Pengaruh Sistem Internasional dan
Digital Divide
Terlepas dari perdebatan yang ada, faktor-faktor eksternal bagi negara—bagaimana sistem internasional terorganisasi, karakteristik hubungan internasional kontemporer, dan aksi dari negara lain—dapat membuat negara mengambil langkah tertentu. Terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi, sistem internasional saat ini dipenuhi oleh negara-negara atau bahkan korporasi yang berupaya memajukan teknologi dan akses informasi mereka untuk mendapatkan keuntungan lebih, terutama dalam proses produksi. Akan tetapi, berbagai persoalan kemudian muncul dikarenakan adanya digital divide atau kesenjangan dalam mendapatkan akses teknologi dan informasi. Selain itu, ketimpangan dalam knowledge economy global menjadi semakin jelas karena kedatangan teknologi canggih, tenaga kerja terdidik, dan budaya inovasi pada era ekonomi post-industrial informational. Tulisan ini mendeskripsikan penggunaan level analisis sistem dan teori post-industrialism pada kasus pengangguran dalam sektor produksi minuman di Afrika Selatan akibat dari perubahan teknologi. Kemampuan ekonomi Afrika Selatan dalam menyerap tenaga kerja telah mengalami penurunan sejak tahun 1960-an, dan mulai tahun 1990 terjadi pada sektor manufaktur. Meskipun demikian, penurunan pekerja manufaktur justru meningkatkan hasil produksinya. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan teknologi dan peralatan yang canggih dalam proses manufaktur sehingga menjadikan pekerja kehilangan pekerjaan, terutama pekerja tidak terampil.
Kata-Kata Kunci: Afrika Selatan, sistem internasional, teknologi informasi komunikasi, digital divide, knowledge economy, post-industrial informational economy , sektor produksi minuman.
ABSTRACT
Besides the debate, external factors to the state—how the international system is organized, the characteristics of contemporary international relations, and the actions of others—can lead the state to react in certain ways. Related to ICT, international system today filled by states or even corporate who wants to develop their technology to gain bigger profit, mainly in production sector. However, many problems appear because of digital divide. In addition, global knowledge economy inequality becomes clearer because post-industrial informational economy brings sophisticated technology, skilled labour and innovation culture. This paper describes the application of system-level analysis and post-industrial theory in the case of unemployment on beverage sector in South Africa as the effect of technological change. The ability of the South Africa economy to absorb labour has been declining since the 1960’s, and since 1990 on manufactur sector. Nevertheless, the decline in manufacturing jobs precisely increased output of the sector. That trend is attributed to the application of technology and sophisticated equipments in the manufacturing process leading to loss of jobs, particularly for unskilled labour.
Pendahuluan
Berdasarkan World Bank Report (1994), kapasitas ekonomi untuk menyerap tenaga kerja di
Afrika Selatan telah mengalami penurunan sejak tahun 1960-an. Meskipun tenaga kerja pada
sektor publik meningkat pada tahun 1992, akan tetapi pada sektor manufaktur, tenaga kerja di
Afrika Selatan menurun mulai tahun 1990-an. Statistics South Africa (2004)
mengestimasikan pengangguran di Afrika Selatan mencapai 30,5% dan hanya terjadi
peningkatan 0,02% pada tahun 2003. Akan tetapi, kontribusi terhadap GDP oleh sektor
manufaktur justru meningkat drastis sejak tahun 1994 (Danso 2007, 1).
Statistics South Africa (2004) menunjukkan bahwa jumlah pekerja pada industri manufaktur
berkurang dari 1,5 juta pada tahun 2000 menjadi 1,2 juta pada tahun 2002. Statistics South
Africa (2006) juga menunjukkan bahwa angka pengangguran pada Black Africans (warga
kulit hitam di Afrika Selatan) merupakan yang paling tinggi yakni 30,7%, diikuti oleh
Coloureds (warga campuran) sebesar 18,9% dan Whites (warga kulit putih) yakni 4,2%.
Dalam periode bersamaan, terjadi peningkatan pengeluaran modal pada instalasi dan
mesin-mesin baru serta peralatan lainnya dalam sektor manufaktur. Investasi pada mesin-mesin-mesin-mesin
sektor manufaktur baru dan peralatan lain meningkat dari 11 triliyun Rand (mata uang Afrika
Selatan) pada tahun 1994 menjadi hampir mencapai R20 triliyun pada tahun 2001 (Danso
Setelah tahun 1998, investasi pada modal baru dalam sektor manufaktur mulai menurun dan
net profit mulai naik. Pengeluaran modal pada aset-aset baru mengalami titik balik (turnover)
setelah dari tahun 1995 yakni 4,84% mencapai puncak pada tahun 1998 yakni 5,79%. Pada
waktu yang bersamaan, net profit justru mengalami penurunan dari 8,31% menjadi 6,11%.
