• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis Nilai Krisis Ke Diri an Krisis Ke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Krisis Nilai Krisis Ke Diri an Krisis Ke"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Krisis Nilai, Krisis Ke-Diri-an, Krisis Kebudayaan

Muhammad Idris Masudi*

“…Kini kita tidak melihat lagi sesuatu yang akan bertumbuh besar; sebaliknya, kita curiga bahwa segalanya akan terus merosot turun…” Nietzshe1

Belajarlah kamu dengan giat,

Sebab tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan ‘Alim(pintar), Ingatlah, bahwa orang-orang yang memiliki pengetahuan,

Tidak dapat disamakan dengan orang-orang bodoh.

(Kiai Adlan Ali)2

Beberapa tahun terakhir ini, geliat membaca, menulis, berdiskusi di wilayah Ciputat, khususnya UIN Jakarta, mengalami penurunan yang sangat drastis. Entah apa penyebab pastinya. Terlepas dari subyektifitas penulis, mahasiswa di era gadget ini sudah kehilangan jatidiri kemahasiswaannya. Konon, menurut ceritera dari alumni-alumni senior, taman-taman yang mengelingi kampus UIN Jakarta ini selalu diramaikan dengan adanya kegiatan-kegiatan diskusi. Sekarang? Hampir tidak ditemukan pemandangan aktivitas intelektual seperti itu.

Dalam tulisan sederhana ini, mula-mula penulis secara jujur sepakat dengan tesis Yasraf Amir Piliang tentang “post realitas”. Yasraf, dalam bukunya Post Realitas, mengatakan bahwa perkembangan sains dan teknologi mutakhir telah menciptakan sebuah dunia realitas. Dunia realitas baru itu bisa dijelaskan sebagai sebuah kondisi matinya realitas, dalam pengertian diambilalihnya posisi realitas itu oleh apa yang sebelumnya disebut sebagai non-realitas (non-reality).3 Kemudian penulis kembangkan untuk menjadi sebuah cara baca terhadap fenomena kelesuan minat belajar dan diskusi mahasiswa. Pemilihan cara baca demikian bukan tanpa dasar atau “memaksakan”, melainkan berdasarkan amatan-amatan yang telah penulis lakukan. Di samping menggunakan cara baca post realitas tersebut, dalam tulisan ini penulis juga menyinggung bahwa melemahnya minat diskusi di kalangan mahasiswa ini merupakan krisis nilai, krisis diri, dan pada akhirnya adalah krisis kebudayaan.

Melesatnya Teknologi Melemahnya Diskusi

Laju perkembangan teknologi jika tidak diimbangi dengan kesadaran dan kesiapan masyarakatnya justru akan menjadi sebuah “boomerang” bagi masyarakat tersebut. Manusia kian hari kian dimanjakan dengan kemunculan teknologi-teknologi baru yang pada kondisi tertentu menjadikan manusia kian malas. Dalam menyelesaikan beberapa tugas dan kegiatannya mereka cenderung akan mencari sesuatu yang instan, praktis, dan tidak merepotkannya. Sebagai misal, kecanggihan google dalam membrowsing, kian memanjakan dan seolah meninabobokan manusia

1 Bergiat di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP) dan Gusdurian Jakarta.

Friedrich Nietzche, The Genealogy of Morals, dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hiper Semiotika (Bandung: Matahari, 2012) cet.I, h. 69

2 Lihat Zamakshyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan

Indonesia (Jakarta: LP3S, 2011) edisi revisi, h.110

(2)

dari budaya membaca dan berdiskusi. Sebagai contoh kongkretnya, mahasiswa dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya hanya dengan membuka google, kemudian mengcopy-paste-kan artikel sesuai dengan kebutuhan tugasnya. Lebih ironis lagi, skripsi, yang merupakan tugas akhir dan merupakan karya “otentik” bagi mahasiswa digarap dengan hanya meminta bantuan “mbah google”.

Globalisasi teknologi memang tidak bisa dihindari, karena kata Giddens, globalisasi ibarat juggernaut (truk besar) yang sedang melaju kencang tanpa rem kendali.4 Ia bisa menabrak siapa pun dan kapan pun.

