajaan dan keluarga raja,

menguatkan dalam upacara pelantikan raja baru, memberi pengajaran

30

(55)

commit to user

agama pada kerabat raja dan sebagainya. Untuk melaksanakan

tugas-tugasnya penghulu dibantu oleh pejabat-pejabat di bawahnya, yakni;

Kotib, Modin, Naib, dan Suranata.

2. Ketib adalah wakil Penghulu, bila Penghulu wafat Ketib berhak jadi

Penghulu. Ia berhak menjadi Imam dan Khotib pada masjid keraton.

3. Modin adalah tukang adzan. Bila waktu sholat tiba, ia memukul bedug dan

kentongan.

4. Naib bertugas menikahkan putra-putri raja serta kerabat raja atau sebagai

juru nikah di kerajaan.

5. Suranata bertugas mengurusi upacara tradisional kerajaan yang bermakna

sakral.31

Abdi Dalem Penghulu meskipun dalam menjalankan tugasnya seringkali

berada di dalam keraton namun tempat tinggal mereka di dekat Masjid Besar

kerajaan yang berada didekat alun-alun, yang merupakan tanah gaduhan atau

tanah anggaduh dari raja.

Selain ulama-ulama dalam birokrasi kerajaan, juga terdapat ulama-ulama

yang mengepalai daerah perdikan. Mereka diberi tugas oleh raja untuk mengurusi

pekerjaan tertentu. Ulama yang mengepalai desa Perdikan Mutihan ditugaskan

untuk memelihara tempat ibadah seperti masjid, langgar, dan member pelajaran

agama di daerahnya. Begitu juga di keraton Kasunanan, Raja selain mengangkat

31

Gambar

Gambar 2 Paku Buwana X bersama Permaisuri Ratu Emas,
  Gambar. 5
  Gambar. 6
Gambar. 1
+4

Referensi

Dokumen terkait