Pada tahun 2006, South Africa Management, Development and Productivity Institute (MDPI)
mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas pada sektor manufaktur di ekonomi
Afrika Selatan pada 2005 tidak diikuti dengan peningkatan tenaga kerja (MDPI 2007). Pada
dalam jumlah tenaga kerja paling banyak setelah perdagangan grosir dan eceran serta jasa
personal. Meskipun berada di urutan ketiga, industri manufaktur di Afrika Selatan merupakan
kontributor kedua terbesar pada GDP Afrika Selatan. Dalam industri manufaktur tersebut,
sektor makanan dan minuman (the Food and Beverage) berkontribusi sebesar 16,4% dari
total output manufaktur pada tahun 2006, yakni berada di urutan ketiga setelah industri
minyak dan besi.
Angka pengangguran yang tinggi di Afrika Selatan, terutama pada Black Africans pada
sektor Food and Beverage berkaitan dengan kekurangan kemampuan (skill) yang relevan.
Berdasarkan Food and Beverage Survey (Statistics South Africa 2006), the FoodBev SETA
bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan kelangkaan dan kekurangan critical skills
pada sektor food and beverage. Tujuan dari the FoodBev SETA adalah meningkatkan tingkat
modal manusia (human capital) dalam industri (Danso 2007, 10). Akan tetapi, FoodBev
SETA yang dibentuk pada akhir tahun 1990-an masih berada pada tahap “infancy” dan jauh
dari pemenuhan mandat menyediakan tenaga kerja dengan critical skills bagi industri (Kraak
2005, 57-83).
Industri minuman di Afrika Selatan terdiri dari perusahaan yang memproduksi minuman
beroperasi di negara lain, dua di antaranya adalah Coca-Cola dan SABMiller. SABMiller
sendiri mengontrol 95% dari pasar minuman bir di Afrika Selatan. Selain itu, lebih dari 80%
dari distribusi produk SABMiller di Afrika Selatan dijalankan melalui independent
owner-drivers (Gilmore 2006, dalam Danso 2007).
Dalam sistem internasional saat ini, berbagai negara maupun korporasi mengupayakan
peningkatan keuntungan di antara persaingan pasar yang ketat, tidak terkecuali pada sektor
food and beverage. Dunia telah menjadi global village dimana pihak yang paling kuat akan
mampu bertahan dan kompetitor yang lemah akan diambil alih oleh pemain yang lebih kuat
melalui akuisisi (Thompson et al 2007, 255). Bagaimana suatu perusahaan dapat bertahan
dalam kompetisi adalah dengan investasi dalam teknologi baru, terutama yang mampu
mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Kebutuhan akan peningkatan
teknologi di Afrika Selatan sendiri telah disadari mulai muncul ketika rezim Partai Nasional
dan pemerintahan saat ini. Draf laporan pada kebijakan teknologi yang dipublikasikan oleh
Menteri Perdagangan Afrika Selatan Kent Durr pada 1990-an menunjukkan bahwa terdapat
pengajuan pengurangan tarif impor pada pembelian teknologi dan stimulasi industri
(Cashmore 1990, 63). Kebijakan tersebut dianggap merupakan respon Afrika Selatan sebagai
poor state of technology dan juga melihat perkembangan dunia (Smith & Garbers 1992, 60).
Pada sektor beverage, integrasi pada kemajuan teknologi menjadi hal yang penting karena
berkaitan dengan peningkatan visibilitas dan kualitas produk.
Level Analisis Sistem dalam Kerangka Realis Struktural
Level analisis sistem mencoba menjelaskan kebijakan luar negeri negara yang diambil
berdasar pada sistem internasional yang ada pada saat itu. Setiap perubahan yang terjadi
dalam sistem internasional menjadi bahan pertimbangan bagi kebijakan luar negeri suatu
negara. Sistem internasional memunculkan constraints yang mengoperasikan tingkah laku
semua negara dunia (Stein, 2006: 190). Semua negara, dengan perbedaan sistem politik,
sejarah atau budaya, berada dalam sistem internasional yang membatasi pilihan mereka.
Meskipun bukan sebagai determinan, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu negara akan melihat
situasi eksternal sebelum pada akhirnya mengambil keputusan. Situasi atau kondisi
membentuk hasil tanpa intervensi dari kalkulasi manusia dan tidak bergantung pada
antar negara membentuk sistem internasional yang sewaktu-waktu dapat berubah pula
sepanjang interaksi masih berjalan.