Pada sisi lain, kemajuan teknologi yang diantaranya adalah kecanggihan dalam bentuk gadget (smartphone dan sejenisnya), secara sadar maupun tidak sadar, memiliki efek buruk yang bagi penulis, bisa menjadi salah satu faktor di mana diskusi dan kajian-kajian di wilayah Ciputat kian lesu dan melemah. Mahasiswa kian sibuk untuk menggerakkan jari-jemarinya berselancar di dunia maya. Pada titik ini, kecanggihan teknologi seolah tidak dibarengi dengan kesadaran komunal dalam kaitannya pada penggunaan yang bersifat kebutuhan (hajiyyah). Dalam kajian Maqashid Syariah, hemat penulis, posisi teknologi, dalam hal ini smartphone berada pada tingkat komplementer (tahsiniyyah). Ia hanya menjadi bagian pelengkap dari kehidupan manusia sesungguhnya. Ironisnya, manusia membaliknya menjadi tingkat kebutuhan yang bersifat primer (dharuriyat).5 Seolah sehari tanpa memegang gadget, mengupdate status di facebook, twitter, sama halnya dengan tidak makan.

Krisis Nilai, Krisis Ke-Diri-an, Krisis Kebudayaan

Dalam diskursus kebudayaan terdapat empat unsur konstitutif; bahasa, adat atau kebiasaan, teknik serta nilai. Krisis nilai menurut Romo Mudji Sutrisno mengoyak dua bidang pokok kehidupan secara langsung yang berkaitan dengan kebudayaan. Pertama, bidang pendidikan. Goresan krisis nilai di bidang pendidikan ini terjadi ketika sekolah (kampus) sebagai lingkungan yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan, kini tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang memonopoli pembinaan pendidikan kepribadian murid-muridnya. Kedua, bidang kemasyarakatan. Dalam kemasyarakatan, nilai-nilai umum dan nilai-nilai kebersamaan menghilang dan pudar. Hal ini ditandai dengan semakin menjamurnya nilai-nilai kepentingan diri, kepentingan kelompok kecil.6

Pendidikan tidak lagi menjadi tujuan utama, karena pencarian gelar untuk mendapatkan kemudahan dalam mencari pekerjaan seolah menjadi tujuan utama. Jika pencarian gelar demi sebuah pekerjaan menjadi spirit utama kuliah, maka belajar, berdiskusi, berkarya adalah sesuatu yang dianggap sia-sia. Toh ujung-ujungnya adalah gelar dan pekerjaan bukan?

Jika mau menilik konsep tasawuf dalam kaitannya terhadap fenomena niat belajar semata-mata demi mendapatkan sebuah gelar, maka hal itu merupakan sesuatu yang amat hina.

4 Anthony Giddens, The Third Way; The Reneval of Social Democracy, pent: Ketut Arya Mahardika (Jakarta:

Gramedia, 2002) cet.3h. 32

5 Lebih detail tentang pemetaan tingkat kebutuhan dalam kajian Maqashid Syariah, bisa dibaca dalam beberapa buku

induk seperti: Al-Syathibi, al-Muwafaqat (Beirut: Dar Fikr, tt), vol.II, Ibn Asyur, Maqashid Syariah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2009)

(3)

Nabi Saw. Bersabda, “Barang siapa yang mencari ilmu semata-semata bukan karena untuk mencari ridha Allah, maka disiapkan baginya sebuah tempat di neraka.”7

Hal ini berbeda dengan pendidikan model pesantren, di mana para santri dengan ikhlas mencari ilmu pengetahuan. Santri yang ditempa di pesantren-pesantren (khususnya pesantren salaf) tidak dididik untuk mencari pekerjaan di masa mendatang. Krisis nilai ini pada gilirannya menjadi sebuah krisis ke-diri-an dan ujungnya adalah krisis kebudayaan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Gus Dur yang menyatakan:

