IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DITINJAU DARI PRESPEKTIF FIQIH
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Kontemporer Perbankan
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, M.S.I
Oleh:
Leni Aprilia Arnis (141266310)
KELAS: E
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
A. Definisi Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
ام ضعب نع نازتميا ثيحب رخآاب نيلاملا دحأ ط خ ىأ طاتخإ
ا "percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan hartalainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.”1
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.2
Ada beberapa definisi syirkah di kalangan ulama. Menurut ulama Malikiyah, syirkah adalah perkongsian dua pihak atau lebih dimana semua anggota perkongsian
tersebut mengizinkan anggota lainnya untuk menjalankan modal untuk berusaha.
Menurut kalangan Hanafiyah syirkah merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut akad antara dua pihak atau lebih yang bersekutu atau berkongsi dalam
modal dan keuntungan. Menurut kalangan Syafiiyah, syirkah adalah tetapnya hak para pihak yang berkongsi untuk menjalankan dan mengembangkan modal. Sedangkan
menurut ulama Hanbaliyah berpendapat bahwa syirkah adalah persekutuan dalam hak
dalam berusaha atau menjalankan sebuah usaha. Syirkah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) pasal 20 adalah “kerjasama anatara dua orang ata lebih
dalam permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakatai oleh pihak – pihak yang
berserikat.”3
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa syirkah adalah
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang
masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung
bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
1
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 183
2
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 90
3
B. Dasar Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari‟atkan berdasarkan
Al-Qur‟an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Dasar hukum syirkah dari Al-Qur‟an
a. Firman Allah dalam surat Sad ayat 24 :
ى ع ْ
ْعب يغْ ي ءاط خْ ا ْ ّ ا يثك ّ إ
اح اّص ا ا ع ا آ ي ّ ا ّّإ ضْعب
.ْ ه اّ ي ق
٤٢
“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
b. Firman Allah dalam surat an- Nisa ayat 12 :
ث ّثلا يف ءاكرش ْ ف كلذ نم رثْكأ ْا ناك نإف
٢١
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa‟: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa‟ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad
ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Dasar hukum syirkah dari al- Sunnah antara lain:
ا أ : قي ج زع ه ا : اق. . ي ا ى ا هعف ي ه ىبأ ع
ا يب ج خ ه اخ ا إف ه حاص ا ه حأ خي ا ي ي ا ث اث
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla
berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak
mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.”
(HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).4
3. Dasar hukum syirkah dari ijma
4
Ijma‟ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.5 Ibnu
Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan dalam beberapa elemen darinya.6
C. Rukun dan syarat syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah
hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan
serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah
seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu
bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.7
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut: 8
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan
benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b)
berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak.
2. Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal
(harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c)
5
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta: Bpfe Yogyakarta, 2005), h. 32
6
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah, h. 91
7
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 128
8
orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada
semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah „inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah,syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan
akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi‟i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.9
D. Jenis- jenis Syirkah
Secara garis besar syirkah ada dua macam, yaitu syirkah amlak dan syirkah
uqud. Syirkah amlak adalah perkongsian dalam hal untuk memiliki harta, sedangkan
syirkah uqud adalah perkongsian dalam transaksi.10
1. Syirkah Amlak
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa
seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau
jabari.11
Syirkah amlak atau milik dibagi menjadi dua :12
a. Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara
mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari
9
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 217
10
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, h. 110
11
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006), h. 932
12
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.13 Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat
atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau
membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan,
maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2. Syirkah uqud (tradisional /kontrak )
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman
modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli
atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya.
Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya. Macam-
macam syirkah uqud antara lain:
a. Syirkah Inan
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu
sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.
Menurut Wahbah al- Zuhaili, syirkah inan dalah persekutuan antara dua pihak atau
lebih untuk memanfaatkan harta bersama sebagai modal dalam berdagang, apabila
mendapat keuntungan maka dibagi bersama, bila terjadi rugi juga ditanggung
bersama.14 Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun
kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
ي ا ق ى ع عيض ا ا ش ا ى ع حب ا
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir. Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan
memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi
13
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 153
modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâmâ
Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain). Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b. Syirkah Mufawadah
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Menurut Wahbah al- Zuhaili, syirkah
Mufawadah adalah perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu pekerjaan,
dengan syarat masing-masing pihak yang terlibat sama dalam modal, pengelolan
harta dan sat agama dimana masing-masing pihak menjadi penanggung jawab bagi
yang lain dalam soal jual beli.15 Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi‟i melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan
dalam perserikatan ini.16
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujûh).
15
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, h. 113
16
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua
insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B
dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B
dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing
memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud
syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
c. Syirkah Abdan
Wahab al-Zuhaili menjelaskan bahwa syirkah abdan atau syirkah a‟mal adalah persekutuan dua pihak atau lebih di mana masing-masing pihak mempunyai
keterampilan tertentu untuk bekerja, sementara keuntungan dibagi sesuai dengan
volume kerja dan kesepakatan diantara mereka.17 seperti kerja sama sesama dokter
di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah
proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabilah, namun imam Syafi‟i melarangnya.18
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama
untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual,
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar
40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah
binMas‟udradhiyallahu anhu,ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar
17
Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, h. 117
18
bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa‟i dan Ibnu Majah),
d. Syirkah wujuh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama
baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang
secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di
antara mereka. Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah
dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi‟iyah dan Zhahiriyah. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah)
kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah
masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik,
sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik
tersebut.19
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam
syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan.
E. Ketentuan–ketentuan Syirkah
Menurut ketentuan syarat sah syirkah terbagi menjadi dua kategori, yakni:
1. Syarat-syarat umum syirkah
a. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan
kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner
mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini
tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.
19
b. Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas.
Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau
20% misalnya.
c. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.
2. Syarat-syarat khusus
a. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan
modal masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau
beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama
lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
b. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk
harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan
ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena
keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal
yang disetor akibat sulitnya dinilai.
3. Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum20
a. Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad
syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b. meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c. murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
4. Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a. Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b. Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan
akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008)
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer ,( Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,april 2015)
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia Indonesia, 2012)
Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyarakah and Mudharabah: Islamic Texts on Theory of Partnership, Edisi. 1, (Internasional Islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009)
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2001)
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta: Bpfe Yogyakarta, 2005)
Musthofa Dayb al-Baghâ, at Tadzhîb Fî Adillah Matni al Ghôyah wa al-taqrîb, (Malang:
Ma‟had Sunan Ampel al Ali, 2013)
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006)