Berbicara mengenai interaksi tentunya tidak terlepas dari power yang dimiliki oleh
masing-masing negara. Maka, diskusi mengenai sistem internasional tidak akan terlepas dari
kerangka realis struktural. Menurut realisme struktural Waltz (dalam Donnelly, 2005 :35),
struktur internasional muncul dari interaksi antar negara dan kemudian menjadi kendala bagi
mereka untuk mengambil langkah tertentu sembari mendorong mereka melihat negara lain.
Power bagi realis merepresentasikan sejauh mana pengaruh suatu negara dalam tingkat
global. Breuning (2007) menyebutkan 3 klasifikasi negara berdarkan power yakni small,
midlle dan great power. Small state secara umum adalah negara-negara yang memiliki
kapasitas terbatas untuk memengaruhi negara lain (Breuning 2007, 151). Dalam banyak
kondisi, sistem internasional mengekang small powers dibandingkan great powers, meskipun
dalam beberapa kondisi berlaku sebaliknya (Stein 2006, 192). Kemudian midlle states adalah
negara yang memiliki pengaruh, tetapi tidak memiliki proyeksi kekuatan militer (Breuning
2007, 150). Negara middle power lebih memeroleh pengaruh karena langkah-langkah
non-militer, misalnya proses negosiasi. Pada sistem bipolar, middle power menemui tekanan kuat
untuk menuruti partner aliansi dari major power dan menyerahkan otonomi dari kebijakan
luar negerinya untuk kepentingan keamanan (Kaarbo et al. 2012, 8). Terakhir adalah great
state yang memiliki kapabilitas dalam segala hal, politik, ekonomi dan militer yang
berpengaruh luas dalam tingkat global (Breuning 2007, 149). Dalam lingkup kapabilitas
militer, sistem internasional saat ini mungkin hegemoni, yang menjadikan Amerika Serikat
sebagai superpower tunggal (Kaarbo et al. 2012, 9).
Digital Divide dan Teori Post-Industrialisme
Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi di negara maju semakin mengefisienkan
perusahaan dan negara sehingga dapat mencapai keuntungan yang lebih besar. Teknologi
canggih dan tenaga kerja terdidik di negara-negara maju memunculkan penguasaan pada
inovasi, yang sama artinya dengan penguasaan pada industri karena inovasi adalah alat
mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan (Parayil 2005, 46). Akibatnya, negara-negara
berkembang akan semakin sulit mengejar ketertinggalannya dalam akses teknologi-informasi,
(2007, 297) adalah bahwa isu digital divide berkaitan dengan dimensi transaksi ekonomi dari
globalisasi dalam lingkup teknologi informasi dan komunikasi.
Pada dimensi transaksi ekonomi, globalisasi teknologi informasi dan komunikasi (ICT)
memunculkan the global e-economy yang mana menandakan adanya post-industrial
informational economy tingkat global. Post-industrial informational economy memunculkan
restrukturisasi ekonomi (dari agrikultur dan industri ke sektor jasa), perubahan fokus industri
(dari tenaga kerja manufaktur ke industri berbasis pengetahuan dan teknologi) dan perubahan
yang berkaitan dengan kapasitas modal profesionalitas dan manusia (kebutuhan tenaga
terdidik dan terlatih) (Drori 2007, 304). Dengan demikian, dalam era kemajuan ICT, negara
dengan mayoritas tenaga kerja un-skilled dan un-trained labors akan mendapati tantangan
dalam mendapatkan pekerjaan dan lebih luas lagi pada persoalan perekonomian.
Argumen serupa juga ditunjukkan oleh Daniel Bell dalam teori post-industrialisme yang
menyatakan bahwa masyarakat saat ini merupakan masyarakat post-industri. Dalam
masyarakat post-industri, industri jasa menjadi hal utama dalam perekonomian. Pada
masyarakat pre industri, masih banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor agrikultur. Akan
tetapi, pada masyarakat post-industri, tenaga kerja jasa menjadi lebih dominan. Selain itu,
pada teori post-industri, peningkatan produktivitas adalah kunci perekonomian. Berdasarkan
enigma produktivitas menurut Castells (2010, 80), produktivitas memunculkan pertumbuhan
ekonomi, dan produktivitas tersebut adalah hasil dari perubahan teknologi. Ketika kemajuan
teknologi informasi mampu meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya produksi,
memperluas pasar hingga mempercepat modal kembali, maka keuntungan jelas didapatkan
dari knowledge economy.