Jika mengetahui merupakan kodrat hidup, maka sistem pendidikan adalah kebudayaan sehingga ketika sistem tersebut menjauhkan manusia dari pengetahuan diri, krisis pendidikan secara sah menjadi krisis kebudayaan.8

Artinya, jika tujuan pendidikan bukan lagi untuk sebuah pengetahuan akan ilmu, dan berubah menjadi pencarian sebuah gelar dan pekerjaan, maka pendidikan semacam ini sudah tidak memiliki nilai (value), karena ia sama halnya dengan makelar-makelar pekerjaan dan pembuat sertifikat/lisensi. Dengan demikian, pendidikan kita sedang mengalami sebuah krisis, dan krisis pendidikan adalah bagian dari krisis kebudayaan.

Strategi Kebudayaan; Upaya Mengembalikan Semangat Belajar

Islam mengajarkan bahwa mencari ilmu pengetahuan, baik dengan jalan belajar maupun berdiskusi tidak ada ujung pangkalnya. Sebagai akibat dari ajaran-ajaran ini maka salah satu aspek terpenting dalam belajar adalah tidak mencukupkan diri belajar di satu tempat. Dalam konteks mahasiswa adalah tidak mencukupkan diri belajar di kampus.

Kemunduran dan kelesuan minat belajar pada titik tertentu menandakan adanya degradasi peradaban, yang dalam hal ini adalah peradaban membaca dan berdiskusi. Faktor utamanya adalah nilai-nilai penyangga peradaban tidak lagi dijadikan sebagai sebuah kunci pengukur, tidak lagi dihidupi. Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya berjudul Filsafat Kebudayaan menegaskan bahwa untuk menempatkan kembali manusia sebagai titik sentral dengan nilai pada dirinya sendiri merupakan syarat pertama. Syarat kedua, kiranya setiap usaha merumuskan kembali strategi budaya yang sadar, yang bermula pada nilai hakiki, penghormatan pada apa yang suci, yang esensial, dan apa yang spiritual dari manusia.9

Dari uraian singkat ini, penulis ingin menegaskan sekaligus mengingatkan bahwa kesadaran komunal tidak akan tergerak bila kesadaran-kesadaran individual tidak terjadi. Oleh karenanya untuk kembali membangkitkan semangat belajar dan meramaikan diskusi di ruang-ruang kajian marilah kita mulai dari diri kita sendiri. Kita juga harus pandai dan cerdas dalam menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Belajar sebagai kebutuhan primer (dharuriyat) di jadikan sebagai sesuatu yang paling utama, bukan menjadikan gadget yang bersifat pelengkap (tahsiniyat) itu menjadi sesuatu yang primer.

Wallahu al-Hâdî

7 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Fikr, tt) vol.I, h.315

(4)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk m engetahui dosis tryptophan dalam pakan, yang dapat m eningkat kan kandungan tryptophan dalam ot ak, sehingga dapat m engham bat sifat kanibalism

• Pada sebagian besar proyek terutama proyek terutama dari gereja dan yayasan yang telah mempercayakan penuh hasil akhirnya pada Romo Mangun, Romo Mangun menggunakan metode

private javax.swing.JButton jButton2; private javax.swing.JButton jButton3; private javax.swing.JButton jButton4; private javax.swing.JButton jButton5;

Hukum Pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti dan ditetapkan oleh suatu negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana

Dari 60 sampel karsinoma sel skua- mosa serviks yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, 50 diantaranya (83,3%) memper- lihatkan ekspresi Ki-67 yang positif

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai "Pengembangan Media Pembelajaran Papan Flanel pada Mata Pelajaran Membuat Lenan Rumah

Universitas Kristen Petra Kini CR7 bukan lagi hanya sekedar julukan untuk Cristiano dalam dunia sepak bola, tetapi lebih dari itu CR7 adalah identitas unik dari Cristiano yang

LAPORAN PUBLIKASI (TRIWULANAN)/CONDENSED FINANCIAL STATEMENT (QUARTERLY) KUALITAS ASET PRODUKTIF/EARNING ASSET QUALITY. PT BANK MESTIKA DHARMA