Knowledge economy adalah ketika perekonomian dikendalikan oleh pengetahuan. Knowledge
economy yang seharusnya mampu mendorong pertumbuhan perekonomian secara
keseluruhan justru menjadi persoalan ketika terjadi monopoli atas pengetahuan tersebut.
Pengetahuan menjadi modal baru untuk memeroleh keuntungan sehingga muncul kapitalisme
informasi yang mana meningkatkan kompetisi. Meskipun diberi kesempatan yang sama di era
globalisasi, individu yang memiliki modal teknologi dan informasi maju akan lebih
diuntungkan dibandingkan mereka yang tidak. Berdasar pada Great Depression pada 1929,
telah banyak diperdebatkan bahwa New Era memunculkan pertumbuhan modal monopolistik
Pembahasan
Pada tren global yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terdapat tendensi teknologi untuk
menggeser tenaga kerja unskilled dengan modal dan tenaga kerja skilled. Akibatnya, terjadi
peningkatan kesenjangan pada pendapatan masyarakat hingga munculnya pengangguran.
Kemudian, terdapat juga tren keterbukaan terhadap ekonomi dunia terkait arus finansial dan
investasi langsung. Untuk small state seperti Afrika Selatan, kondisi struktur global tersebut
merupakan hal yang given. Seperti yang dinyatakan oleh Breuning (2007, 151), small state
secara umum memiliki kapasitas terbatas untuk memengaruhi negara lain atau bahkan sistem
internasional yang ada. Kondisi sistem internasional berupa keterbukaan terhadap ekonomi
mulai mengekang small power sehingga Afrika Selatan pun tidak dapat menghindari kondisi
tersebut.
Dalam kehidupan Afrika kontemporer, banyak realitas yang dianggap tidak mencerminkan
bentuk-bentuk dari self-determination sebagai hasil dari kemerdekaan. Keterlibatan bangsa
asing dalam internal negara-negara Afrika kontemporer ini melingkupi berbagai bidang, baik
dalam bidang politik, keamanan maupun ekonomi. Banyak kemudian yang menganggap
tindakan bangsa asing terhadap Afrika tersebut merupakan bentuk baru dari kolonialisasi atau
neo-kolonial yang mana menggunakan soft power sebagai instrumennya. Selain adanya
intervensi dari pihak luar, dalam negeri, bantuan asing juga menimbulkan dampak berupa
ketergantungan. Dalam tulisan Arthur A. Goldsmith (2001, 123), disebutkan bahwa Afrika adalah “aid dependent” yakni sedikit negara-negara di Afrika yang dapat menjalankan rutinitas fungsi atau mendistribusikan jasa dasar publik tanpa pembiayaan eksternal dan para
ahli. Pada kasus sektor beverage di Afrika Selatan, keterbukaan pemerintah dalam menerima
teknologi dari pihak asing menunjukkan bahwa belum adanya pertimbangan terhadap tenaga
kerja yang masih belum banyak terserap. Dilema dalam meningkatkan pertumbuhan,
lapangan tenaga kerja dan persamaan sangat terlihat jelas di Afrika Selatan. Tren teknologi
global, yang diimpor karena keterbukaan Afrika Selatan, merujuk pada penggunaan tenaga
kerja dasar yang berkurang.
Pada sektor beverage, perusahan di Afrika Selatan lebih banyak dikuasai oleh perusahaan
multinasional dari luar negeri. Sumber daya pengembangan sektor beverage di Afrika Selatan
terutama wine sangat menarik investor asing untuk mengembangkan produk di sana.
Keterbukaan Afrika Selatan, terutama setelah keikutsertaannya dalam World Trade
mencari pangsa pasar baru. Akibatnya, banyak kemudian perusahaan asing dalam sektor
beverage di Afrika Selatan, tertama SABMiller yang mampu mengontrol 90% dari total pasar
beer dan 72% merupakan pasar minuman beralkohol. Selain SABMiller, Coca-Cola juga
mendominasi pasar beverage di Afrika Selatan. Pada sektor soft-drinks, Coca-Cola adalah
pemain dominan dalam pasar, yang mana memberi tantangan pada banyak rival lokal (PWC
t.t, 30).
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, perusahaan-perusahaan lokal yang tidak
mampu bersaing dalam pasar akan diakuisisi oleh pihak yang lebih kuat. Dalam pasar
beverage, SABMiller merupakan satu contoh dari perusahaan yang mengakuisisi banyak
perusahaan lokal di Afrika Selatan. Akibatnya, banyak tenaga kerja sebelumnya mulai
digantikan oleh teknologi-teknologi baru dalam proses produksi. Hal tersebut menunjukan
bahwa telah terjadi pergeseran dari masyarakat agrikultur ke masyarakat post-industrial yang
lebih mengutamakan sektor jasa. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi digital divide yang
mana sharing teknologi tidak didapatkan secara mudah di Afrika Selatan. Pada data yang
telah disebutkan di awal, terlihat pula bahwa angka pengangguran tertinggi berasal dari Black
African yang mana dianggap berkontribusi pada tenaga kerja unskilled. Dengan demikian,
pada sektor beverage pun, penguasaan teknolgi yakni penggunaan tenaga jerka skilled juga
dibutuhkan. Kemampuan perusaahaan beverage asing di Afrika Selatan mengindikasikan
bahwa terdapat knowledge economy yakni ketika pengetahuan dapat menunjang kemajuan
ekonomi, terutama bagi mereka yang menguasai, contohnya SABMiller dan Coca-Cola.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa sektor beverage di Afrika
Selatan juga mulai dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi dalam era
post-industrial. Afrika Selatan yang belum mampu mengembangkan teknologi sendiri kemudian
terbuka terhadap inventasi asing. Akan tetapi kemudian, akibatnya, produk lokal justru
tersaingi oleh produk perusahaan asing yang mana lebih mampu mengakses informasi dan
menjalankan teknologi. Dalam hal ini terlihat bahwa telah terjadi digital divide dalam internal
Afrika Selatan. Selain itu, perusahaan kecil yang tidak mampu bersaing kemudian diakuisisi
oleh pihak yang lebih kuat sehingga terjadi penurunan jumlah tenaga kerja, terutama tenaga
kerja unskilled. Karena hal tersebut, persoalan pengangguran menjadi hal yang semakin sulit
Referensi
Breuning, Marijke, 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York:Palgrave MacMillan. Ch.6 (Int’l Constraints).
Cashmore, S, 1990. Technologi Policy: Durr’s Mixed Bag.Financial Mail, 118:7.
Castells, Manuel, 2010. “The Informational Economy and the Process of Globalization”, dalam the Rise of the Network Society (2nd ed), Oxford: Blackwell Publisher, pp. 66-150. Danso, Alex Kwame, 2007. The Effect of Technological Changes on Unemployment in The
Beverage Sector of the South African Economy, Thesis (M.B.A.) North West University, Potchefstroom Campus.
Donnelly, Jack, 2005. “Realism”, Theories of International Relations 3rd ed. New York: Palgrave Macmillan.
Drori, Gili S, 2007. “Information Society as a Global Policy Agenda”, International Journal of Comparative Sociology 48 (4): 297-316.
Goldsmith, Arthur A. 2001. “Foreign Aid and Statehood in Africa”, International Organization, Vol. 55, No. 1, pp. 123-148. The Mitt Press. Tersedia dalam http://www.jstor.org/stable/3078599 [online]
Kaarbo, Juliet, Jeffrey S. Lantis dan Ryan K. Beasley, 2012. Chapter I: The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective. CQ Press.
Kraak, A, 2005. “Human Resources Developmnet and the Skills Crisis in South Africa: The Need for a Multi-Pronged Strategy”, dalam Journal of Educational Work, Vol. 18 910 57-83p.
MDPI. 2007. Annual Report.
Parayil, Govindan, 2005. “The Digital Divide and Increasing Returns: Contradiction of Informational Capitalism”, The Information Society, No.21: 41-51.
PWC, 2012. South African Retail and Consumer Products Outlook 2012-2016. South African Edition.
Smith, H dan C. Garbers, 1992. Technology Policy for South Africa. RSA Policy Review, 60p.
Statistics South Africa, 2006. “Manufacturing: Production and Sales”, Statistics South Africa: Pretoria, South Africa http://www.stassa.gov.za_publications_p305
Statistics South Africa, 2007. “Labour Force Survey”, Statistics South Africa: Pretoria, South Africa http://www.stassa.gov.za_publications_p30412_p3041may2007
Stein, Arthur A, 2006. Constraints and Determinants: Structure, Purpose, and Process in the Analysis of Foreign Policy.
The Editors, 2001. “The New Economy: Myth and Reality”, Monthly Review, Vo. 52, No. 11. Thompson, A.A., A.J. Strickland dan J.E. Gamble, 2007. Crafting and Executing Strtagey:
The Quest for Competitive Advantage. 15th ed. McGraw Hill, 134p.
World Bank, 1994. South African Agricultural, Structural, Performance and Options for the future. Discussion Paper 6.